Anda di halaman 1dari 34

MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK

(PROJECT BASED LEARNING)


Oleh
Dewa Gede Agus Putra Prabawa, S.Pd., M.Pd.
Bali 2012
---------------------------------------------------------------------------------------------------

A. Latar Belakang

Peraturan pemerintah No. 19 Tahun 2005 mengisyratkan bahwa pelaksanaan


pembelajaran hendaknya interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan
memotivasi (I2M3). Oleh karena itu tugas pengajar secara berkelanjutkan adalah
berinovasi, salah satunya dengan menerapkan model pembelajaran inovatif. Hal itu
mesti diawali perubahan paradigma pembelajaran dari teacher learning centered
bergeser ke student learning centered.
Inovasi menjadi sangat penting manakala pengajar ingin menciptakan
pembelajaran yang bermakna. Materi pelajaran yang mengandung jenis
pengetahuan deklaratif maupun prosedural tidak cukup dengan penguasaan saja,
namun hal terpenting adalah bagaimana pengetahuan tersebut diaplikasikan untuk
memecahkan masalah nyata. Misalnya, pada mata pelajaran produktif “Produksi
audio Video” di SMK bidang teknologi informasi dan komunikasi jurusan
multimedia. Sebagai salah satu mata pelajaran produktif, setiap pembelajar wajib
menguasai kompetensi yang telah ditetapkan. Hasil belajar dari mata pelajaran
tersebut adalah produk. Penguasaan kompetensi tidak cukup sampai membuat
produk, selanjutnya produk itu mesti memiliki nilai guna bagi kehidupan
masyarakat. Ini menandakan bahwa pembelajar perlu dibelajarkan menganalisis
kebutuhan/masalah masyarakat, menganalisis produk pesaing, dan menganalisis
keunggulan/kelemahan rancangan produk sendiri, sehingga produk yang dihasilkan
memiliki nilai lebih dari produk-produk yang sudah ada. Dengan demikian
penerapan model-model pembelajaran inovatif tidak perlu ditunda lagi.
Sesuai amanat Permendiknas No. 23 Tahun 2006 tentang standar kompetensi
lulusan. Dinyatakan bahwa lulusan SMK salah satunya dituntut mampu

1
menghasilkan karya kreatif, baik individual maupun kelompok. Penguasaan
kompetensi tersebut diawali dari proses pembelajaran yang mengarahkan ke
pengembangan kognitif, afektif, dan psikomotorik pembelajar secara seimbang.
Salah satu unsur yang mempengaruhi penguasaan kompetensi tersebut adalah
proses pembelajaran yaitu pemilihan dan penerapan model pembelajaran.
Pemilihan dan penerapan model pembelajaran yang relevan merupakan suatu
keharusan. Model pembelajaran yang tidak sesuai kadang belum mampu
memberikan kesempatan dan tantangan belajar kepada pembelajar. Misalnya, untuk
pengetahuan prosedural, pengajar menggunakan model pembelajaran langsung
(tradisional). Sebagai akibatnya pengetahuan yang diperoleh pembelajar cenderung
sulit diterapkan pada dunia nyata dan pembelajar menjadi tidak terbiasa bekerja
sama dalam tim dan berkolaborasi. Hal ini penting ini untuk pembelajar di SMK
yang nantinya akan memasuki dunia kerja. Dampak lainnya yaitu kemampuan
berpikir kritis dan kreatif pembelajar juga kurang diberdayakan. Fenomena ini
didukung oleh pendapat Erdem (2012) yang menyatakan bahwa pembelajaran
tradisional belum mampu membekali siswa memecahkan masalah praktis dan
dianggap gagal memacu siswa untuk berpikir kritis. Pandangan keliru yang
menganggap kemampuan berpikir kreatif hanya dimiliki oleh orang-orang luar
biasa, perlu diluruskan. Johnson (2011: 211) mengatakan bahwa semua orang
memiliki kemampuan berpikir kreatif. Dengan demikian tidak menuntut secara
berlebihan bahwa potensi tersebut juga dapat dibiasakan dan dikembangkan secara
optimal pada diri pembelajar.
Kemampuan berpikir kritis dan kreatif menjadi potensi yang penting bagi
pembelajar. Lemahnya potensi ini, berdampak pada kemampuan pembelajar dalam
menyelesaikan sebuah produk. Pembelajar cenderung meniru produk-produk yang
sudah lumrah tanpa melakukan modifikasi sehingga terkesan menjiplak. Produk-
produk ini cenderung kurang bernilai dan kecil peluang untuk diterima oleh
masyarakat, baik itu dunia usaha, dunia industri maupun instansi-instansi.
Keterampilan berpikir kritis menjadi penting karena dengan potensi ini
pembelajar akan mampu mencandra masalah serta peluang dibutuhkannya produk
yang dikembangkan. Sedangkan kemampuan berpikir kreatif berkaitan dengan

2
usaha pembelajar untuk menghasilkan produk-produk yang sebelumnya belum
pernah ada atau membuat produk baru.
Kerja sama dalam tim dan berkolaborasi juga perlu dikembangkan dalam
pembelajaran. Salah satu dari empat pilar pendidikan menurut UNESCO yaitu
learning to live together bahwa pembelajar harus bisa hidup dan bekerja sama
dengan orang lain. pembelajar tidak cukup intelektual yang tinggi, kerja sama
dalam tim juga penting. Bila dikaitkan dengan lulusan SMK bahwa mereka dituntut
mampu bekerja sama dalam sebuah tim untuk mencapai tujuan di dunia kerja
maupun dunia industri.
Mengingat pentingnya penguasaan dan peningkatan kompetensi dalam hal
berpikir kritis, berpikir kreatif, kerja sama, dan kompetensi menghasilkan produk
otentik, maka pemilihan dan penerapan model pembelajaran perlu pertimbangan
yang cermat. Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil
belajar, baik untuk menguasai pengetahuan deklaratif maupun prosedural yang
nantinya akan berorientasi produk adalah dengan menerapkan model pembelajaran
berbasis proyek atau istilah Inggrisnya project based learning (PjBL).
Pembelajaran dengan model ini menuntut siswa berkolaborasi dengan guru dan
belajar dalam tim kolaboratif. Ketika pembelajar belajar dalam tim belajar, mereka
akan menemukan keterampilan seperti: merencanakan, berorganisasi, bernegoisasi,
dan membuat kesepakatan tentang hal-hal yang akan dikerjakan.
Pembelajaran berbasis proyek merupakan pembelajaran yang berpusat pada
proses, relatif berjangka waktu panjang, berfokus pada masalah, unit pembelajaran
bermakna dengan memadukan konsep-konsep dari sejumlah komponen, baik itu
pengetahuan lapangan atau disiplin ilmu. Kegiatan pembelajarannya berlangsung
secara kolaboratif dalam kelompok yang heterogen. Mengingat hakikat kerja
proyek adalah kolaboratif, maka pengembangan keterampilan belajar berlangsung
di antara pembelajar. Kekuatan individu dan cara belajar yang diacu dapat
memperkuat kerja tim sebagai suatu keseluruhan. PjBL memiliki potensi yang besar
untuk membuat pengalaman belajar yang menarik dan bermakna bagi pembelajar
sehingga berdampak pada kematangan mental, sikap, dan keterampilan pembelajar
memasuki dunia kerja.

3
Hasil penelitian menunjukkan bahwa model pembelajaran berbasis proyek
dapat meningkatkan kualitas pembelajaran. Penelitian yang dilakukan oleh
Eskrootchi & Oskrochi (2010) dengan menerapkan model pembelajaran berbasis
proyek terpadu dengan media komputer berbasis simulasi. Penelitian itu
menunjukkan bahwa pembelajar belajar secara aktif membangun pengetahuan dari
kombinasi interaksi pengalaman, interpretasi, dan terstruktur dengan teman sebaya
dan guru saat menggunakan teknologi. Summers & Dickinson (2012) melakukan
penelitian dan menemukan bahwa pembelajar yang belajar menggunakan
pembelajaran berbasis proyek memiliki prestasi belajar sosial lebih tinggi dari
pembelajar yang belajar dengan cara tradisional. Kurikulum pembelajaran berbasis
proyek memfasilitasi pembelajar belajar secara realistis untuk meningkatkan
keterampilan.
Mengingat dampak positif dan hasil penelitian penerapan model pembelajaran
berbasis proyek sebagai salah satu model pembelajaran inovatif, maka dalam
makalah ini dijelaskan landasan konseptual pembelajaran berbasis proyek berserta
implementasinya pada mata pelajaran, khususnya mata pelajaran produktif
“Produksi Audio Video di SMK Jurusan Multimedia”.

B. Belajar dan Pembelajaran

Mempelajari konsep belajar dan pembelajaran erat kaitannya dengan


pengetahuan, karena muara belajar dan pembelajaran adalah pengetahuan. Dalam
teori Piaget ada tiga bentuk pengetahuan yaitu pengetahuan fisik, pengetahuan
logika-matematik, dan pengetahuan sosial. Pengetahuan fisik merupakan
pengetahuan tentang benda-benda yang ada di luar dan dapat diamati dalam
kenyataan. Pengetahuan logika-matematika terdiri atas hubungan-hubungan yang
diciptakan subjek dan diintroduksikan pada objek-objek. Pengetahuan sosial
dilakukan melalui interaksi dengan manusia untuk memperoleh pengetahuan. Dari
ketiga jenis pengetahuan nampak bahwa pengetahuan fisik dan pengetahuan sosial
merupakan kelompok pengetahuan empiris, sedangkan pengetahuan logika-
metematik mewakili kelompok pengetahuan rasionalis. Ketiga jenis pengetahuan
itu berhubungan dengan kegiatan belajar seseorang. Mayer (2008: 13) menyatakan
terdapat tiga pandangan umum tentang belajar yaitu belajar sebagai penguatan

