Anda di halaman 1dari 9

CHARACTER BUILDING

“GHIBAH”

Disusun Oleh :
1.Huswatun Haerani (17180001)
2.Ista Rahma Nissa (17180019)

Dosen : Ustad Mohammad Muallim, M.A.

TEKNIK INFORMATIKA
17.1B
DAFTAR ISI
JUDUL.......................................................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
PEMBAHASAN
A.Pegertian atau Definisi Ghibah...............................................................................................1
B.Sumber Al-Qur’an dan Hadits................................................................................................2
C.Hal-Hal yang mendorong Ghibah dan Cara Mengantisipasinya............................................3
D.Alasan-Alasan Yang Ditolerir Dalam Ghibah........................................................................4
E.Kontektualisasi Hadits Tentang Ghibah Dalam Realita Sosial (Infotaintment).....................5
KESIMPULAN..........................................................................................................................6
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................7
Pembahasan
A.      Pengertian atau Definisi Ghibah
Secara etimologi, ghibah berasal dari kata Ghaba- Yaghibu yang artinya adalah
mengupat, menurut Jalaluddin bin Manzur, ini juga berarti fitnah, umpatan, atau gunjingan.
Dapat juga diartikan membicarakan keburukan orang lain dibelakangnya atau tanpa
sepengetahuan yang dibicarakan. Di sisi lain An-Nawawi mendefinisikan ghibah adalah
mengumpat atau menyebut orang lain yang ia tidak suka atau memebencinya, terutama dalam
hal kehidupannya. Beliau mengatakan bahwa jarang sekali orang yang bisa lepas dari
menggunjing orang lain.
Adapun secara terminologi ghibah adalah memebicarakan orang lain tanpa
sepengetahuannya mengenai sifat atau kehidupannya, sedangkan jika ia mendegar maka ia
tidak menyukainya. Dan terlebih jika yang dibicarakan tidak terdapat dalam diri yang
dibicarakan itu berarti dusta atau mengada-ada dan itu merupaka dosa yang lebih besar dari
ghibah itu sendiri. Tidak berbeda dengan definisi yang disebutkan oleh al-Maragi dalam
menjelaskan tentang ghibah yaitu menbicarakan kejelekan atau aib orang lain dibelakangnya,
dan jika ia mnegetahui maka ia tidak suka walaupun yang dibicarakan adalah benar.
Dalam hadits Nabi saw pun telah dijelaskan pengertian ghibah sebagai berikut;
ِ ‫ول هَّللا‬
َ > ‫يَ>>ا َر ُس‬ ‫>ل‬ َ >‫يز بْنُ ُم َح َّم ٍد ع َْن ْال َعاَل ِء ب ِْن َع ْب ِد الرَّحْ َم ِن ع َْن أَبِي ِه ع َْن أَبِي ه َُر ْي َرةَ قَا َل قِي‬ِ ‫َح َّدثَنَا قُتَ ْيبَةُ َح َّدثَنَا َع ْب ُد ْال َع ِز‬
‫ك بِ َما يَ ْك َرهُ قَا َل أَ َرأَيْتَ إِ ْن َكانَ فِي ِه َما أَقُو ُل قَا َل إِ ْن َكانَ فِي> ِه َم>>ا تَقُ>>و ُل فَقَ> ْد ا ْغتَ ْبتَ>هُ َوإِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن فِي> ِه َم>>ا‬ َ ‫ك أَ َخا‬ َ ‫ال ِذ ْك ُر‬ َ َ‫َما ْال ِغيبَةُ ق‬
‫يح‬
ٌ ‫ص ِح‬ َ ٌ‫سن‬ َ ‫يث َح‬ ٌ ‫سى َه َذا َح ِد‬ َ ‫ قَا َل َوفِي ا ْلبَاب عَنْ أَبِي َب ْر َزةَ َوا ْب ِن ُع َم َر َو َع ْب ِد هَّللا ِ ْب ِن َع ْم ٍرو قَا َل أَبُو ِعي‬ ُ‫بَ َهتَّه‬ ‫تَقُو ُل فَقَ ْد‬
“Seseorang bertanya pada Nabi saw, wahai Rosulullah, apakah yang dinamakan
ghibah itu?, ghibah ialah menceritakan saudaramu tentang sesuatu yang ia benci, si
penanya bertanya kembali: wahai Rosullullah bagaimana pendapatmu bila apa yang
diceritakan itu benar apa adanya?, Rosulullah menjawab, kalau memang ada padanya maka
itu ghibah namanya, dan jika tidak maka kamu telah berbuat buhtan (dusta)”.

