Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH HUKUM ISLAM

Peraturan Daerah Syariah di Provinsi Kalimantan Selatan

DOSEN : SUSI FITRIA DEWI, S. sos, M.si

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 13

NOVERDI ARDINATA (18052052)

SENCIA NURKHAINI (18052025)

PRODI PPKn

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-
Nya kami dapat menyelesaikan makalah Perda Syariah di Provinsi Kalimantan Selatan ini
dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Kami juga berterima kasih pada Ibuk
Susi Fitria Dewi, S. sos, M.si selaku Dosen mata kuliah Hukum Islam yang telah memberikan
tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita mengenai Perda Syariah di Provinsi Kalimantan Selatan. Kami juga
menyadari sepenuhnya bahwa didalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu kami berharap adanya kritik, saran, dan usulan demi perbaikan
makalah yang telah kami buat dikesempatan-kesempatan berikutnya, mengingat tidak ada
sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya.
Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan
dihati.

Padang, Mei 2019

Tim Penyusun
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ..............................................................................................................    i

Daftar Isi ........................................................................................................................    ii

BAB I     Pendahuluan ..................................................................................................    1
1.1  Latar Belakang .........................................................................................    1

1.2  Rumusan Masalah ....................................................................................    2

1.3  Tujuan Penulisan ......................................................................................    2

BAB II    Pembahasan ....................................................................................................    3

2.1 Analisis Pembahasan................................................................................ 3

BAB III   Penutup .........................................................................................................   10

3.1 Kesimpulan ..............................................................................................   10
3.2 Saran ........................................................................................................   10

Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Konsep otonomi daerah di Indonesia mengusung prinsip otonomi yang seluas-luasnya.


Tentu, hal ini harus dimaknai sebagai otonomi yang dijalankan sesuai koridor hukum yang
ada dan dengan bertanggung jawab. Terlebih dewasa ini masyarakat sering mendengar
peraturan daerah (perda) bernuansa syariat Islam yang sering disebut perda syariat. Muatan
perda ini adalah membawa semangat formalisasi syariat Islam ke dalam kehidupan
masyarakat.

Guna menyempurnakan penerapan syariat Islam dalam kehidupan, beberapa daerah


mulai membentuk perda yang mengandung unsur Islam secara kental. Perda bernuansa
syariat sendiri lahir setelah sebelumnya terbentuk beberapa undang-undang yang mengatur
hal-hal bermuatan syariat Islam, seperti peradilan agama, pengelolaan zakat, penyelenggaran
ibadah haji, hingga di tingkat yang lebih rendah contohnya Instruksi Presiden tentang
Kompilasi Hukum Islam.

Meminjam istilah Denny Indrayana, “Perdaisasi” syariat Islam ini sebenarnya mulai
menjamur setelah proses reformasi bergulir sejak tahun 1999. Rezim desentralisasi langsung
disambut berbagai daerah di Indonesia dengan membuat perda yang mengatur kehidupan
beragama dalam berbagai aspek. Contohnya adalah Perda Provinsi Kalimantan Selatan
Nomor 3 Tahun 2009 tentang Pendidikan AlQuran di Kalimantan Selatan, Perda Kabupaten
Banjar Nomor 4 Tahun 2004 tentang Khatam Al-Qur'an bagi Peserta Didik pada Pendidikan
Dasar dan Menengah.

Makalah ini dibuat untuk melengkapi tugas yang diberikan oleh Susu Fitria Dewi,
S.sos, M.si Selaku Dosen Hukum Islam. Dan juga bertujuan memberikan sedikit bahan
bacaan untuk melengkapi pengetahuan kita tentang topik yang diutarakan sebelumnya.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah :
1. Apa yang dimaksud dengan perda syariah ?
2. Bagaimana pola penyebaran perda syariah ?
3. Bagaimana pelaksanaan, tanggapan, dan hambatan perda syariah di Kalimantan
Selatan?

