Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Indonesia merupakan negara yang terkenal dalam produksi minyak atsiri. Minyak atsiri
merupakan salah satu produksi agro industri yang berpotensi tinggi untuk dikembangkan. Saat
ini terdapat 70 jenis minyak atsiri yang diperdagangkan dipasar dunia dan Indonesia
mempunyai 40 jenis tanaman penghasil minyak atsiri, tetapi hanya 14 jenis yang memiliki
peranan nyata sebagai komoditas ekspor salah satunya adalah nilam Aceh (Pogostemon cablin
Benth) (Idris, 2014).
Minyak nilam (patchouli oil) adalah minyak atsiri yang diperoleh dari hasil penyulingan
daun, batang dan cabang tanaman nilam. Indonesia merupakan pemasok 90% kebutuhan
minyak nilam dunia dan 70% diantaranya nilam Aceh (Hariyani, dkk., 2015). Minyak nilam
Indonesia di ekspor ke berbagai negara seperti Perancis, Singapura, Amerika Serikat, Inggris,
Jerman, India, Spanyol dan Belanda, untuk bahan baku industri pembuatan minyak wangi,
kosmetika, farmasi dan industri yang lainnya.
Tanaman nilam Aceh (pogostemon cablin Benth) dikenal dengan nama patchouli oil yang
merupakan salah satu tanaman penghasil minyak atsiri yang cukup penting. Tanaman ini
mengandung komponen utama patchouli alcohol (PA) yaitu suatu senyawa kelompok
seskuiterpen dengan rumus molekul C15H26O. Kadar PA yang tinggi dalam minyak nilam
memberikan arti bahwa akan semakin baik kualitas minyak tersebut. Bibit unggul nilam Aceh
terdapat dibeberapa daerah seperti Sidikalang dengan kadar PA 37,3%, Tapak tuan dengan PA
35%, Cisaroni dengan PA 33,1% dan Lhoksemawe dengan PA 30,5% (Bappeda,2015).
Patchouli alcohol berfungsi sebagai bahan pengikat wewangian (fiksasi) agar aroma
keharumannya bertahan lebih lama.
Budi daya dan produksi pengolahan minyak nilam di Indonesia umumnya dilakukan oleh
petani dan pelaku industri, penyulingan nilam masih menggunakan teknologi yang tradisional
dan memiliki keterbatasan di bidang pengetahuan ekstraksi minyak nilam sehingga kualitas
terhadap mutunya sangat kurang diperhatikan. Sebagian besar minyak nilam dihasilkan dari
penyulingan yang masih menggunakan ketel penyuling terbuat dari drum-drum bekas dan
penggunaan air sungai sebagai pelarutnya sehingga warna yang dihasilkan cenderung lebih
keruh dan gelap. Keadaan tersebut menyebabkan minyak tersebut sulit diterima dalam
perdagangan dan harganya lebih rendah meskipun dengan kadar patchouli alkohol yang tinggi
(Muhammad, 2015).
Untuk menghilangkan impuritis tersebut adalah dengan menggunakan metode proses
adsorpsi dari mineral alami. Telah banyak dilakukan penelitian mengenai cara mengurangi
limbah menggunakan mineral alami. Salah satu cara sederhana yang telah dilakukan oleh
peneliti untuk mengurangi limbah adalah metode adsorpsi. Adsorpsi merupakan terserapnya
suatu zat (molekul atau ion) pada permukaan adsorben. Mekanisme penyerapan tersebut dapat
dibedakan menjadi dua yaitu serapan secara fisika dan serapan secara kimia. Ada beberapa
faktor yang mempengaruhi proses adsorpsi yakni konsentrasi, luas permukaan, suhu, ukuran
partikel, pH, waktu kontak.
Pada penelitian ini akan dilakukan metode adsropsi menggunakan adsorben alami yaitu
zeolit dan bentonit dengan ukuran nano. Di alam mineral zeolit banyak ditemukan sebagai
batuan sedimen vulkano. Zeolit merupakan material berpori dan memiliki beberapa
kandungan mineral dominan (SiO4 dan AlO4). Kapasitas adsorpsinya dapat ditingkatkan
dengan aktivasi larutan asam kuat atau basa kuat. Zeolit memiliki bentuk kristal yang sangat
teratur dengan rongga yang saling berhubungan ke segala arah yang menyebabkan luas
permukaan zeolit sangat besar. Menurut hasil penelitian Ginting (2003) dari proses aktivasi
dapat meningkatkan beberapa sifat fisik dan kimia dari zeolit seperti keasaman permukaan dan
porositas sehingga lebih efektif sebagai adsorben. Peningkatan (Emelda and , Suhardini
Martiana Putri, 2013).
Bentonit merupakan salah satu sumber daya mineral Indonesia dengan jumlah yang
sangat melimpah. Bentonit merupakan mineral alumina silikat hidrat yang termasuk dalam
pilosilikat atau silikat berlapis yang terdiri dari jaringan tetrahedral (SiO 4 ) (Nugrahani and
Ismiyati, 2014).
Bentonit mempunyai struktur berlapis dengan kemampuan mengembang (swelling) dan
memiliki kation-kation yang dapat ditukarkan. Meskipun lempung bentonit sangat berguna
untuk adsorpsi, namun kemampuan adsorpsinya terbatas. Kelemahan tersebut dapat diatasi
melalui proses aktivasi menggunakan asam (HCl, H 2SO4 dan HNO3 ) sehingga dihasilkan
lempung dengan kemampuan adsorpsi yang lebih tinggi. Aktivasi bentonit menggunakan asam
akan menghasilkan bentonit dengan situs aktif lebih besar dan keasamaan permukan yang
lebih besar, sehingga akan dihasilkan bentonit dengan kemampuan adsorpsi yang lebih tinggi
dibandingkan sebelum diaktivasi (Bath et al., 2012).
Penelitian ini akan berlangsung selama 5 bulan. Pada tahap awal akan dilakukan
karakterisasi zeolit dan bentonit dalam ukuran nano. Tahap kedua dilakukan proses adsorpsi
menggunakan nilam asal Aceh Utara sebagai sampel. Tahap ketiga dilakukan pengukuran
kadar Patchouli Alcohol, ion logam Fe, indeks bias, bilangan asam dan pH sampel.

1.2 Perumusan Masalah


Proses produksi minyak nilam dilakukan dengan cara penyulingan dengan alat
penyulingan berupa distilasi kukus dan distilasi uap. Proses penyulingan daun dan tangkai
tanaman nilam ini menggunakan alat yang tidak sesuai standar sehingga menyebabkan
kualitas minyak nilam Indonesia rendah. Untuk itu perlu dilakukan peningkatan kualitas
minyak nilam Aceh menggunakan teknologi atau metode yang simpel, murah dan mudah.
Perkembangan teknologi yang simpel perlu dikembangkan, murah dan mudah menjadi penting
disebabkan pelaku pengolahan minyak nilam Aceh berasal dari pengusaha kelas menengah
kebawah dan masyarakat biasa. Oleh karena itu, diperlukan beberapa proses lanjutan untuk
memperoleh hasil yang optimal dari tahap peningkatan kualitas minyak nilam, salah satunya
seperti proses reduksi yang dapat dilakukan dengan metode adsorpsi.
Proses adsorpsi dilakukan dengan memanfaatkan bahan yang banyak dialam yaitu
adsorben zeolit dan bentonit untuk peningkatan kualitas minyak nilam terutama dalam
menghilangkan zat pengotor. Penelitian ini menggunakan metode adsorpsi untuk
meningkatkan kualitas minyak nilam terutama dalam hal pengurangan zat pengotor yaitu
kadar besi (Fe) dan mengurangi senyawa-senyawa pengotor lainnya. Di sisi lain masih
kurangnya pemanfaatan zeolit alam dan bentonit alami yang ada di Aceh Barat Daya selama
ini belum dimanfaatkan secara maksimal. Dengan demikian peneltitian ini dapat memberikan
meningkatkan kualitas nilam dan peningkatan pemanfaatan terhadap bahan alam. Untuk itu
pada penelitian ini perlu suatu rumusan masalah yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana cara menghilangkan Fe dan senyawa-senyawa pengotor (impurities)
lainnya dalam minyak nilam ?
2. Bagaimana daya adsorpsi dengan menggunakan adsorben nano-zeolit dan nano-
bentonit pada pemurnian minyak nilam ?
3. Bagaimana daya adsorpsi dengan menggunakan adsorben nano-zeolit dan nano-
bentonit terhadap senyawa-senyawa pengotor (impuritis) pada minyak nilam ?
4. Bagaimana parameter kualitas minyak nilam setelah selesai pengadsorbsian dengan
menggunakan adsorben nano-zeolit dan nano-bentonit ?

