Anda di halaman 1dari 6

Nama : Amelia Pebriana Br.

Haloho

Nim : P01031217004

Prodi : D-IV/ VI A

PENDAHULUAN

Menurut WHO, obesitas merupakan kondisi kelebihan akumulasi lemak pada jaringan adiposa
pada tubuh, sedangkan obesitas sentral adalah kondisi lemak berlebihan yang terpusat pada daerah
perut (intraabdominal fat). Prevalensi obesitas sentral yang tinggi pada wanita disebabkan oleh
perbedaan tingkat aktivitas fisik dan asupan energi pada pria dan wanita.Wanita berisiko lebih besar
untuk mengalami obesitas sentral diakibatkan kenaikan berat badan pasca kehamilan dan fluktuasi
hormon saat menopause, akibat perubahan distribusi lemak tubuh dari periferal ke bagian abdominal.

Faktor penyebab tidak langsung dari risiko obesitas sentral lainnya adalah perubahan gaya-
hidup, seperti konsumsi minuman beralkohol yang tinggi , kebiasaan merokok,konsumsi makanan
berlemak yang tinggi,konsumsi sayuran dan buah yang rendah, dan aktivitas fisik yang
rendah.Perubahan pola makan atau modifikasi diet merupakan salah satu upaya untuk mengendalikan
obesitas dan penyakit kronis yang lain. Diet rendah lemak, diet rendah karbohidrat, diet makanan
rendah indeks glikemik, dan diet tinggi protein populer untuk menurunkan berat badan . Makanan
berisiko adalah makanan yang dapat menimbulkan risiko penyakit degeneratif, seperti makanan manis,
asin, berpenyedap, makanan berlemak, dan jeroan, dan berpengawet. Peningkatan konsumsi makanan
siap saji berhubungan dengan obesitas sentral.16 Terdapat hubungan antara frekuensi konsumsi
gorengan dengan obesitas sentral pada wanita usia 25-45 tahun.

(Jurnal epidemiologi kesehatan indonesi, file:///C:/Users/Windows10/Downloads/1675-8853-1-PB


%20(1).pdf)

Kejadian obesitas pada anakanak dengan sosial ekonomi yang baik pada tahun-tahun terakhir
menjadi semakin meningkat di Indonesia. Sehingga tidak mustahil obesitas pada anak dan remaja akan
menjadi masalah kesehatan di masa mendatang. Hasil pemantauan masalah gizi lebih pada dewasa yang
dilakukan oleh Departemen Kesehatan tahun 1997 bahwa overweight dan obesitas di Indonesia telah
menjadi masalah besar yang memerlukan penanganan secara serius.Pengendalian angka obesitas yang
salah satu caranya adalah dengan mengenal dan mengendalikan faktor resiko yang telah ada. Faktor
resiko bagi penderita obesitas, yakni faktor genetik, faktor psikis, faktor lingkungan dan gaya
hidup,sehingga di ketahui sampai saat ini belum ada cara untuk menangani faktor genetik yang tepat.
Sehingga pengenalan faktor lingkungan dan faktor psikis merupakan salah satu cara yang tepat agar
dapat mengendalikan angka obesitas.

(file:///C:/Users/Windows10/Downloads/1660-4591-1-PB.pdf)
Obesitas merupakan suatu keadaan dimana terjadi penumpukan lemak berlebih di dalam tubuh.
Obesitas diketahui menjadi salah satu faktor risiko munculnya berbagai penyakit degeneratif seperti
penyakit jantung dan stroke . Penyakit-penyakit tersebut merupakan penyebab kematian terbesar
penduduk dunia, terutama pada kelompok usia lanjut . Selain penyakit tersebut, obesitas pada lansia juga
dapat meningkatkan risiko terjadinya kerusakan pada tulang dan sendi sehingga dapat meningkatkan
risiko terjadinya jatuh atau kecelakaan . Obesitas sentral juga berkaitan erat dengan peningkatan risiko
penyakit degenerative dimana obesitas sentral ini merupakan penumpukan lemak di perut yang diukur
dengan menggunakan indikator lingkar perut . Lemak viseral merupakan lemak tubuh yang terkumpul di
bagian sentral tubuh dan melingkupi organ internal. Kelebihan lemak viseral berhubungan erat dengan
peningkatan risiko penyakit kardiovaskulern, sindrom metabolic (hipertensi, dislipidemia, dan diabetes
tipe II), dan resistensi insulin . Suatu penelitian menyatakan bahwa seseorang yang mengalami obesitas
cenderung memiliki lemak viseral tubuh yang berlebih .

