Anda di halaman 1dari 212

BAB I

PENDAHULUAN

Pada bab pertama ini, kita akan membahas beberapa prasyarat yang diperlukan untuk
mempelajari analisis real. Bagian 1.1 dan 1.2 kita akan mengulang sekilas tentang aljabar
himpunan dan fungsi, dua alat yang penting untuk semua cabang matematika.

Pada bagian 1.3 kita akan memusatkan perhatian pada metoda pembuktian yang
disebut induksi matematika. Ini berhubungan dengan sifat dasar sistem bilangan asli, dan
walaupun penggunaannya terbatas pada masalah yang khusus tetapi hal ini penting dan
sering digunakan.
1.1. Aljabar Himpunan

Bila A menyatakan suatu himpunan dan x suatu unsurnya, kita akan tuliskan dengan
x∈ A untuk menyingkat pernyataan x suatu unsur di A, atau x anggota A, atau x
termuat di A, atau A memuat x. Bila x suatu unsur tetapi bukan di A kita tuliskan dengan
x∉ A . Bila A dan B suatu himpunan sehingga x∈ A mengakibatkan x∈ B
(yaitu, setiap unsur di A juga unsur di B), maka kita katakan A termuat di B, atau B

memuat A atau A suatu subhimpunan dari B, dan dituliskan dengan A ⊆B atau

B ⊇ A . Bila A ⊆ B dan terdapat unsur sekurang kurangnya satu di B yang bukan


anggota A, maka kita katakan A adalah subhimpunan sejati dari B dengan A ⊂B

1.1.1. Definisi.
Dua himpunan A dan B dikatakan sama bila keduanya memuat unsur- unsur yang
sama. Bila himpunan A dan B sama, kita tuliskan dengan A=B

Untuk membuktikan bahwa A=B , maka kita harus menunjukkan bahwa

A ⊆B dan B ⊆ A
Suatu himpunan dapat dituliskan dengan mendaftar anggota-anggotanya, atau
dengan menyatakan sifat keanggotaan himpunan tersebut. Kata “sifat keanggotaan”
memang menimbulkan keraguan. Tetapi bila P menyatakan sifat keanggotaan (yang tak

bias artinya) suatu himpunan, kita akan tuliskan dengan { x|P( x) } untuk menyatakan
himpunan semua x yang memenuhi P. Notasi tersebut kita baca de- ngan “himpunan semua
x yang memenuhi (atau sedemikian sehinga) P”. Bila dirasa perlu menyatakan lebih khusus
unsur-unsur mana yang memenuhi P, kita dapat juga menuliskannya dengan

{ x ∈ S : P( x ) } untuk menyatakan sub himpunan S yang memenuhi P.


Beberapa himpunan tertentu akan digunakan dalam bukti ini, dan kita akan
menuliskannya dengan penulisan standar sebagai berikut :

Himpunan semua bilangan asli, N :={1,2,3 ,⋯} ,


Himpunan semua bilangan bulat
Ζ :={0,1,−1,2,−2,⋯} ,

Himpunan semua bilangan rasional, Q={m/n :m, n ∈ Z ,n≠0}


Himpunan semua bilangan real, R.

1.1.2. Contoh-contoh

a) Himpunan { x∈ N|x 2−3 x+2=0 } , menyatakan himpunan semua bilangan asli

yang memenuhi x 2−3 x +2=0 . Karena yang memenuhi hanya x=1 dan

x=2 , maka himpunan tersebut dapat pula kita tuliskan dengan {1,2} .

b) Sebuah bilangan asli n adalah Genap jika n=2 k , untuk k∈N .


Himpunan dari bilangan genap dapat dituliskan sebagai berikut

{ 2x|x∈N },

daripada { n∈N|n=2k ,k∈ N }. Hal tersebut juga sama untuk bilangan


ganjil dapat dituliskan dengan
{2 k−1: k ∈ N }
Operasi Himpunan
Sekarang kita akan mendefinisikan cara mengkonstruksi himpunan baru dari
himpunan yang sudah ada.
1.1.3. Definisi.
(a). Gabungan dari A dan B, dituliskan dengan A∪B , adalah himpunan yang
unsur-unsurnya paling tidak terdapat di salah satu A atau B. Dengan kata lain kita
mempunyai

A∪B={x|x∈A atau x∈B}.


(b). Bila A dan B suatu himpunan, maka irisan (= interseksi) dari A ⊂B
dituliskan dengan A∩B , adalah himpunan yang unsur-unsurnya terdapat di A

juga di B. Dengan kata lain kita mempunyai A∩B={x |x ∈A atau x∈B}.


(c). Komplemen dari A untuk B adalah Himpunan

A ¿ :={x : x ∈ A , dan , x ∉ B}

Gambar 1.

(a ) A∪B ,( b) A∩B ,(c ) A \B

1.1.4. Definisi.
Himpunan yang tidak mempunyai anggota disebut himpunan kosong, dituliskan
dengan { } atau ∅ . Bila A dan B dua himpunan yang tidak mempunyai un- sur

bersama (yaitu, A∩B=φ ), maka A dan B dikatakan saling asing atau disjoin.
Berikut ini adalah akibat dari operasi aljabar yang baru saja kita definisikan. Karena
buktinya merupakan hal yang rutin, ditinggalkan kepada pembaca sebagai latihan.

1.1.5. Teorema
Misalkan A,B dan C sebarang himpunan, maka
a)
A ∩ A=A , A ∪ A= A
b) A ∩ B=B ∩ A , A ∪ B=B ∪ A
c) ( A ∩ B ) ∩ C= A ∩ ( B ∩C ) , ( A ∪ B ) ∪C= A ∪(B ∪ C)
d) A ∩ ( B∪C )=( A ∩ B ) ∪ ( A ∩ C ) , A ∪ ( B ∩C )=( A ∪ B ) ∩(A ∪ C)

Kesamaan ini semua berturut-turut sering disebut sebagai sifat idempoten, komutatif,
asosiatif dan distributif, operasi irisan dan gabungan himpunan. Melihat kesamaan pada
teorema 1.1.4(c), biasanya kita tanggalkan kurung dan cukup ditulis dengan
A ∩ B∩ C, A ∪ B ∪C
Dimungkinkan juga untuk menunjukkan bahwa bila {A1,A2, ,An} merupakan koleksi
himpunan, maka terdapat sebuah himpunan A yang memuat unsur yang merupakan pa-
ling tidak unsur dari suatu Aj, j = 1,2,...,n ; dan terdapat sebuah himpunan B yang unsur-
unsurnya merupakan unsur semua himpunan Aj, j=1,2,...,n. Dengan menanggalkan kurung,
kita tuliskan dengan
A=A 1 ∪ A 2 ∪⋯ ∪ A n={ x|x ∈ A j untuk suatu j }

B= A 1 ∩ A2 ∩⋯ ∩ A n={ x|x ∈ A j untuk suatu j }

Untuk mempersingkat penulisan, A dan B di atas sering dituliskan dengan


n
A= ¿ A J
j=1
n
B= ¿ A J
j=1

Aj ¿ Aj
Secara sama, bila untuk setiap j unsur di J terdapat himpunan , maka j ∈J

menyatakan himpunan yang unsur-unsurnya paling tidak merupakan unsur dari salah satu

¿ Aj
Aj. Sedangkan j ∈J , himpunan yang unsur-unsurnya adalah unsur semua Aj untuk j∈J.
1.1.6. Definisi.
Bila A dan B suatu himpunan, maka komplemen dari B relatif terhadap A, dituliskan
dengan A ¿ (dibaca “A minus B”) adalah himpunan yang unsur-unsurnya adalah
semua unsur di A tetapi bukan anggota B. Beberapa penulis menggunakan notasi
A−B atau A B. Dari definisi di atas, kita mempunyai

A \B={x ∈A |x∉B}
Seringkali A tidak dinyatakan secara eksplisit, karena sudah dimengerti/disepakati.
Dalam situasi begini A ¿ sering dituliskan dengan C (B) .

1.1.7. Teorema

Bila A,B,C sebarang himpunan, maka A \ ( B ∪C ) = ( A \ B )∩( A \ C) ,


A \ ( B ∩ C ) = ( A \ B )∪(A \ C)
Bukti
Kita hanya akan membuktikan kesamaan pertama dan meninggalkan yang
kedua sebagai latihan bagi pembaca. Kita akan tunjukkan bahwa setiap unsur di A \
( B ∪ C ) termuat di kedua himpunan (A \ B) dan (A \ C), dan sebaliknya.
Bila x di A\(B∪C), maka x di A, tetapi tidak di B∪C. Dari sini x suatu unsure
di A, tetapi tidak dikedua unsur B atau C. (Mengapa?). Karenanya x di A tetapi tidak
di B, dan x di A tetapi tidak di C. Yaitu x ∈ A\B dan x ∈ A\C, yang menunjukkan
bahwa
x ∈( A \ B )∩( A \ C ).
Sebaliknya, bila x ∈ ( A \ B ) ∩ ( A \ C ), maka x ∈ ( A \ B ) dan x ∈ ( A \ C).
Jadi x ∈ A tetapi bukan anggota dari B atau C. Akibatnya x ∈ A dan x ∉ ( B ∪ C ),
karena itu x ∈ A \ ( B ∪ C ).
Karena himpunan (A \ B ) ∩ ( A \ C ) dan A \ ( B ∪ C ).memuat unsur-unsur
yang sama, menurut definisi 1.1.1 A \ ( B ∪ C ).= ( A \ B ) ∩ ( A \ C ).

Produk (Hasil Kali) Cartesius


Sekarang kita akan mendefenisikan produk Cartesius.
1.1.8. Defenisi
Bila A dan B himpunan-himpunan yang tak kosong, maka produk cartesius A×B

dari A dan B adalah himpunan pasangan berurut (a,b) dengan (a ∈ A ) dan b ∈


B.

Jadi bila A = {1,2,3 } dan B = { 4,5 } , maka


A×B = {(1,4 ),(1,5 ),(2,4 ),(2,5 ),(3,4 ),(3,5 )}
Latihan 1.1.
1. Gambarkan diagram yang menyatakan masing-masing himpunan pada Teorema
1.1.4.
2. Buktikan bagian (c) Teorema 1.1.4.
3. Buktikan bagian kedua Teorema 1.1.4 (d).
4. Buktikan bahwa A ⊆ B jika dan hanya jika A ∩ B = A.
5. Tunjukkan bahwa himpunan D yang unsur-unsurnya merupakan unsur dari tepat
satu himpunan A atau B diberikan oleh D = (A\B) ∪ (B\A). Himpunan D ini
sering disebut dengan selisih simetris dari A dan B. Nyatakan dalam diagram.
6. Tunjukkan bahwa selisih simetris D di nomor 5, juga diberikan oleh
D = ( A ∪ B ) \ ( A ∩ B ).
7. Bila A ⊆ B, tunjukkan bahwa B = A \ ( A \ B ).
8. Diberikan himpunan A dan B, tunjukkan bahwa A∩ B dan A \ B saling asing dan
bahwa A = ( A ∩ B ) ∪ ( A \ B ).
9. Bila A dan B sebarang himpunan, tunjukkan bahwa A ∩ B = A \ ( A \ B ).
10. Bila {A1, A2, ... , An} suatu koleksi himpunan, dan E sebarang himpunan,
tunjukkan bahwa
n n n n
E∩ ¿ A j = ¿ ( E∩ A j ),E∪ ¿ A j= ¿ (E∪ A j )
j=1 j=1 j=1 j=1
11. Bila {A1, A2, ... , An} suatu koleksi himpunan, dan E sebarang himpunan,
tunjukkan bahwa
n n n n
E∩ ¿ A j = ¿ ( E∩ A j ),E∪ ¿ A j= ¿ (E∪ A j )
j=1 j=1 j=1 j=1
12. Misalkan E sebarang himpunan dan {A1, A2, ... , An} suatu koleksi himpunan,
Buktikan Hukum De Morgan
n n n n
E ¿ A j = ¿ ( E ¿ j ), E ¿ A j= ¿ ( E ¿ j )
j=1 j=1 j=1 j=1
Catatan bila E\Aj dituliskan dengan C(Aj), maka kesamaan di atas mempunyai
bentuk
n n n n

( j=1
) j=1 ( )
ℓ intersect A j = ¿ ℓ( A j ),ℓ ¿ A j =intersect ℓ ( A j )
j=1 j=1

13. Misalkan J suatu himpunan dan untuk setiap j ∈ J, Aj termuat di E. Tunjukkan


bahwa

ℓ intersect A j = ¿ ℓ ( A j ) ,ℓ ( ¿ A j )=intersect ℓ ( A j )
( j=J ) j=J j=J j=J
14. Bila B1 dan B2 subhimpunan dari B dan B = B1 ∪ B2, tunjukkan bahwa
A×B = ( A×B1 )∪( A×B 2 ) .

1.2. FUNGSI
Sekarang kita kembali mendiskusikan gagasan fundamental suatu fungsi atau
pemetaan. Akan kita lihat bahwa fungsi adalah suatu jenis khusus dari himpunan,
walaupun terdapat visualisasi lain yang sering lebih bersifat sugesti. Semua dari
bagian terakhir ini akan banyak mengupas jenis-jenis fungsi, tetapi sedikit abstrak di-
bandingkan bagian ini. Bagi matematikawan abad terdahulu kata “fungsi” biasanya berarti
rumus tertentu, seperti
2
f (x )=x +3 x−5

yang bersesuaian dengan masing-masing bilangan real x dan bilangan lain f(x). Mung- kin

juga seseorang memunculkan kontroversi, apakah nilai mutlak h( x)=|x| dari suatu

bilangan real merupakan “fungsi sejati” atau bukan. Selain itu definisi |x| diberikan
pula dengan

Dengan berkembangnya matematika, semakin jelas bahwa diperlukan definisi fungsi


yang lebih umum. Juga semakin penting untuk kita membedakan fungsi sendiri den- gan
nilai fungsi itu. Di sini akan mendefinisikan suatu fungsi dan hal ini akan kita la- kukan
dalam dua tahap.

Definisi Pertama :

Suatu fungsi f dari himpunan A ke himpunan B adalah aturan korespondensi yang


memasangkan masing-masing unsur x di A secara tunggal dengan unsur f(x) di B. Definisi
di atas mungkin saja tidak jelas, dikarenakan ketidakjelasan frase “aturan korespondensi”.
Untuk mengatasi hal ini kita akan mendefinisikan fungsi dengan menggunakan himpunan
seperti yang telah dibahas pada bagian sebelumnya.
Dengan pendefinisian ini dapat saja kita kehilangan kandungan intuitif dari definisi
terdahulu, tetapi kita dapatkan kejelasan. Ide dasar pendefinisian ini adalah memikirkan
gambar dari suatu fungsi; yaitu, suatu korelasi dari pasangan berurut. Bila kita perhatikan
tidak setiap koleksi pasangan berurut merupakan gambar suatu fungsi, karena sekali unsur
pertama dalam pasangan berurut diambil, unsur keduanya ditentukan secara tunggal.

1.2.1. Definisi.
Misalkan A dan B himpunan suatu fungsi dari A ke B adalah himpunan pasangan
berurut f di A ¿ B sedemikian sehingga untuk masing-masing a ∈ A terdapat
b ∈ B yang tunggal dengan (a , b),(a , b ’) ∈ f , maka b=b ’.
Himpunan A dari unsur-unsur pertama dari f disebut daerah asal atau
“domain” dari f, dan dituliskan D(f). Sedangkan unsur-unsur di B yang menjadi
unsur kedua di f disebut “range” dari f dan dituliskan dengan R(f). Notasi
f : A→ B
menunjukkan bahwa f suatu fungsi dari A ke B; akan sering kita katakan bahwa
f suatu pemetaan dari A ke dalam B atau f memetakan A ke dalam B. Bila (a,b)
suatu unsur di f, sering ditulis dengan
b=f ( a) Atau kadang kadang a ↦ b

Gambar 2. Fungsi sebagai sebuah Grafik

Jika b=f ( a) , kita sering mengarahkan b sebagai nilai dari f di a, atau sebagai

bayangan dari a di bawah f


Pembatasan dan Perluasan Fungsi
Bila f suatu fungsi dengan domain D(f) dan D1 suatu subhimpunan dari D(f),
seringkali bermanfaat untuk mendefinisikan fungsi baru f1 dengan domain D1 dan f1(x)
= f(x) untuk semua x ∈ D1. Fungsi f1 disebut pembatasan fungsi f pada D1. Menurut
definisi 1.2.1, kita mempunyai
f 1 = {( a , b ) ∈ f|a∈ D 1 }
Kadang-kadang kita tuliskan f1 = f D1 untuk menyatakan pembatasan fungsi f pada
himpunan D1. Konstruksi serupa untuk gagasan perluasan. Bila suatu fungsi dengan domain
D(g) dan D2 ⊇ D(g), maka sebarang fungsi g2 dengan domain D2 sedemikian sehingga

g2 ( x )=g ( x ) untuk semua x ∈ D(g) disebut perluasan g pada himpunan D .


2

Bayangan Langsung dan Bayangan Invers


Misalkan f : A→ B suatu fungsi dengan domain A dan range B.

1.2.2. Definisi
Bila E subhimpunan A, maka bayangan langsung dari E terhadap f adalah sub
himpunan f(E) dari B yang diberikan oleh
f (E )= { f ( x ): x ∈ E }
Bila H subhimpunan E, maka bayangan invers dari H terhadap f adalah
-1
subhim- punan f (H) dari A, yang diberikan oleh
1
f ( H )={x ∈ A :f ( x )∈ H }
Jadi bila diberikan himpunan E ⊆ A, maka titik y1 ∈ B di bayangan langsung f(E)

jika dan hanya jika terdapat paling tidak sebuah titik x 1∈ E sedemikian sehingga

y 1 =f ( x 1 ) . Secara sama, bila diberikan H ⊆ B , titik x2 ∈ A di dalam bayangan

invers f 1 ( H ) jika dan hanya jika y 2 =f ( x 2 ) di H.

Gambar 3. Bayangan Langsung dan Bayangn Invers


1.2.3. Contoh

(a). Misalkan f : R→ R didefinisikan dengan f (x )=x 2 . Bayangan langsung

himpunan E={x|0≤x≤2} adalah himpunan f (E)={y|0≤ y≤4} . Bila

G={y|0≤y≤4} maka bayangan invers G adalah himpunan

f 1 (G)={x|−2≤x≤2} 1
. Jadi f (f ( E ))≠E .

-1
Disatu pihak, kita mempunyai f(f (G)) = G. Tetapi bila H={y|−1≤ y≤1} , maka
-1
kita peroleh f(f (H)) = {x 0 ≤ x ≤ 1} ≠ H.

(b). Misalkan f : A → B, dan G,H subhimpunan dari B kita akan tunjukkan


bahwa

f 1 (G∩H )⊆ f 1 (G)∩f 1 (H )

Kenyataannya, bila x ∈ f 1 (G∩H ) maka f (x )∈G∩H , jadi f (x )∈G dan

f (x )∈ H . Hal ini mengakibatkan x ∈ f 1 (G ) dan x ∈ f 1 (H ) . Karena itu

x ∈ f 1 (G )∩f 1 ( H ) , bukti selesai. Sebaliknya, f 1 (G∩H )⊇ f 1 (G)∩f 1 (H )


juga benar, yang buktinya ditinggalkan sebagai latihan.

SIFAT-SIFAT FUNGSI
1.2.4. Definisi.

Suatu fungsi f : A−→ B dikatakan injektif atau satu-satu bila x1 ≠ x2,

mengakibatkan f (x 1 )≠f ( x 2 ) . Bila f satu-satu, kita katakan f suatu

injeksi. Secara ekivalen, f injektif jika dan hanya jika f (x1) = f (x2)

mengakibatkan x 1=x 2 , untuk semua x 1 ,x 2 di A.

Sebagai contoh, misalkan A={x∈ R|x≠1} dan f : A−→ R dengan

x
f (x )= x 1 ,x 2 di A sehingga
x−1 . Untuk menunjukkan f injektif, asumsikan f

x1 x2
=
(x1) = f (x2). Maka kita mempunyai x 1 −1 x 2 −1 yang mengakibatkan (mengapa?)

x1 x2
=
bahwa x 1 −1 x 2 −1 dan dari sini x 1=x 2 . Karena itu adalah f injektif.
1.2.5. Definisi

Suatu fungsi f : A→ B dikatakan surjektif atau memetakan A pada B, bila

f ( A )=B . Bila f surjektif, kita sebut f suatu surjeksi. Secara ekivalen,


f : A→ B surjektif bila range f adalah semua dari B, yaitu untuk setiap y ∈ B

terdapat x ∈ A sehingga f (x )= y .
Dalam pendefinisian fungsi, penting untuk menentukan domain dan himpunan
dimana nilainya diambil. Sekali hal ini ditentukan, maka dapat menanyakan apakah fungsi
tersebut surjektif atau tidak.
1.2.6. Definisi

Suatu fungsi f : A−→ B dikatakan bijektif bila bersifat injektif dan surjektif. Bila
f bijektif, kita sebut bijeksi.
Contoh
2x
f (x )=
Misalkan A :={x ∈ R : x≠1} dan ( x−1) untuk semua x ∈ A . Untuk

menunjukkan f adalah fungsi satu-satu ( Injektif ), kita memiliki x 1 dan x 2 di

2 x1 2 x2
=
f ( x 1 )=f ( x 2 ) x 1 −1 x 2 −1
A dan kita asumsikan bahwa , maka kita memiliki

Maka secara tidak langsung x 1 ( x 2−1 )=x 2 ( x 1 −1) , dan oleh sebab itu x 1=x 2 .

Oleh karena itu f adalah fungsi satu-satu(injektif)


2x
y=
Untuk menentukan range f , kita harus menyelesaikan persamaan x−1

y
x=
untuk x pada y . Kemudian kita memperoleh y−2 , dimana y≠2 . Maka

range dari f adalah himpunan B :={ y ∈ R : y≠2} . Maka f adalah fungsi bijectif
dari A pada B.

FUNGSI-FUNGSI INVERS

Bila f suatu fungsi dari A ke B, (karenanya, subhimpunan khusus dari A×B),


maka himpunan pasangan berurut di B×A yang diperoleh dengan saling menukar unsur

pertama dan kedua di f secara umum bukanlan fungsi. Tetapi, bila f injektif, maka

penukaran ini menghasilkan fungsi yang disebut invers dari f .


1.2.7. Definisi

Misalkan f : A−→ B suatu fungsi injektif dengan domain A dan range R(f )

di B. Bila g={(b ,a)∈B× A|(a,b)∈f } maka g fungsi injektif dengan domain

D( g)=R(f ) ) dan range A. Fungsi G disebut fungsi invers dari f dan


1
dituliskan dengan f .
1
Dalam penulisan fungsi yang standar, fungsi f berelasi dengan f sebagai berikut :
1
y=f ( y ) jika dan hanya jika y=f ( x ) . Sebagai contoh, kita telah melihat bahwa

x
f (x )=
fungsi x−1 didefinisikan untuk x∈ A={x|x≠1} bersifat injektif. Tidak jelas

apakah range dari f semua (atau hanya sebagian) dari R. Untuk menentukannya kita

x y
y= x=
selesaikan persamaan x−1 dan diperoleh y−1 . Dengan informasi ini, kita

dapat yakin bahwa rangenya R(f )={y|y≠1} dan bahwa fungsi invers dari f

y
f 1 ( y)=
mempunyai domain {y|y≠−1} dan y−1 . Bila suatu fungsi injektif, maka
1
fungsi inversnya juga injektif. Lebih dari itu fungsi invers dari f adalah f sendiri.
Buktinya ditinggalkan sebagai latihan.

FUNGSI KOMPOSISI

Sering terjadi kita ingin mengkomposisikan dua buah fungsi denga mencari f (x )

terlebih dahulu, kemudian menggunakan g untuk memperoleh g(f (x )) , tetapi hal ini

hanya mungkin bila f (x ) ada di domain g . Jadi kita harus mengasumsikan bahwa

range dari f termuat di domain g .


Gambar 4. Komposisi dari f dan g

1.2.8. Definisi

Untuk fungsi f : A→ B dan g :B−C , komposisi fungsi g∘ f (perhati


kan urutannya!) adalah fungsi dari A ke C yang didefinisikan dengan

g∘ f ( x )=g (f ( x )) untuk x ∈ A.
1.2.9. Contoh

(a). Urutan komposisi harus benar-benar diperhatikan. Misalkan f dan g

fungsi-fungsi yang nilainya di x ∈ R ditentukan oleh

f (x )=2 x , g( x )=3 x 2 −1

Karena D( g ) = R dan R( f ) ⊆ R, maka domain D( g∘ f ) adalah juga R, dan

fungsi komposisi g∘ f ditentukan oleh

g∘ f ( x )=3 (2 x )2 −1=12 x 2 −1
Di lain pihak, domain dari fungsi komposisi gof juga R, tetapi dalam hal ini kita

mempunyai f ∘ g( x )=2(3 x 2 −1)=6 x 2 −2 . Jadi f ∘ g≠g ∘ f .

(b). Beberapa perhatian harus dilatih agar yakin bahwa range dari f termuat di

domain dari g . Sebagai contoh, bila f (x )=1−x 2 dan y=√ x , maka fungsi

komposisi yang diberikan oleh g∘ f ( x )= √1−x2 didefinisikan hanya pada x di

D( f ) yang memenuhi f (x )≥0 ; yaitu, untuk x memenuhi -1 ≤ x ≤ 1. Bila kita

tukar urutannya, maka komposisi f ∘ g , diberikan oleh g∘ f ( x )==1−x ,


didefinisikan untuk semua x di domain dari g; yaitu himpunan {x ∈ R : x ≥ 0}.

Teorema berikut memperkenalkan hubungan antara komposisi fungsi dan petanya.


Sedangkan buktinya ditinggalkan sebagai latihan.

1.2.10. Teorema

Misalkan f : A−→ B dan g :B−→C fungsi dan H suatu subhimpunan dari C.


−1 −1 −1
Maka (f ∘ g) ( H )=g (f ( H ))

Sering terjadi bahwa komposisi dua buah fungsi mewarisi sifat-sifat fungsi yang
didefinisikan. Berikut salah satunya dan buktinya ditinggalkan sebagai latihan.

1.2.11. Teorema

Bila f : A−→ B dan g :B−→C keduanya bersifat injektif, maka komposisi

g∘ f juga bersifat injektif.


BARISAN
Fungsi dengan N sebagai domain memainkan aturan yang sangat khusus dalam
analisis, yang kita akan perkenalkan berikut ini.

1.2.12. Definisi
Suatu barisan dalam himpunan S adalah suatu fungsi yang domainnya himpunan
bilangan asli N dan rangenya termuat di S.

Untuk barisan X : N−→S , nilai X di n∈N sering dituliskan dengan xn daripada


(xn), dan nilainya sering disebut suku ke-n barisan tersebut. Barisan itu sendiri sering

dituliskan dengan
( x n|n∈N ) atau lebih sederhana dengan (xn). Sebagai contoh, barisan di

R yang dituliskan dengan ( √ n|n∈ N ) sama artinya dengan fungsi X : N−→R dengan

X (n)=√ n .

Penting sekali untuk membedakan antara barisan


( x n|n∈N ) dengan nilainya

( x n|n∈N ) , yang merupakan subhimpunan dari S. Suku barisan harus dipandang


mempunyai urutan yang diinduksi dari urutan bilangan asli, sedangkan range dari barisan
hanya merupakan subhimpunan dari S. Sebagai contoh, suku-suku dari barisan
n
((−1) |n∈ N) berganti-ganti antara -1 dan 1, tetapi range dari barisan itu adalah {-1,1},
memuat dua unsur dari R.

Latihan 1.2.

1. Misalkan A=B={x ∈R|−1≤x≤1} dan sub himpunan C={( x, y)|x 2 + y 2 =1}


dari A×B, apakah himpunan ini fungsi ?

2. Misalkan f fungsi pada R yang didefinisikan dengan f (x )=x 2 , dan


E={x∈ R|−1≤x≤0} dan F={x ∈R|0≤x≤1} . Tunjukkan bahwa

E∩F={0} dan f (E∩F )={0} sementara f (E)=f ( F)={y ∈R|0≤ y≤1} .

Di sini f (E∩F ) adalah subhimpunan sejati dari f (E )∩f ( F ) . Apa yang


terjadi bila 0 dibuang dari E dan F?

3. Bila E dan F seperti latihan no. 2, tentukan E\F dan f (E )¿( F ) dan tunjukkan

bahwa f (E \F )≤f ( E )¿ (F ) salah.

4. Tunjukkan bahwa bila f : A→ B dan E,F sub himpunan dari A, maka

f (E∪F )=f ( E )∪f (F ) dan f (E∩F )=f ( E )∩f (F )

5. Tunjukkan bahwa bila f : A→ B dan G,H sub himpunan dari B, maka

f 1 (G∪H )=f 1 (G)∪f 1 (H ) dan f 1 (G∩H )≤f 1 (G)∩f 1 (H )


x
f (x )= ,x ∈R
6. Misalkan f didefinisikan dengan √ x 2 +1 . Tunjukkan bahwa

f bijektif dari R pada {y :−1≤ y≤1}

7. Untuk a,b ∈R dengan a < b, tentukan bijeksi dari A={x|a<x<b} pada

B={y|0<y<1}
8. Tunjukkan bahwa bila f : A→ B bersifat injektif dan E ⊆ A, maka f 1 (f ( E ))

.Berikan suatu contoh untuk menunjukkan kesamaan tidak dipenuhi bila f tidak
injektif.

9. Tunjukkan bahwa bila f : A→ B bersifat surjektif dan H ⊆ B, maka f (f 1 ( H ))

. Berikan suatu contoh untuk menunjukkan kesamaan tidak dipenuhi bila f tidak
surjektif.
1
10. Buktikan bahwa bila f injeksi dari A ke B, maka f ={(b, a)|(a, b)∈ f } suatu

fungsi dengan domain R( f ). Kemudian buktikan bahwa f 1 injektif dan f


1
invers dari f
1
11. Misalkan f bersifat injektif. Tunjukkan bahwa f ∘ f ( x )=x , untuk semua x ∈
D( f ) dan f ∘ f 1 ( y )= y untuk semua y ∈ R( f ).
12. Berikan contoh dua buah fungsi f , g dari R pada R sehingga f ≠ g ,

tetapi f ∘ g=g ∘ f
13. Buktikan teorema 1.2.10.
14. Buktikan teorema 1.2.11.

15. Misalkan f , g fungsi dan g o f (x) = x untuk semua x di D( f ).

Tunjukkan bahwa f injektif dan R( f ) ⊆ D( f ) dan R( g ) ⊇ D( g ).

16. Misalkan f , g fungsi dan g o f (x) = x untuk semua x di D( f ) dan

f ∘ g( y) untuk semua y di D( g ). Buktikan bahwa g=f 1

1.3. Induksi Matematika

Induksi matematika merupakan metode pembuktian penting yang akan sering


digunakan dalam buku ini. Metode ini digunakan untuk menguji kebenaran suatu pernyataan
yang diberikan dalam suku-suku bilangan asli. Walau kegunaannya terbatas pada masalah
tertentu, tetapi induksi matematika sangat diperlukan disemua cabang matematika. Karena
banyak bukti induksi mengikuti urutan formal argumen yang sama, kita akan sering
menyebutkan “hasilnya mengikuti induksi matematika” dan meninggalkan bukti lengkapnya
kepada pembaca. Dalam bagian ini kita membahas prinsip induksi matematika dan memberi
beberapa contoh untuk mengilustrasikan bagaimana proses bukti induksi.
Kita akan mengasumsikan kebiasaan (pembaca) dengan himpunan bilangan asli N =
{1,2,3,...} dengan operasi aritmetika penjumlahan dan perkalian seperti biasa dan dengan
arti suatu bilangan kurang dari bilangan lain. Kita juga akan mengasumsikan sifat funda-
mental dari N berikut.

1.3.1. Sifat urutan dengan baik dari N.


Setiap subhimpunan tak kosong dari N mempunyai unsur terkecil. Pernyataan yang
lebih detail dari sifat ini sebagai berikut : bila S subhimpunan dari N dan s ≠ ∅ , maka
terdapat suatu unsur m∈ S sedemikian sehingga m ≤k untuk semua k ∈ S. Dengan berdasar
sifat urutan dengan baik, kita akan menurunkan suatu versi prinsip induksi matematika
yang dinyatakan dalam suku-suku subhimpunan dari N. Sifat yang dideskripsikan dalam
versi ini kadang-kadang mengikuti turunan sifat N.
1.3.2. Prinsip Induksi Matematika.
Misalkan S sub himpunan dari N yang mempu- nyai sifat
i. 1 ϵ S
ii. Jika k ∈ S., maka k +1 ∈ S.
maka S = N.
Bukti :

Andaikan S ≠ N . Maka N\S tidak kosong, karenanya berdasar sifat urutan dengan
baik N\S mempunyai unsur terkecil, sebut m. Karena 1 ∈ S, maka m≠ 1. Karena itu m
> 1 dengan m−1 juga bilangan asli. Karena m - 1 < m dan m unsur terkecil di N\S,
maka m−1 haruslah di S.
Sekarang kita gunakan hipotesis (2) terhadap unsur k =m−1 di S, yang
berakibat k +1=( m−1)+1=m di S. Kesimpulan ini kontradiksi dengan pernyataan
bahwa m tidak di S. Karena m diperoleh dengan pengandaian bahwa N ¿ tidak
kosong, kita dipaksa pada kesimpulan bahwa N ¿ kosong. Karena itu kita telah
buktikan bahwa S=N .
Prinsip induksi matematika sering dinyatakan dalam kerangka sifat atau per-
nyataan tentang bilangan asli. Bila P(n) berarti pernyataan tentang n ∈ N , maka P(n) benar
untuk beberapa nilai n, tetapi tidak untuk yang lain. Sebagai contoh, bila P(n) pernyataan “
n 2=n”, maka P(1) benar, sementara P(n) salah untuk semua n ≠ 1, n ∈ N . Dalam
konteks ini prinsip induksi matematika dapat dirumuskan sebagai berikut :

Untuk setiap n ∈ N , misalkan P(n) pernyataan tentang n. Misalkan bahwa

(a). P(1) benar

(b). Jika P(k) benar, maka P(k + 1) benar.


