Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN PENYAKIT CHOLELITIASIS

OLEH

THERESIA MARTHA HOSANA

524 02819

PRODI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MARANATHA KUPANG

2020

5
LAPORAN PENDAHULUAN KHOLELITIASIS

A. Definisi

Kolelitiasis atau koledokolitiasis merupakan adanya batu di kandung empedu, atau


pada saluran kandung empedu yang pada umunya komposisi utamanya adalah kolesterol
(Williams, 2003 dalam NANDA 2013).

Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu di golongkan


atas 3 golongan:

1. Batu kolesterol
Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari 70% kolesterol
2. Batu kalsium bilirubinat (pigmen coklat)
Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah di hancurkan dan mengandung kalsium
– bilirubinat sebagai componen utama.
3. Batu pigmen hitam
Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti bubuk dan kaya akan
sisa zat hitam yang tak terekstraksi (Williams, 2003 dalam NANDA 2013).

B. Etiologi
Penyebab pasti dari Kolelitiasis atau koledokolitiasis atau batun empedu belum
diketahui. Satu teori mengatakan bahwa kolesterol dapat menyebabkan super saturasi
empedu di kandung empedu. Setelah beberapa lama empedu yang telah mengalami super
saturasi menjadi mengkristal dan memulai membentuk batu. Tipe lain batu empedu
adalah batu pigmen. Batu pigmen tersusun oleh kalsium bilirubin, yang terjadi ketika
bilirubin bebas berkombinasi dengan kalsium (Williams, 2003 dalam NANDA 2013).

6
C. PATHWAY

Proses degenerasi penyakit Penurunan fungsi hati Gangguan metabolisme


hati

Pengendapan kolestrol Peradangan dalam, Sintesis kolestrol


sekresi kolestrol kantong
empedu
Batu empedu

Menyumbat aliran getah


pankreas

Distensi kandung empedu Aliran balik getah


empedu duktus
Bag. Fundus menyentuh bag kolekditus ke pancreas Risiko infeksi
abdomen kartilago
Iritasi lumen Port de entrée pasca bedah
Merangsang ujung saraf eferen
simpatis inflamasi Interfensi pembedahan

Hasilkan substansi p
Termostrat hipotalamus Enzyme SGOT dan AGPT

Serabut saraf eferen


Peningkatan suhu bersifat iritasi disaluran
hipotalamus
cernah

hipertermi
Nyeri hebat pada kuadran atas Merangsang nervus vagal
dan nyeri tekan daerah
epigastrium
Permeabilitas kapiler Menekan s. parasimpatis

Cairan shif ke peritonium Penurunan peristaltik


Nyeri akut

Risiko syok kekurangan volume Makanan bertahan di


cairan lambung

Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari Rasa mual, muntal
kebutuhan tubuh.

7
D. Manifestasi Klinis
1) Sebagian bersifat asimtomatik
2) Nyeri tekan kuadran kanan atas atau midepigastrik samar yang menjalar ke punggung
atau region bahu kanan
3) Sebagian pasien rasa nyeri bukan bersifat kolik melainkan persisten
4) Mual dan muntah
5) Demam
6) Ikterus obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam duodenum akan menimbulkan
gejala yang khas : yaitu getah empedu yang tidak lagi di bawa ke dalam duodenum
akan diserap oleh darah dan penyerapan empedu ini membuat kulit dan membran
mukosa berwarna kuning. Keadaan ini sering disertai dengan gejala gatal-gatal pada
kulit.
7) Perubahan warna kulit dan feses. Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat
urine berwarna sangat gelap. Feses yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu
akan tampak kelabu dan biasanya pekat yang disebut “Clay-colored”.
8) Defisiensi vitamin obstruksi aliran empedu juga akan mengganggu absorbsi vitamin
A, D, E, K yang larut lemak.Karena itu pasien dapat memperlihatkan defisiensi
vitamin-vitamin ini jika obstruksi atau sumbatan bilier berlangsung lama. Penurunan
jumlah vitamin K dapat mengganggu pembekuan darah yang normal.
9) Regurgitasi gas: flatus dan sendawa. (NANDA 2013)

E. Pemeriksaan diagnostik
1. Pemeriksaan laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatis umumnya tidak menunjukkan kelainan pada
pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis.
Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum
akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi
mungkin disebabkan oleh batu didalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali
serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang setiap kali
terjadi serangan akut. Enzim hati AST (SGOT), ALT (SGPT), LDH agak meningkat.
Kadar protrombin menurun bila obstruksi aliran empedu dalam usus menurunkan
absorbs vitamin K.

