PENDAHULUAN
Gambar 2.1 Nilam aceh. Adopsi dari Swamy dan Sinniah, 2016
Nilam di Indonesia terbagi tiga yaitu nilam Aceh (P. Cablin Benth), nilam Jawa (P.
Hortensis Backer) dan nilam kembang atau nilam sabun (P. Heyneanus). Indonesia menjadi
pemasok terbesar kebutuhan minyak nilam dunia mencapai 90% dari kebutuhan dunia.
Minyak nilam menjadi komoditas andalan Indonesia dalam meningkatkan devisa negara.
Nilam termasuk dalam tanaman herba tropis penghasil minyak atsiri yang bersifat volatil dan
dalam perdagangan internasional sering dikenal sebagai pactchouli. Minyak nilam digunakan
sebagai fiksasi (zat pengikat) kemampuan mengikat zat pewanginya dapat diperhambat
sehingga daya wangi parfum dapat bertahan lama (Mahmud et al., 2018)
Indonesia sebagai produsen minyak nilam terbesar di dunia selain Cina, Malaysia dan
Brazil. Namun pada praktik dilapangan para produsen masih menemukan kendala dalam cara
pengolahan minyak nilam. Hal ini dibuktikan rendamen, waktu untuk proses ekstraksi, serta
mutu yang dihasilkan masih rendah. Usaha ekstraksi yang dilakukan masyarakat masih
menggunakan drum-drum bekas sebagai proses produksinya, dimana pada saat temperatur
tinggi akan meluruhkan kerak-kerak besi yang ada pada dinding drum bagian dalam. Sehingga
minyak nilam yang dihasilkan cenderung berwarna gelap atau sedikit kehijauan akibat
tercampurnya dengan unsur-unsur logam seperti besi, mangan, magnesium, tembaga,
plumbum, dan seng (Hardyanti et al., 2016).
Patchouli alkohol menjadi komponen utama penyusun minyak nilam yang dapat
menentukan mutu dan bau dari minyak nilam. Patchouli alkohol merupakan senyawa
seskuiterpena alkohol yang dapat diisolasi dari minyak nilam dan tidak dapat larut dalam air,
larut dalam alkohol, eter atau pelarut organik lainnya. Mempunyai titik didih 280,37℃ dan
kristal yang terbentuk mempunyai titik leleh 56℃ (Perindustrian, 2016). Patchouli alkohol
(PA) adalah unsur utama minyak nilam (Patchouli Oil), dan ada banyak metode seperti uap
distilasi, ekstraksi superkritis dan distilasi molekuler digunakan dalam praktek untuk
pemisahan dan pemurnian PA dari PO (Su et al, 2014). Struktur molekul patchouli alkohol
dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Struktur kimia Patchouli. Adopsi dari Su et al, 2014
Pada proses distilasi fraksinasi untuk isolasi minyak nilam didapatkan kadar patchouli
alkohol sebesar 95% pada rasio refluks 20:1 selain itu waktu refluks yang digunakan lebih
singkat, sehingga menghemat waktu proses dan pemakaian energi (Amrullah et al., 2018).
Maka diperlukan sebuah teknik dalam penyerapan logam yang murah, sederhana dan serta
bahan bakunya tersedia di alam. Adsorpsi adalah salah satu teknologi yang disukai oleh
peneliti karena bahan bakunya bersifat alami (Masukume, Onyango and Maree, 2014).
Produksi pengolahan dan pengolahan minyak nilam di Indonesia umumnya dilakukan
petani nilam dan agroindustri penyulingan yang masih menggunakan teknologi tradisional dan
memiliki keterbatasan di bidangnya pengetahuan ekstraksi minyak nilam jadi pengawasan
kualitas sangat kurang diperhatikan. Selain itu, masalah lain adalah masalah modal, baik
dalam budidaya nilam dan pengolahan. Sebagian besar minyak nilam dihasilkan dari distilasi
yang masih menggunakan ketel penyuling yang terbuat dari besi logam, sehingga warnanya
keruh dan gelap. Situasi ini menyebabkan minyak sulit diterima dalam perdagangan dan harga
lebih rendah (Idris et al, 2014). Menurut Ma'mun, (2008) Minyak yang berkabut dan gelap
disebabkan karena kontaminasi dari kaleng besi dimurnikan dengan kompleksometri, yaitu
pengikatan logam menggunakan bahan bahan kimia yang disebut chelating (chelating) agen.