Maka P(n) benar untuk semua n ∈ N .

Dalam kaitannya dengan versi induksi matematika terdahulu yang diberikanpada


1.3.2, dibuat dengan memisalkan S={n ∈ N Ι P( n)b e n a r }. Maka kondisi (1) dan (2) pada
1.3.2 berturut-turut tepat bersesuaian dengan (a) dan (b). Kesimpulan S = N pada 1.3.2.
bersesuaian dengan kesimpulan bahwa P(n) benar untuk semua n ∈ N . Dalam (b) asumsi
“jika P(k) benar” disebut hipotesis induksi. Di sini, kita tidak memandang pada benar atau
salahnya P(k), tetap hanya pada validitas implikasi “jika P(k) benar, maka P(k+1) benar”.
Sebagai contoh, bila kita perhatikan pernyataan P(n) :n=n+5, maka (b) benar. Implikasinya
“bila k = k + 5, maka k +1=k +6” juga benar, karena hanya menambahkan 1 pada kedua
ruas. Tetapi, karena pernyataan P(1) : 1 = 2 salah, kita tidak mungkin menggunakan induksi
matematika untuk meny- impulkan bahwa n = n + 5 untuk semua n ∈ N .
Contoh-contoh berikut mengilustrasikan bagaimana prinsip induksi matematika
bekerja sebagai metode pembuktian pernyataan tentang bilangan asli.

1.3.3. Contoh
(a). Untuk setiap n ∈ N , jumlah n pertama bilangan asli diberikan oleh
1
1+2+⋯+n= n (n+1)
2
Untuk membuktikan kesamaan ini, kita2 misalkan S himpunan n ∈ N , sehingga ke
samaan tersebut benar. Kita harus membuktikan kondisi (1) dan (2) pada 1.3.2.

1
dipenuhi. Bila n = 1, maka kita mempunyai 1= 1(1+1) , jadi 1 ∈ S dan dengan
2
asumsi ini akan ditunjukkan k +1 ∈ S. Bila kϵ S, maka kita mempunyai
1
1+2+⋯+k = ( k +1 )
2 (*)
Bila kita tambahkan k+1 pada kedua ruas, kita peroleh
1
1+2+…+k +(k +1)= k (k +1 )+(k +1 )
2
1
= ( k +1)(k +2)
2
Karena ini menyatakan kesamaan di atas untuk n=k +1, kita simpulkan bahwa
k+1 ∈ S. Dari sini kondisi (2) pada 1.3.2. dipenuhi. Karena itu dengan prinsip
induksi matematika, kita simpulkan bahwa S = N dan kesamaan (*) benar untuk
semua
n ∈ N.(b). Untuk masing-masing n N, jumlah kuadrat dari n pertama bilangan
asli diberikan oleh
1
12 +22 +…+n2 = n(n+1 )(2 n+1)
6
Untuk membuktikan kebenaran formula ini, pertama kita catat bahwa formula ini

6
1
12= 1(1+1)(2+1)
benar untuk n = 1, karena 6 ). Bila kita asumsikan formula ini
2
benar untuk k, maka dengan menambahkan (k+1) pada kedua ruas, memberikan
hasil
1
12 +22 +⋯+(k +1 )2= k (k +1 )(2 k +1)+( k +1)2
6
1
= (k +1 )(2 k 2 +k +6 k +6 )
6
1
= (k +1 )(k +2)(2 k +3 )2
6
Mengikuti induksi matematika, validitas formula di atas berlaku untuk semua n
n
∈ N. (c). Diberikan bilangan a,b, kita akan buktikan bahwa a - b faktor dari a -
n
b untuk semua n ∈ N. Pertama kita lihat bahwa pernyataan ini benar untuk n
k k
= 1. Bila sekarang kita asumsikan bahwa a - b adalah faktor dari a - b , maka kita
tuliskan
a k+1 −b k +1 =a k +1−abk + abk −b k +1

=a (ak −b k )+bk (a−b ) ).

k k
Sekarang berdasarkan hipotesis induksi a-b merupakan faktor dari a(a -b ). Disamp-

ing itu a−b juga faktor dari b k (a−b ) Dari sini a−b adalah dari a k+1 −b k+1 .

Dengan in- duksi matematika kita simpulkan bahwa a−b adalah faktor dari an −b n
untuk semua n ∈ N.

(d). Ketaksamaan 2n ≤(n+1 )! . Dapat dibuktikan dengan induksi matematika


sebagai berikut. Pertama kita peroleh bahwa hal ini benar untuk n = 1. Kemudian
n
kita asumsi- kan bahwa 2 ≤(n+1 )! .Dan dengan menggunakan fakta bahwa
2≤k +2 , diperoleh
k+1 k
2 = 2.2 ¿ 2(k+1)! ¿ (k+2)(k+1)! = (k+2)!

Jadi, bila ketaksamaan tersebut berlaku untuk k, maka berlaku pula untuk
k+1.
Karenanya dengan induksi matematika, ketaksamaan tersebut benar untuk semua n ∈ N.
(e). Bila r ∈ R, r ¿ 1 dan n ∈

N, maka
n+1
2 1−rn
1+r +r +⋯+ r =
1−r

Ini merupakan jumlah n suku deret geometri, yang dapat dibuktikan dengan

2
1−r
1+r=
induksi matematika sebagai berikut. Bila n = 1, kita mempunyai 1−r ,
jadi formula tersebut benar. Bila kita asumsikan formula tersebut benar untuk n = k
k+1
dan tambahkan r pada kedua ruas, maka kita peroleh

1−r n+1 k +1 1−r k +2


1+r +r 2 +⋯+ r k +r k +1 = +r =
1−r 1−r

k 1

yang merupakan formula kita untuk n = k + 1. Mengikuti prinsip induksi


matematika, maka formula tersebut benar untuk semua n ∈ N.
Hal ini dapat dibuktikan tanpa menggunakan prinsip induksi matematika. Bila kita
2 n 2 n+1
misalkan S n =1+r +r +…+ r , maka rS n =r +r +…+ r
n+1
Jadi (1−r )Sn=S n−rSn =1−r

Bila kita selesaikan untuk Sn, kita peroleh formula yang sama.

(f). Penggunaan prinsip induksi matematika secara ceroboh dapat menghasilkan ke-
simpulan yang salah. Pembaca diharap mencari kesalahan pada “bukti teorema”
beri- kut.
Bila n sebarang bilangan asli dan bila maksimum dari dua bilangan asli p dan q
adalah n, maka p = q. (Akibatnya bila p dan q dua bilangan asli sebarang, maka p =
q).

Bukti :
Misalkan S subhimpunan bilangan asli sehingga pernyataan tersebut benar. Maka 1
∈ S, karena bila p,q di N dan maksimumnya 1, maka maksimum dari p-1 dan q-1
adalah k. Karenanya p-1 = q-1, karena k ∈ S, dan dari sini kita simpulkan bahwa p
= q. Jadi, k+1 ∈ S dan kita simpulkan bahwa pernyataan tersebut benar
untuk semua n ∈ N.
(g). Beberapa pernyataan yang benar untuk beberapa bilangan asli, tetapi tidak untuk
2
semua. Sebagai contoh formula P(n) = n - n + 41 memberikan bilangan prima untuk
n =1,2,3,...41. Tetapi, P(41) bukan bilangan prima.
Terdapat versi lain dari prinsip induksi matematika yang kadang-kadang sangat
berguna. Sering disebut prinsip induksi kuat, walaupun sebenarnya ekivalen dengan versi
terdahulu. Kita akan tinggalkan pada pembaca untuk menunjukkan ekivalensinya dari
kedua prinsip ini.
1.3.4. Prinsip Induksi Kuat

Misalkan S subhimpunan N sedemikian sehinga 1 ∈ S, dan bila {1,2 ,…, k }⊆S

maka k +1 ∈ S . Maka S=N .

Latihan 1.3
Buktikan bahwa yang berikut berlaku benar untuk semua n ∈ N,
1 1 1 n
+ +…+ =
1. 1 . 2 2. 3 n (n+1) n+1
2
1
2.
3 3
2
3
1 +2 +…+n = n(n+1)
[ ]
(n+1 )
12−22 +32 −…+(−1) n+1 n
3. 2

4. n3 + 5 n dapat dibagi dengan 6

5. 52 n−1 dapat dibagi dengan 8

6. 5n −4 n−1 habis dibagi 16


7. Buktikan bahwa jumlah pangkat tiga dari bilangan asli yang berturutan n, n+1, n
+ 2 habis dibagi 9
8. Buktikan bahwa n < 2n untuk semua n ∈ N

9. Buktikan bahwa n3 +(n+1 )3 +( n+2)3 adalah dapat dibagi 9 untuk semua


n∈N
10. Tentukan suatu formula untuk jumlah
1 1 1
+ +…+
1 . 3 3 .5 (2 n−1 )(2n+1)
dan buktikan dugaan tersebut dengan mengunakan induksi matematika. (Dugaan
terhadap pernyataan matematika, sebelum dibuktikan sering disebut
“Conjecture”).
11. Tentukan suatu formula untuk jumlah n bilangan ganjil yang pertama
1 + 3 + ... + (2n - 1)
kemudian buktikan dugaan tersebut dengan menggunakan induksi matematika
12. . Buktikan variasi dari 1.3.2. berikut : Misalkan S sub himpunan tak kosong dari
N sedemikian sehingga untuk suatu n0 ∈ N berlaku (a). n0 ∈ S, dan (b) bila k ≥ n0

dan k ∈ S, maka k + 1 ∈ S. Maka S memuat himpunan


{n∈ N|n≥n 0 }
n
13. Buktikan bahwa n<2 , untuk semua n ∈ N
14. Buktikan bahwa 2n < n! untuk semua n ≥ 4, n ∈ N. (lihat latihan 11).
15. Buktikan bahwa 2n - 3 ≤ 2n-2 untuk semua n ≥ 5, n ∈ N. (lihat latihan 11).
16. Untuk bilangan asli yang mana n2 < 2n ? Buktikan pernyataanmu (lihat latihan
11).

17. Temukan bilangan asli terbesar m dimana n3 −n dapat dibagi oleh m untuk
n ∈ N . Buktikan pernyataanmu !
1 1 1
+ +…+ > √ n
18. Buktikan bahwa √1 √ 2 √n untuk semua n ∈ N.
19. Misalkan S sub himpunan dari N sedemikian sehingga (a). 2k ∈ S untuk semua
k ∈ N, dan (b). bila k ∈ S, dan k ≥ 2, maka k - 1 ∈ S. Buktikan S = N.
20. Misalkan barisan (xn) didefinisikan sebagai berikut : x1 = 1, x2 = 2 dan

1
x n+2= ( x n+1 +x n )
2 untuk n ∈ N. Gunakan prinsip induksi kuat 1.3.4 untuk

menunjukkan
1≤x n ≤2 untuk semua n ∈ N.
BAB II
BILANGAN REAL

Dalam bab ini kita akan membahas sifat-sifat esensial dari sistem bilangan real R.
Walaupun dimungkinkan untuk memberikan konstruksi formal dengan didasarkan pada
himpunan yang lebih primitif (seperti himpunan bilangan asli N atau himpunan bilangan
rasional Q), namun tidak kita lakukan. Akan tetapi, kita perkenalkan sejumlah sifat
fundamental yang berhubungan dengan bilangan real dan menunjukkan bagaimana sifat-sifat
yang lain dapat diturunkan darinya. Hal ini lebih bermanfaat dari pada menggunakan logika
yang sulit untuk mengkonstruksi suatu model untuk R dalam belajar analisis.
Sistem bilangan real dapat dideskripsikan sebagai suatu “medan/lapangan lengkap
yang terurut”, dan kita akan membahasnya secara detail. Demi kejelasan, kita tidak akan
membahas sifat-sifat R dalam suatu bagian, tetapi kita lebih berkonsentrasi pada beberapa
aspek berbeda dalam bagian-bagian yang terpisah. Pertama kita perkenalkan, dalam bagian
2.1, sifat aljabar (sering disebut sifat medan) yang didasarkan pada operasi penjumlahan dan
perkalian. Berikutnya kita perkenalkan, dalam bagian 2.2 sifat urutan dari R, dan menurunkan
beberapa konsekuensinya yang berkaitan dengan ketaksamaan, dan memberi ilustrasi
penggunaan sifat-sifat ini. Gagasan tentang nilai mutlak, yang mana didasarkan pada sifat
urutan, dibahas secara singkatpada bagian 2.3.
Dalam bagian 2.4, kita membuat langkah akhir dengan menambah sifat
“kelengkapan” yang sangat penting pada sifat aljabar dan urutan dari R. Kemudian kita
menggunakan sifat kelengkapan R dalam bagian 2.5 untuk menurunkan hasil fundamental
yang berkaitan dengan R, termasuk sifat archimedes, eksistensi akar (pangkat dua), dan
densitas (kerapatan) bilangan rasional di R.

2.1 Sifat Aljabar R

Dalam bagian ini kita akan membahas “struktur aljabar” sistem bilangan real.
Pertama akan diberikan daftar sifat penjumlahan dan perkaliannya. Daftar ini mendasari
semua untuk mewujudkan sifat dasar aljabar R dalam arti sifat-sifat yang lain dapat
dibuktikan sebagai teorema. Dalam aljabar abstrak sistem bilangan real merupakan
lapangan/medan terhadap penjumlahan dan perkalian. Sifat-sifat yang akan disajikan pada
2.1.1 berikut dikenal dengan “Aksioma medan”.
Yang dimaksud operasi biner pada himpunan F adalah suatu fungsi B dengan
domain FF dan range di F. Jadi, operasi biner memasangkan setiap pasangan berurut (a,b)
dari unsur-unsur di F dengan tepat sebuah unsur B(a,b) di F. Tetapi, disamping menggunakan
notasi B(a,b), kita akan lebih sering menggunakan notasi konvensional a+b dan a.b (atau
hanya ab) untuk membicarakan sifat penjumlahan dan perkalian. Contoh operasi biner yang
lain dapat dilihat pada latihan.

2.1.1. Sifat-sifat aljabar R.


Pada himpunan bilangan real R terdapat dua operasi
biner, dituliskan dengan “+” dan “.” dan secara berturut-turut disebut penjumlahan
dan perkalian. Kedua operasi ini memenuhi sifat-sifat berikut :
(A1). a + b = b + a untuk semua a,b di R (sifat komutatif penjumlahan);
(A2). (a + b) + c = a + (b + c) untuk semua a,b,c di R (sifat assosiatif penjumlahan);
(A3) terdapat unsur 0 di R sehingga 0 + a = a dan a + 0 = a untuk semua a di R (eksistensi
unsur nol);
(A4). untuk setiap a di R terdapat unsur -a di R, sehingga a + (-a) = 0 dan (-a) + a = 0
(eksistensi negatif dari unsur);
(M1). a.b = b.a untuk semua a,b di R (sifat komutatif perkalian);
(M2). (a.b) . c = a . (b.c) untuk semua a,b,c di R (sifat asosiatif perkalian);
(M3). terdapat unsur 1 di R yang berbeda dari 0, sehingga 1.a = a dan a.1 = a untuk semua a
di R (eksistensi unsur satuan);
(M4). untuk setiap a 0 di R terdapat unsur 1/a di R sehingga a.1/a = 1 dan (1/a).a =1
(eksistensi balikan);
(D). a . (b+c) = (a.b) + (a.c) dan (b+c) . a = (b.a) + (c.a) untuk semua a,b,c di R (sifat
distributif perkalian terhadap penjumlahan);
Pembaca perlu terbiasa dengan sifat-sifat di atas. Dengan demikian akan
memudahkan dalam penurunan dengan menggunakan teknik dan manipulasi aljabar. Berikut
kita akan dibuktikan beberapa konsekuensi dasar (tetapi penting).

2.1.2 Teorema.
(a). Bila z dan a unsur di R sehingga z + a = a, maka z = 0.
(b). Bila u dan b ≠ 0 unsur R sehingga u.b = b, maka u = 1.
Bukti :
(a). Dari hipotesis kita mempunyai z +a=a. Kita tambahkan unsur −a (yang eksistensinya
dijamin pada (A4)) pada kedua ruas dan diperoleh
( z +a ) + (−a )=a+(−a)
Bila kita berturut-turut menggunakan (A2), (A4) dan (A3) pada ruas kiri, kita peroleh
( z +a ) + (−a )=z + ( a+ (−a ) ) =z+0=z ;
bila kita menggunakan (A4) pada ruas kanan
a+ (−a )=0
Dari sini kita simpulkan bahwa z = 0.
Bukti (b) ditinggalkan sebagai latihan. Perlu dicatat bahwa hipotesis b ≠ 0 sangat penting.
Selanjutnya kita akan tunjukkan bahwa bila diberikan a di R, maka unsur –a dan 1/a
(bila a ≠0) ditentukan secara tunggal.

2.1.3 Teorema.
(a). Bila a dan b unsur di R sehinga a + b = 0, maka b = -a.
(b). Bila a 0 dan b unsur di R sehingga a.b = 1, maka b = 1/a.
Bukti :
(a). Bila a + b = 0, maka kita tambahkan -a pada kedua ruas dan diperoleh
(-a) + (a + b) = (-a) + 0.
Bila kita berturut-turut menggunakan (A2), (A4) dan (A3) pada ruas kiri, kita peroleh
(-a) + (a + b) = ((-a) + a) + b = 0 + b = b;
bila kita menggunakan (A3) pada ruas kanan kita dapatkan
(-a) + 0 = -a.
Dari sini kita simpulkan bahwa b = -a.
Bukti (b) ditinggalkan sebagai latihan. Perlu dicatat bahwa hipotesis b 0 sangat penting.
Bila kita perhatikan sifat di atas untuk menyelesaikan persamaan, kita peroleh bahwa
(A4) dan (M4) memungkinkan kita untuk menyelesaikan persamaan a+ x =0 dan a . x=1 (bila
a ≠ 0) untuk x, dan teorema 2.1.3 mengakibatkan bahwa solusinya tunggal. Teorema berikut
menunjukkan bahwa ruas kanan dari persamaan ini dapat sebarang unsur di R.

2.1.4 Teorema.
Misalkan a , b sebarang unsur di R. Maka :
(a). persamaan a+ x =b mempunyai solusi tunggal x=(−a)+b;
(b). bila a ≠ 0, persamaan a . x=b mempunyai solusi tunggal x=(1/a). b.
Bukti :
Dengan menggunakan (A2), (A4) dan (A3), kita peroleh
a+((−a)+ b)=(a+(−a))+b=0+ b=b ,
yang mengakibatkan x=(−a)+b merupakan solusi dari persamaan a+ x =b. Untuk
menunjukkan bahwa ini merupakan satu-satunya solusi, andaikan x1 sebarang solusi dari
persamaan tersebut, maka a+ x 1=b, dan bila kita tambahkan kedua ruas dengan −a, kita
peroleh
(−a)+(a+ x 1)=(−a)+ b .
Bila sekarang kita gunakan (A2), (A4) dan (A3) pada ruas kiri, kita peroleh
(−a)+(a+ x 1)=(−a+a)+ x 1=0+ x 1=x 1 .
Dari sini kita simpulkan bahwa x 1=(−a)+ b .
Bukti (b) ditinggalkan sebagai latihan.
Sejauh ini, ketiga teorema yang telah dikenalkan kita hanya memperhatikan
penjumlahan dan perkalian secara terpisah. Untuk melihat keterpaduan antara keduanya, kita
harus melibatkan sifat distributif (D). Hal ini diilustrasikan dalam teorema berikut.

2.1.5 Teorema.
Bila a sebarang unsur di R, maka :
( a ) . a . 0=0 (b) .(−1). a=−a
(c ).−(−a)=a( d) .(−1).(−1)=1
Bukti :
(a). Dari (M3) kita ketahui bahwa a . 1 = a. Maka dengan menambahkan a . 0 dan
mengunakan (D) dan (A3) kita peroleh
a+ a .0=a . 1+a . 0
¿ a .(1+0)=a .1=a .
Jadi, dengan teorema 2.1.2(a) kita peroleh bahwa a . 0 = 0.
(b). Kita gunakan (D), digabung dengan (M3), (A4) dan bagian (a), untuk memperoleh
a+(−1). a=1. a+(−1). a=0 . a=0
Jadi, dari teorema 2.1.3(a) kita peroleh (−1). a=−a .
(c). Dengan (A4) kita mempunyai (−a)+ a=0. Jadi dari teorema 2.1.3 (a) diperoleh
bahwa a=−(−a).
(d). Dalam bagian (b) substitusikan a = -1. Maka
(−1).(−1)=−(−1).
Dari sini, kita menggunakan (c) dengan a=1.
Kita simpulkan deduksi formal kita dari sifat medan (bilangan real) dengan
menutupnya dengan hasil-hasil berikut.

2.1.6 Teorema.
Misalkan a,b,c unsur-unsur di R.
(a). Bila a ≠ 0, maka 1/a ≠ 0 dan 1/(1 /a)=a
(b). Bila a . b=a . c dan a ≠ 0, maka b=c
(c). Bila a . b=0, maka paling tidak satu dari a=0 atau b=0 benar.
Bukti :
(a). Bila a ≠ 0, maka terdapat 1/a. Andaikan 1/a=0, maka 1=a .(1/ a)=a . 0=0,
kontradiksi dengan (M3). Jadi 1/a ≠ 0 dan karena (1/a) . a=1, Teorema 2.1.3(b)
mengakibatkan 1/(1 /a)=a.
(b). Bila kita kalikan kedua ruas persamaan a . b=a . c dengan 1/a dan menggunakan sifat
asosiatif (M2), kita peroleh
((1/a). a).b=((1/a). a) . c .
Jadi 1 .b=1 . c yang berarti juga b=c
(c). Hal ini cukup dengan mengasumsikan a ≠ 0 dan memperoleh b=0. (Mengapa?)
Karena a . b=0=a .0, kita gunakan bagian (b) terhadap persamaan a . b=a . 0
yang menghasilkan b=0, bila a ≠ 0.
Teorema-teorema di atas mewakili sebagian kecil tetapi penting dari sifat-sifat aljabar
bilangan real. Banyak konsekuensi tambahan sifat medan R dapat diturunkan dan beberapa
diberikan dalam latihan.
Operasi pengurangan didefinisikan dengan a−b=a+(−b) untuk a , b di R. Secara
sama operasi pembagian didefinisikan untuk a , b di R, b ≠ 0dengan a /b=a.(1/ b).Berikutnya,
kita akan menggunakan notasi ini untuk pengurangan dan pembagian.Secara sama, sejak
sekarang kita akan tinggalkan titik untuk perkalian dan menuliskan ab untuk a.b.
Sebagaimana biasa kita akan menuliskan a 2 untuk aa, a 3 untuk (a 2) a; secara umum, untuk
n ∈ N , kita definisikan a n+1=(an ) a. Kita juga menyetujui penulisan a 0=1dan a 1=a untuk
sebarang a di (a ≠ 0). Kita tinggalkan ini sebagai latihan bagi pembaca untuk membuktikan
(dengan induksi) bahwa bila adi R, maka
a m+n=am an
untuk semua m , n di N. Bila a ≠ 0, kita akan gunakan notasi a−1 untuk 1/a, dan bila n ∈ N ,
kita tuliskan a−n untuk (1/a)n, bila memang hal ini memudahkan.

Bilangan Rasional dan Irasional


Kita anggap himpunan bilangan asli sebagai subhimpunan dari R, dengan
mengidentifikasi bilangan asli n ∈ N sebagai penjumlahan n-kali unsur satuan 1 ∈ R. Secara
sama, kita identifikasi 0 ∈ Z dengan unsur nol di R, dan penjumlahan n-kali unsur -1 sebagai
bilangan bulat -n. Akibatnya, N dan Z subhimpunan dari R.
Unsur-unsur di R yang dapat dituliskan dalam bentuk b /a dengan a , b di Z dan a ≠ 0
disebut bilangan rasional. Himpunan bilangan rasional di R akan dituliskan dengan notasi
standar Q. Jumlah dan hasil kali dua bilangan rasional merupakan bilangan rasional
(Buktikan!), dan lebih dari itu, sifat-sifat medan yang dituliskan di awal bagian ini dapat
ditunjukkan dipenuhi oleh Q.
Fakta bahwa terdapat unsur di R yang tidak di Q tidak begitu saja dikenali. Pada abad
keenam sebelum masehi komunitas Yunani kuno pada masa Pytagoras menemukan bahwa
diagonal dari bujur sangkar satuan tidak dapat dinyatakan sebagai pembagian bilangan bulat.
Menurut Teorema Phytagoras tentang segitiga siku-siku, ini mengakibatkan tidak ada
bilangan rasional yang kuadratnya dua. Penemuan ini mempunyai sumbangan besar pada
perkembangan matematika Yunani. Salah satu konsekuensinya adalah unsur-unsur R yang
bukan unsur Q merupakan bilangan yang dikenal dengan bilangan irrasional, yang berarti
bilangan-bilangan itu bukan rasio (=hasil bagi dua buah) bilangan rasional. Jangan
dikacaukan dengan arti tak rasional.
Kita akan tutup bagian ini dengan suatu bukti dari fakta bahwa tidak ada bilangan
rasional yang kuadratnya 2. Dalam pembuktiannya kita akan menggunakan gagasan bilangan
genap dan bilangan ganjil. Kita ingat kembali bahwa bilangan genap mempunyai bentuk 2n
untuk suatu n di N, dan bilangan ganjil mempunyai bentuk 2n-1 untuk suatu n di N. Setiap
bilangan asli bersifat ganjil atau genap, dan tidak pernah bersifat keduanya.

2.1.7 Teorema.
Tidak ada bilangan rasional r, sehingga r 2=2
Bukti :
Andaikan terdapat bilangan rasional yang kuadratnya 2. Maka terdapat bilangan bulat p
dan q sehingga ( p/q)2=2. Asumsikan bahwa p , q positif dan tidak mempunyai factor
persekutuan lain kecuali 1. (Mengapa?) Karena p2=2 q 2, kita peroleh bahwa p2 genap. Ini
mengakibatkan bahwa p juga genap (karena bila p=2n – 1 ganjil, maka kuadratnya, p2
¿ 4 n2−4 n+1=2(2 n2−2 n+1)−1 juga ganjil). Akibatnya, teorema 2 bukan faktor
persekutuan dari p dan q maka haruslah q ganjil. Karena p genap, maka p=2m untuk suatu
m∈ N, dan dari sini 4 m2=2 q2, jadi 2 m2=q2 . Akibatnya q 2 genap, yang diikuti q juga genap,
dengan alasan seperti pada paragraf terdahulu. Dari sini kita sampai pada kontradiksi bahwa
tidak ada bilangan asli yang bersifat genap dan ganjil.
Latihan 2.1
Untuk nomor 1 dan 2, buktikan bagian b dari teorema
1. 2.1.2
2. 2.1.3.
3. Selesaikan persamaan berikut dan sebutkan sifat atau teorema mana yang anda gunakan
Pada setiap langkahnya.
(a). 2 x+5=8; (b). 2 x+6=3 x +2;
(c). x 2=2 x; (d). ( x−1)(x+ 2)=0.
4. Buktikan bahwa bila a,b di R, maka
(a).-(a+ b ¿=(−a)+(−b) (b). (−a).(−b)=a . b
(c).(−a)=−(1/a)bila a ≠ 0 (d). −( a/ b)=(−a)/b bila b ≠ 0
5. Bila a,b di R dan memenuhi a . a=a, buktikan bahwa a=0atau a=1
6. Bila a ≠ 0 dan b ≠ 0, tunjukkan bahwa 1/( ab)=(1 /a).(1/b)
7. Gunakan argumentasi pada bukti teorema 2.1.7 untuk membuktikan bahwa tidak ada
bilangan
rasional s, sehingga s2=6 .
8. Modifikasi argumentasi pada bukti teorema 2.1.7 untuk membuktikan bahwa tidak ada
bilangan rasional t, sehingga t 2=3.
9. Tunjukkan bahwa bila ξ di R irasional dan r ≠ 0 rasional, makar +ξ dan rξ irasional.
10. Misalkan B operasi biner pada R. Kita katakan B :
(i). komutatif bila B(a , b)=B( b , a) untuk semua a , b di R.
(ii). asosiatif bila B(a , B(a , c ))=B( B( a , b) , c ) untuk semua a , b , c di R.
(iii). mempunyai unsur identitas bila terdapat unsur e di R sehingga B ( a , e ) =a=¿
B(e , a), untuk semua a di R
Tentukan sifat-sifat mana yang dipenuhi operasi di bawah ini
1 1
(a). B1 (a , b)= (a+b) (b). B2 (a , b)= (ab)
2 2
(c). B3 (a , b)=a−b (d). B4 (a , b)=1+ab
11. Suatu operasi biner B pada R dikatakan distributif terhadap penjumlahan bila memenuhi
B(a,b + c) = B(a,b) + B(a,c) untuk semua a , b , c di R. Yang mana (bila ada) dari operasi
nomor 12 yang bersifat distributif terhadap penjumlahan?.
12. Gunakan induksi matematika untuk menunjukan bahwa bila a di R dan m,n di N, maka
n
a m+n=am an dan ( a m ) =amn.
13. Buktikan bahwa bilangan asli tidak dapat bersifat genap dan ganjil secara bersamaan.

2.2. Sifat Urutan Dalam R


Sifat urutan R mengikuti gagasan positivitas dan ketaksamaan antara dua bilangan
real. Seperti halnya pada struktur aljabar sistem bilangan real, di sini kita utamakan beberapa
sifat dasar sehingga sifat yang lain dapat diturunkan. Cara paling sederhana yaitu dengan
mengidentifikasi sub himpunan tertentu dari R dengan menggunakan gagasan “positivitas”.

2.2.1 Sifat Urutan dari R.


Terdapat sub himpunan tak kosong P dari R, yang disebut
himpunan bilangan real positif, yang memenuhi sifat-sifat berikut :
(i). Bila a,b di P, maka a + b di P
(ii). Bila a,b di P, maka a.b di P
(iii).Bila a di R, maka tepat satu dari yang berikut dipenuhi
a ∈ P , a=0 ,−a ∈ P
Dua sifat yang pertama kesesuaian urutan dengan operasi penjumlahan dan perkalian.
Kondisi (iii) biasa disebut “Sifat Trikotomi”, karena hal ini membagi R menjadi tiga daripada
unsur yang berbeda. Hal ini menyatakan bahwa himpunan {−a|a ∈ P } bilangan real negatif
tidak mempunyai unsur sekutu di P, dan lebih dari itu, R gabungan tiga himpunan yang saling
lepas.

2.2.2 Definisi.
Bilaa ∈ P, kita katakan a bilangan real positif (atau positif kuat) dan kita tulis
a > 0. Bila a ∈ P ∪ { 0 } kita katakan a bilangan real tak negatif dan ditulis a > 0.
Bila -a ∈ P, kita katakan a bilangan real negatif (atau negatif kuat) dan kita tulis
a < 0. Bila -a ∈ P kita katakan a bilangan real tak positif dan ditulis a ≤ 0.
Sekarang kita perkenalkan gagasan tentang ketaksamaan antara unsur-unsur R
dalam himpunan bilangan positif P.

2.2.3 Definisi.
Misalkan a,b di R.
(i). Bila a−b ∈ P, maka kita tulis a > b atau b < a.
(ii). Bila a−b ∈ P ∪ { 0 } maka kita tulis a ≥ b.atau b ≤a.
Untuk kemudahan penulisan, kita akan menggunakan a < b < c, bila a < b dan b < c
dipenuhi. Secara sama, bila a≤ b dan b ≤ c benar, kita akan menuliskannya dengan
a≤b≤c
Juga, bila a ≤ b dan b < d benar, dituliskan dengan a ≤ b < d dan seterusnya.

Sifat Urutan
Sekarang akan kita perkenalkan beberapa sifat dasar relasi urutan pada R. Ini
merupakan aturan ketaksamaan yang biasa kita kenal dan akan sering kita gunakan pada
pembahasan selanjutnya.

2.2.4 Teorema.
Misalkan a,b,c di R.
(a). Bila a > b dan b > c, maka a > c
(b). Tepat satu yang berikut benar : a > b, a = b dan a < b
(c). Bila a ≥ b dan b ≥ a, maka a = b
Bukti :
(a). Bila a−b ∈ P dan b−c ∈ P, maka 2.2.1(i) mengakibatkan bahwa
(a−b)+( b−c)=a−c unsur di P. Dari sini a > c.
(b). Dengan sifat trikotomi 2.2.1(iii), tepat satu dari yang berikut benar
a−b ∈ P , a−b=0 ,−(a−b)=b−a ∈ P .
(c). Bila a ≠ b, maka a−b ≠ 0, jadi menurut bagian (b) kita hanya mempunyai
a−b ∈ Patau b−a ∈ P., yaitu a > b atau b > a. Yang masing-masing kontradiksi
dengansatu dari hipotesis kita. Karena itu a = b.

Adalah hal yang wajar bila kita berharap bilangan asli merupakan bilangan positif.
Kita akan tunjukkan bagaimana sifat ini diturunkan dari sifat dasar yang diberikan dalam
2.2.1. Kuncinya adalah bahwa kuadrat dari bilangan real tak nol positif.

2.2.5 Teorema.
(a). Bila a ∈ R dan a ≠ 0, maka a 2> 0
(b). 1 > 0
(c). Bila n∈N, maka n > 0
Bukti :
(a).Dengan sifat trikotomi bila a ≠ 0, maka a ∈ P atau −a ∈ P. Bila a ∈ P., maka dengan
2.2.1(ii), kita mempunyai a 2=a . a ∈ P. Secara sama bila −a ∈ P, maka 2.2.1 (ii), kita
mempunyai (−a).(−a)∈ P. Dari 2.1.5(b) dan 2.1.5(d)
kita mempunyai (−a).(−a)=((−1) a)((−1) a)=(−1)(−1). a2=a2,
jadi a 2 ∈ P. Kita simpulkan bahwa bila a ≠ 0, maka a 2, > 0.
(b). Karena 1 = (1)2, (a) mengakibatkan 1 > 0.
(c). Kita gunakan induksi matematika, validitas untuk n = 1 dijamin oleh (b). Bila pernyataan
k > 0, dengan k bilangan asli, maka k ∈P. Karena 1 ∈ P, maka k + 1 ∈ P,
menurut 2.2.1(i) . Dari sini pernyataan n > 0 untuk semua n ∈N benar.
Sifat berikut berhubungan dengan urutan di R terhadap penjumlahan dan perkalian.
Sifat-sifat ini menyajikan beberapa alat yang memungkinkan kita bekerja dengan
ketaksamaan.

