Tradisi Mujāhadah Ta Fī Al-Qur'ān Di Pondok Pesantren Al-Ittifaqiah Indralaya Ogan Ilir Sumatera Selatan (Analisis Living Qur'an)
Tradisi Mujāhadah Ta Fī Al-Qur'ān Di Pondok Pesantren Al-Ittifaqiah Indralaya Ogan Ilir Sumatera Selatan (Analisis Living Qur'an)
2 2017
ISSN: 2541-1667 (print); 2541-1675 (online)
Amin Muhammad
Fakultas Ushuluddin UIN Raden Fatah Palembang
Neima_hamada25@yahoo.com
http://ejournal.idia.ac.id/index.php/dirosat 123-148
124-148 | Amin Muhammad
Kata kunci: Mujāhadah taḥfīẓ al-Qur’ān, PPI, LEMTATIQI, Living
Qur’an.
Pendahuluan
Taḥfīẓ al-Qur’ān merupakan sarana menjaga kalam Tuhan.1 Dewasa
ini, Tradisi taḥfīẓ al-Qur’ān berkembang pesat di Indonesia dengan
banyaknya Rumah Taḥfīẓ yang didirikan. Salah satu masalah yang kerap
dihadapi oleh para penghafal al-Qur’an adalah beratnya menjaga hafalan
sehingga tidak lupa dari ingatan. Pondok Pesantren Al-Ittifaqiah (PPI)
Indralaya menerapkan tradisi mujāhadah taḥfīẓ al-Qur’ān sebagai solusi
dari masalah ini.
Sejak masa awal penurunan al-Qur’an, para ṣaḥābat meresponnya
atau melakukan ‘resepsi’ terhadap al-Qur’an dengan tiga bentuk resepsi.2
1 Lihat Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan
Keserasian al-Qur’ān, VI (Jakarta: Lentera Hati, 2012), hlm. 421.
2 Resepsi al-Qur’an mencakup artian umum yaitu bagaimana seseorang menerima,
merespon, bereaksi, atau menggunakan al-Qur’an baik sebagai teks, kalimat, atau dalam
bentuk mushaf. Lihat Ahmad Rafiq “Sejarah al-Qur’ān: dari pewahyuan ke resepsi” dalam
Sahiron Syamsuddin (dkk.), Islam Tradisi dan Peradaban (Yogyakarta: Bina Mulia Press,
penggunaan kata mujāhadah dalam konteks taḥfīẓ al-Qur’ān yang dikembangkan di PPI.
Untuk melihat makna mujāhadah lain dapat dirujuk pada Mohammad Yahya, ‘Fungsi
Pengajian dan Mujāhadah Kamis Wage Bagi Komunitas Pesantren Sunan Pandanaran,
Sleman, Yogyakarta”, Living Hadis, Vol. 1 no. 1, Mei 2016, hlm. 51 – 78.
9 Pada tahun 2006, terdapat dua amaliah bagi santri yang telah khatam 30 juz bil
hifdzi yaitu taḥsīn at-taḥfīẓ wa al-qirā’ah serta tabarruk yang terdiri dari dua bentuk yaitu
Mujāhadah ūla dan mujāhadah ṡāniah. Lihat LEMTATIQI, Mengenal Lemtatiqi dan Sistem
Pembinaannya (Indralaya: Pondok Pesantren Al-Ittifaqiah, 2006), hlm. 42.
10 Selanjutnya disingkat PP. An-Nur. Profil PP. An-Nur dapat dilihat dalam Taufik
(dkk.), Kumpulan Dzikir dan Do’a Kafa Bihi (Bantul: Pondok Pesantren An-Nur, 2015), hlm.
VII – IX.
11 Data tersebut didapatkan berdasarkan keterangan Muyassarah al-Ḥāfiẓah (50
tahun), tenaga pengajar LEMTATIQI, melalui pesan singkat pada tanggal 20 Oktober 2016.
12 Hasil wawancara dengan Ahmad Royani Abdul Mudi al-Ḥāfiẓ (37 tahun), Ketua
LEMTATIQI, di Indralaya, Ogan Ilir, Sumatera Selatan tanggal 19 Oktober 2016.
Sosial Humainiora Pada Umumnya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 89 – 105. Lihat
juga Lexy J. Moelong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2016), hlm. 6.
19 Lihat Sugiyono, Metode Pneelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung:
Alfabeta, 2014), hlm. 273 - 275.
20 Lihat http://ittifaqiah.ac.id/geografis-alamat-dan-kondisi-lingkungan/
30 Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus al-Ashri, hlm. 1628. Dalam bahasa
Inggris, kata ini diartikan sebagai struggle againts difficulties; war againts the infidels. Lihat
F. Steingass, Arabic – English Dictionary (New Delhi: Cosmo Publications, 1978), hlm. 250.
31 Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir: Kamus Arab – Indonesia, (Surabaya:
Pustaka Progressif,1997), hlm. 217. Kata ini terulang sebanyak 41 kali dalam al-Quran. Lihat
Muhammad Fu’ād ‘Abd al-Bāqi, al-Mu’jam al-Mufahras, hlm. 232 – 233.