1.3  Tujuan Penulisan

Tujuan yang ingin dicapai dalam pembuatan makalah ini adalah :


1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan perda syariah
2. Mengetahui bagaimana pola penyebaran perda syariah
3. Mengetahui bagaimana pelaksanaan, tanggapan, dan hambatan perda syariah di
Kalimantan Selatan
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Perda Syariah

Secara umum, peraturan daerah yang bermuatan syariat atau perda syariat sering di
maknai sebagai peraturan daerah yang materinya diambil dari ketentuan-ketntuan legal
syariat islam, baik yang bersifat tekstual maupun substansi ajaranya. Tujuh kategori perda
syariah adalah sebagai berikut:

a. Peraturan daerah yang terkait dengan moralitas. Meliputi peraturan daerah tentang
larangan minuman keras, prostitusi, ataupun perjudian
b. Peraturan daerah yang terkai dengan kebijakan zakat, infak, dan shadaqah
c. Peraturan daerah yang terkait endidikan islam. Yang meliputi peraturan daerah tentang
madrasah diniyah dan baca tulis Al-Quran.
d. Peraturan derah yang terkait dengan pengembangan ekonomi islam, Yang mencakup
peraturan daerah tentang Baitul Mal wat Tamwil (BMT) dan Bank Perkreditan Rakyat
Syariah (BPRS)
e. Peraturan daerah tentang keimanan seorang muslim. Hal ini termasuk peraturan tentang
larangan kegiatan ahmadiyah atau sekte-sekte muslim yang dianggap sesat lainnya.
f. Peraturan daerah tentang busana muslim, termasuk kewajiban menggunakan
jilbab/kerudung bagi perempuan.
g. Peraturan daerah syariah lainnya adalah peraturan daerah tentang masjid agung,
pelayanan haji, dan penyambutan Ramadhan.

Jumlah peraturan daerah syariah di indonesi sekitar 422 peraturan. Dari jumlah tersebut
termasuk juga sebanyak 358 peraturan lahir dalam bentuk “peraturan daerah’ dan 64
persturan lahir dalam bentuk non-perda, yang meliputi : peraturan kepala daerah (peraturan
bupati/peraturan wali kota), istruksi kepala daerah, ataupun surat edaran kepala daerah.

No Kategori perda Jumlah Persentase


1 Moralitas 170 40
2 Zakat 62 15
3 Keimanan 59 14
4 Keuangan islam 39 9
5 Pendidikan islam 27 6
6 Busana muslim 25 6
7 Lainnya 40 10
Jumlah 422 100

2.2 Pola Penyebaran Perda Syariah

Penyebaran perda-perda syariah di Indonesia menunjukkan adanya dua pola penyebaran:


penyebaran vertikal dan horizontal. Penyebaran vertikal merujuk pada penyebaran perda
syariah dari level nasional ke level provinsi, kabupaten, dan kota. Atau sebaliknya, dari level
kabupaten dan kota, naik ke level provinsi atau nasional. Ini misalnya tampak pada pola
penyebaran perda zakat. Perda-perda zakat di Indonesia muncul setelah diundangkannya UU
No. 38/1999 tentang pengelolaan zakat. Setelah undang-undang ini muncul, berbagai macam
perda tentang zakat pun turut bermunculan di berbagai daerah di Indonesia. Data yang saya
kumpulkan menunjukkan perda zakat muncul pertama kali di Kota Cilegon pada tahun 2001,
kemudian menyebar ke lebih dari 61 wilayah pemerintah daerah di 20 provinsi pada tahun
2012.
Perda-perda zakat yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah ini pada umumnya berisi
“penyempurnaan” terhadap berbagai klausul yang dimuat dalam UU No. 38/1999. Saya
mencatat setidaknya ada tiga “penyempurnaan” content yang dibawa oleh perda-perda zakat
tersebut. Pertama, penguatan lembaga-lembaga zakat yang disponsori oleh pemerintah.
Hampir semua perda zakat mengisyaratkan dukungan pemerintah daerah dalam bentuk dana
operasional bagi Badan Amil Zakat. Klausul yang menyebutkan dukungan serupa tidak
ditemukan dalam UU No. 38/1999 tentang pengelolaan zakat. Kedua, penguatan akuntabilitas
pengelolaan zakat. Dalam UU No. 38/1999, Badan Amil Zakat diwajibkan memberikan
laporan tahunan kepada DPR atau DPRD sesuai dengan tingkatannya (Pasal 19).
Dalam perda-perda zakat, kewajiban memberikan lapran ini diperluas, tidak hanya
kepada badan legislative (DPRD), namun juga eksekutif (Bupati atau Walikota). Ketiga,
penguatan sanksi bagi pelanggar ketentuan undang-undang terkait zakat. Dalam UU No.
38/1999, sanksi bagi pelanggar ketentuan adalah kurungan tiga bulan dan atau denda
sebanyak-banyaknya tiga juta rupiah. Dalam beberapa perda zakat yang dikeluarkan
pemerintah daerah, ketentuan tentang denda diperberat hingga tiga puluh juta rupiah, seperti
tampak dalam perda zakat yang dikeluarkan oleh pemerintah Kota Cimahi (Perda No.
2/2008) dan Kabupaten Purwakarta (Perda No. 3/2007). Menariknya, berbagai
penyempurnaan yang dilakukan oleh perda-perda zakat di level kota dan kabupaten ini
kemudian diakomodasi dalam undang-undang zakat yang baru (UU No. 23/2011 tentang
Pengelolaan Zakat. Ini artinya, proses penyebaran vertical perda zakat berangkat dari level
pemerintahan di tingkat nasional ke daerah, kemudian balik lagi ke atas dari level
pemerintahan daerah ke level pemerintahan nasional.
Selain penyebaran vertikal, penyebaran perda syariah di Indonesia juga menunjukkan
pola horizontal. Artinya, perda syariah menyebar secara horizontal dari satu kabupaten atau
kota ke kabupaten atau kota lainnya. Kasus ini tampak misalnya pada penyebaran perda
tentang madrasah diniyah. Tidak seperti perda zakat, yang berangkat dari kemunculan
regulasi serupa di level nasional, perda madrasah diniyah berangkat dari ketiadaan regulasi di
tingkat nasional yang secara khusus mengatur tentang madrasah diniyah. Perda ini
dimunculkan oleh beberapa pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan kualitas
pendidikan agama Islam bagi siswa didik di wilayah bersangkutan, sekaligus memperkuat
eksistensi madrasah diniyah sebagai lembaga pendidikan agama informal di tengah
masyarakat.