4
respon, belajar sebagai pemerolehan pengetahuan, dan belajar sebagai kontruksi
pengetahuan.
Pertama, belajar sebagai penguatan respon. Menurut pandangan ini belajar
adalah proses mekanik. Apabila pembelajar memberikan respon benar terhadap
situasi maka respon itu akan diperkuat. Jika respon itu salah maka akan diperlemah.
Dengan cara ini belajar terjadi ketika pembelajar memperkuat atau memperlemah
hubungan antara stimulus dan respon. Belajar sebagai penguatan respon
menunjukkan praktek pendidikan di mana pengajar menciptakan situasi yang
memerlukan respon. Pembelajar memberikan respon dan pengajar memberikan
penghargaan apabila respon itu benar. Misalnya pengajar bertanya kepada
pembelajar, 750 dibagi 5 adalah? Bila pembelajar memberikan respon atau jawaban
150, pengajar segera memberikan penguatan “ Ya Benar”. Jika respon pembelajar
tidak benar pengajar akan melemahkan respon dengan berkata “Salah”.
Kedua, belajar sebagai pemerolehan pengetahuan. Menurut pandangan ini
belajar terjadi ketika informasi ditransfer dari orang yang lebih banyak memiliki
pengetahuan (guru) kepada orang yang kurang memiliki pengetahuan (siswa).
Aktivitas itu menunjukkan bahwa belajar adalah mengisi kekosongan dengan cara
menuangkan informasi ke dalam memori pembelajar. Pembelajar menjadi penerima
informasi dan pengajar menjadi pengirim informasi. Sebagai contoh, guru meminta
siswa untuk membaca bagian dalam buku teks dan kemudian mereka di tes pada
materi tersebut. Tujuan pengajaran adalah untuk meningkatkan jumlah pengetahuan
dalam memori pembelajar, sehingga buku pelajaran dan ceramah merupakan cara
populer pengajaran.
Ketiga, belajar sebagai konstruksi pengetahuan. Pandangan ini
memposisikan pembelajar sebagai subjek yang secara aktif membangun
(konstrukasi) representasi mental mereka sendiri. Belajar terjadi ketika pembelajar
memilih informasi yang relevan, mengaturnya menjadi struktur yang koheren dan
menafsirkannya melalui apa yang mereka sudah ketahui. Resnick (1989) dalam
Mayer (2008: 15) mengungkapkan pandangan ini: “belajar terjadi bukan dengan
merekam informasi tetapi dengan menafsirkannya”. Pernyataan itu mengisyaratkan
bahwa pembelajar adalah si konstruksi pengetahuan dan guru adalah pemandu yang
membantu pembelajar saat mereka berusaha untuk memahami bagaimana

5
melakukan tugas-tugas akademik. Fokusnya adalah pada pembelajar dan pengajar
membantunya membangun strategi kognitif untuk tugas-tugas pembelajaran.
Praktek-praktek pendidikan yang disarankan oleh pandangan ini adalah dengan
diskusi kelompok dan partisipasi melalui tugas-tugas akademik yang bermakna.
Contoh, dalam belajar bagaimana menulis, pembelajar dapat mendiskusikan
bagaimana mereka merencanakan apa yang harus dikatakan dan pengajar dapat
memberikan saran sepanjang jalannya pembelajaran.
Berdasarkan ketiga cara pandang terhadap belajar, untuk merumuskan
definisi belajar digunakan cara pandang yang ketiga. Pandangan konstruktivis
terhadap belajar adalah sebuah proses aktif konstruksi pengetahuan yang dilakukan
oleh pembelajar. Belajar didasarkan pada dua asumsi. Pertama belajar adalah suatu
proses perolehan pengetahuan secara aktif oleh pembelajar melalui interaksi dengan
lingkungan. Kedua, pembelajar mengkonstruksi pengetahuannya dengan cara
menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang sudah ada atau yang
diperoleh sebelumnya (Bruner dalam Dahar,1989 : 98). Aktivitas belajar menurut
Bruner melibatkan tiga proses yang berlangsung hampir bersamaan yaitu 1)
memperoleh informasi baru, 2) transformasi informasi, dan 3) menguji relevansi
dan ketepatan pengetahuan.
Pemerolehan informasi baru dapat merupakan penghalusan dari informasi
sebelumnya yang dimiliki seseorang atau juga informasi itu dapat bersifat
berlawanan dengan informasi sebelumnya yang dimiliki pembelajar. Kedua hal ini
erat kaitannya dengan proses adaptasi pengetahuan untuk menjaga keseimbangan
kognitif. Menurut Piaget adaptasi terdiri dari dua yaitu akomodasi dan asimilasi.
Asimilasi merupakan bentuk adaptasi di mana pengalaman di lingkungan
dimasukkan ke dalam skema yang sudah ada sebelumnya sehingga hanya bersifat
menambah/melengkapi pengetahuan sebelumnya tanpa melakukan penggantian
struktur pengetahuan. Akomodasi adalah bentuk adaptasi di mana pengetahuan
yang ada dimodifikasi sebagai tanggapan terhadap pengalaman atau pengetahuan
baru. Hubungan antara asimilasi dan akomodasi diilustrasikan pada Gambar 1.

6
Keseimbangan

Adaptasi

Akomodasi Asimilasi

Skema Skema tidak


dimodifikasi dimodifikasi

Gambar 1 Keseimbangan Kognitif Melalui Proses Adaptasi


Transformasi pengetahuan pembelajar adalah memperlakukan pengetahuan
agar sesuai dengan tugas baru. Transformasi menyangkut cara pembelajar
memperlakukan pengetahuan, apakah dengan cara ekstrapolasi atau dengan
mengubah ke bentuk lain. Sedangkan menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan
adalah dengan menilai cara memperlakukan pengetahuan itu apakah cocok dengan
tugas yang ada.
Belajar mengacu pada perubahan yang relatif permanen dalam pengetahuan
pembelajar di mana perubahan tersebut disebabkan oleh pengalaman (Mayer,
2008: 7). Definisi ini memiliki tiga bagian. Pertama, belajar adalah jangka panjang
dan bukan jangka pendek. Perubahan yang hilang setelah beberapa jam tidak
mencerminkan aktivitas belajar. Kedua, belajar melibatkan perubahan kognitif
yang tercermin dalam perubahan perilaku, jika tidak ada perubahan, maka tidak
terjadi belajar. Ketiga, belajar tergantung dari pengalaman pembelajar itu sendiri.
Perubahan yang terjadi semata-mata karena faktor fisiologis bukan disebut belajar,
tetapi lebih pada bagaimana pembelajar menafsirkan apa yang terjadi.
Belajar juga merupakan suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung
dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan sejumlah perubahan
dalam pengetahuan dan pemahaman, keterampilan, dan sikap-nilai. Perubahan itu
bersifat relatif konstan dan berbekas (Wingkel, 2005: 59). Belajar yang terjadi
dalam interaksi dengan lingkungan menggambarkan pembelajar aktif melibatkan
diri dengan segala pemikiran, kemauan, dan perasaannya untuk membangun
pengetahuan. Dari penjelasan di atas mengenai belajar dapat disimpulkan belajar

7
adalah aktivitas mental atau psikis yang dilakukan secara aktif oleh pembelajar
untuk membangun pengetahuan, keterampilan, dan sikap melalui interaksi dengan
lingkungan.
Belajar erat kaintannya dengan pembelajaran. Belajar merupakan suatu tujuan
sedangkan pembelajaran adalah sarana atau cara untuk mencapai tujuan (Seels dan
Richey (1994). Gagne (1974) (dalam Gredler, 1991) memberikan definisi
pembelajaran adalah seperangkat acara peristiwa eksternal yang dirancang untuk
mengaktifkan dan mendukung terjadinya proses belajar yang sifatnya internal.
Definisi ini memiliki dua komponen yaitu 1) pembelajaran adalah sesuatu yang
direncanakan guru dan 2) tujuan pembelajaran adalah meningkatkan/
menterjadikan kegiatan belajar pada pembelajar.
Menurut Degeng (1997: 1) pembelajaran didefinisikan sebagai upaya untuk
membelajarkan siswa. Dalam definisi ini terkandung makna bahwa dalam
pembelajaran ada kegiatan memilih, menetapkan, dan mengembangkan
metode/strategi yang optimal untuk mencapai hasil pembelajaran yang diinginkan.
Berdasarkan kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan, pembelajaran adalah
suatu cara atau upaya yang direncanakan pengajar dengan memilih, menetapkan,
dan mengembangkan metode atau strategi untuk menciptakan terjadinya proses
belajar pada pembelajar.

C. Konsep Dasar Pembelajaran Berbasis Proyek

Pembelajaran berbasis proyek juga dikenal dengan istilah project-based


learning (PjBL). PjBL selama bertahun-tahun telah dilakukan dalam dunia
kedokteran, teknik, pendidikan, ekonomi, dan bisnis. Project-based learning sering
disamakan dengan problem-based learning (PBL). Namun kedua istilah ini tidaklah
sama (Capraro dan Slough, 2009: 2). Walaupun keduanya menekankan lingkungan
belajar siswa aktif, kerja kelompok (kolaboratif), dan teknik evaluasi otentik
(authentic assessment). Kalau dalam problem-based learning pembelajar lebih
didorong dalam kegiatan yang memerlukan perumusan masalah, pengumpulan
data, dan analisis data. Sedangkan dalam project-based learning pembelajar lebih
didorong pada kegiatan perancangan, merumuskan pekerjaan, mengkalkulasi,

8
melaksanakan pekerjaan, dan mengevaluasi hasil (Maxwell, Bellisimo, &
Mergendoller, 1999).
Poject-based learning merupakan adaptasi dari problem-based learning yang
awalnya berakar pada pendidikan medis (kedokteran) (Maxwell, Bellisimo, &
Mergendoller, 1999). Pendidikan medis menaruh perhatian besar terhadap
fenomena praktisi medis muda yang memiliki pengetahuan faktual tetapi gagal
menggunakan pengetahuannya saat menangani pasien sungguhan. Karakteristik ini
juga tidak jauh berbeda dengan kegiatan pembelajaran di sekolah. Pembelajar tidak
hanya dituntut dapat menguasai pengetahuan faktual maupun prosedural namun
yang lebih penting bagaimana pembelajar dapat menyelesaikan masalah dengan
menerapkan pengetahuannya dalam dunia nyata.
Pembelajaran berbasis proyek terdiri dari beberapa masalah yang perlu
diselesaikan oleh pembelajar. Pembelajaran ini menyediakan pengalaman dalam
konteks nyata yang diperlukan bagi pembelajar untuk belajar dan membangun
pengetahuan yang bermakna dan menuntut pembelajar untuk berpikir kritis,
analitis serta meningkatkan kecakapan berpikir tingkat tinggi. Kolaborasi,
berkomunikasi dengan rekan kerja, pemecahan masalah, dan belajar mandiri
merupakan hal terpenting dalam pembelajaran berbasis proyek.
Pembelajaran berbasis proyek merupakan strategi pembelajaran yang berakar
dari pendekatan konstruktivis yang berkembang dari karya psikolog dan pendidik
seperti, Vygotsky, Jerome Bruner, Jean Piaget, dan John Dewey. Pandangan
konstruktivisme terhadap belajar sebagai hasil dari konstruksi mental, yaitu
pembelajar membangun ide-ide atau konsep baru berdasarkan pengetahuan mereka
saat ini dan sebelumnya, (Karlin & Vianni, 2001 dalam Korkidis, 2009: 4).
Konstruksi pengetahuan akan lebih mudah bila dilakukan dengan cara kerja sama
dan kolaborasi. Ini berarti bahwa pembelajaran berbasis proyek mendapat
dukungan teori belajar konstruktivime sosial Vygotsky. Upaya-upaya peningkatan
perkembangan kognitif, pembelajar belajar dengan melakukan interaksi dengan
teman atau orang yang dianggap ahli. Proses ini akan membantu pembelajar
mengkonstruksi pengetahuan, sehingga dari perspektif teori pembelajaran berbasis
proyek dapat meningkatkan keterampilan dan kemampuan pemecahan masalah
secara kolaboratif. Selain itu, pembelajaran berbasis proyek memiliki potensi yang

