Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PENAFSIRAN & PENGISIAN KEKOSONGAN HUKUM

Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum

Oleh kelompok 6 :

Nama : Nim :

1. Adi Gunawan Harahap (1810100012)


2. Sukma Ayu Lestari Lubis (1810100007)

Dosen pengampu :
Anwar Habibi, M.A., HK.

FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PADANGSIDIMPUAN
2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Shalawat serta salam semoga
tercurahkan kepada baginda nabi Muhammad S.A.W. beserta para keluarga dan sahabatnya.

Makalah yang berjudul “Penafsiran Hukum” ini kami tulis untuk memenuhi tugas
mata kuliah pengantar ilmu hukum, yang juga nerupakan sebagai sarana belajar bagi kami untuk
meningkatkan kemampuan dalam membuat suatu karya ilmiah.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan
sehingga kami mohon maaf dan kami berharap adanya kritik dan saran yang bersifat
membangun baik secara langsung maupun tidak langsung.

Kami berharap kepada Allah SWT, agar kiranya menjadikan makalah ini bermanfaat
bagi kami maupun orang lain.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Padangsidempuan , Oktober 2019

Penulis

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia berkepentingan untuk merasa bahwa ia aman. Aman berarti bahwa kepentingan-
kepentingannya tidak diganggu. Oleh karena itu manusia selalu berharap bahwa kepentingan –
kepentingannya dilindungi dari konflik, gangguan-gangguan dan bahaya yang mengancam serta
menyerang kepentingan dirinya dan kehidupan bersama. Gangguan dan konflik harus dicegah
dan tidak dibiarkankan berlangsung terus-menerus, karena akan merusak keseimbangan tatanan
masyarakat.
Pembahasan tentang hukum cenderung dikaitkan dengan perundang-undangan. Undang-
undang sendiri tidak sempurna, tidak mungkin undang-undang mengatur semua kegiatan
manusia secara tuntas. Adakalanya undang-undang tidak jelas dan adakalanya tidak lengkap.
Meskipun tidak jelas dan tidak lengkap undang-undang tersebut tetap harus dilaksanakan.
Untuk menjamin kepastian hukum harus ada kodifikasi, yaitu usaha untuk membukukan
peraturan-peraturan yang tertulis yang masih berserak-serak kedalam suatu buku secara
sistematis. Dengan tidak sempurnanya kodifikasi hukum tersebut maka tidak jarang hakim
melakukan penemuan nilai-nilai hukum yang hidup dikalangan masyarakat. Disamping itu,
hakim juga melakukan penafsiran-penafsiran hukum dalam menyelesaikan suatu perkara yang
dihadapinya, khususnya dalam hal yang ketentuan undang-undang yang sudah ketinggalan
zaman dan ketentuan-ketentuan undang-undang yang memakai istilah-istilah yang tidak jelas
atau yang dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda.
Pada kenyataannya hukum atau peraturan perundang-undangan yang dibuat tidak mencakup
seluruh perkara yang timbul dalam masyarakat sehingga menyulitkan penegak hukum untuk
menyelesaikan perkara tersebut. Asas legalitas yang kerap dianggap sebagai asas yang
memberikan suatu kepastian hukum dihadapkan oleh realita bahwa rasa keadilan masyarakat
tidak dapat dipenuhi oleh asas ini karena masyarakat yang terus berkembang sesuai kemajuan
teknologi. Perubahan cepat yang terjadi tersebut menjadi masalah yang tidak berakaitan dengan
Undang-Undang , karena tidak mungkin suatu peraturan perundang-undangan dapat mengatur
segala kehidupan manusia secara tuntas sehingga adakalanya suatu peraturan perundang-

2
undangan tidak jelas atau bahkan tidak lengkap yang berakibat adanya kekosongan hukum di
masyarakat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Penafsiran Hukum?
2. Bagaimana Macam-Macam Cara Penafsiran Hukum?
3. Apa Macam-Macam Metode Penafsiran Hukum?
4. Apa Pengertian Pengisian Kekosongan Hukum?
5. Apa Pengertian Konstruksi Hukum ?
6. Apa Pengertian Penghalusan Hukum?
7. Apa Pengertian Argumentum A Contrario?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk Membahas Pengertian Penafsiran Hukum
2. Untuk Membahas Macam-Macam Cara Penafsiran Hukum
3. Untuk Membahas Macam-Macam Metode Penafsiran Hukum
4. Untuk Membahas Pengertian Pengisian Kekosongan Hukum
5. Untuk Membahas Pengertian Konstruksi Hukum
6. Untuk Membahas Pengertian Penghalusan Hukum
7. Untuk Membahas Pengertian Argumentum A Contrario