32 Zakariyya ibn Fāris, Mu’jam al-Maqāyīs, hlm. 227. Bandingkan dengan Rāgīb al-
Aṣfahāni, al-Mufradāt fī Garīb, hlm. 198.
33 Asmaran As. Pengantar Studi Tasawwuf (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996),
hlm. 377.
34 Abū Ḥāmid al-Gazāliy, Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn, V, hlm. 60.
35 Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus al-Ashri (Yogyakarta: Multi Karya
Grafika, 1996), hlm. 425.
36 Adib Bisri dan Munawwir Abdul Fattah, Kamus al-Bisri (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1999), hlm. 123. Wazan ṡulāṡi mujarrad dipindahkan menjadi ṡulāṡi mazīd
dengan cara menggandakan ‘ain fi‘il-nya memiliki beberapa fungsi. Kata ḥaffaẓa dalam
konteks ini memiliki makna liddalālati ‘ala at-takṡīr yakni menghafalkan banyak ayat atau
menghafalkan secara terus menerus sehingga banyak yang dihafalkan. Lihat Muhammad
Ma’ṣūm ibn ‘Ali, al-Amṡilah at-Taṣrifiyyah (Surabaya: Salim Nabhan, t.t.), hlm. 12.
37 Zakariyya ibn Fāris, Mu’jam al-Maqāyīs fī al-Lugah, (Beirut: Dār al-Fikr, 1994),
hlm. 275. Bandingkan dengan Rāgīb al-Aṣfahāni, al-Mufradāt fī Garīb al-Qur’ān, (Beirut:
Dār al-Qalām, 1412 H), hlm. 244 – 245.
Qur’an. Tujuan utama dari amaliyah ini adalah berusaha selalu istiqamah
dalam mengulangi hafalan, bukan mencari kelancaran hafalan.50
Program matang-puluhan ini juga tetap dilestarikan hingga saat ini
di PP. An-Nur, meskipun jumlah peminatnya semakin berkurang. Ahmad
Akbar, salah seorang santri senior dan pembina di PP. AN-Nur menjelaskan
bahwa ketika KH. Nawawi Abdul Aziz masih memimpin pesantren, banyak
sekali peminat amaliyah tersebut. Biasanya, niat itu muncul karena melihat
santri lain yang telah melakukan matang-puluhan atau bahkan muncul
karena saran dari para santri lainnya baik yang telah menyelasaikan
amaliyah maupun yang belum melakukannya. Akan tetapi, semenjak
KH. Nawawi meninggal dunia, peminat amaliyah ini semakin berkurang
meskipun masih ada santri yang melakukannya.51
Dalam konteks demikian pula, Ahmad Royani dan Muyassaroh,
mengikuti tradisi mujāhadah matang-puluhan. Muyassarah menuturkan
bahwa KH. Nawawi tidak pernah memintanya secara khusus untuk
melakukan mujāhadah tersebut, akan tetapi keinginan itu muncul
disebebkan kondisi sosial di mana beliau melihat teman-temannya sesama
santri penghafal banyak yang telah melakukan tradisi tersebut sehingga
beliau juga tertarik untuk melakukan hal yang sama.52
50 Hasil wawancara dengan Kyai Muslim Nawawi (48 tahun), Pengasuh PP. An-
Nur, Ngrukem, Sewon Bantul dan merupakan putra KH. Nawawi Abdul Aziz. Wawancara
dilakukan di Aula PP. An-Nur tanggal 23 Maret 2017 pukul 14:00.
51 Wawancara dengan Ahmad Akbar (28 tahun), santri senior di PP. al-Nur, pada
tangal 23 Maret 2017 pukul 10:00 di Gedung Asrama Madrasah Ibtidaiyyah PP al-Nur.
52 Wawancara dengan ustadzah Muyassarah di komplek A PPI tanggal 05 Maret
2017.
63 Hasil wawancara dengan ustadz Ahmad Royani Abdul Mudi, Ketua LEMTATIQI,
di PP. An-Nur, Ngrukem, Bantul, pada 31 Maret 2017.
64 LEMTATIQI, Buku Kegiatan Santri, hlm. 16.
Ketika itu ia merasa kesulitan untuk menghafal karena situasi dan kondisi
di kampus yang tidak mendukung, bahkan beberapa kali sempat ingin
berhenti dan tidak meneruskan studi. Alasannya adalah kondisi jiwanya
yang merasa tidak tenang karena belum menyelesaikan mujāhadah dan
belum memiliki hafalan yang lancar.
Karena itu pula, pada tahun 2016, setelah menyelesaikan studi strata
I, Dadang kembali ke PPI dan menjadi pengabdi yang mengurusi santri-
santri kelas VIII dan IX MTs. Ia juga menyimakkan hafalannya kepada
ustadz Ahmad Royani Abdul Mudi. Saat ini, Dadang telah menyimakkan
19 juz hafalannya dan mengatakan kepada penulis bahwa ia sangat ingin
mengikuti mujāhadah pada semester yang akan datang.65
Informan lainnya bernama Agnia Faradist yang saat ini menjadi
pembina di komplek III PP. Sunan Pandan Aran Yogyakarta menuturkan
kepada penulis tentang pemahamannya terhadap tradisi mujāhadah.