Standarisasi minyak nilam dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Standar Nilai Indonesia hasil analisis mutu minyak nilam SNI 06-2385-2006
No Karakteristik Keterangan
1 Warna Kuning muda sampai coklat kemerahan
2 Densitas, 25℃ 0,95-0,975
3 Indeks bias, 20℃ 1,507-1,515
4 Kelarutan dalam etanol 90%, 25-30℃ Larut jernih
5 Bilangan asam, maks 5,0
6 Bilangan ester, maks 20,0
7 Putaran optik (-)48ᵒ-(-)65ᵒ
8 Patchouli alkohol (C15H26O) Min 30%
9 Alpha-copaene (C15H24) Maks 0,5%
10 Kandungan besi (mg/kg) Maks 25 mg/kg
Berdasarkan hasil penelitian Wibowo et al, 2017 yang pernah dilakukan sebelumnya
memperlihatkan hasil analisis minyak nilam menggunakan gas kromatografi (GC) dengan
penambahan adsorben seperti gambar 2.3 dan 2.4
Analisis menggunakan gas kromatografi (GC) senyawa patchouli alkohol yang terkandung
pada minyak nilam konvensional adalah 29,64% namun ditambahkan bentonit kandungan
patchouli alkohol menjadi 36,11%. Berikut kandungan minyak nilai hasil dianalisis pada tabel
2.
Tabel 2. Hasil analisis kromatogram dari minyak nilam
PA sebelum ditambahkan PA setelah ditambahkan
Komponen
bentonit (%) bentonit (%)
Patchouli alkohol 29,64 36,11
Delta-guanine 23,26 13,26
Alpha-guanine 21,9 13,26
Alpha-patcouline 4,24 3,04
Pogostol 4,15 -
Palustrol 4 -
Beta-pinene 3,9 -
Sumber Wibowo et al, 2017
2.2 Bentonit
Bentonit merupakan mineral alumina silikat hidrat dengan rumus kimia umum bentonit
yaitu Al2O3.4SiO2.H2O. Kandungan montmorillonit dalam bentonit sebesar 85%. Bentonit
sering digunakan sebagai agen pemucat pada zat warna. Zat warna tersebut yaitu α-karoten, β-
karoten, xanthopil, kloropil dan antosianin. Zat-zat tersebut yang menjadi pigmen berwarna
kuning pada minyak. Karoten bersifat tidak stabil jika diberikan suhu yang tinggi maka warna
kuning akan hilang (Bahri, 2014).
Montmorillonit merupakan suatu hidrat alumunium silikat alami dimana beberapa atom
alumunium dan silikonnya secara alami dapat digantikan oleh atom lainnya seperti Mg dan Fe.
Struktur molekul montmorillonit terdiri dari unit sel yang digambarkan sebagai struktur “Si-
Al-Si” (Faisal et al., 2015).
Bentonit teknis adalah bentonit alam yang telah mengalami standarisasi sebelumnya dan
banyak diperdagangkan. Bentonit (clay) memiliki luas permukaan yang besar, berpori dan
memiliki sifat sebagai adsorben sehingga banyak diaplikasikan dalam proses adsorpsi. Untuk
meningkat daya adsorpsi dari bentonit dapat dilakukan aktivasi terlebih dahulu dengan tujuan
menghilangkan zat-zat pengotor (Prasetiowati and Koestiari, 2014).
Berdasarkan tipenya bentonit dibedakan menjadi dua :
1). Na-bentonit
Na-bentonit memiliki daya mengembang delapan kali jika dicelupkan kedalam air pada pH
8,5-9,8.
2). Ca-bentonit
Ca-bentonit memiliki daya tukar ion yang kuat namun kurang dapat mengembang di dalam
air, pH-nya 4,0-7,1.
Bentonit dapat diaktivasi melalui cara fisika dan kimia. Secara fisika, bentonit dipanaskan
pada temperatur 300-350℃ untuk memperluas permukaan butiran bentonit. Secara kimia,
bentonit dikontakkan dengan asam sulfat (H2SO4) dan asam klorida (HCl). Setelah
dikontakkan kemudian bentonit disaring dan dikeringkan sampai beratnya konstan. Bentonit
dapat berfungsi maksimal sesuai konsentrasi dari asam sulfat yang digunakan (Simamora,
Martin and Gusmedi, 2016).