1.3 Tujuan Penelitian


Menciptakan nanoadsorben (nano-ziolite dan nano-bentonite) sebagai penyerap zat
pengotor dan meningkatkan kualitas minyak nilam yagn dihasilkan melalui proses
penyulingan yang dilakukan oleh petani atau pelaku industri nilam dengan cara mengurangi
kadar besi (Fe) dan menyerap senyawa-senyawa impuritisi. Serta mempelajari proses adsorpsi
minyak nilam dengan menggunakan adsoerben nano-zeolit dan nano-bentonit.

1.4 Manfaat Penelitian


Dari hasil penelitian ini diharapkan akan dipublikasikan pada Jurnal Ilmiah Teragreditasi
Nasional, Jurnal AGRITEK dan dipresentasikan pada seminar ilmiah. Selain itu rancangan
penelitian yang akan dilakukan ini akan bermanfaat sebagai masukan teknis bagi petani nilam
dalam menentukan teknologi yang lebih menguntungkan dalam proses pemurnian dengan
cara mengurangoi kadar besi (Fe) dan menyerap senyawa-senyawa impuritis. Serta
mempelajari proses adsorpsi minyak nilam dengan menggunakan adsorben nano-zeolit dan
nano-bentonit.
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Minyak Nilam


Nilam (Pogostemon cablin Benth.) merupakan famili Labiateae atau lebih dikenal dengan
nama pacthouli. Nilam masuk ke Indonesia melalui Aceh sudah seabad yang lalu kemudian
berkembang sepanjang Sumatra hingga Jawa Timur. Nilam Aceh termasuk nilam yang tidak
berbunga menjadikan minyak nilam aceh memiliki kadar dan mutu minyak yang tinggi
(Nuryani, 2017) . Nilam (Pogostemon cablin Benth) yaitu suatu tanaman yang mempunyai
sifat aromatik sehingga banyak diminati pada industri parfum maupun obat-obatan.
Masyarakat aceh bagian barat dan bagian utara memiliki indeks produksi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan daerah aceh lainnya. Dengan memanfaatkan ilmu biologi, kimia dan
proses produksinya dapat meningkatkan pemanfaatan tanaman ini didalam industri ini
(Rihayat et al., 2016).
Minyak nilam juga dikenal dengan minyak atsiri yang memiliki sifat aromatik yaitu minyak
nabati yang menjadi bahan dasar kosmetik atau parfum, obat-obatan dan bahan seperti mentol.
Indonesia memiliki banyak jenis minyak atsiri salah satunya minyak nilam. Minyak atsiri
merupakan minyak yang bersifat volatil (mudah menguap) biasanya terdiri dari senyawa
organik yang bergugus alkohol. Minyak nilam didapatkan dari sulingan akar, batang atau
daun. Perkembangan minyak atsiri di Indonesia sangat pesat hal ini dibuktikan banyak beredar
kemasan berbagai merek (Perangin-angin and Lubis, 2018).

Gambar 2.1 Nilam aceh. Adopsi dari Swamy dan Sinniah, 2016
Nilam di Indonesia terbagi tiga yaitu nilam Aceh (P. Cablin Benth), nilam Jawa (P.
Hortensis Backer) dan nilam kembang atau nilam sabun (P. Heyneanus). Indonesia menjadi
pemasok terbesar kebutuhan minyak nilam dunia mencapai 90% dari kebutuhan dunia.
Minyak nilam menjadi komoditas andalan Indonesia dalam meningkatkan devisa negara.
Nilam termasuk dalam tanaman herba tropis penghasil minyak atsiri yang bersifat volatil dan
dalam perdagangan internasional sering dikenal sebagai pactchouli. Minyak nilam digunakan
sebagai fiksasi (zat pengikat) kemampuan mengikat zat pewanginya dapat diperhambat
sehingga daya wangi parfum dapat bertahan lama (Mahmud et al., 2018)
Indonesia sebagai produsen minyak nilam terbesar di dunia selain Cina, Malaysia dan
Brazil. Namun pada praktik dilapangan para produsen masih menemukan kendala dalam cara
pengolahan minyak nilam. Hal ini dibuktikan rendamen, waktu untuk proses ekstraksi, serta
mutu yang dihasilkan masih rendah. Usaha ekstraksi yang dilakukan masyarakat masih
menggunakan drum-drum bekas sebagai proses produksinya, dimana pada saat temperatur
tinggi akan meluruhkan kerak-kerak besi yang ada pada dinding drum bagian dalam. Sehingga
minyak nilam yang dihasilkan cenderung berwarna gelap atau sedikit kehijauan akibat
tercampurnya dengan unsur-unsur logam seperti besi, mangan, magnesium, tembaga,
plumbum, dan seng (Hardyanti et al., 2016).
Patchouli alkohol menjadi komponen utama penyusun minyak nilam yang dapat
menentukan mutu dan bau dari minyak nilam. Patchouli alkohol merupakan senyawa
seskuiterpena alkohol yang dapat diisolasi dari minyak nilam dan tidak dapat larut dalam air,
larut dalam alkohol, eter atau pelarut organik lainnya. Mempunyai titik didih 280,37℃ dan
kristal yang terbentuk mempunyai titik leleh 56℃ (Perindustrian, 2016). Patchouli alkohol
(PA) adalah unsur utama minyak nilam (Patchouli Oil), dan ada banyak metode seperti uap
distilasi, ekstraksi superkritis dan distilasi molekuler digunakan dalam praktek untuk
pemisahan dan pemurnian PA dari PO (Su et al, 2014). Struktur molekul patchouli alkohol
dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Struktur kimia Patchouli. Adopsi dari Su et al, 2014

Pada proses distilasi fraksinasi untuk isolasi minyak nilam didapatkan kadar patchouli
alkohol sebesar 95% pada rasio refluks 20:1 selain itu waktu refluks yang digunakan lebih
singkat, sehingga menghemat waktu proses dan pemakaian energi (Amrullah et al., 2018).
Maka diperlukan sebuah teknik dalam penyerapan logam yang murah, sederhana dan serta
bahan bakunya tersedia di alam. Adsorpsi adalah salah satu teknologi yang disukai oleh
peneliti karena bahan bakunya bersifat alami (Masukume, Onyango and Maree, 2014).
Produksi pengolahan dan pengolahan minyak nilam di Indonesia umumnya dilakukan
petani nilam dan agroindustri penyulingan yang masih menggunakan teknologi tradisional dan
memiliki keterbatasan di bidangnya pengetahuan ekstraksi minyak nilam jadi pengawasan
kualitas sangat kurang diperhatikan. Selain itu, masalah lain adalah masalah modal, baik
dalam budidaya nilam dan pengolahan. Sebagian besar minyak nilam dihasilkan dari distilasi
yang masih menggunakan ketel penyuling yang terbuat dari besi logam, sehingga warnanya
keruh dan gelap. Situasi ini menyebabkan minyak sulit diterima dalam perdagangan dan harga
lebih rendah (Idris et al, 2014). Menurut Ma'mun, (2008) Minyak yang berkabut dan gelap
disebabkan karena kontaminasi dari kaleng besi dimurnikan dengan kompleksometri, yaitu
pengikatan logam menggunakan bahan bahan kimia yang disebut chelating (chelating) agen.
Standarisasi minyak nilam dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Standar Nilai Indonesia hasil analisis mutu minyak nilam SNI 06-2385-2006
No Karakteristik Keterangan
1 Warna Kuning muda sampai coklat kemerahan
2 Densitas, 25℃ 0,95-0,975
3 Indeks bias, 20℃ 1,507-1,515
4 Kelarutan dalam etanol 90%, 25-30℃ Larut jernih
5 Bilangan asam, maks 5,0
6 Bilangan ester, maks 20,0
7 Putaran optik (-)48ᵒ-(-)65ᵒ
8 Patchouli alkohol (C15H26O) Min 30%
9 Alpha-copaene (C15H24) Maks 0,5%
10 Kandungan besi (mg/kg) Maks 25 mg/kg

