Anda di halaman 1dari 12

REVITALISASI NILAI-NILAI BHINEKA TUNGGAL IKA BAGI PESERTA DIDIK

SEBAGAI UPAYA MELAWAN RADIKALISME DI DUNIA PENDIDIKAN


INDONESIA DALAM PERSPEKTIF FENOMENOLOGI NILAI MAX SCHELER
Oleh: Ignatius Rio Praseno (172925)

A. PENDAHULUAN
Radikalisme merupakan topik yang belakangan ini sedang hangat dibicarakan oleh
masyarakat Indonesia. Radikalisme kini menjadi semacam momok yang terus menghantui
kehidupan bangsa Indonesia, utamanya bagi persatuan dan kerukunan bangsa Indonesia.
Kasus-kasus radikalisme semakin hari semakin banyak terjadi. Kasus-kasus ini pun terjadi
hampir di setiap bidang kehidupan bangsa ini, mulai dari bidang politik, keagamaan bahkan
pendidikan.
Secara khusus dalam bidang pendidikan, radikalisme menjadi ancaman yang besar.
Pasalnya, dunia pendidikan merupakan salah satu bagian penting yang menentukan masa
depan bangsa. Dunia pendidikanlah yang akan membina dan mencetak para generasi bangsa.
Kenyataan sekarang ini adalah paham radikalisme telah masuk dalam dunia pendidikan
bangsa kita ini. Lalu dapat dibayangkan, jika radikalisme masuk ke dalam dunia
pendididkan bangsa ini, maka kemungkinan besar paham radikalisme ini dapat
terinternalisasi dalam diri para generasi penerus bangsa. Lalu pertanyaanya adalah
mungkinkah kesatuan NKRI akan tetap terjaga jika keadaaannya seperti ini?
Berangkat dari keprihatian ini, dirasa perlulah adanya revitalisasi nilai-nilai karakter
dalam diri peserta didik berdasarkan semangat kebhinekaan. Nilai-nilai kebhinekaan ini
dapat diambil dan didasarkan pada semboyan bangsa ini, yaitu Bhineka Tunggal Ika.
Harapannya dengan adanya revitalisasi penanaman nilai-nilai karakter ini, para peserta didik
dapat mengetahui pentingnya persatuan dan penghargaan akan perbedaan serta mampu
menolak paham radikalisme .
Belum lepas dari keprihatinan ini, penulis secara pribadi menyumbangkan buah pikirnya
terhadap masalah radikalisme di dunia pendidikan dalam karya tulis ini. Penulis mencoba
melihat kasus radikalisme ini dalam perspektif fenomenogi nilai Max Scheler dan
menyumbangkan sebuah solusi yang dapat dipakai. Dengan tulisan ini diharapkan para
pembaca, terutama bagi mereka yang berkecimpung di dunia pendididkan, dapat memiliki
gambaran mengenai pentingnya revitalisasi nilai-nilai karakter yang berdasar pada semboyan
Bhineka Tunggal Ika untuk melawan radikalisme .
Mungkin ada yang bertanya “Mengapa memilih Max Scheler?” Jawabannya karena Max
Scheler adalah salah satu tokoh fenomenologi yang secara khusus membahas tentang nilai.
Pandangan Max Scheler tentang nilai ini akan membantu kita untuk memandang dan
memahami pentingnya nilai bagi kehidupan manusia serta dapat kita gunakan untuk
bagaimana nilai kebhinekaan ini dapat di revitalisasi dalam dunia pendidikan Indonesia.
Dalam tulisan ini, fenomenologi nilai Max Scheler digunakan sebagai pisau bedah utama
untuk menguraikan permasalahan radikalisme di dunia pendidikan Indonesia.
Tulisan dengan judul Revitalisasi Nilai-Nilai Bhineka Tunggal Ika Bagi Peserta Didik
Sebagai Upaya Melawan Radikalisme di Dunia Pendidikan Indonesia dalam Perspektif
Fenomenologi Nilai Max Scheler ini membahas tiga pokok permasalan. Permasalahan
perrtama berkaitan dengan bagaimana realitas radikalisme di dunia pendidikan Indonesia?
Kedua, berkaitan dengan apa dan bagaimana fenomenologi Max Scheler itu? Sedangkan
permasalahan ketiga berkaitan dengan bagaiamana revitalisasi nilai-nilai Bhineka Tunggal
Ika dapat menjadi solusi akan masalah radikalisme ini?