3
BAB II

PEMBAHASAN

PENAFSIRAN HUKUM
A. Pengertian Penafsiran Hukum
Penafsiran hukum adalah mencari dan menetapkan pengertian atas dalil-dalil yang tercantum
dalam undang-undang sesuai dengan yang dikehendaki serta yang dimaksud oleh pembuat
undang-undang.1 Penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi
penjelasan yang tidak jelas mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat
ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. 2
Tugas penting hakim adalah menyesuaikan undang-undang dengan hal-hal nyata di dalam
masyarakat. Apabila undang-undang tidak dapat dijalankan menurut ahli katanya, hakim harus
menafsirkannya. Dengan lain perkataan apabila undang-undang tidak jelas, hakim wajib
menafsirkannya sehingga ia dapat membuat suatu keputusan yang adil dan sesuai dengan
maksud hukum yaitu mencapai kepastian hukum. Karena itu, orang dapat mengatakan bahwa
menafsirkan undang-undang adalah kewajiban hukum dari hakim. 3
Sekalipun penafsiran merupakan kewajiban hukum dari hakim, ada beberapa pembatasan
mengenai kemerdekaan hakim untuk menafsirkan undang-undang. Logeman mengatakan bahwa
hakim harus tunduk pada kehendak pembuat undang-undang. Dalam hal kehendak itu tidak
dapat dibaca begitu saja dari kata-kata peraturan perundangan, hakim harus mencarinya dalam
sejarah kata-kata tersebut, dalam sistem undang-undang atau dalam arti kata-kata seperti itu yang
dipakai dalam pergaulan sehari-hari. Hakim wajib mencari kehendak pembuat undang-undang,
karena ia tidak boleh membuat tafsiran yang tidak sesuai dengan kehendak itu.
Orang tidak boleh menafsirkan secara sewenang-wenang kaidah yang mengikat, hanya
penafsiran yang sesuai dengan maksud pembuat undang0undang saja yang menjadi tafsiran yang
tepat. Karena itu, menurut Polak cara penafsiran ditentukan oleh : materi peraturan perundangan
yang bersangkutan, tempat perkara diajukan, dan menurut zamannya. 4

1
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Sinar Grafika), 1992, hal. 97
2
DR. H. Zainal Asikin, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta : Rajawali Pers), 2013, hal. 95
3
Prof. Dr. yudha Bhakti, Penafsiran dan kontruksi Hukum (Bandung : PT Alumni), 2000, hal. 8
4
Ibid, hal. 9

4
B. Macam-Macam Cara Penafsiran Hukum
1) Dalam pengertian subyektif dan obyektif
Dalam pengertian subyektif, apabila ditafsirkan seperti yang dikehendaki oleh pembuat
undang-undang. Dalam pengertian obyektif, apabila penafsiran lepas daripada pendapat
pembuat undang-undang dan sesuai dengan adat bahasa sehari-hari. 5
2) Dalam pengertian sempit dan luas
Dalam pengertian sempit (restriktif), yakni apabila dalil yang ditafsirkan diberi pengertian
yang sangat dibatasi. Misalnya: mata uang (pasal 1756 KUH perdata) pengertian hanya uang
logam saja dan barang diartikan benda yang dapat dilihat dan di raba saja. Dalam pengertian
luas (ekstensif), ialah apabila dalil yang ditafsirkan diberi pengertian yang seluas-luasnya.
Contoh:
- Pasal 1756 perdata alinea ke-2 KUH perdata tentang mata uang juga diartikan uang kertas.
- Barang (pasal 362 KUH Perdata) yang dulu hanya diartikan benda yang dapat dilihat dan
diraba sekarang juga termasuk aliran listrik (Arrest Hoge Raad Belanda tanggal 23 Mei
1931).
Yang termasuk penafsiran dalam arti luas adalah penafsiran analogis. 6
Dilihat dari sumbernya penafsiran dapat bersifat :7
a. Otentik, ialah penafsiran yang seperti diberikan oleh pembuat undang-undang seperti
yang dilampirkan pada undang-undang sebagai penjelas. Penafsiran ini mengikat umum.
b. Doktrinair, ialah penafsiran yang didapat dalam buku-buku dan hasil karya-karya para
ahli. Hakim tidak terikat karena penafsiran ini hanya memiliki nilai teoretis.
c. Hakim, penafsiran yang bersumber dari hakim(peradilan) hanya mengikat pihak-pihak
yang bersangkutan dan berlaku bagi kasus-kasus tertentu (pasal 1917 ayat 1 KUH
perdata).