(2009 ICD-9-CM Diagnosis Codes 278.* : Overweight, obesity and other hyperalimentation. Tersedia
pada: www.icd9data.com/2009/Volume1/240 -279/270-279/278/default.htm. (Diakses: 22 Juni 2018)

Kelebihan zat gizi dikenal dengan overweight dan obesitas. Obesitas jarang sekali dibicarakan
sebelum abad ke-20 karena di waktu itu sebagian besar penduduk dunia masih menderita kekurangan
gizi. Sehingga peningkatan berat badan penduduk masih merupakan pertanda peningkatan status
kesehatan dan ekonomi suatu masyarakat. Mekanisme dasar dari terjadinya kelebihan berat badan
sampai obesitas adalah ketidakseimbangan masukan energi dan pengeluarannya. Penyebab dari
ketidakseimbangan tersebut adalah mudahnya akses dan variasi jenis makanan yang kaya energi.
Sebaliknya oleh kemajuan teknologi dan perubahan gaya hidup terjadi penurunan pengeluaran energi
dari 1,69 kkal/menit/KgBB menjadi 1,57 kkal/menit/KgBB.

Dampak obesitas cukup luas terhadap berbagai penyakit kronik degeneratif seperti hipertensi,
penyakit jantung koroner, stroke, kanker dan diabetes tipe 2 serta kelainan tulang. Akibat banyaknya
penyakit yang bisa ditimbulkan oleh obesitas sehingga angka morbiditas dan mortalitas penderita
obesitas cukup tinggi. Sehingga obesitas berdampak terhadap biaya kesehatan baik yang langsung
maupun yang tidak langsung. Diperkirakan di negara maju obesitas menghabiskan 2- 10% biaya
kesehatan nasional masing- masing negara setiap tahun. Di negara berkembang bisa melebihi dari 10% .
Apabila sudah terjadi kelebihan berat badan sejak anak-anak dan dewasa sudah terbentuk sel adiposa
yang berfungsi untuk penyimpanan lemak. Sehingga tidak mudah menurunkannya bahkan
mengeluarkan biaya pula untuk menurunkan.Besarnya dampak obesitas terhadap status kesehatan
masyarakat baik berupa kesakitan, kecacatan dan kematian dini serta pengeluaran biaya kesehatan yang
tinggi bagi keluarga dan Negara.

(http://jurnalmka.fk.unand.ac.id/)

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kejadian obesitas di antaranya yaitu tingkat pendidikan
dan pekerjaan , asupan makanan, stress , aktivitas fisik , jenis kelamin serta usia . Berdasarkan penelitian
analisis lanjutan data Riskesdas 2007 di Jakarta, faktor risiko obesitas sentral di antaranya yaitu usia, jenis
kelamin, pendidikan, pekerjaan, pendapatan per kapita, makanan berlemak, dan gangguan mental . Lemak
viseral dapat juga mempengaruhi besar lingkar perut sehingga semakin tinggi persen lemak viseral akan
semakin meningkatkan risiko mengalami obesitas sentral

(2009 ICD-9-CM Diagnosis Codes 278.* : Overweight, obesity and other hyperalimentation. Tersedia
pada: www.icd9data.com/2009/Volume1/240 -279/270-279/278/default.htm. (Diakses: 22 Juni 2018)

Hasil Riset Kesehatan Dasar (2018) menunjukan bahwa tingkat obesitas pada orang dewasa
di Indonesia meningkat menjadi 21,8 persen. prevalensi berat badan berlebih dengan indeks
massa tubuh antara 25 hingga 27, juga meningkat dari 11,5 persen di 2013 ke 13,6 persen di
2018. Angka obesitas pada dewasa diatas 18 tahun menurut hasil Riskesdas 2018 paling
tinggi di Sulawesi Utara, yakni sebanyak 30,2 persen. Di posisi tertinggi selanjutnya berada
di DKI Jakarta, Kalimantan Timur, dan Papua Barat,S edangkan di Sumatera Utara mencapai
25,4%. Prevalensi overweight dan obesitas pada orang dewasa di Kota Medan mencapai 24,6%
(Rikesdas, 2017).
(w.suara.com/health/2018/11/02/133408/jumlah-penduduk-obesitas-di-indonesia-meningkat-218-
persen)

