BAB I REKAM MEDIK. B. Keluhan Tambahan Gigi Berwarna Kekuningan. D. Riwayat Penyakit Atau Kelainan Sistemik
BAB I REKAM MEDIK. B. Keluhan Tambahan Gigi Berwarna Kekuningan. D. Riwayat Penyakit Atau Kelainan Sistemik
REKAM MEDIK
1.2 Anamnesis
1
Kelainan Pencernaan √
Penyakit Ginjal √
Penyakit / Kelainan Kelenjar ludah √
Epilepsy √
2
- Hubungan Rahang : ortognati
- Kelainan Gigi Geligi : lihat status lokalis
- Lain-lain : tidak ada
d. Status Lokalis
e. Temuan Masalah
a. Diskolorisasi pada gigi
b. Arrested karies pada 3.4
c. Suspek kandidiosis lingual
f. Perencanaan Terapi
1. Karies 3.4 → Pro konservasi
2. Swab lingual untuk suspek kandidiosis
3. Dental Health Education
4. Aplikasi Fluoride pada gigi yang mengalami karies
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Thalassemia
2.1.1Definisi
Thalassemia adalah sekelompok kelainan darah herediter yang ditandai
dengan berkurangnya atau tidak ada sama sekali sintesis rantai globin, sehingga
menyebabkan Hb berkurang dalam sel-sel darah merah, penurunan produksi sel-
sel darah merah dan anemia1. Kelainan ini bervariasi, dari asimtomatik sampai
parah, dan bervariasi sesuai dengan rantai hemoglobin darah yang terpengaruh.
Rantai yang mengalami kelainan mempengaruhi usia onset gejala (α-Thalassemia
mempengaruhi janin, β-Thalassemia mempengaruhi bayi yang baru lahir)2.
2.1.2 Etiologi
Thalassemia terjadi akibat adanya perubahan pada gen globin pada
kromosom manusia. Gen globin adalah bagian dari sekelompok gen yang terletak
pada kromosom 11. Bentuk daripada gen beta-globin ini diatur oleh locus control
region (LCR). Berbagai mutasi pada gen atau pada unsur-unsur dasar gen
menyebabkan cacat pada inisiasi atau pengakhiran transkripsi, pembelahan RNA
yang abnormal, substitusi, dan frameshifts. Hasilnya adalah penurunan atau
pemberhentian daripada penghasilan rantai beta-globin, sehingga menimbulkan
sindrom thalassemia beta.
2.1.3 Patogenesis
Patogenesis thalassemia secara umum dimulai dengan adanya mutasi yang
menyebabkan HbF tidak dapat berubah menjadi HbA, adanya ineffective
eritropoiesis, dan anemia hemolitik. Tingginya kadar HbF yang memiliki afinitas
O2 yang tinggi tidak dapat melepaskan O2 ke dalam jaringan, sehingga jaringan
mengalami hipoksia. Tingginya kadar rantai α-globin, menyebabkan rantai
tersebut membentuk suatu himpunan yang tak larut dan mengendap di dalam
eritrosit. Hal tersebut merusak selaput sel, mengurangi kelenturannya, dan
menyebabkan sel darah merah yang peka terhadap fagositosis melalui system
fagosit mononuclear. Tidak hanya eritrosit, tetapi juga sebagian besar eritroblas
dalam sumsum dirusak, akibat terdapatnya inklusi (eritropioesis tak efektif).
Eritropoiesis tak efektif dapat menyebabkan adanya hepatospleinomegali, karena
eritrosit pecah dalam waktu yang sangat singkat dan harus digantikan oleh
eritrosit yang baru (dimana waktunya lebih lama), sehingga tempat pembentukan
eritrosit (pada tulang-tulang pipa, hati dan limfe) harus bekerja lebih keras. Hal
tersebut menyebabkan adanya pembengkakan pada tulang (dapat menimbulkan
kerapuhan), hati, dan limfe.