C. Macam-Macam Metode Penafsiran


Supaya dapat mencapai kehendak dan maksud pembuat undang-undang serta dapat
menjalankan undang-undang sesuai dengan kenyataan sosial maka hakim dapat menggunakan
beberapa macam penafsiran, antara lain sebagai berikut:
5
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Sinar Grafika), 1992, hal. 97
6
Ibid, hal. 98
7
Ibid, hal. 98

5
(1) Penafsiran Tata Bahasa (gramatikal)
Yaitu cara penafsiran berdasarkan pada bunyi ketentuan undang-undang, dengan
berpedoman pada arti perkataan-perkataan dalam hubungannya satu sama lain dalam kalimat-
kalimat yang dipakai undang-undang; yang dianut ialah semata-mata arti perkataan menurut tata
bahasa atau menurut kebiasaan, yakni arti dalam pemakaian sehari-hari.
Sebagai contoh dapat dikemukakan hal yang berikut: suatu peraturan perundangan melarang
orang memparkir kendaraannya pada suatu tempat tertentu. Peraturan tersebut tidak menjelaskan
apakah yang dimaksudkan dengan istilah “kendaraan” itu. Orang lalu bertanya-tanya, apakah
yang dimaksudkan dengan perkataan “kendaraan” itu, hanya kendaraan bermotorkah ataukah
termasuk juga sepeda dan bendi. Seringkali keterangan kamus bahasa belum mencukupi. Hakim
harus pula mencari kata yang bersangkutan dalam susunan kata-kata kalimat atau hubungannya
dengan peraturan-peraturan lain.
Contoh lain dalam Jurisprudensi Negeri Belanda adalah sebagai berikut: pasal 1140 KUHS
memberikan hak mendahului (privilege) kepada seorang yang menyewakan rumah terhadap
segala barang perabot rumah yang terdapat dalam rumah sewaan itu. Hal ini berarti, jika
sipenyewa menunggak uang sewa, dan pada suatu waktu dilakukan penyitaan atas barang-barang
perabot rumah tersebut, maka si pemilik rumah harus dibayar terlebih dahulu daripada penagih-
penagih hutang lainnya dari uang pendapatan lelangan barang-barang tersebut untuk melunasi
uang sewa yang belum dibayar. Dalam kalimat terakhir dari pasal 1140 ditegaskan “tidak peduli
apakah barang-barang perabot rumah tersebut kepunyaan si penyewa rumah itu sendiri atau
bukan”. Timbullah pertanyaan, apakah pasala 1140 KUHS itu juga berlaku walaupun orang yang
menyewakan rumah itu sejak semula, yakni semenjak diadakannya perjanjian sewa-menyewa,
sudah mengetahui bahwa barang itu bukan milik sipenyewa sendiri? Dalam kasus seperti ini,
Mahkamah Agung Belanda (Hoge Raad) dalam putusannya tanggal 7 April 1938 telah menjawab
“ya” dengan mengambil pedoman “arti perkataan-perkataan” sebagaimana dipakai dalam
undang-undang. 8
(2) Penafsiran Sahih, (autentik,resmi)
Penafsiran otentik atau penafsiran secara resmi ialah penafsiran secara resmi. Penafsiran ini
dilakukan oleh pembuat undang-undang itu sendiri atau oleh instansi yang ditentukan oleh

8
Drs. C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka). 1989, hal.
66-67

6
peraturan perundang-undangan dan tidak boleh oleh siapapun dan pihak manapun. Kadang-
kadang pembuat undang-undang itu sendiri membuat tafsiran atas berbagai kata-kata yang
digunakan dalam undang-undang yang bersangkutan. Tafsiran ini namanya tafsiran resmi atau
tafsiran otentik. Maksud dari tafsiran otentik ini adalah agar berlaku untuk umum. Maka tafsiran
otentik hanya dapat dilaksanakan oleh pembuat UU sendiri. Hakimpun tidak boleh, karena pada
dasarnya tafsiran yang dibuat oleh hakim hanya berlaku bagi pihak-pihak yang berperkara saja.

