REFERAT ECT Electroconvulsive Therapy
REFERAT ECT Electroconvulsive Therapy
Disusun oleh :
Dimas M. Zaeni
Radi Tri hardian
Dyane Vatricia
Henri Aprilio
Purnnomo
Nawar Najla Mastura
Pembimbing :
dr. Suponco Eddi W, SpKJ., MARS
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
digolongkan dalam bentuk, atipikal. Untuk golongan obat chlorpromazine dan
haloperidol, disebut golongan tipikal.2
ECT melibatkan induksi kejang oleh rangsang listrik singkat pada otak.
Indikasi utamanya adalah : 3
- Gangguan/ episode depresif mayor
- Penyakit depresif masa nifas (episode depresi mayor onset
pascapartum)
- Mania
- Skizofrenia katatonik
- Gangguan skizoafektif.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Electroconvulsive Therapy (ECT) merupakan salah satu jenis terapi fisik
yang merupakan pilihan untuk indikasi terapi pada beberapa kasus gangguan
psikiatri. Indikasi utama adalah depresi berat.4
ECT (Electroconvulsive Therapy) merupakan perawatan untuk gangguan
psikiatri dengan menggunakan aliran listrik singkat melewati otak pasien yang
berada dalam pengaruh anestesi dengan menggunakan alat khusus. Terapi
Elektroconvulsive (ECT) adalah terapi yang aman dan efektif untuk pasien dengan
gangguan depresi berat, episode manik, dan gangguan mental serius lainnya.1
Electroconvulsive Therapy (ECT) merupakan prosedur medis yang
dilakukan oleh dokter dimana pasien diberikan anestesi umum dan relaksasi otot.
Ketika efeknya telah bekerja, otak pasien distimulasi dengan suatu rangkaian dan
dikontrol dengan electrode yang dipasang di kepala pasien. Stimulus ini
menyebabkan bangkitan kejang di otak sampai 2 menit. Karena penggunaan
anestesi dan relaksasi otot sehingga badan pasien tidak ikut terangsang dan tidak
merasa nyeri.5
4
oleh Muller seorang psikiater, kemudian diterbitkan cara kerjanya di American
Journal of Psychiatry. Selama 3 tahun, cardiazol sebagai terapi kejang yang sudah
dipakai secara luas dan mendunia. Ugo Cerletti, seorang profesor neuropsikiatri,
yang berkebangsaan Itali, juga mengembangkan terapi kejang yang menggunakan
listrik dengan uji coba pada binatang. Lucio Bini teman Ugo Cerletti mempunyai
ide, bahwa untuk menimbulkan kejang dipakai listrik untuk menggantikan
metrazol. Tahun 1937 percobaan pertama pada manusia yaitu, Sherwin B. Nuland
dan kemudian baru pada tahun 1970, ia ditetapkan sebagai orang pertama yang
menjalani terapi kejang listrik, serta dibuat uraian gambaran deskripsi dari hasil
pada orang yang pertama yang menjalani terapi kejang listrik tersebut.2
Terapi kejang listrik adalah bentuk pengobatan shok yang terjadi pada
pengobatan medis modern pada saat itu. ECT segera menggantikan metrazol dan
berkembang seluruh dunia karena beberapa faktor yaitu:
Cerletti dan Bini dinominasikan hadiah Nobel tetapi hal ini dibatalkan,
sebab pada tahun 1940 cara itu diperkenalkan juga oleh Inggris dan Amerika
serikat. Selama tahun 1940 sampai tahun 1950, penggunaan terapi kejang listrik
meluas.
(1) Mempergunakan elektrode yang unilateral satu pada sisi pelipis/temporal yang
dominan/kiri dan satu elektrode di atas kepala (verteks); untuk yang kidal
temporal kanan dan verteks.
(2) Arus kejut listrik yang searah arus sinusoidal, sedangkan listrik yang dipakai
pada pertama kali adalah arus bolak balik yang disebut arus transfersal. Aliran
arus dibuat searah yang sinusoidal.
