Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PRAKTIKUM BUDIDAYA JAMUR

PENGOMPOSAN

OLEH :

SYAH FITRI YANI


1703113347

DOSEN PENGAMPU :
Dra. ATRIA MARTINA, M. Si
HARI KAPLI, M. Si

ASISTEN :
AFNI ZULIANI
TIWI FEBRINA

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2020
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lingkungan umum dan masih sering digunakan untuk budidaya jamur adalah

dataran tinggi karena memiliki suhu rendah dan kelembaban tinggi. Namun jamur

tiram dapat dibudidayakan dalam suatu media buatan atau dikenal dengan baglog.

Media tersebut dapat berasal dari kayu yang telah lapuk atau bahan lignin yang

terbungkus dalam plastik dan telah disterilkan (Widiwurjani 2010). Penggunaan

media yang kaya akan selulosa, lignin, protein dan hemiselulosa yang telah

terdekomposisi sangat sesuai untuk pertumbuhan miselia dan perkembangan

tubuh buah jamur karena merupakan sumber nutrisi melimpah bagi jamur

(Wahyudi et al. 2002).

Budidaya jamur sangat dipengaruhi oleh jenis media tanam dan lama waktu

pengomposan media. Pengomposan media penting dilakukan untuk membuat

media tanam terurai menjadi senyawa yang lebih sederhana sehingga mudah

dicerna oleh jamur dalam pertumbuhannya (Pasaribu 2002). Proses pengomposan

berfungsi untuk mengubah limbah yang semula tidak bermanfaat menjadi bahan

yang lebih bermanfaat dan menjasi bahan yang aman dan tidak berbahaya.

Organisme yang bersifat patogen akan mati karena suhu yang tinggi mencapai

70C pada saat proses pengomposan (Prayogo et al. 2018).

Kompos aalah sisa-sisa mahkluk hidup yang telah mengalami pelapukan,

bentunya sudah berubah seperti tanah, berbau khas dan memiliki kandungan hara

NPK yang lengkap meskipun persentasenya kecil. Pada prinsipnya semua bahan

yang berasal dari mahkluk hidup atau bahan organik dapat dikomposkan. Ada

1
bahan yang mudah dikomposkan dan ada yang sulit dikomposkan.Secara alami

bahan organik yaitu serbuk gergaji akan mengalami pelapukan menjai kompos,

tetapi membutuhkan waktu yang sangat lama tergantung bahan dan kondisinya.

Agar proses pengomposan ini berlangsung lebih cepat maka perlu perlakuan

tambahan dengan menambahkan aktivator atau inokulum atau biang kompos.

Aktivator ini adalah jasad renik (mikroba) yang bekerja mempercepat pelapukan

bahan organik menjadi kompos (Isroi 2008).

Pengomposan atau pembuatan kompos ialah pembusukan bahan tanam segar dan

kering dengan jalan fermentasi, berarti penguraian zat-zat yang komplek menjadi zat-zat

menjadi lebih sederhana karena keaktifan mikroorganisme (Suhardiman 2006).

Pengomposan untuk penanaman jamur harus mengarahkan agar fermentasi sesuai untuk

kehidupan jamur. Pengomposan secara umum didefinisikan sebagai degradasi mikrobial

dari limbah organik yang tidak sempurna. Tujuan pengomposan adalah untuk

mendapatkan substrat yang cocok untuk jamur yang dibudidayakan, sehingga bibit jamur

tumbuh cepat mendahului pertumbuhan organisme pesaing. Penjagaan panas sangat

penting dalam pembuatan kompos. Salah satu faktor yang menentukan tingginya suhu

adalah tinggi timbunan kompos. Timbunan kompos harus diusahakan tidak lembab dan

dijaga supaya tidak sampai becek (Muller 2005).

Serbuk gergaji dapat digunakan sebagai media jamur dan merupakan pemanfaatan

dari limbah pemotongan kayu. Pemanfaatan serbuk gergaji sebagai media jamur

merupakan salah satu penanganan polusi lingkungan dari bahan-bahan sisa tanaman.

Selain itu enceng gondok, kertas bekas, karton, rumput-rumputan dapat digunakan

sebagai media jamur (Surawiria 2007). Oleh karena itu perlu dilakukan pengomposan

untuk dapat memanfaatkan limbah serbuk gergaji dalam penumbuhan jamur.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka praktikum pengomposan substrat tanam

jamur ini perlu dilakukan guna memberikan pemahaman mengenai teknik

2
pengomposan substrat tanam jamur yang baik dan benar, serta mengetahui fungsi

dan bahan yang digunakan dalam pengomposan substrat tanam jamur.