Contoh: penafsiran otentik pasal 512-518 KUH Perdata. Dalam pasal ini pembuat undang-
undang menjelaskan apa yang dimaksud dengan “barang yang bergerak”. Barang-barang rumah
tangga (inboedel), perkakas rumah (meubels en huisraad), barang-barang yang gunanya agar
rumah dapat didiami orang (stoffering) dan suatu rumah dengan segala sesuatu yang ada
didalamnya (een huis met al hetgeen zich daarin bevindt).9

(3) Penafsiran Historis, yaitu:10


a. Sejarah hukumnya, yang diselidiki maksudnya berdasarkan sejarah terjadinya hukum
tersebut. Sejarah terjadinya hukum dapat diselidiki dari memori penjelasan, laporan-
laporan perdebatan dalam DPR dan surat menyurat antara Menteri perdebatan komisi
DPR yang bersangkutan.
b. Sejarah undang-undangnya, yang diselidiki maksud pembentuk undang-undang pada
waktu membuat undang-undang itu, misalnya didenda f 25,---, sekarang ditafsirkan
dengan uang Republik Indonesia, sebab harga barang lebih mendekati pada waktu
KUHP itu dibuat.
(4) Penafsiran Sistematis
Yang dimaksud dengan penafsiran sistematis adalah suatu penafsiran yang menghubungkan
pasal yang satu dengan pasal-pasal yang lain dalam suatu perundang-undangan yang
bersangkutan atau pada perundang-undangan hukum lainnya, atau membaca penjelasan suatu
perundang-undangan, sehingga kita mengerti apa yang dimaksud.
Contohnya terdapat pada pasal 1330 KUH Perdata mengemukakan tidak cakap untuk
membuat perjanjian anatara lain orang-orang yang belum dewasa.
Bunyi lengkapnya pasal 1330 KUH Perdata ialah:
9
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Sinar Grafika), 1992, hal. 107-108
10
Drs. C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka),1989, hal.
68

7
“TIdak cakap membuat perjanjian adalah:
a. Orang yang belum dewasa.
b. Orang yang ditaruh dibawah pengampuan.
c. Orang perempuan dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya
orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat persetujuan tertentu”.

Apakah yang dimaksud orang yang belum dewasa?

Dalam hal ini kita melakukan penafsiran sistematis dengan melihat pasal 330 KUH Perdata
yang memberikan batas belum berumur 21 tahun.

Bunyi pasal 330 KUH Perdata adalah : “Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai
umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin”.

(5) Penafsiran Sosiologis


Penafsiran sosiologis adalah penafsiran yang disesuaikan dengan keadaan masyarakat.
Penafsiran terhadap peraturan perundang-undangan yang pertama-tama dimulai dari penafsiran
menurut kata dan tata bahasa, penafsiran menurut sejarah, kemudian penafsiran sosiologis.
Mengapa demikian? Penafsiran sosiologis adalah penafsiran yang disesuaikan dengan keadaan
sosial dalam masyarakat agar penerapan hukum dapat sesuai dengan tujuannya ialah kepastian
hukum berdasarkan asas keadilan masyarakat.
Penafsiran sosiologis itu memang penting sekali bagi hakim terutama kalau diingat banyak
Undang-undang yang dibuat jauh daripada waktu dipergunakan. Khususnya bagi Indonesia
banyak Undang-undang yang dibuat pada waktu zaman penjajahan, sehingga sudah tidak cocok
dengan keadaan sosial pada waktu sekarang.
Belum semua hukum itu sesuai dengan keadaan perkembangan masyarakat. Terhadap hal
inilah hakim dipengadilan dalam memutuskan dan menyelesaikan perkara,melakukan penafsiran
sosiologis atau penafsiran teknologis. Kita ambil sebagai contoh : Dalam pasal 362 KUH Pidana,
ditegaskan larangan untuk mencuri barang kepunyaan orang lain.

Bunyi pasal 362 KUH Pidana sebagai berikut “Barangsiapa mengambil sesuatu barang yang
sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki barang
itu dengan melawan hak, dihukum karena pencurian dengan hukuman penjara selama-lamanya
lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya RP.900,-’’.