Thalassemia mayor beta terjadi akibat kegagalan sintesis rantai globin beta
baik parsial ataupun total. Dan dengan demikian menyebabkan gangguan sintesis
hemoglobin dan anemia kronik. Bila pewarisan adalah autosomal resesif.kelainan
pada gen globin-β(terdapat bersama gen-τ dan-δ pada kromosom) bisanya berupa
suatu mutasi titik yang mempengaruhi ekspresi gen ataupun pengolahan oleh
messenger RNA. Telah diketahui beragam bentuk mutasi dan keragaman ini
menjadi penyebab atas luasnya variasi derajat klinis kondisi ini3
2. Pemeriksaan Fisik
· Pucat
· Facies Cooley pada anak yang lebih besar
· Gangguan pertumbuhan
· Ikterik ringan
· Hepatosplenomegali tanpa limfadenopati
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pada Talasemia mayor terdapat tanda-tanda berikut pada pemeriksaan
laboratoriumnya ;
Darah tepi :
- hipokrom mikrositer
- anisositosis
- poikilositosis
- sel target
- retikulosit meninggi
- sel normoblas
- nilai MCV, MCH, dan MCHC menurun
4. Pemeriksaan radiologi
Dukungan imaging seperti foto polos, Ultrasonografi,Ct-Scan, MRI
memegang peranan dalam mendapatkan diagnosis yang akurat. Respon skeletal
terhadap proliferasi sumsum tulang memberi berbagai gambaran radiografi pada
tulang, seperti pelebaran medulla, penipisan korteks tulang serta resorbsi tulang
mengakibatkan hilangnya densitas tulang secara keseluruhan. Dapat pula terlihat
area lusen sebagai akibat dari proliferasi fokal sumsum tulang yang kadang
ditandai area kasar tapi sedikit mengandung trabekula.
a. Pemeriksaan foto polos
Pada tulang-tulang pendek tangan dan kaki terbentuk trabekulasi kasar, tulang
menjadi berbetuk pipa serta tampak adanya abnormalitas kistik. Pelebaran kavitas
medull pada metacarpal, metatarsal dan phalanges memberi gambaran bentuk
rectangular dengan konkavitas normal menghilang. Pada tulang panjang dan
ekstremitas memperlihatkan korteks yang menipis dan dilatasi kavitas medulla
sehingga mengakibatkan tulang-tulang tersebut sangat rapuh dan mudah
mengalami fraktur patologik. Pada kranium ditandai dengan pelebaran ruang
diploe dan garis-garis vertikal trabekula akan memberi gambaran “hair on end”.
Abnormalitas gambaran radiologik lainnya pada kranium yaitu sinus paranasalis
tampak tidak berekmbang sempurna, terutama sinus maksilaris. Hal ini
disebabkan karena penebalan dari tulang sinus akibat hyperplasia yang akan
memberi gambaran “thalassemia facies” dengan maloklusi. Korpus vertebra
mengalami deminerlisasi yang ditandai dengan trabekulasi yang kasar
disekelilingnya. Pada stadium lanjut, tepi superior dan inferior corpus vertebra
berbentuk bikonkaf atau dapat terjadi fraktur kompresi. Kadang pula massa
hemopoesis ekstramedulla tampak pada mediastinum memberi gambaran
bayangan jaringan lunak di antara kosta depan dan belakang pada posisi
posteroanterior. Jantung tampak pula mengalami pembesaran. Pada kosta tampak
bayangan densitas radiopak didalam kosta (a rib within a rib appearance).
Foto Polos Kepala posisi anteroposterior dan lateral :
Sonografi transabdominal :
a. CT - Scan
Modalitas ini dapat memperlihatkan kandungan besi yang berlebihan
(hemosiderosis) pada penderita thalassemia dengan mendeteksi peningkatan
densitas hepar.Juga dapat memperlihatkan peningkatan densitas lien, pankeas,
glandula adrenal serta kelenjar getah bening.
b. MRI
Dapat mengevaluasi deposit besi di dalam hepar dan organ lain serta
perubahan anatominya akibat hemopoesis ekstramedula.2
c. Hb H Disease
Gangguan pada 3 rantai globin alfa. Penderita dapat bervariasi
mulai tidak ada gejala sama sekali, hingga anemia yang berat yang
disertai dengan perbesaran limpa.