8
2. Pemeriksaan radiologi
3. Foto polos abdomen.
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya
sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung
empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat
dengan foto polos.  Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar
atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di
kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar di fleksura
hepatika. Walaupun teknik ini murah, tetapi jarang dilakukan pada kolik bilier sebab
nilai diagnostiknya rendah.
F. Penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan Non-Pembedahan
Sasaran utama terapi medikal adalah untuk mengurangi insiden serangan akut nyeri
kandung empedu dan kolesistitis dengan penatalaksanaan suportif dan diit, dan jika
memungkinkan, untuk menyingkirkan penyebab dengan farmakoterapi, prosedur-
prosedur endoskopi, atau intervensi pembedahan.
a. Penatalaksanaan Supotif dan Diet
Sekitar 80% pasien dengan inflamasi akut kandung empedu sembuh dengan
istirahat, cairan infus, pengisapan nasogastric, analgesik dan antibiotik.
Intervensi bedah harus ditunda sampai gejala akut mereda dan evaluasi yang
lengkap dapat dilaksanakan, kecuali jika kondisi pasien semakin memburuk.

b. Farmakoterapi
 Asam Kenodeoksikolat. Dosisnya 12-15 mg/kg/hari pada orang yang tidak
mengalami kegemukan. Kegemukan jelas telah meningkatkan kolesterol bilier,
sehingga diperlukan dosis 18-20 mg/kg/hari. Dosis harus ditingkatkan bertahap
yang dimulai dari 500 mg/hari. Efek samping pada pemberian asam
kenodeoksikolat adalah diare.
Asam ursodeoksikolat. Berasal dari beruang jepang berleher putih. Doasisnya
8-10 mg/kg/hari, dengan lebih banyak diperlikan jika pasien mengalami
kegemukan. Asam ursodeoksikolat melarutkan sekitar 30% batu radiolusen
secara lengkap dan lebih cepat daripada menggunakan asam kenodeoksikolat.
Efek sampingnya tidak ada. Kemungkinan kombinasi asam ursodeoksikolat 6,5

9
mg/kg/hari dangan 7,5 mg/kg/hari asam kenodeoksikolat lebih murah dan sama
efektif.
Asam ursodeoksikolat (urdafalk) dan kenodeoksikolat (chenodiol, chenofalk)
telah digunakan untuk mmelarutkan batu empedu radiolusen yang berukuran
kecil dan terutama tersusun dari kolesterol. Asam ursodeoksikolat dibandingkan
dengan kenodeoksikolat jarang menimbulkan efek samping dan dapat diberikan
dengan dosis yang lebih rendah untuk mendapatkan efek yang sama. Mekanisme
kerjanya adalah menhambat sintesis kolesterol dalam hati dan sekresinya
sehingga terjadi desaturasi getah empedu. Batu yang sudah ada dapat dikurangi
besarnya, batu yang kecil dilarutkan dan batu yang baru dicegah
pembentukannya. Padabanyak pasien diperlukan pengobatan selama 6 hingga 12
bulan untuk melarutkan batu empedu, dan selama terapi keadaan pasien dipantau.
Dosis yang efektif bergantung pada berat badan pasien. Terapi ini dilakukan pada
pasien yang menolak terapi pembedahan atau dianggap terlalu beresiko untuk
menjalani pembedahan.
Pembentukan kembali batu empedu telah dilaporkan pada 20-50% pasien
sesudah terapi dihentikan, dengan demikian pemberian obat ini  dengan dosis
rendah dapat dilanjutkan untuk mencegah kekambuhan tersebut. Jika gejala akut
kolesistisis berlanjut atau timbul kembali, intervensi bedah atau litotropis
merupakan indikasi.

