Anda di halaman 1dari 5

Dufandri Aloysius Ponggeng

1761050170 / 10B

Tutorial Blok 16 Minggu ke – 4


“Kejang”

Tujuan Pembelajaran :

1. Tatalaksana Umum dan Tatalaksana Medis Kejang [1,2,3,4]


 Tatalaksana umum yang bisa kita terapkan pada saat seseorang terkena kejang adalah
melakukan pertolongan pertama yang bisa kita lakukan ketika pasien baru saja terkena
kejang dan biasanya di lakukan di tempat kejadian atau prehospital, seperti berikut :
- Baringkan penderita di tempat aman dan jauhkan dari benda berbahaya atau benda
tajam guna mencegah penderita terkena cedera serta gunakan bantal atau alas lain
untuk menyangga kepala penderita lalu posisikan penderita dengan kepala miring ke
samping kanan/kiri yang bertujuan bila penderita muntha maka mencegah muntahan
tersebut masuk ke dalam paru-paru sehingga penderita tersedak oleh muntah sendriri
- Longgarkan pakaian yang ketat, terutama di sekitar leher penderita
- Jangan sekalipun menahan gerakan kejang selama penderita kejang
- Jangan memasukkan apapun ke dalam mulut penderita selama kejang
- Setelah serangan kejang telah selesai biarkan penderita tidur tanpa gangguan apapun
namun jika ternyata kejang berlangsung selama lebih dari 5 menit dan terus berulang
segera panggil tim medis lalu temani penderita sampai tim medis datang.
 Tatalaksana Medis adalah tatalaksana yang di lakukan sebelum sampai di rumah sakit
atau prehospital sampai di ICU dengan obat atau dengan perlatan medis yang lain dan
berikut adalah logaritma tatalaksana medis :
Keterangan:
- Diazepam IV: 0,2 - 0,5 mg/kg IV (maksimum 10 mg) dalam spuit, kecepatan 2
mg/menit. Bila kejang berhenti sebelum obat habis, tidak perlu dihabiskan.
- Fenobarbital: pemberian boleh diencerkan dengan NaCl 0,9% 1:1 dengan kecepatan
yang sama
- Midazolam buccal: dapat menggunakan midazolam sediaan IV/IM, ambil sesuai
dosis yang diperlukan dengan menggunakan spuit 1 cc yang telah dibuang jarumnya,
dan teteskan pada buccal kanan, selama 1 menit. Dosis midazolam buccal
berdasarkan kelompok usia;
2,5 mg (usia 6 – 12 bulan)
5 mg (usia 1 – 5 tahun)
7,5 mg (usia 5 – 9 tahun)
10 mg (usia ≥ 10 tahun)
- Tapering off midazolam infus kontinyu: Bila bebas kejang selama 24 jam setelah
pemberian midazolam, maka pemberian midazolam dapat diturunkan secara
bertahap dengan kecepatan 0,1 mg/jam dan dapat dihentikan setelah 48 jam bebas
kejang.
- Medazolam: Pemberian midazolam infus kontinyu seharusnya di ICU, namun
disesuaikan dengan kondisi rumah sakit
- Bila pasien terdapat riwayat status epileptikus, namun saat datang dalam keadaan
tidak kejang, maka dapat diberikan fenitoin atau fenobarbital 10 mg/kg IV
dilanjutkan dengan pemberian rumatan bila diperlukan.
2. Patofisiologi Kejang [5]
Patofisiologi kejang disebabkan karena ada ketidakseimbangan antara pengaruh inhibisi dan
eksitatori pada otak terjadi karena kurangnya transmisi inhibitor dan meningkatnya aksi
eksitatori dimana aksi glutamate atau asparat meningkat drastis . Patofisiologi kejang terdiri dari
banyak mekanisme dan masih sangat sedikit diketahui. Beberapa mekanisme tersebut adalah
adanya kelebihan proses eksitasi atau inhibisi yang inefektif pada neurotransmiter, dan adanya
ketidak seimbangan aktivitas reseptor eksitasi atau inhibisi di otak. Neurotransmiter eksitatorik
utama yang berperan dalam kejang adalah glutamat. Faktor – faktor apapun yang dapat
meningkatkan aktivitas glutamat akan menyebabkan terjadinya kejang.
Neurotransmiter inhibitorik yang berperan dalam kejang adalah GABA. Antagonis GABA seperti
penisilin dan antibiotik dapat menyebabkan terjadinya kejang. Selain itu, kejang yang
berkelanjutan akan menyebabkan desensitisasi reseptor GABA sehingga mudah menyebabkan
kejang.
Kerusakan CNS dapat terjadi oleh karena ketidakseimbangan hormon dimana terdapat glutamat
yang berlebihan yang akan menyebabkan masuknya kalsium dalam sel neuron dan akhirnya
menyebabkan apoptosis (eksitotoksik). Selain itu, juga dapat disebabkan oleh GABA dikeluarkan
sebagai mekanisme kompensasi terhadap kejang tetapi GABA itu sendiri menyebabkan
terjadinya desensitisasi reseptor, dan efek ini diperparah jika terdapat hipertermi, hipoksia, atau
hipotensi.
3. Faktor Resiko Kejang [6]