5
Friedman dan Wilcox, tahun 1942 melakukan modifikasi secara unilateral
dengan arus searah, Lancaster et.al di Inggris tahun 1958, melakukan unilateral
dengan menempatkan pada hemisfer non dominan untuk mengurangi efek
samping kebinggungan dan gangguan daya ingat sesudah ECT dan hasilnya sama
efektif dengan bilateral. Setelah beberapa tahun alat yang memakai arus kejut
listrik yang searah berkembang secara luas dan dipakai seluruh dunia. ECT yang
unilateral tidak begitu populer bagi para psikiater, karena efek terapeutis kurang
memuaskan.
Pada tahun 1940 sampai tahun 1950 ECT masih tidak diperbarui, tidak
pernah dipakai obat untuk relaksasi otot, sehingga menghasilkan kejang yang
maksimal, yang mengakibatkan patah tulang dan dislokasi tulang panjang. Pada
tahun 1940 para psikiater mulai mengadakan penelitihan eksprimental dengan
menggunakan curare, disebut racun dari Amerika Selatan yang dapat membuat
otot jadi paralise untuk mengurangi akibat kejang yang dihasilkan dari alat ECT
tersebut. Kemudian diperkenalkan “suxamethonium” (succinylcholine) zat yang
sinthetis penggunaannya lebih aman dari curare. Pada tahun 1951 digunakan
secara luas untuk memodifikasi penggunaan dari ECT dengan bantuan anaesthesi
ringan biasanya berguna untuk menghindari rasa takut pada pasien dan
menghindari tercekik/tersumbatnya pernafasan. Setelah ditemukan obat
antidepresi yang dapat menangkal efek negatif ECT dimedia masa, ditandai
dengan menurunnya pemakaian ECT selama periode tahun 1950 sampai 1970.
Surat kabar, New York Times memberitakan pandangan negatif terhadap ECT dari
film yang berjudul “For Big Nurse in One Flew Over the Cuckoo’s nest”. Ini
adalah alat untuk menteror pikiran masyarakat tentang ECT dan hal ini didukung
citranya oleh novel Ken Kesey, yang mengatakan bahwa berbahaya pada manusia
bila penggunaan yang berlebihan.
6
dalam hasil terapeutiknya, maka dengan ini sampai sekarang dilakukan secara
bilateral.
7
permeabilitas sawar darah otak adalah meningkat. Setelah kejang, aliran darah dan
metabolisme glukosa menurun, kemungkinan paling jelas pada lobus frontalis.
Beberapa penelitian menyatakan bahwa derajat penurunan metabolisme serebral
adalah berhubungan dengan respons terapeutik. Fokus kejang pada epilepsi
idiopatik adalah hipometabolik selama periode interiktal, ECT sendiri bertindak
sebagai antikonvulsan, karena pemberiannya disertai dengan peningkatan ambang
kejang saat terapi berlanjut.1
Penelitian neurokimiawi tentang mekanisme kerja ECT telah memusatkan
perhatian pada perubahan reseptor neurotransmitter dan, sekarang ini, perubahan
sistem pembawa pesan kedua (second-messenger). Hampir setiap sistem
neurotransmitter dipengaruhi oleh ECT. Tetapi, urutan sesion ECT menyebabkan
regulasi turun reseptor adrenergik-β pascasinaptik, reseptor yang sama dan terlihat
pada hampir semua terapi antidepressan. Efek ECT pada neuron serotonergik
masih merupakan daerah penelitian yang kontroversial. Berbagai penelitian telah
menemukan suatu peningkatan reseptor serotonin pascasinaptik, tidak ada
perubahan pada neuron serotonin, dan perubahan pada regulasi prasinaptik
pelepasan serotonin. ECT telah dilaporkan mempengaruhi sistem neuronal
muskarinik, kolinergik, dan dopaminergik. Pada sistem pembawa kedua, ECT
telah dilaporkan mempengaruhi pengkopelan protein G dengan reseptor, aktivitas
adenylyl cyclase dan phospholipase C, dan regulasi masuknya kalsium ke dalam
neuron.1
2.4. Indikasi
1. Gangguan Depresi Mayor
Indikasi yang paling sering untuk penggunaan ECT adalah gangguan depresif
berat atau ganggaun depresi mayor.1,3,4,5
ECT harus dipertimbangkan sebagai terapi pada pasien yang gagal dalam uji
coba medikasi, mengalami gejala yang parah atau psikotik, mencoba bunuh diri
atau membunuh dengan mendadak, atau memiliki gejala agitasi atau stupor yang
jelas. Sebagian klinisi yakin bahwa ECT menyebabkan sekurangnya derajat
perbaikan klinis yang sama dengan terapi standar dengan obat antidepressan.1,6
8
ECT efektif untuk gangguan depresi berat dengan gangguan bipolar.