c. Pengangkatan batu tanpa pembedahan


Beberapa metode telah digunakan untuk melarutkan batu empedu dengan
menginfuskan suatu bahan pelarut (monooktanoin atau metil tertier butyl eter
[MTBE]) ke dalam kandung empedu. Pelarut tersebut dapat diinfuskan melalui
selang atau kateter yang dipasang perkutan langsung ke dalam kandung empedu,
atau melalui selang atau drain yang dimasukkan melaui T-tube untuk melarutkan
batu yang belum dikeluarkan pada saat pembedahan, atau bisa juga melalui
endoskop ERCP, atau kateter bilier transnasal.
Extracorporeal Shock-Wave Lithotripsy (ESWL). Prosedur noninvasif ini
menggunakan gelombang kejut berulang (repeated shock waves) yang diarahkan
pada batu empedu di dalam kandung empedu atau duktus koledokus dengan
maksud untuk memecah batu tersebut menjadi sejumlah fragmen. Gelombang
kejut dihasilkan dalam media cairan oleh percikan listrik, yaitu piezoelektrik, atau

10
muatan elektromagnetik. Energi ini disalurkan ke dalam tubuh lewat rendaman
air atau kantong yang berisi cairan. Gelombang kejut yang dkonvergensikan
tersebut dialirkan kepada batu empedu yang akan dipecah. Setelah batu dipecah
secara bertahap, pecahannya akan bergerak spontan dari kandung empedu atau
duktus koledokus dan dikeluatkan melalui endoscop atau dilarutkan dengan
pelarut asam empedu yang diberikan per oral.
Litotripsi Intracorporeal. Batu yang ada dalam kandung empedu atau duktus
koledokus dapat dipecah dengan menggunakan gelombang ultrasound, laser
berpulsa atau litotripsi hidrolik yang dipasang pada endoscop, dan diarahkan
langsung pada batu. Kemudian fragmen batu atau debris dikeluarkan dengan cara
irigasi dan aspirasi.

2. Penatalaksanaan Pembedahan
a. Koleksistektomi Terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien dengan batu
empedu simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna, cidera duktus biliaris,
terjadi dalam kurang dari 0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk
prosedur ini telah terlihat dalam penelitian baru-baru ini, yaitu kurang dari 0,5%.
Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren,
diikuti oleh kolesistisi akut. Praktik pada saat ini mencakup kolesistektomi segera
dalam pasien dengan kolesistisi akut dalam masa perawatan di rumah sakit yang
sama. Jika tidak ada bukti kemajuan setelah 24 jam penanganan medis, atau jika
ada tanda-tanda penurunan klinis, maka kolesistektomi darurat harus
dipertimbangkan.

b. Mini Kolesistektomi
Merupakan prosedur bedah untuk mengeluarkan kandung empedu lewat luka
insisi selebar 4cm. Jika diperlukan, luka insisi dapat diperlebar untuk
mengeluarkan batu kandung empedu yang berukuran lebih besar. Drain mungkin
dapat atau tidak digunakan pada mini kolasistektomi. Biaya yang ringan dan
waktu rawat yang singkat merupakan salah satu alasan untuk meneruskan bentuk
penanganan ini.

c. Kolesistektomi laparoskopi

11
Indikasi awal hanya pasien dengan batu empedu simtomatik tanpa adanya
kolesistisis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah
mulai untuk melakukan prosedur ini dalam pasien dengan kolesistisis akut dan
dalam pasien dengan batu duktus koledokus. Keuntungan secara toritis dari
prosedur ini dibandingkan dengan konvensional, kolesistektomi mengurangi
perawatan di rumah sakit serta biaaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat bisa
kembali bekerja, nyeri menurun, dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum
terpecahkan adalah keamanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden
komplikasi mayor, seperti misalnya cidera duktus biliaris, yang mungkin terjadi
lebih sering selama kolisistektomi laparoskopik. Frekuensi dari cidera mungkin
merupakan ukuran pengalaman ahli bedah dan merupakan manifestasi dari kurva
pelatihan yang berkaitan dengan modalitas baru.

d. Bedah Kolesistotomi
Dikerjakan bila kondisi pasien tidak memungkinkan untuk dilakukan operasi
yang lebih luas, atau bila reaksi inflamasi yang akut membuat system bilier tidak
jelas. Kndung empedu dibuka melalui pembedahan, batu serta getah empedu atau
cairan drainase yang purulen dikeluarkan, dan kateter untuk drainase diikat
dengan jahitan kantung tembakau (purse-string-suture). Kateter itu dihubungkan
dengan sistem drainase untuk mencegah kebocoran getah empedu disekitar
kateter atau perembesan getah empedu ke dalam rongga peritoneal. Setelah
sembuh dari serangan akut, pasien dapat kembali lagi untuk menjalani
kolesistektomi. Maeskipu resikonya lebih rendah, bedah kolesistotomi memiliki
angka moertalitas yang tinggi (yang dilaporkan sampai setinggi 20-30%) yang
disebabkan oleh proses penyakit pasien yang mendasarinya.