B. RADIKALISME DEWASA INI DI BUMI INDONESIA


Radikalisme akan menjadi pokok bahasan kita pada bagian ini. Namun, sebelum kita
mendalami bagaimana radikalisme di negeri ini, kita akan menyimak lebih dahulu apa
sebenarnya radikalisme itu.

1. PENGERTIAN RADIKALISME
Radikalisme secara terminologi berasal dari bahasa latin, ‘radix’, yang berarti akar.
Maka radikalisme secara harfiah dapat diartikan sebagai paham atau cara berpikir hingga ke
akar-akarnya, maksudnya adalah orang yang memiliki pemahaman atau keyakinan yang
sangat mendalam, mendasar dan sangat kuat akan sesuatu hal. Kata akar merupakan
pralambang akan keyakinan yang kuat dan mendasar ini. Radikal juga dapat diartikan
sebagai suatu pencapaian hingga dasar (mendasar). Maka radikalisme dapat diartikan pula
sebagai suatu cara untuk menemukan, merubah atau membaharui hingga akar atau dasarnya,
dan inilah makna yang mendekati dengan istilah radikalisme dalam bagian ini.
Wahyurudhanto (2017: 7) mengartikan radikalisme sebagai suatu sikap yang
mendambakan perubahan secara total dan bersifat revolusioner dengan menjungkirbalikkan
nilai-nilai yang ada secara drastis lewat kekeraan (violence) dan aksi-aksi yang ekstrem.
Radikalisme juga dapat diartikan sebagai paham atau aliran yang menginginkan perubahan
atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. (Depdigbud, 1995:
808). Sedangkan Daninsha mengatakan bahwa radikalisme adalah sikap dari jiwa yang
membawa kepada tindakan yang bertujuan melemahkan dan mengubah tatanan kemapanan
dan menggantinya dengan gagasan baru. Maka secara umum paham radikalisme dapat juga
diartikan sebagai paham yang menginginkan perubahan – terutama perubahan ideologi
dalam dunia sosial dan politik- secara mendasar dengan berbagai cara.
Ada beberapa ciri yang muncul ketika seseorang atau pun kelompok masyarakat
menganut paham radikal. Ciri-ciri itu dapat kita lihat secara nyata. Menurut BNPT dalam
Wahyurudhanto (2017: 7) menyebutkan ada beberapa ciri yang bisa dikenali dari sikap dan
paham radikal, yaitu: 1) intoleran (tidak mau menghargai pendapat dan keyakinan orang
lain); 2) fanatik (selalu merasa benar sendiri; menganggap orang lain salah); 3) eksklusif
(membedakan diri dari umat Islam umumnya); dan 4) revolusioner (cenderung
menggunakancara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan).
Dengan demikian jelaslah bebrapa uraian diatas membawa kita memahami secara umum
dan jelas pengertian radikalisme. Singkatnya, radikalisme adalah suatu paham yang
menginginkan suatu perubahan atau pembaharuan secara mendasar dengan berbagai cara
dengan menunjukan sikap intoleran, fanatik, eksklusif dan revolusioner.

2. FENOMENA DI INDONESIA
Setelah kita melihat secara singkat mengenai pengertian radikalisme, maka sekarang kita
akan membahas bagaimana paham radikalisme di bumi Indonesia dewasa ini. Fenomena-
fenomena ini akan memberi kita gambaran mengenai radikalisme di Inodnesia. Fenomena-
fenomena yang akan dibahas secara khusus adalah femnomena yang terjadi di dunia
pendidikan Indonesia.
Berikut akan disajikan beberapa artikel berita mengenai kasus radikalisme di dunia
pendidikan Indonesia. Pertama seperti yang dilansir dari BBC berikut ini:

“Suatu hari saya lagi mengobrol sama dia, terus dia lihat film di TV, dia bilang sama aku
itu orang Islam lagi memerangi orang kafir lho. Kafir itu apa saya pengen ngetes. (Dia
jawab) Kafir itu orang yang bukan Islam. Saya terus terang deg, bapaknya juga kaget."
Tyas (39) seorang ibu dari anak yang belajar di sekolah dasar di kawasan Jabodetabek
mengungkapkan kekhawatiran tentang pelajaran agama di sekolah.
“Kamu tahu dari siapa? Dia bilang dari pak guru di sekolah katanya. Jadi kekhawatiran
kami itu keluarga kami tidak mayoritas Muslim, menurut saya berdampak tidak baik sama
anak saya, takutnya reluctant dengan perbedaan karena di keluarganya juga ada yang
begitu.”
Ajaran kekerasan pernah ditemukan oleh organisasi sayap pemuda Nahdlatul Ulama, GP
Ansor, yang menyebut beberapa jilid buku pelajaran siswa Taman Kanak-kanak (TK)
berjudul Anak Islam Suka Membaca, mengajarkan radikalisme dan memuat kata-kata
'jihad', 'bantai', dan 'bom'.1