Bentonit memiliki sifat muatan negatif yang dapat memungkinkan terjadinya pertukaran
dengan kation. Sumber negatif ini berasal dari subsitusi isomorfis dan disosiasi gugus
hidroksil yang terbuka. Ion-ion yang dapat mengalami pertukaran ion-ion yang berbeda
disekitar mineral lempung silika alumina. Reaksi dapat terjadi secara stokiometri dimana
kation setiap antarlapis kristal digantikan oleh kation dari larutan. Sehingga dikenal dengan
exchangeable cation. Kemampuan penyerapan dapat dinyatakan dalam mili eqivalent per 100
gram clay kering yang disebut Cation Exchange Capacity (CEC). Besar nilai CEC clay
bervariasi menurut tipe dan jumlah koloid dalam clay tersebut (Riskina and Jalal, 2018).
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menerapkan penggunaan bentonit dalam
menurunkan kandungan logam berat Pb2+, Zn2+, Fe2+, dan Ni2+. Hasil penilitian menunjukkan
bahwa bentonit merupakan adsorben yang baik untuk jenis-jenis ion logam tersebut (Zuzana
and Ladislav, 2013; Sen and Khoo, 2013; Futulan et al., 2012; Al-Shahrani, 2013). Dapat
dilihat struktur kimia senyawa montmorillonit pada Gambar 2.5
Bentonit termasuk dalam mineral clay, untuk meningkatkan daya serap bentonit perlu
dilakukan proses aktivasi menggunakan asam, sehingga struktur bentonit menjadi aktif dan
pori-pori akan menjadi lebih terbuka (Nafsiyah et al., 2017).
Gambar 2.6 Spektra FTIR bentonit, alam (biru) sebelum dan (hitam) sesudah aktivasi
dengan HCl
Gambar 2.7 Karakter fisik dari (a) Bentonit tanpa aktivasi (b) Bentonit teraktivasi H2SO4
Proses aktivasi menggunakan H2SO4 ini menghasilkan struktur bentonit dengan pori lebih
terbuka, sehingga luas permukaan dan volume total pori lebih meningkat. Karakterisasi
menggunakan FTIR (Fourier Transform Infrared Spectroscopy) digunakan untuk mengetahui
keberadaan gugus fungsi yang terdapat pada bentonit. Berdasarkan hasil penelitian terlihat
bahwa aktivasi menggunakan H2SO4 tidak mengubah karakteristik gugus fungsional bentonit.
Pada bentonit teraktivasi gugus fungsional khas bentonit masih tetap dipertahankan yaitu Si-O,
Si-O-Si, dan Al-O-Al, dan teramati pada bilangan gelombang 1041 cm -1, 910 cm-1, 370 cm-1,
524 cm-1 dan 470 cm-1. Data hasil analisis menggunakan FTIR disajikan melalui Gambar 2.6
dan Tabel 3. Hasil karakterisasi menggunakan FTIR ini sesuai dengan data analisis
menggunakan GSA yang menunjukkan tidak adanya perubahan struktur kimia bentonit.
Tabel 3. Karakteristik gugus fungsional pada bentonit
Bilangan gelombang (cm-1)
Gugus fungsional
Bentonit tanpa aktivasi Bentonit teraktivasi H2SO4
3464 3448 Vibrasi regangan O-H
1635 1635 Vibrasi deformasi O-H
1033 1041 Vibrasi regangan Si-O
910 910 Vibrasi deformasi Al-O-Al
Vibrasi deformasi Si-O-Al
532 524
oktahedral
470 470 Vibrasi deformasi Si-O-Si
370 370 Vibrasi regangan Al-O
Gambar 2.9 Hasil FTIR dari (a) Bentonit tanpa aktivasi dan (b) Bentonit teraktivasi H2SO4
Gambar 2.9 menunjukkan intensitas puncak serapan -OH streching yang lebih tinggi pada
bentonit teraktivasi H2SO4 dibandingkan bentonit tanpa aktivasi. Hal ini yang
mengindikasikan bahwa bentonit setelah aktivasi relatif lebih bersih dari pengotor.
(a) (b)
Gambar 2.10 Hasil analisis SEM dari (a) bentonit tanpa aktivasi (b) bentonit teraktivasi H2SO4
2.3 Zeolit
Zeolit adalah mineral dengan strukur kristal aluminosilikat yang berbentuk rangka
(framework) tiga dimensi, mempunyai rongga dan saluran serta mengandung ion-ion logam
seperti Na, K, Mg, Ca dan Fe serta molekul air. Zeolit memiliki empat sifat utama yaitu
sebagai adsorben, ion-exchange, molecular sieving dan katalis. Struktur rangka tiga dimensi
pada zeolit memungkinkan zeolit mempunyai luas permukaan yang besar dalam menyerap
molekul gas pada posisi molekul air dalam kristal zeolit.