1.2 Tujuan

Adapun tujuan dari praktikum ini adalah untuk memahami teknik

pengomposan substrat tanam.

1.3 Manfaat

Adapun manfaat dari praktikum ini adalah dapat memberikan informasi

mengenai teknik pengomposan pada substrat jamur dan praktikan dapat

memahami teknik pengomposan substrat tanam jamur budidaya.

3
II. METODE

II.1 Waktu dan Tempat

Praktikum ini dilaksanakan dari pukul 08.00 sampai dengan 10.30 WIB,

melalui pembelajaran dalam jaringan (daring) atau materi yang langsung

dijelaskan oleh dosen pengampu mata kuliah budidaya jamur.

II.2 Alat dan Bahan

Adapun alat dan bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah terpal,

sekop dan ember. Adapun bahan yang digunkaan dalam praktikum ini adalah

serbuk kayu, dedak, kapur (CaCO3), gipsum, dolomit, EM4 dan mikroba

inokulum .

II.3 Cara Kerja

Adapun cara kerja dari praktikum ini yaitu semua bahan yang digunakan

disiapkan. Semua bahan (serbuk kayu, dedak, kapur (CaCO3), gipsum, dolomit ,

EM4 dan mikroba inokulum) dicampur hingga merata. Bahan yang sudah

tercampur ditambahkan air hingga mencapai kelembaban ± 60–70% yang ditandai

dengan substrat digenggam akan menggumpal dan tidak akan pecah. Kemudian

substrat dimasukkan ke dalam terpal. Proses pengomposan dilakukan selama 5

hari. Setelah 3 hari pengomposan, substrat kompos dibalik dan dimasukkan lagi

ke dalam terpal hingga hari ke 5. Selama pengomposan, suhu dan ciri-ciri

morfologi kos (warna, tekstur, bau dan kelembaban) diamati dan dicatat.

4
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III.1 Hasil

Tabel 1. Hasil praktikum pengomposan media tanam jamur


No. Tahapan Gambar/foto dokumentasi
1. Persiapan bahan yang digunakan

2. Proses pencampuran semua bahan


hingga merata

3. Proses penambahan air

4. Proses pengujian kadar air media

5. Substrat dimasukkan ke dalam terpal.


Proses pengomposan dilakukan selama

5
5 hari

6. Setelah 3 hari pengomposan, substrat


kompos dibalik dan dimasukkan lagi
ke dalam terpal hingga hari ke 5

III.2 Pembahasan

Pembuatan kompos dapat dipercepat dengan penambahan bioaktivator.

Apabila mikroorganisme EM4 berada dalam tanah, maka mikroorganisme

menguntungkan sejenis yang sudah ada di dalam tanah berkembang dengan baik,

sedangkan mikroorganisme yang merugikan dapat ditekan. EM4 mampu

mengolah atau menguraikan bahan-bahan organik dengan cepat secara fermentasi

menjadi kompos sehingga menimbulkan aroma yang segar. Limbah pertanian

yang dapat dijadikan sumber pupuk organik adalah jerami padi, sekam/ arang

sekam, brangkasan kacang tanah dan kedelai, daun dan batang jagung, serbuk

gergaji, sampah kota serta kotoran ternak (sapi, kerbau, domba, kambing, ayam)

(Hidayat et al. 2010).

Adapun bahan tambahan dalam pembuatan kompos dengan teknologi EM-4

adalah : (1) Dedak : Berfungsi sebagai sumber utama makanan untuk mikrobia.

(2) Gula Pasir/ gula merah atau tetes tebu : berfungsi untuk memperoleh energi

bagi perkembangbiakan jumlah EM yang diaktifkan selama proses pembuatan

kompos (proses fermentasi 3-4 hari). (3) Sekam Arang sekam/ serbuk gergaji

sangat baik untuk meningkatkan kualitas kompos yang dihasilkan dari segi

6
teksturnya. Untuk mengkomposkan 1 ton bahan organik, diperlukan 1 liter EM4

yang dilarutkan ke dalam 10 lt air dan proses dekomposisi < 15 hari (Hidayat et

al. 2010).

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi dari proses pengomposan :

1. Faktor dalam

a. C/N rasio

Proses pengomposan akan berjalan baik jika C/N rasio bahan organik yang

dikomposkan sekitar 25-35. C/N rasio bahan organik yang terlalu tinggi akan

menyebabkan proses pengomposan berlangsung lambat. Begitu juga sebaliknya.