2.3 Proses penerapan, tanggapan, dan hambatan perda syariah di Kalimantan Selatan
A. Proses penerapan perda syariah di Kalimantan Selatan
Fenomena munculnya Perda syariah di berbagai daerah di Indonesia satu mata rantai
dengan kemunculan otonomi daerah. Kewenangan yang besar yang diberikan kepada daerah,
baik provinsi maupun kabupaten/kota dimanfaatkan oleh sebagian daerah untuk membuat
perda dengan maksud melindung, mempertahankan dan/atau menjaga berbagai karakteristik
khas daerahnya.
Bagi daerah-daerah yang mayoritas muslim, dimana antara agama Islam dan budaya
masyarakat setempat telah berjalan berbarengan, bahkan telah menyatu selama puluhan
bahkan ratusan tahun. Daerah-daerah demikian memprkarsai beberapa perda yang bernuansa
syariah, seperti perda tentang kewajiban khatam Al-Qur’an bagi anak usia SD/MI, Perda
tentang Ramadhan, Perda tentang Jumat khusu’ dan berbagai perda lainnya. Perda-perda
demikian populer disebut sebagai perda syariat Islam.
Propinsi Kalimantan Selatan dengan jumlah penduduk sekitar 3.345.784 jiwa yang
tersebar di 13 (tigabelas) kabupaten/kota. Dimana 96% dari total penduduknya beragama
Islam. Bukan itu saja, Secara historis, Kalimantan Selatan adalah bekas wilayah kerajaan
Banjar. Kerajaan Banjar atau dikenal juga dengan nama kesultanan Banjar yang berdiri sejak
24 September 1526 sampai dengan 11 Juni 1860. Kerajaan Banjar merupakan kelanjutan dari
Kerajaan Negara Daha, beribukota di Daha (nagara) Kandangan. Kerajaan Negara Daha juga
merupakan kelanjutan dari Kerajaan Negara Dipa, beribukota di Amuntai. Baik negara Daha,
maupun negara Dipa raja-rajanyanya memeluk agama Hindu.
Perpindahan raja Banjar dari agama Islam ke Hindu berawal dari adanya perpecahan di
kerajaan tersebut, Raja Badjarmasih bernama Sultan Suriansyah yang memimpin kerajaan
Banjar pada suatu ketika berebut tahta dengan pamannya yang bernama Pangeran
Tumenggung. Dalam perebutan tersebut, raja bandjarmasih meminta bantuan kepada Sultan
Demak dengan mengirimkan utusan bernama Patih Balit. Oleh Sultan Demak permohonan
tersebut dikabulkan dengan syarat sang raja harus memeluk agama Islam. Maka, mulai saat
itu, raja Banjar tersebut memeluk agama Islam dan diberi gelar Sunan Batu Abang. Sejak saat
itulah raja dan rakyat kerajaan Banjar memeluk agama Islam. Bahkan, ajaran Islam
berkembang sedimikian rupa di wilayah ini. Hal ini ditandai dengan banyaknya pemuda-
pemuda Banjar yang serius memperdalam ajaran agama ini, bahkan sampai ke Timur Tengah,
terutama Arab Saudi (yang dianggap sebagai sumber awal ajaran Islam). Beberapa ulama dari
Banjar bahkan tersohor ke penjuru negeri karena ilmu agama yang ia miliki. Sebut saja Syekh
Muhammad Arsyad Al-Banjari yang terkenal dengan kitabnya “Sabilal Muhtadin”.
Sampai saat ini, masih banyak pemuda Banjar yang memperdalam ajaran Islam melalui
berbagai lembaga pendidikan formal, maupun non-formal, seperti pengajian-pengajian,
pesantren, dan berbagai lembaga pendidikan lainnya, baik di Kalimantan Selatan, maupun
diluar Kalimantan Selatan, termasuk ke luar negeri.
Gambaran diatas ingin menyatakan bahwa terdapat antusiasme yang tinggi oleh
masyarakat Kalimantan Selatan, sejak zaman kerajaan Banjar dahulu sampai dengan
sekarang terhadap ajaran Islam. Sehingga formalisasi ajaran Islam dalam produk perundang-
undangan oleh beberapa kalangan dianggap penting. Pasca otonomi daerah, peluang
melakukan formalisasi tersebut memungkinkan dalam bentuk Perda.
Kendati demikian, pembentukan perda syariah memerlukan analisis yang lebih holistik
dari kaca mata hukum, khususnya hukum tatanegara. Sebab perda merupakan produk hukum
yang harus tunduk dan patuh terhadap kaidah-kaidah pembuatan produk hukum dan tertib
hukum Indonesia.
Perda syariah yang ada di Kalimantan Selatan :
1. Peraturan Daerah Kabupaten Banjarmasin No. 5 Tahun 2004 Tentang Ramadhan
(Perubahan Perda Ramdhan No. 10 Tahun 2001)
2. Peraturan Daerah Banjarmasin, Surat Edaran Bupati Kabupaten Banjarmasin No.
065.2/00023/ORG Tentang Pemakaian Jilbab Bagi PNS Perempuan Di Lingkuangan
Pemerintahan Kabupaten Banjarmasin Tertanggal 12 Januari 2004
3. Peraturan Daerah Abupaten Banjarmasin No. 4 Tahun 2004 Tentang Khatam Al-Qur’an
Bagi Peserta Didik Pada Pendidikan Dasar Dan Menengah
4. Peraturan Daerah Kabupaten Banjarmasin No. 8 Tahun 2005 Tentang Jum’at Khusyu’
5. Peraturan Daerah Banjarmasih No. 4 Tahun 2005 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Daerah Kota Banjarmasin No. 13 Tahun 2003 Tentang Larangan Kegiatan Pada Bulan
Ramadhan
6. Peraturan Daerah Kabupaten Banjarmasin No. 5 Tahun 2006 Tentang Penulisan Identitas
Dengan Huruf Arab Melayu (LD Nomor 5 Tahun 2006 Seri E Nomor 3)
7. Peraturan Daerah Banjarbaru No. 5 Tahun 2006 Tentang Larangan Minuman Berakohol
8. Peraturan Daerah Kota Banjarmsin No. 31 Tahun 2004 Tentang Pengelolaan Zakat

B. Tanggapan Masyarakat Tentang Perda Syariah di Kalimantan Selatan

Munculnya perda-perda syariah demikian memunculkan pro dan kontra di masyarakat.