Kemampuan menyerap pada zeolit ditentukan oleh ukuran partikel, muatan serta lokasi
kation yang berada dalam rongga zeolit. Zeolit perlu diaktivasi untuk menguapkan molekul air
sebelum dipakai sebagai adsorben. Zeolit banyak dimanfaatkan pada industri mulai dari
sebagai bahan baku sampai pada sistem pengolahan limbahnya (Las dan Zamroni, 2002).
Komposisi kandungan kimiawi dari zeolit alam yaitu Alumina (Al 2O3) dan Silika (SiO2) yang
merupakan komponen utama pembentuk rangka (framework) dari zeolit alam (Setiadi dan
Pertiwi, 2007).
Zeolit memiliki kemampuan dalam menyerap logam berat yang ada di dalam cairan atau
padatan. Kemampuan ini bisa dimaksimalkan dengan cara zeolit harus dilakukan aktivasi
terlebih dahulu sehingga terjadi dekationisasi yang menyebabkan berkurangnya pengotor yang
menutupi pori-pori zeolit sehingga menambah luas permukaan zeolit. Bertambahnya luas
permukaan zeolit diharapkan meningkatkan kemampuan zeolit dalam melakukan proses
penyerapan (Iswanto dkk., 2016).
Pengolahan zeolit secara garis besar dapat dibagi dalam dua tahap, yaitu preparasi dan
aktivasi. Dalam tahapan preparasi zeolit diperlakukan sedemikian rupa agar mendapatkan
zeolit yang siap olah. Tahap ini berupa pengecilan ukuran dan pengayakan. Tahapan ini dapat
menggunakan mesin secara keseluruhan atau dengan cara sedikit konvensional. Aktivasi zeolit
dapat dilakukan dengan cara pemanasan atau penambahan pereaksi kimia baik asam maupun
basa (Saputra, 2006). Pengaktifan zeolit dengan pemanasan pada suhu tertentu dapat
menguapkan air yang terdapat dalam rongga kerangka serta senyawa-senyawa pengotor yang
berupa zat-zat organik dan anorganik yang mudah menguap sehingga dapat dimasuki oleh
molekul-molekul yang bersentuhan dengannya (Hastuti dan Hadi, 2010).
Di Indonesia, zeolit sebagai salah satu penukar ion alami yang banyak tersedia, murah dan
mudah didapat. Zeolit sebagai ion exchanger telah diketahui dan digunakan sebagai
penghilang polutan kimia. Akhir-akhir ini, para peneliti juga banyak mempelajari prospek
zeolit dalam pengelolaan limbah industri. Contoh pemanfaatan zeolit yang telah diteliti
diantaranya untuk pemisahan ammonia atau ammonium ion dari air limbah industri, untuk
pemisahan hasil fisi dari limbah radioaktif. Zeolit juga digunakan antara lain pada proses
pemurnian metil khlorida dalam industri karet, pemurnian fraksi alkohol, metanol, benzen,
xylene, LPG dan LNG pada industri petrokimia, untuk hidrokarbon propellents-fillers aerosol
untuk pengganti freons, dan penyerap klorin, bromin dan fluorin.
Tabel 5. Sifat-Sifat Fisikokimia Zeolit Alami
Senyawa kimia %
SiO2 68,26
Al2O3 12,99
Fe2O3 1,37
CaO 2,09
MgO 0,83
K2O 4,11
TiO2 0,23
Na2O 0,64
MnO 0,06
CEC 120 meq/100 g
Ukuran partikel <75μm
Ukuran saluran molekul 7,9 A X 3,5 A
SBET 16 m2/g
Volume pori 0,039 m2/g
pH 7,5
(Sumber : MSDS Oxy Chem)
Zeolit pertama kali ditemukan tahun 1795 oleh ahli mineralogi berasal dari Swedia yaitu
A.F. Cronstedt. Hasil pengamatannya, zeolit dapat melepaskan air dengan cepat pada saat
dipanaskan sehingga terlihat seperti batu yang mendidih. (Izci dan Izci, 2007). Dalam
penelitian ini zeolit diperoleh dari Kabupaten Aceh Barat Daya. Informasi dari Dinas
Pertambangan dan Energi setempat bahwa di kabupaten tersebut banyak dijumpai singkapan
zeolit, namun belum diketahui besarnya potensi cadangan dan kualitas mineral zeolit (Gambar
2.1).