Setiap bahan organik memiliki C/N rasio yang berbeda, oleh sebab itu dalam

penggunaan sebagai bahan baku kompos harus dicampur dengan bahan organik

yang memiliki imbangan C/N tinggi sehingga dapat menghasilkan C/N rasio yang

optimal.

b. Jumlah dan jenis Mikroorganisme yang terlibat

Berdasarkan suhu mikroorganisme diklasifikasikan dalam tiga kategori, yaitu

psikofil, mesofil, dan termofil. Proses pengomposan bisa dipercepat dengan

penambahan starter atau aktivator. Beberapa jenis mikroba dapat mempercepat

proses dekomposisi adalah bakteri pelarut phospat, Azotobacter, Actinomycetes.

Penelitian Mundiatun (2013) menggunakan imbangan bahan kompos dengan

aktivator sebanyak 40% : 40%, 50% : 30%, 60% : 20% dan 70% : 10%. Hasil

yang paling baik dalam mendekomposisikan blotong menggunakan kotoran sapi

adalah pada perbandingan 60%: 20%.

2. Faktor Luar

Menurut Hidayat et al. (2010) sebagai berikut :

7
a. Temperatur

Temperatur optimum bagi pengomposan adalah 40–60 oC dengan maksimum

75 oC.

b. Tingkat Keasaman (pH)

Pengaturan pH perlu dilakukan karena merupakan salah satu faktor yang kritis

bagi pertumbuhan mikroorganisme yang terlibat dalam proses pengomposan.

Pada awal pengomposan cenderung agak asam. Namun akan mulai naik sejalan

dengan waktu pengomposan dan akan stabil pada pH sekitar netral.

c. Aerasi

Pengomposan yang cepat dapat terjadi dalam kondisi yang cukup oksigen

(aerob). Aerasi ditentukan oleh porositas dan kandungan air bahan (kelembaban).

d. Kelembaban (RH)

Kelembaban yang baik untuk berlangsungnya proses dekomposisi secara

aerobik adalah 50-60%.

e. Ukuran Bahan Baku

Semakin kecil, ukuran bahan (5-10 cm), proses pengomposan (dekomposisi)

berlangsung semakin cepat. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan luas

permukaan bahan untuk diserang mikroorganisme. Dekomposisi bahan yang

memiliki C/N rasio yang tinggi perlu ditambah hijauan untuk menurunkan kadar

C/N rasio, sehingga proses dekomposisi akan berjalan lebih cepat.

Proses pengomposan akan berlangsung ketika bahan–bahan mentah telah

dicampur. Proses pengomposan dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap aktif

dan tahap pematangan. Dalam proses pengomposan, mikroba selulotik

mengeluarkan enzim selulase yang dapat menghidolisis selulosa menjadi

8
selobiosa lalu dihidrolisis lagi menjadi D-Glukosa dan difermentasikan menjadi

asam Laktat, Etanol, CO2, dan Amonia. Selama tahap awal proses, oksigen dan

senyawa – senyawa yang mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh

mikroba mesofilik. Suhu tumpukan kompos akan meningkat dengan cepat.

Demikian pula akan diikuti dengan peningkatan pH kompos. Suhu akan

meningkat hinga di atas 50–70oC. Suhu akan tetap tinggi selama waktu tertentu.

Mikroba yang aktif pada kondisi ini adalah mikroba Termofilik, yaitu mikroba

yang aktif pada suhu tinggi. Pada saat ini terjadi dekomposisi bahan organik yang

sangat aktif. Mikroba – mikroba di dalam kompos dengan menggunakan oksigen

akan menguraikan bahan organik menjadi CO2, uap air dan panas. Setelah

sebagian besar bahan telah terurai, maka suhu akan berangsur – angsur mengalami

penurunan. Pada saat ini terjadi pematangan kompos tingkat lanjut, yaitu

pembentukan komplek liat humus. Selama proses pengomposan akan terjadi

penyusutan volume maupun biomasa bahan. Penguraian ini dapat mencapai 30-

40% dari volume/bobot awal bahan (Isroi 2007). Dalam proses pengomposan

terjadi perubahan seperti (1). Karbohidrat, selulosa, hemiselulosa, lemak dan

lignin menjadi CO dan HO; (2). Zat putih telur menjadi amonia, CO dan HO; (3).