2.2.6 Teorema.
Misalkan a,b,c,d ∈R
(a).bila a > b, maka a + c > b + c
(b).bila a > b dan c > d, maka a + c > b + d
(c).bila a > b dan c > 0, maka ca > cb bila a > b dan c < 0, maka ca < cb
(d).bila a > 0, maka 1/a > bila a < 0, maka 1/a < 0
Bukti :
(a).Bila a−b ∈ P, maka (a+ c ¿−( b+c) unsur di P. Jadi a+ c> b+c
(b).Bila a−b ∈ P dan c−d ∈ P, maka (a+ c)−(b+ d)=(a−b)+(c−d )
juga unsur di P menurut 2.2.1(i). Jadi, a+ c> b+d .
(c).Bila a−b ∈ P dan c ∈ P, maka ca−cb=c (a−b) ∈ P menurut 2.2.1(ii), karena itu
ca> cb, bila c >0. Dilain pihak, bila c <0, maka −c ∈ P sehingga
cb−ca=(−c)( a−b) unsur di P. Dari sini, cb >ca bila c <0.
(d).Bila a> 0, maka a ≠ 0 (menurut sifat trikotomi), jadi 1/a ≠ 0 menurut 2.1.6(a).
Andaikan 1/a< 0, maka bagian (c) dengan c=1 /a mengakibatkan bahwa
1=a(1/a)<0, kontradiksi dengan 2.2.5(b). Karenanya 1/a> 0.
Secara sama, bila a< 0, maka kemungkinan 1/a> 0 membawa ke sesuatu yang
kontradiksi yaitu 1=a(1/a)<0.

1
Dengan menggabung 2.2.6(c) dan 2.2.6(d), kita peroleh bahwa dengan n sebarang bilangan
n

m 1
asli adalah bilangan positif. Akibatnya bilangan rasional dengan bentuk
n
=m
n()
, untuk m

dan n bilangan asli, adalah positif.

2.2.7 Teorema.
1
Bila a dan b unsur di R dan bila a < b, maka a< (a+b)< b.
2
Bukti :
Karena a < b, mengikuti 2.2.6(a) diperoleh bahwa 2a = a + a < a + b dan juga
a + b < b + b = 2b. Karena itu kita mempunyai
2a < a + b < 2b
1
Menurut 2.2.5(c) kita mempunyai 2 > 0, karenanya menurut 2.2.6(d) kita peroleh >0
2
. Dengan menggunakan 2.2.6(c) kita dapatkan
1 1 1
a= (2 a)< ( a+b)< (2 b)=b
2 2 2
Dari sifat urutan yang telah dibahas sejauh ini, kita tidak mendapatkan bilangan real
positif terkecil. Hal ini akan ditunjukkan sebagai berikut :

2.2.8 Teorema Akibat.


1
Bila b ∈ R dan b > 0, maka 0< b <b.
2
Bukti :
Ambil a = 0 dalam 2.2.7.
Dua hasil yang berikut akan digunakan sebagai metode pembuktian selanjutnya.
Sebagai
contoh, untuk membuktikan bahwa a ≥ 0 benar-benar sama dengan 0, kita lihat pada
hasil berikut bahwa hal ini cukup dengan menunjukkan bahwa a kurang dari sebarang
bilangan positif manapun.
2.2.9 Teorema.
Bila a di R sehingga 0 ≤ a ≤ ε untuk setiap ε positif, maka a = 0.
Bukti :
1
Andaikan a > 0. Maka menurut 2.2.8 diperoleh 0< a<a. Sekarang tetapkan
2
1
ε 0= a, maka 0 < ε 0< a. Hal ini kontradiksi dengan hipotesis bahwa 0 < ε untuk
2
setiap
ε positif. Jadi a = 0.

2.2.10 Teorema.
Misalkan a,b di R, dan a−ε < b untuk setiap ε > 0. Maka a ≤ b.
Bukti :
1
Andaikan b < a dan tetapkan ε 0= (a−b) . Maka ε 0 dan b< a−ε 0, kontradiksi
2
dengan hipotesis. (Bukti lengkapnya sebagai latihan).
Hasil kali dua bilangan positif merupakan bilangan positif juga. Tetapi, positivitas
suatu hasil kali tidak mengakibatkan bahwa faktor-faktornya positif. Kenyataannya adalah
kedua faktor tersebut harus bertanda sama (sama-sama positif atau sama-sama negatif),
seperti ditunjukkan berikut ini.

2.2.11 Teorema.
Bila ab > 0, maka
(i). a > 0 dan b > 0 atau
(ii).a < 0 dan b < 0
Bukti :
Pertama kita catat bahwa ab > 0 mengakibatkan a ≠ 0 dan b ≠ 0 (karena bila a = 0 dan
b = 0, maka hasil kalinya 0). Dari sifat trikotomi, a > 0 atau a < 0. Bila a >0, maka
1/a > 0 menurut 2.2.6(d) dan karenanya
b=1. b=((1 /a) a) b=(1/a)(ab)>0
Secara sama, bila a < 0, maka 1/a < 0, sehingga b=(1 /a)(ab)< 0.

2.2.12 Teorema Akibat.


Bila ab < 0, maka
(i). a < 0 dan b > 0 atau
(ii).a > 0 dan b < 0
Buktinya sebagai latihan.

Ketaksamaan
Sekarang kita tunjukkan bagaimana sifat urutan yang telah kita bahas dapat digunakan
untuk menyelesaikan ketaksamaan. Pembaca diminta memeriksa dengan hati-hati setiap
langkahnya.

2.2.13 Contoh-contoh.
(a).Tentukan himpunan A dari semua bilangan real x yang memenuhi 2 x=3 ≤6.
Kita catat bahwa x ∈ A ⟺ 2 x +3 £ ≤6 ⟺ 2 x ≤ 3 ⟺ x ≤3 /2.
Karenanya, A={x ∈ R|x ≤ 3/2 }.
(b).Tentukan himpunan B = {x ∈ R|x 2+ x>2 }
Kita ingat kembali bahwa teorema 2.2.11 dapat digunakan. Tuliskan bahwa
x ∈ B ⟺ x 2+ x−2>0 ⟺( x−1)( x +2)> 0. Karenanya, kita mempunyai
(i). x – 1 > 0 dan x + 2 > 0, atau (ii). x - 1 < 0 dan x + 2 < 0. Dalam kasus (i). kita
mempunyai x > 1 dan x >−2, yang dipenuhi jika dan hanya jika x > 1. Dalam kasus (ii)
kita mempunyai x < 1 dan x >−2, yang dipenuhi jika dan hanya jika x >−2.
Jadi B = {x ∈ R|x >1 }∪{x ∈ R| x←2 }.
(c).Tentukan himpunan C = {x ∈ R|(2 x+ 1)/( x+2)<1 }. Kita catat bahwa
x ∈ C ⟺(2 x +1)/(x+2)−1<0 ⟺ (x−1) /(x+ 2)<0.Karenanya, kita
mempunyai (i).x – 1 < 0 dan x + 2 > 0, atau (ii). x - 1 > 0 dan x + 2 < 0 (Mengapa?).
Dalam
kasus (i) kita harus mempunyai x <1 dan x >−2, yang dipenuhi, jika dan hanya jika
−2< x <1, sedangkan dalam kasus (ii), kita harus mempunyai x >1 dan x <−2,
yang tidak akan pernah dipenuhi.
Jadi kesimpulannya adalah C = {x ∈ R|−2< x <1}.

Contoh berikut mengilustrasikan penggunaan sifat urutan R dalam pertaksamaan.


Pembaca seharusnya membuktikan setiap langkah dengan mengidentifikasi sifat-sifat yang
digunakan. Hal ini akan membiasakan untuk yakin dengan setiap langkah dalam pekerjaan
selanjutnya. Perlu dicatat juga bahwa eksistensi akar kuadrat dari bilangan positif kuat belum
diperkenalkan secara formal, tetapi eksistensinya kita terima dalam membicarakan contoh-
contoh berikut.
(Eksistensi akar kuadrat akan dibahas dalam 2.5).

2.2.14. Contoh-contoh.
(a). Misalkan a ≥ 0 dan b ≥ 0. Maka (i). a< b ⟺ a2 <b2 ⟺ √ a< √ b
Kita pandang kasus a > 0 dan b > 0, dan kita tinggalkan kasus a = 0 kepada pembaca.
Dari
2.2.1(i) diperoleh bahwa a + b > 0. Karena b 2−a2=(b−a)(b+ a), dari 2.2.6(c)
diperoleh bahwa b−a> 0 mengakibatkan bahwa b−a> 0.
2 2
Bila a> 0 dan b> 0, maka a> 0 dan b> 0 , karena a=( √ a) dan b=( √ b) ,
maka bila a dan b berturut-turut diganti dengan √ a dan √ b , dan kita gunakan bukti di
atas
diperoleh a <b ⟺ √ a< √ b .
Kita juga tinggalkan kepada pembaca untuk menunjukkan bahwa bila a ≥ 0 dan b ≥ 0,
maka
a ≤ b ⟺ a2 ≤b 2 ⟺ √ a ≤ √b
1
(b). Bila a dan b bilangan bulat positif, maka rata-rata aritmatisnya adalah (a+b) dan
2
rata-rata geometrisnya adalah √ ab . Ketaksamaan rata-rata aritmetis-geometris diberikan
oleh
1
√ ab ≤ (a+ b)
2
dan ketaksamaan terjadi jika dan hanya jika a = b.
Untuk membuktikan hal ini, perhatikan bahwa bila a > 0, b > 0, dan a ≠ b,
maka √ a>0 , √ b> 0 dan a ≠ b (Mengapa?). Karenanya dari 2.2.5(a) diperoleh bahwa
2
( √ a−√ b) > 0. Dengan mengekspansi kuadrat ini, diperoleh a−2 √ ab+b> 0,
yang diikuti oleh
1
√ ab< (a+b).
2
Karenanya (2) dipenuhi (untuk ketaksamaan kuat) bila a ≠ b. Lebih dari itu, bila a = b (>
0),
maka kedua ruas dari (2) sama dengan a, jadi (2) menjadi kesamaan. Hal ini membuktikan
bahwa (2) dipenuhi untuk a > 0, b > 0.

1
Dilain pihak, misalkan a > 0, b > 0 dan √ ab< (a+b). Maka dengan
2
mengkuadratkan kedua ruas kemudian mengalikannya dengan 4, kita peroleh
4 ab=(a+ b)2=a2 +2 ab+ b2,
yang diikuti oleh
0=a2−2ab +b2=(a−b)2 .
Tetapi kesamaan ini mengakibatkan a = b (Mengapa?).
Jadi kesamaan untuk (2) mengakibatkan a = b.

Catatan :
Ketaksamaan rata-rata aritmetis-geometris yang umum untuk bilangan positif
a 1 , a2 , ..., a n adalah

1 /n a1 + a2+ ...+ an
( a 1 a 2 ... an ) ≤ (3)
n
dengan kesamaan terjadi jika dan hanya jika a 1= a 2 = ... = a n.
(c). Ketaksamaan Bernoulli. Bila x >−1, maka
(1+ x)n ≥ 1+ nx ; untuk semua n ∈ N . (4)
Buktinya dengan menggunakan induksi matematika. Untuk n = 1, menghasilkan
kesamaan
sehingga pernyataan tersebut benar dalam kasus ini. Selanjutnya, kita asumsikan
bahwa ketaksamaan (4) valid untuk suatu bilangan asli n, dan akan dibuktikan valid juga
untuk n + 1. Asumsi (1+ x)n ≤ 1+ nx dan fakta 1+ x >0 mengakibatkan bahwa
(1+ x)n +1=(1+ x )n (1+ x)
≥(1+nx )(1+ x)=1+(n+1) x +n x 2
≥ 1+(n+1) x
Jadi, ketaksamaan (4) valid untuk n + 1, bila valid untuk n. Dari sini, ketaksamaan (4)
valid untuk semua bilangan asli.
(d). Ketaksamaan Cauchy. Bila n ∈ N dan a 1 , a2 , ..., a n dan b 1 , b2 , ..., b n bilangan real maka
2
( a 1 b 1+ …+an bn ) ≤ ( a12 +…+ an2 )( b 12 +…+ bn2 ) (5)

Lebih dari itu, bila tidak semua bj = 0, maka kesamaan untuk (5) dipenuhi jika dan hanya
Jika terdapat bilangan real s, sehingga
a 1=s b1 ,… , a n=s bn.
Untuk membuktikan hal ini kita definisikan fungsi F : R ⟶ R, untuk t ∈ R dengan
F (t)=(a1−t b1 )2+...+(an −t b n)2.
Dari 2.2.5(a) dan 2.2.1(i) diperoleh bahwa F (t) ≥0 untuk semua t ∈ R. Bila kuadratnya
diekspansikan diperoleh
F(t)=A−2 Bt +C t 2 ≥ 0,
dengan A,B,C sebagai berikut
A=a12 +...+an2;
B=a1 b 1+...+ an bn;

C=b12 +...+b n2.


Karena fungsi kuadrat F(t) tak negatif untuk semua t ∈ R, hal ini tidak mungkin
mempunyai dua akar real yang berbeda. Karenanya diskriminannya
2
D= (−2 B ) −4 AC=4 ( B2− AC )
harus memenuhi ∆ ≤ 0. Karenanya, kita mempunyai B ≤ AC, yang tidak lain adalah (5).
Bila bj = 0, untuk semua j = 1, ..., n, maka kesamaan untuk (5) dipenuhi untuk sebarang
a j. Misalkan sekarang tidak semua b j=0 . Maka, bila a j=s b j untuk suatu s ∈ R dan
semua j = 1, ..., n, mengakibatkan kedua ruas dari (5) sama dengan s2 (b 12 +...+b n2)2.
Di lain pihak bila kesamaan untuk (5) dipenuhi, maka haruslah ∆=0, sehingga
terdapat akar tunggal s dari persamaan kuadrat F(t) = 0. Tetapi hal ini mengakibatkan
(mengapa?) bahwa
a 1−s b1=0 , ... , an−s b n=0
yang diikuti oleh a j=s b j untuk semua j = 1, ..., n.

(e). Ketaksamaan Segitiga. Bila n ∈ N dan a 1 , ... ,a n dan b 1 , ... ,b n bilangan real maka
1 1 1
2 2 2 2 2 2 2 2 2
[ ( a + b ) +…+( a +b ) ] ≤ [ a
1 1 n n 1 +…+ an ] + [ b1 +…+b n ] ( 6)

lebih dari itu bila tidak semua b j=0 , kesamaan untuk (6) dipenuhi jika dan hanya jika
terdapat bilangan real s, sehingga a 1= sb 1, ..., a n = sb n.
Karena (a j +b j)2 =a j2+2 a j b j +b j2 untuk j = 1, ..., n,dengan menggunakan
ketaksamaan Cauchy (5) [A,B,C seperti pada (d)], kita mempunyai
(a 1+ b1)2 +...+( an +b n)2= A+ 2 B+C
2
≤ A +2 √ AC +C=( √ A + √ C )
Dengan mengunakan bagian (a) kita mempunyai (mengapa?)
[(a 1+ b1)2 +...+( an +b n)2 ]1/ 2 ≤ √ A + √ C ,
yang tidak lain adalah (b).
Bila kesamaan untuk (b) dipenuhi, maka ¿ √ A C , yang mengakibatkan kesamaan
dalam
ketaksamaan Cauchy dipenuhi.

Latihan 2.2
1. (a). Bila a ≤ b dan c <d, buktikan bahwa a+ c< b+d.
(b). Bila a ≤ b dan c ≤ d, buktikan bahwa a + c ≤ b + d.
2. (a). Bila 0 < a < b dan 0 < c < d, buktikan bahwa 0 < ac < bd
(b). Bila 0 < a < b dan 0 ≤ c ≤ d, buktikan bahwa 0 ≤ ac ≤ bd.
Juga tunjukkan dengan contoh bahwa ac < bd tidak selalu dipenuhi.
3. Buktikan bila a < b dan c < d, maka ad + bc < ac + bd.
4. Tentukan bilangan real a,b,c,d yang memenuhi 0 < a < b dan c < d < 0, sehingga
(i). ac < bd, atau (ii). bd < ac.
5. Bila a , b ∈ R, tunjukkan bahwa a 2+b 2=0 jika dan hanya jika a = 0 dan b = 0.
6. Bila 0 ≤ a < b, buktikan bahwa a 2 ≤ ab<b 2. Juga tunjukkan dengan contoh bahwa hal ini
tidak selalu diikuti oleh a 2 ≤ ab<b 2..
7. Tunjukan bahwa bila 0 < a < b, maka a < ab < b dan 0 < 1/b < 1/a.
8. Bila n ∈ N , tunjukan bahwa n2 ≥ n dan dari sini 1/n2 ≤1/n.
9.Tentukan bilangan real x yang memenuhi
(a). x 2>3 x +4; (b). 1< x 2< 4 ;
(c). 1/ x< x ; (d). 1/ x< x 2.
10. Misal a , b ∈ R dan untuk setiap ε > 0 kita mempunyai a ≤ b+ ε.
(a). Tunjukkan bahwa a ≤ b.
(b). Tunjukkan bahwa tidak selalu dipenuhi a< b.

2
1 1
11. Buktikan bahwa ( ( a+b)) ≤ (a2 +b 2) untuk semua a , b ∈ R. Tunjukkan bahwa
2 2
kesamaan dipenuhi jika dan hanya jika a=b.
12. (a). Bila 0< c<1, tunjukkan bahwa 0< c2 < c<1
(b). Bila 1<c, tunjukkan bahwa 1<c <c 2
13. Bila c > 1, tunjukkan bahwa c n ≥ c untuk semua n ∈ N . (Perhatikan ketaksamaan
Bernoulli dengan c=1+ x).
14. Bila c >1, dan m , n∈ N, tunjukkan bahwa c m >c n jika dan hanya jika m > n.
15. Bila 0 < c < 1, tunjukkan bahwa c n ≤ c untuk semua n ∈ N .
16. Bila 0 < c < 1 dan m , n∈ N, tunjukkan bahwa c m < c n jika dan hanya jika m > n.
17. Bila a > 0, b > 0 dan n ∈ N , tunjukkan bahwa a < b jika dan hanya jika a n < b n.
18. Misalkan c k >0 untuk k = 1,2,...,n. Buktikan bahwa

n2 ≤(c 1 +c 2+ ...+ c n) ( c1 + c1 + …+ c1 )
1 2 n

19. Misalkan c k >0 untuk k = 1,2,...,n. Tunjukkan bahwa


c 1+ c2 +...+c n 1/ 2
≤ [ c 12 +c 22+ …+c n2 ] ≤ c 1 +c 2+ ...+ c n
√n
20. Asumsikan eksistensi akar dipenuhi, tunjukkan bahwa bila c >1, maka c 1 /m <c 1 /n jika
dan hanya jika m > n.

2.3. Nilai Mutlak


Dari sifat trikotomi 2.2.1(ii), dijamin bahwa bila a R dan a 0, maka tepat satu dari
bilangan a atau −a positif. Nilai mutlak dari a 0 didefinisikan sebagai bilangan yang positif
dari keduanya. Nilai mutlak dari 0 didefinisikan 0.

2.3.1 Definisi.
Bila a R, nilai mutlak a, dituliskan dengan a, didefinisikan dengan
a , bila a>0
{
|a|= 0 , bila a=0
−a , bila a< 0
Sebagai contoh |3| = 3 dan |−2|= 2. Dari definisi ini kita akan melihat bahwa
a0, untuk semua a R. Juga a= a bila a 0, dan a= -a bila a < 0.

2.3.2 Teorema.
(a). a= 0 jika dan hanya jika a = 0
(b). -a= a, untuk semua a R.
(c). ab= ab, untuk semua a,b  R.
(d). Bila c 0, maka ac jika dan hanya jika -c a c.
(e). - aa auntuk semua a  R.
Bukti :
(a). Bila a = 0, maka a= 0. Juga bila a 0, maka - a 0, jadi a0. Jadi bila a= 0,
maka a = 0.
(b). Bila a = 0, maka 0= 0 = 0. Bila a > 0, maka -a < 0 sehingga a= a = -(-a) = -a.
Bila a < 0, maka -a > 0, sehinga a= -a = -a.
(c). Bila a,b keduanya 0, maka abdan absama dengan 0. Bila a > 0 dan b > 0,
maka ab > 0, sehingga ab= ab = ab. Bila a > 0 dan b < 0, maka ab < 0, sehingga
ab= -ab = a(-b) = ab. Secara sama untuk dua kasus yang lain.
(d). Misalkan ac. Maka kita mempunyai a c dan -a c. (Mengapa?) Karena
ke-taksamaan terakhir ekivalen dengan a -c, maka kita mempunyai -c a c.
Sebaliknya
bila -c a c, maka kita mempunyai a c dan -a c. (Mengapa?), sehinggaac.
(e). Tetapkan c = apada (d).

Ketaksamaan berikut akan sering kita gunakan.


2.3.3. Ketaksamaan Segitiga.
Untuk sebarang a,b di R, kita mempunyai |a+ b|≤|a|+|b|
Bukti :
Dari 2.3.2(e), kita mempunyai -a≤a ≤adan -b≤b ≤b. Kemudian dengan
menambahkan dan menggunakan 2.2.6(b), kita peroleh
−(|a|+|b|)≤a+ b ≤|a|+|b|
Dari sini, kita mempunyai |a+ b|≤|a|+|b| dengan menggunakan 2.3.2(d).
Terdapat banyak variasi penggunaan Ketaksamaan Segitiga. Berikut ini dua di
antaranya.
2.3.4 Teorema Akibat.
Untuk sebarang a,b di R, kita mempunyai
(a).||a|−|b||≤|a−b|
(b). |a−b|≤|a|+|b|
Bukti :
(a). Kita tuliskan a = a - b + b dan gunakan Ketaksamaan Segitiga untuk memperoleh
|a| |a−b+ b| |a−b| |b|.
Sekarang kita kurangi dengan |b| untuk memperoleh |a|−|b|). |a−b| . Secara sama,
dari |b| |b−a+ a| |b−a| |a|dan 2.3.2(b), kita peroleh
|a−b| = |b−a| |a|−|b|
Bila kedua ketaksamaan ini kita kombinasikan, dengan menggunakan 2.3.2(d), kita
memperoleh ketaksamaan di (a).
(b). Tukar b pada Ketaksamaan Segitiga dengan -b untuk memperoleh
|a−b| a+-bKarena |−b| |b| [menurut 2.3.2(b)] kita dapatkan
ketaksamaan (b).
Aplikasi langsung induksi matematika memperluas Ketaksamaan Segitiga untuk
sejumlah hingga bilangan real.

2.3.5 Teorema Akibat.


Untuk sebarang a 1 , a2 , ..., a n  R, kita mempunyai
|a 1+ a2 +...+an|≤|a1|+|a2|+…+|an|
Contoh-contoh berikut mengilustrasikan bagaimana sifat-sifat nilai mutlak
terdahulu dapat digunakan.
2.3.6 Contoh-contoh.
(a). Tentukan himpunan A dari bilangan real x yang memenuhi|2 x+ 3|<6
Dari 2.3.2(d), kita lihat bahwa x A jika dan hanya jika −6< 2 x +3<6 , yang
dipenuhi jika dan hanya jika −9< 2 x <3. Dengan membagi dua, kita peroleh
A = {x  R -9/2 < x < 3/2}.
(b). Tentukan himpunan B = {x  R x 1| x| }.
Caranya dengan memperhatikan setiap kasus bila tanda mutlak dihilangkan. Di sini kita
perhatikan kasus-kasus (i). x 1, (ii). 0 x < 1, (iii). x < 0. (Mengapa kita hanya
memperhatikan ketiga kasus di atas?). Pada kasus (i) ketaksamaan kita menjadi x - 1 < x,
yang dipenuhi oleh semua bilangan real x. Akibatnya semua x 1 termuat di B. Pada
kasus
(ii), ketaksamaan kita menjadi -(x - 1) < x, yang menghasilkan pembahasan lebih lanjut,
yaitu x > 1/2. Jadi, kasus (ii) menyajikan semua x dengan 1/2 < x < 1 termuat di B. Pada
kasus (iii), ketaksamaan menjadi -(x - 1) < -x, yang ekivalen dengan 1 < 0. Karena 1 < 0
selalu salah, maka tiodak ada x yang memenuhi ketaksaman kita pada kasus (iii).
Dengan
mengkombinasikan ketiga kasus ini diperoleh bahwa
B = {x  R x > 1/2}.

|2 x 2−3 x +1|
(c). Misalkan f fungsi yang didefinisikan dengan |f ( x)|= untuk 2 x 3.
|2 x−1|
Tentukan
konstanta M sehingga|f ( x)| M untuk semua x yang memenuhi 2 x 3. Kita akan
perhatikan secara terpisah pembilang dan penyebut dari
|2 x 2−3 x +1|
|f ( x)|=
|2 x−1|
Dari ketaksamaan segitiga, kita peroleh
|2 x 2−3 x+1|≤ 2| x|2+3|x|+1 ≤ 2.32 +3.3+¿ 28
karena x 3 untuk semua x yang kita bicarakan. Juga, |2 x−1|≥2|x|−1≥ 2.2−1=3,
karena |x|2 untuk semua x yang kita bicarakan. (Mengapa?) Karena itu, untuk 2 x
3
28
kita memperoleh bahwa |f ( x)|≤ . Dari sini kita dapat menetapkan M = 28/3. (Catatan
3
bahwa kita meneukan sebuah konstanta yang demikian, M; sebenarnya semua bilangan
M 28/3 juga memenuhi |f ( x)| M. Juga dimungkinkan bahwa 28/3 bukan pilihan
terkecil untuk M).

Garis Bilangan Real


Interpretasi geometri yang umum dan mudah untuk sistem bilangan real adalah garis
bilangan. Pada interpretasi ini, nilai mutlak adari unsur a di R dianggap sebagai jarak dari
a ke pusat 0. Lebih umum lagi, jarak antara unsur a dan b di R adalah |a−b| .
Kita akan memerlukan bahasa yang tepat untuk membahas gagasan suatu bilangan
real “dekat” ke yang lain. Bila diberikan bilangan real a, maka bilangan real x dikatakan
“dekat” dengan a seharusnya diartikan bahwa jarak antara keduanya |x−a| “kecil”. Untuk
membahas gagasan ini, kita akan menggunakan kata lingkungan, yang sebentar lagi akan kita
definisikan.

2.3.7 Definisi.
Misalkan a  R dan > 0. Maka lingkungan-dari a adalah himpunan
V(a) = {x R x a| < }.
Untuk a  R, pernyataan x termuat di V(a) ekivalen dengan pernyataan
-< x - a < a - < x < a + 

2.3.8 Teorema.
Misalkan a  R. Bila x termuat dalam lingkungan V(a) untuk setiap > 0, maka x =
a.
Bukti :
Bila x memenuhi |x a| < untuk setiap > 0, maka dari 2.2.9 diperoleh bahwa |x a| = 0,
dan dari sini x = a.

2.3.9. Contoh-contoh.
(a). Misalkan U = {x 0 < x < 1}. Bila a U, misalkan bilangan terkecil dari a atau 1 - a.
Maka V(a) termuat di U. Jadi setiap unsur di U mempunyai lingkungan-yang termuat
di U.
(b). Bila I = {x : 0 x 1}, maka untuk sebarang > 0, lingkungan-V(0) memuat
titik di luar I, sehingga V(0) tidak termuat dalam I. Sebagai contoh, bilangan x= -/2\
unsur di V(0) tetapi bukan unsur di I.
(c). Bila |x a| < dan |y b| , maka Ketaksamaan Segitiga mengakibatkan bahwa
x ya b= |x ay b
= |x a| y b |2.
Jadi bila x,y secara berturut-turut termuat di lingkungan -dari a,b maka x + y termuat di
lingkungan -2dari (a + b) (tetapi tidak perlu lingkungan -dari (a + b)).

Latihan 2.3.
1. Misalkan a  R. tunjukkan bahwa
(a). a= √ a2 (b¿ .|a2|=a2
2. Bila a,b  R. dan b 0, tunjukkan bahwa |a / b| a / b| .
3. Bila a,b  R, tunjukkan bahwa |a b| a| b| .jika dan hanya jika ab > 0.
4. Bila x,y,z  R, x z, tunjukan bahwa x < y < z jika dan hanya jika |x y |+ |y z |x
z|
Interpretasikan secara geometris.
5. Tentukan x  R, yang memenuhi pertaksamaan berikut :
(a). |4x 3 |13; (b). |x2 1| 3;
(c). |x 1| x 1| ; (d). |x| x 1| 2 .
6. Tunjukkan bahwa |x a| jika dan hanya jika a - < x < a + .
7. Bila a < x < b dan a < y < b, tunjukkan bahwa |x y| b a . Interpretasikan secara
geometris.
8. Tentukan dan sketsa himpunan pasangan berurut (a,b) di R R yang memenuhi
(a). |x| y| ; (b). |x| y| 1;
(c).| xy| 2 ; (d). |x| y| 2 .
9. Tentukan dan sketsa himpunan berurut (x,y) yang memenuhi
(a). |x| y| ; (b). |x| y| 1;
(c). |xy| 2 ; (d). |x| y| 2 .
10. Misalkan > 0 dan > 0, a  R. Tunjukkan bahwa V(a) V(a) dan V(a) V(a)
adalah lingkungan-dari a untuk suatu .
11. Tunjukkan bahwa bila a,b  R, dan a b, maka terdapat lingkungan-U dari a dan
lingkungan-V dari b, sehingga UV = .
2.4. Sifat Kelengkapan R
Sejauh ini pada bab ini kita telah membahas sifat aljabar dan sifat urutan sistem
bilangan real. Pada bagian ini kita akan membahas satu sifat lagi dari R yang sering disebut
dengan “sifat kelengkapan”. Sistem bilangan rasional Q memenuhi sifat aljabar 2.1.1 dan
sifat ururtan 2.2.1, tetapi seperti kita lihat 2 tidak dapat direpresentasikan sebagai bilangan
rasional, karena itu 2 tidak termuat di Q. Observasi ini menunjukan perlunya sifat tambahan
untuk bilangan real. Sifat tambahan ini, yaitu sifat kelengkapan, sangat esensial untuk R. Ada
beberapa versi sifat kelengkapan. Di sini kita pilih metode yang paling efisien dengan
mengasumsikan bahwa himpunan tak kosong di R mempunyai supremum.

Supremum dan Infimum


Sekarang kita akan perkenalkan gagasan tentang batas atas suatu himpunan bilangan
real. Gagasan ini akan sangat penting pada pembahasan selanjutnya.

2.4.1 Definisi.
Misalkan S suatu sub himpunan dari R.
(i). Bilangan u  R dikatakan batas atas dari S bila s u, untuk semua s S.
(ii). Bilangan w  R dikatakan batas bawah dari S bila w s, untuk semua s S

Pembaca seharusnya memikirkan (dengan teliti) tentang apa yang dimaksud dengan
suatu bilangan bukan batas atas (atau batas bawah) dari himpunan S. Pembaca seharusnya
menunjukkan bahwa bilangan v  R bukan batas atas dari S jika dan hanya jika terdapat s’
S, sehingga v < s’. (secara sama, bilangan z  R bukan batas bawah dari S jika dan hanaya
jika terdapat s’’ S, sehingga s” < z).
Perlu kita cata bahwa subhimpunan S dari R mungkin saja tidak mempunyai batas
atas (sebagai contoh, ambil S = R). Tetapi, bila S mempunyai batas atas, maka S mempunyai
tak hingga banyak batas atas sebab bila n batas atas dari S, maka sebarang v dengan v > u
juga merupakan batas atas dari S. (Observasi yang serupa juga berlaku untuk batas bawah).
Kita juga catat bahwa suatu himpunan mungkin mempunyai batas bawah tetapi tidak
mempunyai batas atas (dan sebaliknya). Sebagai contoh, perhatikan himpunan
S1 = {x  R : x 0} dan S2 = {x  R : x < 0}
Catatan :
Bila kita menerapkan definisi di atas untuk himpunan kosong , kita dipaksa kepada
kesimpulan bahwa setiap bilangan real merupakan batas atas dari . Karena agar u  R
bukan batas atas dari S, unsur s’ S harus ada, sehingga u < s’. Bila S = , maka tidak ada
unsur di S. Dari sini setiap bilangan real merupakan batas atas dari himpunan kosong. Secara
sama, setiap bilangan real merupakan batas bawah dari himpunan kosong. Hal ini mungkin
artifisial, tetapi merupakan konsekuensi logis dari definisi.
Pada pembahasan ini, kita katakan bahwa suatu himpunan S di R terbatas di atas bila
S mempunyai batas atas. Secara sama, bila himpunan P di R mempunyai batas bawah, kita
katakan P terbatas di bawah. Sedangkan suatu himpunan A di R dikatakan tidak terbatas
bila A tidak mempunyai (paling tidak satu dari) batas atas atau batas bawah. Sebagai contoh,
{x  R : x 2} tidak terbatas (walaupun mempunyai batas atas) karena tidak mempunyai
batas bawah.

2.4.2 Definisi.
Misalkan S subhimpunan dari R,
(i). Bila S terbatas di atas, maka batas atas u dikatakan supremum (atau batas atas
terkecil) dari S bila tidak terdapat batas atas (yang lain) dari S yang kurang dari u.
(ii). Bila S terbatas di bawah, maka batas bawah w dikatakan infimum (atau batas
bawah
terbesar) dari S bila tidak terdapat batas bawah (yang lain) dari S yang kurang dari
w.
Akan sangat berguna untuk memfarmasikan ulang definisi supremum dari suatu himpunan.