9
memungkinkan pembelajar untuk melaksanakan penelitian, merencanakan,
mendesain, dan memikirkan tentang penciptaan proyek-proyek (Doppelt, 2005 ).
Sehingga upaya yang diperlukan adalah penanaman dan pengembangan pemikiran
kreatif dalam proses pembelajaran melalui cara-cara inovatif, termasuk dukungan
lingkungan sekolah dan penerapan metode penilaian otentik.
Dari ulasan mengenai asal pembelajaran berbasis proyek termasuk paradigma
yang dianut. Selanjutnya perlu diketahui definisi dari pembelajaran berbasis proyek
sebagai pedoman pembeda dengan model pembelajaran lainnya. Menurut Buck
Institute for Education (2012) pembelajaran berbasis proyek adalah pembelajaran
yang melibatkan pembelajar melakukan proses penyelidikan yang panjang dalam
menanggapi pertanyaan yang kompleks, masalah, atau tantangan. Proyek-proyek
yang ketat membantu pembelajar belajar tentang materi pembelajaran dan praktik
keterampilan yang diperlukan pada abad 21 seperti kolaborasi, komunikasi &
berpikir kritis.
SRI International, Menlo Park, (2009) memberikan definisi pembelajaran
berbasis proyek adalah model pembelajaran yang sistematik dan melibatkan
pembelajar dalam membangun pengetahuan dan keterampilan dari serangkaian
tugas yang kompleks termasuk pembuatan desain dan perencanaan, pemecahan
masalah, pengambilan keputusan, produk dan artefak, serta komunikasi hasil
proyek (produk).
Thomas (2000: 1) memberikan definisi pembelajaran berbasis proyek sebagai
model yang mengorganisasikan pembelajaran di sekitar proyek. Proyek didasarkan
pada tugas yang kompleks, pertanyaan atau masalah yang menantang, melibatkan
pembelajar dalam merancang, pemecahan masalah, pengambilan keputusan,
kegiatan investigasi, memberikan kesempatan kepada pembelajar untuk bekerja
secara otonom dengan periode waktu yang diperpanjang dan berujung pada produk
yang realistis atau presentasi.
Blank, 1997; Dickinson, et al, 1998; Harwell, 1997 dalam Korkidis, (2009: 4)
pembelajaran berbasis proyek adalah model pembelajaran atau strategi otentik di
mana pembelajar merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi proyek-proyek
yang memiliki aplikasi dunia nyata di luar kelas.

10
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan pembelajaran berbasis
proyek adalah model pembelajaran yang disusun secara sistematis yang melibatkan
pembelajar secara aktif, berkolaborasi membangun pengetahuan, dan
mengembangkan keterampilan lewat tugas-tugas yang kompleks meliputi:
merencanakan, merancang, melakukan pemecahan masalah, pengambilan
keputusan, menghasilkan produk, dan mengkomunikasikan hasil.

D. Pembelajaran Berbasis Proyek dan Keterampilan Abad 21

Proses pembelajaran merupakan inti dari kegiatan pembelajaran. Melalui


proses itu dibangun kecakapan pembelajar agar nantinya mampu menghadapi dan
memecahkan masalah dalam kehidupan. Tantang ke depan yang semakin kompleks
memicu proses pembelajaran di lembaga-lembaga pendidikan untuk berbenah.
Proses itu mulai dirancang dan diimplementasikan untuk menyiapkan pembelajar
agar menjadi insan yang tangguh. Pembelajaran berbasis proyek memiliki potensi
untuk menyiapkan pembelajar sesuai kriteria-kriteria keterampilan yang diperlukan
pada abad 21.
SRI International Menlo Park (2009) menyatakan bahwa terdapat kaitan antara
pembelajaran berbasis proyek dengan keterampilan yang diperlukan pada abad ke-
21. Keterampilan tersebut yaitu berpikir kritis, kreativitas, kerja sama, pemahaman
lintas budaya, teknologi, komunikasi, dan self direction.
Pertama, kaitan kemampuan berpikir kritis dengan pembelajaran berbasis
proyek bahwa PjBL tidak hanya menyangkut tentang menghafal fakta-fakta.
Pembelajar menerapkan apa yang mereka pelajari untuk memecahkan masalah
yang kompleks. Pembelajar terlibat dalam penyelidikan aktif, mengeksplorasi
masalah dari berbagai perspektif, belajar bagaimana mengajukan pertanyaan
penting, mengumpulkan informasi yang relevan, dan mensintesis solusi. Penelitian
menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis proyek yang dirancang dengan baik
dapat menyebabkan pembelajar memahami materi lebih mendalam dan mampu
berpikir lebih kritis.
Kedua, kaitan kreativitas dengan pembelajaran berbasis proyek yaitu
pembelajar sering bekerja pada masalah dunia nyata yang tidak memiliki satu
jawaban yang benar. Pembelajar harus kreatif dengan ide-ide baru, menggabungkan

11
pengetahuan dan keterampilan di seluruh disiplin ilmu, dan merancang solusi
inovatif yang memenuhi kebutuhan nyata.
Ketiga, kaitan kerja sama dengan pembelajaran berbasis proyek bahwa
penyelesaian proyek dapat memberikan pembelajar kesempatan untuk menjadi
kolaborator yang efektif, kontributor, dan pemimpin. Juga mengembangkan
keterampilan seperti mendengarkan, bertanya, dan bernegosiasi untuk mencapai
tujuan bersama. Selain itu, berbagi dan mendiskusikan ide-ide mereka membantu
pembelajar membangun pengetahuan yang mendalam dan menjadi anggota dari
"komunitas praktek," di mana pembelajar bekerja sama untuk terus meningkatkan
pemahaman.
Keempat, kaitan pemahaman lintas budaya dengan pembelajaran berbasis
proyek bahwa beberapa tim proyek menyatukan pembelajar dari berbagai belahan
dunia atau dengan latar belakang yang berbeda. Hal ini berdampak pada
peningkatan kesadaran pembelajar dan menghormati perbedaan budaya. Ketika
pembelajar bekerja dengan mitra yang berbeda dari diri mereka sendiri, pembelajar
dapat belajar bagaimana untuk menyelesaikan kesalahpahaman dan mengatasi
hambatan budaya dan bahasa.
Kelima, kaitan teknologi dengan pembelajaran berbasis proyek bahwa dengan
teknologi pembelajar belajar bagaimana menggunakan perangkat teknologi
informasi dan komunikasi (TIK) dalam konteks nyata. Teknologi juga mendukung
proses belajar dengan memudahkan pembelajar mengakses data dunia nyata,
berkolaborasi di kejauhan, memvisualisasikan, dan menganalisa data serta
membuat presentasi multimedia. Penguasaan teknologi merupakan salah satu
keterampilan yang diperlukan pada abad 21. Teknologi yang diintegrasikan ke
dalam PjBL membangun keterampilan pembelajar menggunakan teknologi
informasi sekaligus mempelajari apa itu teknologi informasi dan komunikasi.
Keenam, kaitan komunikasi dengan pembelajaran berbasis proyek bahwa
bentuk akhir dari PjBL adalah produk atau unjuk kerja sebagai representasi ide-ide
pembelajar kepada orang lain. Pembelajar mempresentasikan hasil kerjanya kepada
audiens seperti masyarakat atau pengguna produk. Melalui proses ini, pembelajar
belajar keterampilan penting seperti bagaimana menampilkan temuan dan
rekomendasi, bagaimana mengatur sebuah presentasi, dan bagaimana menangkap

12
dan mempertahankan minat audiens. Kesempatan pembelajar mempresentasikan
karyanya kepada khalayak yang lebih luas juga dapat memotivasi pembelajar untuk
menghasilkan produk-produk yang berkualitas tinggi.
Ketujuh, kaitan self-direction dengan pembelajaran berbasis proyek yaitu
menempatkan pembelajar di kursi pengemudi, memberikan lebih banyak kontrol
atas pembelajarannya. Pengajar harus terampil mendesain penerapan pembelajaran
berbasis proyek sehingga tidak sepenuhnya membantu pembelajar. Pembelajar
dituntut merumuskan masalah mereka sendiri dan tujuan yang hendak dicapai,
merencanakan langkah-langkah proyek, mencari sumber daya yang mereka
butuhkan, dan membuat desain produk mereka sendiri. Penelitian telah
menunjukkan bahwa pembelajar belajar lebih baik dan lebih percaya diri ketika
mereka merasakan rasa kepemilikan atas proses belajarnya.

E. Karakteristik dan Prinsip Pembelajaran Berbasis Proyek

Penyelesaian proyek oleh pembelajar dilakukan secara kolaboratif, inovatif,


dan unik yang berfokus pada pemecahan masalah yang berhubungan dengan
kehidupan pembelajar atau kebutuhan masyarakat atau industri lokal. Pembelajaran
berbasis proyek memiliki potensi yang amat besar untuk membuat pengalaman
belajar yang lebih menarik dan bermakna bagi usia dewasa: siswa SMA,
mahasiswa, atau pelatihan tradisional untuk membangun keterampilan kerja (Gaer,
1998 dalam Santyasa, 2006). Pembelajaran berbasis proyek dapat dikenali dari
karakteristiknya yang memiliki empat dimensi yaitu: isi, kondisi, aktivitas, dan
hasil (Santyasa, 2006: 11).
1. Isi
Isi difokuskan pada ide-ide siswa yaitu membentuk gambaran sendiri dari
topik dan persoalan yang rumit dengan mengikuti aspek pembelajaran yang sesuai
dengan minat dan bakat pembelajar. Isi pembelajaran diarahkan pada: (a) masalah
kompleks, (b) pembelajar menemukan hubungan antar gagasan yang diajukan, (c)
pembelajar berhadapan pada masalah yang penuh ambiguitas, (d) pertanyaan
cenderung mempersoalkan masalah dunia nyata.