Peruraian senyawa organik menjadi senyawa yang dapat diserap oleh tanaman.

Dengan perubahan tersebut kadar karbohidrat akan hilang atau turun dan senyawa

N yang larut (Amonia) akan meningkat. Dengan demikian C/N rasio semakin

rendah dan relatif stabil mendekati C/N rasio tanah. Pengomposan berdasarkan

kebutuhan oksigen di klasifikasikan menjadi pengomposan aerob dan

pengomposan anaerob. Pengomposan aerobik adalah proses dekomposisi oleh

mikroba yang memanfaatkan oksigen untuk menghasilkan humus,

9
karbondioksida, air dan energi. Beberapa energinya digunakan untuk

pertumbuhan mikroba dan sisanya dikeluarkan dalam bentuk panas (Suhut &

Salundik 2006).

Menurut Suhut & Salundik (2006), prinsip-prinsip proses biologis yang terjadi

pada proses pengomposan meliputi :

a. Kebutuhan Nutrisi

Untuk perkembangbiakan dan pertumbuhannya, mikroorganisme memerlukan

sumber energi, yaitu karbon untuk proses sintesa jaringan baru dan elemen elemen

anorganik seperti Nitrogen, Fosfor, Kapur, Belerang dan Magnesium sebagai

bahan makanan untuk membentuk sel-sel tubuhnya. Selain itu, untuk memacu

pertumbuhannya, mikroorganisme juga memerlukan nutrien organik yang tidak

dapat disintesa dari sumber-sumber karbon lain. Nutrien organik tersebut antara

lain asam amino, purin/pirimidin, dan vitamin.

b. Mikroorganisme

Mikroorganisme pengurai dapat dibedakan antara lain berdasarkan kepada

struktur dan fungsi sel, yaitu:

1. Eucaryotes, termasuk dalam dekomposer adalah eucaryotes bersel tunggal,

antara lain: ganggang, jamur, protozoa.

2. Eubacteria, bersel tunggal dan tidak mempunyai membran inti, contoh: bakteri.

Beberapa hewan invertebrata (tidak bertulang belakang) seperti cacing tanah,

kutu juga berperan dalam pengurai sampah. Sesuai dengan peranannya dalam

rantai makanan, mikroorganisme pengurai dapat dibagi menjadi 3 (tiga)

kelompok, yaitu : Kelompok I (Konsumen tingkat I) yang mengkonsumsi

langsung bahan organik dalam sampah, yaitu : jamur, bakteri, Actinomycetes.

10
b. Kelompok II (Konsumen tingkat II) mengkonsumsi jasad kelompok I, dan;

c. Kelompok III (Konsumen tingkat III), akan mengkonsumsi jasad kelompok I

dan Kelompok I. Kondisi Lingkungan Ideal Efektivitas proses pembuatan

kompos sangat tergantung kepada mikroorganisme pengurai.

Standar kualitas kompos sampah organik domestik yang sesuai dengan SNI 19-

7030-2004 adalah rasio C/N 10-20, kandungan Nitrogen minimal 0,40%,

kandungan Phosphor minimal 0,10%, kandungan Kalium minimal 0,20%, dan

Kadar air maksimum 50% (Kurniawan 2013). Pupuk kompos tidak diberikan

sepenuhnya pada tanah sebagai pengganti pupuk anorganik, karena kandungan

hara yang dimiliki oleh pupuk kompos sangat rendah sehingga fungsinya hanya

mengurangi penggunaan pupuk anorganik. Meski begitu setidaknya pupuk

kompos memiliki empat manfaat, yaitu sebagai sumber nutrisi, memperbaiki

struktur fisik tanah, memperbaiki kimia tanah, meningkatkan daya simpan air dan

meningkatkan aktivitas biologi tanah.

Menurut Kurnia et al. (2017), selain mengandung nutrisi yang dibutuhkan

jamur, bahan yang akan di buat kompos juga harus cukup mengandung air. Air

sangat dibutuhkan untuk kehidupan jasad renik di dalam aktivator kompos. Bahan

yang kering lebih sulit untuk dikomposkan. Akan tetapi kandungan air yang

terlalu bnayak juga akan menghambat proses pengomposan Penambahan air

dalam pengomposan ini bertujuan untuk menjaga suhu dan kelembaban substrat.