e. Kolesistotomi Perkutan
Kolesistotomi perkutan telah dilakukan dalam penanganan dan penegakan
diagnosis kolesistisis akut pada pasien-pasien yang beresiko jika harus menjalani
tindakan pembedahan atau anastesi umum. Pasie-pasien ini mencakup para
penderita sepsis atau gagal jantung yang berat dan pasien-pasien gagal ginjal,
paru atau hati. Dibawah pengaruh anastesi local sebilah jarum yang halus
ditusukkan lewat dinding abdomen dan tepi hati ke dalam kandung empedu
dengan dipandu oleh USG atau pemindai CT. Getah empedu diaspirasi untuk
memastikan bahwa penempatan jarum telah adekuat, dan kemudian sebuah

12
kateter dimasukkan ke dalam kandung empedu tersebut untuk dekompresasi
saluran empedu. Dengan prosedur ini hampir selalu dilaporkan bahwa rasa nyeri
dan gejala serta tanda-tanda dari sepsis dan kolesistisi berkurang atau menghilang
dengan segera.

f. Koledokostomi
Dalam koledokostomi, insisi dilakukan pada duktus koledokus untuk
mengeluarkan batu. Setelah batu dikeluarkan, biasanya dipasang sebuah kateter
ke dalam duktus tersebut untuk drainase getah empedu sampai edema mereda.
Kateter ini dihubungkan dengan selang drainase gravitas. Kandung empedu
biasanya juga mngandung batu, dan umumnya koledokostomi dilakukan
bersama-sama kolesistektomi.

G. Komplikasi
Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan
mengakibatkan/menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada
dalam kandung empedu terdorong dna dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat
menetap ataupun terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus sistikus secara menetap
makan mungkin dapat terjadi mukokel, bila terjadi infeksi maka mukokel dapat menjadi
suatu empiema, biasanya kandung empedu dikelilingi dan ditutupi oleh alat-alat perut
(kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu fistel kolesitoduodenal.
Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat terjadinya kolesistitis akut yang dapat
sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat
sekitarnya) dan dapat membentuk suatu fistel kolesitoduodenal ataupun dapat terjadi
perforasi kandung empedu yang berakibat terjadi peritonitis generalisata.
Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat kontraksi
dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus koledokus kemudian
menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang menyumbat di
duktus koledokus juga berakibat terjadinya ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis,
dan pankretitis.
Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya fistel
kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat menyumbat pada bagian
tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi. Berikut
beberapa penjelasan tentang komplikasi kolelitiasis:

13
1. Hidrops
Hidrops biasanya disebabkan oleh stenosis atau obstruksi duktus sistikus
sehingga tidak dapat diisi lagi  oleh empedu. Dalam keadaan ini tidak terdapat
peradangan akut dan sindrom yang berkaitan dengannya, tetapi ada bukti
peradangan kronis dengan adanya mukosa gundul. Kandung empedu berdinding
tebal dan terdistensi oleh materi steril mukoid. Sebagian besar pasien mengeluh efek
massa dalam kuadran kanan atas. Hidrops kandung empedu dapat menyebabkan
kolesistisi akut.

2. Kolesistitis akut
Hampir semua kolesistisi akut terjadi akibat sumbatan duktus sistikus oleh batu
yang terjebak dalam kantung empedu. Trauma mukosa kantung empedu oleh batu
dapat menyebabkan pelepasan fosfolipase yang mengubah lesitin dalam empedu
menjadi lisolesitin yang bersifat toksik yang memperberat proses peradangan. Pada
awal penyakit, peran bakteri sangat sedikit, tetapi kemudian dapat terjadi supurasi.
Komplikasi kolesistisis akut adalah empiema, nekrosis, dan perforasi.

a. Empiema
Empiema adalah lanjutan dari kolisistisis akut. Pada empiema atau kolesistisis
supuratif, kandung empedu berisi nanah. Penderita menjadi semakin toksik,
demam tinggi, menggigil dan leukositosis.