Berikut disimpulkan beberapa poin penting mengenai definisi ghibah diatas:


1.      Membicarakan keburukan orang lain tanpa sepengetahuan yang dibicarakan, baik dengan
ucapan, sindiran ataupun dengan isyarat.
2.      Menbicarakan aib orang lain, walaupun yang dibicarakan adalah benar adanya pada diri yang
dibicarakan.
3.      Jika yang dibicarakan mengetahui maka ia akan tidak suka aibnya dibicarakan pada orang
lain.
4.      Hal yang dibicarakan meliputi, kehidupan pribadi, keluarga maupun spiritual sesorang.
5.      Karena membicarakan tanpa sepengetahuan yang dibicarakan, ini artinya perbuatan licik dan
pasti perbuatan ini mengandung unsur keinginan untuk merusak harga diri, atau kemulyaan
seseorang.
B.       Sumber al-Qur’an dan Hadits
Dalam al-Qur’an juga terdapat ayat yang berbicara tentang larangan untuk
membicarakan orang lain dan itu merupakan perbuatan buruk, hal ini dijelaskan dalam Qs, al-
Hujurat: 12:
 “ Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan),
Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang
dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka
memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.
dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang”. (Q.S. al-Hujurat [49]: 12)

Dari ayat tersebut dapat ditegaskan kembali bahwa perbuatan menggunjing orang lain
merupakan perbuatan yang keji dan menjijikkan seperti yang digambarkan oleh Allah bahwa
seseorang yang mengunjing diibaratkan dengan seseorang yang memakan daging saudaranya
yang sudah mati (bangkai saudarnya).
Adapun hadits yang berbicara mengenai Ghibah atau bahaya lisan sangat banyak
dijumpai dalam beberapakitab hadits berikut;
ِ ‫>ال َر ُس>و ُل هَّللا‬ َ َ‫>ال ق‬ َ َ‫ح ع َْن أَبِي ه َُريْ> َرةَ ق‬ ٍ ِ‫ص>ال‬َ ‫ص>ي ٍن ع َْن أَبِي‬ ِ ‫ص ع َْن أَبِي َح‬ ِ ‫ َح َّدثَنَا أَبُو بَ ْك ٍر َح َّدثَنَا أَبُو اأْل َحْ> َو‬      Ø
ْ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َم ْن َكانَ ي ُْؤ ِمنُ بِاهَّلل ِ َو ْاليَوْ ِم اآْل ِخ ِر فَ ْليَقُلْ خَ ْيرًا أَوْ لِيَ ْس ُك‬
‫ت‬ َ
“ Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah berkata benar atau
diam”.(HR.Bukhari-Muslim)
  ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَا َم ْع َش َر َم ْن آ َمنَ بِلِ َسانِ ِه َولَ ْم يَ ْد ُخلْ اإْل ِ ي َمانُ قَ ْلبَهُ اَل تَ ْغتَابُوا‬ َ ِ ‫ع َْن أَبِي بَرْ زَ ةَ اأْل َ ْسلَ ِم ِّي قَا َل قَا َل َرسُو ُل هَّللا‬
‫ضحْ هُ فِي بَ ْيتِ ِه‬َ ‫ْال ُم ْسلِ ِمينَ َواَل تَتَّبِعُوا عَوْ َراتِ ِه ْم فَإِنَّهُ َم ْن اتَّبَ َع عَوْ َراتِ ِه ْم يَتَّبِ ُع هَّللا ُ عَوْ َرتَهُ َو َم ْن يَتَّبِ ْع هَّللا ُ عَوْ َرتَهُ يَ ْف‬
“ wahai sekalian yang beriman dilidahnya dan belum masuk kedalam hatinya, janganlah
kalian menggunjing orang-orang muslim dan janganlah kalian mencari-cari aib mereka