Selanjutnya, akan disajikan data menurut survey yang Lembaga Kajian Islam dan
Perdamaian. Dari survey yang dilaksanakan pada tahun 2011 menunjukan hasil sebagai
berikut: mengungkapkan 25% siswa dan 21% guru menyatakan Pancasila tidak relevan lagi.
Sementara 84,8% siswa dan 76,2% guru setuju dengan penerapan Syariat Islam di Indonesia.
Jumlah yang menyatakan setuju dengan kekerasan untuk solidaritas agama mencapai 52,3%
siswa dan 14,2% membenarkan serangan bom.2 Sedangkan, dalam Kompas.com diberitakan
data hasil survei sebagai berikut:

Hasil survei SETARA Institute for Democracy and Peace (SIDP) yang dilakukan pada
siswa SMA negeri di Bandung dan Jakarta tahun 2015 menunjukkan, sekitar 8,5 persen
siswa setuju dasar negara diganti dengan agama dan 9,8 persen siswa mendukung gerakan
Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Meski relatif sedikit, fakta ini mengkhawatirkan
karena sekolah negeri selama ini cukup menekankan kebangsaan. Berdasarkan informasi
yang dihimpun, Sabtu (6/5), SIDP menemukan, ada 31 persen materi pendidikan agama
yang tak selaras dengan nilai kebinekaan. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Pusat
Penelitian dan Pengembangan Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama. Penelitian menunjukkan, buku teks PAI
yang beredar memuat banyak kesalahan dan kekeliruan. Contohnya isi buku yang
cenderung ke arah nilai-nilai radikal dan penyelesaian konflik melalui kekerasan. Pada
2016, penelitian dan pemeriksaan buku teks PAI dilakukan untuk sekolah dan madrasah
pada semua jenjang sebanyak 150 buku. Kesalahan terbanyak ditemukan dalam penerapan
transliterasi dan penulisan ayat. Hal ini dapat memengaruhi makna ayat dan hadis jika tidak
dialihaksarakan. Saiful Mujani Research Consulting (SRMC) pada Desember 2015
menemukan, 4 persen warga usia 22-25 tahun dan 5 persen warga yang masih sekolah atau
kuliah mengenal dan setuju dengan NIIS.3
1