Depresi delusional atau psikotik telah lama dianggap cukup responsif terhadap
ECT, tetapi penelitian terakhir telah menyatakan bahwa episode depresi berat
dengan ciri psikotik tidak lebih responsif terhadap ECT dibandingkan gangguan
depresi nonpsikotik. Namun, karena episode depresi berat dengan gejala psikotik
adalah berespon buruk terhadap farmakologi anti depressan saja, ECT harus
sering dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama untuk pasien dengan
gangguan-gangguan depresi berat dengan ciri melankolik (seperti gejala parah
yang jelas, retardasi psikomotor, terbangun dini hari, variasi diurnal, penurunan
nafsu makan dan berat badan, dan agitasi, diperkirakan lebih mungkin berespon
terhadap ECT.1
2. Mania
ECT sekurangnya sama dan kemungkinan lebih unggul dibandingkan
lithium dalam terapi episode manik akut. Beberapa data menyatakan bahwa
pemasangan elektrode bilateral selama ECT lebih efektif, dengan pemasangan
unilateral pada terapi episode manik. Tetapi, terapi farmakologis untuk episode
manik adalah sangat efektif dalam jangka pendek dan untuk profilaksis sehingga
pemakaian ECT untuk terapi episode manik biasanya terbatas pada situasi dengan
kontraindikasi spesifik untuk semua pendekatan farmakologis.1
Pengobatan pilihan bagi mania adalah obat menstabilkan mood ditambah
obat antipsikotik. ECT dapat dipertimbangkan untuk mania parah terkait dengan:
• kelelahan fisik yang mengancam jiwa
• resistensi pengobatan (yaitu mania yang tidak menanggapi pengobatan
pilihan).
Pilihan pasien dan pengalaman perawatan medis sebelumnya tidak efektif
atau tak tertahankan, atau pemulihan sebelumnya dengan ECT, yang relevan.6
3. Skizofrenia
ECT merupakan terapi yang efektif untuk gejala skizofrenia akut dan tidak
untuk gejala skizofrenia kronis. Pasien skizofrenia dengan gejala afektif dianggap
9
paling besar kemungkinannya berespons terhadap ECT.1
Pemberian ECT pada pasien skizofrenia diberikan bila terdapat:
Gejala-gejala positif dengan onset yang akut.
Katatonia
Riwayat ECT dengan hasil yang baik.
Indikasi lain
Penelitian kecil telah menemukan ECT efektif dalam pengobatan
katatonia, gejala terkait dengan gangguan mood, schizophrenia, dan gangguan
medis dan neurologis. ECT berguna untuk mengobati episode psikotik, psikosis
atypikal, gangguan obesif-kompulsif, dan delirium dan kondisi medis seperti
gangguan neuroleptic ganas, hypopituitarism, gangguan kejang dan pada penyakit
Parkinson. ECT juga dapat menjadi terapi pilihan untuk depresi bunuh diri wanita
hamil yang memerlukan perawatan dan tidak bisa minum obat untuk geriatri dan
sakit medis pasien yang tidak bisa menggunakan obat antidepresan aman dan
bahkan untuk dan anak-anak dan remaja yang bunuh diri mungkin kurang respon
untuk antidepresan daripada orang dewasa. ECT tidak efektif dalam gangguan
somatisa, gangguan personaliti, dan gangguan kecemasan.1
2.5. Kontraindikasi
ECT tidak memiliki kontraindikasi absolut, hanya situasi di mana seorang
pasien pada peningkatan risiko dan memiliki peningkatan kebutuhan pemantauan
ketat. Kehamilan bukan merupakan kontraindikasi untuk ECT, dan pemantauan
janin umumnya dianggap tidak perlu kecuali kehamilan risiko tinggi atau rumit.