8
Apakah yang dimaksud dengan barang-barang itu? Mula-mula pengertian barang ialah
segala yang bisa dilihat, diraba, dan dirasakan secara riil. Waktu itu listrik tidak termasuk
sebagai barang dan pencuri listrik tidak dapat dihukum berdasarkan pasal 362 KUH Pidana.
Kemudian penafsiran sosiologis berlaku terhadap listrik yang dianggap sebagai barang, karena
listrik itu mempunyai nilai. Untuk mengadakan proyek perlistrikan diperlukan penafsiran
sosiologis atas listrik, maka siapa yang mengkait kabel listrik PLN dijalan, dapat dikatakan
melakukan pencurian dan berlaku pasal 362 KUH Pidana.

(6) Penafsiran Perbandingan


Penafsiran perbandingan ialah penafsiran dengan membandingkan antara hukum lama
dengan hukum positif yang berlaku saat ini, antara hukum nasional dengan hukum asing dan
hukum kolonial. Dalam penafsiran perbandingan akan terlihat antara lain:11
- Hukum lama dengan hukum positif yang berlaku saat ini, mungkin hukum lama cocok
untuk diterapkan lagi pada masa sekarang ini. Umpamanya beberapa asas dan hukum
adat, yang menggambarkan unsure kekeluargaan, dapat diambil untuk dijadikan hukum
nasional.
- Hukum nasional sendiri dengan hukum asing. Pada hukum nasional terdapat beberapa
kekurangan. Apabila ada keinginan untuk mengambil alih hukum asing/Negara lain
apakah hukum asing iru cocok dan sesuai dengan kepentingan nasional. Umpamanya
seperti hukum hak cipta yang terdapat dinegara maju. Dipertimbangkan apakah sudah
waktunya Negara kita mempunyai Undang-undang hak cipta, yang berarti buku-buku
ilmiah tidak bolrh diterjemahkan, disadur atau di fotocopy dan diperbanyak. Apakah
buku-buku ilmiah harganya terjangkau oleh rakyat kalau keluar undang-undang hak cipta
itu.
- Hukum kolonial peninggalan penjajah, karena asas konkordasi oleh Negara merdeka
masih tetap dipergunakan. Dalam hal ini Negara itu membandingkan hal-hal manakah
yang sudah tidak sesuai lagi dengan hukum kepribadian nasional Negara itu.

(7) Penafsiran Interdisipliner

11
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Sinar Grafika), 1992, hal. 108.

9
Penafsiran jenis ini biasa dilakukan dalam suatu analisis masalah yang menyangkut
beberapa disiplin ilmu hukum. Disini digunakan logika lebih dari satu cabang ilmu hukum.
Misalnya adanya keterkaitan asas-asas hukum dari satu cabang ilmu hukum, misalnya hukum
perdata dengan asas-asas hukum publik.12
(8) Penafsiran Multidisipliner
Berbeda dengan penafsiran interdisipliner yang masih berada dalam rumpun disiplin ilmu
yang bersangkutan, dalam penafsiran multidisipliner seorang hakim harus juga memperlajari
suatu atau beberapa disiplin ilmu lainnya diluar ilmu hukum. Dengan lain perkataan, disini
hakim membutuhkan verifikasi dan bantuan dari lain-lain disiplin ilmu. 13

PENGISIAN KEKOSONGAN HUKUM


A. Pengertian Kekosongan Hukum
Mengisi kekosongan hukum erat kaitannya dengan upaya penyelesaian hukum yang terjadi
ditengah masyarakat. Penyelesaian hukum itu berupa penerapan hukum dan pelaksanaan hukum
(penegakan hukum). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) cetakan kedua tahun
1989, “kekosongan adalah perihal (keadaan,sifat,dan sebagainya) kosong atau kehampaan”,
yang dalam kamus Hukum diartikan dengan Vacuum(Bld) yang diterjemahkan atau diartikan
sama dengan “kosong atau lowong”. 14
Dari penjelasan diatas, maka secara sempit “kekosongan hukum” atau rechts vacuum dapat
diartikan sebagai “suatu keadaan kosong atau ketiadaan peraturan perundang-undangan (hukum)
yang mengatur tata tertib(tertentu) dakam masyarakat”, sehingga kekosongan hukum dalam
Hukum Positif lebih tepat dikatakan sebagai kekosongan undang-undang/ peraturan perundang-
undangan. 15
Pengisian ruang kosong dalam Undang-undang oleh hakim baru dapat diterima dalam
bagian kedua abad 19. Scholten berpendapat bahwa hukum itu merupakan suatu system terbuka.
Pendapat ini timbul berdasarkan pertimbangan tentang pesatnya kemajuan dan pertumbuhan
masyarakat. Oleh karenanya dalam hukum yang ketinggalan itu terdapat banyak kekosongan di
dalam sistem hukum yang terpaksa harus diisi oleh hakim asalkan pengisian/penambahan itu