Jika suhu tidak sesuai maka kemungkinan yang terjadi adaah pertumbuhan tubuh

buah jamur tidak terbentuk atau walaupun terbentuk akan membutuhkan waktu

lama karena kondisi yang tidak sesuai dengan pertumbuhan jamur. Begitu juga

11
dengan kelembaban, Jika terlalu kering dapat mengakibatkan pertumbuhan jamur

tergangu, dan jika terlalu banyak miselium akan membusuk dan jamur mati.

Proses pengomposan dilakukan dalam keadaan anaerob atau tidak

membutuhkan oksigen. Hal inilah yang menyebabkan selama proses

pengomposan ditutup dengan terpal. Pada pengomposan juga dilakukan proses

membolak balikkan substrat pada hari ke 3 pengomposan yang bertujuan agar

mikroorganisme yang ada pada substrat merata. Hasil dari pengomposan ini

diketahui suhu substrat panas, dan memiliki bau yang khas serta warnanya

berubah menjadi coklat kehitaman.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

IV.1 Kesimpulan

12
Adapun kesimpulan dari praktikum ini adalah teknik pengomposan pada

substrat tanam jamur penting dilakukan untuk membuat media tanam terurai

menjadi senyawa yang lebih sederhana sehingga mudah dicerna oleh jamur dalam

pertumbuhannya. Proses pengomposan dibantu oleh mikroorganisme untuk

mengdekomposisi bahan dan mempercepat proses pengomposan melalui

fermentasi dan dekomposisi bahan baku kompos. Mikrorganisme yang digunakan

untuk mempercepat proses pengomposan adalah Effective Microorganism-4

(EM4) yang merupakan kumpulan mikroorganisme, diantaranya bakteri

fotosintetik, bakteri asam laktat, ragi Actinomycetes dan jamur fermentasi.

IV.2 Saran
Adapun saran untuk praktikum ini adalah sebaiknya praktikum ini dilakukan

secara langsung, sehingga praktikkan lebih memahami teori dan juga prakteknya

yang berjalan singkron.

DAFTAR PUSTAKA

13
Hidayat F, Untung S, Ari DW. 2010. Pemanfaatan Limbah Media Jamur Tiram
Putih (Pleurotus florida) sebagai Tambahan Pupuk Organik Terhadap
Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.).
AGRIKA. 4(2) : 130-135.
Isroi A. 2008. Kompos. Balai penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia.
Bogor.
Kurnia VC, Sumiyati S, Samudro G. 2017. Pengaruh Kadar Air terhadap Hasil
Pengomposan Sampah Organik dengan Metode Windro. Jurnal Teknik
Mesin. 6 (1) : 119-123.
Kurniawan HNA, Kumalaningsi S, Febrianto A. 2013. Pengaruh Penambahan
Konsentrasi Microbacter Alfaafa-11 (MA-11) dan Penambahan Urea
terhadap Kualitas Pupuk Kompos dari Kombinasi Kulit dan Jerami Nangka
dengan Kotoran Kelinsi. Malang : Fakultas Teknologi Pertanian Universitas
Brawijaya.
Muller. 2005. The Function of the Compost and Casing Layer in Relation to
Fruiting and The Growth of The Citivated Mushroom.
Mundiatun. 2013. Faktor Penentu Kualitas Kompos. Widyaisara Departemen
PLH PPPPTK BOE. Kota Malang. Diakses pada tanggal 1 februari 2017.
http://www.vedcmalang.com/pppptkboemlg/index.php/menuutama/plh/65-
peduli-kesehatan-ii.
Pasaribu T. 2002. Aneka jamur unggulan yang menembus pasar. Grasindo.
Jakarta
Prayogo TS, Razak AR dan Sikanna R. 2018. Pengaruh lama pengomposan
terhadap tubuh buah dan kandungan gizi pada jamur tiram putih (Pleurotus
ostreatus). KOVALEN. Vol 4 (2) : 131-144.
Suhardiman P. 2006. Jamur Merang dan Mushroom. Jakarta : Pusat Penelitian
Yayasan Sosial Tani Membangun.
Suhut, Salundik. 2006. Meningkatkan Kualitas Kompos. Jakarta : Agro Media.
Surawiria. 2007. Pengantar untuk Mengenang dan Menanam Jamur. Bandung.
Wahyudi, Husen dan Santoso. 2002. Pertanian organik menuju pertanian
alternatif dan berkelanjutan. Kanisius. Yogyakarta.
Widiwurjani. 2010. Menggali potensi serasah sebagai media tumbuh jamur
Tiram putih (Pleurotus oetreatus). Unesa University Press. Surabaya.

14

Anda mungkin juga menyukai