Berdasarkan hasil penelitian Wibowo et al, 2017 yang pernah dilakukan sebelumnya
memperlihatkan hasil analisis minyak nilam menggunakan gas kromatografi (GC) dengan
penambahan adsorben seperti gambar 2.3 dan 2.4

Gambar 2.3 Kromatogram GC dari minyak nilam


Gambar 2.4 Kromatogram GC dari minyak nilam yang ditambahkan bentonit

Analisis menggunakan gas kromatografi (GC) senyawa patchouli alkohol yang terkandung
pada minyak nilam konvensional adalah 29,64% namun ditambahkan bentonit kandungan
patchouli alkohol menjadi 36,11%. Berikut kandungan minyak nilai hasil dianalisis pada tabel
2.
Tabel 2. Hasil analisis kromatogram dari minyak nilam
PA sebelum ditambahkan PA setelah ditambahkan
Komponen
bentonit (%) bentonit (%)
Patchouli alkohol 29,64 36,11
Delta-guanine 23,26 13,26
Alpha-guanine 21,9 13,26
Alpha-patcouline 4,24 3,04
Pogostol 4,15 -
Palustrol 4 -
Beta-pinene 3,9 -
Sumber Wibowo et al, 2017

2.2 Bentonit
Bentonit merupakan mineral alumina silikat hidrat dengan rumus kimia umum bentonit
yaitu Al2O3.4SiO2.H2O. Kandungan montmorillonit dalam bentonit sebesar 85%. Bentonit
sering digunakan sebagai agen pemucat pada zat warna. Zat warna tersebut yaitu α-karoten, β-
karoten, xanthopil, kloropil dan antosianin. Zat-zat tersebut yang menjadi pigmen berwarna
kuning pada minyak. Karoten bersifat tidak stabil jika diberikan suhu yang tinggi maka warna
kuning akan hilang (Bahri, 2014).
Montmorillonit merupakan suatu hidrat alumunium silikat alami dimana beberapa atom
alumunium dan silikonnya secara alami dapat digantikan oleh atom lainnya seperti Mg dan Fe.
Struktur molekul montmorillonit terdiri dari unit sel yang digambarkan sebagai struktur “Si-
Al-Si” (Faisal et al., 2015).
Bentonit teknis adalah bentonit alam yang telah mengalami standarisasi sebelumnya dan
banyak diperdagangkan. Bentonit (clay) memiliki luas permukaan yang besar, berpori dan
memiliki sifat sebagai adsorben sehingga banyak diaplikasikan dalam proses adsorpsi. Untuk
meningkat daya adsorpsi dari bentonit dapat dilakukan aktivasi terlebih dahulu dengan tujuan
menghilangkan zat-zat pengotor (Prasetiowati and Koestiari, 2014).
Berdasarkan tipenya bentonit dibedakan menjadi dua :
1). Na-bentonit
Na-bentonit memiliki daya mengembang delapan kali jika dicelupkan kedalam air pada pH
8,5-9,8.
2). Ca-bentonit
Ca-bentonit memiliki daya tukar ion yang kuat namun kurang dapat mengembang di dalam
air, pH-nya 4,0-7,1.
Bentonit dapat diaktivasi melalui cara fisika dan kimia. Secara fisika, bentonit dipanaskan
pada temperatur 300-350℃ untuk memperluas permukaan butiran bentonit. Secara kimia,
bentonit dikontakkan dengan asam sulfat (H2SO4) dan asam klorida (HCl). Setelah
dikontakkan kemudian bentonit disaring dan dikeringkan sampai beratnya konstan. Bentonit
dapat berfungsi maksimal sesuai konsentrasi dari asam sulfat yang digunakan (Simamora,
Martin and Gusmedi, 2016).
Bentonit memiliki sifat muatan negatif yang dapat memungkinkan terjadinya pertukaran
dengan kation. Sumber negatif ini berasal dari subsitusi isomorfis dan disosiasi gugus
hidroksil yang terbuka. Ion-ion yang dapat mengalami pertukaran ion-ion yang berbeda
disekitar mineral lempung silika alumina. Reaksi dapat terjadi secara stokiometri dimana
kation setiap antarlapis kristal digantikan oleh kation dari larutan. Sehingga dikenal dengan
exchangeable cation. Kemampuan penyerapan dapat dinyatakan dalam mili eqivalent per 100
gram clay kering yang disebut Cation Exchange Capacity (CEC). Besar nilai CEC clay
bervariasi menurut tipe dan jumlah koloid dalam clay tersebut (Riskina and Jalal, 2018).
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menerapkan penggunaan bentonit dalam
menurunkan kandungan logam berat Pb2+, Zn2+, Fe2+, dan Ni2+. Hasil penilitian menunjukkan
bahwa bentonit merupakan adsorben yang baik untuk jenis-jenis ion logam tersebut (Zuzana
and Ladislav, 2013; Sen and Khoo, 2013; Futulan et al., 2012; Al-Shahrani, 2013). Dapat
dilihat struktur kimia senyawa montmorillonit pada Gambar 2.5

Gambar 2.5 Struktur montmorillonit. Adopsi dari Wijaya et al., 2002

Bentonit termasuk dalam mineral clay, untuk meningkatkan daya serap bentonit perlu
dilakukan proses aktivasi menggunakan asam, sehingga struktur bentonit menjadi aktif dan
pori-pori akan menjadi lebih terbuka (Nafsiyah et al., 2017).
Gambar 2.6 Spektra FTIR bentonit, alam (biru) sebelum dan (hitam) sesudah aktivasi
dengan HCl

Gambar 2.7 Karakter fisik dari (a) Bentonit tanpa aktivasi (b) Bentonit teraktivasi H2SO4

Aktivasi bentonit secara kimia menggunakan asam dimaksudkan untuk melarutkan


pengotor yang terdapat pada kisi dan permukaan bentonit, serta untuk menambah situs asam
pada permukaan padatan. Aktivasi menggunakan H2SO4 juga digunakan untuk
mempertukarkan kation-kation (Na+, K+ dan Ca2+ ) yang terdapat pada intralayer bentonit
dengan H+ dari asam sulfat. Permukaan bentonit menjadi lebih asam, sehingga proses adsorpsi
diharapkan menjadi lebih baik. Mekanisme pertukaran kation ditunjukkan melalui Gambar 2.8
Gambar 2.8 Mekanisme Pertukaran kation pada bentonit

Proses aktivasi menggunakan H2SO4 ini menghasilkan struktur bentonit dengan pori lebih
terbuka, sehingga luas permukaan dan volume total pori lebih meningkat. Karakterisasi
menggunakan FTIR (Fourier Transform Infrared Spectroscopy) digunakan untuk mengetahui
keberadaan gugus fungsi yang terdapat pada bentonit. Berdasarkan hasil penelitian terlihat
bahwa aktivasi menggunakan H2SO4 tidak mengubah karakteristik gugus fungsional bentonit.
Pada bentonit teraktivasi gugus fungsional khas bentonit masih tetap dipertahankan yaitu Si-O,
Si-O-Si, dan Al-O-Al, dan teramati pada bilangan gelombang 1041 cm -1, 910 cm-1, 370 cm-1,
524 cm-1 dan 470 cm-1. Data hasil analisis menggunakan FTIR disajikan melalui Gambar 2.6
dan Tabel 3. Hasil karakterisasi menggunakan FTIR ini sesuai dengan data analisis
menggunakan GSA yang menunjukkan tidak adanya perubahan struktur kimia bentonit.
Tabel 3. Karakteristik gugus fungsional pada bentonit
Bilangan gelombang (cm-1)
Gugus fungsional
Bentonit tanpa aktivasi Bentonit teraktivasi H2SO4
3464 3448 Vibrasi regangan O-H
1635 1635 Vibrasi deformasi O-H
1033 1041 Vibrasi regangan Si-O
910 910 Vibrasi deformasi Al-O-Al
Vibrasi deformasi Si-O-Al
532 524
oktahedral
470 470 Vibrasi deformasi Si-O-Si
370 370 Vibrasi regangan Al-O
Gambar 2.9 Hasil FTIR dari (a) Bentonit tanpa aktivasi dan (b) Bentonit teraktivasi H2SO4

Gambar 2.9 menunjukkan intensitas puncak serapan -OH streching yang lebih tinggi pada
bentonit teraktivasi H2SO4 dibandingkan bentonit tanpa aktivasi. Hal ini yang
mengindikasikan bahwa bentonit setelah aktivasi relatif lebih bersih dari pengotor.