13
2. Kondisi
Pembelajaran berbasis proyek bernuansa untuk mendorong pembelajar mandiri,
yaitu dalam mengelola tugas dan waktu belajar. Pembelajar bekerja atas topik-topik
yang relevan. Dalam pembelajaran berbasis proyek guru tidak lagi menguasai
pembelajaran, namun kondisi pembelajaran didominasi oleh pembelajar yang
memiliki otonomi belajar. Indikator kondisi tersebut antara lain: (a) pembelajar
mempunyai kesempatan melakukan inquiry dalam konteks masyarakat, (b)
pembelajar mampu mengelola waktu secara efektif dan efisien, (c) pembelajar
belajar penuh dengan kontrol diri, dan (d) mensimulasikan kerja secara profesional.
3. Aktivitas
Pembelajaran berbasis proyek adalah suatu strategi yang efektif dan menarik
yaitu dalam mencari jawaban dan memecahkan masalah-masalah dengan memberi
kesempatan pembelajar untuk mempelajari ide-ide yang realistis, mempergunakan
kecakapan untuk berbagai konteks, dan menggabungkan kecakapan tersebut dalam
melengkapi tugas-tugas profesional. Ciri utama aktivitas dalam pembelajaran
berbasis proyek adalah investigasi kelompok secara kolaboratif. Sedangkan
indikator aktivitas yaitu (a) siswa berinvestigasi selama periode tertentu, (b)
pembelajar melakukan pemecahan masalah kompleks, (c) pembelajar
memformulasikan hubungan antar gagasan orisinilnya untuk mengkonstruksi
keterampilan baru, (d) pembelajar menggunakan teknologi otentik dalam
memecahkan masalah, dan (e) pembelajar melakukan umpan balik mengenai
gagasan mereka berdasarkan respon ahli atau dari hasil tes.
4. Hasil
Hasil dari pembelajaran berbasis proyek adalah produk nyata. Indikator hasil
dari pembelajaran berbasis proyek antara lain: (a) pembelajar menunjukkan produk
nyata berdasarkan hasil investigasi mereka, (b) pembelajar melakukan evaluasi diri,
(c) pembelajar responsif terhadap segala implikasi dari kompetensi yang
dimilikinya, dan (d) pembelajar mendemonstrasikan kompetensi personal
(tanggung jawab dan manajemen pribadi), sosial (menghargai kerja sama,
komunikasi sosial, presentasi, dsb), intelektual (pemahaman konsep), akademik
(pemecahan masalah, inkuiri, regulasi belajar, dan vokasional (membuat produk,
menyusun kebijakan publik, menyusun, dan melaksanakan rencana aksi, dsb).

14
Karakteristik di atas menggambarkan pembelajaran berbasis proyek
dikembangkan berdasarkan paradigma konstruktivistik yang melibatkan
pembelajar secara aktif dalam belajar. Konstruktivisme mengembangkan iklim
pembelajaran yang menuntut pembelajar untuk menyusun dan membangun sendiri
pengetahuannya. Pembelajaran berbasis proyek merupakan model pembelajaran
yang memberikan kebebasan kepada pembelajar untuk merencanakan aktivitas
belajar, melaksanakan proyek secara kolaboratif, dan akhirnya akan menghasilkan
produk yang dapat dimanfaatkan. Perbedaan situasi kelas konvensional dan kelas
pembelajaran berbasis proyek dapat ditunjukkan seperti gambar berikut.

Gambar 2 Perbandingan pembelajaran konvensional dan pembelajaran berbasis


proyek (Global SchoolNet, 2000)

Memperhatikan gambar di atas pada sisi kanan (new school), dalam


pembelajaran guru berperan sebagai fasilitator yang membantu pembelajar apabila
mengalami suatu masalah yang tidak bisa dipecahkan. Pada kelas konvensional
guru dianggap sebagai seseorang yang paling menguasai materi dan karenanya
semua informasi diberikan secara langsung kepada pembelajar.
Aktivitas belajar pembelajar dalam iklim pembelajaran berbasis proyek
dilakukan secara kolaboratif di mana pembelajar nampak bekerja sama
mengerjakan proyek yang ditunjang oleh sumber belajar yang bervariasi. Produk
yang dibuat pembelajar selama proyek adalah produk nyata dan bermanfaat. Dalam

15
pembelajaran berbasis proyek dilakukan penilaian akurat dan inovatif
menggunakan metode penilaian otentik. Berbeda dengan kelas konvensional (old
school) aktivitas belajar pembelajar secara individual, pembelajar duduk rapi
mendengarkan guru dan mencatat apa yang disampaikannya. Penilaian cenderung
mengarah ke hasil belajar dari pada proses belajar. Begitu juga sumber belajar yang
digunakan tidak bervariasi dan cenderung tetap.
Ada beberapa prinsip yang perlu dipertimbangkan dalam implementasi
pembelajaran berbasis proyek. Thomas (2000: 3) menyatakan lima kriteria
pembelajaran berbasis proyek yaitu sentralistis (centrality), pertanyaan
pendorong/penuntun (driving question), investigasi konstruktif (constructive
investigation), otonomi (autonomy), dan realistis (realism). Kelima prinsip ini yang
membedakan keunikan pembelajaran berbasis proyek dengan pembelajaran
berbasis masalah.
Pertama, prinsip sentralistis (centrality) menegaskan bahwa kerja proyek
merupakan esensi dari kurikulum. Model ini merupakan pusat strategi
pembelajaran, di mana pembelajar belajar konsep utama dari suatu pengetahuan
melalui kerja proyek. Oleh karena itu, kerja proyek bukan merupakan praktik
tambahan dan aplikasi praktis dari konsep yang sedang dipelajari, melainkan
menjadi sentral kegiatan pembelajaran di kelas. Dengan demikian, kegiatan
pembelajaran akan dapat dilaksanakan secara optimal. Melalui proyek ini
pembelajar akan mengalami dan belajar konsep-konsep.
Kedua, prinsip pertanyaan pendorong/penuntun (driving question) bahwa kerja
proyek berfokus pada pertanyaan atau permasalahan yang dapat mendorong
pembelajar untuk berjuang memperoleh konsep atau prinsip utama suatu bidang
tertentu. Kaitan antara pengetahuan konseptual dengan aktivitas nyata dapat
ditemui melalui pengajuan pertanyaan (Blumenfeld, dkk., 1991 dalam Thomas,
2000: 3). Jadi dalam hal ini kerja proyek sebagai motivasi eksternal yang mampu
menumbuhkan motivasi internal pembelajar dalam mengerjakan tugas-tugas.
Ketiga, prinsip investigasi konstruktif (contructive investigation) merupakan
proses yang mengarah pada pencapaian tujuan, yang mengandung kegiatan
penyelidikan, pembangunan konsep, dan resolusi. Dalam investigasi memuat
proses perancangan, pembuatan keputusan, penemuan masalah, pemecahan

16
masalah, discovery/penemuan, dan pembentukan model. Di samping itu, dalam
kegiatan pembelajaran berbasis proyek ini harus tercakup proses transformasi dan
konstruksi pengetahuan (Bereiter & Scardamalia, 1999 dalam Thomas, 2000: 4).
Jika kegiatan utama dalam kerja proyek tidak menimbulkan masalah bagi
pembelajar, atau permasalahan itu dapat dipecahkan oleh pembelajar melalui
pengetahuan yang dimiliki sebelumnya, maka kerja proyek itu sekadar “latihan”,
bukan proyek dalam konteks pembelajaran berbasis proyek. Oleh karena itu,
penentuan jenis proyek haruslah dapat mendorong pembelajar untuk
mengkonstruksi pengetahuan sendiri guna memecahkan persoalan yang
dihadapinya. Pengajar dituntut mampu merancang suatu kerja proyek yang
menumbuhkan rasa ingin meneliti, rasa untuk berusaha memecahkan masalah, dan
rasa ingin tahu yang tinggi.
Keempat, prinsip otonomi (autonomy) dalam pembelajaran berbasis proyek
dapat diartikan sebagai kemandirian pembelajar dalam melaksanakan proses
pembelajaran, yaitu bebas menentukan pilihannya sendiri, bekerja dengan sedikit
pengawasan, dan bertanggung jawab. Dalam hal ini pengajar hanya berperan
sebagai fasilitator dan motivator untuk mendorong tumbuhnya kemandirian
pembelajar.
Kelima, prinsip realistis (realism) berarti bahwa proyek merupakan sesuatu
yang nyata. Pembelajaran berbasis proyek harus dapat memberikan perasaan
realistis kepada pembelajar, termasuk dalam memilih topik, tugas, dan peran
konteks kerja, kolaborasi kerja, produk, pelanggan, maupun standar produknya.
Gordon (1998) dalam Tohmas, (2000: 4) membedakan antara tantangan akademis,
tantangan yang dibuat-buat, dan tantangan nyata. Pembelajaran berbasis proyek
mengandung tantangan yang berfokus pada permasalahan yang otentik (bukan
simulasi), bukan yang dibuat-buat, dan solusinya dapat diimplementasikan di
lapangan. Pengajar harus mampu merancang proses pembelajaran yang nyata dan
hal ini bisa dilakukan dengan mengajak pembelajar belajar pada dunia kerja yang
sesungguhnya dan mampu menggunakan dunia nyata sebagai sumber belajar bagi
pembelajar. Kegiatan ini akan dapat meningkatkan motivasi intrinsik, kreativitas,
dan kemandirian pembelajar dalam pembelajaran.