http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/05/160519_indonesia_lapsus_radikalisme_anakmuda_sek
olah (diakses pada tanggal 8 Desember 2018)
2
Ibid.
3
https://nasional.kompas.com/read/2017/05/08/16460231/benih.radikalisme.mulai.masuki.sekolah. 
(diakses pada 8 Desember 2018)
Fakta-fakta tersebut telah menjadi bukti yang cukup kuat yang mengambarkan eksistensi
radikalisme di dunia pendidikan Indonesia. Secara umum data tersebut juga menggambarkan
bahwa radikalisme telah memasuki kehidupan bangsa Indonesia. Inilah yang menjadi
keprihatinan kita bersama. Bahwa paham radikalisme yang dibawa oleh segelintir orang atau
kelompok tertentu, berkembang di negara ini. Dari data-data di atas kita dapat melihat bahwa
radikalisme yang berkembang di Indonesia lebih condong pada radikalisme yang berbau
agama. Ajaran agama digunakan sebagai alat untuk memperlancar menginternalisasikan
paham radikal dalam masyarakat. Agama oleh mereka dijadikan semacam baju yang
menutupi maksud mereka yang sebenarnya, yaitu menginginkan perubahan total tata sosial
politik dalam masyarakat.
Radikalisme agama dari data yang telah kita simak bersama, sekarang telah enyusup
dalam dunia pendidikan negara kita. kaum radikalis telah memanfatkan agama pula untuk
membujuk para guru dan siswa untuk menganut paham radikal. Dengan menggunakan agama
kejahatan yang mereka akan terselubungi, seolah-olah radikalisme yang mereka ajarkan
benar dan tertera dalam Kitab Suci dan ajaran agama. Permasalahan menjadi nyata bahwa
paham radikalisme bukan hanya diajarkan secara lisan dari seorang guru yang menganut
paham radikalisme kepada para muridnya, namun juga lewat buku-buku pelajaran agama
yang ada di sekolah-sekolah.
Mungkin kita sempat bertannya “Mengapa lewat dunia pendidikan?” maka jawaban
sederhana yang dapat diberikan adalah karena dunia pendidikan adalah unsur penting dalam
menentukan perkembangan suatu negara. Dunia pendidikan adalah jalan di mana secara
khusus manusia mengolah intelektualitasnya. Di dunia pendidikan manusia mendapatkan
berbagai ilmu pengetahuan bahkan paham-paham (isme-isme) yang ada di dunia. Dengan
menyusupkan paham radikalisme di dunia pendidikan maka radikalisme akan secara tertutupi
sebagai materi pelajaran biasa. Keyakinan bahwa guru sebagai pribadi yang harus digugu lan
ditiru (ditaati dan dicontoh) menjadi semacam bumerang bagi bangsa ini. Ketika guru
mengajarkan paham radikalisme kepada para muridnya maka dengan cepat para murid akan
merasa apa yang dikatakan guru itu benar dan perlu ditiru dan ditaati.
Ketika kita kembali melihat data diatas, paham radikalisme ini terutama ditujukan bagi
para murid yang masih berada di rentan usia anak dan remaja. Usia anak dan remaja adalah
usia di mana manusia mencari pengetahuan baru dan mencari jati dirinya di tengah
masyarakat. Ketika anak-anak dan remaja diberitahu oleh gurunya berkaitan dengan tindak
intoleransi dan fanatisme, pun saya kira dengan cepat mereka akan segera meng-iya-kan apa
yang dikatakan gurunya. Ini adalah suatu permasahan yang besar bagi kita, bagaimana nilai-
nilai yang luruh dari bangsa ini, secara perlahan telah diganti dengan nilai-nilai dari paham
radikalisme agama. Apalagi jika generasi penerus bangsa ini telah diracuni dengan paham
radikalisme, maka kaum radikalis akan senang dan mereka akan dengan mudah
menggulingakan nilai-nilai luhur bangsa ini dan menggantinya dengan paham radikalisme.
Keadaaan yang demikian jika dibiarkan akan sangat berbahaya. Berbahaya ketika pilar
negara ini, yaitu: NKRI, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, dan UUD 1945 kita diubah dengan
paham negara radikal. NKRI runtuh, Pancasila luntur, Bhineka Tunggal Ika lenyap, UUD
1945 dibumihanguskan. Semua pilar negara ini bisa saja diganti dengan pilar negara yang
berideologi agama radika yang bercirikan intoleransi dan fanatisme. Maka intoleransi dan
fanatisme menjadi hal yang lumrah dan permusushan menjadi identitas baru bangsa ini.
Akankah seperti itu? Siapa tahu? Tidah ada yang tahu.
Secara personal, saya berpendapat bahwa kemungkinan keadaan itu akan terjadi jika
tidak ada orang yang mau merevitalisasi nilai-nilai luhur bangsa ini, terutama di dunia
pendidikan. Menghidupkan bersama identitas bangsa ini dan mempertahankan keempat pilar
bangsa yang telah disusun oleh para founding father bangsa ini. Menanamkan nilai-nilai
luruh bangsa ini kepada generasi penerus bangsa.

C. FENOMENOLOGI NILAI MAX SCHELER


Pembahasan sebelumnya membuat kita mengetahui bagaimana fenomena radikalisme di
Indonesia, terutama dalam dunia pendidikan. Kita juga telah mengetahui secara singkat
bahwa salah satu cara untuk melawan radikalisme ini dengan revitalisasi nilai-nilai luhur
bangsa ini, terutama nilai-nilai yang bersumber dari semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Harapannya nilai-nilai ini akan diperjuangkan dan diwujudnyatakan oleh para generasi
penerus bangsa Indonesia dan dengan demikain paham radikalisme akan sulit mempengaruhi
pemikiran mereka.
Dari sini jelaslah bahwa nilai begitu penting bagi kehidupan manusia. Maka selanjutnya
kita akan membahas pisau bedah dalam tulisan ini, yaitu fenomenologi nilai Max Scheler.
Fenomenologi akan membantu kita untuk memahami bagaimana nilai-nilai begitu penting
dalam kehidupan manusia dan membantu kita untuk memecahkan masalah radikalisme di
dunia pendidikan Indonesia ini. Mari sekarang kita simak pembahasan mengenai nilai
berdasarkan pandangan Max Scheler.