karena siapa yang mencari-cari aib saudaranya, niscaya Allah akan mencari aibnya,
niscaya Dia akan membuka kejelekannya meskipun berada dalam rumahnya”. (HR. Abu
Daud, Ahmad dan Ibn Hibban).
   ُ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم اَل يَ ْستَقِي ُم إِي َمانُ َع ْب ٍد َحتَّى يَ ْستَقِي َم قَ ْلبُهُ َواَل يَ ْستَقِي ُم قَ ْلبُه‬ َ ِ ‫ال َرسُو ُل هَّللا‬ َ َ‫ال ق‬
َ َ‫ك ق‬ ِ ‫َح َّدثَنَا قَتَا َدةُ ع َْن أَن‬
ٍ ِ‫َس ْب ِن َمال‬
ُ‫َحتَّى يَ ْستَقِي َم لِ َسانُه‬
“Iman seorang hamba tidak istiqomah sebelum hatinya istiqomah, dan hatinya tidak
istiqomah sebelum lidahnya istiqomah.”(HR. Ahmad)
َ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ق‬
  ‫ال‬ َ ِ ‫از ٍم ع َْن َس ْه ِل ب ِْن َس ْع ٍد ع َْن َرسُو ِل هَّللا‬ ِ ‫َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد بْنُ أَبِي بَ ْك ٍر ْال ُمقَ َّد ِم ُّي َح َّدثَنَا ُع َم ُر بْنُ َعلِ ٍّي َس ِم َع أَبَا َح‬
َ‫َم ْن يَضْ َم ْن لِي َما بَ ْينَ لَحْ يَ ْي ِه َو َما بَ ْينَ ِرجْ لَ ْي ِه أَضْ َم ْن لَهُ ْال َجنَّة‬
“ Siapa yang menjamin bagiku apa diantara dua tulang dagunya (lidah) dan apa diantara
dua kakinya (kemaluannya), maka aku menjamin baginya surga.”(HR. al-Bukhari, Tirmudzi,
dan Ahmad)
Ada dua pelanggaran yang dilakukan oleh yang suka membicarakan orang lain, yaitu
pelanggaran terhadap hak Allah, karena ia melakukan apa yang dimurkainya, dan tebusannya
adalah dengan taubat dan menyesali perbuatannya. Sedangkan yang kedua adalah
pelanggaran terhadap kehormatan sesama. Jika ghibah telah di dengar oleh orangnya maka
dia harus menemuinya dan meminta maaf atas perbuatannya dalam membicarakan aibnya.
Dalam hal ini sangatlah berat karena dosanya tidak hilang selama orang tersebut tidak
memaafkan. Dalam hal ini Abu Hurairah meriwayatkan dari Nabi saw, beliau bersabda:
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل َم ْن‬
َ ِ ‫ُول هَّللا‬َ ‫ك ع َْن َس ِعي ٍد ْال َم ْقب ُِريِّ ع َْن أَبِي هُ َر ْي َرةَ أَ َّن َرس‬ ٌ ِ‫ال َح َّدثَنِي َمال‬ َ َ‫َح َّدثَنَا إِ ْس َما ِعي ُل ق‬
ٌ ‫ْس ثَ َّم ِدينَا ٌر َواَل ِدرْ هَ ٌم ِم ْن قَب ِْل أَ ْن ي ُْؤ َخ َذ أِل َ ِخي ِه ِم ْن َح َسنَاتِ ِه فَإ ِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَهُ َح َسن‬
‫َات‬ َ ‫ظلِ َمةٌ أِل َ ِخي ِه فَ ْليَت ََحلَّ ْلهُ ِم ْنهَا فَإِنَّهُ لَي‬ْ ‫َت ِع ْن َدهُ َم‬
ْ ‫َكان‬
‫ت َعلَ ْي ِه‬ ْ ‫ت أَ ِخي ِه فَطُ ِر َح‬ ِ ‫أُ ِخ َذ ِم ْن َسيِّئَا‬
“Siapa yang melakukan suatu kedzoliman terhadap saudaranya, harta atau
kehormatannya, maka hendaklah ia menemuainya dan meminta maaf kepadanya dari dosa
ghibah itu, sebelum dia dihukum, sementara dia tidak memepunyai dirham atau pun
dinar.  Jika dia memilki kebaikan, maka kebaikan-kebaikan itu akan diambil lalu diberikan
pada saudarnya itu. Dan jika tidak, maka sebagian keburukan-keburukan saudaranya itu
diambil dan diberikan padanya”. (HR. Bukhari)