2.4.3 Lemma.
Bilangan real u merupakan supremum dari himpunan tak kosong S di R jika dan
hanya
jika u memenuhi kedua kondisi berikut :
(1). s u untuk semua s S.
(2). bila v < u, maka terdapat s’ S sehingga v < s’.
Kita tinggalkan bukti dari lemma ini sebagai latihan yang sangat penting bagi pembaca.
Pembaca seharusnya juga memfarmasikan dan membuktikan hal yang serupa untuk infimum.
Tidak sulit untuk membuktikan bahwa supremum dari himpunan S di R bersifat
tunggal. Misalkan u1 dan u2 supremum dari S, maka keduanya merupakan batas atas dari S.
Andaikan u1 < u2 dengan hipotesis u2 supremum mengakibatkan bahwa u1 bukan batas atas
dari S. Secara sama, pengandaian u2 < u1 dengan hipotesis u1 supremum mengakibatkan
bahwa u2 bukan batas atas dari S. Karena itu, haruslah u1 = u2. (Pembaca seharusnya
menggunakan cara serupa untuk menunjukkan infimum dari suatu himpunan di R bersifat
tunggal).

Bila supremum atau infimum dari suatu himpunan S ada, kita akan menuliskannya
dengan sup S dan inf S. Kita amati juga bahwa bila u’ sebarang batas atas dari S, maka sup S
u’. Yaitu, bila s u’ untuk semua s S, maka sup S u’. Hal ini mengatakan bahwa sup S
merupakan batas atas terkecil dari S.
Kriteria berikut sering berguna dalam mengenali batas atas tertentu dari suatu himpunan
merupakan supremum dari himpunan tersebut.

2.4.4 Lemma.
Suatu batas atas u dari himpunan tak kosong S di R merupakan supremum dari S
jika dan hanya jika untuk setiap > 0 terdapat sS sehingga u - < s.
Bukti :
Misalkan u batas atas dari S yang memenuhi kondisi di atas. Bila v < u dan kita
tetapkan = u - v, maka > 0, dan kondisi di atas mengakibatkan terdapat s S sehingga v
= u - < s. Karennya v bukan batas atas dari S. Karena hal ini berlaku untuk sebarang v yang
kurang dari u, maka haruslah u = sup S.
Sebaliknya, misalkan u = sup S dan > 0. Karena u - < u, maka u - bukan batas
atas dari S. Karenanya terdapat unsur sdi S yang lebih dari u - , yaitu u - < s
Penting juga untuk dicatat bahwa supremum dari suatu himpunan dapat merupakan
unsur dari himpunan tersebut maupun bukan. Hal ini bergantung pada jenis himpunannya.
Kita perhatikan contoh-contoh berikut.

2.4.5 Contoh-contoh
(a). Bila himpunan tak kosong S1 mempunyai berhingga jumlah unsur, maka S1 mempunyai
Unsure terbesar u dan unsur terkecil w. Lebih dari itu u = sup S1 dan w = inf S1 keduanya
unsur di S1. (Hal ini jelas bila S1 hanya mempunyai sebuah unsur, dan dapat digunakan
induksi matematika untuk sejumlah unsur dari S1).
(b). Himpunan S2 = {x : 0 x 1} mempunyai 1 sebagai batas atas. Kita akan buktikan 1
merupakan supremum sebagai berikut. Bila v < 1, maka terdapat unsur s’ di S2 sehingga
v < s’.(pilih unsur s’). Dari sini v bukan batas atas dari S2 dan, karena v sebarang bilangan
v < 1, haruslah sup S2 = 1. Secara sama, dapat ditunjukkan inf S2 = 0.
Catatan : sup S2 dan inf S2 keduanya termuat di S2.
(c). Himpunan S3 = {x : 0 < x < 1} mempunyai 1 sebagai batas atas. Dengan menggunakan
argumentasi serupa (b) untuk S2, diperoleh sup S3 = 1. Dalam hal ini, himpunan S3 tidak
memuat sup S3. Secara sama, inf S3 = 0, tidak termuat di S3.
(d). Seperti telah disebutkan, setiap bilangan real merupakan batas atas dari himpunan
kosong,
karenanya himpunan kosong tidak mempunyai supremum. Secara sama himpunan
kosong
juga tidak mempunyai infimum.

Sifat Supremum dari R


Berikut ini kita akan membahas asumsi terakhir tentang R yang sering disebut dengan
Sifat Kelengkapan dari R. Selanjutnya kita katakan R merupakan suatu medan terurut yang
lengkap.

2.4.6 Sifat Supremum dari R.


Setiap himpunan bilangan real tak kosong yang mempunyai batas atas mempunyai
supremum di R. Sifat infimum yang serupa dapat diturunkan dari sifat supremum. Katakan S
sub
himpunan tak kosong yang terbatas di bawah dari R. Maka himpunan S’ = {-s : s S}
terbatas di atas, dan sifat supremum mengakibatkan bahwa u = sup S’ ada. Hal ini kemudian
diikuti bahwa -u merupakan infimum dari S, yang pembaca harus buktikan.

2.4.7 Sifat Infimum dari R.


Setiap himpunan bilangan real tak kosong yang mempunyai batas bawah mempunyai
infimum di R. Pembaca seharusnya menuliskan bukti lengkapnya.
Latihan 2.4
1. Misalkan S1 = {x  R : x 0}. Tunjukkan secara lengkap bahwa S1 mempunyai batas
bawah,
tetapi tidak mempunyai batas atas. Tunjukkan pula bahwa inf S1 = 0.
2. Misalkan S2 = {x  R : x 0}. Apakah S2 mempunyai batas bawah ? Apakah S2
mempunyai
batas atas? Buktikan pernyataan yang anda berikan.
3. Misalkan S3 = {1/n n N}. Tunjukkan bahwa sup S3 = 1 dan inf S3 0. (Hal ini akan
diikuti
bahwa inf S3 = 0, dengan menggunakan Sifat Archimedes 2.5.2 atau 2.5.3 (b)).
4. Misalkan S4 = {1 - (-1)n/n : n N}.Tentukan inf S4 dan sup S4.
5. Misalkan S subhimpunan tak kosong dari R yang terbatas di bawah. Tunjukkan bahwa
inf S = -sup{-s : s S}.
6. Bila S  R memuat batas atasnya, tunjukkan bahwa batas atas tersebut merupakan
supremum
dari S.
7. Misalkan S  R yang tak kosong. Tunjukkan bahwa u  R merupakan batas atas dari R
jika
dan hanya jika kondisi t  R dan t > u mengakibatkan t S.
8. Misalkan S  R yang tak kosong. Tunjukkan bahwa u = sup S, kaka untuk setiap nN, u -
1/n
bukan batas atas dari S, tetapi u + 1/n batas atas dari S. (Hal sebaliknya juga benar ; lihat
latihan 2.5.3).
9. Tunjukkan bahwa bila A dan B sub himpunan yang terbatas dari R, maka AB juga
terbatas.
Tunjukkan bahwa sup (AB) = sup {sup A, sup B}.
10.Misalkan S terbatas di R dan S sub himpunan tak kosong dari S. Tunjukkan bahwa
inf S inf S0 sup S0 sup S.
11.Misalkan S  R dan s* = sup S termuat di S. Bila uS, tunjukkan bahwa
sup (S{u}) = sup {s*,u}.
12.Tunjukkan bahwa suatu himpunan tak kosong dan berhingga S  R memuat
supremumnya.
(Gunakan induksi matematika dan latihan nomor 11).

2.5 Aplikasi Sifat Supremum


Sekarang kita akan membahas bagaimana supremum dan infimum digunakan. Contoh
berikut menunjukkan bagaimana definisi supremum dan infimum digunakan dalam
pembuktian. Kita juga akan memberikan beberapa aplikasi penting sifat ini untuk
menurunkan sifat-sifat fundamental sistem bilangan real yang akan sering digunakan.

2.5.1 Contoh-contoh
(a). Sangatlah penting untuk menghubungkan infimum dan supremum suatu himpunan
dengan
sifat-sifat aljabar R. Di sini kita akan sajikan salah satunya ; yaitu tentang penjumlahan,
sementara yang lain diberikan sebagai latihan.
Misalkan S sub himpunan tak kosong dari R. Definisikan himpunan
a + S = {a + x : x S}.
Kita akan tunjukkan bahwa
sup (a + S) = a + sup S.
Bila kita misalkan u = sup S, maka karena x u untuk semua x S, kita mempunyai
a + x a + u. Karena itu a + u batas atas dari a + S ; akibatnya kita mempunyai
sup (a + S) a + u. Bila v sebarang batas atas dari himpunan a + S, maka a + x v
untuk
semua x S. Maka x v - a untuk semua x S, yang mengakibatkan u = sup S v - a,
sehingga a + u v. Karena v sebarang batas atas dari a + S, kita dapat mengganti v
dengan
sup (a + S) untuk memperoleh a + u sup (a + S).
Dengan menggabungkan ketaksamaan di atas diperoleh bahwa
sup (a + S) = a + u = a + sup S.
(b). Misalkan f dan g fungsi-fungsi bernilai real dengan domain D  R. Kita asumsikan
rangenya f(D) = {f(x) : x D} dan g(D) = {g(x) : x D}himpunan terbatas di R.
(i). Bila f(x) g(x) untuk semua x D, maka sup f(D) sup g(D).
Untuk membuktikan hal ini, kita catat bahwa sup g(D) merupakan batas atas
himpunan
f(D) karena untuk setiap x D, kita mempunyai f(x) g(x) sup g(D). Karenanya
sup
f(D) sup g(D).
(ii). Bila f(x) g(y) untuk semua x,y D, maka sup f(D) sup g(D).
Buktinya dalam dua tahap. Pertama, untuk suatu y tertentu di D, kita lihat bahwa
f(x) g(y) untuk semua x D, maka g(y) batas atas dari himpunan f(D). Akibatnya
sup f(D) g(y). Karena ketaksamaan terakhir dipenuhi untuk semua y D, maka
sup f(D) merupakan batas bawah dari g(D). Karena itu, haruslah sup f(D) inf g(D).
(c). Perlu dicatat bahwa hipotesis f(x) g(x) untuk semua x D pada (b) tidak menghasilkan
hubungan antara sup f(D) dan inf g(D). Sebagai contoh, bila f(x) = x 2 dan g(x) = x
dengan
D = {x  R : 0 < x < 1}, maka f(x) g(x) untuk semua x D, tetapi sup f(D) = 1 dan
inf g(D) = 0, serta sup g(D) = 1. Jadi (i) dipenuhi, sedangkan (ii) tidak.
Lebih jauh mengenai hubungan infimum dan supremum himpunan dari nilai
fungsi diberikan sebagai latihan.

Sifat Archimedes
Salah satu akibat dari sifat supremum adalah bahwa himpunan bilangan asli N tidak
terbatas di atas dalam R. Hal ini berarti bahwa bila diberikan sebarang bilangan real x
terdapat bilangan asli n (bergantung pada x) sehingga x < n. Hal ini tampaknya mudah, tetapi
sifat ini tidak dapat dibuktikan dengan menggunakan sifat aljabar dan urutan yang dibahas
pada bagian terdahulu. Buktinya yang akan diberikan berikut ini menunjukkan kegunaan
yang esensial dari sifat supremum R.

2.5.2. Sifat Archimedes.


Bila x  R, maka terdapat nx N sehingga x < nx.
Bukti :
Bila kesimpulan di atas gagal, maka x terbatas atas dari N. Karenanya, menurut sifat
supremum, himpunan tak kosong N mempunyai supremum u R. Oleh karena u -1 < u, maka
menurut Lemma 2.4.4 terdapat m N sehingga u -1 < m. Tetapi hal ini mengakibatkan
u < m + 1, sedangkan m + 1 N, yang kontradiksi dengan u batas atas dari N.
Sifat Archimedes dapat dinyatakan dalam beberapa cara. Berikut kita sajikan tiga variasi
diantaranya.

2.5.3 Teorema Akibat.


Misalkan y dan z bilangan real positif. Maka :
(a). Terdapat n N sehingga z < ny.
(b).Terdapat n N sehingga 0 < 1/n < y.
(c). Terdapat n N sehingga n - 1 z < n.
Bukti :
(a). Karena x = z/y > 0, maka terdapat n N sehingga z/y = x < n dan dari sini diperoleh z <
ny.
(b). Tetapkan z = 1 pada (a) yang akan memberikan 1 < ny, dan akibatnya 1/n < y.
(c). Sifat Archimedes menjamin subhimpunan {m N : z < m} dari N tidak kosong.
Misalkan n unsur terkecil dari himpunan ini (lihat 1.3.1). Maka n - 1 bukan unsur himpunan
tersebut, akibatnya n - 1 z < n.
Eksistensi √ 2
Pentingnya sifat supremum terletak pada fakta yang mana sifat ini menjamin
eksistensi bilangan real di bawah hipotesis tertentu. Kita akan menggunakan ini beberapa
kali. Sementara ini, kita akan mengilustrasikan kegunaannya untuk membuktikan eksistensi
bilangan positif x sehingga x 2=2. Telah ditunjukkan (lihat Teorema 2.1.7) bahwa x yang
demikian bukan bilangan rasioanl ; jadi, paling tidak kita akan menunjukkan eksistensi
sebuah bilangan irrasional.

2.5.4 Teorema.
Terdapat bilangan real positif x sehingga x 2=2.
Bukti :
Misalkan S = {s  R 0 s, s2 < 2}. Karena 1 s, maka S bukan himpunan kosong.
Juga, S terbatas di atas oleh 2, karena bila t > 2, maka t 2 > 4 sehingga t S. Karena
itu,
menurut sifat supremum, S mempunyai supremum di R, katakan x = sup S.
Catatan : x > 1.
Kita akan buktikan bahwa x 2 = 2 dengan menanggalkan dua kemungkinan x 2 < 2 dan
x 2 > 2.
Pertama andaikan x 2 < 2. Kita akan tunjukkan bahwa asumsi ini kontradiksi dengan
fakta
bahwa x = sup S yaitu dengan menemukan n N sehingga x + 1/n S, yang
berakibat
bahwa x bukan batas atas dari S. Untuk melihat bagaimana cara memilih n yang
demikian, gunakan fakta bahwa 1/n < 2 1/n, sehingga
1 2 2 2x 1 2 1
( )
x+
n
=x + + 2 ≤ x + ( 2 x +1 )
n n n
Dari sini kita dapat memilih n sehingga
1
( 2 x+1 )< 2−x 2,
n
maka kita memperoleh ( x +1/n)2< x 2 +( 2−x 2)=2.Dari asumsi, kita
mempunyai 2−x 2 > 0, sehingga (2−x 2)/(2x + 1) > 0. Dari sini sifat Archimedes
dapat digunakan untuk memperoleh n N sehingga
1 2−x 2
<
n 2 x+ 1
Langkah-langkah ini dapat dibalik untuk menunjukkan bahwa dengan pemilihan n ini

1
kita mempunyai x + S, yang kontradiksi dengan fakta bahwa x batas atas dari S.
n
Karenanya, haruslah x 2 2. Sekarang andaikan x 2> 2. Kita akan tunjukkan bahwa
dimungkinkan untuk menemukan m N sehingga x - 1/m juga merupakan batas atas dari S,
yang mengkontradiksi fakta bahwa x = sup S. Untuk melakukannya, perhatikan bahwa

1 2 2 2x 1 2 2x
( x+
m) =x + + 2 > x −
m m m
2x 2
Dari sini kita dapat memilih m sehingga < x −2
m
x2 −2
maka ( x−1/m)2> x 2−(x 2−2)=2. Sekarang dengan pengandaian x 2−2 > 0, maka >0.
2x
Dari sini, dengan sifat Archimedes, terdapat m N sehingga
1 x2 −2
<
m 2x
Langkah ini dapat dibalik untuk menunjukkan bahwa dengan pemilihan m ini kita
mempunyai ( x−1/m)2>¿ 2. Sekarang bila s S, maka s2 < 2 < ( x−1/m)2, yang mana
menurut 2.2.14(a) bahwa s < x - 1/m. Hal ini mengakibatkan bahwa x - 1/m merupakan batas
atas dari S, yang kontradiksi dengan fakta bahwa x = sup S. Jadi tidak mungkin x 2 > 2.
Karena tidak mungkin dipenuhi x 2 > 2 atau x 2 < 2, haruslah x 2 = 2. (*)

Dengan sedikit modifikasi, pembaca dapat menunjukkan bahwa bila a > 0, maka
terdapat b > 0 yang tunggal, sehingga b 2 = a. Kita katakan b akar kuadrat positif dari a dan
dituliskan dengan b=√ a atau b=a1 /2. Dengan cara sedikit lebih rumit yang melibatkan
teorema binomial dapat diformulasikan eksistensi tunggal dari akar pangkat-n positif dari a,
yang dituliskan dengan √n a atau a 1/ n, untuk n N.

Densitas (= kepadatan) Bilangan Rasional di R


Sekarang kita mengetahui terdapat paling tidak sebuah bilangan irrasional, yaitu √ 2 .
Sebenarnya terdapat “lebih banyak” bilangan irasional dibandingkan bilangan rasional
dalam arti himpunan bilangan rasional terhitung sementara himpunan bilangan irrasional tak
terhitung. Selanjutnya kita akan tunjukkan bahwa himpunan bilangan rasional “padat” di R
dalam arti bahwa bilangan rasional dapat ditemukan diantara sebarang dua bilangan real yang
berbeda.

2.5.5 Teorema Densitas.


Bila x dan y bilangan real dengan x < y, maka terdapat bilangan rasional r sehingga
x < r < y.
Bukti :
Tanpa mengurangi berlakunya secara umum, misalkan x > 0. (Mengapa?).

Dengan sifat Archimedes 2.5.2, terdapat n N.sehingga n > 1/(y - x). Untuk n yang
demikian, kita mempunyai bahwa ny - nx > 1. Dengan menggunakan Teorema akibat
2.5.3(c) ke nx > 0, kita peroleh m N sehingga m - 1 nx < m. Bilangan m ini juga
memenuhi m < ny, sehingga r = m/n bilangan rasional yang memenuhi x < r < y.
Untuk mengakhiri pembahasan tentang hubungan bilangan rasional dan irasional,
kita juga mempunyai sifat serupa untuk bilangan irasional.

2.5.6 Teorema akibat.


Bila x dan y bilangan real dengan x < y, maka terdapat bilangan
irasional z sehingga x < z < y.
Bukti :
Dengan menggunakan Teorema Densitas 2.5.5 pada bilangan real x / √ 2 dan y¿ √ 2 ,
kita peroleh bilangan rasional r 0 sehingga
x / √2 < r < ¿ √ 2 .
Maka z = r√ 2 adalah bilangan irrasional (Mengapa?) dan memenuhi x < z < y.

Latihan 2.5
1. Gunakan Sifat Archimedes atau Teorema Akibat 2.5.3 (b) untuk menunjukkan bahwa
inf {1/n n N} = 0.
2. Bila S = {1/n - 1/m n,m N}, tentukan inf S dan sup S.
3. Misalkan S R tak kosong. Tunjukkan bahwa bila u di R mempunyai sifat :
(i). untuk setiap n N, u - 1/n bukan batas atas dari S, dan
(ii).untuk setiap n N, u + 1/n bukan batas atas dari S, maka u = sup S. (Ini merupakan
kebalikan Teorema 2.4.8).
4. Misalkan S himpunan tak kosong dan terbatas di R.
(a). Misalkan a > 0, dan aS = {as s S}. Tunjukkan bahwa
inf (aS) = a inf S, sup (aS) = a sup S.
(b). Misalkan b < 0, dan bS = {bs s S}. Tunjukkan bahwa
inf (bS) = b sup S, sup (bS) = b inf S.
5. Misalkan X himpunan tak kosong dan f : X  R mempunyai range yang terbatas di R.
Bila
a  R, tunjukkan bahwa contoh 2.5.1(a) mengakibatkan bahwa
sup {a + f(x) x X} = a + sup {f(x) x X}.
Tunjukkan pula bahwa
inf {a + f(x) x X} = a + inf {f(x) x X}.
6. Misalkan A dan B himpunan tak kosong dan terbatas di R, dan A + B = {a + b a A,
b B}. Tunjukkan bahwa sup (A + B) = sup A + sup B dan inf (A + B) = inf A + inf B.

7. Misalkan X himpunan tak kosong, f dan g fungsi terdefinisi pada X dan mempunyai range
yang terbatas di R.
Tunjukkan bahwa
sup{f(x) + g(x) x X} sup{f(x) x X} + sup{g(x) x X}
dan
inf{f(x) x X} + inf {g(x) x X} inf{f(x) + g(x) x X}
Berikan contoh yang menunjukkan kapan berlaku kesamaan atau ketaksamaan murni.
8. Misalkan X = Y = {x R 0 < x < 1}. Tentukan h : XY  R dan h(x,y) = 2x + y.
(a). untuk setiap x X, tentukan f(x) = sup {h(x,y) : y Y}
Kemudian tentukan inf {f(x) x X}.
(b). untuk setiap y Y, tentukan g(y) = inf {h(x,y) : x X}
Kemudian tentukan sup {g(y) y Y}.
Bandingkan hasilnya dengan bagian (a).
9. Lakukan perhitungan di (a) dan (b) latihan nomor 8 untuk fungsi h : XY  R yang
didefinisikan dengan

h { x , y } = 0 , bila x < y
{
1 , bila x ≥ y
10. Misalkan X,Y himpunan tak kosong dari h : XY  R yang mempunyai range
terbatas di
R. Misalkan f : X  R dan g : Y  R didefinisikan dengan
f(x) = sup {h(x,y) y Y}, g(y) = inf {h(x,y) x X}.
Tunjukkan bahwa
sup{g(y) y Y} inf {f(x) x X}
Kita akan menuliskannya dengan
¿ inf h ( x , y ) ≤¿ x inf h ( x , y )
y x y

Catatan, pada latihan nomor 8 dan nomor 9 menunjukkan bahwa ketaksamaan bisa
berupa
kesamaan atau ketaksamaan murni.
11. Misalkan X,Y himpunan tak kosong dari h : XY  R yang mempunyai range
terbatas di
R. Misalkan F : X  R dan G : Y  R didefinisikan dengan
F(x) = sup {h(x,y) y Y}, G(y) = inf {h(x,y) x X}.

Perkenalkan Prinsip Iterasi Supremum :


sup{h(x,y) x X, y Y} = sup {F(x) x X}
= sup {G(y) y Y}.
Hal ini sering dituliskan dengan
¿ h ( x , y )=¿ x ¿ y h ( x , y )=¿ y ¿ x h (x , y )
x, y

12. Diberikan sebarang x R,tunjukkan bahwa terdapat nZ yang tungal sehingga n - 1 x <
n.
13. Bila y > 0 tunjukkan bahwa terdapat n N sehingga 1/2n< y.

14. Modifikasi argumentasi pada teorema 2.5.4 untuk menunjukkan bahwa terdapat bilangan
real
positif y sehingga y 2 = 3.
15. Modifikasi argumentasi pada teorema 2.5.4 untuk menunjukkan bahwa bila a > 0, maka
terdapat bilangan real positif z sehingga z 2 = a.
16. Modifikasi argumentasi pada teorema 2.5.4 untuk menunjukkan bahwa terdapat bilangan
real
positif u sehingga u3= 2.
17. Lengkapi bukti Teorema Densitas 2.5.5 dengan menghilangkan hipotesis x > 0.
18. Bila u > 0 dan x < y, tunjukkan bahwa terdapat bilangan rasional r sehingga x < ru < y.
(Dari sini himpunan {ru r Q} padat di R).

BAB III

BARISAN BILANGAN REAL


Dasar-dasar dari sistem bilangan riil R telah diletakkan. kita siapuntuk
mempertanyakan yang lebih bersifat analitik, dan kita akan mengawali dengan belajar
kekonvergenan barisan. Beberapa bagian diawal mungkin tidak asing bagi pembaca, tapi
penyajian di sini dimaksudkan untuk lebih teliti dan teorema-teorema tertentu lebih
mendalam daripada yang dibahas biasanya dipelajaran sebelumnya.
Pertama-tama kita akan memperkenalkan pengertian dari kekonvergenan barisan
bilangan real dan menetapkan beberapa dasar, tetapi berguna. Kemudian disajikan beberapa
hal yang lebih dalam mengenai kekonvergenan barisan. Termasuk teorema kekonvergenan
monoton, teorema Bolzano-Weierstrass, dan kriteria Cauchy untuk kekonvergenan barisan.
Penting bagi pembaca untuk mempelajari teorema-teorema dan bagaimana penggunaan
teorema tersebut pada barisan khusus.

3.1 Barisan dan Limit Barisan

Barisan (sequence) pada suatu himpunan S adalah suatu fungsi dengan domain ℕ
dan mempunyai range dalam S. Pada subbab ini akan dibahas mengenai barisan di ℝ dan
akan didiskusikan apa yang dimaksud dengan konvergensi dari suatu barisan.

3.1.1 Definisi
Barisan bilangan riil (barisan dalam R) adalah fungsi yang di definisikan pada bilangan asli
N= {1,2, ...} dari bilangan asli dengan range termuat dalam bilangan real R.

Dengan kata lain, barisan dalam R adalah suatu fungsi yang menghubungkan setiap
bilangan asli n=1,2 ,… adengan tepat satu bilangan real. Jika X : N → Radalah suatu barisan,
kita biasaanya menuliskan nilai X pada n dengan notasi x n daripada menggunakan notasi
fungsi X (n). Nilai x n juga disebut dengan suku atau elemen dari barisan. Kita akan
menuliskan barisan ini dengan notasi
X, ( x n) , ( x n : n∈ N ¿
Tentu saja, kita akan sering menggunakan huruf lain, seperti Y =( y k ), Z=( z k ), dan seterusnya
untuk menuliskan barisan.
Kita sengaja menggunakan tanda kurung untuk menekankan bahwa induksi terurut
dari urutan bilangan asli N adalah penting. Dengan demikian, kita harus dapat membedakan
cara penulisan antarabarisan ( x n : n∈ N ), yang memiliki tak terhingga banyaknya suku-suku
yang berurutan, dengan himpunan nilai {x n :n ∈ N } pada range dari barisan yang tidak terurut.
Contoh, barisan X ≔( (−1 )n :n ∈ N) menunjukan kumpulan bilangan antara 1 dan −1 yang

dapat juga dinyatakan dengan (−1,1 ,−1,1 ,−1,1, … .), dimana himpunannya {(−1 )n :n ∈ N } =
{−1,1 } yang mempunyai dua elemen.

Barisan sering didefinisikan dengan menggunakan rumus ke-n(x n ). Sering kali,akan


lebih mudah untuk mendaftar suku-suku dari barisan dalam bentuk terurut, dan berhenti
ketika aturan pembentuk barisan tersebut sudah tampak jelas. Sebagai contoh, kita dapat
mendefinisikan barisan kebalikan dari bilangan genap dengan menulis

X≔ ( 12 , 41 , 16 , 18 ,…)
Meskipun metode yang lebih efisien untuk menspesifikas irumus untuk suku umum
dituliskan

X≔ ( 21n :n∈ N )
Atau secara sederhana X = ( 21n ).
Cara lain untuk mendefinisikan barisan adalah menetapkan nilai x 1 dan menggunakan
rumus untuk suku ke x n+1 ( n ≥1 ) dari x n. Lebih umum, kita dapat menetapkan x 1 dan
menggunakan rumus untuk memperoleh x n+1 dari x 1 , x 2 , … , x n . Barisan yang didefinisikan
dengan cara ini dinamakan definisi induktif (atau rekursif).

3.1.2 Contoh
(a) Jika b ∈ R , barisan B≔ ( b , b , b , … ), yang semua sukunya sama yaitub, maka barisan
yang seperti ini dinamakan barisan konstan. Dengan demikian, barisan konstan 1
adalah barisan ( 1,1,1 , … ) , dan barisan konstan 0 adalah barisan ( 0,0,0 , … ) .

(b) Jika b ∈ R, B≔(b n) adalah barisan B≔(b , b 2 , b3 , … , bn , … .). Dalam hal khusus, jika

1
b= ,kita memperoleh barisan
2

( 21 :n ∈ N )=( 12 , 14 , 18 , … , 21 , …)
n n
(c) Barisan (2 n :n ∈ N ) dari bilangan asli genap dapat didefinisikan secara induktif dengan
x 1 :=2, x n+1 :=x n +2
Atau dengan definisi
y 1 ;=2, y n+ 1 ;= y 1+ y n

(d) Barisan Fibonacci yang sudah dikenal F ≔ ( f n )dinyatakan dalam definisi induktif
f 1 ;=1 , f 2 ;=2, f n+1 ;= y n−1 + y n ( n≥ 2)
Demikian angka berikutnya didapat dengan cara menambahkan kedua bilangan yang
berurutan sebelumnya. Sepuluhsuku pertama dariF yaitu (1,1,2,3,5,8,13,21,34,55, ...).

Limit Barisan
Ada sejumlah konsep limit yang berbeda dalam analisis riil. Gagasan limit barisan adalah
yang paling dasar, dan itu akan menjadi fokus dari subbab ini.

3.1.3 Definisi
Suatu barisan X =(x n ) di R dikatakan konvergen ke x ∈ R ,atau x dikatakan limit dari ( x n) ,
jika untuk setiap ε > 0terdapat bilangan asliK ( ε) sedemikian sehingga untuk setiap n ≥ K (ε ),
suku x n memenuhi ¿ x n−x∨¿ ε.
Jika x merupakan limit dari barisan X , maka dapat dikatakan bahwa X =( x n )
konvergen ke x (atau X mempunyai limit x). Jika suatu barisan mempunyai limit, maka
barisan tersebut dikatakan konvergen. Jika barisan tidak mempunyai limit, barisan tersebut
dikatakan divergen.

Perhatikan. Notasi K ( ε) digunakan untuk menekankan bahwa pilihanK tergantung pada


nilaiε. Namun, tidak menyusahkan untuk menulisK daripadaK ( ε). Dalam banyak kasus,
nilaiεyang "kecil" biasanya memerlukan nilaiK yang "besar" untuk menjamin bahwa jarak
¿ x n−x∨¿ antara x n dan xkurang dari ε untuk semua n ≥ K=K ( ε ).

Ketika suatu barisan mempunyai limit x, kita akan menggunakan notasi


lim X=x atau lim ( x n) =x

Kadang-kadang juga digunakan simbol x n → x , yang menunjukkan gagasan intuitif bahwa


nilai-nilai x n mendekati bilangan x ketikan → ∞.
3.1.4 Ketunggalan Limit
Suatu barisan di Rmemiliki paling banyak sebuah limit.
Bukti.
Andaikan bahwa x ' dan x ' 'keduanya merupakan limit dari ( x n ). Untuk setiap ε > 0 terdapat

ε
K ' sedemikian sehingga ¿ x n−x '∨¿ untuk setiap n ≥ K ',dan terdapat K ' ' sedemikian
2

ε
sehingga ¿ x n−x ' ' ∨¿ untuk setiap n ≥ K ' '. Kita misalkan Klebih dari K ' dan K ' '. Maka
2
untuk n ≥ Kkita menerapkan ketaksamaan segitiga untuk memperoleh
|x ' −x ''|=|x ' −x n+ x n −x' '|
ε ε
≤|x ' −x n|+|x n−x ''|< + =ε
2 2
Karena ε > 0adalah sebarang bilangan positif, kita menyimpulkan bahwa x ' −x ' ' =0 ⇔ x' =x ' '
Untuk x ∈ R dan ε > 0, ingat bahwa persekitaran-ε dari x adalah himpunan
V ε ( x ) ≔ {u ∈ R :∨u−x∨¿ ε }
(Lihat bagian 2.2) Karena u ∈V ε ( x ) ekuivalen dengan |u−x|<ε , definisi konvergen dari
barisan dapat dirumuskan dalam bentuk persekitaran. Kita memberikan beberapa cara yang
berbeda untuk menyatakan bahwa barisan x n konvergen ke x pada teorema berikut.

3.1.5 Teorema
Misalkan X =( x n ) adalah barisan bilangan real, dan misalkan x ∈ R . Pernyataan berikut
ekuivalen.
(a) X konvergen ke x
(b) Untuk setiap ε > 0, terdapat bilangan asli K sedemikian sehingga untuk semua n ≥ K ,
suku x n memenuhi ¿ x n−x∨¿ ε.
(c) Untuk setiap ε > 0, terdapat bilangan asli K sedemikian sehingga untuk semua n ≥ K ,
suku x n memenuhi x−ε < x n< x + ε .
(d) Untuk setiap persekitaran -ε V ε ( x ) dari x, terdapat bilangan asli K sedemikian
sehingga untuk semua n ≥ K, suku x n ∈ V ε ( x ) .

Bukti.
( a ) ⟹ ( b ) Jelas (dari definisi).
(b)⟹(c )|x n−x|< ε ⇔−ε < x n−x < ε ⟺ x−ε < x n < x+ ε
(c )⟹ ( d ) x−ε < x n < x +ε ⇔ x n ∈ ( x−ε , ε + x ) ⟺ x n ∈ V ε ( x )
(d )⟹ ( a ) x n ∈ V ε ( x ) ⟺ x−ε < x n< x+ ε ⟺| xn −x|< ε

Penggunaan bahasa persekitaran, salah satunya dapatdigunakan untuk mendeskripsikan


kekonvergenan dari barisan X =(x n ) ke bilangan x dengan mengatakan: Untuk setiap
persekitaran -ε V ε ( x )padax, semua kecuali jumlah berhingga suku-sukuX termuat diV ε ( x ).
Jumlah berhingga dari suku-suku yang mungkin tidak termuat dipersekitaran-ε adalah suku-
suku x 1 , x 2 , … , x K −1 .

