Anda di halaman 1dari 1

Nama : Uria Pehino

Nim : 11171479
Prodi : Ilmu Teologi (B)
MK : Liturgika

Apakah Natal itu perayaan suka atau perayaan duka?

Hari Natal berasal dari bahasa Latin Dies Natalis, yang berarti hari kelahiran. Dalam
tradisi iman Kristiani, selalu dihubungkan dengan Dies Natalis Yesus dari Nazaret. Karena
itu, dalam tradisi iman Kristiani, hari Natal selalu menunjuk kepada Natal Kristus,
Kelahiran Kristus. Tradisi merayakan Natal Kristus baru dikenal dalam tradisi iman
Kekristenan sekitar abad ke-3, 4 dan 5 Masehi. Sebelumnya, Gereja perdana lebih member
perhatian pada perayaan paskah Yahudi, yang kemudian diasosiasikan dengan kebangkitan
Kristus setelah Jumat Agung (hal ini juga yang membuat perbedaan waktu hari Natal antara
tradisi Gereja Barat dan tradisi Gereja Timur)¹.

Inti berita Natal, seperti ditulis oleh Lukas adalah “Hari ini telah lahir bagimu Juru
Selamat, yaitu Kristus Tuhan di kota Daud”. Jadi proklamasi Malaikat itulah yang harus kita
hayati dalam merayakan Natal. Dan dampak dari kelahiran Yesus itu sendiri, yakni agar
Allah dimuliakan dan ada damai di bumi. Sebab itu tidak cukup berita Natal hanya didengar
dalam ibadah Natal, tetapi harus terejawantah dalam seluruh hidup kita. Dalam arti, kita
harus memuliakan atau mengagungkan Allah lewat melakukan yang sesuai kehendak-Nya
dan berupaya menciptakan kedamaian dalam rumah tangga, dengan sesama, dan dengan
umat beragama lain di sekeliling kita².

Dari kalimat pengantar di atas, saya bisa menyimpulkan bahwa Natal itu dalam
perwujudan yang sebenarnya adalah perayaan suka, yang bagaimana kita memaknai
dengan berlandaskan hal-hal yang positif (sesuai Firman Tuhan), yang kita aplikasikan
dalam kehidupan setiap hari. Kita bersuka cita atas kekuasaan Allah yang telah dinyatakan.
Tetapi dalam praktek perayaan yang selama ini sudah dilakukan, saya bisa mengatakan
bahwa perayaan Natal sudah berwarna perayaan duka. Artinya bahwa kita memaksakan
diri untuk menyiapkan segala sesuatu (sandang, pangan dan papan), yang seringkali
membuat kontroversi demi dan untuk tercapainya keinginan itu. Dan juga pada saat-saat
Natal pun dijadikan sebagai waktu untuk meminta “maaf” kepada sesama kita.

1. Mojau Julianus. “Pedoman Liturgi GMIH”. Yayasan Percis Halmahera, 2010, hlm. 33-34
2. Djurubasa Arkipus. “Ziarah Bersama di Bumi Halmahera”. Yogyakarta. Penerbit Alinea Baru,
2017, hlm. 288

Anda mungkin juga menyukai