Anda di halaman 1dari 11

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Self Efficacy

Albert Bandura dikenal sebagai tokoh Psikologi yang membahas tentang

teori kognitif sosial. Bandura (dalam Santrock, 2009) menyatakan bahwa faktor–

faktor sosial dan kognitif, serta perilaku, memainkan peran penting dalam

pembelajaran. Dalam beberapa tahun terakhir, faktor kognitif yang ditekankan

oleh Bandura adalah self-efficacy (Bandura, 2005).

2.1.1 Pengertian Self Efficacy

Bandura (1997) mendefinisikan self-efficacy sebagai keyakinan

seseorang terhadap kemampuannya untuk mengatur dan melaksanakan

tindakan-tindakan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan, dan berusaha

untuk menilai tingkatan dan kekuatan di seluruh kegiatan.

Self-effiacy merupakan persepsi diri sendiri mengenai seberapa

bagus diri dapat berfungsi dalam situasi tertentu dan berhubungan dengan

keyakinan bahwa diri memiliki kemampuan melakukan tindakan yang

diharapkan (Bandura dalam Alwisol, 2009).

2.1.2 Sumber–sumber Self Efficacy

Self–efficacy dapat diperoleh, diubah, ditingkatkan atau

diturunkan, melalui salah satu atau kombinasi empat sumber (Bandura

dalam Alwisol,

1
2009):
1. Pengalaman performansi

Pengalaman performansi adalah prestasi yang pernah dicapai

pada masa yang telah lalu. Performansi masa lalu menjadi pengubah

self–efficacy yang paling kuat pengaruhnya. Prestasi masa lalu yang

bagus meningkatkan self–efficacy, sedangkan kegagalan akan

menurunkan self–efficacy. Mencapai keberhasilan akan memberikan

dampak self–efficacy yang berbeda-beda tergantung proses

pencapaiannya.

2. Pengalaman vikarius

Pengalaman vikarius diperoleh melalui model sosial. Self–

efficacy akan meningkat ketika mengamati keberhasilan orang lain.

Sedangkan, self–efficacy akan menurun jika mengamati orang yang

kemampuannya kira–kira sama dengan dirinya ternyata gagal. Jika

sosok yang diamati berbeda dengan diri si pengamat, pengaruh

vikarius tidak besar. Sedangkan, jika mengamati kegagalan sosok

yang setara dengan dirinya, bisa jadi orang tidak mau mengerjakan

apa yang pernah gagal dikerjakan sosok yang diamatinya itu dalam

jangka waktu yang lama.

3. Persuasi Sosial

Self–efficacy dapat diperoleh, diperkuat atau dilemahkan

melalui persuasi sosial. Dampak dari sumber ini terbatas, tetapi pada

kondisi yang tepat persuasi dari orang lain dapat memperngaruhi

2
self– efficacy. Kondisi itu adalah rasa percaya kepada pemberi

persuasi dan sifat realistik dari apa yang dipersuasikan.

4. Keadaan Emosi

Keadaan emosi yang mengikuti suatu kegiatan akan

mempengaruhi self–efficacy di bidang kegiatan itu. Emosi yang kuat,

takut, cemas, stress dapat mengurangi self–efficacy. Namun, bisa

terjadi peningkatan emosi (yang tidak berlebihan) dapat

meningkatkan self-efficacy.

2.1.3 Dimensi Self Efficacy

Bandura (1997) mengemukakan tiga dimensi self–efficacy yang

digunakan sebagai dasar dalam pengukuran self–efficacy seseorang:

1. Level

Keyakinan seseorang akan kemampuan yang dimilikinya

dalam menyelesaikan tugas dengan tingkat kesulitan yang berbeda.

Seseorang dengan keyakinan yang tinggi akan menganalisa tingkat

kesulitan tugas yang dicoba, mengindari tugas yang dirasakan berada

di luar batas kemampuannya dan melakukan tugas yang dirasakan

sesuai dengan kemampuannya.

2. Generality

Keyakinan seseorang akan kemampuannya dalam melakukan

tugas yang umum hingga spesifik. Seseorang dengan keyakinan yang

tinggi akan merasa mampu melakukan tugas yang lebih banyak pada

3
bidang yang lebih luas dibandingkan dengan yang dilakukan oleh

orang lain dan berharap dapat menguasai bidang yang umum.

3. Strength

Keyakinan seseorang akan ketahanan yang dimilikinya dalam

melakukan tugas. Seseorang dengan keyakinan yang tinggi akan

gigih dan tekun dalam melakukan tugasnya meskipun ia mengalami

hambatan atau kesulitan. Seseorang juga yakin bahwa kegiatan yang

dipilih olehnya dapat dilakukan dengan sukses.