Catatan. Definisi limit barisan bilangan real digunakan untuk membuktikan nilaix yang
dikemukakanmerupakanlimit. Definisi limit barisan bilangan real tidakmenyediakan sarana
untukmenentukan nilaix yangmungkin. Hasilnyakemudianmemberikan kontribusi
untuktujuan ini,tetapicukup seringdalam praktekuntuk sampai padadugaan nilailimitdengan
perhitunganlangsungdari suku-suku barisan tersebut.Dalam hal ini komputerakan sangat
membantu, tapi karena komputer hanyadapat menghitunghanyapada suku-suku berhingga
dari suatu barisan, maka perhitungandemikian bukanlah bukti.
Contoh-contoh berikut mengilustrasikan bagaimana definisi digunakan untuk
membuktikan bahwa barisan memiliki suatu limit yang khusus. Dalam setiap kasus, sebuahε
positifdiberikandankita dituntut untukmenemukanKtergantung padaε, seperti yang
dipersyaratkan olehdefinisi.

3.1.6 Contoh

(a) Tujukan bahwa lim ( 1n )=0


Jawab.

Untuk membuktikan bahwa lim ( 1n )=0, maka harus dibuktikan bahwa untuk setiap ε > 0,
ada bilangan asli K ( ε), sedemikian hingga untuk setiap n ≥ K (ε ), maka |1n −0|<ε
1
Jika diberikan ε > 0, maka >0 . Dengan Sifat Archimedes 2.4.5 ada bilangan natural
ε

1 1 1
K= K (ε ) sedemikian sehingga < ε . Maka, jika n ≥ K, kita punya ≤ < ε.
K n K
Akibatnya, jika n ≥ K, maka

|1n −0|= 1n <ε


Oleh karena itu, kita dapat menyatakan bahwa barisan ( 1n )konvergen ke 0.
(b) Tunjukan bahwa lim ( n 1+1 )=0
2

Jawab.
Misalkan diberikan ε > 0. Untuk menemukan bilangan K, pertama perlu kita catat bahwa
jika n ∈ N , maka
1 1 1
< 2<
n +1 n n
2

1
Sekarang pilih K sedemikian sehingga < ε , seperti pada bagian (a) di atas. n ≥ K
K

1
mengimplikasikan bahwa < ε , dan oleh karena itu
n
1 1 1
| n +12 |
−0 = 2 < <ε
n +1 n
Oleh karena itu,kami telah menunjukkan bahwalimit barisan adalah nol.

(c) Tujukan bahwalim ( 3n+1


n+2
)=3
Jawab.

Jika Diberikan ε > 0, kita akan menunjukan bahwa |3n+1


n+2
−3|< ε

Ketikancukup besar. pertamakitamenyederhanakan pernyataan yang di sebelah kiri:

|3n+1
n+2
−3|=|
3 n+2−3 n−3
n+ 1 |=|
−1
|=
1
<
n+1 n+1 n
1

1
Selanjutnya, pilihlah K sedemikian hingga untuk sebarang ε > 0 ada < ε , seperti di atas.
K

1 1
Maka, jika n ≥ K , akan diperoleh ≤ < ε. Akibatnya, jika n ≥ K ,maka
n K
|3n+1
n+2
−3|=|
3 n+2−3 n−3
n+ 1 |=|n+1
−1
|= n+11 < 1n < ε
Ini membuktikan bahwa lim ( 3n+1
n+2
)=3.
(d) Tunjukkan bahwa lim ( √ n+1−√ n)=0
Jawab.
Kita mengalikan dengan akar sekawan √ n+1− √ n untuk mendapatkan
( √ n+1−√ n ) ( √ n+1+ √ n ) n+ 1−n
=
( √ n+1+ √ n ) √ n+1+ √ n
1 1
¿ ≤
√n+ 1+ √ n √ n

1
Jika kita berikan ε > 0 , maka kita akan menunjukkan < ε jika dan hanya jika
√n
1 2 1
< ε atau n> 2 . Selanjutnya pilih K >1/ε 2, maka √ n+1− √ n< ε untuk semua n> K .
n ε
(untuk contoh kita, jika kita memakai ε =1/10 maka K >100 adalah wajib).

(e) Jika 0< b<1, maka lim ( bn ) =0


Jawab.
Kita akan menggunakan sifat-sifat dasar dari fungsi logaritma natural. Jika diberikan ε > 0,
kita melihat bahwa
ln ε
b n< ε ⟺ n ln b< ln ε ⟺ n>
ln b

(ketaksamaan pada pernyataan terakhir dibalik karena ln b< 0). Dengan demikian, jika kita

ln ε
memilih bilangan K sedemikian sehingga K > , maka kita punya 0< bn <ε untuk semua
ln b
n ≥ K . Demikian juga kita punya lim ( bn ) =0.

Sebagai contoh, jika b=.8 dan jika diberikan ε =.01, maka kita memerlukan

ln .01
K> ≈ 20.6377 . demikian untuk K=21 akan menjad ipilihan yang tepat untuk ε =.01
ln .8
Sebagai catatan. Permainan K ( ε)
Dalam ide barisan konvergen, salah satu cara yang perlu diingat hubungan antaraεdanK
adalah dengan menganggapnya sebagai permainan yang disebut dengan permainan K ( ε ) .
Dalam permainan ini, pemain A mengatakan bahwa bilangan tentuxadalah limit dari barisan
( x n) . Pemain B menantang pernyataan ini dengan memberikan pemain A nilai yang khusus
untuk ε > 0. Pemain A harus menanggapi tantangan dengan memberikan nilai K sedemikian
sehingga ¿ x n−x∨¿ ε untuk semua n> K . Jika pemain A selalu dapat menemukan nilai K,
maka pemain A menang dan barisan konvergen. Akan tetapi, jika pemain B memberikan nilai
yang khusus untuk ε > 0 yang mana pemain A tidak dapat menanggapi ketaksamaan tersebut,
maka pemain B menang dan kita dapat menyimpulkan bahwa barisan tersebut tidak
konvergen ke x.
Untuk menunjukan bahwa barisan X =(x n ) tidak konvergen ke bilangan x, cukup
memperlihatkan suatu bilangan ε 0> 0, sedemikian sehingga tidak ada bilangan asli K yang
dipilih, dapat ditemukan n k secara khusus yang memenuhi n k ≥ K sedemikian sehingga
¿ x n −x∨≥ ε 0 . (ini akan didiskusikan secara lebih detail pada bagian 3.4)
k

3.1.7 Contoh
Barisan ( 0,2,0,2 , … , 0,2, … ) tidak konvergen ke 0
Jika pemain A mengatakan bahwa 0 adalah limit dari barisan tersebut, pemain A akan
kalah di permainan K ( ε) ketika pemain B memberikan nilai untuk ε < 2. Menjadi pasti,
misalkan pemain B memberikan pemain A nilai ε 0=1. Tidak peduli berapapun nilai K yang
dipilih oleh pemain A, jawabannya tidak akan cukup, pemain B akan menganggapi dengan
memilih bilangan genap n> K . Maka nilai yang sesuai adalah x n=2 sehingga

|x n−0|=2>1=ε 0. Dengan demikian 0 bukan limit dari barisan tersebut.

Ekor Barisan
Penting untuk menyadari bahwa kekonvergenan(atau kedivergenan) dari barisan
X =( x n ) bergantung hanya pada “perilaku suku-suku terakhirnya” (ultimate behavior). Ini
berarti bahwa jika untuk setiap bilangan aslim, kita hilangkan m suku pertama suatu barisan,
maka menghasilkan barisan X m konvergen jika dan hanya jika barisan asalnya juga
konvergen, dan dalam hal ini limitnya sama. Kita akan menyatakan ini secara resmi setelah
memperkenalkan ide tentang"ekor" dari barisan.

3.1.8 Definisi
Jika X =(x 1 , x 2 , … , x n , …) suatu barisan bilangan real danm adalah bilangan asli tertentu, ,
maka ekor ke-m dari X adalah suatu barisan

x m ≔ ( x m+n :n ∈ N ) =(x m +1 , x m+2 , …)

Sebagai contoh, ekor ke-3 dari barisan X =(2,4,6,8,10 , … , 2 n , …) adalah barisan


X 3 =(8,10,12 , … , 2n+ 6 , …).

3.1.9 Teorema
Misalkan X =( x n : n∈ N )suatu barisan bilangan real dan m∈ N. Maka ekor ke-m adalah
X m=( x m+ n : n ∈ N )konvergen jika dan hanya jika X konvergen. Dalam hal ini lim X m=lim X .

Bukti:
Kita catat bahwauntuk setiap p ∈ N , suku ke− pdari X madalah suku ke−( p+m ) dari X .
Demikian pula jika q >m, maka suku ke−qdari X adalah suku ke−( q−m) dari X m.
⇐ Asumsikan X konvergen ke x. Diberikan sebarang ε > 0, jika suku dari X untuk n ≥ K (ε )
memenuhi ¿ x n−x∨¿ ε, maka suku X m untuk k ≥ K ( ε )−m memenuhi ¿ x k −x∨¿ ε . Dengan
demikian kita mengambil K m ( ε )=K ( ε )−m, jadi X m juga konvergen ke x.
⇒ Asumsikan X m konvergen ke x. Diberikan sebarang ε > 0, jika suku dari X m untuk
k ≥ K m ( ε) memenuhi ¿ x k −x∨¿ ε , maka suku dari X untuk n ≥ K m ( ε ) +m memenuhi
¿ x n−x∨¿ ε. Dengan demikian kita dapat mengambil K ( ε ) =K m ( ε ) +m , jadi X juga
konvergen ke x
Oleh karena itu, X konvergen ke x jika dan hanya jika X m konvergen ke x.

Kadang-kadang kita harus mengatakan bahwa barisan X akhir(ultimately) memiliki


sifat tertentu jika beberapa ekor dari barisanX memiliki sifat ini. Sebagai contoh, barisan
( 3,4,5,5,5 , … ,5 , … ) adalah barisan “konstan akhir” (ultimately constant). Disisi lain, barisan
(3,5,3,5 , … , 3,5 ,…) tidak konstan akhir. Gagasan konvergensi dapat dinyatakan
menggunakan terminologi ini: suatu barisan X konvergen ke x jika dan hanya jika suku dari
X yaitu bagian akhir ada pada setiap persekitaran ε dari x. Contoh lain dari ini"terminologi
akhir" (ultimate terminology) akan tertera di bawah ini.

Contoh Lebih Lanjut.


Dalam menentukan nilai xyaitu limit dari barisan ( x n) , kita sering mencoba untuk
menyederhanakan ¿ x n−x∨¿ sebelum mempertimbangkan ε > 0 dan menemukan nilai K ( ε)
seperti yang dipersyaratkan dalam definisi limit. Ini yang dilakukan dalam beberapa contoh
sebelumnya. Hasil selanjutnya adalah pernyataan yang lebih formal untuk ide ini, dan contoh-
contoh berikut menggunakan pendekatan ini.

3.1.10 Teorema
Andaikan( x n) adalah barisan dari bilangan real dan x ∈ R . Jika (a n) adalah barisan bilangan
real positif dengan lim an=0 ⁡ dan jika untuk suatu konstanta C> 0 dan m∈ N, kita punya
¿ x n−x∨≤ C a n untuk semuan ≥ m

maka mengakibatkan lim ( x n) =x


Bukti:

Jika diberikan ε > 0, dan karena lim an=0, kita tahu bahwa ada K= K ( Cε ) sedemikian
sehingga n ≥ K yang mengimplikasikan
ε
a n=|a n−0|<
C
Oleh karena itu bahwa jika n ≥ K dan n ≥ m, maka

|x n−x|≤ C an <C ( Cε )=ε


Karena sebarangε > 0, dapat disimpulkan bahwa x=lim ( x n ).

3.1.11 Contoh

a) Tunjukan bahwa jika a> 0 maka lim ( 1+1na )=0


Jawab.
1 1
Karena a> 0, maka 0< na<1+na, dan oleh karena itu 0< < . Hal ini
1+na na

1 1 1
mengakibatkan | 1+na |( )
−0 ≤
a n
,∀n∈N .

Karena lim ( 1n )=0 , maka dengan C= 1a > 0 dan m=1 berdasarkan Teorema 3.1.10 dapat
disimpulkan bahwa lim ( 1+1na )=0.
b) Tunjukan bahwa jika 0< b<1 maka lim ( bn ) =0
Jawab.
1 1
Karena 0< b<1 maka dapat di tulis b= dimanaa := −1dengan demikian a> 0.
1+ a b
Dengan menggunakan Ketaksamaan Bernoulli(1+a)n ≥1+na , maka
1 1 1
0< bn= ≤ <
(1+ a) 1+na na
n

Menurut teorema 3.1.10 dapat disimpulkan bahwa lim ( bn ) =0.

Pada khususnya, jika b=.8, jadi a=.25 dan jika kita diberikan ε =.01, maka

4
ketaksamaan sebelumnya memberi kita K ( ε ) = =400. Bandingkan dengan contoh
.01
3.1.6(d), dimana diperoleh K=25, ini memperlihatkan kepada kita bahwa metode
estimasi tidak memberikan nilai K yang terbaik. Namun, untuk tujuan menentukan limit,
ukuran nilai K tak penting.
1
c) Tunjukan bahwa jika c >0, maka lim c n =1

Jawab.
1
( )
Untuk kasus c=1 adalah trivial, karena itu c n barisan konstan (1,1,....) jelas bahwa

konvergen ke 1.
1
Jika c >1, maka c n =1+ d untuk beberapa d n >0 . Dengan menggunakan Ketaksamaan
n

Bernoulli 2.1.13(c),
c=( 1+ d n )n ≥ 1+n d n untuk n ∈ N .
c−1
Oleh karena itu c−1 ≥ n d n, jadi d n ≤ . Akibatnya
n
1
|c −1|=d ≤ ( c−1 ) 1n
n
n
untuk n ∈ N

1
Dengan menggunakan teorema 3.1.10 diambil kesimpulan bahwa lim c n =1

ketika c >1
1
Sekarang misalkan bahwa 0< c<1, maka c n =1/(1+ h ) untuk beberapa h n> 0. Karenanya
n

Ketaksamaan Bernoulli mengimplikasikan bahwa.


1 1 1
c= ≤ < ,
( 1+h n )
n
1+n h n n hn

1
Yang mengakibatkan0< hn < untuk n ∈ N . Oleh karena itu
nc
1
n hn 1
0<1−c = < hn <
1+ hn nc
Jadi,
1
|c −1|<( 1c ) 1n untuk n ∈ N
n

1
Dengan menggunakan Teorema 3.1.10 di ambil kesimpulan bahwa lim c n =1 ketika

0< c<1

1
d) Tunjukan bahwa lim n n =1 ( )
Jawab.
1 1
Karena n n >1 untuk n>1, kita dapat menuliskan n n =1+ k untuk k n> 0 ketika n>1. Oleh
n

karena itun=(1+ k n)n untuk n>1. Dengan Teorema Binomial, jika n>1 maka
1 1
n=1+n k n + n ( n−1 ) k 2n+ … ≥1+ n( n−1)k 2n
2 2
Dengan demikian
1
n−1≥ n ( n−1 ) k 2n
2
2 ( n−1 ) ≥ n ( n−1 ) k 2n
2 ≥ n k 2n
2 2
≥k
n n
2 2
Karena k n ≤ untuk n>1. Jika diberikan ε > 0, dengan sifat Archimedes bahwa ada
n

2
bilangan asli N ε sedemikian sehingga <ε 2. Dengan demikian jika n> ⁡{2 , N ε } maka

2 2
< ε , yang mana
n
1
2 12
0< n n −1=k n ≤ ()
n

1
( )
Karena sebarangε > 0, kita menyimpulkan bahwa lim n n =1.

Latihan 3.1

1. Suku-suku ke-n dari barisan (xn) ditentukan oleh formula berikut. Tuliskan lima suku
pertama dari masing-masing barisan tersebut.

n
a. x n=1+ (−1 )

(−1 )n
b. x n=
n
1
c. x n=
n(n+ 1)
1
d. x n= 2
n +2

2. Beberapa suku pertama barisan (xn) diberikan sebagai berikut. Anggap “pola
dasarnya” diberikan oleh suku-suku tersebut, tentukan formula untuk suku ke-n, xn,

a. 5,7,9,11, …
1 1 1 1
b. ,− , ,− , … .
2 4 8 16
1 2 3 4
c. , , , ,…
2 3 4 5
d. 1,4,9,16
3. Tuliskan lima suku pertama dari barisan yang didefinisikan secara induktif berikut
a. x 1=1 , y n+1=3 x n+ 1
1 2
b. y 1=2 , y n+1=
2(yn +
yn )
Z n +1+ Z n
c. z 1=1 , z 2=2 , Z n +2=
Z n+ 1−Z n
d. s1=3 , s2=5 , s n+2=s n+ s n+1

4. Untuk sebarang bϵR , buktikan lim ( bn )=0


5. Gunakan definisi limit untuk membuktikan limit barisan berikut

1
a. Lim ( ) 2
n +1
=0

2n
b. Lim ( n+1 )=0
3 n+1
Lim (
2 n+5 )
c. =0

n2−1
d. Lim (
2 n2 + 3
=0 )
6. Tunjukkan bahwa

1
a. Lim ( √ n+7 )=0
2n
Lim (
n+2 )
b. =2

Lim (
√n =0
n+1 )
c.

(−1 )n n
d. Lim (
n 2+1
=0 )
1
7. Jika x n= untuk n ∈ N
ln ( n+1 )
a. Gunakan defenisi batas untuk menunjukkan lim ( x n)=0
b. Cari nilai spesifik k (ε )seperti yang disyratkan dari defenisi batas limit berikut ini:
1
(i) ε =
2
1
(ii) ε =
10
8. Buktikan bahwa li m( x n)=0 jika dan hanya jika li m|x n|=0. Berikan contoh yang
menunjukkan bahwa kekonvergenan dari ¿) tidak perlu mengakibatkan
kekonvergenan dari (xn).
9. Tunjukkan bahwa bila x n ≥ 0 , ∀ nϵN dan li m( x n)=0 , maka li m √ x n=0 .
10. Tunjukkan bahwa bila lim ( x n ) =x dan x >0 , maka terdapat bilangan M ϵ N sehingga
x n>0 untuk semua n ϵ M .
1 1
11. Tunjukkan bahwa lim ( −
n n+1
=0 )
12. Tunjukkan lim ( √ n2 +1−n )=0
1
13. Tunjukkan lim ( )
3n
=0

14. Misalkan b ϵ R memenuhi 0< b<1. Tunjukkan bahwa lim (nb n)


1
15. Tunjukkan bahwa lim ( ( 2n ) )=1
n

n2
16. Tunjukkan bahwa lim ( ) n!
=0

n n n−2
2 2 2
17. Tunjukkan bahwa lim ( ) =0. [ bila n ≥3. maka 0< ≤ 2 ( ) ]
n! n! 3
1
18. Jika lim ( x n) =x >0 , buktikan ada bilangan asli K untuk n ≥ K, maka x< xn <2 x
2
3.2. Teorema-teorema Limit
Dalam bagian ini kita akan memperoleh beberapa hal yang memungkinkan kita
mengevaluasi limit dari barisan bilangan real yang tertentu. Hasil ini memung- kinkan kita
menambah koleksi barisan konvergen.

3.2.1. Definisi. Barisan bilangan real X =( x n) dikatakan terbatas bila terdapat bilangan
real M > 0 sehingga|x n|≤ M ; untuk semua n ∈ N .Jadi barisan X = (xn) terbatas jika dan
hanya jika himpunan {xn : n∈N} terbatas di R,

3.2.2. Teorema. Suatu barisan bilangan real yang konvergen tarbatas.


Bukti :
Misalkan lim (x n) = x danε =1. Dengan menggunakan teorema 3.1.6(c), terdapat
bilangan asli K= K (1) sehingga bila n ≥ K maka |x n−x|<1. dari sini, dengan
menggunakan akibat 2.3.4(a) tentang ketaksamaan segitiga, bila n ≥ K , maka
|x n|=|x n−x+ x|≤|x n−x|+|x|<1+|x|.
Dengan menetapkan
x 1|,|x2|, …, |x k−1|,|x|+1 }
M ={| ¿
Maka diperoleh|x n|< M untuk semua n ∈ M .

Catatan kita juga bisa membuktikan kekonvergenan ( x n) adalah sebuah bahasa yang lingkungan.
Jika v ε ( x) adalah sebuah lingkungan untuk limit x . Lebih jauh lagi, kecuali jumlah urutan dari
v ε (x). Karena itu, sejak v ε (x) Jelas dibatasi sebuah himpunan terbatas jika mengikuti
batasannya.
Sekarang kita akan memeriksa bagaimana proses pembatasan berinteraksi dengan operasi
penambahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian urutan. Jika X =( x n ) dan Y = ( y n )adalah
urutan bilangan real, maka kita mendefinisikan penjumlah mereka menjadi urutannya
X +Y =( x n + y n ). Pengurangan X −Y =( x n − y n ). Dan dengan perkalian XY =( x n y n ) . jika c ∈ R
maka untuk banyak X dari c sehingga cX =( c x n) . Terakhir, jika Z=( z n ) sehingga bilangan asli

X xn
z n ≠ 0 untuk semua n ∈ N . maka hasil bagi dari X dan Z adalah
Z
=( )
zn
.

Untuk contoh, jika X dan Y adalah bilangan

X =( 2,4,6 , … , 2n , … ) , Y = ( 11 , 12 , 13 , 14 , … , 1n , … .)
Maka kita mempunyai
3 9 19 2 n2+1
X +Y =( , , ,… ,
1 2 3 n )
,…

2
1 7 17 2 n +1
X −Y =( , , , … , , …)
1 2 3 n
X . Y =( 2 , 2 ,2 , … , 2, … )
3 X =( 6 ,12 , 18 , … ,6 n , … )
X
=( 2 , 8 ,18 ,… , 2 n2 , … )
Y
Kami mencatat bahwa jika Z adalah urutannya
Z=( 0 , 2 , 0 , … ,1+ (−1 )n , … ) ,
Maka kita bisa menetapkan X + Z , X−Z , dan X . Z. tetapi, X /Z tidak didefinisikan karena nilai Z
adalah nol.
Kami sekarang menunjukkan bahwa urutan yang diperoleh dengan menerapkan operasi ini ke
konvergen. Urutan melahirkan urutan baru yang batasnya dapat diprediksi.

3.2.3 Teorema.

(a) Misalkan X =( x n) dan Y =( y n) barisan bilangan real yang berturut-turut konvergen ke x


dan y, serta c ϵ R. Maka barisan X +Y , X −Y , X . Y dan c X berturut- turut konvergen ke
x + y , x− y , x y dan c x .
(b) Bila X =( x n) konvergen ke x dan Z=(z n) barisan tak nol yang konvergen ke z, dan z ≠ 0 ,
maka barisan X /Z konvergen ke x / z.

Bukti:

(a) Untuk membuktikan lim ( x n+ y n)=x+ y kita akan menaksir |(x n+ y n)−( x+ y)|Untuk
melakukan ini kita menggunakan Segitiga Ketidaksetaraan 2.2.3 untuk mendapatkan

|(x n+ y n)−( x+ y)| = |( x n+ x )+( y n− y)|

≤|x n−x|+| y n − y|

Dari hipotesis, untuk sebarang ε > 0terdapat Kϵ N sehingga bila n ≥ K 1, Maka

ε ε
|x n−x|< 2 , juga terdapat K 2 ∈ N sehingga bila n ≥ K 2 , Maka |x n−x|< 2 . bila

K ( ε ) =¿ K , K ¿ ¿ , maka untuk semua n ≥ K ( ε ) .


1 2

|( x n+ y n )−( x + y )|
≤|x n−x|+| y n − y|
1 1
¿ ε + ε=ε
2 2

Karena ε > 0 sebarang, kita peroleh bahwa X +Y =( x n+ y n ) konvergen ke x + y

Argumen serupa dapat digunakan untuk membuktikan bahwa X - Y = (xn - yn)


konvergen ke x− y.

Untuk membuktikan bahwa XY = (xnyn) konvergen ke xy, kita akan mengestimasi

|x n y n−xy|=|( x n y n −x n y ) + ( x n y n−xy )|
≤|x n ( y n− y )|+¿

¿|x n|| y n− y|+|x n−x|| y|


Menurut Teorema 3.2.2 terdapat bilangan real M1 > 0 sehingga |x n|≤ M 1 untuk semua

n ϵ N dan tetapkan M ={M 1 ,| y|} .


¿selanjutnya kita mempunyai

( x n y n−xy ) ≤ M | y n− y|+ M |x n−x|

Dari kekonvergenan X dan Y, bila diberikan sebarang ε > 0 , maka terdapat

ε ε
K 1 , K 2 ∈ N . sehingga bila n ≥ K 1 maka |x n−x|< , dan bila n ≥ K 2maka | y n − y|<
2M 2M
. Sekarang tetapkan K ( ε ) =¿ K , K },¿ ¿ maka untuk semua n ≥ K (ε ) diperoleh
1 2

|x n y n−x n y|≤ M | y n− y|+|x n−x|


¿M ( 2εM )+ M ( 2εM )=ε
Karena ε > 0 sebarang, hal ini membuktikan bahwa barisan XY =(x n y n) konvergen
ke xy.

Bukti untuk barisan cX= (c x n) konvergen ke cx ditinggalkan dapat dibuktikan dengan


cara yang sama; itu juga bisa isimpulkan dengan mengambil Y menjadi urutan konstan
( c , c , c , … , )Kami tinggalkan rinciannya ke pembaca sebagai latihan.

(b). Berikutnya kita akan menunjukkan bila Z = (zn) barisan tak nol yang konvergen

ke z. maka barisan ( z1 ) konvergen ke 1z karena z ≠ 0. pertama misalkan α = 12|z| maka


n

α >0. Karena lim ( z n )=z , maka terdapat K 1 ∈ N , sehingga bila n≥ K 1 maka |z n−z|< α .

Dengan menggunakan ketaksamaan segitiga diperoleh – α ≤−|z n− z|≤|z n|−| z| untuk

1 2
n ≥ K 1 . karena itu ≤ untuk n ≥ K 1 , jadi kita mempunyai
zn |z|

1 1 z n−z 1
| || |− =
zn z zn z
=
|z n z|
|z−z n|
2
≤ 2|
z−z n| untuk semua n> K ( ε )
|z n|
1 2
Sekarang kita berikan ε > 0 , maka terdapat K 2 ∈ N sehingga bila n ≥ K 2maka |z n−z|< ε|z| .
2

1 1
Oleh karena itu jika K ( ε ) ={K , K } ¿ maka
1 2

zn z | |
− <ε , Untuk semua n> K ( ε )

1 1
Karena ε > 0 sebarang, jadi lim ( ) = .
zn z

1 xn 1 x
Dengan mendefenisikan Y barisan ( )
yn ( )
dalam menggunakan XY =
yn
konvergen ke x()= .
z z

Bukti (b) telah selesai.

Beberapa hasil Teorema 3.2.3 dapat diperluas, dengan induksi matematika, untuk
sejumlah hingga barisan konvergen. Sebagai contoh, bila A = (an), B = (bn), ..., Z = (zn)
barisan konvergen, maka jumlahnya A + B + ... + Z = ( an + bn + ... + zn) juga merupakan
barisan konvergen dan

1) lim ( an +b n+ …+ z n )=lim ( a n )+ lim ( bn ) +…+ lim ⁡( z n)


Hasil kalinya A . B , , , Z=(a n b n … z n ) juga konvergen

2) Lim ( a n b n … z n )=[ lim ⁡( an ) ][ lim ⁡(b n) ] … lim ⁡(z n )


Dan bila k ∈ N dan A=(a n) barisan konvergeb, maka

k k
3) Lim ( an ) =[ lim ( an ) ]

Buktinya ditinggalkan sebaga latihan

3.2.4. Teorema. Bila X =( x n ) barisan konvergen dan x n≥ 0, untuk semua n ∈ N , maka


x=lim ( x n ) ≥ 0

Bukti:
Andaikan x <0 ,pilih z=−x >0. karena X konvergen ke x, maka terdapat kϵN ,sehingga
x−ε < x+ z =x+ (−x ) =0. Hal ini kontradiksi dengan hipotesis bahwa x n ≥ 0 untuk semua nεN .Jadi
haruslah x ≥ 0.

3.2.5 Teorema. Bila X = (xn) dan Y = (yn) barisan konvergen dan x n ≤ y nuntuk semua n ∈ N ,
maka lim (xn) ≤ lim (yn).

Bukti:

Misalkan z n= y n−x n sehingga Z=(z n)=Y − X dan z n ≥ 0 untuk semua n ∈ N . Dari teorema
3.2.4 dan 3.2.3 diperoleh

0 ≤ li m Z=li m( y n)−li m( x n).

Jadi li m( x n) ≤li m( y n).

Yang berikut mengatakan bahwa bila semua suku dari barisan konvergen me- menuhi
ketaksamaan a ≤ x n ≤ b, maka limitnya memnuhi ketaksamaan yang sama.

3.2.6. Teorema. Bila x=( x n) suatu barisan konvergen dan a ≤ x n ≤ b untuk semua n ∈ N , maka
a ≤ li m( x n)≤ b.

Bukti :

Misalkan Y barisan konstan (b , b , b , ...). Dari Teorema 3.2.5 diperoleh li m X ≤ li mY =b. Secara
sama dapat ditunjukkan bahwa a ≤ li m X .

Sedangkan yang berikut menyatakan bahwa bila barisan Y diapit oleh dua ba- risan
konvergen yang limitnya sama, maka barisan y tersebut juga konvergen ke limit dari
kedua barisan yang mengapitnya.

3.2.7. Teorema Apit. Misalkan bahwa X = (xn), Y = (yn), dan Z = (zn) barisan yang memenuhi

x n≤ y n ≤ z n, Untuk semua n ∈ N

Dan lim ( x n) =lim ⁡( z n ) maka ( y n ) konvegen dan limit ( x n )=lim ( y n ) =lim ⁡( x n) ⁡

Bukti:
Misalkan w=li m(x n)=li m( z n). Bila ε > 0diberikan, maka karena X dan Z konvergen ke w,
terdapat K ∈ N sehingga untuk semuan ∈ N dengan n ≥ K dipenuhi

|x n−w|< ε dan |x n−w|< ε

Dari hipotesis diperoleh bahwa

x n−w ≤ y n−w ≤ z n−w, untuk semua n ∈ N ,

yang diikuti oleh (mengapa ?)

−ε < y n−w <ε


untuk semuan ≥ K. Karena ε > 0 sebarang, jadi li m( y n)=w

Catatan : Karena sebarang ekor barisan mempunyai limit yang sama, hipotesis dari 3.2.4,
3.2.5, 3.2.6, dan 3.2.7 dapat diperlemah dengan menerapkannya pada ekor barisan. Sebagai
contoh, pada Teorema 3.2.4, bila X =( x n) pada “akhirnya positif” dalam arti bahwa terdapat
m∈ N sehingga x n ≥ 0untuk semua n ∈ m, maka akan diperoleh kesimpulan yang sama yaitu
n ≥ 0. Modifikasi yang sama juga berlaku untuk Teorema yang lain, yang pembaca perlu
buktikan.

3.2.8. Beberapa Contoh

a. Barisan (n) divergen

Mengikuti Teorema 3.2.2, andaikan barisan X =(n) konvergen, maka terdapat bilan-
gan real M >0 sehinggan=|n|< Muntuk semua n ∈ N . Tetapi hal ini melanggar sifat
Archimedes lihat 2.4.3.

n
b. Barisan ((-1) ) divergen

Untuk barisan X =( (−1 )n ) adalah barisan ini terbatas (ambil M = 1), sehingga kita
tidak dapat menggunakan Teorema 3.2.2. Karena itu, asumsikan a = lim X. misalkan
ε =1 maka bilangan natural K 1 sehingga

|(−1 )n −a|<1 , untuk semua n ≥ K .


Tetapi bila n ganjil dan n ≥ K , hal ini memberikan |1−a|<1 , sehingga −2<a< 0. Disisi
lain jika n adalah bilangan genap dengan n ≥ K 1, ketidaksetaraan ini memberikan
|1−a|<1 jadi 0< a<2. Karena a tidak mungkin memenuhi kedua ketaksamaan tersebut,
maka pengandaian bahwa X konvergen menghasilkan hal yang kontradiksi. Haruslah X
divergen.
2 n+1
c. Lim ( n )=2

Misalkan X =( 2 )danY = ( 1n ) ,maka ( 2 n+1


n )
= X +Y . Dengan menggunakan Teorema

3.2.3(a) diperoleh bahwa li m( X +Y )=li m X +lim ⁡Y =2+0=2

d. Lim ( 2n+5
n+1
)=2
Karena barisan (2n + 1) dan (n + 5) tidak konvergen, kita tidak dapat menggunakan
Teorema 3.2.3(b) secara langsung. Tetapi kita dapat melakukan yang berikut
1
2+
2n+ 1 n
=
n+ 5 5
1+
n

Yang memberikan X = 2+ ( 1n ) dan Z=(1+ 5n ) sehingga Teorema 3.2.3 (b) dapat

digunakan. (selidiki terlebih dahulu syarat-syarat yang harus dipenuhi). Selanjutnya


diperoleh
1
2+
2n+ 1 n
=
n+ 5 5
1+
n
Kita bisa mendapatkan urutan yang diberikan sebagai satu yang Teorema 3.2.3 (b)

berlaku saat kita ambil X = 2+ ( 1n ) dan Z=(1+ 5n ) (periksalah semua hipotesis sudah
memuaskan). Sejak lim X=2 dan lim Z=1 ≠ 0 maka
1 1
lim 2+
2+ ( )
lim
2 n+1
(n+5
=lim )
1+
n
5
n
=
( )
lim 1+
n
5
n
2
= =2
1
( )
2n
e. Lim ( )
n2 +1
=0

Teorema 3.2.3 (b) tidak dapat digunakan secara langsung, juga sampai pada
2n 2
=
n +1 n+ 1
2

n¿
¿

Tapi Teorema 3.2.3 (b) tidak berlaku di sini juga, karena n+ ( 1n ) bukan konvergen. (Mengapa
tidak?) Namun, jika kita menulis (mengapa?). tetapi karena
2n 2
=
n +1 n+ 1
2

Dengan menggunakan Teorema 3.2.3(b) Dan lim ( 2n )=0 dan lim (1+ n1 )=1 , maka
2

lim ( n2+1n )= 01 =0 ,
2

f. Lim ( sinn n )=0


Disini kita tidak dapat menggunakan Teorema 3.2.3(b)secara langsung. Tetapi perlu
dicatat bahwa −1 ≤sin n ≤ 1 ,maka
−1 sin n 1
≤ ≤ , untuk semua n ϵ N .
n n n

Karena lim ( −1n )=lim ( 1n )=0, dengan menggunakan Teorema Apit diperoleh bahwa
lim ( sinn n )=0
g. Misalkan X = (xn) barisan yang konvergen ke x. Sedangkan p polinomial, sebagai contoh
p(t)=a 0+ a1 t+ a 2t 2+...+ a k t k

Dengan K ∈ N dan a j ∈ R unuk j=0,1 ,.. k , a k ≠ 0. Dengan menggunakan Teorema

3.2.3 barisan ( p ( x n ) ) konvergen ke p ( x ) . Bukti lengkapnya ditinggalkan sebagai latihan.


p( t)
h. Misalkan X=( x ¿¿ n)¿ barisan yang konvergen ke x. sedangkan r ( t )= dengan p dan q
q (t )
polinimial. Misalkan q ( x¿ ¿ n) ≠ 0 ¿untuk semua n ∈ N dan q ( x )=0. Maka barisan r ( x n )
konvergen ke r ( x ) . bukti lengkapnya ditinggalkan sebagai latihan.