Pasien dengan lesi sistem saraf pusat berada pada peningkatan risiko untuk edema
dan herniasi otak setelah ECT. Jika lesi kecil, pengobatan pra dengan
dexamethasone (Decadron) diberikan, dan hipertensi dikendalikan selama kejang
dan risiko komplikasi serius diminimalkan untuk pasien ini. Pasien yang
mengalami peningkatan tekanan intraserebral atau berisiko untuk perdarahan otak
(misalnya, orang-orang dengan penyakit serebrovaskular dan aneurisma) berada
10
pada risiko selama ECT karena peningkatan sawar darah otak selama kejang.
Risiko ini dapat dikurangi, meskipun tidak dihilangkan, oleh kontrol tekanan
darah pasien selama perawatan. Pasien dengan infark miokard adalah kelompok
berisiko tinggi lain, meskipun risikonya sangat berkurang 2 minggu setelah infark
miokard dan lebih jauh berkurang 3 bulan setelah infark itu. Pasien dengan
hipertensi harus distabilkan pada obat antihipertensi mereka sebelum ECT
diberikan. Propranolol (Inderal) dan sublingual nitrogliserin juga dapat digunakan
untuk melindungi pasien tersebut selama pengobatan.1
Persiapan Pasien
Sebelum ECT dilakukan pasien perlu dipersiapkan dengan cermat meliputi :1,4
- Pemeriksaan fisik dan kondisi pasien (jantung, paru-paru, tulang dan
otak)
- Pasien harus puasa minimal 6 jam sebelum ECT dilakukan
- Persiapkan pasien agar tidak takut dengan pengalihan perhatian, atau
dengan pemberian premedikasi
- Perhiasan, jepit rambut atau gigi palsu perlu dilepas terlebih dahulu
- Bantuan perawat untuk mencegah terjadinya luksasi/fraktur saat terjadi
kejang.
11
Persiapan Alat :4
- Mesin ECT lengkap
- Kasa basah untuk pelapis elektrode
- Tabung dan masker oksigen
- Penghisap lendir
- Obat-obat : coramine, adrenalin
- Karet pengganjal gigi agar lidah tidak tergigit
- Tempat tidur datar dengan alas papan
Pelaksanaan :4
- Pasien tidur terlentang tanpa bantal dengan pakaian longgar
- Bantalan gigi dipasang
- Perawat memegang rahang bawah/kepala, bahu, pinggul dan lutut
- Dokter memeberikan aliran listrik melalui 2 elektrode yang
ditempelkan dipelipis. Akan terjadi kejang tonik terlebih dahulu diikuti
kejang klonik dan kemudian akan terjadi fase apneu beberapa saat
sebelum akhirnya bernafas kembali seperti biasa. Fase apneu ini sangat
penting diperhatikan tidak boleh terlalu lama.
12
Pengawasan pasca ECT :4
- Penting dilakukan pengawasan karena pasien biasanya masih belum
sadar penuh.
- Kondisi vital kembali seperti semula, biasanya pasien tertidur.
Kadang-kadang dapat juga pasien menjadi gelisah dan bergerak tidak
menentu seperti delirium. Pada fase ini sangat perlu diawasi sampai
kesadaran pulih kembali.
- Setelah sadar, pasien biasanya bingung dan mengalami disorientasi
bahkan amnesia. Perlu distimulasi dengan cara mengajak
berkomunikasi, membantu memulihkan orientasi dan ingatan secara
bertahap. Berikan suasana tenang dan nyaman.
13
Gambar 2.7 Posisi elektroda temporal (A) atau posisi temporopariental / Elia’s
positioning (B)
ECT Unilateral
Posisi Elia, di mana salah satu elektroda dalam posisi yang sama seperti
dalam ECT bilateral tradisional dan lainnya diaplikasikan di atas permukaan
parietal dari kulit kepala. Posisi yang tepat pada busur parietal tidak penting,
tujuan adalah untuk memaksimalkan jarak antara elektroda untuk mengurangi arus
listrik dan untuk memilih situs di mana busur elektroda dapat diterapkan dengan
tegas dan datar terhadap kulit kepala. ECT unilateral biasanya diaplikasikan di
atas belahan non-dominan, yang merupakan sisi kanan kepala di kebanyakan
orang . Ini adalah posisi yang dianjurkan dalam ECT unilateral karena ini telah
menjadi standar, dan tidak dapat diasumsikan bahwa temuan penelitian terbaru
dapat diekstrapolasi untuk posisi lainnya.