17
F. Langkah-langkah Pembelajaran Berbasis Proyek

Langkah-langkah pembelajaran berbasis proyek sebagaimana yang


dikembangkan oleh The George Lucas Educational Foundation (2005) terdiri
dari kegiatan berikut.
1. Dimulai dengan Pertanyaan Esensial
Pembelajaran dimulai dengan pertanyaan esensial, yaitu pertanyaan yang
dapat memberi penugasan kepada pembelajar untuk melakukan suatu aktivitas.
Pertanyaan-pertanyaan ini nantinya akan membentuk sebuah tema proyek. Tema
yang diangkat mesti sesuai dengan realitas dunia nyata dan relevan untuk para
pembelajar. Menurut Santyasa (2011: 169) tema proyek hendaknya memenuhi
indikator-indikator (a) memuat gagasan umum dan orisinal, (b) penting dan
menarik, (c) mendeskripsikan masalah kompleks, (d) mencerminkan hubungan
berbagai gagasan, dan (e) mengutamakan pemecahan masalah ill defined.
2. Merencanakan Proyek
Perencanaan dilakukan secara kolaboratif antara pengajar dan pembelajar.
Pembelajar diharapkan merasa “memiliki” atas proyek tersebut. Perencanaan
berisi tentang aturan main, pemilihan aktivitas yang dapat mendukung dalam
menjawab pertanyaan esensial dengan cara mengintegrasikan berbagai subjek
yang mungkin, serta mengetahui alat dan bahan yang dapat diakses untuk
membantu penyelesaian proyek. Santyasa (2011: 169) menyatakan pengalaman
belajar terkait dengan merencanakan proyek adalah (a) membaca, (b) meneliti, (c)
mengorbservasi, (d) mewawancarai, (e) merekam, (f) mengunjungi obyek yang
berkaitan dengan proyek, dan (g) mengakses internet.
3. Membuat Jadwal
Pengajar dan pembelajar secara kolaboratif menyusun jadwal aktivitas
dalam menyelesaikan proyek. Aktivitas pada tahap ini antara lain: (a) membuat
timeline untuk menyelesaikan proyek, (b) menentukan deadline penyelesaian
proyek, (c) mengarahkan pembelajar agar merencanakan cara-cara efektif
menyelesaikan proyek, (d) membimbing pembelajar ketika mereka membuat
atau menggunakan cara yang tidak berhubungan dengan proyek, dan (e)

18
meminta pembelajar untuk membuat penjelasan (alasan) tentang pemilihan
suatu cara.
4. Memantau Pembelajar dan Kemajuan Proyek
Pengajar bertanggungjawab untuk melakukan monitoring terhadap aktivitas
pembelajar selama menyelesaikan proyek. Monitoring dilakukan dengan cara
memfasilitasi pembelajar di setiap proses. Dengan kata lain pengajar berperan
menjadi mentor bagi aktivitas pembelajar. Agar mempermudah proses
monitoring, dibuat sebuah rubrik yang dapat merekam keseluruhan aktivitas
selama penyelesaian proyek.
5. Penilaian Proyek
Penilaian dilakukan untuk membantu pengajar mengukur ketercapaian
tujuan pembelajaran. Penilaian ini juga bertujuan untuk mengetahui kemajuan
belajar masing-masing pembelajar, memberi umpan balik tentang tingkat
pemahaman yang sudah dicapai pembelajar, dan membantu pengajar dalam
menyusun strategi pembelajaran berikutnya.
6. Evaluasi Pengalaman
Pada akhir proses pembelajaran, pengajar dan pembelajar melakukan
refleksi terhadap aktivitas dan hasil proyek yang sudah dijalankan. Proses
refleksi dilakukan baik secara individu maupun kelompok. Pada tahap ini
pembelajar diminta untuk mengungkapkan perasaan dan pengalamannya selama
menyelesaikan proyek. Pengajar dan pembelajar mengembangkan diskusi dalam
rangka memperbaiki kinerja selama proses pembelajaran, sehingga pada
akhirnya ditemukan suatu temuan baru (new inquiry) untuk menjawab
permasalahan yang diajukan pada tahap pertama pembelajaran.
Implementasi langkah-langkah pembelajaran berbasis proyek di saat tertentu
mungkin akan mengalami kendala. Kendala itu cenderung bersumber dari
pembelajar. Kurangnya pemahaman terhadap proyek dapat menyebabkan
pembelajar tidak tahu apa yang harus dikerjakan dan bagaimana cara
mengerjakannnya. Ewdards Deming dalam Jonhson, (2011: 293) mengatakan
bahwa agar pembelajar dapat menyelesaikan sebuah proyek dengan sukses, maka
sebaiknya mereka dibiasakan menjalankan kegiatan arrange (mengatur), begin
(memulai) change (mengubah) dan demonstrate (mempertunjukkan). Keempat

19
kegiatan itu dilaksanakan secara bertahap. Mulai arrange yaitu pembelajar mesti
mengetahui tujuan belajarnya, memutuskan proyek yang akan dikerjakan, mengatur
waktu sebaik-baiknya. Setelah itu, begin yaitu mulai mengerjakan proyek yang
sudah diputuskan. Sambil bekerja, pembelajar melakukan perubahan (change) yang
akan memperkuat dan memperbaiki proyek dan yang terakhir menunjukkan
(demonstrate) apa yang telah dicapai pembelajar dalam menyelesaikan proyek.

G. Metode Penilaian Pembelajaran Berbasis Proyek

Pembelajaran berbasis proyek mengarahkan pengajar dan pembelajar


menghindari penilaian tes tertulis namun lebih mengarah ke praktek penilaian
otentik. Penguasaan materi pembelajaran merupakan hal penting namun dalam
pembelajaran berbasis proyek yang lebih ditekankan adalah menggunakan
pengetahuan dan keterampilan untuk memecahkan masalah. Dalam pembelajaran,
pembelajar dituntut memahami isi, tetapi juga harus mampu menerapkannya dalam
konteks dunia nyata.
Bentuk-bentuk penilaian otentik diperlukan untuk mengevaluasi
keterampilan berupa berpikir tingkat tinggi, kemampuan menghasilkan produk
yang berkualitas, dan cara penyelidikan pembelajar untuk menghasilkan
pengetahuan yang bermanfaat. Aktivitas penilaian dalam pembelajaran berbasis
proyek sebaiknya mencakup penilaian formatif untuk memungkinkan umpan balik
selama berlangsungnya proyek dan penilaian sumatif pada akhir pembelajaran.
Operasionalnya metode-metode penilaian otentik meliputi: portofolio,
pengukuran kinerja, proyek, dan jawaban tertulis secara lengkap (esai) (Johnson
(2011: 290). Asesmen portofolio adalah asesmen yang menitikberatkan pada upaya
mengases aktivitas berpusat pada pembelajar, yang berarti bahwa pembelajaran
memiliki input tidak hanya ditujukan pada portofolio, tetapi juga pada bagaimana
isi tersebut dievaluasi (Santyasa, 2011: 171). Portofolio menggambarkan keunikan
dari setiap pembelajar, karena memberi pada pembelajar pilihan, menggunakan
gaya belajar, dan memberikan kesempatan untuk maju, serta mendorong dan
memotivasi belajar. Umumnya portofolio dinilai oleh pengajar bersama-sama
dengan pihak di sekolah atau masyarakat luas. Portofolio bukan merupakan
kumpulan bukti tugas/proyek semata yang tidak memiliki makna. Dasar

20
penyusunan portofolio adalah tujuan yang hendak dicapai dalam pembelajaran.
Wyatt dan Looper (2002) dalam Dantes (2008) menyebutkan, berdasarkan
tujuannya sebuah portofolio dapat berupa developmental portfolio, bestwork
portfolio, dan showcase portfolio. Developmental portfolio disusun demikian rupa
sesuai dengan langkah-langkah kronologis perkembangan yang terjadi. Oleh karena
itu, pencatatan mengenai kapan suatu artefak dihasilkan menjadi sangat penting,
sehingga perkembangan program tersebut dapat dilihat dengan jelas. Bestwork
portfolio adalah portofolio karya terbaik. Karya terbaik diseleksi sendiri oleh
pemilik portofolio (pembelajar) dan diberikan alasannya. Karya terbaik dapat lebih
dari satu. Showcase portfolio adalah portofolio yang lebih digunakan untuk tujuan
pajangan, sebagai hasil dari suatu kinerja tertentu.
Asesmen kinerja digunakan untuk mengukur penguasaan kompetensi oleh
pembelajar dalam menyelesaikan suatu proyek. Penilaian ini menuntut pembelajar
untuk menujukan perilaku, bentuk kegiatan, dan perbuatan. Melalui penilaian
kinerja menunjukkan bahwa pembelajar telah menguasai konsep, prosedur, dan
keterampilan tertentu yang terdapat dalam tujuan pembelajaran. Adanya asesmen
kinerja memicu pembelajar untuk berusaha memahami dan memenuhi kriteria yang
dipersyaratkan. Asesmen ini juga dapat digunakan untuk menunjukkan tentang
minat dan bakat pembelajar secara pribadi, karena dari sana dapat diketahui secara
langsung kompetensi pembelajar tentang hal yang dikerjakan.
Terdapat tiga komponen utama dalam asesmen kinerja, yaitu tugas kinerja
(performance task), rubrik performansi (performance rubrics), dan cara penilaian
(scoring guide). Tugas kinerja adalah suatu tugas yang berisi topik, standar tugas,
deskripsi tugas, dan kondisi penyelesaian tugas. Rubrik performansi merupakan
suatu rubrik yang berisi komponen-komponen suatu performansi ideal, dan
deskriptor dari setiap komponen tersebut. Cara penilaian kinerja ada tiga, yaitu (1)
holistic scoring, yaitu pemberian skor berdasarkan impresi penilai secara umum
terhadap kualitas performansi; (2) analytic scoring, yaitu pemberian skor terhadap
aspek-aspek yang berkontribusi terhadap suatu performansi; dan (3) primary traits
scoring, yaitu pemberian skor berdasarkan beberapa unsur dominan dari suatu
performansi (Dantes, 2008).