C.      Hal-hal yang mendorong Ghibah dan Cara mengantisipasinya


Adalah sebuah “keniscayaan” ghibah merupakan perbuatan yang sangat digandrungi
sebagian besar dari kalangan ibu-ibu. Sebelum membicarakan bagaimana cara agar terhindar
dari sifat ghibah, terlebih dahulu akan dijelaskan sebab umum terjadinya ghibah dalam
masyrakat, berikut sebab-sebabnya;
1.      Ingin mengangkat derajat diri sendiri dengan membicarakan keburukan orang lain. Artinya
untuk menguatkan posisinya atas orang lain serta agar orang lain menganggap ia yang lebih
dari orang lain.
2.      Karena penyakit hati, seperti iri dengan keberhasilan dan kemuliyaan teman atau
tetangganya, sombong akan kelebihan diri sehingga merendahkan orang lain dengan ghibah,
serta balas dendam terhadap kejahatan yang pernah orang lain lakukan terhadap dirinya.
3.      Dalam rangka melampiaskan amarah yang memuncak, ketika ia sedang marah maka ia
melakukan ghibah untuk melampiaskan amarahnya tersebut.
4.      Terkadang terdapat dalam lelucon atau gurauan yang merendahkan orang lain.
5.      Terkadang karena iba terhadap teman yang ditimpa kesedihan karena perbuatan
seseorang. Maka ia dengan tidak sadar agar temannnya merasa lega yaitu dengan
menggunjing orang tersebut, dalam hal ini dikarenakan salah paham dalam memahami
maksud kesetiakawanan.
6.      Dalam realitas social, ghibah terjadi juga dikarenakan oleh nilai materi, misalnya dalam
tayangan infotaiment yang akan menjadi daya jual bagi produser-produser televisi.
Setelah mengetahui  beberapa faktor yang mendorong terjadinya ghibah,
maka hendaklah dihindari dengan beberapa tips sebagai berikut;
1.       Dengan selalu ingat bahwa Allah sangat membenci seseorang yang mengunjing saudaranya,
sedangkan kebaikan akan kembali pada orang yang dibicarakan dan jika pun orang yang
dibicarakan tidak memilki kebaikan maka keburukannya akan kembali pada yang
menggunjing.
2.      Jika terlintas dalam pikiran untuk melakukan ghibah, maka hendaklah introspeksi diri dengan
melihat aib diri sendiri dan slalu berusaha memperbaikinya. Mestinya merasa malu jika
membicarakan aib orang lain sedangkan aib sendiri tidak terhitung jumlahnya.
3.      Jika pun merasa tidak memiliki aib, maka hendaklah senantiasa mensyukuri nikmat yang
telah dilebihkan Allah, bukan malah dengan mengotori diri dengan melakukan ghibah.
4.      Menjaga diri dari sifat-sifat tercela, seperti iri, dengki dengan keberhasilan orang lain,
sombong dengan kelebihan diri sendiri serta menjauhi sifat dendam.
5.      Jika berghibah karena pengaruh teman, atau karena takut dikucilkan karena tidak ikut serta
dalam ghibah, maka hendaklah selalu mengingat bahwa murka Allah terhadap siapa yang
mencari keridhaan manusia dengan sesuatu yang membuat Allah murka.
6.      Berdo’a mohon perlindungan Allah agar terhindar dari perbuatan-perbuatan keji. Serta sebisa
mungkin menjauhi perkumpulan-perkumpulan yang tidak bermanfaat.