Bagi kalangan yang pro-perda syariah, lahirnya perda-perda demikian dianggap sebagai
terobosan untuk menjamin tertib masyarakat, baik dari sisi hubungan antar individu, maupun
keterjaminan “moral” individu tersebut di masyarakat.
Bagi kalangan yang kontra dengan perda ini, mereka mengargumenkan bahwa
pembentukan perda syariah dinilai berlebihan, bahkan ada yang menyatakannya secara
terbuka bahwa perda-perda tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang ada

C. Hambatan Perda Syariah di Kalimantan Selatan

Seperti bola panas yang liar, begitulah kiranya ungkapan yang tepat untuk
menggambarkan wacana pembatalan peraturan daerah (perda) yang oleh sebagian pihak
disebut sebagai perda syari’ah atau perda bernuasa syari’ah. Wacana ini menjadi pembicaraan
yang panas di masyarakat, tak jarang menjadi debat terutama di media sosial. Dipihak yang
kontra beranggapan bahwa perda-perda tersebut melanggar kebebasan warga negara karena
mengatur kehidupan agama seseorang dan dianggap intoleran karena mengatur ibadah agama
tertentu saja
Namun, dipihak yang pro justru meanggap bahwa perda seperti ini sangat dibutuhkan
guna mengatur ketentraman dalam kehidupan bermasyarakat. Debat ini semakin menguat
sejak mencuatnya kasus penyitaan pedagang makanan pada siang hari di Kota Serang oleh
Sat Pol PP yang menegakkan  Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 tentang
Pencegahan, Pemberantasan, dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat dan Surat Edaran
Nomor451.13/555 – Kesra/2016 yang melarang pengusaha restoran atau rumah makan atau
warung menyediakan dan melayani makanan dan minuman pada siang hari
selama Ramadhan. Meskipun, penyitaan  tersebut merupakan yang tidak dibenarkan
karena sesuai SOP, seharusnya petugas razia sebatas menutup warung yang berjualan pada
siang hari selama puasa.
Sebagaimana diberitakan di media, bahwa Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)
sudah membatalkan 3.143 peraturan daerah dan peraturan kepala daerah. Pembatalan tersebut
dilakukan karena kemendagri meanggap perda tersebut bertentangan dengan peraturan
perundangan yang lebih tinggi, menghambat pertumbuhan ekonomi daerah, memperpanjang
jalur birokrasi, menghambat proses perizinan dan investasi serta menghambat kemudahan
berusaha. Banyak yang mengira bahwa dari 3.143 Perda yang dibatalkan oleh Mendagri
terdapat beberapa perda yang sering disebut sebagai perda syari’ah atau perda bernuasa
syari’ah. Hal ini langsung ditanggapi oleh Kemendagri bahwa tidak ada perda syari’ah yang
dibatalkan. Meskipun sampai artikel ini dibuat, penulis belum menemukan daftar perda-perda
yang telah dibatalkan oleh Kemendagri. Padahal kemendagri telah mengumumkan bahwa ada
3.143 Perda yang dibatalakan.
Dalam salah satu media cetak di Kalimantan Selatan menyebutkan ada  dua perda
kontroversial di Kalimantan Selatan, yaitu Pertama, Perda No. 10/2001 tentang larangan
membuka restoran, warung, rombong, dan yang sejenisnya serta makan, minum, atau
merokok ditempat umum pada bulan Ramadhan. Kedua, Perda No. 4/2004 tentang Khatam
Alqur’an bagi peserta didik pada pendidikan dasar dan menengah. Jika ditelusuri, masih
banyak perda-perda serupa yang ada di Kalimantan Selatan, seperti perda Nomor 4 Tahun
2005 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah  Kota Banjarmasin Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Larangan Kegiatan Pada Bulan Ramadhan. Lantas, benarkah jika perda ini disebut
perda yang kontroversial ? atau perda yang tidak mengedepankan toleransi ?
Disetiap tahunnya, Indeks Demokrasi Indonesia yang dilaksanakan oleh Badan Pusat
Statistik selalu menyebutkan bahwa perda-perda yang tercantum dan serupa diatas
merupakan peraturan yang tidak mengedepankan toleransi dan kebebasan. Ia dianggap
sebagai penyebab turunnya Indeks Demokrasi Indonesia karena mengatur dan membatasi
kebebasan seseorang, salah satunya mengenai kehidupan beragama. Tak tertinggal, perda-
perda di Kalimantan Selatan yang selalu menjadi sorotan. Bagi penulis, ukuran yang
digunakan oleh Indeks Demokrasi Indonesia keliru karena tidak melihat dan mengedepankan
kearifan lokal daerah tersebut.
Peraturan Daerah merupakan produk legislasi dari pemerintah daerah. Sebagaimana
yang disebutkan pada pasal 18 ayat (6) UUD 1945 bahwa ”Pemerintahan Daerah berhak
menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan
tugas pembantuan”. Kendati demikian, kewenangan ini tidak serta merta seenaknya
pemerintah daerah. Ia harus sesuai atau tidak boleh bertentangan dengan asas-asas
perundang-undangan.
Asas tersebut adalah bahwa Perda tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan
yang lebih tinggi dan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum. Jika kita butiri,
apakah keberadaan peraturan daerah yang bernuasa syariah itu bertentangan dengan asas-asas
tersebut ? Sampai sekarang, penulis tidak menemukan konflik norma tersebut.
Lebih dari itu, justru malah keberadaan perda-perda tersebut merupakan perwujudan
peran pemerintah untuk menciptakan kedamaian dan ketentraman dimasyarakat.
Sebagaimana tujuan negara hukum modern yaitu untuk menciptakan negara
kesejahteraan (welfare state). Keberadaan perda tersebut sesuai dengan kultur dan budaya di
daerah tersebut. Serang banten merupakan daerah yang dikenal religius. Sudah barang tentu
memerlukan peran pemerintah untuk menciptakan kedamaian dan kenyamanan beribadah
pada saat bulan Ramadhan. Dapat kita bayangkan, apabila perda Ramadhan di Kabupaten
Banjar di hapuskan yang berakibat banyaknya orang berjualan dan makan disembarang
tempat, sementara kultur budaya kabupaten banjar yang dikenal serambi mekah dan kota
santri merupakan cermin masyarakat religius. Jika tidak ada peran pemerintah dalam
mengatur, akan kah masyarakat main hakim sendiri untuk mengadili para penjual makan di
siang hari ? disinilah peran pemerintah.
Penulis kira, hal ini tidak berlebihan. Jika kita coba bandingkan dengan Bali. Saat nyepi,
semua orang tidak boleh beraktifitas, adzan pun tidak boleh menggunakan pengeras suara.
Lalu, apa bedanya dengan larangan yang ada di perda Ramadhan
BAB IV
PENUTUP