Sesuai di dalam skenario faktor resiko yang sering terjadi pada pria yang berusia 23 tahun adalah
cedera di kepala , obat-obatan dan alcohol dan adanya tumor otak , mengapa hal ini bisa terjadi
dikarenakan ketiga hal diatas dapat merusak otak yang membuat sitem didalamnyapun
terganggu seperti ketidakseimbangan anatara inhibisi dan eksitatori dalam otak yang dimana hal
ini menjadi pencetus awal kejang.
4. Klasifikasi Kejang [4]
A. Kejang Parsial
 Kejang Parsial Sederhana
Kesadaran tidak terganggu; dapat mencakup satu atau lebih hal berikut ini:
Tanda-tanda motoris→kedutaan pada wajah. Tangan, atau salah satu sisi tubuh :
umumnya gerakan kejang yang sama.
Tanda atau gejala otonomik→muntah berkeringan, muka merah, dilatasi pupil.
Gejala somatosensoris atau sensoris khusus→-mendengar musik, merasa seakan jatuh dari
udara, parestesia.
Gejala psikik→dejavu, rasa takut, sisi panoramic.
 Kejang parsial komplesk
Terdapat gangguan kesadaran. Walaupun pada awalnya sebagai kejang parsial simpleks.
Dapat mencakup otomatisme atau gerakan aromatic—mengecapkan bibir, mengunyah,
gerakan mencongkel yang berulang-ulang pada tangan dan gerakan tangan lainnya. Dapat tanpa
otomatisme—tatapan terpaku
B. Kejang Umum (Konvulsif atau Non-Konvulsif)
 Kejang Absens
Gangguan kewaspadaan dan responsivitas.
Ditandai dengan tatapan terpaku yang umumnya berlangsung kurang dari 15 detik.
Awitan dan khiran cepat, setelah itu kembali waspada dan berkonsentrasi penuh.
Umumnya dimulai pada usia antara 4 dan 14 tahun dan sering sembuh dengan
sendirinya pada usia 18 tahun.
 Kejang Mioklonik
Kedutaan-kedutaan involunter pada otot atau sekelompok otot yang terjadi mendadak
 Kejang Mioklonik→Lanjutan
Sering terlihat pada orang sehat selama tidur, tetapi bila patologik, berupa kedutaan-
kedutaan sinkron dari leher, bahu, lengan atas dan kaki.
Umumnya berlangusung kurang dari 15 detik dan terjadi didalam kelompok.
Kehilangan kesadaran hanya sesaat
 Kejang Tonik-Klonik
Diawali dengan hilangnya kesadaran dan saat tonik, kaku umum pada otot ektremitas,
batang tubuh, dan wajah, yang langsung kurang dari 1 menit.
Dapat disertai dengan hilangnya kontrol kandung kebih dan usus.
Tidak adan respirasi dan sianosis
Saat tonik diikuti dengan gerakan klonik pada ekstremitas atas dan bawah.
letargi, konfusi, dan tidur dalam fase postical
 Kejang Atonik
Hilangnya tonus secara mendadak sehingga dapat menyebabkan kelopak mata turun,
kepala menunduk atau jatuh ketanah.
Singkat, dan terjadi tanpa peringatan.
 Status Epileptikus
Biasanya. Kejang tonik-klonik umum yang terjadi berulang.
Anak tidak sadar kembali diantara kejang.
Potensial untuk depresi pernapasan, hipotensi, dan hipoksia
memerlukan pengobatan medis darurat dengan segera
5. Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Kejang [7,8]
 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik umum dan neurologis, dapat dilihat adanya tanda-tanda dari
gangguan yang berhubungan dengan kejang seperti trauma kepala, gangguan
kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus, infeksi telinga atau sinus. Sebab
terjadinya serangan kejang harus dapat ditepis melalui pemeriksaan fisik dengan
menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Untuk penderita anak-
anak, pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan,
organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukan awal
ganguan pertumbuhan otak unilateral.
 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dianjurkan pada pasien dengan kejang pertama adalah
kadar glukosa darah, elektrolit, dan hitung jenis, Namun jika kejang berulang dan ingin
mengetahui faktor penyebab serta kmplikasinya maka di lakukan pemeriksaan lanjutan
yang berupa laboratorium, pungsi lumbal, elektroensefalografi, neuroradiology dan
juga bisa dilakukan Elektroensefalografi (EEG) Pemeriksaan EEG merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan dan harus dilakukan pada semua
pasien kejang yang di curigai epilepsy untuk menegakkan diagnosis epilepsi. Terdapat
dua bentuk kelaianan pada EEG, kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan
adanya lesi struktural di otak. Sedangkan adanya kelainan umum pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG
dikatakan abnormal bila :
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer
otak
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya
gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat
yang timbul secara paroksimal Pemeriksaan EEG bertujuan untuk membantu
menentukan prognosis dan penentuan perlu atau tidaknya pengobatan dengan obat
anti epilepsi (OAE) , serta yang terakhir di lakukan pemeriksaan Neuroimaging atau
yang lebih kita kenal sebagai pemeriksaan radiologis bertujuan untuk melihat struktur
otak dengan melengkapi data EEG. Dua pemeriksaan yang sering digunakan Computer
Tomography Scan (CT Scan) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Bila dibandingkan
dengan CT Scan maka MRI lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci.
MRI bermanfaat untuk membandingkan hippocampus kiri dan kanan.
6. Prognosis dan Edukasi Kejang [2,3]
 Prognosis
Gejala sisa lebih sering terjadi pada SE simtomatis; 37% menderita defisit neurologis
permanen, 48% disabilitas intelektual. Sekitar 3-56% pasien yang mengalami SE akan
mengalami kembali kejang yang lama atau status epileptikus yang terjadi dalam 2 tahun
pertama.
 Edukasi
Edukasi tidak kalah penting dalam menangani kasus kejang dengan cara pencegahan
terhadap kejang dimana hal ini juga penting di perhatikan karena jika pasien telah di
beritau hal pemicu apa saja yang dapat memicu kejang ini muncul seperti larangan
untuk berenang jika sendirian tanpa di temani sanak saudara yang sudah tau bahwa
penderita memiliki riwayat kejang lalu beristirahat yang cukup , mengelola stress
dengan baik dan meminum obat secara teratur dan sesuai anjuran dokter . Selain
penderita yang di beritau pemicu kejang hal yang terpenting berikutnya adalah
memberitau teman, sahabat , orang tua serta sanak saudara dan siapapun yang sering
berhubungan dengan penderita bagaimana cara penanganan kejang mulai dari tindakan
pertolongan pertama hingga tindakan medis sebelum ke rumah sakit .