Telah ditulis bahwa ECT unilateral adalah pengobatan yang lebih sulit
untuk dilakukan. Hal ini terjadi jika dokter yang menangani dibiarkan sendirian.
Posisi tradisional elektroda di ECT unilateral diilustrasikan pada gambar 2.7-1
(B). Posisi ini biasanya disebut sebagai kepala temporoparietal atau d'ient's head.
ECT unilateral dapat lebih efektif bila dilihat sebagai tanggung jawab bersama
dari tim klinik ECT. Beberapa dokter anestesi secara rutin meminta pasien untuk
14
mengaktifkan ke sisi kiri sebelum induksi anestesi. Bantuan perawat atau anggota
staf anestesi sangat penting untuk melakukan tugas memutar kepala pasien.
15
refleks terjadi segera setelah stimulus ECT tanpa bergantung besar alira listrik,
dan dapat mengakibatkan bradikardi atau asistol transien. Jika aliran listrik
mendekati atau melebihi ambang kejang, kejang tonik-klonik dapat terjadi dengan
disertai stimulasi simpatis. Peningkatan aktivitas simpatis ini mengimbangi efek
stimulasi vagal. Namun jika aliran listrik gagal mencapai kejang (stimulasi
subkonvulsi), ketakutan akan terjadinya bradikardi mengikuti stimulus menjadi
besar karena proteksi yang diberikan takikardi postiktal tidak ada.
Indikasi
1. Pasien yang menjalani estimasi ambang kejang dengan metode titrasi
dosis, terutama pada sesi pertama ECT.
2. Pasien yang menerima agen simpastis blocker
3. Situasi dengan terjadinya bradikardi vagal harus dihindarkan misalnya
adanya penyakit jantung, fungsi jantung hipodinamik.
Obat antikolinergik yang biasa digunakan adalah atropin (0,4-0,8 mg iv
atau 0,3-0,6 mg im) dan glycopyrrolate (0,2-0,4 mg iv atau im). Atropine
memiliki potensi lebih pada detak jantung. Glycopyrrolate tidak melintasi blood
brain barrier (sawar darah otak) dan memiliki efek antisialagogue.
Anasthesia
Tujuan: agen anestesi yang diberikan bertujuan membuat pasien tidak
menyadari adanya sensasi yang mungkin menakutkan, terutama kelumpuhan otot
dan perasaan tercekik dan gambaran kilatan sinar yang mungkin mengiringi
permulaan stimulus, tanpa menghambat kejang. Prinsipnya adalah mendukung
anestesi umum yang ringan dan sangat singkat. Dosis anestesi yang berlebih dapat
menyebabkan ketidaksadaran pasien dan apneu bertambah lama, memberikan efek
antikonvulsan, meningkatkan resiko komplikasi kardiovaskular,dan meningkatkan
amnesia. Agen induksi yang ideal untuk ECT bertujuan untuk ketidaksadaran
yang cepat, injeksi tanpa nyeri, tanpa efek hemodinamik, tanpa properti
antikonvulsan, memberikan pemulihan yang cepat, dan tidak mahal. Belum ada
obat yang memenuhi semua karakter tersebut. Namun, methohexital memenuhi
16
banyak kriteria yang telah disebutkan di atas, thiopental, ketamin, propofol, dan
etomidate juga telah berhasil digunakan pada terapi ECT.
Muscle relaxant
Pemberian muscle relaxant bertujuan untuk mencegah cedera pada sistem
muskuloskeletal dan meningkatkan manajemen jalan nafas. Prinsipnya adalah
menyediakan relaksasi otot . Secara umum, paralisis penuh tidak dibutuhkan
ataupun diinginkan karena dapat dikaitkan dengan apneu yang memanjang.
Sebagai tambahan, intensitas dan durasi gerakan motor kejang harus diobservasi
dan dimonitor. Paralisis otot bukan hanya memfasilitasi oksigenasi, namun juga
menurunkan penggunaan oksigen oleh otot selama kejang. Pertimbangan harus
diberikan pada penggunaan muscle relaxant dosis tinggi pada pasien dengan
resiko fraktur tulang patologis. Kecukupan pemberian muscle relaxant harus
ditentukan sebelum pemberian stimulus ECT. Proses ini dilakukan dengan tes
reduksi refleks tendon dalam dan tonus otot. Pada pasien yang diberikan
succinylcholine dosis tinggi, stimulator saraf perifer harus digunakan.