(a) (b)
Gambar 2.10 Hasil analisis SEM dari (a) bentonit tanpa aktivasi (b) bentonit teraktivasi H2SO4

Karakterisasi menggunakan SEM (Scanning Electron Microscopy) bertujuan untuk melihat


morfologi permukaan material bentonit. Hasil analisis bentonit tanpa aktivasi dan bentonit
teraktivasi H2SO4 1,5 M menggunakan SEM ditunjukkan pada Gambar 2.10. Hal ini
menunjukkan adanya ukuran pori yang relatif lebih terbuka, yang terlihat pada bentonit
teraktivasi dengan pembesaran 1000×. Ukuran pori pada bentonit sangat mempengaruhi
proses adsorpsi. Semakin banyak pori yang terbuka pada permukaan bentonit maka proses
adsorpsi akan berlangsung baik dengan banyaknya adsorbat yang terserap pada pori adsorben.
Pori pada permukaan bentonit tanpa aktivasi masih ditutupi oleh pengotor. Saat pori masih
terisi oleh pengotor, maka proses adsorpsi akan terhambat, karena adsorbat yang akan
diadsorpsi tidak dapat terserap di dalam pori.
Bentonit merupakan istilah dalam dunia perdagangan untuk clay yang mengandung
monmorillonit. Kandungan utama bentonit adalah mineral monmorilonit dan warnanya
bervariasi dari putih ke kuning, sampai hijau zaitun, coklat kebiruan. Bentonit merupakan
bahan baku untuk pembuatan bleaching earth, yang diperoleh dengan aktivasi. (Hymore,
1996). Bentonit mempunyai sifat mengadsorpsi, karena ukuran partikel koloidnya sangat kecil
dan memiliki kapasitas permukaan yang tinggi. Bentonit juga mempunyai struktur berlapis
dengan kemampuan mengembang (swelling) dan memiliki kation-kation yang dapat
ditukarkan.
Provinsi Jambi memiliki sumber daya alam bentonite yang cukup banyak, salah satunya
berasal dari daerah Rengas. (Suharto, 1997). Peningkatan efektifitas penyerapan pada bentonit
dapat dilakukan dengan aktivasi. Proses aktivasi dibedakan menjadi dua cara, yaitu aktivasi
secara fisika adalah pemakaian panas hampir di semua reaksi yang ada tanpa pemberian zat
aditif. Pemanasan diatas suhu 300-700℃ menyebabkan proses pengeluaran molekul air dari
rangkaian kristal sehingga dua gugus OH yang berdekatan saling melepaskan satu molekul air
(Prasetya, 2004). Aktivasi secara kimia dilakukan dengan menggunakan asam mineral akan
meningkatkan daya serap karena asam mineral melarutkan pengotor-pengotor yang menutupi
pori-pori adsorben (Supeno, 2007). Bentonit yang telah mengalami aktivasi akan
meningkatkan kemampuan adsorpsinya. Berikut komposisi kimia bentonit alami dapat dilihat
pada Tabel 4.
Tabel 4. Komposisi Kimia Bentonit Alami
Senyawa kimia Na-Bentonit (%) Ca-Bentonit (%)
SiO2 61,3-61,4 62,12
Al2O3 19,8 17,33
Fe2O3 3,9 5,3
CaO 0,6 3,68
MgO 1,3 3,3
Na2O 2,2 0,5
K2O 0,4 0,55
H2O 7,2 7,22
(Sumber : Puslitbang Tekmira,2005)

2.3 Zeolit
Zeolit adalah mineral dengan strukur kristal aluminosilikat yang berbentuk rangka
(framework) tiga dimensi, mempunyai rongga dan saluran serta mengandung ion-ion logam
seperti Na, K, Mg, Ca dan Fe serta molekul air. Zeolit memiliki empat sifat utama yaitu
sebagai adsorben, ion-exchange, molecular sieving dan katalis. Struktur rangka tiga dimensi
pada zeolit memungkinkan zeolit mempunyai luas permukaan yang besar dalam menyerap
molekul gas pada posisi molekul air dalam kristal zeolit.
Kemampuan menyerap pada zeolit ditentukan oleh ukuran partikel, muatan serta lokasi
kation yang berada dalam rongga zeolit. Zeolit perlu diaktivasi untuk menguapkan molekul air
sebelum dipakai sebagai adsorben. Zeolit banyak dimanfaatkan pada industri mulai dari
sebagai bahan baku sampai pada sistem pengolahan limbahnya (Las dan Zamroni, 2002).
Komposisi kandungan kimiawi dari zeolit alam yaitu Alumina (Al 2O3) dan Silika (SiO2) yang
merupakan komponen utama pembentuk rangka (framework) dari zeolit alam (Setiadi dan
Pertiwi, 2007).
Zeolit memiliki kemampuan dalam menyerap logam berat yang ada di dalam cairan atau
padatan. Kemampuan ini bisa dimaksimalkan dengan cara zeolit harus dilakukan aktivasi
terlebih dahulu sehingga terjadi dekationisasi yang menyebabkan berkurangnya pengotor yang
menutupi pori-pori zeolit sehingga menambah luas permukaan zeolit. Bertambahnya luas
permukaan zeolit diharapkan meningkatkan kemampuan zeolit dalam melakukan proses
penyerapan (Iswanto dkk., 2016).
Pengolahan zeolit secara garis besar dapat dibagi dalam dua tahap, yaitu preparasi dan
aktivasi. Dalam tahapan preparasi zeolit diperlakukan sedemikian rupa agar mendapatkan
zeolit yang siap olah. Tahap ini berupa pengecilan ukuran dan pengayakan. Tahapan ini dapat
menggunakan mesin secara keseluruhan atau dengan cara sedikit konvensional. Aktivasi zeolit
dapat dilakukan dengan cara pemanasan atau penambahan pereaksi kimia baik asam maupun
basa (Saputra, 2006). Pengaktifan zeolit dengan pemanasan pada suhu tertentu dapat
menguapkan air yang terdapat dalam rongga kerangka serta senyawa-senyawa pengotor yang
berupa zat-zat organik dan anorganik yang mudah menguap sehingga dapat dimasuki oleh
molekul-molekul yang bersentuhan dengannya (Hastuti dan Hadi, 2010).
Di Indonesia, zeolit sebagai salah satu penukar ion alami yang banyak tersedia, murah dan
mudah didapat. Zeolit sebagai ion exchanger telah diketahui dan digunakan sebagai
penghilang polutan kimia. Akhir-akhir ini, para peneliti juga banyak mempelajari prospek
zeolit dalam pengelolaan limbah industri. Contoh pemanfaatan zeolit yang telah diteliti
diantaranya untuk pemisahan ammonia atau ammonium ion dari air limbah industri, untuk
pemisahan hasil fisi dari limbah radioaktif. Zeolit juga digunakan antara lain pada proses
pemurnian metil khlorida dalam industri karet, pemurnian fraksi alkohol, metanol, benzen,
xylene, LPG dan LNG pada industri petrokimia, untuk hidrokarbon propellents-fillers aerosol
untuk pengganti freons, dan penyerap klorin, bromin dan fluorin.
Tabel 5. Sifat-Sifat Fisikokimia Zeolit Alami
Senyawa kimia %
SiO2 68,26
Al2O3 12,99
Fe2O3 1,37
CaO 2,09
MgO 0,83
K2O 4,11
TiO2 0,23
Na2O 0,64
MnO 0,06
CEC 120 meq/100 g
Ukuran partikel <75μm
Ukuran saluran molekul 7,9 A X 3,5 A
SBET 16 m2/g
Volume pori 0,039 m2/g
pH 7,5
(Sumber : MSDS Oxy Chem)

Zeolit pertama kali ditemukan tahun 1795 oleh ahli mineralogi berasal dari Swedia yaitu
A.F. Cronstedt. Hasil pengamatannya, zeolit dapat melepaskan air dengan cepat pada saat
dipanaskan sehingga terlihat seperti batu yang mendidih. (Izci dan Izci, 2007). Dalam
penelitian ini zeolit diperoleh dari Kabupaten Aceh Barat Daya. Informasi dari Dinas
Pertambangan dan Energi setempat bahwa di kabupaten tersebut banyak dijumpai singkapan
zeolit, namun belum diketahui besarnya potensi cadangan dan kualitas mineral zeolit (Gambar
2.1).