Daftar Pustaka :
1. Sugerman D . Seizures . JAMA Patient Page . 2013 September 18 ; 310(11) : 1p .
2. Smith T . Pertolongan pertama dokter di rumah anda . 5 th rev . ed. Soekardjo H, translator.
Jakarta ; Dian Rakyat, 1999. 81p.
3. Ismael S, Pusponegoro H, Widodo D . Rekomendasi penatalaksanaan status epileptikus. 1 st ,
ed . Indonesia ; Badan Penerbit Ikatan Dodkter Anak Indonesia, 2016 . 3 – 7 p .
4. Fikrawan P , Sari D . Pemilihan terapi pada laki-laki usia 21 tahun dengan kejang umum tipe
tonik klonik e.c epilepsi idiopatik . Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. 2016
Desember ; 6(1): 137-142 p .
5. Appleton PR, Choonara I, Marland T, Phillips B, Scott R, Whitehouse W. The treatment of
convulsive status epilepticus in children. Arch Dis Child 2000; 83:415-19.
6. Schweich PJ, Zempsky WT. Selected topic in emergency medicine. Dalam: McMilan JA,
DeAngelis CD, Feigen RD, Warshaw JB, Ed. Oski’s pediatrics. Philadelphia: Lippincot Williams
& Wilkins, 1999, h, 566-89.
7. Roth HI, Drislane FW. Seizures. Neurol Clin 1998; 16:257-84.
8. Bradford JC, Kyriakedes CG. Evidence based emergency medicine; Evaluatin and
diagnostic testing evaluation of the patient with seizures; An evidence based approach. Em
Med Clin North Am 1999; 20:285-9.

Anda mungkin juga menyukai