Berdasarkan laporan pemeriksaan kesehatan posyandu lansia di wilayah kerja Puskesmas Jagir
tahun 2017, prevalensi penduduk lansia wanita yang mengalami obesitas cukup tinggi yaitu sebanyak
16% . Oleh karena itu, Obesitas pada usia dewasa muda berhubungan dengan peningkatan risiko kejadian
penyakit jantung koroner, hipertensi, hiperkolesterolemia, diabetes mellitus dan gangguan metabolik
(Kumanyika, 2008)

(http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/35058/Abstract.pdf?
sequence=6&isAllowed=y)

Kejadian obesitas yang cukup tinggi tak lepas dari gaya hidup modern masa kini.Konsumsi
makanan cepat saji dikaitkan dengan diet tinggi energi dan rendah mikronutrien yang sangat dibutuhkan
oleh tubuh. Sering mengonsumsi makanan cepat saji secara berkesinambungan dan berlebihan dapat
meningkatkan persen lemak tubuh. erat badan serta dapat berujung kepada penyakit degeneratif pada
usia dewasa. faktor yang menyebabkan meningkatnya risiko persen lemak tubuh sampai kelebihan berat
badan pada anak diantaranya seperti pola makan, jarang bergerak, masalah genetik, faktor psikologis,
faktor keluarga atau sosial, dan depresi serta obesitas merupakan penyakit yang kompleks karena
diantaranya terkait hereditas, pilihan makanan

(http://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jkm)
Prevalensi obesitas meningkat baik di negara maju maupun negara berkembang (2). World Health
Organization (WHO) melaporkan bahwa pada tahun 2008 sekitar 1,4 miliar orang dewasa usia 20 tahun
ke atas mengalami overweight dengan prevalensi sebesar 10% pada pria dan 14% pada wanita (3).
Penelitian yang dilakukan oleh Asia Pasific Cohort Study Collaboration menunjukkan peningkatan
pandemik kelebihan berat badan sebesar 20% hingga 40% dari tahun ke tahun

Sumber: Jurnal gizi klinik Indonesia

Di Indonesia, Riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013 melaporkan bahwa terjadi peningkatan
prevalensi obesitas pada anak di Indonesia. Pada kelompok anak usia 6-12 tahun terjadi peningkatan
dari 9,2% (tahun 2010) menjadi 18,8% (tahun 2013), pada kelompok anak usia 13-15 tahun terjadi
peningkatan dari 2,5% (tahun 2010) menjadi 10,8% (tahun 2013), dan pada kelompok anak usia 16-18
tahun terjadi peningkatan dari 1,4% pada tahun 2010 menjadi 7,3% pada tahun 2013 (3,4).

Sumber: Jurnal Gizi Klinik Indonesia

Hasil Riset Kesehatan Dasar Nasional (Riskesdasnas) tahun 2010, prevalensi kegemukan pada anak umur
13-15 tahun adalah 2,5%. Ada 15 provinsi yang memiliki prevalensi kegemukan pada anak 13-15 tahun
di atas prevalensi nasional, yaitu Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Kepulauan
Bangka Belitung, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Banten, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan
Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara dan Papua. Untuk prevalensi kegemukan pada anak 16-18
tahun adalah 1,4%. Terdapat 11 provinsi yang memiliki prevalensi kegemukan pada anak 16-18 tahun
diatas prevalensi nasional, yaitu Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa
Barat, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Gorontalo, Papua Barat dan
Papua.

Sumber: Jurnal e-Biomedik (eBM).