b. Nekrosis dan Perforasi


Kolesistisis akut bisa berlanjut ke nekrosis dinding kantung empedu dan
perforasi. Batu empedu yang tertahan bias menggoresi dinding nekrotik, sinus
Roktiansky-Aschoff terinfeksi yang berdilatasi bias memberika titik lemah bagi
ruptura. Biasanya rupture terjadi pada fundus, yang merupakan bagian vesica
biliaris yang paling kurang baik vaskularisasinya. Ruptur ke dalam cavitas
peritonialis bebas jarang terjadi dan lebih bias memungkinkan terjadinya
perlekatan dengan organ-organ yang berdekatan dengan pembentukan abses
local. Ruptura ke dalam organ berdekatan menyebabkan fistula saluran empedu.

c. Peritonitis
Ruptura bebas empedu ke dalam cvitas peritonialis menyebabkan syok parah.
Karena efek iritan garam empedu, peritoneum mengalami peradangan.

14
3. Kolesistitis kronis
a. Fistel bilioentrik
Apabila kandung empedu yang mengandung batu besar menempel pada
dinding organ di dekatnya seperti lambung, duodenum, atau kolon transversum,
dapat terjadi nekrosis dinding kedua organ tersebut karena tekanan, sehingga
terjadi perforasi ke dalam lumen saluran cerna. Selanjutnya terjadi fitsel antara
kandung empedu dan organ-organ tersebut.

4. Kolangitis
Kolangitis dapat berkembang bila ada obstruksi duktus biliaris dan infeksi.
Penyebab utama dari infeksi ini adalah organisme gram negatif, dengan 54%
disebebkan oleh sepsis Klebesiella, dan 39% oleh Escherchia, serta 25% oleh
organisme Enterokokal dan Bacteroides. Empedu yang terkena infeksi akan
berwarna coklat tua dan gelap. Duktus koledokus menebal dan terjadi dilatasi
dengan diskuamasi atau mukosa yang ulseratif, terutama di daearah ampula vetri.

5. Pankreatitis
Radang pankreas akibat autodigesti oleh enzim yang keluar dari saluran pankreas.
Ini disebebkan karena batu yang berada di dalam duktus koledokus bergerak
menutupi ampula vetri.

15
Rencana Asuhan Keperawatan
Proses Keperawatan adalah pendekatan penyelesaian masalah yang sistematik untuk
merencanakan dan memberikan asuhan keperawatan yang melalui lima fase berikut yaitu
pengkajian, identifikasi masalah, perencanaan, implementasi, evaluasi.

1. Pengkajian
Data yang dikumpulkan meliputi :

a. Identitas
1) Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku/bangsa, agama, pendidikan,
pekerjaan, tanggal masuk, tanggal pengkajian, nomor register, diagnosa medik,
alamat, semua data mengenai identitaas klien tersebut untuk menentukan
tindakan selanjutnya.

2) Identitas penanggung jawab


Identitas penanggung jawab ini sangat perlu untuk memudahkan dan jadi
penanggung jawab klien selama perawatan, data yang terkumpul meliputi
nama, umur, pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan klien dan alamat.

b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama

16
Merupakan keluhan yang paling utama yang dirasakan oleh klien saat
pengkajian. Biasanya keluhan utama yang klien rasakan adalah nyeri abdomen
pada kuadran kanan atas.

2) Riwayat kesehatan sekarang


Merupakan pengembangan diri dari keluhan utama melalui metode PQRST,
paliatif atau provokatif (P) yaitu fokus utama keluhan klien, quality atau
kualitas (Q) yaitu bagaimana nyeri/gatal dirasakan oleh klien, regional (R)
yaitu nyeri/gatal menjalar kemana, Safety (S) yaitu posisi yang bagaimana
yang dapat mengurangi nyeri/gatal atau klien merasa nyaman dan Time (T)
yaitu sejak kapan klien merasakan nyeri/gatal tersebut.
(P): Nyeri setelah makan, terutama makanan yang berlemak
(Q): Nyeri dirasakan hebat
(R): Nyeri dirasakan pada abdomen kuadran kanan atas dan menjalar ke
punggung atau bahu kanan.
(S): Nyeri terasa saat melakukan inspirasi
(T): Nyeri dirasakan sejak dua hari yang lalu

3) Riwayat kesehatan yang lalu


Perlu dikaji apakah klien pernah menderita penyakit sama atau pernah di
riwayat sebelumnya.