1. Pengertian Fenomenologi Nilai


Fenomenologi merupakan sebuah cabang filsafat yang dikembangkan oleh Edmund
Husserl yang secara khusus membahas mengenai fenomena. Fenomena sendiri memiliki
banyak arti. Secara harfiah fenomena adalah apa yang tampak melalui penginderaan, bisa
didengar, dilihat, dibau atau dirasakan. Namun menurut para penganut fenomenologi,
fenomena diartikan sebagai “apa yang menampakkan diri dalam dirinya sendiri, apa yang
menampakan diri seperti apa adanya, apa yang jelas di hadapan kita” (Hadiwijono, 1980:
140). Para penganut fenomenologi berpendapat bahwa fenomena tidak selalu ditangkap oleh
panca indera manusia melainkan dapat juga diketahui melalui intuisisi (dimensi rohani).
Fenomenologi meurut Dewantara (2017: 34) merupakan suatu disiplin ilmu yang berbicara
tentang hakikat dan esensi. Ia tidak berminat kepada penjelasan, tetapi menaruh hati [intuisi]
pada “apa sesuatu itu”. Maka jelaslah bahwa fenomenologi adalah ilmu yang mencari
hakikat dari sesuatu dengan menangkap fenomena lewat intuisi dan bersifat apriori.
Sedangkan menurut Max Scheler fenomenologi merupakan suatu “sikap pengamatan
spiritual, yang membuat orang dapat melihat dan mengalami sesuatu, yang kiranya akan
tersembunyi tanpa sikap tersebut, yaitu suatu realitas dari fakta-fakta jenis khusus” (Wahana
2004: 38). Schaler berpendapat bahwa yang ditangkap oleh intuisi dalam fenomenologi
adalah fakta-fakta fenomenologis. Scheler menggolongkan fakta menjadi tiga yaitu fakta
natural, fakta ilmiah dan fakta fenomenologis. Fakta natura adalah fakta karena pengalaman
inderawi. Fakta ilmiah adalah fakta abstrak yang didapatkan dari fakta natura, seperti rumus-
rumus fisika. Fakta ketiga adalah fakta fenomenologis. Fakta fenomenologis merupakan
fakta mengenai esensi dari suatu fenomena yang diterima secara intuitif.
Max Scheler secara khusus memperkenalkan suatu fenomenologi nilai. Max Scheler
dalam fenomenologinya ini meletakan nilai, yang merupakan pengalaman emosi seseorang,
sebagai objek dari pengamatan fenomenologisnya. Pengalaman emosi yang menghadirkan
nilai bukanlah pengalaman emosi biasa, seperti kenikmatan atau kesakitan; melainkan
merupakan pengalaman pengalaman emosi yang itensional, yang dinamakan juga intuisi
emosi (Wahana, 2004: 42). Jadi nilai merupakan objek dari fenomenologi nilai dan nilai itu
diterima manusia berkat suatu pemahaman intuitif akan nilai itu sendiri.