3.2.9. Teorema. Misalkan barisan X = (xn) konvergen ke x, maka barisan (|x n|) konvergen ke

|x|, yaitu bila x=lim ⁡( x n ), maka |x|lim ⁡(|x n|).

Bukti : Mengikuti sifat segitiga siperoleh

||x n|−|x||≤| xn −x|untuk semua n ∈ N .

Selanjutnya kekonvergenan dari (| xn|) ke |x| suatu akibat lanagsung dari kekonvergenan
dari x n ke x .

3.2.10. Teorema. Misalkan barisan X = (xn) konvergen k eke x dan x n ≥ 0, untuk semua n ∈ N .

Maka barisan ( √ x n )konvergen dan lim ( √ x n )= √ x

Bukti: Dari Teorema 3.2.4 diperoleh bahwa x=li m( x n) ≥ 0. Sekarang kita tinjau dua kasus (i).
x=0dan (ii). x >0.

(i) Misalkan x=0 , dan ε > 0 sebarang diberikan, karena x n → 0 maka terdapat K ∈ N sehingga

0 ≤ xn =x n−0< ε 2
Karena itu (lihat contoh 2.2.13(a)), 0 ≤ √ x n ≤ ε untuk n ≥ K .
Karena ε > 0sebarang, maka ( √ x n ) →0
(ii) Bila x >0 , maka √ x> 0 dan kita mempunyai
( √ x n−√ x)( √ x n+ √ x ) x −x
√ x n−√ x= = n
√ x n −√ x √ x n+ √ x
Karena √ x n+ √ x ≥ √ x >0 , maka

|√ x n−√ x|≤
√x (1)
|x n−x|

Kekonvergenan dari √ x n → √ x , merupakan akibat yang mudah dari x n → x . untuk jenis-jenis


barisan tertentu, yang berikut menyajikan”uji rasio” yang mudah dan cepat untuk
kekonvergenan.

x n+1
3.2.11. Teorema. Misalkan ( x n ) barisan bilangan real positif sehingga L=lim ( )
xn
ada. Bila

L<1 ,❑maka ( x n ) konvergen dan lim ( x n )=0

Bukti:

Menurut 3.2.4 diperoleh bahwa L ≥0. misalkan r bilangan dengan L<r <1 , dan
ε =r – L> 0. maka terdapat n ∈ R . dipenuhi

x n+1
| xn |
−L <ε

Akibatnya (mengapa?) untuk bila n ≥ K, maka

xn +1
< L+ ε=L+ ( r− L )=r
xn

Karena itu bila n ≥ K diperoleh

0< x n +1< x n r < x n−1 r 2 <…< x k r n− K +1

xk
Bila kita tetapkanC= k
, kita peroleh 0< x n +1<C r n+1untuk semua n ≥ K. Karena
r
0< r< 1, menurut 3.1.11(c) diperoleh lim( r n ) =0 dan karenanya menurut Teorema 3.1.10
lim ( x n ¿=0.
Latihan 3.2

1. Untuk x n yang diberikan berikut, tunjukkan kekonvergenan atau kedivergenan dari X =( x n)


n
a) x n=
n+1
(−1 )n n
b) x n=
n+1
n2
c) x n=
n+1
2 n2 + 3
d) x n= 2
n +1
2. Berikan contoh dua urutan X dan Y berbeda
a. barisan X.Y yang divergen,
b. X + Y konvergen
3. Tunjukkan bahwa bila X dan Y barisan dengan X dan X + Y konvergen, maka Y
konvergen.
4. Tunjukkan bahwa bila X dan Y barisan dengan X konvergen ke x dan xy konver- gen, maka
Y konvergen
5. Tunjukkan bahwa barisan dibawah ini tidak konvergen
n
a. (2 ).
b. ( (−1 )n n2 )
6. Tentukan limit dari barisan-barisan berikut :
n
1
a. Lim (( 2+
n ))
−1 )n
b. Lim
n+2 (( )
n−1
c. Lim ( √√ n+1 )
d. Lim ( n+n √ 1n )
7. Jika (b n) adalah urutan terbatas dan lim ( an ) =0 , tunjukkan bahwa lim ( an bn ) =0. Jelaskan
mengapa Teorema 3.2.3 tidak dapat digunakan
8. Jelaskan mengapa hasilnya dalam persamaan (3) sebelum Teorema 3.2.4 tidak dapat

n
1
digunakan untuk mengevaluasi batasdari urutan (( ) )
1+
n
.

9. Misalkan y n= √n+ 1−√ n, untuk n ∈ N . Tunjukkan bahwa ( y n ) dan ( √ n y n) konvergen.


10. Tentukan batas urutan berikut
a. ( √ 4 n2 +n−2 n )
b. ( √ n2 +5 n−n)
11. Tentukan batasan beikut
1
( )
a. Lim ( 3 √ n ) 2 n .
1
b. Lim ( ( n+1 ) ).
ln ( n +1)

an +1+ bn+1
12. Jika0< a<b. Tentukan lim ( )
a n + bn
13. Jika a> 0 , b>0, tunjukkan lim ¿
14. Gunakan Teorema Squeeze 3.2.7 untuk menentukan batasan berikut ini
1
a. (n )
n
2

1
b. ( ( n !) )
n
2

1
15. Misalkan z =( an +bn ) n dengan 0< a<b , maks lim ( Z n )=b
n

16. Gunakan Teoremaa 3.2.11 pada barisan-barisan berikut, bila a , b memenuhi 0< a<1 dan b> 1
a. ( a n )
n
b. ( )
bn
2
c. ( 2bn )
23 n
d. ( )
32 n
17. a ¿ . Be r i k a n c ont oh b a r isa n b il a n g a n po siti f ( x n) y a ng konv e r g e n s e h in≫a

x n+1
lim ( )
xn
=1

b). Berikan pula contoh barisan divergen dengan sifat tersebut. (Jadi, sifat ini tidak

dapat digunakan untuk uji konvergensi).

x n+1
18. Misalkan X =(x n ) barisan bilangan positif sehingga lim ( )
xn
=L>1. tunjukkan bahwa X

barisan tak terbatas, karenanya X tidak konvergen.


19. Selidikilah konvergensi barisan-barisan berikut, bila a, b memenuhi 0< a<1 dan b> 1
a. ( n 2 a n )

bn
b. ( )
n2

bn
c. ( )
n!

d. ( nn! )
n

1
( )
20. Misalkan ( x n ¿ barisan bilangan positif dengan lim x n =L<1. tunjukkan bahwa terdapat
n

bilangan denagn 0< r< 1 sehingga 0< x n <r n untuk suatu nϵN yang cukup besar. Gunakan ini

untuk menunjukkan lim ( x n )=0.


1
( )
21. (a) Berikan contoh barisan bilangan positif (xn) yang konvergen sehingga lim x n
n

1
(a) Berikanlah contoh barisan bilangan positif ( x ¿ yang divergen sehingga lim ( x )=1. ⁡
n n
n

(jadi, sifat ini tidak dapat digunakan untuk uji konvergensi).


22. Misalkan ( x n ¿ barisan konvergen dan ( y n ¿ barisan sehingga untuk sebarang ε > 0 terdapat M
sehingga |x n− y n|< ε untuk semua n ≥ M. Apakah hal ini mengakibatkan ( y n ¿ konvergen?
23. Tunjukkan bahwa jika ( x n ¿ dan ( y n ¿ adalah rangkaian konvergen, maka urutan (un ) dan ( v n ¿
yang didefinisikan oleh un =max { x n , y n } juga konvergen (Lihat Latihan 2.2.18).
24. Tunjukkan bahwa jika ( x n ¿ , ( y n ) ,(z n ) adalah rangkaian konvergen, maka urutannya (w n ¿
didefinisikan oleh w n=mid {x n , y n , z n } juga konvergen (Lihat Latihan 2.2.19).

3.3. Barisan Monoton

Sampai saat ini, kita telah mempunyai beberapa metode untuk menunjukkan
bahwa barisan X =( x n) konvergen :
(i). Kita dapat menggunakan defenisi 3.1.3 atau Teorema 3.1.5 secara langsung.

Tetapi ini sering (tetapi tidak selalu) sukar dikerjakan.

(ii). Kita dapat mendominasi


|x n −x| dengan perkalian dari suku-suku dalam barisan (a n
) yang diketahui konvergen ke 0, kemudian menggunakan Teorema 3.1.10.

(iii). Kita dapat mengidentifikasi barisan X diperoleh dari barisan-barisan yang diketahui
konvergennya dari lebar barisannya, kombinasi aljabar, nilai mutlak atau datar dengan
menggunakan Teorema 3.1.9, 3.2.3, 3.2.9, atau 3.2.10.
(iv). Kita dapat mengapit X dengan dua barisan yang konvergen ke limit yang sama
dengan menggunakan Teorema 3.2.7.
(v). Kita dapat menggunakan “Uji rasio” dari Teorema 3.2.11.

Kecuali (iii), semua metode ini mengharuskan kita terlebih dahulu mengetahui (atau
paling tidak dugaan) nilai limitnya yang benar, dan kemudian membuktikan bahwa
dugaan kita benar.
Terdapat banyak contoh, yang mana tidak ada calon yang jelas untuk limit dari suatu
barisan, bahkan walaupun dengan analisis dasar diduga barisannya konvergen. Dalam
bagian ini dan dua bagian berikutnya, kita akan membahas hasil-hasil yang dapat
digunakan untuk menunjukkan suatu barisan konvergen meskipun nilai dari limit tidak
diketahui. Metode yang diperkenalkan pada bagian ini lebih terbatas dibanding metode
yang akan diberikan pada dua bagian selanjutnya, tetapi ini lebih mudah digunakan.
Metode ini dapat digunakan pada barisan yang monoton seperti berikut.
3.3.1 Definisi. Misalkan X =( x n) barisan bilangan real, kita katakan X tak turun bila
memenuhi ketaksamaan :

x 1 x 2 .... x n x n+1 …

Kita katakan X tak naik bila memenuhi ketaksamaan


x 1 x 2 .... x n x n+1 …
Kita katakan X monoton bila X tak naik atau tak turun.

Berikut ini barisan-barisan tak turun

( 1,2,3,4 , ..... ,n ,..... ) , (1,2,2,3,3,3 , ....... ) ,


(a , a 2 , a 3 ,..... , a n , ......) bilaa> 1
Berikut ini barisan-barisan tak naik

(1,1/2,1/3 , ....., 1/n , ...) ,(1,1/2,1/ 2 3 ,....... , 1/2 n−1 ,......) ,


(b , b 2 , b 3 ,....... , b n , ....) , bila 0< b<1.
Barisan-barisan berikut tak monoton

(+1 ,−1 ,+1 , ......, (−1 )n+1 , ....),(−1 ,+2 ,−3 , ..... ,(−1)n n , ....)
Berisan-barisan berikut tak monoton, tetapi pada akhirnya monoton
(7,6,2,1,2,3,4 , ......) ,(−2,0,1,1/2,1 /3,1/ 4 , .....) .

3.3.2 Teorema Konvergensi Monoton.


Barisan bilangan real monoton konvergen jika dan hanya jika barisan ini terbatas. Lebih
lanjut :

(a) Jika X =( x n) barisan tak turun yang terbatas, maka lim (x n) = sup{x n: n∈ N}
(b) Jika Y =( y n) barisan tak naik yang terbatas, maka lim ( y n) = inf{ y n :n ∈ N }.
Bukti :
Dari teorema 3.2.2 diketahui bahwa barisan konvergen pasti terbatas.
Sekarang kita akan buktikan sebaliknya, misalkan X barisan monoton yang
terbatas. Maka X tak turun atau tak naik.
(a). Pertama perhatikan kasus dimana X =( x n) barisan tak turun dan terbatas. Karena X
terbatas, terdapat M ∈ R, sehingga x n M untuk semua n ∈ N . Menurut sifat kelengkapan
* *
2.3.6, terdapat x = sup{ x n: n∈ N }; ada pada R ; kita akan tunjukkan bahwa x = lim ( x n).

Jika ε > 0 diberikan, maka x* - ε bukanlah batas atas dari { x n: n∈ N }; dari


*
sini terdapat x K sehingga x - ε < x K . Karena X merupakan barisan tak turun menyiratkan
bahwa x k ≤ x n dimana n ≥ K, sehingga

x ¿−ε < x K ≤ x n ≤ x ¿ < x ¿ + εuntuk semua n . .

Akibatnya

|x n −x ¿|<ε untuk semua n .

Karena ε > 0 sebarang, jadi diperoleh (x n) konvergen ke x ¿.

(b). Jika Y =( y n) barisan terbatas tak naik, maka jelaslah bahwa X = -Y= (-yn) barisan
terbatas tak turun. Dari (a) diperoleh lim X = sup{-yn : n ∈ N }. Sekarang lim X = −¿
lim Y, sedangkan dari latihan 2.4.4(b), kita mempunyai
sup{− y n :n ∈ N } = −¿ inf { y n :n ∈ N }.
Karenanya lim Y = −¿lim X = inf{ y n :n ∈ N }
Teorema konvergensi monoton memperkenalkan eksistensi limit dari barisan
monoton terbatas. Hal ini juga memberikan cara perhitungan limit yang menyajikan
kita dapat memperoleh supremum (a), infimum (b). Sering kali sukar untuk menge-
valuasi supremum (atau infimum), tetapi kita ketahui bahwa hal ini ada, sering pula
mungkin mengevaluasi limit ini dengan metode lain.
3.3.3. Beberapa contoh
1
(a). lim
( )
√n
=0 .

Kita dapat menggunakan Teorema 3.2.10; tetapi, kita akan menggunakan Teorema
1
Konvergen Monoton. Jelaslah bahwa 0 merupakan batas bawah, dari himpunan { √n :
n ∈ N }, dan tidak sukar untuk menunjukkan bahwa 0 adalah infimum dari himpunan {

1 1
√n :
n∈N
}; oleh karena itu
0=lim
√n ( ) .

Di lain pihak, kita ketahui bahwa


X:=
( √1n ) terbatas dan tak naik, yang meng-

1
akibatkan konvergen ke bilangan real x. Karena
X=
( )√n konvergen ke x, menurut
Teorema 3.2.3, bahwa X ∙ X = (1/n) konvergen ke x2. Karena itu x2 = 0, akibatnya x = 0.
1 1 1
hn =1+ + + .. .+ n∈N
(b). Misalkan 2 3 n untuk .
1
hn+1 =hn + >h
Karena n+ 1 n , kita melihat bahwa (hn) suatu barisan naik.
Dengan menggunakan Teorema Konvergensi Monoton 3.3.2, pertanyaan apakah
barisan ini konvergensi atau tidak dihasilkan oleh pertanyaan apakah barisan tersebut
konvergen atau tidak mengurangi pertanyaan apakah barisan tersebut terbatas atau tidak.
Upaya-upaya untuk menggunakan kalkulasi numerik secara langsung tiba pada suatu
dugaan mengenai kemungkinan terbatasnya barisan (hn) mengarah pada frustrasi yang
tidak meyakinkan. Dengan perhitungan komputer akan memberikan nilai aproksiasi
hn ¿ 11,4 untuk n = 50.000 dan hn ¿ 12,1 untuk n = 100.000. Fakta numerik ini
dapat menyatukan pengamat secara sekilas untuk menyimpulkan bahwa barisan ini
terbatas. Akan tetapi pada kenyataannya barisan ini divergen, yang diperlihatkan oleh
1 1 1 1 1
2 ( ) (
h n=1+ + + +. ..+ n−1 +. . .+ n
2 3 4 2 +1 2 )
1 1 1 1 1
¿ 1+ +( + )+. . .+ ( +. ..+ )
2 4 4 2 n
2 n
1 1 1 n
=1+ + + .. .+ =1+
2 2 2 2
Dari sini barisan (h n) tak terbatas, oleh karena itu divergen (teorema 3.2.2).
Terminologi h n tak turun dengan sangat lambat. Contohnya, dapat ditunjukkan bahwa
untuk memperoleh h n>50 dapat digukanakan dengan menambahkan perkiraan 5,2 ×1021 ,
dan perhitungan normal komputer menunjukkan penambahan 400 juta dalam satu detik
yang dapat menghasilkan lebih dari 400.000 tahun untuk menunjukkan perrhitungannya
( ada 31.536.000 detik dalam satu tahun). Sebuah komputer super yang dapat
menunjukkan lebih dari triliunan penambahan dalam satu detik akan membutuhkan lebih
dari 164 tahun untuk memperoleh hasilnya. Dan komputer super IBM Roadrunner pada
kecepatan operasi triliun kuadrat per detik membutuhkan waktu satu setengah tahun.
Barisan yang didevinisikan induktif harus diperlakukan berbeda. Jika barisan
diketahui konvergen, maka hasil limitnya kadang-kadang dapat ditentukan dengan
menggunakan hubungan induktif. Sebagai contoh, misalkan konvergen tersebut telah
terbentuk untuk barisan ( x n) didefinisikan dengan
1
x 1=2 , x n +1=2+ ,n ∈ N
xn
Jika diberikan x = lim ( x n), diperoleh x = lim ( x n+1) konvergen untuk limit yang sama.
Selanjutnya, diketahui bahwa x n ≥ 2, sehingga x ≠ 0 dan x ≠ 0 untuk semua n ∈ N . Untuk
itu, kita dapat menggunakan teorema limit barisan untuk memperoleh
1 1
x=lim ( x n+1 )=2+ =2+
lim ⁡( x n ) x
Dengan demikian, limit x adalah solusi dari persamaan kuadrat x 2=2 x=1=0 , dan karena
x harus positif, diperoleh bahwa limit dari barisan tersebut adalah x=1+ √ 2.
Tentu persoalan konvergen tidak harus dihindari atau diasumsikan begitu saja.
Contohnya, jika kita asumsikan bahwa barisan ( y n) didefinisikan dengan
y 1 ≔ 1, y n+1 ≔2 y n+ 1 adalah konvergen dengan limit y, maka akan diperoleh y=2 y +1,
sehingga y=−1. Tentu hal ini tidak masuk akal.
3.3.4 Contoh-contoh
1
(a) Misalkan Y =( y n) didefenisikan secara induktif oleh Y 1=1, Y n+1 = 4
(2 y n +3 )
3
untuk n 1. Kita akan menunjukkan bahwa lim Y = 2 .
5
Kalkulasi langsung menunjukkan bahwa y2 = 4 . Dari sini kita mempunyai y1 <
y2 < 2. Dengan induksi, kita akan tunjukkan bahwa yn < 2 untuk semua n N. Ini benar
untuk n = 1,2. Jika yk < 2 berlaku untk suatu k N , maka
1 1 3
y k +1= 4 ( 2 y k +3 )< 4 ( 4+ 3)=1+ 4 <2

Dengan demikian y k +1<2. Oleh karena itu y n<2 untuk semua n N.

Sekarang, dengan induksi, kita akan tunjukkan bahwa y n< y n+1 untuk semua
n N. Kemudian pernyataan ini tidak dibuktikan untuk n = 1. Anggaplah bahwa y k < y k +1
untuk suatu k; maka 2 y k +3<2 y k+1 +3, sehingga
1 1
y k +1= 4 ( 2 y k +3 )< 4 ( 2 y k +1 + 3)= y k +2

Jadi y k < y k +1 mengakibatkan y k +1< y k +2. Oleh karena itu y n< y n+1 untuk semua n N.

Kita telah menunjukkan bahwa Y =( y n) adalah barisan naik dan terbatas di atas
oleh 2. Menurut Teorema konvergensi Menoton, Y konvergen ke suatu limit yakni
pada kurang dari atau sama dengan 2. Dalam hal ini, tidak mudah untuk
mengevaluasi lim( y n) dengan menghitung sup{ y n : n N }. Tetapi terdapat cara lain
untuk mengevaluasi limitnya. Karena y n+ 1=(2 y n +3) untuk semua n N, maka suku ke n
dari 1-ekor Y 1 dan suku ke n dari Y mempunyai relasi aljabar sederhana. Dengan
Teorema 3.1.9, kita mempunyai y :=li m Y 1=li mY yang diikuti dengan Teorema
1 3
3.2.3 diperoleh y = 4 (2y + 3) yang selanjutnya mengakibatkan y = 2 .

(b). Misalkan Z = (zn) dengan z1 = 1, zn+1 = √ 2zn untuk semua n N , kita akan lan-
jutkan lim (zn) = 2.

Catatan bahwa z1 = 1 dan z2 = √2 ; Dari sini 1 ¿ z1 ¿ z2 < 2. Kita klaim


bahwa Z tak turun dan terbatas di atas oleh 2. Untuk membuktikannya kita akan
lakukan se- cara induksi, yaitu 1 ¿ zn < zn+1 < 2 untuk semua n N. Faktor ini dipenuhi
untuk n =1. Misalkan hal ini juga dipenuhi untuk n=k, maka 2 ¿ 2zk < 2zk+1 < 4,

yang diikuti oleh


1< √ 2≤z k +1= √2 z k +2 <z k +2= √2 z k +1 < √ 4=2 .
[Pada langkah terakhir kita menggunakan contoh 2.2.13 (a)]. Dari sini ketaksamaan 1

¿ zk < zk+1 < 2 mengakibatkan 1 ¿ zk+1 < zk+2 < 2. Karena itu 1 ¿ zn < zn+1 < 2
untuk semua n N.
Karena Z = (zn) terbatas dan tak turun, menurut Teorema Konvergensi Monoton Z
konvergen ke z = sup {zn}. Akan ditunjukkan secara langsung bahwa sup{zn}= 2, jadi

z = 2. Atau kita dapat menggunakan cara bagian (a). Relasi zn+1 = √ 2zn
memberikan relasi antara suku ke n dari Z1 dan suku ke n dari Z. Dengan Teorema
3.1.9, kita mempunyai lim Z1 = z = lim Z. Lebih dari itu, menurut Teorema 3.2.3 dan

3.2.10, z harus memenuhi z = √ 2z . Ini menghasilkan z = 0, 2. Karena 1 ¿ z ¿


2. Jadi z = 2.

Perhitungan akar kuadrat

3.3.5. Contoh

Misalkan a > 0, kita akan mengkonstruksi barisan (sn) yang konvergen ke √a .


1 a
s n+1= 2 ( sn + s )
Misalkan s1 > 0 sebarang dan didefinisikan n untuk semua n N . Kita

akan tunjukkan bahwa (sn) konvergen ke √a . (Proses ini untuk menghitung akar
kuadrat yang sudah dikenal di Mesopotamia sebelum 1500 B.C.).
2 s 2−2 sn+1
Pertama kita tunjukkan bahwa s n+1≥a untuk semua n ¿ 2. Karena n

s n + a=0 , persamaan ini mempunyai akar real. Dari sini diskriminannya 4 s 2n+1 −4 a
2
harus tak negatif, yaitu s n+1≥a untuk n ¿ 1.
Untuk melihat (sn) pada akhirnya tak naik, kita catat bahwa untuk n ¿ 2 kita
mempunyai
s 2
a 1 ( n )
1
s n − sn+1 =s n − 2
( sn+
)
sn
=2
sn
≥0

Dari sini, sn+1 ¿ sn untuk semua n ¿ 2. Menurut Teorema konvergensi monoton lim(sn) =
s ada. Lebih dari itu, dari Teorema 3.2.3, s harus memenuhi

( as )
s= 12 s+
,
a
yang mengakibatkan s = s atau s =a . Jadi s= √ a .
2

Untuk perhitungan, sering penting untuk mengestimasi bagaimana cepatnya

barisan (sn) konvergen ke √a . Dari di atas, kita mempunyai √ a≥ sn untuk semua

a
n ¿ 2, dimana s ≤ √ a≤ sn. Dari hal itu diperoleh
n

2
a ( s n −a ) untuk n ≥ 2.
0 ≤ s n − √ a ≤ s n− =
sn sn

Dengan menggunakan ketaksamaan ini kita dapat menghitung √a dengan derajat


akurasi yang diinginkan.

Bilangan Euler

3.3.6 Contoh.

n Ε = (en) terbatas
Misal en = (1 + 1/n) untuk n N . Kita akan tunjukkan bahwa
atau tak turun, karenanya Ε konvergen. Limit dari barisan ini adalah bilangan euler e
yang terkenal, yang nilainya didekati dengan e ¿ 2,718281828459045... dan kemudian
digunakan sebagai bilangan dasar logaritma natural.
Bilamana kita menggunakan teorema Binomial, kita mempunyai
n n( n−1) 1 n( n−1)( n−2) 1 n( n−1 ). . .2−1 1
e n =( 1+ 1n ) =1+ n1⋅1n + 2!
⋅ 2+ ¿ + .. .+ ¿ n
n 3! n
3
n! n

Ini dapat ditulis menjadi


1 1 1 1 2 1 1 2 n−1
e n =1+ 1+ 2 ! ( 1− n ) + 3 ! ( 1− n )(1− n ) +. ..+ n ! ( 1− n )( 1− n ) . . . ( 1− n )
Dengan cara serupa kita mempunyai :
1
e n+1=1+1+ 2! (1− n+11 ) + 3!1 ( 1− n+1
1 2
)( 1− n+1 ) +. ..+ n!1 ( 1− n+1
1
)( 1− n+12 ) .. . ( 1− n−1
n+1 )

1 1 2 n
+ ( n+1)! ( 1− n+1 )(1− n+1 ) . . . ( 1− n+1 )
Perhatikan bahwa ekspresi untuk en memiliki suku n + 1, sedangkan untuk en+1
memiliki suku n+2. Selain itu, masing-masing suku dalam en adalah lebih kecil atau
sama dengan suku yang bersesuaian dalam en+1 dan en+1 mengandung lebih satu suku
positif. Oleh karena itu, kita mempunyai 2 ¿ e1 ¿ e2 < ... < en < en+1 < ..., dengan
demikian suku-suku dari E naik.
Untuk menunjukkan bahwa suku-suku dari E terbatas di atas, kita perhatikan

bahwa jika p = 1, 2, ... , n, maka


(1− np ) <1. Selain itu 2p-1 ¿ p! [lihat 1.2.4.(e)]

1 1
≤ p−1
dengan demikian p! 2 . Oleh karena itu, jika n > 1, maka kita mempunyai
1 1 1
2<e n <1+1+ + 2 +. ..+ n−1
2 2 2
Karena dapat dibuktikan bahwa [lihat 1.2.4 (f)]
1 1 1 1
+ 2 + .. .+ n−1 =1− n−1 < 1
2 2 2 2 ,
kita simpulkan bukan 2 ¿ en < 3 untuk semua n N. Menurut Teorema Konvergensi

Monoton, kita peroleh bahwa barisan E konvergen ke suatu bilangan real antara 2 dan

3. Kita definisikan bilangan e merupakan limit dari barisan ini.


Dengan penghalusan estimasi kita dapat menemukan bilangan yang dekat sekali
ke e, tetapi kita tidak dapat menghitungnya secara eksak, karena e adalah suatu bilangan
irasional. Akan tetapi mungkin untuk menghitung e sampai beberapa tempat desimal
yang diinginkan. Pembaca boleh menggunakan kalkulator (atau komputer) untuk
menghitung en dengan mengambil nilai n yang “besar”.
Latihan 3.3.
1 x
1. Misalkan x 1 ≔8 dan x n+1 ≔ xn +2 untuk n N. Tunjukkan bahwa ( n ) terbatas dan
2
monoton. Tentukan limitnya.
1
x n+1 =2− nN
2. Misalkan x1 > 1 dan xn untuk . Tunjukkan bahwa (
x n ) terbatas dan
monoton. Tentukan limitnya.
x
3. Misalkan x 1 ≥ 2 dan x n+1 ≔1+ √ x n−1 untuk n N . Tunjukkan bahwa ( n ) tak naik dan
batas bawah 2. Tentukan limitnya.

4. Misalkan x1 = 1 dan x n+1 =√ 2+x n untuk n N . Tunjukkan bahwa ( x n ) konvergen


dan tentukan limitnya.
y
5. Misalkan y 1 ≔ √ p, dimana p>0 , dan y n+ 1 ≔ √ p + y n untuk n N . Tunjukkan bahwa ( n
) konfergen dan tentukan limitnya. [Petunjuk: salah satu batas tertinggi adalah 1+2 √ p.]
1/2
6. Misalkan a > 0 dan z1 > 0, Definisikan zn+1 = (a + zn) untuk n N . Tunjukkan bahwa
(zn) konvergen dan tentukan limitnya.
7. Misalkan x1 = a > 0 dan xn+1 = xn + 1/xn untuk n N .Tentukan apakah (xn) konvergen
atau divergen.
8. Misalkan (an) barisan tak turun, (bn) barisan tak naik dan misalkan an ¿ bn untuk
semua n N. Tunjukkan bahwa lim (an) ¿ lim (bn), dan dari sini buktikan Teorema
Interval Bersarang 2.5.2 dari Teorema Konvergensi Monoton 3.3.2.
9. Misalkan A subhimpunan tak hingga dari R dan terbatas di atas dengan u = sup A.
Tunjukkan bahwa terdapat suatu barisan tak turun (xn) dengan xn ∈ A untuk semua
n N sehingga u = lim (xn).
1 1 1
10. Tentukan apakah barisan (yn) konvergen atau divergen, bila y n = n+1 + n+2 + .. .+ 2n

untuk n N.
1 1 1
x n= 2
+ 2 + .. .+ 2 nN
11. Misalkan 1 2 n untuk . Buktikan bahwa (xn) tak turun dan

1 1 1 1
≤ = −
2 k ( k−1 ) k −1 k
terbatas, jadi konvergen. [ Catatan bila k ¿ 2, maka k ]
12. Perkenalkan konvergensi barisan berikut dan tentukan limitnya.
1 n+1 1 2n
(a). (( 1+ ) )
n
; (b). (( 1+ ) )
n
;
1 n 1 n
(c). (( 1+ ) )
n+1
; (d). (( 1− ) )
n
;

13. Gunakan metode pada contoh 3.3.5 untuk menghitung √2 , dengan benar sampai 4
desimal.

14. Gunakan metode pada contoh 3.3.5 untuk menghitung √5 , dengan benar sampai 5
desimal.
15. Hitung en pada contoh 3.3.6 untuk n = 2, 4, 8, 16.
16. Gunakan kalkulator untuk menghitung en untuk n = 50 dan n = 100.

3.4. Subbarisan dan Teorema Bolzano-Welestrass

Dalam bagian ini kita akan memperkenalkan gagasan subbarisan dari barisan
bilangan riil. Gagasan ini agak lebih umum daripada ekor barisan (yaitu dibahas pada
3.1.) sering bermanfaat dalammembuktikan divergensi barisan. Kita juga akan
membuktikan Teorema Bolzano-Welestrass, yang akan digunakan untuk
memperkenalkan sejumlah hasil akibatnya.

3.4.1. Definisi.

X =( x n )
Misalkan barisan bilangan riil dan n1 <n 2< …<nk < …, barisan bilangan asli yang
'
naik. Maka barisan X = ( x n k ) yang diberikan oleh

(xn 1
, x n2 , xn3 ,⋯, x nk ,⋯)

Disebut subbarisan dari X .

Sebagai contoh, jika X ≔ ( 11 , 12 , 13 , …), maka suku genap pilihan akan menghasilkan subbarisan
X'= ( 12 , 14 , 16 , … , 21k ,…) ,
1
Dimana n1 =2, n2 =4 ,… , n k =2 k , …. Subbarisan lain dari X = n adalah
( 11 , 13 , 15 ,⋯, 2 k1−1 ,⋯) ,( 21! , 41! , 6!1 ,⋯, (21k ) ! ,⋯).
1
Sedangkan yang berikut bukan subbarisan dari X = n :

( 12 , 11 , 14 , 13 , 61 , 51 ,⋯) ,( 11 , 0 , 13 , 0 , 15 ,0 ⋯)
Tentu saja, sebarang ekor barisan merupakan subbarisan, ekor-m bersesuaian dengan barisan
yang ditentukan dengan

n1 =m+1 , n2 =m +2 , ..., nk =m+k ...

Tetapi, tidak setiap subbarisan merupakan ekor barisan. Subbarisan dari barisan konvergen juga
konvergen kelimit yang sama, seperti yang akan kita tunjukkan berikut.

3.4.2. Teorema.

X =( x n )
Jika suatu barisan bilangan real konvergen ke x, maka sebarang subbarisan dari X
juga konvergen ke x.

Bukti:

Misalkan ε > 0 diberikan dan pilih bilangan asli K ( ε) sedemikian sehingga jika n ≥ K (ε )
, maka |x n−x|< ε . Karena n1 < n2 < ... < nk < ... adalah barisan bilangan real naik maka
dapat dibuktikan (dengan induksi) bahwa r k ≥ k . Dari sini, bila k ≥ K (ε ) kita juga

mempunyai n k ≥ k ≥ K (ε ) dengan demikian |x n −x|< ε . oleh karena itu subbarisan ( x n ) juga


k k

konvergen ke x.