Gambar 2.11 Zeolit alam dari Kabupaten Aceh Barat Daya

Pada saat ini polutan-polutan berbahaya telah mencemari sebagian besar air tanah yang
dapat menimbulkan masalah bagi kesehatan manusia. Salah satu polutan tersebut adalah
adanya logam berat yang terdapat pada air. Keberadaan logam menjadi perhatian penting
karena senyawa ini bersifat toksis, non biodegradable dan mempunyai tendensi yang
terakumulasi dalam organisme hidup. Logam berat masuk ke lingkungan berasal dari aktivitas
industri seperti industri pengolahan logam, pembuatan baterai, penyamakan, metalurgi dan
industri pembuatan pupuk. Logam berat masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan, tertelan
melalui makanan dan juga teradsorpsi melalui kulit.
Seiring dengan adanya perkembangan nanoteknologi yang semakin pesat telah banyak
dilakukan penelitian tentang partikel-partikel berukuran nanometer. Untuk ion logam zeolit
dengan ukuran nano partikel dimanfaatkan sebagai media pertukaran ion, selain itu juga
sebagai adsorben yang sangat efektif dalam penyerapan ion logam. Secara parsial pemisahan
dengan metode adsorpsi dan filtrasi telah dilakukan oleh sejumlah peneliti, akan tetapi belum
memberi hasil secara optimal. Hybrid nano zeolit adsorpsi merupakan salah satu pilihan
proses yang dapat digunakan untuk menghilangkan logam Cd yang terkandung di dalam air
tanah. Proses ini diharapkan dapat memberi efisiensi proses yang lebih baik. Penggunaan
nano-partikel sebagai media penyerap diharapkan dapat memberikan kapasitas adsorpsi yang
lebih baik (Raziah et al, 2017).
Pada kerangka zeolit, tiap atom Al bersifat negatif dan akan dinetralkan oleh ikatan
dengan kation yang dapat dipertukarkan. Kation yang dapat dipertukarkan yang ada pada
kerangka zeolit ini berpengaruh pada proses adsorpsi dan sifat thermal zeolit (ÇakIcǧlu-Ozkan
and Ülkü, 2008). Dalam kelompok adsorben, zeolit termasuk adsorben yang mempunyai
ukuran pori mikro (mikropori) dan dalam klasifikasi BET, zeolit masuk ke dalam golongan
tipe I (Kurniasari, 2010). Ukuran pori merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
kapasitas dan laju adsorpsi zeolit terhadap adsorbat tertentu (Bonenfant et al., 2008)
(Wattimena et al, 2018).
Zeolit berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata “zein” bermakna buih dan
“lithos” berarti batuan, sehingga zeolithos disebut sebagai batu berbuih yang telah ditemukan
oleh Axel F. Cronstedt tahun 1756 (Said dkk., 2008). Zeolit merupakan penukar ion alami
(Rahman dan Hartono, 2004). Kapasitas adsorpsi zeolit alam sangat tinggi karena mampu
memisahkan molekul menurut ukuran dan konfigurasi molekul (Poerwadio dan Masduki,
2004). Zeolit dimanfaatkan sebagai pendehidrasi, penukar ion dan adsorben (Said dkk., 2008).
Zeolit telah digunakan secara luas pada pengolahan air limbah untuk memperoleh kembali air
baku yang dapat digunakan untuk air bersih (Erdem dkk., 2004). Aktivasi dan karakterisasi
zeolite alam telah juga dilakukan oleh group peneliti Fergueirodo (2014). Zeolit alam yang
telah diaktivasi memiliki luas permukaan spesifik sebesar 700 m2/g (Fergueirodo dan
Qiuntelas, 2014). Sementara itu, Barlokova dan Ilavsky (2010) memanfaatkan zeolite alam
tanpa aktivasi untuk menyisihkan logam besi dari air tanah. Didapatkan bahwa kadar besi air
tanah berhasil diturunkan dari 0,5 mg/L menjadi 0,005 mg/L.
(a) (b)

Gambar 2.12. Hasil morfologi Zeolit dari analisis menggunakan SEM (a) sebelum aktivasi
dan (b) setelah aktivasi. Adopsi dari Hasni et al, 2015

Setelah diaktivasi maka ukuran pori zeolit alam bertambah besar menjadi 2,23 μm hingga
3,87 μm. Aktivasi menaikkan dia-meter pori rata-rata sebesar 208%. Akibat aktivasi terjadi
kenaikan diameter pori rata-rata sebesar 208%. Zeolit alam aktif terlihat lebih bersih
dibandingkan dengan adsorben yang belum diaktivasi. Kenaikan diameter pori zeolit alam
aktif dapat terjadi akibat impuritis yang ada di dalam butiran telah meninggalkan rongga
adsorben sesudah direndam dengan asam klorida dan dibilas dengan aquades (Hasni et al,
2015).
Gambar 2.13. Spektra FTIR nano zeolit yang telah diaktivasi

Hasil karakterisasi dari FTIR (Gambar 2) memperlihatkan bahwa gugus fungsi yang
terdapat pada sampel yang diteliti menunjukkan karakter kerangka struktur zeolit yaitu
terdapat puncak 877-993 cm-1 yang merupakan vibrasi ulur asimetris Si-O dan Al-O
interpretasi dari serapan ikatan pada unit struktur utama zeolite (Barczyk et al., 2014). Ion
karbonat pada nano zeolit alam nano zeolit setelah dilakukan aktivasi yaitu pada puncak 1450
cm-1. Bilangan gelombang karbonat berada pada 1450-1410 cm-1 (Coates et al., 2006)
(Yulianis et al, 2017).