21
Asesmen proyek mengacu pada kegiatan apa saja termasuk memecahkan
masalah yang dilakukan untuk mendapatkan sebuah hasil (Jhonson, 2011). Metode
proyek menghubungkan muatan akademik dengan dunia nyata sehingga proyek
mampu membangkitkan antusiasme para pembelajar untuk berpartisipasi. Untuk
dapat menyelesaikan proyek dengan baik, pengajar dapat memberikan bimbingan
dan membuka jalan pikiran pembelajar untuk menyelesaikan proyek. Cara yang
dapat digunakan adalah: 1) mengatur proyek meliputi penetapan tema dan tujuan
proyek, merencanakan pelaksanaan proyek, pengaturan waktu pengerjaan, dan
penyiapan sarana prasarana yang diperlukan, 2) mulai mengerjakan proyek sesuai
apa yang telah direncanakan, 3) sambil proyek dikerjakan dilakukan perubahan
berupa perbaikan kualitas proyek, dan 4) demonstrasi atau menunjukkan hasil final
proyek. Asesmen proyek yang digunakan untuk mengukur kinerja kelompok di
dalamnya dapat diterapkan penilaian antar siswa yang dikenal dengan istilah peer
assessment atau metode penilaian yang menggunakan pembobotan berdasarkan
nilai diri yang diberikan oleh rekan-rekan dalam satu tim. Penilaian ini digolongkan
sebagai innovative student assessment dengan tujuan menciptakan kondisi
pembelajaran yang kondusif baik bagi siswa maupun guru (Mowl 1996 dalam
Wiradinata & Tjahjono, 2006: 179).
Menurut Korkidis (2009) proses menilai sebuah proyek membutuhkan tiga
langkah, yaitu (1) menyelaraskan produk dengan hasil, (2) tahu apa yang harus
dinilai, dan (3) rubrik yang digunakan. Langkah pertama adalah menyelaraskan
produk dari pembelajaran berbasis proyek dengan hasil yang diharapkan. Produk
dapat berupa presentasi, makalah, pameran, atau model yang diselesaikan selama
fase proyek. Pertanyaan yang perlu diperhatikan adalah produk apa yang akan
memberikan bukti yang memadai terhadap proses belajar pembelajar? Setelah
memutuskan jenis produk, diperlukan kriteria untuk menilai setiap produk melalui
penulisan rubrik penilaian. Tiga pertanyaan dasar dari rubrik penilaian yaitu: 1)
seberapa baik pembelajar mengetahui/menguasai konten/materi? 2) Berapa tingkat
keterampilan pembelajar? 3) Seberapa baik pembelajar menerapkan pengetahuan
dan keterampilannya dalam mempersiapkan produk? Produk final pada akhir
proyek merupakan perpaduan dari pengetahuan materi dan keterampilan yang
memberikan pembelajar kesempatan untuk menunjukkan pemahaman di berbagai

22
topik dan keterampilan. Sebuah contoh produk final yang digunakan adalah
pameran. Pameran adalah salah satu jenis proyek di mana pembelajar memiliki
kesempatan untuk menunjukkan pekerjaan mereka dan melaporkan apa yang telah
mereka pelajari. Pameran merupakan metode penilaian ganda. Pengetahuan konten,
misalnya dapat diakses berdasarkan kinerja pembelajar secara individu dan produk
yang didasarkan kinerja. Setelah pameran, refleksi diri memungkinkan pembelajar
untuk menjelaskan bagaimana pemikiran mereka berubah sebagai akibat dari
partisipasi mereka. Selain itu, orang lain selain pembelajar dan guru juga dapat
terlibat dalam proses penilaian. Penilaian sejawat serta evaluasi oleh para ahli (guru
lain) dapat melengkapi penilaian guru dan pembelajaran pembelajar.
Langkah kedua mengetahui apa yang harus dinilai. Isi pengetahuan dan
keterampilan perlu dipisahkan dan ditata dalam serangkaian pernyataan spesifik
tentang apa yang harus dipelajari. Pernyataan-pernyataan ini kemudian menjadi
dasar dari proses penilaian. Selama pembelajaran pengajar juga dapat menilai pola
pikir pembelajar, ketekunan pembelajar, fleksibilitas, kemampuan untuk berbagi,
dan bekerja sama dengan orang lain.
Langkah ketiga menggunakan rubrik sebagai acuan memberikan penilaian.
Rubrik adalah alat pengorganisasian yang sangat baik untuk setiap proyek. Rubrik
memudahkan pengajar melakukan penilaian secara konsisten.
Asesmen tanggapan tertulis secara lengkap (esai) memungkinkan para
pembelajar mempertunjukkan penguasaan mereka atau tujuan belajar sambil
mempertajam keahlian berpikir dalam tingkatan yang lebih tinggi. Jawaban-
jawaban tertulis dapat diwujudkan dalam berbagai format, di antaranya surat
persuasi, buku pedoman pelatihan teknis, brosur, studi kelayakan, esai penelitian,
dan esai pendek (Johnson, 2011). Tes esai memiliki potensi untuk mengukur hasil
belajar pada tingkatan yang lebih tinggi. Butir tes esai memberi kesempatan kepada
pembelajar untuk menyusun, menganalisis, dan mensintesiskan ide-ide, dan
pembelajar harus mengembangkan sendiri buah pikirannya serta menuliskannya
dalam bentuk yang tersusun atau terorganisasi. Kelemahan esai adalah berkaitan
dengan penskoran. Ketidakkonsistenan pembaca merupakan penyebab kurang
objektifnya dalam memberikan skor dan terbatasnya reliabilitas tes. Namun hal ini
dapat diminimalkan melalui penggunaan rubrik penilaian dan penilai ganda.

23
Apa pun bentuk penilaian otentik yang digunakan intinya adalah para
pembelajar mampu mempertunjukkan secara lengkap penguasaan kompetensi
selama dan sesudah pembelajaran. Penilaian otentik menjadikan pembelajar
berminat menghubungkan pengalaman akademik dengan dunia nyata dengan cara-
cara yang bermakna. Pembelajar tidak menghafalkan fakta, tetapi menggunakan
keahlian berpikir dalam tingkatan yang lebih tinggi.

H. Temuan Penelitian dan Keunggulan Pembelajaran Berbasis Proyek

Penelitian yang dilakukan oleh Ruenglertpanyakul, Vicheanpant, Chanchaona,


Nantawisarakul (2012) pada mata pelajaran bahasa Inggris menunjukkan bahwa
pencapaian prestasi belajar bahasa Inggris melalui kelompok PjBL lebih baik
daripada kelompok tradisional. PjBL ternyata memberikan dampak positif untuk
meningkatkan kinerja belajar siswa. Iklim PjBL membuat siswa lebih mudah
memahami pelajaran dan siswa memiliki sikap yang baik terhadap pembelajaran.
Berikut adalah kutipan salah satu subjek penelitian yang mengikuti pembelajaran
dengan model PjBL. “Ini merupakan metode baru di kelas bahasa Inggris, dan saya
merasa senang dan tidak pernah merasa bosan karena guru menyediakan berbagai
kegiatan belajar di kelas. Saya bisa lebih mudah mengingat kosakata tanpa
pengulangan”. Dalam pembelajaran siswa berani mencoba dan tidak merasa takut
salah. Selain itu, PjBL membantu mereka meningkatkan kerja sama tim. Kerja sama
tim mendorong siswa saling membantu satu sama lain, berkembangnya sikap
toleran dalam kelompok, dan usaha bersama untuk menyelesaikan tugas. Dari
penelitian ini PjBL yang digunakan telah mengubah cara siswa belajar ke arah yang
lebih baik.
Vicheanpant dan Ruenglertpanyakul (2012) melakukan penelitian berkaitan
dengan perbandingan pendapat antara guru dan siswa tentang pembelajaran
berbasis proyek untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi. Tujuan dari
penelitian yang dilakukan adalah untuk menyelidiki apakah guru dan siswa setuju
bahwa PjBL membantu siswa belajar mengembangkan komunikasi yang lebih
efektif dengan sikap positif. Subyek dalam penelitian ini adalah siswa SMA dari
Sekolah Darunsikkhalai-Bangkok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa guru dan
siswa memiliki titik pandang yang sama bahwa menggunakan PjBL untuk mengajar

24
komunikasi dapat membantu siswa memahami pelajaran dengan mudah dan
membuat mereka lebih tertarik untuk belajar komunikasi. Cara ini juga membantu
menciptakan suasana yang positif ketika pembelajaran berlangsung.
Kesimpulannya, PjBL dapat membantu siswa belajar komunikasi yang lebih efektif
yang diawali dengan tumbuhnya sikap positif dan guru merasa puas menggunakan
PjBL untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Tumbuhnya sikap positif tersebut
ditandai dengan sebagian besar siswa terusik untuk berpartisipasi secara aktif
daripada hanya duduk di kelas untuk mendengarkan ceramah guru atau hanya
melakukan latihan. Sikap ini membantu siswa lebih mudah memahami pelajaran
dan juga mendorong mereka untuk mengembangkan keterampilan. Dengan
demikian apa yang menjadi tujuan pembelajaran yaitu dikuasainya keterampilan
berkomunikasi dapat tercapai secara efektif.
Widiyatmoko (2012) melakukan penelitian tentang pembelajaran berbasis
proyek pada mata kuliah produksi media dan alat peraga IPA. Tujuan penelitiannya
adalah untuk mengembangkan kemampuan mahasiswa memproduksi alat peraga
IPA melalui pembelajaran berbasis proyek dengan memanfaatkan bahan bekas
pakai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan menggunakan PjBL mahasiswa
telah mampu mengembangkan dan menghasilkan alat peraga IPA dengan baik. Hal
ini dibuktikan dari penilaian laporan yang berisikan rancangan desain produk
dengan rentang skor yang diperoleh antara 82 sampai dengan 92 dan dari penilaian
produk yang telah dibuat mahasiswa lebih dari 85% telah mendapatkan kategori
baik. Simpulan dari penelitian ini adalah penerapan pembelajaran berbasis proyek
meningkatkan kemampuan mahasiswa dapat mengembangkan alat peraga IPA
dengan memanfaatkan bahan bekas pakai. Iklim PjBL memungkinkan mahasiswa
memperluas wawasan pengetahuan dari mata kuliah produksi media dan alat
peraga IPA. Pengetahuan yang diperoleh menjadi lebih berarti dan kegiatan
pembelajaran menjadi lebih menarik, karena pengetahuan itu bermanfaat baginya
untuk lebih mengapresiasi lingkungannya dengan memanfaatkan bahan bekas
pakai, lebih memahami, dan memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan
sehari-sehari. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pembelajaran berbasis
proyek adalah sebuah pembelajaran yang relevan dengan melibatkan aspek