4.1    Kesimpulan

Lahirnya perda-perda bernuansa Islam ini merupakan refleksi dari otonomi daerah dan
buah dari demokrasi yang tidak dapat dihindari. Yang perlu diupayakan adalah bagaimana
mewujudkan perda-perda bernuansa agama yang punya manfaat maksimal tanpa harus
melahirkan konflik-konflik sosial yang tidak perlu. Dengan peningkatan kapasitas pembuat
kebijakan, dan partisipasi masyarakat yang lebih luas dalam penyusunan peraturan daerah,
saya yakin kita dapat memiliki peraturan-peraturan daerah yang lebih efektif, akomodatif,
dan efisien.

4.2  Saran

Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan
dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, karena
terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan
tema makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hadi. Sh., M.H. 2014. Studi analisis keabsahan perda syariat dalam prespektif teori
hirarki norma hukum. Ummul qura. (2) 4: 53-70

Dani Muhtada, Ph.D. 2014. Perda syariah di Indonesia penyebaran, problem, dan
tantangannya. -. Semarang

Wasisto Raharjo Jati. 2018. Permasalan implementasi perda syariah dalam otonomi daerah.
Al-manahij. (2) 7. 305-318

Munawar-Rachman, Budhy. 2015, Membela Kebebasan Beragaman (Buku 1). Jakarta:


Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF)

Anda mungkin juga menyukai