Pada saat ini polutan-polutan berbahaya telah mencemari sebagian besar air tanah yang
dapat menimbulkan masalah bagi kesehatan manusia. Salah satu polutan tersebut adalah
adanya logam berat yang terdapat pada air. Keberadaan logam menjadi perhatian penting
karena senyawa ini bersifat toksis, non biodegradable dan mempunyai tendensi yang
terakumulasi dalam organisme hidup. Logam berat masuk ke lingkungan berasal dari aktivitas
industri seperti industri pengolahan logam, pembuatan baterai, penyamakan, metalurgi dan
industri pembuatan pupuk. Logam berat masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan, tertelan
melalui makanan dan juga teradsorpsi melalui kulit.
Seiring dengan adanya perkembangan nanoteknologi yang semakin pesat telah banyak
dilakukan penelitian tentang partikel-partikel berukuran nanometer. Untuk ion logam zeolit
dengan ukuran nano partikel dimanfaatkan sebagai media pertukaran ion, selain itu juga
sebagai adsorben yang sangat efektif dalam penyerapan ion logam. Secara parsial pemisahan
dengan metode adsorpsi dan filtrasi telah dilakukan oleh sejumlah peneliti, akan tetapi belum
memberi hasil secara optimal. Hybrid nano zeolit adsorpsi merupakan salah satu pilihan
proses yang dapat digunakan untuk menghilangkan logam Cd yang terkandung di dalam air
tanah. Proses ini diharapkan dapat memberi efisiensi proses yang lebih baik. Penggunaan
nano-partikel sebagai media penyerap diharapkan dapat memberikan kapasitas adsorpsi yang
lebih baik (Raziah et al, 2017).
Pada kerangka zeolit, tiap atom Al bersifat negatif dan akan dinetralkan oleh ikatan
dengan kation yang dapat dipertukarkan. Kation yang dapat dipertukarkan yang ada pada
kerangka zeolit ini berpengaruh pada proses adsorpsi dan sifat thermal zeolit (ÇakIcǧlu-Ozkan
and Ülkü, 2008). Dalam kelompok adsorben, zeolit termasuk adsorben yang mempunyai
ukuran pori mikro (mikropori) dan dalam klasifikasi BET, zeolit masuk ke dalam golongan
tipe I (Kurniasari, 2010). Ukuran pori merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
kapasitas dan laju adsorpsi zeolit terhadap adsorbat tertentu (Bonenfant et al., 2008)
(Wattimena et al, 2018).
Zeolit berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata “zein” bermakna buih dan
“lithos” berarti batuan, sehingga zeolithos disebut sebagai batu berbuih yang telah ditemukan
oleh Axel F. Cronstedt tahun 1756 (Said dkk., 2008). Zeolit merupakan penukar ion alami
(Rahman dan Hartono, 2004). Kapasitas adsorpsi zeolit alam sangat tinggi karena mampu
memisahkan molekul menurut ukuran dan konfigurasi molekul (Poerwadio dan Masduki,
2004). Zeolit dimanfaatkan sebagai pendehidrasi, penukar ion dan adsorben (Said dkk., 2008).
Zeolit telah digunakan secara luas pada pengolahan air limbah untuk memperoleh kembali air
baku yang dapat digunakan untuk air bersih (Erdem dkk., 2004). Aktivasi dan karakterisasi
zeolite alam telah juga dilakukan oleh group peneliti Fergueirodo (2014). Zeolit alam yang
telah diaktivasi memiliki luas permukaan spesifik sebesar 700 m2/g (Fergueirodo dan
Qiuntelas, 2014). Sementara itu, Barlokova dan Ilavsky (2010) memanfaatkan zeolite alam
tanpa aktivasi untuk menyisihkan logam besi dari air tanah. Didapatkan bahwa kadar besi air
tanah berhasil diturunkan dari 0,5 mg/L menjadi 0,005 mg/L.
(a) (b)
Gambar 2.12. Hasil morfologi Zeolit dari analisis menggunakan SEM (a) sebelum aktivasi
dan (b) setelah aktivasi. Adopsi dari Hasni et al, 2015
Setelah diaktivasi maka ukuran pori zeolit alam bertambah besar menjadi 2,23 μm hingga
3,87 μm. Aktivasi menaikkan dia-meter pori rata-rata sebesar 208%. Akibat aktivasi terjadi
kenaikan diameter pori rata-rata sebesar 208%. Zeolit alam aktif terlihat lebih bersih
dibandingkan dengan adsorben yang belum diaktivasi. Kenaikan diameter pori zeolit alam
aktif dapat terjadi akibat impuritis yang ada di dalam butiran telah meninggalkan rongga
adsorben sesudah direndam dengan asam klorida dan dibilas dengan aquades (Hasni et al,
2015).