12
Prof. Dr. yudha Bhakti, Penafsiran dan kontruksi Hukum (Bandung : PT Alumni), 2000, hal. 12.
13
Ibid, hal. 12.
14
DR. H. Zainal Asikin, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta : Rajawali Pers), 2013, hal. 92
15
Ibid, hal. 93

10
tidak membawa perubahan prinsipal pada sistem hukum yang berlaku. Sebelum itu sistem
hukum dianggap sebagai kesatuan yang lengkap dan tertutup; diluar Undang-undang tidak ada
hukum dan hakim tidak boleh melaksanakan hukum yang tidak disebutkan di dalam Undang-
undang(aliran legisme). Bahwa hukum merupakan sistem terbuka tersebut dapat dimengerti
karena hukum sifatnya dinamis yang berkembang secara terus-menerus dalam suatu proses
perkembangan. Hal ini membawa konsekuensi bahwa hakim dapat bahkan mengisi leemten
(kekosongan) di dalam sistem hukum, asal penambahan tadi tidak mengubah sistem pada
pokonya. 16

B. Konstruksi Hukum Atau Penafsiran Analogis


Penafsiran analogis adalah penafsiran daripada suatu peraturan hukum dengan memberi
ibarat(kias) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga peristiwa yang
sebenarnya tidak dapat dimasukkan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut,
misalnya “menyambung aliran listrik” dianggap sama dengan “mengambil aliran listrik”.17
Dalam hal ini kita memakai Undang-undang secara analogi, maksudnya memperluas
berlakunya pengertian hukum atau perundang-undangan.
Adanya analogi, akibat dibutuhkan perluasan hukum dengan menyesuaikan tempat, waktu
dan situasi. Menganalogi merupakan penciptaan konstruksi baru, mempunyai kesamaan
permasalahan dengan anasir yang berlainan. Pada prinsipnya analogi berlaku untuk masalah-
masalah hukum perdata (privat), terutama sekali dalam hukum perikatan. Sedangkan untuk
hukum publik yang sifatnya memaksa tidak boleh dilakukan analogi karena terikat pada pasal 1
KUH Pidana. Pasal tersebut menegaskan, bahwa seseorang tidak dapat dihukum, selain atas
ketentuan-ketentuan pidana dalam undang-undang.
Contohnya : ketentuan peraturan perundang-undangan tentang perjanjian jual-beli berlaku
juga untuk perjanjian tukar-menukar seperti yang ditegaskan oleh pasal 1546 KUH Perdata, yang
berbunyi “Untuk selainnya aturan tentang perjanjian jual-beli berlaku terhadap perjanjian tukar-
menukar”. Dari pengertian pasal 1546 KUH Perdata itu kalau 2 orang melakukan perjanjian jual
beli yang diatur dalam pasal 1457 sampai pasal 1540 KUH Perdata dapat dipergunakan dalam
perjanjian itu.

16
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Sinar Grafika), 1992, hal. 110-111
17
Ibid, hal. 112