2.4 Adsorpsi
Adsorpsi adalah suatu proses yang terjadi ketika fluida cairan maupun gas terikat pada
suatu padatan atau cairan (adsorben) dan kemudian membentuk suatu lapisan tipis atau film
(adsorbant) pada permukaannya. Proses ini menghasilkan akumulasi konsentrasi zat tertentu
dipermukaan media setelah terjadi kontak antar muka atau bidang batas cairan dengan cairan,
cairan dengan gas atau cairan dengan padatan dalam waktu tertentu.Berdasarkan fenomena
terbentuknya, adsorpsi dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu adsorpsi kimia, adsorpsi fisika dan
pertukaran ion.
Kinetika adsorpsi suatu zat dapat diketahui dengan mengukur perubahan konsentrasi zat
teradsorpsi tersebut. Kinetika adsorpsi dipengaruhi oleh kecepatan adsorpsi. Kecepatan ini
berbanding terbalik dengan kuadrat diameter partikel, bertambah dengan kenaikan konsentrasi
zat terlarut bertambah dengan kenaikan temperatur dan berbanding terbalik dengan konsistensi
berat molekul zat terlarut (Freeman 1989).
Cara pengolahan limbah dengan metode adsorpsi yaitu penyerapan ion-ion logam ke dalam
adsorben sehingga kadar logam dalam air limbah dapat dikurangi. Jenis adsorben yang sering
digunakan antara lain zeolit, karbon aktif, bentonit dan serbuk gergaji (Emelda dkk., 2013).
Adsorpsi adalah fenomena fisika yang terjadi saat molekul-molekul gas atau cair dikontakkan
dengan suatu permukaan padatan dan sebagian dari molekul-molekul tadi mengembun pada
permukaan padatan tersebut. Dalam operasi ini molekul-molekul yang terembunkan tadi
disebut adsorbat dan permukaan kontaknya disebut adsorben (Wijayanti, 2009).
Proses adsorpsi mencakup 2 hal penting yaitu kinetika adsorpsi dan termodinamika
adsorpsi. Kinetika adsorpsi merupakan proses adsorpsi berdasarkan laju adsopsi sedangkan
pada termodinamika adsorpsi dilihat tentang kapasitas adsorpsi dan energi adsorpsi yang
terlibat dalam prosesnya (Purwaningsih, 2009). Adsorpsi merupakan suatu proses eksotermik
yaitu peristiwa dengan adsorben dan adsorbat sama-sama melepaskan panas sehingga
menurunkan aktivitas pergerakan molekul adsorbat yang mengakibatkan adsorbat dapat
menempel pada permukaan adsorben sehingga membentuk lapisan tipis (Riyadh, 2009). Rijali
(2015) juga menyatakan bahwa adsorpsi adalah salah satu peristiwa fisika maupun kimia pada
permukaan yang dipengaruhi oleh reaksi kimia antara media penyerap (adsorben) dan media
terserap (adsorbat).
Adsorben adalah material yang digunakan sebagai penyerap solut yang berupa gas atau cair
atau molekul/ion yang terdapat di dalam suatu campuran. Umumnya adsorben berwujud
padatan yang berbentuk granular, pelet, biji-bijian, dan serbuk (Said dkk., 2008). Supardi dkk
(2003) menyatakan bahwa dalam adsorpsi, adsorben adalah zat yang mempunyai sifat
pengikat molekul pada permukaannya dan sifat ini sangat menonjol pada padatan yang
berpori. Beberapa sifat yang harus dipenuhi oleh suatu adsorben adalah mempunyai
permukaan yang luas, berpori-pori, aktif dan murni serta tidak beraksi dengan adsorbat. Proses
adsorpsi pada umumnya diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu adsorpsi fisika dan adsorpsi
kimia. Proses adsorpsi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain sebagai berikut (Estiaty,
2013):
1. Luas permukaan, ukuran pori dan komposisi bahan dari adsorben.
2. Ukuran dan polaritas molekul serta komposisi kimia dari adsorbat.
3. Faktor-faktor lingkungan seperti pH, tekanan dan temperatur.
4. Konsentrasi adsorben, konsentrasi larutan pada kondisi isotermal memperlihatkan adanya
kecendrungan peningkatan adsorpsi dengan peningkatan konsentrasi.
5. Waktu kontak antara adsorbat dan adsorben yang bergantung kepada keaktifan adsorben
yang digunakan.

a) Kapasitas adsorpsi
Kadar konsentrasi logam setelah adsorpsi dapat dihitung dengan persamaan berikut ini (Zheng
dkk, 2006).
C 0−C e
Persen removal= x 100 %
C0

dimana:
C = konsentrasi logam sebelum adsorpsi
Cₑ = konsentrasi logam setelah adsorpsi
Kapasitas adsorpsi dari adsorben saat kesetimbangan (qe) ditunjukkan pada persamaan berikut
ini (Estiaty, 2013).

( C0−C e ) V
q e=
m

dimana:
qe = kapasitas adsorpsi (mg/g)
C = konsentrasi logam sebelum adsorpsi (mg/L)
Cₑ = konsentrasi logam setelah adsorpsi (mg/L)
V = volume larutan sampel (L)
m = berat dari adsorben (g)

b) Isotermal adsorpsi
Adsorpsi isotermal dapat menggambarkan hubungan kesetimbangan antara adsorben dan
adsorbat dalam badan cairan pada suhu tetap. Gambaran tersebut menunjukan jumlah adsorbat
yang teradsorpsi persatuan adsorben. Secara matematika, ada dua jenis hubungan untuk
menggambarkan adsorpsi isotermal yaitu Langmuir isotherm dan Freundlich isotherm
(Richardson, 2002).
Model isotermal Langmuir merupakan adsorpsi monolayer. Teknik Langmuir berdasarkan
jumlah adsorpsi maksimum sesuai dengan molekul monolayer jenuh zat terlarut pada
permukaan adsorben, energi adsorpsi konstan, dan tidak ada perpindahan adsorbat pada
bidang permukaan (Zheng dkk, 2006):
1 ab C e
= (non linear)
qe 1+C e
1 1 1 1
= + (linear)
qe ab C e b

dimana:
qₑ = jumlah adsorbat terserap tiap massa adsorben pada kesetimbangan (mg/g)
a = konstanta kesetimbangan Langmuir (L/mg)
b = kapasitas penyerapan maksimum pada permukaan padatan (mg/g)
Cₑ = konsentrasi pada kesetimbangan (mg/L)

Persamaan isotermal Freundlich telah banyak digunakan dalam adsorpsi isothermal (Zheng
dkk, 2006). Isotermal Freundlich untuk permukaan adsorben yang bersifat heterogen. Berikut
bentuk persamaan Freundlich:

1
q e =K C (non linear)
n
e

1
log q e =log K + log C e(linear)
n
dimana:
qe = jumlah adsorbat terserap tiap massa adsorben pada kesetimbangan (mg/g)
K = konstanta isotherm Freundlich, berhubungan dengan kapasitas adsorpsi
Ce = konsentrasi tembaga pada keadaan setimbang (mg/L)
n = konstanta Freundlich yang menunjukkan intensitas proses adsorpsi

c) Kinetika adsorpsi
Dalam penelitian Song dkk (2014) model persamaan sistem adsorpsi untuk kinetika orde
satu semu (pseudo first order kinetics) dan orde dua semu (pseudo second order kinetics)
ditunjukkan dalam persamaan berikut ini:

k1 t
log ( q e −q t )=log qe −
2,303
t 1 1
= + t
qt k 2 q e q e

dimana:
qt = kapasitas adsorpsi pada waktu t (mg/g)
qe = kapasitas adsorpsi pada saat equilibrium (mg/g)
t = waktu (s)
k1 = konstanta kecepatan orde satu (menit-1 )
k2 = konstanta kecepatan orde dua (g mg-1 menit-1)

2.5 Analisa Instrumentasi

2.5.1 Uji Struktur Morfologi dengan SEM (Scanning Electron Microscope)


SEM merupakan suatu alat yang digunakan agar dapat mengetahui morfologi atau
struktur mikro permukaan dari senyawa padat (Kosasih dan Zainuri,2012). SEM terdiri dari
sebuah senapan electron yang menghasilkan berkas electron pada tegangan yang dipercepat
sebesar 2-30 kV. Menurut Trewin dalam (Anggraeni,2008) berkas elektron dilewatkan pada
beberapa lensa elektromagnetik sehingga menghasilkan image suatu sampel dengan ukuran
≤10 nm yang ditampilkan dalam bentuk film fotografi. SEM sangat cocok digunakan pada
situasi yang membutuhkan pengamatan pada permukaan yang dapat diperbesar antara 20 kali
sampai 500.000.

2.5.2 Uji Keberadaan Gugus Fungsi FTIR


FT-IR merupakan singkatan dari Fourier Transform Infrared dimana metode ini
menggunakan infrared spectroskopi. Dalam infrared spekroskopi, radiasi infrared melewati
sampel, lalu beberapa radiasi tersebut diserap oleh sampel dan sisanya melewati transmitted.
Hasil spekrum menunjukkan molekul penyerapan dan transmisi.
Aplikasi FTIR ialah agar dapat mengidentifikasi material yang tidak diketahui, dapat
menentukan kualitas atau konsistensi dri suatu sampel dan dapat menentukan jumlah suatu
komponen dalam sebuah campuran.
2.5.3 Uji Spectrofotometer UV
Spektrofotometer UV-Vis merupakan alat pengukuran cahaya tampak, intensitas sinar
ultraviolet dan panjang gelombang yang diabsorpsi oleh sampel. Spektrofotometer UV-VIS
dapat digunakan untuk :
1. Menentukan ausokrom dari suatu senyawa , ikatan rangkap dan jenis kromofor.
2. Dapat mengetahui informasi dari struktur berdasarkan panjang gelombang maksimum
dari suatu senyawa.
3. Dapat menganalisis senyawa secara kuantitatif dengan menggunakan hukum Lamber-
Beer (Dachriyanto,2004).