4) Riwayat kesehatan keluarga


Mengkaji ada atau tidaknya keluarga klien pernah menderita penyakit
kolelitiasis.

c. Pemeriksaan fisik
Pendekatan dengan metode 6B:

1) B1-Breath
Pernapasan tertekan ditandai dengan napas pendek dan dangkal, terjadi
peningkatan frekuensi pernapasan sebagai kompensasi.

2) B2-Blood
3) Takikardi dan berkeringat karena peningkatan suhu akibat respon inflamasi.
4) B3-Brain
-

17
5) B4-Bladder
Urine pekat dan berwarna gelap, akibat dari pigmen empedu.

6) B5-Bowel
7) Feses berwarna kelabu “clay colored” akibat obstruksi duktus biliaris
sehingga pigmen empedu tidak dibuang melalui feses.
8) B6-Bone
-

2. Diagnosa keperawatan
a) Hipertermi
b) Nyeri akut
c) Risiko infeksi

3. Intervensi
DX I : hipertermi
NOC : Termoregulasi

Skala Outcome Keseluruhan :

No Indikator Sangat banyak cukup tidak


sedikit
terganggu terganggu terganggu terganggu
terganggu

Berkeringat saat 1 2 3 4 5
1.
panas

2. Tingkat pernapasan 1 2 3 4 5

18
3. Melaporkan 1 2 3 4 5
kenyamanan suhu
Berat Cukup Sedang Ringan Tidak ada
berat
1. Peningkatan suhu 1 2 3 4 5
kulit
2. Penurunan suhu 1 2 3 4 5
kulit
3. Hipertermia 1 2 3 4 5
4. Hipotermia 1 2 3 4 5
5. Sakit kepala 1 2 3 4 5
6. Sakit otot 1 2 3 4 5
7. Sifat lekas marah 1 2 3 4 5
8. Perubahan warna 1 2 3 4 5
kulit
9. Dehidrasi 1 2 3 4 5

NIC : Perawatan Demam

Defenisi : Manajemen gejala dan kondisi terkait yang berhubungan dengan peningkatan suhu
tubuh dimediasi oleh pirogen endogen

Aktivitas- aktivitas:

1) Pantau suhu dan tanda vital lainnya


2) Monitor warna kulit dan suhu
3) Beri obat atau cairan intra vena ( misalnya antipiretik, agen anti bakteri, dan agen anti
menggigil)
4) Berikan oksigen yang sesuai
5) Lembabkan bibir dan mukosa hidung yang kering

DX II : nyeri akut

NOC : kepuasan klien : manajemen nyeri (3016)

Defenisi : tingkat persepsi positif terhadap perawatan untuk mengurangi rasa sakit

19
Tidak Agak Sepenuhnya
Skala outcome Cukup puas Sangat puas
puasa puas puas
keseluruhan
1 2 3 4 5
Nyeri terkontrol 1 2 3 4 5
Tingkat nyeri 1 2 3 4 5
dipantau secara
reguler
Efek samping obat 1 2 3 4 5
terpantau
Mengambil 1 2 3 4 5
tindakan untuk
mengurangu nyeri
Mengambil 1 2 3 4 5
tindakan untuk
memberikan
kenyamanan
Informasi 1 2 3 4 5
diberikan untuk
pengelolaan obat-
obatan
Memberikan 1 2 3 4 5
pilihan untuk
manajemen nyeri
Manajemen nyeri 1 2 3 4 5
sesuai dengan
kenyakinan budaya
Memberikan 1 2 3 4 5
informasi tentang
pembatasan
aktifitas
Masalah keamanan 1 2 3 4 5
tengani dengan
penggunaan obat
nyeri

NIC : manajemen nyeri (1400)