2.2 Motivasi Berprestasi

Motivasi merupakan suatu arahan, dorongan, persistensi, dan sejumlah

usaha yang dikeluarkan seseorang untuk mencapai tujuan yang spesifik

(Blanchard dan Thacker, 2010). Motivasi juga merupakan daya dorong yang

mengarahkan perilaku seseorang dan segala kekuatannya untuk mencapai tujuan

yang diinginkannya, yang muncul dari keinginan untuk memenuhi kebutuhan

(Gea dkk, 2002).

Motif sosial merupakan motif yang kompleks, sumber dari banyak

perilaku atau perbuatan manusia (Walgito, 2010). McClelland (dalam Morgan

dkk, 1984) berpendapat bahwa motif sosial dapat dibedakan menjadi tiga:

motivasi berprestasi (need for achievement), motivasi berafiliasi (need for

affiliation) dan motivasi berkuasa (need for power).

1. Motivasi berprestasi (need for achievement)

4
Motivasi berprestasi merupakan dorongan untuk lebih unggul dari

orang lain, memperoleh prestasi dan mencapai kesuksesan.

2. Motivasi berafiliasi (need for affiliation)

Motivasi berafiliasi merupakan dorongan untuk memiliki

hubungan yang dekat dan akrab dengan orang lain.

3. Motivasi berkuasa (Need of Power)

Motivasi untuk berkuasa merupakan dorongan untuk mencapai

posisi tinggi (biasanya posisi pemimpin), mengendalikan dan

mempengaruhi orang lain.

2.2.1 Pengertian Motivasi Berprestasi

Murray (dalam Yudhawati dan Haryanto, 2011) merumuskan

motivasi berprestasi sebagai keinginan untuk melaksanakan suatu tugas

atau pekerjaan yang sulit; menguasai, memanipulasi atau mengorganisasi

obyek–obyek fisik, manusia atau ide–ide melaksanakan hal–hal tersebut

secepat dan semandiri mungkin, seusai kondisi yang berlaku; mengatasi

kendala–kendala dan mencapai standar tinggi; mencapai performa

puncak untuk diri sendiri; mampu menang dalam persaingan dengan

pihak lain; meningkatkan kemampuan diri melalui penerapan bakat

secara berhasil.

McClelland (1987) mendefinisikan motivasi berprestasi sebagai

dorongan seseorang untuk berusaha mencapai suatu standar atau ukuran

5
keunggulan. Motivasi berprestasi merupakan dorongan dalam diri

seseorang untuk melakukan atau mengerjakan suatu aktivitas dengan

sebaik-baiknya agar mencapai prestasi terpuji (McClelland dalam

Mangkunegara, 2004).
McClelland (dalam Santrock, 2003) mengemukakan bahwa

motivasi berprestasi merupakan keinginan untuk menyelesaikan sesuatu,

mencapai suatu standar kesuksesan dan melakukan suatu usaha dengan

tujuan untuk mencapai kesuksesan.

2.2.2 Karakteristik Motivasi Berprestasi

Seseorang dengan motivasi berprestasi yang tinggi memiliki tiga

karakteristik umum (McClelland dalam Yudhawati dan Haryanto, 2011):

1. Sebuah preferensi untuk mengerjakan tugas–tugas dengan derajat

kesulitan moderat.

2. Menyukai situasi–situasi di mana kinerja mereka timbul karena

upaya–upaya mereka sendiri dan bukan karena faktor–faktor lain

seperti kemujuran.

3. Menginginkan umpan balik tentang keberhasilan dan kegagalan

mereka dibandingkan dengan mereka yang berprestasi rendah.

McClelland (dalam Hasibuan, 2005) mengemukakan beberapa

karakteristik seseorang yang memiliki motivasi berprestasi tinggi:

1. Pemilihan aktivitas yang menantang

6
Seseorang yang memiliki motivasi berprestasi tinggi

cenderung memilih aktivitas dengan tingkat kesulitan sedang.

Pemilihan aktivitas ini memiliki kaitan dengan seberapa usaha yang

dikerahkan oleh seseorang untuk memperoleh kesuksesan.

2. Tanggungjawab

Seseorang yang memiliki motivasi berprestasi tinggi

bertanggung jawab atas aktivitas yang dilaksanakannya.

3. Ketekunan

Seseorang yang memiliki motivasi berprestasi tinggi lebih

bertahan dan tekun dalam melaksanakan aktivitasnya, pantang

menyerah dan berusaha menyelesaikan aktivitasnya.

4. Umpan balik

Seseorang yang memiliki motivasi berprestasi tinggi

mengharapkan umpan balik atas aktivitas yang telah

dilaksanakannya. Dengan adanya umpan balik, seseorang dapat

melakukan evaluasi keberhasilan dan kegagalannya dalam

beraktivitas.