3.4.3. Beberapa contoh

(a). lim (b n) bila 0< b<1.

Kita telah melihat, pada Contoh 3.1.11 (c), bahwa bila 0< b<1 dan bila x n=b n, maka
dari Ketaksamaan Bernoulli diperoleh bahwa lim (xn) = 0. Cara lain, kita melihat bahwa
karena 0< b<1, maka x n+1=bn+1 <b n=x n dengan demikian( x ¿¿ n)¿ adalah barisan turun.
Jelas juga bahwa 0 ≤ xn ≤ 1, sehingga menurut Teorema Konvergensi Monoton 3.3.2 barisan
tersebut konvergen. Misalkan x = lim (xn). Karena (x2n) adalah subbarisan dari (xn).menurut
Teorema 3.4.2 maka x= lim(x2n). Di lain pihak, karena x2n = b 2n = (b¿ ¿ n)2 ¿ = (xn)2, menurut
Teorema 3.2.3 diperoleh

2
x=lim ( x 2n ) =[ lim ( x n ) ] =x 2

Oleh karena itu kita mesti mempunyai x = 0 atau x = 1. Karena (x n) adalah barisan turun dan
terbatas di atas oleh 1, maka haruslah x = 0.

1
(b). Lim c n = 1 untuk c >1.

Limit ini telah diperoleh dalam contoh 3.1.11 (c) untuk c >0, dengan pemikiran argumen
yang banyak diakal-akali. Di sini kita melihat pendekatan lain untuk kasus c >1. Perhatikan
1
bahwa jika z =c n , maka z n >1 dan z n+1 < z n untuk semua n ∈ N . Jadi dengan menggunakan
n

Teorema Konvergensi Monoton, z=lim ( Z n ) ada. Menurut teorema 3.4.2, berlaku


z=lim ( Z 2 n ) . Di lain pihak, karena

1 1 1 1
2n n 2 2
z 2 n=c =(c ) =z n

Dan Teorema 3.2.10, maka

1 1
2 2
z=lim ( Z 2 n ) =( lim ( Z n ) ) =z

Karena itu z 2=z yang menghasilkan z=0 atau z=1 . Karena Z n>1 untuk semua n ∈ N , maka
haruslah z=1.

Untuk kasus 0< c<1 , kita tinggalkan sebagai latihan.

Hasil berikut berdasarkan dari definisi lim ( x n)=x . Kegunaan subbarisan


membuatnya muidah untuk menyajikan uji divergensi suatu barisan.
X =( x n )
3.4.4. Teorema. Misalkan suatu barisan.

Maka pernyataan berikut ekivalen:

X =( x n )
(i) Barisan tidak konvergen ke x ∈ R.

(ii) Terdapat ε 0> 0 sehingga untuk sembarang k ∈ N , terdapat n k ∈ N sehingga n k ≥ k dan

|x n −x|≥ ε0
k

(iii) Terdapat ε 0> 0 dan subbarisan X =(x ¿ ¿ n k ) ¿ dari X sehingga |x n −x|≥ 0 untuk semua
k

k ∈N .

Bukti:

X =( x n )
(i) ⟹ (ii). Bila tidak konvergen ke x, maka untuk suatu ε 0> 0 tidak mungkin
memperoleh bilangan asli k dimana untuk semua n ≥ k suku x n memenuhi |x n−x|< ε 0. Oleh
karena itu, untuk setiap k ∈ N tidak benar bahwa untuk semua n ≥ k tidak sama dengan
|x n−x|< ε 0. Dengan kata lain, untuk sebarang k ∈ N tidak ada bilangan asli n k ≥ k sehingga

|x n −x|≥ ε0.
k

(ii) ⟹ (iii). Misalkan ε 0 seperti pada (ii) dan misalkan n1 ∈ N sehingga n1 ≥1 dan

|x n −x|≥ ε0 . Sekarang misalkan n2 ∈ N sehingga n2 >n 1dan |x n −x|≥ ε0; misalkan n3 > n2 dan
1 2

|x n −x|≥ ε 0 dengan meneruskan cara ini diperoleh subbarisan X ' =( x ¿ ¿ nk )¿ dari X sehingga
3

|x n −x|≥ ε0 untuk semua k ∈ N .


k

X =( x n ) '
(iii) ⟹ (i). Misalkan mempunyai subbarisan X =( x ¿ ¿ nk )¿ memenuhi kondisi
(iii); maka X tidak mungkin konvergen ke x. Karena andaikan demikian, maka menurut
Teorema 3.4.2 subbarisan X ' juga akan konvergen ke x. Tetapi ini tidak mungkin, karena
tidak ada suku dari X ' termuat dilingkungan ε 0 dari x.
Karena semua subbarisan dari barisan konvergen harus konvergen untuk semua
limit, kita punya bagian (i) pada hasil berikut. Bagian (ii) mengikuti fakta bahwa barisan
konvergan adalah terbatas.

3.4.5 Kriteria Divergen

Jika barisan X =( x n ) dari bilangan riil memiliki hal berikut, maka X divergen.

' ''
(i) X memiliki dua subbarisan konvergen X =( x n ) dan X =( x r ) dengan limit yang tidak
k k

sama.
(ii) X tak terbatas.

3.4.6. Beberapa contoh.

(a). Barisan X =( (−1 )n ) divergen.

Subbarisan X ' =( (−1 )2 n )=(1,1 ,…) konvergen ke 1, dan subbarisan

X ' ' =( (−1 )2n−1 ) =(−1 ,−1, …) konvergen ke −1. Maka, kita peroleh dari Teorema 3.4.5 (i)
bahwa X divergen.

1 1
(b). Barisan (1 , ,3 , , …) divergen.
2 4

Kita dapat mendefinisikan barisan ini dengan Y =( y ¿¿ n) ¿ , yang mana y n=n bila n

1
ganjil, dan y n= bila n genap]. Secara mudah dapat dilihat bahwa barisan ini tidak terbatas;
n
dari sini,menurut Tyeorema 3.4.5(ii), barisan ini divergen.

(c) Barisan S=¿ divergen.


Barisan ini tidak mudah untuk diselesaikan. Dalam menyelesaikannya kita tentu harus
menggunakan hal dasar dari fungsi sinus. Kita ingat bahwa sin (π/6) = 1/2 = sin (5π/6) dan
sin x > ½ untuk x pada interval I1:= (π/6, 5π/6). Karena panjang dari I1 adalah 5π – π/6 =
2π/3 > 2, terdapat setidaknya dua bilangan asli pada I1. Kita misalkan n1 sebagai bilangan

1
pertama. Dengan hal yang sama, untuk setiap k ∈ N , sin x > untuk x pada interval.
2

(
I k := π /6+2 π ( k −1 ) ,
6
+2 π (k −1) )
Karena panjang I k besar dari 2, terdapat setidaknya dua bilangan asli pada I k , kita misalkan
n k sebagai bilangan pertama. Subbarisan S' =¿ (sin n k) yang mengandung S dalam hal ini
semua hasilnya akan ada pada interval [1/2, 1].
Sama halnya, jika k ∈ N dan Jk adalah interval.
11 π
(
J k := 7 π /6+2 π ( k−1 ) ,
6
+ 2 π (k−1) )
1
Selanjutnya lihat bahwa sin x ← untuk semua x ∈ J k dan panjang dari J k lebih besar dari 2.
2
Misalkan mk bilangan asli pertama pada J k . Selanjutnya subbarisan S' ' =¿ (sin mk ) of S

1
menunjukkan bahwa semua hasilnya berada pada interval −1 ,− [ 2 ]
.

Diberikan beberapa bilangan riil c, yang telah terlihat bahwa setidaknya terdapat satu
dari subbarisan S ' dan S ' ' berada diluar dari setengah lingkungan c. Dengan demikian, c
tidak bisa menjadi limit dari S. Karena c ∈ R selalu berubah, dapat ditarik kesimpulan bahwa
S divergen.

Eksistensi Subbarisan Monoton

Sementara tidak setiap barisan monoton, kita sekarang akan menunjukkan bahwa setiap barisan
mempunyai sub-barisan monoton.

3.4.7. Teorema Sub-barisan Monoton.

If X= (xn) adalah barisan dari bilangan riil, maka ada sebuah subbarisan dari X monoton.

Bukti

Untuk tujuan ini kita akan menyatakan suku ke-m


xm merupakan puncak bila

x m≥x n untuk semua n≥m . Selanjutnya kita akan mempertimbangkan dua kasus.
Kasus I. X mempunyai sejumlah tak hingga puncak. Dalam kasus ini, kita mengurut

puncak-puncak tersebut dengan indeks naik. Jadi kita mempunyai puncak-puncak


x m , x m , … , x m , … karena masing-masing suku tersebut puncak, kita mempunyai
1 2 k

xm ≥ xm ≥ … ≥ xm ≥ …
1 2 k

Karenanya subbarisan ( x m ) merupakan subbarisan tak naik dari X.


k

Kasus II. X mempunyai sejumlah hingga (mungkin nol) puncak. Misalkan puncak-

puncak ini x m , x m , … , x m . Misalkan


1 2 k
s 1 =mr +1 (indeks pertama setelah puncak terakhir).

xs s 2 >s1 x s > x s1 xs
Karena 1 bukan puncak maka terdapat sehingga 2 . Karena 2

s 3 >s 2 x s > x s2
bukan puncak maka terdapat sehingga 3 . Bila kita meneruskan proses

ini, kita peroleh subbarisan tak turun (bukan naik) ( x s ) dari X . k

Tidak sulit untuk melihat bahwa barisan yang diberikan dapat memiliki satu subbarisan
yang tak turun, dan subbarisan lain tak naik.
Teorema Bolzana Weierstrass
Kita akan menggunakan Teorema Subbarisan Monoton untuk membuktikan Teorema
Bolzana Weierstrass, yang menyebutkan bahwa setiap barisan terbatas memiliki sebuah
subbarisan konvergen. Karena kepentingan dari teorema ini kita juga akan memberikan
pembuktian kedua untuk itu berdasarkan Nasted Interval Property.
3.4.8. Teorema Bolzana-Weierstrass.
Setiap barisan terbatas mempunyai subbarisan konvergen.
Bukti pertama

Mengikuti teorema subbarisan Monoton, maka barisan terbatas X =( x n )


'
mempunyai subbarisan X =( x n ) k
monoton. Subbarisan inipun juga terbatas, sehingga
menurut Teorema Konvergensi Monoton 3.3.2 bahwa subbarisan tersebut konvergen.
Bukti kedua
Karena nilai dari himpunan { x n :n∈ N } terbatas, himpunan ini terdapat pada interval I1 :=
[a,b]. Ambil n1 = 1.
Selanjutnya bagi I1 menjadi dua sub interval yang sama I 1 ' dan I 1 ' ' , dan bagi himpunan
{n∈ N : n>1} menjadi dua bagian:
A1= {n ∈ N :n> n1 , x n ∈ I '1 } , B1={n∈ N : n>n1 , x n ∈ I '1' }

Jika A1 takterhingga, ambil I 2=I '1 dan misalkan n2 menjadi bilangan asli terkecil pada A1.

Jika A1 himpunan berhingga, maka haruslah B1 takterhingga, dan ambil I 2=I '1' dan misalkan
n2 menjadi bilangan asli terkecil pada B1.
Selanjutnya bagi I2 menjadi dua sub interval yang sama I 2 ' dan I 2 ' ' , dan bagi himpunan
{n∈ N : n>n2 } menjadi dua bagian:

A2= {n ∈ N :n> n2 , x n ∈ I '2 } , B2={n∈ N :n>n2 , x n ∈ I '2' }

Jika A2 takterhingga, ambil I 3=I '2 dan misalkan n3 menjadi bilangan asli terkecil pada A2.

Jika A2 himpunan berhingga, maka haruslah B2 takterhingga, dan ambil I 3=I ''2 dan misalkan
n3 menjadi bilangan asli terkecil pada B2.
Selanjutnya untuk memperoleh barisan dari interval bersarang I 1 ⊇ I 2 ⊇… ⊇ I k ⊇… dan

subbarisan ( x n ) dari X yang mana x n ∈ I k untuk k ∈ N . Karena panjang dari I k sama dengan
k k

(b−a)/2k−1, berdasarkan Teorema 2.5.3 bahwa terdapat satu titik poin ξ ∈ I k untuk semua
k ∈ N . Lebih lanjut, karena x n dan ξ merupakan bagian dari I k , maka
k

|x n −ξ|≤(b−a)/2k−1
k

Dari hal tersebut diperoleh bahwa subbarisan ( x n ) dari X konvergen ke ξ.


k

Teorema 3.4.8 dapat disebut sebagai teorema Bolzano-Weierstraass untuk barisan,


karena ada versi lain dari itu yang ditetapkan dengan batas himpunan pada R (lihat Latihan
11.2.6).
Dari sini mudah dilihat bahwa barisan terbatas dapat mempunyai beberapa

subbarisan yang konvergen ke limit yang berbeda, sebagai contoh, barisan ((−1 )n )
mempunyai subbarisan yang konvergen ke-1 dan subbarisan yang lain konvergen ke +1.
Barisan ini juga mempunyai sub-barisan yang tidak konvergen.
' '
Misalkan X subbarisan dari barisan X . Maka X sendiri juga merupakan
''
barisan, yang juga dapat mempunyai sub-barisan, katakan X . Di sini dapat kita catat
''
bahwa X juga merupakan subbarisan dari X .
3.4.9. Teorema.
Misalkan X barisan terbatas dan x ∈ R yang mempunyai sifat bahwa setiap sub-barisan
konvergen dari X limitnya adalah x. Maka barisan X konvergen ke x.
Bukti.
Misalkan M >0, sehingga |x n|≤ M untuk semua n ∈ R. Andaikan X tidak konergen ke x.
'
Menurut Kriteria Divergensi 3.4.4 terdapat ε 0> 0 dan subbarisan X =( x r ) dari X sehingga
n

(1) |x n −x|≥ ε0, untuk semua k ∈ N


k

Karena X ' subbarisan dari X , maka X ' juga terbatas oleh M. Dari sini, menurut Teorema
Bolzano-Weierstrass bahwa X ' mempunyai subbarisan X ' ' yang konvergen.
Tetapi X ' ' juga merupakan subbarisan dari X , karenanya harus konvergen, menurut
hipotesis. Akibatnya pada akhirnya X ' ' terletak di dalam lingkungan-ε 0 dari x. Karena
setiap suku dari X ' ' juga merupakan suku dari X ', hal ini membawa kita ke suatu yang
kontradiksi dengan (1)
3.4.10 Definisi
Misal X =( x n ) adalah barisan terbatas dari bilangan asli.
(a) Limit superior dari ( x n ) adalah infimum dari himpunan V dimana v ∈ R oleh karena itu
v< x n untuk banyak nomor terhingga dari n ∈ N . Ini diperoleh dari

lim sup ( x n) atau lim sup X atau lim ¿( x n)¿


(b) Limit inferior dari ( x n ) adalah supremum dari himpunan w ∈ R oleh karena itu x m <w
untuk banyak nomor terhingga dari m∈ N. Ini diperoleh dari
lim inf ( x n) atau lim inf X atau lim ( x n )
untuk konsep dari limit superior, tunjukkan bahwa perbedaan pendekatannya sama.

3.4.11 Teorema
Jika ( x n ) adalah barisan terbatas dari bilangan asli, maka pernyataan berikut untuk bilangan
asli x ¿ adalah sama.
(a) x ¿=¿ lim sup ( x n ).
¿
(b) Jika ε > 0, ada beberapa bilangan berhingga dari n ∈ N sehingga x + ε < x n, tetapi sebuah
¿
bilangan takberhingga dari n ∈ N sehingga x −ε < x n.
(c) Jika um =¿ sup {x n :n ≥ m}, maka x ¿=¿ inf { u m :m ∈ N } =¿ lim (um ).
(d) Jika S adalah himpunan dari limit subbarisan x n, maka x ¿=¿ sup S.

3.4.12 Teorema
Barisan terbatas ( x n ) konvergen jika dan hanya jika lim sup ( x n )=¿ lim inf ( x n ).

Latihan 3.4
1. Berikan contoh barisan tak terbatas yang mempunyai subbarisan konvergen.
2. Gunakan metode pada contoh 3.4.3 (b) untuk menunjukkan bahwa 0< c<1 maka lim
1
( c )=1.
n

3. Misalkan ( f n ) adalah barisan Fibbonaci dari Contoh 3.1.2(d), dan misalkan x n=f n+1 / f n.

Tunjukkan bahwa lim ( x n ) = L ada, tentukan nilai L.


4. Tunjukkan bahwa barisan berikut divergen.
n 1 nπ
(a) (1− (−1 ) + ), (b) (sin )
n 4
5. Misalkan X =( x n ) dan Y =( y n ) dan barisan Z=(z n ) didefinisikan dengan z 1=x 1,
z 2= y 1 , … z 2 n−1=x n , z 2 n= y n , …. Tunjukkan bahwa Z konvergen jika dan hanya jika X
dan Y konvergen dan lim X =¿ lim Y .
1
6. Misalkan x =n n untuk n ∈ N .
n

1 n
(a). Tunjukkan bahwa x n+1 < x n ekivalen dengan ( )
1+
n
< n, dan diduga bahwa

ketaksamaan ini benar untuk n ≥ 3. [lihat contoh 3.3.5] Buktikan bahwa ( x n ¿ pada
akhirnya tak naik dan η=¿ lim ( x n ¿ ada.
(b). Gunakan fakta subbarisan ( x 2 n ¿ juga konvergen ke x untuk menunjukkan bahwa
x=√ x . Simpulkan x=1.
7. Misalkan setiap sub-barisan dari X =(x n ) mempunyai subbarisan lagi yang konvergen
ke 0. Tunjukkan bahwa lim X =0
8. Perkenalkan konvergensi dan tentukan limit barisan berikut:
2 n
1 1
((
(a). 1+
2n )) (b). 1+(( 2n ))
2
n n
1 2
(c).
(( ) )
1+ 2
n (( ) )
(d). 1+
n

9. Misalkan ( x n) barisan terbatas dan untuk masing-masing n ∈ N . Misalkan sn=¿ sup {


x k : k ≥n } dan s=¿ inf { sn :n ∈ N }. Tunjukkan bahwa terdapat subbarisan dan ( x n) yang
konvergen ke s.
10. Misalkan bahwa x n ≥ 0 untuk semua n ∈ N dan lim ( (−1)n x n ) ada. Tunjukkan bahwa ( x n)
konvergen.
11. Tunjukkan bahwa bila ( x n) tak terbatas, maka terdapat subbarisan ( x n ) sehingga lim
k

1
( )
xn
=0 .
k

(−1 ) n
12. Bila x n= , tentukan subbarisan ( x n ) yang dikonstruksi pada bukti kedua Teorema
n
Bolzano-Weierstrass.
13. Misalkan ( x n ) barisan terbatas dan s ={ x : n∈ N } ¿. Tunjukkan bahwa bila s ∉ { x n :n ∈ N },
n

maka terdapat subbarisan dari ( x n ) yang konvergen ke s.


14. Berikan contoh bahwa teorema 3.4.9 gagal bila hipotesis X barisan terbatas dihilangkan.

3.5 Kriteria Cauchy

Teorema Konvergensi Monoton sangat penting dan berguna, tetapi sayangnya


hanya dapat diterapkan pada barisan monoton. Padahal sangat penting untuk mem-
perkenalkan kriteria konvergensi yang tidak bergantung pada barisan monoton mau-
pun nilai limitnya,seperti yang akan kita bahas berikut ini.
3.5.1 Definisi
Barisan X = (xn) dikatakan barisan Cauchy bila untuk setiap ε > 0 terdapat H( ε )
∈ N

sehingga bila m,n ¿ H( ε ), maka xm dan xn memenuhi |x n −x|<ε


Penerapan dari konsep barisan Cauchy berbeda dengan teorema utama pada bagian
ini, dimana barisan dari bilangan real adalah konvergen jika dan hanya jika itu adalah
barisan cauchy. Ini akan memberikan kita metode untuk membuktikan sebuah barisan
konvergen tanpa mengetahui limit barisan tersebut.
Bagaimanapun, kita akan mengetahui definisi dari barisan Cauchy berdasarkan contoh
berikut.
3.5.2 Contoh (a) Barisan (1/n ¿ adalah barisan Cauchy
Jika diketahui ε > 0, terdapat bilangan asli H=H (ε ¿, dimana H >2/ε . Kemudian jika m,n

1 1
≥ H, kita punya ≤ <ε /2 , maka akan memenuhi jika m,n ≥ H, sehingga
n H

|1n − m1 |≤ 1n + m1 < 2ε + 2ε =ε
Karena ε > 0adalah berubah-ubah, kita simpulkan bahwa (1/n ¿ adalah barisan Cauchy.
(b) Barisan (1+ (−1 )n ) bukan barisan Cauchy
Negasi dari definisi barisan Cauchy adalah: Terdapat ε 0> 0 untuk setiap H dimana

setidaknya terdapat satu n > H dan setidaknya terdapat satu m > H untuk |x n−x m|≥ ε 0 untuk

bagianx n ≔1+(−1)n, kita tahu bahwa jika n adalah genap, maka x n=2dan x n+1=0. Jika kita
ambil ε 0=2, maka untuk setiap H kita dapat memilih sebuah bilangan genap n > H dan
misalkan m≔ n+1 untuk mendapatkan
|x n−x n +1|=2=ε 0
Kita simpulkan bahwa( x n )bukan barisan Cauchy.
Remak
Kita tekankan untuk membuktikan barisan ( x n ) adalah barisan Cauchy, kita belum
mengansumsikan hubungan antara m dan n, karena membutuhkan ketaksamaan
|x n−x m|< ε harus berlaku untuk semua n,m > H ( ε ). Tetapi untuk membuktikan sebuah
barisan bukan merupakan barisan Cauchy, kita harus menentukan hubungan antara n dan
m sepanjang nilainya berubah-ubah dari n dan m dapat dipilih sehingga |x n−x m|< ε .
Tujuan kita adalah untuk memperlihatkan bahwa barisan Cauchy adalah barisan
konvergen. Pertama-tama kita harus membuktikan bahwa barisan konvergen adalah
barisan Cauchy.
3.5.3. Lemma.
Bila X = (xn) barisan konvergen, maka X barisan Cauchy.
Bukti :

Misalkan x = lim X, maka menurut Teorema 3.1.6(c) untuk sebarang ε > 0,


ε ε ε
K ( 2 )∈ N |x n −x|< 2 untuk semua n≥K ( 2 ) . Jadi, bila m,
terdapat sehingga

n≥K ( ε2 ) maka

|x n −x m|=|( xn −x m ) + ( x −x m)|
ε ε
¿|x n −x|+|x m−x|< 2 + 2 =ε
Karena ε > 0 sebarang, maka (xn) barisan Cauchy.
Untuk menunjukkan bahwa barisan Cauchy konvergen kita akan menggunakan
hasil berikut.

3.5.4. Lemma.
Barisan Cauchy terbatas.

Bukti :

Misalkan x barisan Cauchy dan ε = 1. Bila H = H(1) dan n ¿ H, maka

|x n −x H|≤1 . Dengan menggunakan ketaksamaan segitiga kita mempunyai

|x n|≤|x H|+1 untuk n ¿ H. Bila kita definisikan

M = sup {|x1|,|x 2|,...,|x H−1|,|x H|+1} ,

maka
|x n|≤M untuk semua n ∈ N.
3.5.5 Kriteria Konvergensi Cauchy.
Barisan bilangan real konvergen jika dan hanya jika merupakan barisan cauchy.
Bukti:
Lemma 3.5.3 telah membuktikan bahwa barisan konvergen merupakan barisan Cauchy.
Sebaliknya, misalkan X = (xn) barisan Cauchy; kita akan tunjukkan bahwa X konvergen ke
suatu bilangan. Pertama dari Lemma 3.5.4 kita peroleh bahwa X terba- tas. Karena itu
menurut Teorema Bolzano-Weierstrass 3.4.8 terdapat subbarisan X’ = ( xn )
k
dari X yang
konvergen ke x* suatu bilangan real. Kita akan melengkapi bukti dengan menunjukkan
bahwa X konvergen ke x*.

Karena X = (xn) barisan Cauchy, untuk sebarang ε > 0 terdapat H ( 2ε ) ∈ N


n≥H ( ε2 )
sehingga bila m, maka
ε
(*)
|x n −x m|< 2

Karena subbarisan X’ = ( xn )k
*
konvergen ke x , maka terdapat bilangan asli

¿ ε
K≥H ( 2ε ) unsur dari {n1,n2,...} sehingga |x K −x |< 2 .

Karena K≥H ( 2ε )
, dari (*) dengan m = K diperoleh
ε
|x K −x k|< 2 , untuk n≥H ( ε2 )
ε
Karena itu, bila n≥H ( 2 ) , kita mempunyai
¿ ¿
|x n −x |=|( x n −x K ) + ( x K −x )|
¿
¿|x n =x K|+|x K −x |
ε ε
¿ 2 + 2 =ε

Karena ε > 0 sebarang, maka lim (xn) = x*.


Berikut kita lihat beberapa contoh aplikasi dari Kriteria Cauchy.
3.5.6. Beberapa Contoh
(a). Misalkan X = (xn) didefinisikan dengan
1
x1 = 1, x2 = 2 dan xn = ( x + x ) untuk n > 2.
2 n−2 n−1
Dapat ditunjukkan dengan induksi bahwa 1≤ xn ≤ 2 untuk semua n ∈N. Beberapa
perhitungan menunjukkan bahwa barisan x tidak menoton. Tetapi, karena suku-
sukunya diperoleh dari rata-rata, mudah dilihat bahwa
1
|x n −x n+1|= n−1 untuk n ∈N
2
(Buktikan dengan induksi) Jadi, bila m > n, kita dapat menggunakan ketaksamaan
segitiga untuk memperoleh
|x n−x m|≤|x n−x n+1|+|x n +1−x n+2|+…+|x m−1−x m|
1 1 1
¿ n−1
+ n
+…+ m−2
2 2 2
1
¿
2 n−1 (1+ 12 + …+ 2 1 )< 21m −n−1 n−2

Karena itu, bila diberikan ε > 0, dengan memilih n yang begitu besar sehingga

1 ε
< dan bila M≥ n, maka |x n−x m|< ε . Karenanya, X barisan Cauchy. Dengan
2n 4
menggunakan Kriteria Cauchy 3.5.4 diperoleh barisan X konvergen ke suatu bilangan x.
Untuk mencari nilai x, kita harus menggunakan aturan untuk definisi

1 1
x n= ( x n−1+ x n−2 ) yang akan sampai pada kesimpulan x= ( x+ x ) yang memang benar,
2 2
tetapi tidak informatif. Karena itu, kita harus mencoba cara yang lain.
Karena X konvergen ke x, demikian juga halnya subbarisan X’ dengan indeks
ganjil. Menggunakan induksi pembaca dapat menunjukkan bahwa [lihat 1.3.3 (c)]
1 1 1
x 2 n+1=1+ + 3 + …+ 2n−1
2 2 2
2 1
¿ 1+
3(1− n
4 )
2 5
3
=3
Dari sini diperoleh bahwa (bagaimana ?) x = lim X = lim X’ =1+ .
(b) Misalkan Y = (yn) barisan dengan
n+1
1 1 1 1 1 (−1)
y 1= , y 2= − , … , y n = − + …+ ,…
1! 1! 2 ! 1 ! 2! n!
Jelaslah, Y bukan barisan monoton. Tetapi, bila m > n, maka
(−1)n+2 (−1) n+3 (−1)m+1
y m − y n= + + …+
( n−1 ) ! ( n+2 ) ! m!
r-1
Karena 2 ≤r! [lihat 1.3.3 (d)], karenanya bila m > n, maka (mengapa ?)
1 1 1
| y m − y n|≤ ( n+1 ) ! + ( n+ 2 ) ! +…+ m !
1 1 1 1
≤ n
+ n+1 + …+ m −1 < n−1
2 2 2 2
Karena itu, (yn) barisan Cauchy, sehingga konvergen, katakan ke y, saat ini kita tidak

1
|y n − y|≤ n−2
dapat menentukan nilai y secara langsung; kita mempunyai 2 .

dari sini, kita dapat menghitung nilai y sampai derajat akurasi yang diinginkan dengan
menghitung yn untuk n yang cukup besar. Pembaca sebaiknya mengerjakan hal ini dan
1
menunjukkan bahwa y sama dengan 0.632 120 559. (Tepatnya y adalah 1- e )

(c) Barisan ( 11 + 12 + 13 +…+ 1n ) divergen.


1 1 1
Misalkan H = (hn) barisan yang didefinisikan dengan h n= + +…+ untuk n∈N ,
1 2 n

1 1
hm−hn = +. ..+
yang telah dibahas pada 3.3.3 (b). Bila m > n, maka n+1 m .
1
Karena masing-masing suku m-n ini melebihi m maka

m−n n
hm−hn > =1− 1
h2 n −hn > 2 . Hal
n m . Khususnya, bila m = 2n kita mempunyai
ini menunjukkan bahwa H bukan barisan Cauchy (mengapa ?); karenanya H bukan barisan
konvergen.
3.5.7 Definisi.
Barisan X = (xn) dikatakan kontradiktif bila terdapat konstanta C, 0 < C < 1, sehingga
|x n+2 −x n+1|≤C| xn +1−x n| untuk semua n ∈ N . Bilangan C disebut konstanta barisan
kontraktid tersebut.
3.5.8 Teorema.

Setiap barisan kontraktif merupakan barisan Cauchy, karenanya konvergen.

Bukti:
Bila kita menggunakan kondisi barisan kontraktif, kita dapat membalik langkah kerja
kita untuk memperoleh:

|x n+2 −x n+1|≤C| xn +1−x n|≤C 2|x n− xn−1|

≤ C3|x n−1−x n−2|≤ … ≤ Cn|x 2−x 1|

Untuk m¿n, kita mempunyai

|x m−x n|≤|x m−x m−1|+|x m−1−x m−2|+ …+|x n+1−x n|

≤(C ¿ ¿ m−2+C m−3+ …+C n−1)| x2 −x1|¿

¿ C n−1 ( C m−n−1+ Cm −n −2 +...+1 )|x 2−x 1|

1−C m−1
¿ C n−1 ( 1−C )
|x 2−x 1|

1
≤ Cn−1 ( 1−C )|x −x |
2 1

Karena 0<C <1, maka lim ( C n )=0 [lihat 3.1.11(c)]. Karena itu ( x n ) barisan Cauchy, sehingga

( x n ) konvergen.

3.5.9. Contoh

Kita menghitung barisan fibonacci pecahan x n ≔ f n / f n+1 dimana f 1=f 2=1 dan

1 2 3 5
f n+1=f n + f n−1.(lihat Contoh 3.1.2). Bagian pertama adalah x 1=1, x 1= , x3 = , x 4= , x 5= ,
2 3 5 8
dan seterusnya. Ini memperlihatkan bahwa barisan ( x n ) diketahui induktif dari persamaan
x n+1=1 /(1+ x¿ ¿ n)¿seperti:

f n+1 f n +1 1 1
x n+1= = = =
f n+2 f n +1+ f n fn 1+ x n
1+
f n +1
1
Sebuah argumen induksi terbentuk ≤ x ≤1 untuk semua n, sehingga menambahkan 1 dan
2 n

1
mengambil timbal balik memberi kita ketaksamaan ≤1 /(1+ x¿ ¿ n)≤ 2/3 ¿ untuk semua n.
2
Sehingga terbentuk

2 2 4
|x n+1 −xn|=¿ x n−x n−1∨ ¿
( 1+ xn ) ( 1+ x n−1 ) | |
≤ . ¿ x n −xn −1 ¿ ¿ xn −x n−1 ¿
3 3 9

Karena, barisan ( x n ) kontraktif, dan terdapat konvergen dari teorema 3.5.8 melewati

limit x=lim ⁡( x n ) , kita mendapatkan persamaan x=1/(1+ x ), sehingga x memenuhi


persamaan x 2+ x−1=0. Pengkuadratan rumus tersebut memberikan kita solusi positif

−1+ √ 5
x= =0.618034 …
2

1 −1+ √ 5
Timbal balik = =0.618034 … sering dilambangkan dengan huruf Yunani φ
x 2
dan disebut sebagai golden rasio dalam sejarah geometri. Dalam teori artistik filsuf
yunani kuno, sebuah persegi panjang memiliki φ sebagai sisi yang lebih panjang ke sisi
yang lebih pendek adalah persegi panjang yang menyenangkan dilihat oleh mata.
Jumlahnya juga memiliki banyak sifat matematis yang menarik. (Sebuah diskusi sejarah
mengenai golden rasio dapat ditemukan di wikipedia).

Dalam proses perhitungan batas urutan kontraktif, seringkali sangat penting untuk
memperkirakan kesalahan pada tahap ke-n. Pada hasil selanjutnya kami memberikan dua
perkiraan berikut: yang pertama melibatkan dua istilah pertama dalam urutan dan n; yang
kedua melibatkan poerbedaan x n−x n−1 .

3.5.10. Akibat.

Bila x = ( x n ) barisan konstraktif dengan konstanta C, 0<C <1 , dan x = lim X, maka:

C n−1
(i). |x ¿ −x n|≤ |x −x |
1−C 2 1
¿ C
(ii). |x −x n|≤ |x −x |
1−C n n+1

Bukti:

C n−1
Kita telah melihat pada bukti terdahulu bahwa bila m > n, maka |x m−x n|≤ | x −x |.
1−C 2 1
Bila kita menggunakan limit pada ketaksamaan ini (terhadap m), kita peroleh (i).

Untuk membuktikan (ii), kita gunakan lagi m > n, maka

|x m−x n|≤|x m−x m−1|+…+| x n+1−x n|

Dengan induksi diperoleh

|x n+ k −x n+k−1|≤C k |x n−x n−1|

Karenanya

|x m−x n|≤(C ¿ ¿ m−n+ …+ C2 +C)|x n−x n−1|¿

Bila kita menggunakan limit pada ketaksamaan ini (terhadap m) diperoleh (ii).