2. Nilai Menurut Max Scheler


Sebelum kita melangkah lebih jauh lagi, ada baiknya jika kita memahami apa yang
dimaksud dengan nilai. Nilai disini tidak mengacu pada nilai yang bersifat kualitatif atau
harga, melainkan nilai (values) secara kualitatif. Nilai kualitatif yang dimaksudkan seperti
nilai kebijaksanaan, keaddilan, kemanusiaan serta masih banyak lagi.
Wahana (2004: 51) menjelaskan “Max Scheler berpendapat bahwa nilai merupakan
suatu kualitas yang tidak tergantung pada pembawanya, merupakan pengalaman apriori
(yang telah mampu dirasakan manusia tanpa melalui pengalaman inderawi terlebih dahulu)”.
Ketidaktergantungan nilai ini menunjukan bahwa nilai itu objektif. Nilai itu objektif karena
nilai itu tidak tergantung pada objek,seperti makanan, minuman, patung dan benda lainnya.
Objektifitas nilai itu juga tidak tergantung pada bagaimana rekasi kita terhadap nilai, tidak
tergantung pada realitas kehidupan, tidak tergantung pada perasaan orang ketika menerima
nilai dan tidak tergantung pula terhadap pemahaman kita akan konsep nilai itu sendiri.
Cara kita memahami keobjektifan nilai itu adalah mirip dengan cara memahami warna.
Misalnya kita melihat bahwa dihadapan kita ada kursi berwarna biru, ketika kursi biru itu
dicat ulang dan berubah menjadi merah, apakah warna biru itu hilang? Sejatinya warna biru
itu tidaklah hilang. Warna biru telah ada sebelum kursi itu ada. Namun warna biru itu
menjadi nyata, dapat kita lihat setelah kursi itu bewawarna biru. Lalu, ketika kursi itu dicat
menjadi merah yang berubah bukanlah warna birunya, melainkan warna yang melekat pada
kursi, yang merupakan objek dari warna itu. Pemahaman kita akan warna biru tidak akan
hilang ketika kursi itu berubah menjadi warna yang lain. Warna biru itu tetap ada dan
mselalu menjadi nyata ketika kita melihat warna biru yang melekat pada objek-objek lain.
Yang berubah bukan biru itu sendiri, tapi adalah objek itu menampakkan warna yang lain
pada indera kita. Demikian juga sama halnya yang terjadi pada nilai. Ketika ada orang yang
mencintai kita, kita menemukan nilai cinta di situ. Dan ketika orang itu berbalik dan
membenci kita, maka kita melihat nilai kebencian. Namun niali cinta itu sebenarnya tetap
ada, objeknyalah yang berubah dari berperilaku mencintai menjadi membenci. Nilai cinta
yang melekat pada objek telah diganti oleh nilai kebencian oleh karena perubahan perilaku.
Scheler berpendapat bahwa nilai itu ada dalam beberapa kelompok yaitu: nilai yang
positif dan negatif, nilai baik dan jahat, serta nilai barang dan pribadi. Pertama, adalah
kelompok nilai yang positif dan negatif. Nilai positif adalah nilai yang harus terwujud dalam
realitas kehidupan, sedangkan nilai negatif adalah kebalikannya, yaitu nilai yang harus tidak
ada dan tidak terwujud dalam realitas kehidupan. Kedua, adalah kelompok nilai baik dan
jahat. Nilai baik adalah nilai yang melekat pada tindakan untuk mewujudkan nilai-nilai
positif dan mewujudkan nilai yang lebih tinggi dalam susunan nilai. Sedangkan nilai jahat
adalah nilai yang melekat pada tindakan untuk mewujudkan nilai-nilai negatif dan untuk
mewujudkan nilai-yang memiliki tingkatan lebih rendah dalam susunan nilai. Ketiga, nilai
barang dan nilai pribadi. Nilai barang adalah nilai yang melekat pada suatu barang. Nilai
pribadi adalah nilai yang melekat pada pribadi tersebut oleh karena tindakannnya. Nilai
barang biasanya berkaitan dengan nilai-nilai estetik seperti kegunaan, kesenangan dan
kecantikan. Sedangkan nilai nilai pribadi biasanya berkaitan dengan nilai-nilai etis atau nilai
moral. Nilai barang dan nilai pribadi adalah nilai yang tidak bisa saling ditukar, tidak ada
barang yang dapat dinilai secara moral begitu pula tidak ada pribadi yang bisa dinilai sebagai
kegunaan.