11
C. Penghalusan Hukum
Penghalusan hukum ialah memperlakukan hukum sedemikian rupa (secara halus) sehingga
seolah-olah tidak ada pihak yang disalahkan. Penghalusan hukum dengan cara mempersempit
berlakunya suatu pasal merupakan kebalikan daripada analogi hukum. Penghalusan hukum
bermaksud untuk mengisi kekosongan dalam sistem undang-undang. Dalam sistem undang-
undang terdapat ruangan kosong apabila sistem Undang-undang(sistem formal hukum) tidak
dapat menyelesaikan masalah secara adil atau sesuai dengan kenyataan sosial. Penghalusan
hukum merupakan penyempurnaan sistem hukum oleh hakim. 18
Sifat dari penghalusan hukum adalah tidak mencari kesalahan daripada pihak dan apabila
satu pihak disalahkan maka akan timbul ketegangan. Kadang-kadang hakim tidak dapat
menjalankan ketentuan tertentu, meskipun ketentuan itu menyebut dengan jelas perkara yang
diajukan kepada hakim. Jika ketentuan tersebut dijalankan maka perkara itu tidak terselesaikan
secara adil atau tidak sesuai dengan “werkelijkheid”/kenyataan didalam masyarakat.
Dalam hal yang demikian maka hakim terpaksa mengeluarkan perkara yang bersangkutan
dari lingkungan ketentuan dan selanjutnya diselesaikan menurut peraturan tersendiri. Perbuatan
mengeluarkan ini diberi nama menghaluskan hukum.
Contohnya: Mengenai masalah onrechtmatige daad (perbuatan melanggar hukum), pasal
1365 Perdata. Yang isinya “ Pihak yang salah wajib member ganti rugi kepada yang menderita
kerugian”.dalam hal ini misalnya:
- Disuatu jalan terjadi tabrakan antara A dan B. Kedua kendaraan sama-sama berkecepatan
tinggi dan sama-sama rusak. Apabila A menuntut ganti rugi terhadap B, maka B juga
dapat menuntut ganti rugi terhadap A. Dengan demikian kedua-duannya salah, sama-
sama saling member ganti rugi sehingga terjadi suatu kompensasi.
- Sebuah delman melewati persimpangan jalan dengan rel kereta api. Tabrakan terjadi
dalam keadaan pintu keadaan pintu kereta api tidak tertutup karena penjaga pintu kereta
api itu tidur dan delman tersebut lewat saja karena kusirnya mengantuk. Berdasarkan
penghalusan hukum penjaga pintu dan kusir delman diputuskan salah semua.
D. Argumentum A Contrario (Pengungkapan Secara Berlawanan)
Penafsiran a contrario adalah penafsiran Undang-Undang yang didasarkan atas
pengingkaran artinya berlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dengan soal yang diatur

18
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Sinar Grafika), 1992, hal. 114

12
dalam suatu pasal dalam Undang-undang. Berdasarkan pengingkaran ini ditarik kesimpulan
bahwa masalah perkara yang dihadapi tidak termasuk pasal yang dimaksud, masalhnya berada
diluar peraturan perundang-undangan. 19
Penafsiran a contrario bertolak belakang dengan penafsiran analogis yang juga merupakan
suatu kontruksi hukum dengan maksud untuk mengisi kekosongan dalam sistem Undang-
Undang. Pada hakikatnya penafsiran a contrario adalah sama dengan penafsiran analogis hanya
hasilnya berlawanan. Analogi membawa hasil positif, sedangkan penafsiran a contrario hasilnya
negative, kedua cara menjalankan Undang-Undang ini sama-sama berdasarkan kontruksi hukum.
Penafsiran berdasarkan argumentum a contrario mempersempit perumusan hukum atau
perundang-undangan. Tujuannya ialah untuk lebih mempertegas adanya kepastian hukum
sehingga tidak menimbulkan keraguan.
Perbedaan penggunaan Undang-Undang secara analogi dan berdasarkan argumentum a
contrario ialah :
- Menggunakan Undang-Undang secara analogi memperoleh hasil yang positif, sedangkan
argumentum a contrario memperoleh hasil negatif.
- Menggunakan Undang-Undang secara analogi adalah memperluas berlakunya ketentuan
hukum atau peraturan peraturan perundang-undangan, sedangkan secara a contrario
mempersempit berlakunya ketentuan Undang-Undang.

Dan adapun persamaannya ialah:

- Penggunaan Undang-Undang secara analogi dan argumentum a contrario sama-sama


berdasarkan kontruksi hukum.
- Kedua cara tersebut sama-sama dapat dipergunakan untuk menyelesaikan suatu
permasalahan.
- Kedua cara tersebut sama-sama diterapkan sewaktu pasal dalam peraturan perundang-
undangan tidak menyebut masalah yang dihadapi ( terdapat leemten didalam peraturan
perundang-undangan)
- Maksud dan tujuan antara kedua cara tersebut ialah sama-sama untuk mengisi
kekosongan di dalam undang-undang.