Efek samping yang biasa muncul pada succinylcholine termasuk aritmia,
peningkatan tekanan intraocular dan intraabdominal. Karena suksinilkolin telah
dikaitkan dengan hipertermi malignan dan hiperkalemia, telah dikembangkan
muscle relaxant non-depolarisasi. Dosis untuk agen ini harus ditentukan
berdasarkan klinis dan individual. Umumnya, dosis succinylcholine adalah 0,5-1
mg/kg. atracurirum 0,3-0,5 mg/kg, miyacurim 0,1-0,2 mg/kg, rocuronium 0,4-0,6
mg/kg, dan rapacuronium 1-2 mg/kg, merupakan obat-obat alternative untuk
succynilcholine. Obat-obat muscle relaxant non-depolarisasi ini menghasilkan
paralisis yang lebih lama, dan baik onset maupun durasi kerja obat harus
dimonitor oleh stimulator saraf.
17
Angka kematian dengan ECT adalah sekitar 0,002% per pengobatan dan
0,01 % untuk setiap pasien. Angka-angka ini menguntungkan dibandingkan
dengan risiko yang terkait dengan anestesi umum dan persalinan. Kematian akibat
ECT biasanya karena komplikasi kardiovaskular.
Memory
Perhatian terbesar tentang ECT adalah hubungan antara ECT dan
kehilangan memori. Sekitar 75 persen dari semua pasien yang diberikan ECT
mengatakan bahwa gangguan memori adalah efek samping yang terburuk.
Meskipun gangguan memori selama pengobatan , tindak lanjut data menunjukkan
bahwa hampir semua pasien yang kembali ke baseline kognitif mereka setelah 6
bulan. Beberapa pasien, bagaimanapun, mengeluh kesulitan memori . Contohnya,
pasien mungkin tidak ingat peristiwa yang mengarah ke rumah sakit dan ECT,
dan kenangan otobiografi tersebut mungkin tidak akan pernah ingat. Tingkat
kerusakan kognitif selama perawatan dan waktu yang dibutuhkan untuk kembali
ke dasar terkait, sebagian, dengan jumlah stimulasi listrik digunakan selama
pengobatan. Gangguan memori yang paling sering dilaporkan oleh pasien yang
telah mengalami sedikit perbaikan dengan ECT. Meskipun gangguan memori,
yang biasanya sembuh, tidak ada bukti menunjukkan kerusakan otak yang
disebabkan oleh ECT. Mata kuliah ini telah menjadi fokus dari beberapa studi
pencitraan otak, menggunakan berbagai modalitas. hampir semua menyimpulkan
bahwa kerusakan otak permanen tidak efek buruk dari ECT. Ahli saraf dan
18
epileptologists umumnya sepakat bahwa kejang yang berlangsung kurang dari 30
menit tidak menyebabkan kerusakan saraf permanen.
19
BAB III
KESIMPULAN
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P. Elektroconvulsive Therapy. Philadelphia: Wolters Kluwer,
2015: 982 – 8
2. Yongki. Pro dan Kontra Terhadap Terapi Kejang Listrik (TKL) Sebagai Terapi Alternatif Medis
Pada Pasien Psikotik(2012).317:22-7
3. Puri BK, Laking PJ, Treasaden IH. Buku Ajar Psikiatri (Textbook of Psychiatry) Edisi 2.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2012;43 –4
4. Elvira SD, Hadisukanto G. Terapi Fisik dan Psikofarmaka di Bidang Psikiatri. Buku Ajar
Psikiatri Edisi 2. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia, 2013;387 – 8.
5. Mental Health, Drugs And Division Regions. Electroconvulsive Therapy About You Rights.
Victoria: Department of Health, 2012. Diakses dari https://www2.health.vic.gov.au/.pdf,
pada tanggal 28 Desember 2015.
6. Anderson I, Barnes R, Benbow S, Duffet R, Easton A, et all. The Place of ECT in
Contemporary Psychiatric Practice. London: The Royal Collage of Pschyatrists, 2004:3-8
7. Scott A. Practical administration of ECT. London: The Royal Collage of Pschyatrists,
2004:144-158.
21