2.5.4 Uji kandungan minyak nilam dengan Gass Chromatograpy


Gas kromatografi merupakan salah satu jenis kromatografi yang digunakan dalam
kimia organik untuk pemisahan dan analisis. Gas kromatografi biasa digunakan untuk
mengidentifikasi suatu senyawa yang terdapat pada campuran gas dan
juga menentukan konsentrasi suatu senyawa dalam fase gas.
Dalam kromatografi gas, fase yang bergerak (atau "mobile phase") adalah sebuah
operator gas, yang biasanya gas murni (inert) seperti gas helium atau nitrogen. Stationary atau
fasa diam merupakan tahap mikroskopis lapisan cair atau polimer yang mendukung gas murni,
di dalam bagian dari sistem pipa-pipa kaca atau logam yang disebut kolom. Instrumen yang
digunakan untuk melakukan kromatografi gas disebut gas chromatograph (atau "aerograph",
"gas pemisah").
2.6 Studi sebelumnya
Tabel 6 berikut merupakan hasil review terhadap penelitian-penelitian sebelumnya
tentang pemanfaatan nano adsorben dalam proses adsorpsi logam
Tabel 6. Review jurnal terdahulu tentang pemanfaatan nano adsorben dalam proses adsorpsi
logam
No Peneliti Tahun Adsorben Hasil
Patchouli oil mengalami perubahan
warna dari coklat gelap menjadi
kuning jernih dan menghilangkan
1. Wibowo dkk 2017 Bentonit
ion logam Fe sesuai standar SNI
06-2385-2006 menggunakan
bentonit.
Setelah dilakukan hasil analisis
Gas Chromatography (GC)
diperoleh kadar patchouli alkohol
Hardyanti sebesar 22,98869% pada waktu
2. 2016 Zeolit
dkk retensi 27,806 menit. Serta
perubahan warna dari coklat gelap
menjadi kuning jernih
menggunakan zeolit.
Adsorben campuran bentonit dan
enceng gondok yang tidak di
aktivasi lebih sedikit daya serapnya
dibandingkan dengan adsorben
Bentonit dan eceng
3. Faisal 2015 yang di aktivasi. Penyerapan
gondok
maksimum (0,987 mg/g) terjadi
pada konsentrasi Pb2+ 40 mg/L
pada waktu kontak 120 menit
dengan kecepatan 150 rpm.
4. Sariadi 2012 Bentonit Perubahan warna kuning jernih
didapatkan pada waktu sirkulasi 60
menit, indeks bias sebesar 1,507
didapatkan pada waktu sirkulasi
60-90 menit. Pada perbandingan
1:4 menghasilkan persentasi kadar
PA pada waktu sirkulasi 90 menit
yaitu 32,818% dan ion logam Fe
hilang 100% pada waktu sirkulasi
90 menit.
Kondisi optimum diperoleh ketika
persentasi bentonit 2% pada
volume minyak 200 ml. Pengaruh
signifikan pada warna minyak inti
5. Bahri 2014 Bentonit
sawit sedangkan parameter lain
seperti kadar air, bau, rasa dan
asam lemak bebas tidak
berpengaruh signifikan.
Hasil adsorpsi menunjukkan bahwa
konsentrasi sampel optimum yaitu
25 ppm, massa adsorben optimum
pada 0,3 gram, waktu kontak
Prasetiowati optimum selama 80 menit.
6. 2014 Bentonit teknis
dan Koestiari Adsorpsi bentonit teknis terhadap
ion Cd2+ mengikuti pola adsorpsi
isoterm Langmuir dengan nilai R2
sebesar 0,997 dengan nilai
kapasitas adsorpsi 2,3148 mg/g.
7. Bath dkk 2012 Bentonit Konsentrasi HCl maksimum pada
konsentrasi 1,6 M dan waktu
pengaktifan maksimum pada
pengaktifan 24 jam. Berat bentonit
optimum pada berat 4 gr per 100
ppm larutan Cu dan waktu
pengontakan optimum pada
pengontakkan 2 jam. Peningkatan
konsentrasi HCl dan waktu
pengaktifan dapat meningktakan
kemampuan adsorpsi bentonit.
Hasil penelitian menunjukkan
pengolahan spent acid pada proses
adsorpsi tahap 2 dengan adsorben
zeolite didapat produk dengan
spesifikasi yield sebanyak 110 ml,
konsentrasi asam sulfat mencapai
97,4906% (b/v), pH 0,21, warna
8. Arita dkk 2015 Zeolit dan bentonit 1150 Pt-Co, waktu adsorpsi
mencapai 325 menit. Sedangkan
untuk bentonite didapat produk
dengan spesifikasi yield sebanyak
70 ml, konsentrasi asam sulfat
95,5389%(b/v), pH 0,23,warna
1885 Pt-Co, lama waktu adsorpsi
hanya 90 menit.
9. Raziah dkk 2017 Zeolit Nano-zeolit alami Aceh berpotensi
untuk menyerap logam Cd. Waktu
kontak optimum adalah 40 menit,
dosis adsorben sebanyak 2 g dalam
250 ml sampel, pH sampel adalah
netral. Isotermal dan kinetika
adsorbsi dari nano zeolit mengikuti
isotherm Freundlich. Sedangkan
kinetika adsorpsi dari proses
adsorbsi logam kadmium dengan
menggunakan zeolit adalah orde
dua semu dengan k2 adalah 1,53.
Penambahan adsorben zeolit
terbukti mengurangi kandungan
SO2 dan logam Hg dalam flue gas
10 Wattimena secara simultan. Rasio optimum
2018 Zeolit
. dkk adsorben berkisar antara 6%-8%
dari adsorben zeolit dan jumlah
massa Batubara Kaway XVI
Kabupaten Aceh Barat
BAB 3
METODELOGI PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu


Penelitian ini dilakukan di laboratorium Atsiri Research Center (ARC) Unsyiah,
Darussalam, Banda Aceh, mulai dari bulan Agustus sampai dengan September 2019

3.2. Bahan dan Alat


3.2.1 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Sampel minyak nilam yang berasal dari hasil penyulingan, Nano Adsorben seperti Nano-
Zeolit dan Nano-Benonit, Aquades, Etanol, Alkohol 96%, Fenofthalein, NaOH, Alkali HCL,
dan Asam Nitrat (HNO3)

3.2.2 Alat-alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Reaktor berpengaduk, Gelas kimia, Erlenmeyer, Gelas ukur, Labu ukur, Pinset, Timbangan
analitik, Tabung reaksi, Gas Cromatografi (GC), AAS (Atomic Absorption spektrofotometer),
Nano-Ball Mill, Tabung reaksi, Refractometer, Ayakan 300 mesh dan lain-lain.

3.3 Variabel Penelitian


3.3.1. Variabel Tetap
 Volume minyak nilam (100mL)
 Putaran pengaduk (200rpm)
 Ukuruan Nano-Adsorben (300 mesh)

3.3.2. Variabel Berubah


 Massa Nano Adsroben : 0,5 gr; 1 gr; 1,5 gr; 2 gr
 Waktu adsorbsi minyak nilam (1 jam; 2 jam; 3 jam)
 Suhu adsorbsi (25 oC; 35 oC; 45 oC)
3.4 Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian percobaan ini adalah mutu minyak nilam sebelum dan seudah
proses adsorbsi adalah:
a. Mutu minyak nilam sesuai dengan SNI yang meliputi : Warna, Indeks bias, berat jenis,
kelarutan terhadap alcohol, bilangan asam dan kandungan besi.
b. Kadar besi.
c. Analisa komponen-komponen minyak nilam menggunakan Gas Chromatografi (GC).