D.      Alasan-Alasan yang ditolerir dalam Ghibah


Ada beberapa hal yang ditolerir karena menyebut-nyebut keburukan orang lain adalah
yang mempunyai tujuan yang benar menurut sayri’at yang tujuan ini menurutnya tidak dapat
dicapai kecuali hanya dengan cara itu, dalam hal ini dosa ghibah dianggap tidak
ada diantarnya adalah:
1.      Karena adanya tindak kedzoliman. Orang yang didzolimi boleh menyebut keburukan orang
yang berbuat dzolim kepada seseorang yang mampu atau bisa mengembalikan haknya
(penguasa/pemerintah, hakim atau yang berwenang dalam memutuskan perkara yang hak),
dalam al-Qur’an surah an-Nisa ayat 148 Allah berfirman:
َ ُ ‫سو ِء ِمنَ ا ْلقَ ْو ِل إِاَّل َمنْ ظُلِ َم َو َكانَ هَّللا‬
 ‫س ِمي ًعا َعلِي ًما‬ ُّ ‫اَل يُ ِح ُّب هَّللا ُ ا ْل َج ْه َر بِال‬
“Allah tidak mencintai orang yang suka menceritakan keburukan orang lain kecuali bagi
orang yang teraniaya, dan Allah Maha Melihat dan Maha Mengetahui”
2.      Sebagai sarana untuk mengubah kemungkaran dan mengembalikan orang dzalim atau yang
berbuat maksiat kepada jalan yang benar (memperingati dari kejahatan). Dalam hal ini umat
muslim saling tolong-menolong dalam ber-amar ma’ruf nahi munkar.
3.      Dibolehkan dalam menyebutkan ciri-ciri seperti pincang, si buta, si pendek agar orang lain
cepat faham (bukan membicarakan keburukan akan tetapi mengungkapkan bentuk atau ciri
kepada orang yang bertanya).
4.      Dalam hal ini ulama sepakat dalam menilai rawi (al-Jarh wa Ta’dil) boleh dan bahkan harus
diungkapkan pada kaum muslimin untuk kemaslahatan dalam beribadah (ini kaitannya dalam
penelitian hadits sohih atau do’if).
5.      Boleh menceritakan kepada khalayak ramai tentang orang yang melakukan perbuatan yang
terlarang, seperti mabuk-mabukan, menjarah, dan perbuatan bathil lainnya, seperti dalam
hadits Nabi berikut, (Ibn Qudaimah, h. 214).
6.      Dalam rangka meminta fatwa, artinya dalam rangka membela haknya, namun dalam
menyebutkan keburukan lebih baiknya dengan kat-kat yang halus.

E.       Kontekstualisasi Hadits tentang Ghibah dalam Realita Sosial (Infotaiment)


Ghibah atau bergunjing dalam masyarakat menyebabkan ketidaknyamanan. Ghibah
merupakan perbuatan yang benar-benar harus dihindarkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dewasa ini berita-berita di media, baik cetak maupun elektronik sarat dengan mengumbar-
ngumbar aib sesorang. Anehnya, hal tersebut sudah menjadi bagian dari kebutuhan “primer”
masyarakat setiap hari. Jika kebiasaan tersebut terus dibudaykan maka berghibah atau
menggunjing orang lain sudah menjadi hal biasa. Seperti  perselingkuhan,
perceraian yang terkesan propokatif. Hal ini jelas-jelas melanggar ajaran Islam yang sangat
melarang. Mencela, menggunjing, dan meremehkan orang lainmerupakan prilaku yang sangat
dilarang dalam islam. Meskipun dalam hukum Islam ghibah atau gosip tidak memilki sanksi
yang disebut denagn Ta’dzir, hanya diterangkan bahwa bagi pelakunya akan mendapat dosa
atau azab siksa yang berat yang secara epistemologi disebutkan dalam Qur’an dan al-
Hadits. Hanya saja terkadang di daerah-daerah tertentu mendapat sanksi moral dari
masyarakat tertentu.
Dalam permasalahan ghibah atau gossip, beberapa komunitas atau lembaga baik
pemerintah maupun non pemerintah misalnya Majlis Nahdatul ‘Ulama telah mengeluarkan
fatwa haram terhadap infotaiment dengan alasan bahwa acara gosip cenderung membuka aib
dan mempergunjingkan keburukan orang lain.
Dalam hadits nabi yang menyatakan tentang ghibah ada dua hal yang sangat urgen
yaitu “menceritakan aib” dan “benci jika ia diketahui”. Dengan dua kalimat inti tersebut
dapat kita simpulkan bahwa yang ternasuk ghibah adalah yang membuka aib orang lain dan
jika ia mngetahui maka ia tidak suka dan akibatnya akan mendatangkan permusuhan,
kemarahan, dan bahkan bisa pembunuhan. Dalam kasus ini yang perlu kita cermati dalam
relita social.Infotaiment misalnya yang memberitakan seorang public figure. Terkadang  ia
merasa diuntungkan dengan adanya pemberitaan mengenai dirinya, akan tetapi yang menjadi
permasalahan adalah khawatir akan adanya pergeseran pemahaman masyarakat tentang
makna akan bahaya ghibah, dan itu akan dianggap sepele. Sedangkan hukuman bagi yang
menggosip adalah tidak ringan seperti yang dijelaskan dalam surah al-Hujurat ayat 12, disana
ghibah dianalogikan seperti seseorang yang memakan daging saudaranya yang sudah busuk.
Dari pemaparan tentang gosip di infotaiment diatas dapat disimpulkan bahwa berita
yang memalukan seperti perceraian, perselingkuhan, putus cinta, seks bebas termasuk unsur
ghibah yang tidak ingin dikonsumsi public karena mendorong ahl-hal yang akan merusak.
Sedangkan berita-berita bahagia seperti pernikahan (walaupun tidak semua mereka ingin
diberitakan) jika ditarik pada makna ghibah diatas ini bukan termasuk dalam kategori ghibah.