Gambar 2.13. Spektra FTIR nano zeolit yang telah diaktivasi
Hasil karakterisasi dari FTIR (Gambar 2) memperlihatkan bahwa gugus fungsi yang
terdapat pada sampel yang diteliti menunjukkan karakter kerangka struktur zeolit yaitu
terdapat puncak 877-993 cm-1 yang merupakan vibrasi ulur asimetris Si-O dan Al-O
interpretasi dari serapan ikatan pada unit struktur utama zeolite (Barczyk et al., 2014). Ion
karbonat pada nano zeolit alam nano zeolit setelah dilakukan aktivasi yaitu pada puncak 1450
cm-1. Bilangan gelombang karbonat berada pada 1450-1410 cm-1 (Coates et al., 2006)
(Yulianis et al, 2017).
2.4 Adsorpsi
Adsorpsi adalah suatu proses yang terjadi ketika fluida cairan maupun gas terikat pada
suatu padatan atau cairan (adsorben) dan kemudian membentuk suatu lapisan tipis atau film
(adsorbant) pada permukaannya. Proses ini menghasilkan akumulasi konsentrasi zat tertentu
dipermukaan media setelah terjadi kontak antar muka atau bidang batas cairan dengan cairan,
cairan dengan gas atau cairan dengan padatan dalam waktu tertentu.Berdasarkan fenomena
terbentuknya, adsorpsi dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu adsorpsi kimia, adsorpsi fisika dan
pertukaran ion.
Kinetika adsorpsi suatu zat dapat diketahui dengan mengukur perubahan konsentrasi zat
teradsorpsi tersebut. Kinetika adsorpsi dipengaruhi oleh kecepatan adsorpsi. Kecepatan ini
berbanding terbalik dengan kuadrat diameter partikel, bertambah dengan kenaikan konsentrasi
zat terlarut bertambah dengan kenaikan temperatur dan berbanding terbalik dengan konsistensi
berat molekul zat terlarut (Freeman 1989).
Cara pengolahan limbah dengan metode adsorpsi yaitu penyerapan ion-ion logam ke dalam
adsorben sehingga kadar logam dalam air limbah dapat dikurangi. Jenis adsorben yang sering
digunakan antara lain zeolit, karbon aktif, bentonit dan serbuk gergaji (Emelda dkk., 2013).
Adsorpsi adalah fenomena fisika yang terjadi saat molekul-molekul gas atau cair dikontakkan
dengan suatu permukaan padatan dan sebagian dari molekul-molekul tadi mengembun pada
permukaan padatan tersebut. Dalam operasi ini molekul-molekul yang terembunkan tadi
disebut adsorbat dan permukaan kontaknya disebut adsorben (Wijayanti, 2009).
Proses adsorpsi mencakup 2 hal penting yaitu kinetika adsorpsi dan termodinamika
adsorpsi. Kinetika adsorpsi merupakan proses adsorpsi berdasarkan laju adsopsi sedangkan
pada termodinamika adsorpsi dilihat tentang kapasitas adsorpsi dan energi adsorpsi yang
terlibat dalam prosesnya (Purwaningsih, 2009). Adsorpsi merupakan suatu proses eksotermik
yaitu peristiwa dengan adsorben dan adsorbat sama-sama melepaskan panas sehingga
menurunkan aktivitas pergerakan molekul adsorbat yang mengakibatkan adsorbat dapat
menempel pada permukaan adsorben sehingga membentuk lapisan tipis (Riyadh, 2009). Rijali
(2015) juga menyatakan bahwa adsorpsi adalah salah satu peristiwa fisika maupun kimia pada
permukaan yang dipengaruhi oleh reaksi kimia antara media penyerap (adsorben) dan media
terserap (adsorbat).
Adsorben adalah material yang digunakan sebagai penyerap solut yang berupa gas atau cair
atau molekul/ion yang terdapat di dalam suatu campuran. Umumnya adsorben berwujud
padatan yang berbentuk granular, pelet, biji-bijian, dan serbuk (Said dkk., 2008). Supardi dkk
(2003) menyatakan bahwa dalam adsorpsi, adsorben adalah zat yang mempunyai sifat
pengikat molekul pada permukaannya dan sifat ini sangat menonjol pada padatan yang
berpori. Beberapa sifat yang harus dipenuhi oleh suatu adsorben adalah mempunyai
permukaan yang luas, berpori-pori, aktif dan murni serta tidak beraksi dengan adsorbat. Proses
adsorpsi pada umumnya diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu adsorpsi fisika dan adsorpsi
kimia. Proses adsorpsi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain sebagai berikut (Estiaty,
2013):
1. Luas permukaan, ukuran pori dan komposisi bahan dari adsorben.
2. Ukuran dan polaritas molekul serta komposisi kimia dari adsorbat.
3. Faktor-faktor lingkungan seperti pH, tekanan dan temperatur.
4. Konsentrasi adsorben, konsentrasi larutan pada kondisi isotermal memperlihatkan adanya
kecendrungan peningkatan adsorpsi dengan peningkatan konsentrasi.