3.5 Prosedur Percobaan


a. Minyak nilam yang dihasilkan diuji kualitasnya menurut SNI, kandungan zat besi dan
warna minyak, selain itu pengujian terhadap komponen-komponennya dilakukan
dengan GC.
b. Percobaan adsorpsi dilakukan dengan menggunakan reaktor berpengaduk dengan
adsorben nanobentonit dan nanozeolit terhadap variasi jumlah adsorben, waktu kontak
serta suhu adsorpsi.
3.5.1 Pengaktifan Nano-Bentonit dan Nano-Ziolit

Ball Milling
Bentonit dan Zeolit
selama 240 menit

Dikeringkan dalam
Pengecilan oven dengan suhu
ukuran, 300 mesh 100ooC, sampai
beratnya stabil

Diaktifkan dengan
Dikeringkan
HCl 1 M selama 1
jam kembali

Diaktifkan pada Digunakan sebagai


temperatur 600ooC adsorben

Gambar 3.1 Skema pengaktifan Nano-Bentonit dan Nano-Zeolit

3.5.2 Operasional Pemurnian Minyak Nilam


1. Minyak nilam diukur karekteristik awal sesuai dengan baku mutu.
2. Diuji dengan GC untuk melihat senyawa pada minyak nilam.
3. Masukkan sampel minyak nilam ke dalam setiap gelas kimia, masing-masing 100 ml.
Atur pada suhu kamar.
4. Tentukan dosis adsorben yang akan dipakai
Dosis adsorben = 0,5 gr; 1 gr; 1,5 gr; 2 gr.
Variasi waktu = 1 jam, 2 jam, 3 jam.
Variasi suhu = 25 oC, 35oC, 45 oC.
5. Masukkan adsorben ke dalam masing-masing gelas kimia yang telah berisi minyak nilam
dengan dosis yang berbeda-beda.
6. Pada saat mulai memasukkan adsorben, hidupkan stopwatch untuk menghitung waktu
adsorpsi.
7. Setelah selesai pemberian dosis, dilakukan pengadukan 200 rpm secara bersamaan pada
keempat gelas kimia. Skema dapat dilihat dibawah ini.

Ukur karakteristik awal minyak

Minyak nilam dengan warna yang gelap Adsorben dari Nano-Bentonit dan
Nano-Zeolit

Gelas kimia

Ditempatkan kedalam
reaktor berpengaduk

Diaduk dengan kecepatan 200


rpm pada waktu tertentu

Diuji karakteristik akhir


minyak nilam

Disaring dengan
menggunakan gelas wool

Hasil

Gambar 3.2 Skema pemurnian minyak nilam dengan menggunakan Nano-Bentonit dan Nano-
Zeolit
3.6 Analisis Parameter Uji
Minyak nilam yang digunakan dalam proses adsorpsi dilakukan uji karakteristik seperti
warna, dan indeks bias. Uji tersebut dilakukan sebelum dilakukan proses adsorbs dan juga
sesudah adsorbs.

3.6.1 Analisis sifat fisika


i) Bobot jenis
Diukus dengan piknometer
a. Piknometer kosong bersih dan kering ditimbang, kemudian diisi air dan dimasukkan ke
dalam thermostat yang suhunya tetap pada 20ºC selama 15 menit.
b. Isi air dalam piknometer ditepatkan.
c. Piknometer diangkat dan dikeringkan bagian luarnya pada suhu kamar, kemudian
ditimbang.
d. Pengerjaan ini diulang dengan menggunakan minyak nilam sebagai pengganti air

ii) Indeks bias


a. Prisma pada refractometer dibershikan dengan alcohol, kemudian di atas prisma
diteteskan minyak dengan menggunakn pipet tetes.
b. Prisma dirapatkan dan diater slide-nya sehingga diperoleh garis batas yang jelas antara
terang dan gelap.
c. Saklar diatur sampai garis batas berimpit dengan titik potong dari dua garis bersilangan,
indeks bias dibaca

iii) Kelarutan dalam etanol 96%


a. 1 ml minyak nilam dimasukkan kedalam gelas ukur 10ml, ditambahkan etnaol 96% dari
buret dikocok hingga merata.
b. Setiap penambahan 0,5 mL etanol 96% dari buret dikocok hingga rata dan diamati sifat
kelarutannya apakah larut jernih atau keruh
c. Batas penambahan etanol sampai 10 mL
3.6.2 Analisis sifat kimia
Bilangan asam
a. 2,5 gram minyak dimasukkan kedalam labu penyabunan 100 mL. Ditambahkan 15 mL
alcohol 96% dan 3 tetes larutan fenoftahlein 1%. Asam bebas dititrasi denagn larutan
standar NaOH 0,01 N.
b. Penambahan tetes alkali yang baik sewaktu titrasi adalah kira-kira 30 tetes per menit. Isi
labu harus digoyangkan terus selama titrasi berlangsung.
c. Warna merah yang timbul pertama kali dan tidak hilang dalam 10 detik menunjukkan titik
akhir titrasi.

Gas Chromatography

 Mengaktifkan GC
1. Aktifkan Un-interrupable Power Supply (UPS)
2. Buka katup gas (alirkan gas ke GC)
- Gas Helium (He) sebagai gas pembawa (carier)
- Gas Nitrogen (N2) sebagai pembawa (carier) dan sebagai make up gas (FID)
- Gas Hydrogen (H2) sebagai gas pembakar (FID)
- Gas Compress Air sebagai pembakar (FID)
3. Hidupkan computer.
4. Aktifkan Gas Chromatography (GC) dengan tombol On/Off berada di sisi kiri bawah,
tunggu hingga GC selesai initialisasi & self test (kira-kira 2 menit).
5. Aktifkan software chemstation dengan double Program klick kiri icon instrument 1 online
atau klik start Instrument 1 online. Chem station.
6. Pastikan menu berada pada Load Method (Conditioning Methode) Method “Methode and
Run Control” pilih metode yang diinginkan.
7. Sebelum digunakan, pastikan column sudah deconditioning dengan suhu 20ºC di bawah
suhu maximum column atau diatas suhu operational tetapi tidak diperbolehkan melewati
suhu max column seperti yang tertera di tag column.
8. Comditionign GC selama 30 menit. Pilih Metode yang akan digunakan untuk analisa
(Method and Run Comntrol).
 Analisis sampel
1. Isi Operator Sample Info isi identitas sampel melalui : Run Control Name, Sub Directory
(untuk memudahkan pencarian data, gunakan tanggal hari ini), Nama Signal, Nama
Sample komentar bila ada.
2. Pastikan Parts of Method to Run berada pada According to Runtime Checklist : Sequence
 Location : isikan lokasi vial sampel
 Sample Name : sampel yang akan dianalisa
 Method Name : metode yang digunakan untuk analisa
 Inj/Location : jumlah injeksi pada satu lokasi vial
 Inj volume : jumlah sampel yang diinjeksikan ke GC
 Injector : Front atau Back
 Sample Info : apabila diperlukan Save Sequences.àSequence
3. Tunggu hingga status di layar computer ready (warna hijau) atau pada display GC : Ready
for Injection dan lampu indicator “not ready” (warna merah) pada panel Gc off. Run
Sequence.
4. Pastikan ikon Sequence aktif dengan cara pilih Run Control.
5. Tunggu hingga analisa selesai, hasil analisa akan langsung tercetak secara otomatis.

 Kalibrasi Standar
1. Setelah selesai “running” standard, pada menu View klik menu Data Analysis, Double
click Data yang diinginkan.
2. Ambil data yang akan dianalisa melalui : File
3. Bila pada data yang dipilih terdapat “peak” yang tidak dikehendaki (Auto Integration).
Klik Integration, Save lewat icon bergambar buku, isi nilai parameter yang cocok, Klik
Yes.
4. Isi Calibration Table melalui Calibration, Isi column dengan nama “Auto Calibration
Table Concentrasi” masing-masing compound, Klik Yes.
5. Bila data sudah terkalibrasi dan ingin di edit, cukup melalui Replace, bila ada waktu
rentesi (RT) yang berubah, ganti dengan RT yang baru.
6. Simpan data yang sudah terkalibrasi.
7. Cetak hasil kalibrasi melalui menu Report.

 Mematikan GC
1. Turunkan suhu inlet dan detector tanpa mematikan gas carrier.
2. Tunggu hingga suhu di Oven, Inlet, dan Detector berada pada suhu di bawah 50 ºC.
3. Close software Chemstation : File.
4. Tekan tombol Off (mematikan GC).
5. Matikan UPS jika ada .
6. Tutup kembali katup gas Helium (He), Nitrogen (N 2), Hydrogen (H2), dan Commpress
Air.

Anda mungkin juga menyukai