20
Defenisi : pengurangan atau reduksi nyeri sampai pada tingkat kenyamanan yang dapat
diterima oleh pasien
Aktivitas-aktivitas :
1. Lakukan pengkajian nyeri komperhensif yang meliputi lokasi, karakteristik, durasi ,
frekuensi kualitas intensitas, dan faktor pencetus.
2. Observasi adanya petunjuk nonferbal mengenai ketidaknyamanan terutama pada
mereka yang tidak dapat berkomunikasi secara efektif.
3. Pastikan perawatan analgesik bagi pasien dilakukan dengan pemantuan yang ketat.
4. Gunakan strategi komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri dan
sampaikan penerimaan pasien terhadap nyeri gali pengetahuan dan kepercayaan
pasien terhadap nyeri.
5. Gali bersama pasien faktor-faktor yang dapat menurunkan atau memperberat nyeri.
6. Tentukan akibat dari pengalaman nyeri terhadapt kualitas hidu pasien (misalnya tidur,
napsu makan, dll)
7. Evaluasi pengalaman nyeri di masa lalu yang meliputi riwayat nyeri kronik individu
atau keluarga atau nyeri yang menyebabkan ketidakmampuan dengan tepat.
8. Berikan informasi mengenai nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan
dirasakan dan atisipasi akibat dari ketidaknyamanan akibat prosedur.
9. Gunakan tindakan pengontrol nyeri sebelum nyeri bertambah berat
10. Dukung istirahat/tidur yang adekuat unntuk membantu penurunan nyeri.
11. Pilih dan implementasikan tindakan yang beragam (misalnya, farmakologi,
nonfarmakologi, interpersonal) untuk memfasilitasi penurunan nyeri sesuai dengan
kebutuhan.

DX III: Risiko infeksi

NOC : pemulihan pembedahan : segera setelah operasi

Defenisi : Tingkat pencapaian fungsi fisiologis dasar individu setelah pembedahan mayor
yang membutuhkan anestesi
SKALA TARGET OUTCOME : Dipertahankan pada_____ Ditingkatkan
ke_____

Deviasi Deviasi Deviasi Deviasi Tidak ada


berat yang cukup sedang ringan dari deviasi dari
dari besar dari dari kisaran kisaran

21
kisaran kisaran kisaran normal normal
normal normal normal
SKALA OUTCOME 1 2 3 4 5
KESELURUHAN
Indikator
kepatenan Jalan Nafas 1 2 3 4 5
Tekanan darah sistolik 1 2 3 4 5
Tekanan darah diastolic 1 2 3 4 5
Tekanan Nadi 1 2 3 4 5
Suhu tubuh 1 2 3 4 5
Kedalaman Inspirasi 1 2 3 4 5
Irama pernafasan 1 2 3 4 5
Tingkat kesadaran 1 2 3 4 5
Urin Output 1 2 3 4 5
Berat Cukup berat Sedang Ringan Tidak ada
Perdarahan 1 2 3 4 5
Nyeri 1 2 3 4 5
Cairan merembes pada 1 2 3 4 5
balutan
Pembengkakan sisi 1 2 3 4 5
luka
Mual 1 2 3 4 5
Muntah 1 2 3 4 5

NIC : perawatan luka

Definisi : Pencegahan komplikasi luka dan peningkatan penyembuhan luka


Aktifitas-aktifitas :
 Angkat balutan dan plester perekat
 Monitor karakteristik luka, termasuk drainase, warna, ukuran, dan bau
 Bersihkan dengan normal saline atau pembersih yang tidak beracun, dengan tepat
 Berikan balutan yang sesuai dengan jenis luka
 Pertahankan teknik balutan steril ketika melakukan perawatan luka, dengan tepat
 Ganti balutan sesuai dengan jumlah eksudat dan drainase
 Periksa luka setiap kali perubahan balutan
 Bandingkan dan catat setiap perubahan luka

22
DAFTAR PUSTAKA
Herdman H, Kamitsuru S. 2018. NANDA International, Inc. Nursing Diagnosis, Definitions
and C lassification. 2018-2020. New York: Thieme Publisher New York;
Butcher HK, Bulechek GM, Dochterman JMM, Wagner C. 2013. Nursing Intervention
Classification (NIC). 6th ed. Missour: Elseiver Mosby
Sue Moorhead, Johnson M, Maas M, Swanson E. 2013. Nursing Outcomes Classification
(NOC) :Measurement of Health Outcomes. 5th ed. Missouri: Elsevier Saunder
Amin H.N & Kusuma Hardi.3013. Aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan diagnosa
medis dan NANDA NIC-NOC. Yogyakarta. Mediaaction.

23
24

Anda mungkin juga menyukai