Kesimpulan
            Dari keterangan al-Qur’an dan hadits Nabi di atas jelaslah bahwa ghibah merupakan
perbuatan tercela yang harus dihindari oleh muslim karena akan mengakibatkan perselisihan
dikalangan masyarakat. Ghibah akan mendatangkan banyak mudharat, diantaranya
perselisishan, permusuhan, dendam, perceraian dan bahkan bisa saja terjadi pembunuhan.
Islam sebagai agama Rahmatan lil ‘Alamin mencegah hal-hal tersebut, dan mengecam bagi
yang melakukan perbuatan tersebut akan mendapatkan siksaan Allah.
            Ghibah dapat dicegah dengan slalu mengingat bahwa Allah Maha Melihat dan Maha
Mengetahui, ingat akan aib diri sendiri, dan tidak iri dengan keberhasilah saudaranya serta
senantiasa bersyukur atas nikmat yang telah diberikan Allah. Adapun ghibah yang
dibebaskan atau ditolerir adalah ghibah dalam hal amr ma’ruf nahi munkar, dalam rangka
menegakkan kebenaran, dalam hal ini termasuk berita tentang kasus suap (korupsi).
            Melihat realita masyarakat dewasa ini ghibah seakan dianggap sepele karena
masyarakat selalu disuguhi dengan berita-berita selebriti dari pagi hingga siang, terkadang
sangat berlebihan dan tidak proporsional. Ini akan menimbulkan berbagai problem dalam
masyarakat. Namun tidak semuanya gossip tersebut mengandung unsure ghibah seperti
penjelasan hadits Nabi diatas.
DAFTAR PUSTAKA
1. An-Nawawi, al-Adzkar, terj. M. Tarsi Hawi, ( Bandung: Pustaka Ma’arif, 1984), hlm. 809
2. Abullah bin Jarullah, Awas Bahaya Lidah, terj. Abu Haidar dan Abu Fahmi, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2004), hlm. 18
3. Ibnu Qudamah, Jalan Orang-Orang yang Dapat Petunjuk, terj. Kathur Suhardi, (Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2007), cet XIII, hlm. 211, lihat Imam al-Ghazali, Bahaya Lisan dan Cara
Mengatasinya,terj. A. Hufaf Ibry, (Surabaya: Tiga Dua, 1995), hlm. 28-29
4. Ibnu Qudamah, Jalan Orang-Orang yang Dapat Petunjuk,  terj. Kathur Suhardi, hlm. 213
5.  Abullah bin Jarullah, Awas Bahaya Lidah, terj. Abu Haidar dan Abu Fahmi, hlm. 22-23, lihat
Ibnu Taimiyah dkk,Ghibah, terj. Abu Azzam, (Jakarta: Pustaka Kautsar, 1992), hlm. 24-25, dan
Muhammad Yasin Suhaimi, Bahaya Lisan Menurut al-Qur’an dan Sunnah, (Malang: UMM
Press, t.th), hlm. 6
6. Ta’dzir  yaitu tindakan edukatif terhadap pelaku perbuatan dosa yang tidak memiliki sanksi atau
denda.

Anda mungkin juga menyukai