Agnia merupakan santri LEMTATIQI periode 2006 – 2012. Ketika menjadi
santri, ia pernah mengikuti mujāhadah ūlā, akan tetapi kesibukan sekolah
formal dan adanya ujian yang bertepatan dengan waktu mujāhadah ūlā
menjadi kendala sehingga ia belum berhasil menyelesaikah mujāhadah-
nya. Agnia menuturkan keinginannya untuk kembali ke PPI dan melakukan
mujadahah suatu saat nanti. Ia mengatakan:66
Saya ingin mengikuti program mujāhadah di PPI setelah saya selesai
kuliah karena saya pikir itu (mujāhadah) sudah kewajiban, itu
sudah tanggung jawab, peraturan-peraturan dalam menghafal di
pondok sana, jadi saya pikir saya harus mengikuti semua program
tersebut sampai habis. Saya akan mengikuti mujāhadah ūlā, ṡāniah,
dan ṡāliṡah meskipun program tersebut adalah program baru.
Tampak dalam pernyataan di atas bahwa bagi Agnia, mujāhadah
adalah suatu kewajiban yang harus diikuti. Mujāhadah tidak hanya sekedar
proses untuk mendapatkan syahādah atau ijazah. Baginya, mujāhadah
adalah tanggung jawab dan terlepas dari tujuan apapun yang ingin dicapai.
65 Wawancara dengan M. Dadang Wijaya (21 tahun), pengabdi LEMTATIQI, di
komplek Asrama Tahfidz putra kampus A PPI pada 10 April 2017.
66 Wawancara dengan Agnia Faradits (22 tahun) di PP. Sunan Pandan Aran,
Yogyakarta, 29 Maret 2017.
Mudir PPI, KH. Mudrik Qori juga menegaskan bahwa mujāhadah akan
senantiasa hadir dan menjadi doktrin dasar perjuangan PPI. Mujāhadah
akan senantiasa dilembagakan di PPI, sejak dahulu, saat ini, dan akan tetap
berlangsung hingga yaum al-qiyāmah.67
Sebagai penutup dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa tradisi
mujāhadah dibentuk atau dikonstruks oleh para pembina LEMTATIQI
dan PPI, dilembagakan dan dilaksanakan secara berkesinambungan oleh
seluruh anggota LEMTATIQI, dilegitimasi dan dipertahankan oleh para
pembina dengan pemberian motivasi dan penghargaan, serta diwariskan
kepada para santri secara terus-menerus dan akan tetap berlangsung hingga
masa yang akan datang seiring dengan terus berlangsungnya momen
dialektika eksternalisasi-obyektifikasi-internalisasi di tengah masyarakat,
khususnya masyarakat LEMTATIQI dan PPI.
Simpulan
Dari pemaparan di atas, dapat ditarik dua kesimpulan yaitu:
Secara historis-substansial, tradisi mujāhadah di PPI merupakan
kelanjutan dari tradisi yang dilakukan oleh para salaf aṣ-ṣālih. Akan tetapi,
secara material terdapat kesalahan dalam jalur sanadnya yaitu tidak
disebutkannya Syaikh ‘Ali ibn Muḥammad ibn Ṣalih al-Hāsyimiy pada
tingkatan ke-delapan dan syaikh Muhammad ibn ‘Abdirrahmān ibn aṣ-
Ṣā’ig dan syaikh ‘Abdurrahmān ibn Aḥmad al-Bagdādiy pada tingkatan ke-
16. Dengan demikian, jalur sanad yang ada di PPI berada pada tingkatan
ke-33.
Konstruksi sosial tradisi mujāhadah di PPI terdiri dari tiga momen
pembentukan yaitu eksternalisasi, obyektifikasi, dan internalisasi. Proses
eksternalisasi terjadi pada masa awal pendirian LEMTATIQI di mana
pimpinan PPI dan juga para alumni PP. An-Nur yang menjadi pembina
LEMTATIQI meng-eksternalisasi-kan pengalamannya terkait metode
memperlancar hafalan al-Qur’an. Proses Obyektifikasi terjadi ketika hasil
67 Wawancara dengan KH. Mudrik Qori, Pimpinan PPI, di ruang kerja mudir PPI
pada tanggal 11 April 2017.
Daftar Pustaka
Wawancara
Wawancara dengan KH. Mudrik Qori, Mudir PPI, tanggal 11 April 2017.
Wawancara dengan K. Muslim Nawawi, Pimpinan PP. An-Nur, tanggal 23
Maret 2017.
Wawancara dengan Wahyudi bin Sardin (26 tahun), Pembin LEMTATIQI
putra kampus D, tanggal 17 Oktober 2016.
Wawancara dengan Muyassaroh, Pembina LEMTATIQI putri, tanggal 20
Oktober 2016 dan 05 Maret 2017.
Wawancara dengan Ahmad Royani, Ketua LEMTATIQI, tanggal 19 Oktober
2016, 05 Maret 2017, dan 31 Maret 2017.