19
Ibid, hal. 115

13
Sebagai contoh penafsiran a contrario :20 Pasal 34 KUH Perdata menyatakan bahwa seorang
wanita tidak diperbolehkan kawin lagi sebelum lewat waktu 300 hari sejak saat perceraian.
Dalam pasal 39 peraturan Pemerintah No.9/1975 sebagai pelaksana UU no. 1/1974 tentang
perkawinan disebutkan bahwa waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam pasal
11 ayat (2) UU perkawinan karena kematian, 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari
apabila putus Karena perceraian.

Apakah seorang laki-laki juga harus menunggu waktu 300 hari? Tidak.

Berdasarkan argumentum a contrario (kebalikan) maka dapat dikatakan bahwa ketentuan ini
tidak berlaku bagi seorang laki-laki, karena soal yang dihadapi tidak diliputi oleh pasal yang
dalam Undang-Undang pasal 34 KUH Perdata tidak menyebutkan apa-apa tentang orang laki-
laki tetapi khusus ditujukan pada orang-orang perempuan.

BAB III

PENUTUP

20
Ibid, hal. 116

14
A. Kesimpulan
Penafsiran hukum adalah mencari dan menetapkan pengertian atas dalil-dalil yang tercantum
dalam undang-undang sesuai dengan yang dikehendaki serta yang dimaksud oleh pembuat
undang-undang. Penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi
penjelasan yang tidak jelas mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat
ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Macam-Macam Cara Penafsiran Hukum:
 Dalam pengertian subyektif dan obyektif
 Dalam pengertian sempit dan luas
Adapun macam-macam metode penafsiran yaitu sebagai berikut:
1) Penafsiran Tata Bahasa(gramatikal)
2) Penafsiran Sahih (autentik, resmi)
3) Penafsiran Historis
4) Penafsiran Sistematis
5) Penafsiran Sosiologis
6) Penafsiran Perbandingan
7) Penafsiran Interdispliner
8) Penafsiran Multidisipliner

Mengisi kekosongan hukum erat kaitannya dengan upaya penyelesaian hukum yang terjadi
ditengah masyarakat. Penyelesaian hukum itu berupa penerapan hukum dan pelaksanaan hukum
(penegakan hukum). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) cetakan kedua tahun
1989, “kekosongan adalah perihal (keadaan,sifat,dan sebagainya) kosong atau kehampaan”,
yang dalam kamus Hukum diartikan dengan Vacuum(Bld) yang diterjemahkan atau diartikan
sama dengan “kosong atau lowong”

Penafsiran analogis adalah penafsiran daripada suatu peraturan hukum dengan memberi
ibarat(kias) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga peristiwa yang
sebenarnya tidak dapat dimasukkan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut,
misalnya “menyambung aliran listrik” dianggap sama dengan “mengambil aliran listrik”.

Penghalusan hukum ialah memperlakukan hukum sedemikian rupa (secara halus) sehingga
seolah-olah tidak ada pihak yang disalahkan. Penghalusan hukum dengan cara mempersempit
berlakunya suatu pasal merupakan kebalikan daripada analogi hukum. Penghalusan hukum

15
bermaksud untuk mengisi kekosongan dalam sistem undang-undang. Dalam sistem undang-
undang terdapat ruangan kosong apabila sistem Undang-undang(sistem formal hukum) tidak
dapat menyelesaikan masalah secara adil atau sesuai dengan kenyataan sosial. Penghalusan
hukum merupakan penyempurnaan sistem hukum oleh hakim.

Penafsiran a contrario adalah penafsiran Undang-Undang yang didasarkan atas pengingkaran


artinya berlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dengan soal yang diatur dalam suatu
pasal dalam Undang-undang. Berdasarkan pengingkaran ini ditarik kesimpulan bahwa masalah
perkara yang dihadapi tidak termasuk pasal yang dimaksud, masalhnya berada diluar peraturan
perundang-undangan.

B. Saran

Penulis menyadari banyak sekali kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Penulis akan
memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman pada banyak sumber yang dapat
dipertanggung jawabkan. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran mengenai
pembahasan makalah dalam kesimpulan diatas.

DAFTAR PUSTAKA

16
Asikin,DR. H., Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : Rajawali Pers, 2013.
Bhakti, Prof. Dr. yudha, Penafsiran dan kontruksi Hukum. Bandung : PT Alumni, 2000.
Kansil, Drs. C.S.T , Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka,
1989.
Soeroso. R, Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 1992.

17

Anda mungkin juga menyukai