5. Waktu kontak antara adsorbat dan adsorben yang bergantung kepada keaktifan adsorben
yang digunakan.
a) Kapasitas adsorpsi
Kadar konsentrasi logam setelah adsorpsi dapat dihitung dengan persamaan berikut ini (Zheng
dkk, 2006).
C 0−C e
Persen removal= x 100 %
C0
dimana:
C = konsentrasi logam sebelum adsorpsi
Cₑ = konsentrasi logam setelah adsorpsi
Kapasitas adsorpsi dari adsorben saat kesetimbangan (qe) ditunjukkan pada persamaan berikut
ini (Estiaty, 2013).
( C0−C e ) V
q e=
m
dimana:
qe = kapasitas adsorpsi (mg/g)
C = konsentrasi logam sebelum adsorpsi (mg/L)
Cₑ = konsentrasi logam setelah adsorpsi (mg/L)
V = volume larutan sampel (L)
m = berat dari adsorben (g)
b) Isotermal adsorpsi
Adsorpsi isotermal dapat menggambarkan hubungan kesetimbangan antara adsorben dan
adsorbat dalam badan cairan pada suhu tetap. Gambaran tersebut menunjukan jumlah adsorbat
yang teradsorpsi persatuan adsorben. Secara matematika, ada dua jenis hubungan untuk
menggambarkan adsorpsi isotermal yaitu Langmuir isotherm dan Freundlich isotherm
(Richardson, 2002).
Model isotermal Langmuir merupakan adsorpsi monolayer. Teknik Langmuir berdasarkan
jumlah adsorpsi maksimum sesuai dengan molekul monolayer jenuh zat terlarut pada
permukaan adsorben, energi adsorpsi konstan, dan tidak ada perpindahan adsorbat pada
bidang permukaan (Zheng dkk, 2006):
1 ab C e
= (non linear)
qe 1+C e
1 1 1 1
= + (linear)
qe ab C e b
dimana:
qₑ = jumlah adsorbat terserap tiap massa adsorben pada kesetimbangan (mg/g)
a = konstanta kesetimbangan Langmuir (L/mg)
b = kapasitas penyerapan maksimum pada permukaan padatan (mg/g)
Cₑ = konsentrasi pada kesetimbangan (mg/L)
Persamaan isotermal Freundlich telah banyak digunakan dalam adsorpsi isothermal (Zheng
dkk, 2006). Isotermal Freundlich untuk permukaan adsorben yang bersifat heterogen. Berikut
bentuk persamaan Freundlich:
1
q e =K C (non linear)
n
e
1
log q e =log K + log C e(linear)
n
dimana:
qe = jumlah adsorbat terserap tiap massa adsorben pada kesetimbangan (mg/g)
K = konstanta isotherm Freundlich, berhubungan dengan kapasitas adsorpsi
Ce = konsentrasi tembaga pada keadaan setimbang (mg/L)
n = konstanta Freundlich yang menunjukkan intensitas proses adsorpsi
c) Kinetika adsorpsi
Dalam penelitian Song dkk (2014) model persamaan sistem adsorpsi untuk kinetika orde
satu semu (pseudo first order kinetics) dan orde dua semu (pseudo second order kinetics)
ditunjukkan dalam persamaan berikut ini:
k1 t
log ( q e −q t )=log qe −
2,303
t 1 1
= + t
qt k 2 q e q e
dimana:
qt = kapasitas adsorpsi pada waktu t (mg/g)
qe = kapasitas adsorpsi pada saat equilibrium (mg/g)
t = waktu (s)
k1 = konstanta kecepatan orde satu (menit-1 )
k2 = konstanta kecepatan orde dua (g mg-1 menit-1)
3.2.2 Alat-alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Reaktor berpengaduk, Gelas kimia, Erlenmeyer, Gelas ukur, Labu ukur, Pinset, Timbangan
analitik, Tabung reaksi, Gas Cromatografi (GC), AAS (Atomic Absorption spektrofotometer),
Nano-Ball Mill, Tabung reaksi, Refractometer, Ayakan 300 mesh dan lain-lain.