25
lingkungan tempat mahasiswa berada dan belajar dengan melibatkan kreativitas
yang ada dalam diri mahasiswa.
Penelitian yang dilakukan Gokhan Bas (2011) yang menyelidiki pengaruh
pembelajaran berbasis proyek pada prestasi belajar dan sikap siswa terhadap
pelajaran Bahasa Inggris siswa kelas 9. Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa
belajar berbasis proyek lebih efektif meningkatkan prestasi belajar siswa. Pada
akhir penelitian, terungkap bahwa siswa yang dididik oleh belajar berbasis proyek
lebih berhasil dan memiliki sikap positif yang lebih tinggi terhadap pelajaran
daripada siswa yang dididik menggunakan metode tradisional.
Efektif yang dimaksud adalah meningkatnya tanggung jawab siswa untuk
terlibat dalam pembelajaran berbasis proyek. Bekerja dalam kelompok, membuat
siswa belajar bertanggungjawab, memberi mereka motivasi untuk belajar, dan
memungkinkan mereka untuk memperoleh pengetahuan dengan menerima ide yang
berbeda dan memahami titik pandang orang lain dalam pembelajaran. Efek positif
dari pembelajaran berbasis proyek juga dinyatakan oleh Tretten dan Zachariou
(1995), Korkmaz (2002), Çiftçi (2006) dan Ozdemir (2006) (dalam Gokhan Bas ,
2011) yang menemukan dalam penelitianya bahwa siswa yang dididik
menggunakan pembelajaran berbasis proyek lebih berhasil dalam meningkatkan
keterampilan pemecahan masalah, harga diri, minat terhadap topik, kebiasaan kerja,
komunikasi, motivasi, mengambil risiko akademik, dan keterampilan berpikir
kreatif. Pada penelitian ini, dapat dikatakan bahwa pembelajaran berbasis proyek
tidak hanya memiliki efek yang positif pada tingkat prestasi belajar siswa juga
sikap siswa terhadap pelajaran. Adanya unsur kolaboratif memungkinkan siswa
untuk saling bertukar ide-ide dari satu sama lain, menyuarakan pendapat mereka
sendiri, dan melakukan negosiasi solusi. Semua keterampilan ini diperlukan dunia
nyata yang pandang berdampak terhadap pembentukan sikap positif siswa terhadap
pembelajaran.
Penelitian yang dilakukan Santyasa (2009) dalam Santyasa (2011: 173)
memberikan indikasi bahwa penerapan PjBL dapat meningkatkan keefektifan
pembelajaran. keefektifan pembelajaran yang dimaksud adalah proses belajar yang
diwarnai oleh deep dialoge/critical thinking dan dalam menghasilkan produk-
produk nyata yang berkualitas. Pembelajar memperoleh pengetahuan kritis,

26
kemahiran pemecahan masalah, strategi belajar mandiri, dan keterampilan
berpartisipasi dalam kelompok.
Pembelajaran berbasis proyek memfokuskan pada aktivitas belajar pembelajar.
Penguasaan kompetensi menjadi bermakna dengan ditemukannya fakta, konsep,
prinsip, maupun prosedur dalam menyelesaikan sebuah proyek. Terdapat beberapa
keunggulan dari pembelajaran berbasis proyek. Pertama, pembelajaran berbasis
proyek mampu menumbuhkan sikap positif pembelajar terhadap pembelajaran.
Sikap ini membantu pembelajar dalam hal penguasaan konten dan mengembangkan
keterampilan (kolaborasi, berpikir kritis, dan pemecahan masalah). Kedua, dapat
meningkatkan motivasi belajar pembelajar. Motivasi intrinsik tumbuh berkaitan
dengan tugas-tugas otentik dan berdasarkan pada minat pembelajar. Motivasi ini
mendorong pembelajar bekerja dengan tekun dan selalu berusaha keras dalam
mencapai proyek. Ketiga, meningkatkan kemampuan pemecahan masalah. Proses
belajar pembelajar ditandai dengan adanya masalah. Pembelajar menganalisis
masalah dan mencetuskan sebuah solusi. Keempat, meningkatkan kolaborasi.
Pentingnya kerja kelompok dalam proyek menuntut pembelajar mengembangkan
dan mempraktikkan keterampilan komunikasi. Teori-teori kognitif dan
konstruktivistik menegaskan bahwa belajar adalah fenomena sosial dan pembelajar
akan belajar lebih mudah dalam lingkungan kolaboratif. Kelima, meningkatkan
keterampilan mengelola sumber-sumber. Bila diimplementasikan secara baik maka
pembelajar akan belajar mengorganisasi proyek, membuat alokasi waktu, dan
sumber-sumber lain seperti perlengkapan untuk menyelesaikan tugas (Anatta,2007
dalam Susanti & Muchtar,2008; Brush & Saye, 2008; Krajcik, dkk, 1998).

I. Implementasi Pembelajaran Berbasis Proyek pada Mata Pelajaran

Pembelajaran berbasis proyek dapat diterapkan pada semua bidang studi


(Santyasa, 2006: 12). Mata pelajaran produktif produksi audio video di SMK
merupakan mata pelajaran yang berorientasi pada penguasaan pengetahuan dan
keterampilan untuk menghasilkan produk. Memaksimalkan penguasaan
kompetensi dapat dilakukan dengan menerapkan model pembelajaran berbasis
proyek. Model ini bila dikaji dari landasan konseptualnya sangat relevan dengan
tuntutan kompetensi di SMK. Pembelajar SMK tidak hanya dituntut terampil

27
menguasai pengetahuan dan keahlian, juga harus mampu memecahkan masalah
nyata yang berkaitan dengan dunia kerja. Proses pembelajaran di sekolah tidak
cukup dengan memberikan pembelajar latihan membuat dan meniru produk yang
sudah ada. Pembelajar perlu diberikan kesempatan untuk menciptakan dan
menyelesaikan produk-produk kreatif inovatif yang memiliki nilai kebermanfaatan.
Beranjak pada landasan konseptual langkah-langkah pelaksanaan
pembelajaran berbasis proyek. Berikut ini dijelaskan gambaran konkret
implementasinya pada mata pelajaran produktif produksi audio video di SMK
jurusan multimedia.
Kompetensi dasar (KD) yang akan dicapai pada mata pelajaran produksi audio
video adalah “merancang dan mengedit video digital” dengan hasil akhir berupa
video dengan kualitas standar. Untuk mencapai KD dirumuskan beberapa tujuan
pembelajaran berikut ini.
1. Mengungkapkan ide yang akan divideokan
2. Menjelaskan komponen-komponen storyboard video
3. Mendesain storyboard untuk produksi video digital
4. Memberikan efek pada video
5. Memasukkan teks ke dalam video
6. Menggabungkan video digital track multiple sesuai dengan keperluan
7. Memberikan transisi pada penggabungan video
8. Memasukkan suara/musik ke dalam video
9. Menyimpan video digital ke dalam kepingan CD
KD dan tujuan pembelajaran di atas dituangkan dalam RPP. Guru dalam
merancang RPP dapat berkolaborasi dengan siswa tentang kesepakatan kegiatan-
kegiatan pembelajaran yang akan dilaksanakan. Selanjutnya, pelaksanaan
pembelajaran mengikuti sintaks pembelajaran berbasis proyek yang dikembangkan
oleh The George Lucas Educational Foundation.

a. Dimulai dengan Pertanyaan Esensial


Di awal pembelajaran berbasis proyek, guru menjelaskan tujuan
pembelajaran yang sudah dirumuskan di atas. Motivasi belajar siswa juga perlu
dibangkitkan dengan memberikan ilustrasi mengenai pentingnya rumusan tujuan

28
pembelajaran untuk dicapai. Berdasarkan hakikat model pembelajaran berbasis
proyek, guru membentuk kelompok-kelompok heterogen yang beranggotakan 4-5
orang. Guru memberikan pertanyaan esensial yang berbunyi: apa yang mesti kalian
hasilkan/produksi yang berdampak positif bagi masyarakat baik itu dunia kerja,
dunia industri, sekolah, instansi pemerintah dan yang lainnya kaitannya dengan
kompetensi merancang dan mengedit video digital? Untuk dapat menjawab
pertanyaan tersebut siswa dalam kelompok melakukan brainstorming. Curah
pendapat ini akan membantu siswa untuk menemukan ide-ide orisinil. Dengan
bantuan guru, beberapa ide yang sudah terkumpul selanjutnya dianalisis. Misalnya,
dari hasil brainstorming terkumpul ide berupa : 1) pembuatan video iklan,
pembuatan video profile, 3) pembuatan video documenter, dan lain sebagainya.
Upaya untuk memastikan bahwa topik proyek dapat memecahkan masalah
dan memberi dampak bagi masyarakat perlu dilakukan investigasi. Siswa
berinvestigasi untuk mengetahui tingkat daya guna atau kebutuhan produk yang
akan dibuat. Siswa dapat mencari informasi di internet atau menjajagi secara
langsung pihak-pihak yang berpeluang membutuhkan produk yang akan
diproduksi. Selama berinvestigasi siswa harus selektif mencari masalah-masalah
yang dihadapi oleh masyarakat, dan itu memang perlu solusi yang berkaitan dengan
pengetahuan dan keterampilan yang dipelajari. Misalnya, hasil investigasi tim
menemukan bahwa sekolah-sekolah belum memiliki profil sekolah, instansi
pemerintah juga tidak memiliki profil digital hanya dalam bentuk tercetak saja,
begitu juga dunia usaha/industri tidak memiliki iklan yang persuasif. Dari berbagai
permasalahan yang ditemui, tim perlu mengkaji secara kritis proyek yang akan di
ambil. Hal-hal yang dapat digunakan sebagai pertimbangan misalnya, tingkat
kerumitan proyek, waktu yang diperlukan, kisaran biaya yang diperlukan, serta
sumber daya lainnya. Siswa juga dapat meminta pertimbangan dari guru untuk
memutuskan jenis proyek yang akan diambil dengan tetap mengacu pada tujuan
pembelajaran yang hendak dicapai. Kerja sama antara siswa (tim) dengan dunia
usaha/industri maupun instansi pemerintah sangat diperlukan untuk memastikan
kevalidan data-data yang diperlukan selama pembuatan proyek.