2. Thalasemia Beta
Thalasemia beta terjadi jika terdapat mutasi pada satu atau dua
rantai globin
beta yang ada. Thalasemia beta terdiri dari: 1,2
a. Beta Thalasemia Trait.
Thalasemia jenis ini memiliki satu gen normal dan satu gen yang
bermutasi.
Penderita mengalami anemia ringan yang ditandai dengan sel darah merah
yang mengecil (mikrositer).
b. Thalasemia Intermedia.
Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi tetapi masih bisa produksi sedikit
rantai beta globin. Penderita mengalami anemia yang derajatnya
tergantung dari derajat mutasi gen yang terjadi.
c. Thalasemia Mayor.
Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi sehingga tidak dapat
memproduksi rantai beta globin. Gejala muncul pada bayi ketika berumur
3 bulan berupa anemia yang berat. Penderita thalasemia mayor tidak dapat
membentuk hemoglobin yang cukup sehingga hampir tidak ada oksigen
yang dapat disalurkan ke seluruh tubuh, yang lama kelamaan akan
menyebabkan kekurangan O2, gagal jantung kongestif, maupun kematian.
Penderita thalasemia mayor memerlukan transfusi darah yang rutin dan
perawatan medis demi kelangsungan hidupnya.
Tranfusi darah
Pemberian tranfusi darah ditujukan untuk mempertahankan dan
memperpanjang umur atau masa hidup pasien dengan cara mengatasi
komplikasi anemia, memberi kesempatan pada anak untuk proses tumbuh
kembang, memperpanjang umur pasien. Terapi tranfusi darah dimulai pada
usia dini ketika ia mulai menunjukkan gejala simtomatik. Transfusi darah
dilakukan melalui pembuluh vena dan memberikan sel darah merah
dengan hemoglobin normal. Untuk mempertahankan keadaan tersebut,
transfusi darah harus dilakukan secara rutin karena dalam waktu 120 hari
sel darah merah akan mati. Khusus untuk penderita beta thalassemia
intermedia, transfuse darah hanya dilakukan sesekali saja, tidak secara
rutin. Sedangkan untuk beta thalssemia mayor (Cooley’s Anemia) harus
dilakukan secara teratur. 3
Tranfusi darah diberikan bila Hb anak < 7 gr/dl dyang diperiksa 2x
berturut dengan jarak 2 mingg dan bila kadar Hb > 7 gr/dl tetapi disertai
gejala klinis seperti Facies Cooley, gangguan tumbuh kembang, fraktur
tulang curiga adanya hemopoisis ekstrameduler. Pada penanganan
selanjutnya, transfusi darah diberikan Hb ≤8 gr/dl sampai kadar Hb 11-12
gr/dl. Darah diberikan dalam bentuk PRC, 3 ml/kgBB untuk setiap
kenaikan Hb 1 g/dL. 2,3
Kelasi Besi
Pasien thalasemia dengan terapi tranfusi biasanya meninggal bukan
karena penyakitnya tapi karena komplikasi dari tranfusi darah tersebut.
Komplikasi tersebut adalah penumpukan besi diberbagai organ.
Desferoxamine diberikan setelah kadar feritin serum sudah mencapai
1000 mg/L atau saturasi transferin sudah mencapai 50 %, atau sekitar
setelah 10 -20 kali transfusi. Pemberian dilakukan secara subkutan melalui
pompa infus dalam waktu 8-12 jam dengan dosis 25-35 mg/kg BB/hari,
minimal selama 5 hari berturut-turut setiap selesai transfusi darah. Dosis
desferoxamine tidak boleh melebihi 50 mg/kg/hari. Evaluasi teratur
terhadap toksisitas desferoxamin direkomendasikan pada semua pasien
yang mendapat terapi ini.
Splenektomi
Indikasi :
1. Ghom, AG. Infections of Oral Cavity. Textbook of Oral Medicine, 2nd ed.
New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers. 2010. Hal.484-486.
2. Priantoro D, HA Sjakti. Leukemia Akut. Dalam: Tanto C, F Liwanag, S
Hanifati, EA Pradipta, penyunting. Kapita Selekta Kedokteran: essentials
of medicine edisi IV. Jakarta: Media Aesculapicus. 2014: hal. 55-57.