Obesitas terdiri dari 2 macam yaitu obesitas umum dan obesitas sentral/abdominal. Obesitas
umum dapat diketahui melalui indikator IMT 30,0 – 34,9 (Susce, 2005; Tarpey,2007; Appleton, 2006),
sedangkan obesitas sentral/abdominal dapat diketahui melalui indikator rasio lingkar pinggang dan
panggul (RLPP). Penelitian Wira (2006) menyebutkan bahwa obesitas sentral mempunyai hubungan
dengan tekanan darah, kadar glukosa darah, kadar trigliserid yang tinggi, kolesterol dan kadar
adiponektin. Kadar kolesterol darah cenderung meningkat pada orang-orang yang gemuk, kurang
berolahraga, dan perokok (Iman, 2004; Beydaun, 2008). Penyakit yang disebabkan tingginya kadar
kolesterol diantaranya aterosklerosis (penyempitan pembuluh darah), penyakit jantung koroner, stroke,
dan tekanan darah tinggi.
Sumber: Jurnal Kesehatan Masyarakat
Pada penderita obesitas akan berkembang resistensi terhadap aksi seluler insulin yang
dikarakteristikkan oleh berkurangnya kemampuan insulin untuk menghambat pengeluaran glukosa dari
hati dan kemampuannya untuk mendukung pengambilan glukosa pada lemak dan otot (Park, 2006).
Resistensi insulin terkait obesitas adalah risiko utama untuk dan penyakit kardiovaskular dan diabetes
mellitus tipe2, penyakit yang jumlah penderitanya telah mencapai proporsi epidemic
Sumber: Jurnal Gizi dan Pangan

Konsekuensi obesitas terhadap kesehatan bervariasi mulai dari kematian prematur sampai kualitas
hidup yang rendah. Pada umumnya, obesitas dikaitkan dengan non-communicable disease seperti non-
insulin-dependent diabetes melitus (NIDDM), penyakit kardiovaskuler, kanker, dan berbagai gangguan
psikososial (2). Selain komplikasi fisik dari obesitas, juga dapat terjadi komplikasi sosial dan emosional
mayor. Beberapa penderita obesitas mengeluhkan masalah kecemasan, depresi, dan penarikan diri dari
sosial karena masalah berat badan mereka (3). Kegemukan ditinjau dari segi psikososial merupakan
beban bagi individu yang bersangkutan karena dapat menghambat kegiatan jasmani, sosial, dan
psikologis. Selain itu, akibat bentuk yang kurang menarik, sering menimbulkan problem dalam pergaulan
dan seseorang menjadi rendah diri dan merasa putus asa (2).

Sumber: Jurnal gizi klinik Indonesia

Menurut sejumlah penelitian, obesitas atau kelebihan berat badan bisa menurunkan fungsi kognitif
seseorang. America Journal of Epidemiology membuktikan pada sebuah studinya bahwa obesitas dapat
menurunkan kemampuan intelektual seseorang. Menurut Kelley, obesitas juga meningkatkan resiko
demensia pada seseorang (Byrd, J, 2007). Obesitas atau kegemukan pada anak terutama pada usia 6-7
tahun bisa menurunkan tingkat kecerdasan anak, karena aktivitas dan kreativitas anak menjadi menurun
dan cenderung malas. Obesitas secara berlebihan pada anak biasanya akan menyebabkan tingkat
kecerdasan anak menurun," kata Dosen Fakultas Kedokteran Undip, Darmono, di Semarang, Selasa.Ia
mengatakan, pada kondisi tersebut, umumnya aktivitas dan kreativitas anak akan menurun, kemudian
dengan kelebihan berat badan anak menjadi malas. Bahkan, anak yang kegemukan pada waktu tidur
akan mengalami kondisi tidak bernafas, kondisi dimana pada waktu tidur ada gelombang pernafasan
yang berhenti, ibaratnya orang yang tidur mendengkur ada waktu-waktu dia tidak bernafas. (Huriyati,
2007).

Sumber: Jurnal Ilmu Kesehatan

Penyakit Hipertensi juga dipengaruhi oleh Obesitas, hal ini disebab¬kan lemak dapat menimbulkan
sumbatan pada pembuluh darah sehingga dapat meningkatkan tekanan darah. Stress, atau situasi yang
menim¬bulkan distress dan menciptakan tuntutan fisik dan psikis pada seseorang.

Sumber: Jurnal kesehatam Masyarakat


Skema unicef

OBESITAS

Anda mungkin juga menyukai