3. Hierarki Nilai
Scheler mengatakan bahwa sejak semula nilai memiliki suatu suatu hierarki. Dari
mulanya nilai-nilai itu tersusun, membentuk suatu tingkatan yang lebih tinggi dan lebih
rendah. Hierarki nilai ini bersifat apriori, mutlak, dan tidak tergantung pada perubahan objek
atau sejarah. Nilai-nilai ini secara sendirinya membentuk suatu hierarki dan hierarki ini tak
dapat diubah sesuai kehendak manusia.
Untuk merasakan hierarki nilai ini manusia tidak dapat mengalaminya secara empiris,
melainkan melalui suatu preferensi. Preferensi adalah tindakan mengutamaan-bukan sekedar
memilih-, mengunggulkan suatu nilai yang memiliki tinggkatan yang lebih tinggi atau
dengan merendahkan/meremehkan nilai-nilai yang berada ditingklat yang lebih rendah.
Hierarki nilai dalam pandangan Scheler memiliki empat tingkat. Tingkat yang pertama
adalah nilai-nilai kesenangan. Tingkat pertama ini adalah tingkat terendah. Dalam tingkat ini
nilai-nilai adalah nilai yang berhubungan dengan perasaaan indera kita, seperti rasa nikmat,
nyaman, sakit, pedih, senang. Secara apriori manusia akan memilih yang lebih enak atau
menyenangkan daripada hal yang tidak menyenangkan dan menyusahkan.
Tingkatan yang kedua adalah nilai yang berkaitan dengan nilai kehidupan (vitalitas).
Pada tingkat ini nilai-nilai berdasarkan dan mengarah pada kesejahteraan manusia, baik
secara pribadi atau kelompok. Nilai-nilai yang ada pada tingkat ini adalah nilai-nilai yang
luhur, yang hina, yang baik (lebih bermutu), yang bermutu.
Ketiga, adalah tingkatan yang mencakup nilai-nilai spiritual. Nilai-nilai spiritual ini tidak
tergantung dari lingkungan badani dan alam. Nilai-nilai ini ada dalam lingkup rohani yang
mengatasi tingkatan vitalitas. Nilai-nilai yang termasuk dalam tingkatan ini adalah nilai yang
baik, yang buruk, yang adil dan tidak adil, yang bendar dan salah.
Keempat adalah tingkat nilai kekudusan, atau kesucian. Nilai-nilai yang ada adalah rasa
terberkati atau tidaknya. Nilai ini muncul ketika manusia melihat dirinya atau mengarahkan
nilainya kepada Yang Suci, Tuhan sendiri. Kekudusan itu selalu identik dengan Yang Ilahi,
maka nilai-nilai kekuydusan selalu bersifat absolut dan terarah pada pencapaian perasaan
terbberkati oleh Yang Ilahi.
4. Pentingnya Nilai bagi Kehidupan Manusia
Manusia dalam hidupnya memiliki kemampuan untuk memahami nilai serta
hierarkisnya. Sikap manusia terhadap nilai adalah bisa terbuka atau tertutup terhadap nilai itu
sendiri yang terkandung dalam objek. Sikap ketidakterbukaan manusia akan nilai yang
sangat (buta akan nilai) disebut resentimen. Resentimen ini adalah racun bagi jiwa manusia,
sehingga manusia tidak terbuka terhadap nilai.
Setiap pengalaman manusia adalah pengalaman akan nilai. Manusia menangkap dan
mewujudkan nilai-nilai itu dalam tindakan-tindakannya. Tindakan-tindakan nilai itu
seharusnya adalah tindakan-tindakan yang membangun kehidupan, maka nilai-nilai yang
diwujudkan adalah nilai-nilai positif. Dengan Kata lain nilai berfungsi untuk memberikan
arah dan daya tarik daya tarik bagi manusia untuk membangun dan membentuk kehidupan
person melalui tindakan-tindakannya (Wahana, 2004: 102). Selain itu nilai juga berperan
untuk membentuk manusia itu sendiri. Sejatinya manusia akan menjadi manusia yang
bernilai ketika dia mampu mewujudkan nilai-niali yang semakin tinggi tingkatannya.

D. RADIKALISME DALAM SUDUT PANDANG FENOMENOLOGI NILAI


Sekarang akan dibahas bagaimana radikalisme dalam kacamata fenomenologi nilai. Dari
kacamata fenomenologi nilai Max Scheler radikalisme adalah sebagai berikut:
Pertama, radikalisme adalah paham yang membawa nilai-nilai negatif. Radikalisme
sendiri adalah paham yang mempengaruhi seseorang atau kelompok menerapkan nilai-nilai
negatif, seperti intoleransi, eksklusif, revoluisioner, dan fanatik . Mengapa bisa negatif?
Karena nilai-nilai ini diwujudkan manusia dalam kenyataan yang malah merusak tatanan
kehidupan manusia, padahal tujuan manusia adalah untuk mengutamakan nilai-nilai yang
dapat membangun kehidupan. Radikalisme ini adalah ancaman bagi kehidupan manusia
sendiri.
Kedua, radikalisme adalah kegagalan manusia dalam mengembangkan diri menuju
kekudusan. Dalam fenomenologi nilainya Max Schaler menegaskan bahwa manusia harusnya
selalu berusaha untuk mencapai kekudusan. Manusia dituntut selalu melampaui sususnan-
susunan nilai. Penghayatan manusia akan nilai atau perealisasian nilai dalam kehidupan
manusia itu selalu dituntut untuk mewujudkan nilai dalam tingkatan yang lebih tinggi.
Ketiga, radikalisme adalah nilai kejahatatan yang teralisasi dalam kehidupan. Karena
radikalisme mengandung nilai-nilai negatif, maka ketika radikalisme telah menjadi kenyataan
dalam suatu tindakan secara otomatis radikalisme merupakan kejahatan.
Dalam konteks dunia pendidikan Indonesia yang terpapar radikalisme, secara
fenomenologi berarti sistem pendidikan dan orang-oranbg yang bertanggungjawab dalam
dunia pendidikan di Indonesia telah gagal untuk mengarahkan manusia Indonesia mencapai
kekudusan. Fakta-fakta yang telah disebutkan menjadi bukti bahwa sesungguhnya pendidikan
di Indonesia masih lemah atau mengalami degradasi penghayatan nilai. Pendidikan di
Indonesia masih terpacu pada pendidikan yang berdasar pada perkembangan intelektual dan
kenyataan empirisme semata.
Dalam analisa berikutnya, menunjukan bahwa pendidikan di Indonesia belum kuat
dalam mengimplemtasikan pendidikan nilai. Pendidikan karakter yang telah dicanangkan
dirasabelum maksimal dan harus disusun ulang. Kegagalan ini juga terasa sistem pendidikan.
Hal ini nyata karena realitasnya pelayan masih ada guru-guru yang memiliki paham
radikalisme dan menyebarkannya pada para murid-murid mereka