5. Inovatif dan kreatif

Seseorang yang memiliki motivasi berprestasi tinggi

melakukan sesuatu yang baru, aktif mencari cara baru dan kreatif

dalam menyelesaikan aktivitasnya.

7
2.2.3 Faktor–Faktor Yang mempengaruhi Motivasi Berprestasi

McClelland (1987) mengemukakan faktor-faktor yang

mempengaruhi seseorang untuk memiliki motivasi berprestasi tinggi:

1. Faktor intrinsik

Faktor yang berasal dari diri seseorang akan keyakinannya

tentang kesuksesan yang diperoleh, kemampuan untuk sukses

dan faktor lainnya seperti jenis kelamin, usia, kepribadian dan

pengalaman.

2. Faktor ekstrinsik

Faktor yang berasal dari luar diri seseorang seperti kondisi

lingkungan dimana ia berada.

2.3 Penari Bali Remaja

Penari merupakan seseorang yang melakukan pekerjaan menari dan

penari Bali adalah seseorang yang menampilkan tarian Bali seperti tari pendet,

legong, kebyar, janger, barong dan lainnya (Iryanti, 2000).

Tari Bali dapat ditampilkan dalam format tarian tunggal (satu penari

Bali), tarian berpasangan (dua penari yang saling mendukung), tarian kelompok

(lebih dari tiga penari) dan dramatari (penari membawakan sebuah peran). Para

pelatih tari Bali memberikan dasar teknik tari yang kuat pada penari Bali.

Gerakan penari

Bali mengandung empat aspek penting:

1. Agem: seluruh gerakan dan posisi tari Bali yang dilakukan di tempat.

8
2. Tandang: seluruh gerakan tari Bali yang dilakukan dengan berpindah

tempat.

3. Tangkis: gerakan tari Bali yang dilakukan dalam posisi diam di tempat,

namun banyak improvisasi atau variasi gerak tangan untuk mendukung

tarian tersebut.

4. Tangkep: ekspresi penghayatan atau penjiwaan yang disertai oleh

gerakan dari dalam. Ekspresi yang muncul seperti sedih, marah, takut dan

terkejut.

Gambar 2.1 Penari Bali remaja


*sumber: google.com

Penari Bali remaja mendominasi pementasan dan kompetisi tari Bali

Masa remaja merupakan peralihan masa perkembangan antara masa kanak–

kanak ke masa dewasa yang meliputi perubahan besar pada aspek fisik,

psikososial dan kognitif (Papalia, olds dan Feldman, 2009).

Menurut Thornburg (1982), remaja dibagi ke dalam tiga tahap: remaja awal

(usia 13–14 tahun), remaja tengah (15–17 tahun) dan remaja akhir (18–21

tahun). Pada umumnya remaja awal duduk di bangku sekolah menengah pertama

9
(SMP), sedangkan remaja tengah duduk di bangku sekolah menengah atas

(SMA). Remaja akhir lulus sekolah menengah atas, melanjutkan ke jenjang

perguruan tinggi atau memilih untuk bekerja.

Salah satu tugas perkembangan tingkat SMP adalah mengenal

kemampuan bakat dan minat serta arah kecenderungan karier dan apresiasi seni,

sedangkan salah satu tugas perkembangan tingkat SMA adalah mengembangkan

kemampuan komunikasi sosial, intelektual dan apresiasi seni (Depdiknas, 2003).

Keduanya memiliki arah untuk mengapresiasikan seni.

2.4 Kerangka Berfikir

Penelitian ini mengembangkan sebuah kerangka berfikir berdasarkan

fenomena penari Bali remaja yang aktual di lapangan. Tujuan penelitian ini

adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan antara self–efficacy dan motivasi

berprestasi penari Bali remaja di Kabupaten Gianyar. Berikut ini merupakan

kerangka berfikir yang digunakan dalam penelitian:

10
Subjek Penelitian

Penari Bali remaja di Kabupaten Gianyar

Fenomena Aktual di Lapangan

Padatnya jadwal pementasan dan kompetisi tari Bali dapat menurunkan

keyakinan diri dan motivasi berprestasi penari Bali remaja. Waktu latihan

yang padat dan singkat, kondisi fisik cepat menurun karena kelelahan, rasa

grogi dan kurang yakin dengan kemampuan menari Bali yang dimiliki dapat

mempengaruhi kondisi psikis penari Bali remaja yang hendak menghadapi

pementasan dan kompetisi tari Bali.

Variabel 1 Variabel 2

Self-Efficacy Motivasi Berprestasi

Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan self-efficacy


antara dan motivasi berprestasi penari Bali

remaja di Kabupaten Gianyar?

11

Anda mungkin juga menyukai