Ball Milling
Bentonit dan Zeolit
selama 240 menit
Dikeringkan dalam
Pengecilan oven dengan suhu
ukuran, 300 mesh 100ooC, sampai
beratnya stabil
Diaktifkan dengan
Dikeringkan
HCl 1 M selama 1
jam kembali
Minyak nilam dengan warna yang gelap Adsorben dari Nano-Bentonit dan
Nano-Zeolit
Gelas kimia
Ditempatkan kedalam
reaktor berpengaduk
Disaring dengan
menggunakan gelas wool
Hasil
Gambar 3.2 Skema pemurnian minyak nilam dengan menggunakan Nano-Bentonit dan Nano-
Zeolit
3.6 Analisis Parameter Uji
Minyak nilam yang digunakan dalam proses adsorpsi dilakukan uji karakteristik seperti
warna, dan indeks bias. Uji tersebut dilakukan sebelum dilakukan proses adsorbs dan juga
sesudah adsorbs.
Gas Chromatography
Mengaktifkan GC
1. Aktifkan Un-interrupable Power Supply (UPS)
2. Buka katup gas (alirkan gas ke GC)
- Gas Helium (He) sebagai gas pembawa (carier)
- Gas Nitrogen (N2) sebagai pembawa (carier) dan sebagai make up gas (FID)
- Gas Hydrogen (H2) sebagai gas pembakar (FID)
- Gas Compress Air sebagai pembakar (FID)
3. Hidupkan computer.
4. Aktifkan Gas Chromatography (GC) dengan tombol On/Off berada di sisi kiri bawah,
tunggu hingga GC selesai initialisasi & self test (kira-kira 2 menit).
5. Aktifkan software chemstation dengan double Program klick kiri icon instrument 1 online
atau klik start Instrument 1 online. Chem station.
6. Pastikan menu berada pada Load Method (Conditioning Methode) Method “Methode and
Run Control” pilih metode yang diinginkan.
7. Sebelum digunakan, pastikan column sudah deconditioning dengan suhu 20ºC di bawah
suhu maximum column atau diatas suhu operational tetapi tidak diperbolehkan melewati
suhu max column seperti yang tertera di tag column.
8. Comditionign GC selama 30 menit. Pilih Metode yang akan digunakan untuk analisa
(Method and Run Comntrol).
Analisis sampel
1. Isi Operator Sample Info isi identitas sampel melalui : Run Control Name, Sub Directory
(untuk memudahkan pencarian data, gunakan tanggal hari ini), Nama Signal, Nama
Sample komentar bila ada.
2. Pastikan Parts of Method to Run berada pada According to Runtime Checklist : Sequence
Location : isikan lokasi vial sampel
Sample Name : sampel yang akan dianalisa
Method Name : metode yang digunakan untuk analisa
Inj/Location : jumlah injeksi pada satu lokasi vial
Inj volume : jumlah sampel yang diinjeksikan ke GC
Injector : Front atau Back
Sample Info : apabila diperlukan Save Sequences.àSequence
3. Tunggu hingga status di layar computer ready (warna hijau) atau pada display GC : Ready
for Injection dan lampu indicator “not ready” (warna merah) pada panel Gc off. Run
Sequence.
4. Pastikan ikon Sequence aktif dengan cara pilih Run Control.
5. Tunggu hingga analisa selesai, hasil analisa akan langsung tercetak secara otomatis.
Kalibrasi Standar
1. Setelah selesai “running” standard, pada menu View klik menu Data Analysis, Double
click Data yang diinginkan.
2. Ambil data yang akan dianalisa melalui : File
3. Bila pada data yang dipilih terdapat “peak” yang tidak dikehendaki (Auto Integration).
Klik Integration, Save lewat icon bergambar buku, isi nilai parameter yang cocok, Klik
Yes.
4. Isi Calibration Table melalui Calibration, Isi column dengan nama “Auto Calibration
Table Concentrasi” masing-masing compound, Klik Yes.
5. Bila data sudah terkalibrasi dan ingin di edit, cukup melalui Replace, bila ada waktu
rentesi (RT) yang berubah, ganti dengan RT yang baru.
6. Simpan data yang sudah terkalibrasi.
7. Cetak hasil kalibrasi melalui menu Report.
Mematikan GC
1. Turunkan suhu inlet dan detector tanpa mematikan gas carrier.
2. Tunggu hingga suhu di Oven, Inlet, dan Detector berada pada suhu di bawah 50 ºC.
3. Close software Chemstation : File.
4. Tekan tombol Off (mematikan GC).
5. Matikan UPS jika ada .
6. Tutup kembali katup gas Helium (He), Nitrogen (N 2), Hydrogen (H2), dan Commpress
Air.