29
b. Merencanakan Proyek
Topik proyek yang sudah ditetapkan, selanjutnya tim membuat perencanaan
secara kolaboratif antara guru dan siswa. Berkaitan dengan point a, misalkan
siswa (salah satu tim) memilih untuk membuat profil sekolah, maka siswa harus
membuat perencanaan yang komprehensif. Perencanaan tersebut menyangkut: 1)
pemilihan konten atau materi yang akan dibuatkan profil, 2) urutan langkah-
langkah mengerjakan profil, 3) pembagian kerja serta siapa yang mengerjakan, 4)
perincian alat dan bahan yang diperlukan misalnya, komputer, printer, handycam,
kamera photo, kertas, kepingan DVD, maupun cover box, 5) aturan mengerjakan
proyek untuk mencegah terjadinya lepas tanggung jawab dari anggota tim, dan 6)
perkiraan biaya yang diperlukan.
c. Membuat Jadwal
Guru dan siswa secara kolaboratif menyusun jadwal penyelesaian
proyek. Aktivitas pada tahap ini antara lain: 1) membuat perkiraan waktu yang
diperlukan untuk menyelesaikan proyek, 2) membuat deadline penyelesaian
proyek, dan 3) menetapkan waktu untuk mempublikasikan proyek. Setiap tim
wajib membuat jadwal untuk menyelesaikan proyek. Jadwal ini menuntun langkah-
langkah yang mesti dilakukan siswa setiap kali pertemuan mata pelajaran produksi
audio video.
d. Memantau Siswa dan Kemajuan Proyek
Selama mengerjakan proyek guru bertanggungjawab untuk melakukan
monitoring terhadap aktivitas siswa. Monitoring dilakukan untuk mengawasi
kemajuan siswa selama menyelesaikan proyek. Guru menggunakan rubrik
penilaian yang digunakan untuk mengukur kemajuan setiap siswa dan tim dalam
menyelesaikan proyeknya. Monitoring juga dapat digunakan sebagai evaluasi
formatif. Sambil menyelesaikan proyek guru juga menilai aktivitas dan kontribusi
setiap siswa dalam tim.
Dalam kegiatan monitoring guru juga memotivasi dan memfasilitasi siswa
apabila mengalami hambatan dalam menyelesaikan proyek. Misalnya, adanya
teknik-teknik tertentu yang tidak dapat dikuasai dalam mengedit video. Guru
berperan membantu siswa untuk menemukan dan menguasai keterampilan yang
diperlukan.

30
Selama proses pengerjaan proyek, siswa sekaligus belajar cara membuat
storyboard, memberikan efek pada video, memasukkan teks ke dalam video,
menggabungkan video digital track multiple sesuai dengan keperluan, memberikan
transisi pada penggabungan video, memasukkan suara/musik ke dalam video, dan
menyimpan video digital ke dalam kepingan CD. Siswa dalam kelompok
melakukan kerja sama saling membantu menguasai konsep dan keterampilan.
Difasilitasi oleh sumber belajar berupa modul ajar, multimedia, dan internet
memberikan kemudahan kepada siswa untuk mempelajari cara-cara dalam
pembuatan video. Pemilihan aktivitas belajar ini didasari oleh teori perkembangan
kognitif Piaget bahwa siswa pada usia 11 tahun sampai dewasa sudah mampu
berpikir abstrak, idealis, dan logis. Peran guru hanya membantu siswa ketika
mengalami hambatan. Kegiatan pembelajaran ini sekaligus menggambarkan
pencapaian tujuan pembelajaran.
e. Penilaian Proyek
Penilaian dilakukan untuk membantu guru dalam mengukur
ketercapaian penguasaan kompetensi. Guru menilai produk yang dihasilkan dari
proyek. Penilaian ini merupakan penilaian sumatif di mana proyek sudah
menghasilkan produk final. Penilaian produk juga tidak hanya dilakukan oleh guru.
Berdasarkan investigasi di awal pembelajaran, guru dan siswa dapat merancang
pameran dari produk-produk yang dihasilkan oleh masing-masing tim. Sekolah
atau guru dan siswa dapat mengundang pihak-pihak sasaran pengguna dari produk
yang dibuat. Misalnya, sekolah lain, instansi pemerintah, dunia usaha maupun
dunia industri. Para ahli dalam bidang video juga perlu diundang. Para undangan
pameran juga dilibatkan untuk menilai produk siswa. Penilaian ini akan membantu
guru memutuskan kualitas produk yang diproduksi.
Penilaian antar siswa juga penting dilakukan. Siswa dalam satu tim saling
menilai satu sama lain, ini dilakukan untuk menghindari kesenjangan antar anggota
tim. Guru dalam hal ini membantu membuatkan rubrik penilaian yang akan
digunakan siswa untuk menilai.
f. Evaluasi Pengalaman
Setelah melewati penilaian proyek, guru dan siswa melakukan refleksi
terhadap aktivitas dan hasil proyek yang sudah dijalankan. Proses refleksi

31
dilakukan baik secara individu maupun kelompok. Pada tahap ini siswa
diminta untuk mengungkapkan perasaan dan pengalamannya selama
menyelesaikan proyek. Guru dan siswa mengembangkan diskusi dalam rangka
memperbaiki kinerja selama proses pembelajaran. Saran revisi dari para ahli dan
pihak-pihak yang diundang dalam pameran dijadikan pijakan untuk merevisi
produk yang dibuat. Kegiatan revisi ini akan dapat meningkat kualitas produk
sehingga memiliki nilai jual yang tinggi. Refleksi juga menjadi bahan pertimbangan
bagi guru untuk membenahi proses pembelajaran berikutnya.
Aktivitas yang berkaitan dengan dunia nyata akan memudahkan siswa untuk
menguasai pengetahuan dan keterampilan. Siswa dilatih mengembangkan
kreativitas dan dengan proyek nyata siswa sekaligus berlatih untuk menyelesaikan
pekerjaan yang berkaitan dengan dunia nyata. Apabila model pembelajaran
berbasis proyek dapat dilaksanakan dengan baik dan didukung oleh lingkungan
sekolah maka niscaya lulusan SMK akan produktif menghasilkan produk-produk
kreatif dan inovatif.

32
DAFTAR PUSTAKA

Buck Institute for Education. 2012. Project based learning for the 21st century.
Tersedia pada http://www.bie.org/about/what_is_pbl. (diakses tanggal 22
Mei 2012).
Capraro, R. M. & Slough, S. W. 2009. Project-based learning: An integrated
science, technology, engineering, and mathematics (STEM) approach.
Texas: Sense Publishers.

Dantes, I N. 2008. Hakikat asesmen otentik sebagai penilaian proses dan produk
dalam pembelajaran yang berbasis kompetensi. Makalah disampaikan pada
in house training (IHT) SMA N 1 Kuta Utara 22 Mei 2008 di Kuta.
Degeng, I W. S. 1997. Strategi pembelajaran: Mengorganisasi isi dengan model
elaborasi. Malang: IKIP Malang.
Depdiknas. 2005. Peraturan pemerintah RI No. 19 tahun 2005 tentang standar
nasional pendidikan. Jakarta: Depdiknas.
Depdiknas. 2006. Peraturan menteri pendidikan nasional No. 23 tahun 2006
tentang standar kompetensi lulusan. Jakarta: Depdiknas.
Doppelt, Y. 2005. Assessment of project-based learning in a mechatronics context.
Journal of Technology Education Online. 16(2).

Erdem, E. 2012. Examination of the effects of project based learning approach on


students’ attitudes towards chemistry and test anxiety. World Applied
Sciences Journal.17(6). 764-769.
Eskrootchi, R. & Oskrochi, G. R. 2010. A study of the efficacy of project-based
learning integrated with computer-based simulation-STELLA. Journal
Educational Technology & Society, 13(1). 236–245.
Global SchoolNet, 2000. What is project based learning (PBL)? Tersedia pada
http://www.gsn.org/web/pbl/whatis.htm (diakses tanggal 22 Mei 2012).
Gokhan Baş. 2011. Investigating the effects of project-based learning on students
academic achievement and attitudes towards english lesson. The Online
Journal of New Horizons in Education. 1(4). 1-15.

Gredler, M. E. B. 1991. Belajar dan membelajarkan. Jakarta: CV Rajawali.


Johnson, E. B. 2011. Contextual teaching & learning: Menjadikan kegiatan
belajar-mengajar mengasyikkan dan bermakna. Bandung: Kaifa.
Korkidis. 2009. Can project-based learning (PBL) as a formative
instruction/assessment approach be used to successfully teach physic?
Tersedia pada http://ged550.wikispaces.com (diakses tanggal 22 Mei 2012).

33
Maxwell, N.L., Bellisimo, Y. & Mergendoller, J. 1999. Problem-based learning:
Modifying the medical school model for teaching high school economics.
Tersedia pada http://www.bie.org (diakses tanggal 20 Mei 2012).
Mayer, R. E. 2008. Learning and instruction. New Jersey: Pearson Education, Inc.
Ruenglertpanyakul, Vicheanpant, Chanchaona, Nantawisarakul. 2012. The project
based learning for develop student’s literacy and working skill in rural
school. European Journal of Social Sciences. 27(4). 518-531.
Santyasa, I W. 2006. Pembelajaran inovatif: Model kolaboratif, basis proyek, dan
orientasi NOS. Makalah disajikan dalam seminar di Sekolah Menengah
Atas (SMA) Negeri 2 Semarapura Tanggal 27 Desember 2006, di
Semarapura.

Santyasa, I W. 2011. Pembelajaran inovatif. Singaraja: Undiksha.


Seels, B. B. & Rita, C. R. 1994. Teknologi pembelajaran definisi dan kawasannya.
Jakarta: LPTK.

SRI International, Menlo Park, 2009. The power of project learning with
thinkquest. Menlo Park: Education Foundation.

Summers & Dickinson. 2012. A longitudinal investigation of project–based


instruction and student achievement in high school social studies. The
Interdisciplinary Journal of Problem-Based Learning. 6(1). 82-103.

Susanti, E. & Muchtar, Z. 2008. Pendekatan project based learning untuk


pembelajaran kimia koloid di SMA. Jurnal Pendidikan Matematika dan Sains
ISSN: 1907-7157.
The George Lucas Educational Foundation. 2005. Instructional module project
based learning. Tersedia pada http://www.edutopia.org/modules/
PBL/whatpbl.php. (diakses tanggal 20 Mei 2012).
Thomas, J.W. 2000. A Review of research on project-based learning. California:
The Autodesk Foundation.

Vicheanpant & Ruenglertpanyakul. 2012. Attitude about project-based learning and


lecture based for develop communication skill. European Journal of Social
Sciences. 28(4). 465-472.
Widiyatmoko, A. 2012. Pembelajaran berbasis proyek untuk mengembangkan alat
peraga IPA dengan memanfaatkan bahan bekas pakai. Jurnal Pendidikan IPA
Indonesia. 1(1). 51-56.
Winkel, W.S. 2005. Psikologi pengajaran. Yogyakarta: Media Abadi.
Wiradinata, T. & Thahjono, L. M. 2008. Peer assessment system pada perkuliahan
dengan metode project based learning di universitas ciputra. Jurnal Teknologi
& Manajemen Informatika. 6(9). 178-184.

34

Anda mungkin juga menyukai