E. URGENITAS REVITALISASI PENGHAYATAN NILAI-NILAI BHINEKA


TUNGGAL IKA
Setelah kita melihat bersama kasus radikalime ini dalam kacamata fenomenologi nilai,
maka kita menyadari bersama bahwa radikalisme ini telah melunturkan nilai-nilai poitif yang
dijunjung oleh bangsa Indonesia. Maka untuk melawan nilai-nilai radikalisme, haruslah juga
digunakan nilai-nilai positif yang lebih kuat dan asali dari bangsa Indonesia sendiri. Nilai-
nilai yang demikianlah akan menggeser radikalisme di dunia pendidikan.
Bhineka Tunggal Ika yang merupakan semboyan bangsa ini memiliki nilai-nilai luhur
bangsa yang kuat untuk mengalahkan radikalisme.Revitalisasi penghayatan nilai-nilai
Bhineka Tunggal Ika sendiri menjadi hal yang harus segera dilakuakan agar radikalisme
dapat diatasi dan disingkirkan dari kehidupan bangsa Indonesia.
Mengapa nilai-nilai yang berasal dari Bhineka Tunggal Ika yang dipilih? Karena nilai-
nilai dari Bhineka Tunggal Ika adalah nilai-nilai yang asalidari bangsa Indonesia. Berikut
akan diuraikan nilai-nilai Bhineka Tunggal Ika yang perlu direvitalisasi dalam rangka
melawan radikalisme.
1. Nilai Inklusif. Nilai inklusisf adalah lawan dari nilai eksklusif. Dengan lebih
mengusahakan nila maka dengan sendirinya nilai eksklusif akan tersisngkir.
Penghayataanny adalah dengan membiasakan siswa untuk berbaur denag temannya,
saling bekerja sama dan bertukar bikiran dengan orang lain. Mengusahakan
keterbukaan agar siswa dapat mengenal satu sama lain denga lebih baik.
2. Nilai perdamaian. Dengan menjdunjung tinggi nilai perdamaian diaharapkan siswa
dapat mengusahakan nilai-nilai kehidupan yang lain. Perdamaian membuat peserta
didik menjadi rendah ahati dan lebih mengutamakan persahabatan dari pada konflik.
3. Nilai toleranis. Nilai toleransi ini dimaksudkan untuk melawan nilai intoleransi.
Dengan toleransi siswa dapats adar bahwa bangsa ini terdiri dari beranika ragam
agama, suku, ras, budaya dan golongan. Toleransi mengajarkan bagaimana siswa
dapat menghargai perbedaan itu, mencari sisi baik adari keberagaman, bukannya sisi
jelek.
4. Nilai solidaritas. Nilai solidaritas ini mengajarkan kepada siswa bangwa sebagai satu
bangsa ini memiliki rasa solider, rasa bela rasa sesama anggota bangsa, sebagai
saudara. Dengan memupuk rasa so;lider maka semangat persaudaraan pun terjamin
dan dengan demikian rasa untuk melukai sesama saudara akan hilang. Nilai
perasaudaraan mengalahkan nilai permusuhan.

Daftar Pusataka:

Dewantara, Agustinus. 2017. Diktat Filsafat Pendidikan. Madiun: STKIP Widya Yuwana.
Suseno, Frans Magnis. 2006. Etika abad kedua puluh. Yoyakarta: Kanisius
Wahana, Paulus, 2004. Nilai Etika Aksiologis Max Scheler. Yogyakarta: Kanisius.

http://sertifikasi.fkip.uns.ac.id/file_public/2017/MODUL%202017/Pendidikan%20Pancasila
%20dan%20Kewarganegaraan%20%28PPKn%29/BAB-V-Bhinneka-Tunggal-Ika.pdf
(diakses pada 8 Desember 2018)

http://eprints.uad.ac.id/2536/1/Dikdik_Makalah_2013_Nilai_Ke-Bhinneka_Tunggal_Ika-
an_dalam_Mata_Pelajaran_PPKn.pdf (diakses pada 8 Desember 2018)

https://media.neliti.com/media/publications/18118-ID-akar-radikalisme-islam-di-
indonesia.pdf (diakses pada 8 Desember 2018)

Anda mungkin juga menyukai