3.5.11. Contoh.

3
Diketahui solusi dari x - 7x + 2 = 0 terletak antara 0 dan 1 dan kita akan
mendekati solusi tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan prosedur it-
3 1
erasi berikut. Pertama kita tuliskan persamaan di atas menjadi x= 7 ( x +2) dan
gunakan ini untuk mendefinisikan barisan, kita pilih x, sebarang nilai antara 0 dan 1,
kemudian definisikan
1 3
x n+1= ( x + 2 ), n∈N
7 n
Karena itu, (xn) barisan kontraktif, sehingga terdapat r dengan lim (xn) = r. Bila
1
kita menggunakan limit pada kedua sisi (terhadap n) pada x n+1 = 7 ( x 3 ) , diperoleh

1
r= 7 ( r 3 +2) atau r 3 −7 r +2=0 . Jadi r merupakan solusi dari persamaan
tersebut.
Kita dapat mendekati nilai r dengan memilih x1 kemudian menghitung x2, x3, ...,
secara berturut-turut. Sebagai contoh, bila kita memilih x1 = 0,5 kita peroleh (sampai
sembilan tempat desimal)
x2 = 0,303571429, x3 = 0,289710830,
x4 = 0,289188016, x5 = 0,289169244,
x6 = 0,289 168 571, dan seterusnya.

Untuk mengestimasi akurasi, kita catat bahwa


|x 2−x 1|<0,2 . Jadi, setelah langkah ke n

¿ 35 243
|x −x 6|≤ 4 = <0 , 0051
menurut Akibat 3.5.8(i) kita yakin bahwa 7 (20 ) 48020 . Sebenarnya

pendekatannya lebih baik daripada ini. Karena |x 6 −x 5|<0,000005 , menurut 3.5.10 (ii)

¿ 3
maka |x −x 6|≤ 4 |x 6 −x 5|<0 , 0000004 . Jadi kelima tempat desimal yang pertama benar.

Latihan 3.5
1. Beri contoh barisan terbatas yang bukan barisan Cauchy.
2. Tunjukkan secara langsung dari definisi bahwa yang berikut barisan Cauchy

(a). ( n+1n ); (
(b) 1+
1
2!
+ …+
1
n! )
3. Tunjukkan secara langsung dari definisi bahwa yang berikut bukan barisan
Cauchy
(−1 )n
(a). ( (−1 )n ); (
(b) n+
2n )
4. Tunjukkan secara langsung bahwa bila (xn) dan (yn) barisan Cauchy, maka (xn + yn)
dan (xn yn) juga barisan Cauchy.
5. Misalkan (xn) barisan Cauchy sehingga xn bilangan untuk semua n N. Tunjukkan
bahwa (xn) pada akhirnya konstan.
6. Tunjukkan bahwa barisan monoton tak turun yang terbatas merupakan barisan
Cauchy.
1
7. Bila x1 < x2 sebarang bilangan real dan x n= 2 ( x n−2 + x n−1 ) untuk n > 2, tunjukkan
bahwa (xn) konvergen. Hitunglah limitnya.
1 2
8. Bila y1 < y2 sebarang bilangan real dan y n 3 y n−1 + 3 y n−2 untuk n > 2, hitunglah
limitnya
n
9. Bila 0 < r < 1 dan |x n+1−x n|<r untuk semua n ε N, tunjukkan bahwa (xn) barisan
Cauchy.
1
10. Jika x1 < x2 adalah bilang real yang berubah-ubah dan x n ≔ (x n−2+ x n−1 ) untuk n > 2,
2
Tunjukkan bahwa( x n ) adalah konvergen. Tentukan limitnya.
1 2
11. Jika y1 < y2 adalah bilang real yang berubah-ubah dan y n ≔ 3 y n−2+ 3 y ¿ untuk n > 2,
n−2

Tunjukkan bahwa( y n ) adalah konvergen. Tentukan limitnya


−1
x n+1 =( 2+ x n ) n≥1
12. Bila x1 > 0 dan untuk tunjukkan bahwa (xn) barisan
kontraktif. Tentukan limitnya.
13. Jika x 1 ≔2dan x n+1 ≔2+1/ xn untuk n ≥ 1, tunjukkan bahwa ( x n ) adalah barisa kontraktif.
Tentukan limitnya.
3
14. Persamaan x - 5x + 1 = 0 mempunyai akar r antara 0 dan 1. Gunakan barisan
-4
kontraktif yang bersesuaian untuk menghitung r sampai 10 .

3.6 Barisan-barisan Divergen Murni

Untuk tujuan-tujuan terntentu dipandang baik sekali untuk mendefenisikan atau yang
dimaksud dengan suatu barisan bilangan real ( x n ) yang “menuju ke ±

3.6.1. Defenisi

Misalkan ( x n ) suatu barisan bilangan real.


(i) Kita katakan bahwa (xn) menuju ke +∞ , dan ditulis lim (xn) = +∞, jika untuk setiap α ∈
R terdapat bilangan asli K(α) sedemikian sehingga jika n ≥ K(α), maka xn > α .
(ii) Kita katakan bahwa (xn) menuju ke - ∞ , dan ditulis lim (xn) = -∞, jika untuk setiap β ∈
R terdapat bilangan asli K(β) sedemikian sehingga jika n ≥ K(β), maka xn > β .
Kita katakan bahwa (xn) divergen murni dalam hal kita mempunyai lim (xn) = +∞ dan
(xn) = - ∞.

3.6.2. Contoh-contoh

(a) lim (n) = +∞.


Kenyataannya, jika diberikan α ∈R, misal K(α) sebarang bilangan asli
sedemikian sehingga K(α) > α .

2
(b) lim (n ) = + ∞ .
Jika K(α) suatu bilangan asli sedemikian sehingga K(α) >α , dan jika n ≥ K (α )
maka kita mempunyai n2 ≥ n>α .

n
(c) Jika c > 1, maka lim (c ) = +∞
Misalkan c = 1 + b, dimana b > α, Jika diberikan α ∈R, misal K(α) suatu bilangan

α
asli sedemikian sehingga K(α) > . Jika n ≥ K (α ) maka menurut ketaksamaan Bernoulli
b

n n
c = (1 + b) ≥1 + nb > 1+ α > α .

n
Oleh karena itu lim (c ) = + ∞ .
Barisan-barisan monoton khususnya adalah sederhana dalam memandang
konvergennya. Kita telah melihat dalam Teorema Konvergensi Monoton 3.2.2 bahwa
suatu barisan monoton adalah konvergen jika dan hanya jika terbatas. Hasil berikut
adalah suatu reformulasi dari hasil tersebut di atas.
3.6.3. Teorema.
Suatu barisan bilangan real yang monoton divergen murni jika dan hanya jika
barisan
tersebut tidak terbatas.
(a). Jika (xn) suatu barisan naik tak terbatas, maka lim (xn) = + ∞
(b). Jika (xn) suatu barisan turun tak terbatas, maka lim (xn) = - ∞

Bukti : (a). Anggaplah bahwa (xn) suatu barisan naik. Kita ketahui bahwa jika (xn)
terbatas, maka (xn) konvergen. Jika (xn) tak terbatas, maka untuk sebarang α ∈R
terdapat n(α)∈ N sedemikian sehingga α < xn(α ). Tetapi karena (xn), kita mempunyai α
< xn untuk semua n ≥n(α). Karena α sebarang, maka berarti lim (n) = + ∞ .
Bagian (b) dibuktikan dengan cara yang serupa.
Selanjutnya “Teorema perbandingan” berikut senantiasa akan dipergunakan dalam
menunjukkan bahwa suatu barisan divergen murni. [Pada kenyataannya, tidak
digunakan secara implisit dalam contoh 3.6.2 (c)].

3.6.4. Teorema.
Misalkan (xn) dan (yn) dua barisan bilangan real dan anggaplah bahwa (1)
x n ≤ y n untuk semua n ∈ N.
(a). Jika lim (xn) = + ∞, maka lim (yn) = +∞.
(b). Jika lim (yn) = - ∞, maka lim (xn) = - ∞.
Bukti :
(a). Jika lim (xn) = + ∞, dan jika diberikan α ∈R, maka terdapat bilangan asli K(α)
sedemikian sehingga jika n ≥K(α), maka α < xn. Mengingat (*), berartiα < yn
untuk semua n≥K(α). Karena α sebarang, maka ini menyatakan bahwa lim (yn) =
+ ∞.
(b). Pembuktian bagian (b) dilakukan dengan cara yang serupa.
Catatan :
(a). Teorema 3.6.4 pada akhirnya benar jika syarat (1) pada akhirnya benar; yaitu, jika
terdapat m ∈ N sedemikian sehingga x n ≤ y n untuk semua n ≥ m.
(b). Jika syarat (1) dari teorema 3.6.4 memenuhi dan jika lim (yn) = +∞, tidak mesti
berlaku bukan lim (xn) = +∞. Serupa juga, jika (1) dipenuhi dan jika lim (xn) = -∞,
belum tentu berlaku lim (yn) = - ∞. Dalam pemakaian teorema 3.6.4 untuk
menunjukkan bahwa suatu barisan menuju ke +∞ [atau ke -∞] kita perlu untuk
menunjukkan bahwa suku-suku dari barisan ini adalah pada akhirnya lebih besar dari
[atau lebih kecil] atau sama dengan suku-suku barisan lain yang bersesuaian dimana
barisan lain kita ketahui bahwa menuju ke +∞ [atau ke -∞].
Karena kadang-kadang sangat sulit untuk memperlihatkan ketaksamaan seba-
gaimana (1), maka “Teorema Perbandingan Limit” berikut masing-masing lebih
tepat untuk digunakan daripada Teorema 3.6.4.

3.6.5. Teorema.
Misalkan (xn) dan (yn) dua barisan bilangan real positif dan ang- gaplah bahwa untuk suatu L
∈R, L > 0, kita mempunyai
xn
(2) lim ( )
yn
=L

Maka lim (xn) = + ∞ jika dan hanya jika lim (yn) = +∞

Bukti :
Jika (2) berlaku, maka terdapat K∈N sedemikian sehingga
1 x 3
L< n < L untuk semua n≥K
2 yn 2

Dari sini kita mempunyai ( 12 L ) y < x <( 32 L ) y


n n n untuk semua n ∈ K . Sekarang

kesimpulan didapat dari suatu modifikasi kecil teorema 3.6.4. Detailnya ditinggalkan
untuk dikerjakan oleh pembaca.
Pembaca dapat menunjukkan bahwa konklusi tidak perlu berlaku jika L = 0 atau L
= +∞. Akan tetapi ada suatu hasil parsial belum dapat ditunjukkan dalam kasus-kasus
ini, seperti telah diperlihatkan dalam latihan.

Latihan 3.5
1. Tunjukkan bahwa jika ( x n) adalah urutan tak terbatas, maka ada kemiripan yang benar
2. Berikan contoh urutan divergen yang tepat ( x n) dan ( y n ) dengan y n ≠ 0 untuk semua n ∈ N
sedemikian rupa sehingga:
xn
a. ( )
yn
adalah konvergen

xn
b. ( )
yn
adalah divergen murni

3. Tunjukkan bahwa jika x n >0 untuk semuan ∈ N , maka lim ( x n) =0 jika dan hanya jika

1
lim ( )
xn
=+∞

4. Tetapkan divergensi yang tepat dari urutan berikut


a. ¿
b. ( √ n−1 )
c. ( √ n+1 )
n
d. ( )
√ n+1
5. Apakah urutan (n sin n) benar-benar berbeda?
6. Biarkan ( x n) benar-benar berbeda dan biarkan ( y n ) menjadi seperti lim ( x n y n)milik R.
Tunjukkan bahwa ( y n ) konvergen ke 0.

xn
7. Misalkan ( x n ) dan ( y n ) barisan-barisan bilangan positif dan anggaplah bahwa lim ( )
yn
=0

a. Tunjukkan bahwa jika lim( x n )=+ ∞, maka lim ( y ¿¿ n)=+ ∞¿


b. Tunjukkan bahwa jika ( y ¿¿ n)¿ terbatas, maka lim ( x n )=0
8. Selidikilah bahwa kekonvergenan atau kedivergenan dari barisan-barisan berikut :
a. ¿
n
b. (√ )
2
n +1

n2 +1
c. (√ √ )
n
d. ¿
1
( )
9. Misalkan ( x n) dan ( y n ) barisan-barisan bilangan positif dan anggaplah bahwa lim
xn
=+∞

a. Tunjukkan bahwa jika lim y n=+ ∞, maka lim ( y n ) =+∞


b. Tunjukkan bahwa jika ( x n) terbatas, maka lim ⁡( x n ) = 0
an
10. Tunjukkan bahwa jika lim ( )
n
=L, dimana 1>0 , maka lim (a¿ ¿ n) ¿

BAB IV

LIMIT FUNGSI

Secara umum, “Analisis secara matematika” merupakan dasar matematika


yang mana dibangun secara sistematik dari variasi konsep-konsep limit. Kita telah
menjumpai salah satu dari konsep-konsep dasar tentang limit : kekonvergenan dari
suatu barisan bilangan real. Dalam bab ini kita akan membahas pengertian dari limit
suatu fungsi. Kita akan memperkenalkan pengertian limit ini dalam Pasal 4.1 dan
pembahasan selanjutnya dalam Pasal 4.2. Ini akan dilihat bahwa bukan hanya
pengertian limit suatu fungsi yang sangat paralel dengan konsep tentang limit barisan,
akan tetapi juga pertanyaan-pertanyaan mengenai keberadan limit-limit fungsi sering
dapat dicobakan dengan pertimbangan tertentu yang berkaitan dengan barisan. Dalam
Pasal 4.3 kita akan mengenal beberapa perluasan dari pengertian limit yang mana
sering dipergunakan.

4.1. Limit-limit Fungsi


Pada pasal ini kita akan mendefinisikan pengertian penting dari limit suatu
fungsi. Pembaca akan memperoleh pengertian yang paralel dengan definisi limit suatu
barisan. Gagasan secara intuisi dari suatu fungsi yang mempunyai limit L pada c
adalah bahwa nilai f(x) sangat dekat dengan L untuk x yang sangat dekat dengan c.
Akan tetapi kita perlu mempunyai teknik-teknik pengerjaan dengan gagasan “dekat
sekali”, dan ini memerlukan penggunaan pengertian lingkungan dari suatu titik. Jadi
pernyataan: “fungsi f mendekati L pada c” berarti bahwa nilai f(x) akan terletak dalam
sebarang lingkungan-ε yang diberikan dari L, asalkan kita mengambil x dalam
lingkungan-δ dari c yang cukup kecil, dimana x≠c. Pemilihan δ akan bergantung pada
ε yang diberikan. Kita tidak ingin terpengaruh dengan nilai dari f(c) pada c, karena
kita hanya ingin memandang “kecenderungan” ditentukan oleh nilai dari f pada titik-
titik yang dekat sekali (tetapi berbeda dari) titik c.
Agar limit fungsi ini bermakna, maka diperlukan fungsi f yang terdefinisi pada
sekitar titik c. Kita menekankan bahwa fungsi f tidak perlu terdefinisi pada titik c atau
pada setiap titik sekitar c, akan tetapi cukup terdefinisi pada titik-titik yang dekat
sekali dengan c untuk menjadikan pembahasan menjadi menarik. Ini merupakan alasan
untuk definisi berikut.

4.1.1. Definisi.
Misalkan A ∈ R. Suatu titik c ∈ Radalah titik cluster dari A jika setiap lingkungan-δ
V δ ( c )=(c−δ , c+ δ ) dari c memuat paling kurang satu titik dari A yang berbeda dengan
c.

Catatan :
Titik c merupakan anggota dari A atau bukan, tetapi meskipun demikian itu tidak
menentukan apakah c suatu titik cluster dari A atau bukan, karena secara khusus
yang diperlukan adalah bahwa adanya titik-titik dalam V δ ( c ) ∩ A yang berbeda dengan
c agar c menjadi titik Cluster dari A.

4.1.2. Teorema.
Suatu bilangan c ∈ R merupakan titik cluster dari A ⊆ Rjika dan hanya jika terdapat
barisan bilangan real (an) dalam A dengan an ≠ cuntuk semua n ∈ N sedemikian sehingga
lim (an) = c.

Bukti.
1 V 1 (c )
Jika c merupakan titik cluster dari A, maka untuk setiap n ∈ N , lingkungan-
n n
memuat paling kurang satu titik yang berbeda dengan c. Jika titik yang dimaksud adalah
an, maka an ∈ A, an ≠ c , dan lim (an) = c. Sebaliknya, jika terdapat suatu barisan (an)
dalam A\{c} dengan lim (an) = c, maka untuk sebarang δ >0 terdapat bilangan asli
K ( δ ) sedemikian sehingga jika n ≥ K (δ ), maka an ∈V δ ( c ) . Oleh karena itu

lingkungan-δ dari cV δ ( c )memuat titik-titik an, n ≥ K (δ )yang mana termuat dalam A


dan berbeda dengan c.
Contoh-contoh berikut ini menekankan bahwa suatu titik cluster dari suatu
himpunan bisa masuk dalam himpunan tersebut atau tidak. Bahkan lebih dari itu,
suatu himpunan bisa mungkin tidak mempunyai titik cluster.
4.1.3. Contoh-contoh.
(a) Jika A1 = (0,1), maka setiap titik dalam interval tutup [0,1] merupakan titik cluster
dari A1. Perhatikan bahwa 0 dan 1 adalah titik cluster dari A1, messkipun titik-titik itu
tidak termuat dalam A1. Semua titik dalam A1 adalah titik cluster dari A1 (mengapa ?)
(b) Suatu himpunan berhingga tidak mempunyai titik cluster (mengapa ?)
(c) Himpunan tak berhingga N tidak mempunyai titik cluster.

(d) Himpunan A 4= {1n , n ∈ N }, hanya mempunyai 0 sebagai titik clusternya. Tidak satu
pun titik dalam A4 yang merupakan titik cluster dari A 4.
(e) Himpunan A5 =I ∩Q yaitu himpunan semua bilangan rasional dalam interval tutup
I ={0,1¿ . Menurut Teorema Kepadatan 2.5.5 bahwa setiap titik dalam I merupakan titik
cluster dari A5.
Sekarang kita kembali kepada pengertian limit dari suatu fungsi pada titik cluster
domainnya.

Definisi Limit

Berikut ini kita akan menyajikan definisi limit dari suatu fungsi pada suatu titik.

Gambar 4.1.1 Limit dari f pada c adalah L


4.1.4 Definisi.
Misalkan, A ⊆ R , f : A → Rdan c suatu titik cluster dari A. Kita katakan bahwa suatu
bilangan real L merupakan limit dari f pada c jika diberikan sebarang lingkungan-ε dari
L V ε ( L), terdapat lingkungan-δ dari c V δ ( c), sedemikian sehingga jika x≠c

sebarang titik dariV δ ( c)∩ A , maka f(x) termasuk dalam V ε ( L). (Lihat Gambar 4.1.1)
Jika L merupakan suatu limit dari f pada c, maka kita juga mengatakan bahwa f konvergen ke

L pada c.

Sering dituliskan lim


x →c
f atau lim f (x )
x →c

Kita juga mengatakan bahwa “f(x) menuju L sebagaimana x mendekat ke c”, atau
“f(x)

menuju L sebagaimana x menuju ke c”. Simbol F (x)→ L sebagaimana x→c


juga diperguanakan untuk menyatakan fakta bahwa f mempunyai limit L pada c. Jika f
tidak mempunyai suatu limit pada c, kita kadang-kadang mengatakan bahwa f divergen
pada c.
Teorema berikut memberikan jaminan kepada kita akan ketunggalan limit suatu
fungsi, jika limit dimaksud ada. Ketunggalan limit ini bukan merupakan bagian dari
definisi limit, akan tetapi merupakan fakta yang harus dibuktikan.
4.1.5. Teorema.

Jika f : A → R dan c suatu titik cluster dari A, maka f hanya dapat mempunyai satu

limit pada c.

Bukti.
Andaikan kontradiksi, yaitu terdapat bilangan real L ' ≠ L yang memenuhi definisi
4.1.4. Kita pilih ε > 0 sedemikain sehingga lingkungan-ε Vε ¿ L’) dan Vε (L”) V ε (L' )
dan V ε ¿ saling lepas. Sebagai contoh, kita dapat mengambil sebarang ε yang lebih kecil
dari 1/2 ¿ L' −L . Maka menurut definisi 4.1.4, terdapat δ >0 sedemikian sehingga jika
x sebarang titik dalam A ∩V δ ' (c ) dan x ≠ c , maka f(x) termuat dalam V ε ¿ .
Sekarang ambil δ ¿ min {δ’,δ”},dan misalkan V δ ( c), lingkungan-δ dari c. Karena c
titik cluster dari A, maka terdapat paling sedikit satu titik x 0 ≠ c sedemikian sehingga
x 0 ∩V δ (c ). Akibatnya, f( x 0) mesti termasuk dalam V ε ( L' ) dan V ε ¿ , yang mana
kontradiksi dengan fakta bahwa kedua himpunan ini saling lepas. Jadi asumsi bahwa L’
L” merupakan limit- limit f pada c menimbulkan kontradiksi.

Kriteria ε −δ - untuk
Limit
Sekarang kita akan menyajikan formulasi yang ekivalen dengan definisi 4.1.4
dengan menyatakan syarat-syarat lingkungan dalam ketaksamaan. Contoh-contoh
yang mengikutinya akan menunjukkan bagaimana formulasi ini dipergunakan untuk
memperlihatkan limit-limit fungsi. Pada bagian akhir kita akan membahas kriteria
sekuensial (barisan) untuk limit suatu fungsi.

4.1.6 Teorema.

Misalkan f : A→R dan c suatu titik cluster dari A; maka

(i) lim f =L jika dan hanya jika


x →c

(ii) untuk sebarang ε > 0 terdapat suatu δ ( ε ) >0 sedemikian sehingga jika x ∈ A
dan 0<| x−c|<δ (ε ), maka |f ( x ) −L|<ε.

Bukti. (i) ⟹ (ii) Anggaplah bahwa f mempunyai limit L pada c. Maka diberikan ε > 0
sebarang, terdapat δ =δ ( ε ) >0 sedemikian sehingga untuk setiap x dalam A yang
merupakan unsur dalam lingkungan-δ dari c V δ ( c ).x ≠ c, nilai f(x) termasuk dalam
lingkungan-ε dari L V ε ( L). Akan tetapi, x ∈ V δ ( c ) dan x ≠ c jika dan hanya jika 0<| x−c|<δ
. (Perhatikan bahwa 0<| x−c| adalah cara lain untuk menyatakan bahwa x ≠ c. Juga, f(x)
termasuk dalam V ε (L). jika dan hanya jika |f ( x ) −L|<ε. Jadi jika x ∈ A memenuhi

0<| x−c|<δ, maka f(x) memenuhi |f ( x ) −L|<ε.


(ii)⟹ (i) Jika syarat yang dinyatakan dalam (ii) berlaku, maka kita ambil lingkungan-δ
V δ ( c )=(c−δ , c+ δ ) dan lingkungan-ε V ε ( L )=(L−ε , L+ ε).). Maka syarat (ii) berakibat jika

x masuk dalam V δ ( c )), dimana x ∈ A dan x ∈ c, maka f(x) termasuk dalam V ε ( L ).


Oleh karena itu, menurut definisi 4.1.4, f mempunyai limit L pada c. Sekarang akan
memberikan beberapa contoh untuk menunjukkan bagaimana Teorema 4.1.6. sering
dipergunakan.

4.1.7. Contoh-contoh

(a) lim
x →c
b=b

Untuk menjadi lebih ekplisit, misalkan f(x) = b untuk semua x ∈ R; kita claim bahwa lim f
= b. Memang, diberikan ε > 0 , misalkan δ =1. Maka jika 0<| x−c|<δ kita mempunyai

|f ( x ) −b|=¿ b−b∨¿ ε Karena ε > 0 sebarang, kita simpulkan dari 4.1.6(ii) bahwa lim
x →c
f =b.

(b) lim
x →c
x =c

Misalkan g(x) = x untuk semua x ∈ R. Jika ε > 0 misalkan δ ( ε )=ε. Maka jika
0<| x−c|<δ , maka secara triviaal kita mempunyai |f ( x ) −c|=¿ x−c∨¿ ε

Karena ε > 0 sebarang, maka kita berkesimpulan bahwa lim


x →c
g=c

(c) lim x 2=c 2


x →c
Misalkan h ( x )=x 2h(x) untuk semua x ∈ R. Kita ingin membuat selisih

|h ( x )−c2|=¿ x 2−c 2∨¿ lebih kecil dari suatuε > 0 yang diberikan dengan pengambilan x
2 2
yang cukup dekat dengan c. Untuk itu, kita perhatikan bahwa x – c = (x – c)(x + c). Selain
itu, jka ¿ x−c∨¿1, maka |x|≤|c|+1 dengan demikian |x +1|≤|x|+|c|≤2∨c∨+1. Oleh karena
itu, jika |x−c|< 1, kita mempunyai
(*) |x 2−c 2|=|x−c||x +c|≤ ( 2|c|+1 )∨x−c∨¿

Selain itu suku terakhir ini akan lebih kecil dari ε asalkan kita mengambil
|x−c|< ε (2|c|+1), jika kita memilih
ε
δ ( ε )=¿inf 1, { 2|c|+1 }
maka jika 0<| x−c|<δ (ε), pertama akan berlaku bahwa |x−c|< 1 dengan demikian
(*) valid, dan oleh karena itu, karena |x−c|< ε (2|c|+1) maka

|x 2−c 2|< ε ( 2|c|+1 )∨x−c∨¿ ε


Karena kita mempunyai pilihan ¿) untuk sebarang pilihan dari ε > 0 , maka den-

gan demikian kita telah menunjukkan bahwa lim h ( x ) =lim x 2=c 2


x →c x→ c

1 1
(d) lim = , untuk c >0
x →c x c

1
Misalkan φ ( x )= untuk x >0 dan misalkan c >0 . Untuk menunjukkan bahwa
2

1
lim φ ( x ) =
x →c c

kita ingin membuat selisih

|φ ( x )− 1c|=|1x − 1c|
lebih kecil dari ε > 0 yang diberikan dengan pengambilan x cukup dekat dengan c >0..
Pertama kita perhatikan bahwa
|1x − 1c |=|cx1 (c−x )|= cx1 |c−x|
untuk x >0.Itu berguna untuk mendapatkan batas atas dari 1/( c x) yang berlaku dala
1 1 3
suatu lingkungan c. Khususnya, jika |x−c }< c maka c < x< c (mengapa?) dengan
2 2 2
demikian

1 2
0< < untuk |c−x| < 1 c
cx c2 2
Oleh karena itu, untuk nilai-nilai x ini kita mempunyai

(#) |φ ( x )− 1c|< c2 |c −x|


2

Agar suku terakhir lebih kecil dar , maka cukup mengambil

21
|c −x| < c ε
2

Akibatnya, jika kita memilih

1 1 2
δ ( ε )=¿inf { c , c ε }
2 2

1
maka jika 0<| x−c|<δ (ε), pertama yang berlaku bahwa |c −x| < c
2

1 2
dengan demikian (#) valid, dan olehnya itu,, karena |c −x| < c ε
2

maka berlaku

|φ ( x )− 1c|=|1x − 1c|< ε
Karena kita mempunyai pilihan δ ( ε )> 0 untuk sebarang pilihan dari ε > 0 maka dengan
demikian kita menunjukkan bahwa

1 1
lim φ ( x ) =lim =
x →c x→ c x c
x3 −4 4
(e) lim 2 =
x →2 x +1 5
3
( x −4)
Misalkan φ ( x )= 2 untuk x ∈ R . Maka sedikit manipulasi secara aljabar
( x +1)
memberikan
3 2
4 |5 x −4 x −24|
|φ ( x )−
5|=
|5( x 2 +1)|

|5 x 2 +6 x−12||
¿ x−2|
|5( x2 +1)|

Untuk mendapatkan suatu batas dari koefiien |x−2|kita membatasi x dengan syarat

1< x <3. Unntuk x dalam interval ini, kita mempunyai 5 x 2+6 x +12≤ 5(3 2)+6(3)+12=75
dan 5(x 2+1)≤5 (1+ 1)=10, dengan demikian

|φ ( x )− 45|≤ 7510 ∨x−2∨¿ = 152 ∨x−2∨¿


Sekarang diberikan ε > 0, kita pilih

2
{
δ ( ε )=¿inf 1,
15
ε }
4 15
Maka jika 0<| x−c|<δ (ε) kita mempunyai φ ( x )− | ( )| 5
≤( )|x −2|≤ ε
2

Karena ε > 0 sebarang, maka contoh (e) terbukti.

Kriteria Barisan Untuk Limit


Berikut ini merupakan formulasi penting dari limit suatu fungsi dalam kai- tannya
dengan limir suatu barisan. Karakterisasi ini memungkinkan teori-teori pada bab 3 dapat
dipergunakan untuk mempelajari limit-limit fungsi.

4.1.8. Teorema. (Kriteria Barisan) Misalkan f : A → R dan c suatu titik cluster


dari A; maka :

(i) lim
x →c
f =L jika dan hanya jika

(ii) untuk sebarang barisan ( x n) dalam A yang konvergen ke c sedemikian sehingga


x ≠ c untuk semua n ∈ N , barisan ( f ( x n)) konvergen ke L.
Bukti. (i) ⟹ (ii) Anggaplah f mempunyai limit L pada c, dan asumsikan ( x n) barisan

dalam A dengan lim


x →c
x n =c dan x ≠ c untuk semua n ∈ N . Kita mesti membuktikan bahwa
n

barisan( f (x n)) konvergen ke L. Misalkan diberikan ε > 0 sebarang. Maka dengan kriteria
ε-δ 4.1.6, terdapat δ >0 sedemikian sehingga jika x memenuhi 0<| x−c|<δ, dimana x ∈ A
maka f(x) memenuhi ¿ f ( x)−L∨¿ ε . Sekarang kita akan menggunakan definisi
kekonvergenan barisan untuk δ yang diberikan untuk mem- peroleh bilangan asli K ( δ )
sedemikian sehingga jika n> K (δ) maka |x n−c|< δ ,. Akan tetapi untuk setiap xn yang
demikian kita mempunyai ¿ f ( x n )−L∨¿ ε . . Jadi, jika n> K (δ) maka ¿ f ( x n )−L∨¿ ε ..
Oleh karena itu, barisan ( f ( x n)) konvergen ke L.

(ii)⟹(i).[Pembuktian ini merupakan argumen kontrapositif.] Jika (i) tidak benar maka
terdapat suatu lingkungan-ε 0 dari L,V ε 0 (L) , sedemikian sehingga lingkungan-δ apapun
yang kita pilih, akan selalu terdapa paling kurang satu x0 dalam A ∩V δ (c) dengan
x n≠ c sedemikian sehingga f (x 0)∉V ε 0 ( L). Dari sini untuk setiap n ∈ N lingkungan-(1/n)
dari c memuat suatu bilangan xn sedemikian sehingga
0< ¿ x n – c∨¿1 /n dan x n ∈ A
tetapi sedemikian sehingga
¿ f ( x n)−L ≥ ε 0∨¿ untuk semua n ∈ N .
Kita menyimpulkan bahwa barisan (xn) dalam A\{c} konvergen ke c, tetapi barisan
( f ( x n)) tidak konvergen ke L. Oleh karena itu kita telah menunjukkan bahwa jika (i) tidak
benar, maka (ii) juga tidak benar. Kita simpulkan bahwa (ii) menyebabkan (i).

Pada seksi selanjutnya kita akan melihat bahwa beberapa sifat-sifat dasar limit fungsi dapat
diperlihatkan dengan penggunaan sifat-sifat untuk kekonvergenan bari- san yang
bersesuaian. Sebagai contoh, kita telah kerjakan dengan barisan bahwa jika (xn) sebarang
2 2
barisan yang konvergen ke c, maka barisan (xn ) konvergen ke c . Oleh karena itu dengan
2
kriteria barisan, kita dapat menyimpulkan bahwa fungsi h(x) = x mempuntai limit

lim h ( x ) =c 2
x →c

Kriteria Kedivergenan
Kadang-kala penting untuk dapat menunjukkan (i) bahwa suatu bilangan ter- tentu
bukan limit dari suatu fungsi pada suatu titik, atau (ii) bahwa suatu fungsi tidak mempunyai
suatu limit pada suatu titik. Hasil berikut merupakan suatu konsekuensi dari pembuktian
teorema 4.1.8. Pembuktiannya secara detail ditinggalkan untuk dikerjakan oleh pembaca.

4.1.9. Kriteria Divergensi. Misalkan A ⊆ R , f : A → R dan c ∈ R suatu titik cluster


dari A.
(a). Jika L ∈ R, maka f tidak mempunyai limit L pada c jika dan hanya jika terdapat
suatu barisan (xn) dalam A dengan xn ≠ c untuk semua n ∈ N sedemikian sehingga barisan
(xn) konvergen ke c tetapi barisan ( f ( x n))tidak konvergen ke L.
(b). Fungsi f tidak mempunyai limit pada c jika dan hanya jika terdapat suatu
barisan (xn) dalam A dengan xn ≠ c untuk semua n ∈ N sedemikian sehingga barisan
(xn) konvergen ke c tetapi barisan ( f ( x n)) tidak konvergen dalam R .

Berikut ini diberikan beberapa aplikasi dari kriteria divergensi untuk menunjukkan
bagaimana kriteria itu dapat dipergunakan.

1
4.1.10. Contoh-contoh. (a) lim ( ) tidak ada dalam R .
x →0 x

Seperti Contoh dalam 4.1.7(d), misalkan φ (x) = 1/x untuk x >0. Akan tetapi, disini
kita menyelidiki pada c=0. Argumen yang diberikan pada contoh 4.1.7(d) gagal berlaku
jika c=0 karena kita tidak akan memperoleh suatu batas sebagaimana dalam (#) pada
contoh tersebut. Jika kita mengambil barisan (xn) dengan x n=1/n untuk n ∈ N , maka lim
( x n)=0, tetapi φ (x n)=1/1/n=n . Seperti kita ketahui bahwa barisan (φ ( x n))=(n) tidak
konvergen dalamR, karena barisan ini tidak terbatas. Dari sini,dengan teorema 4.1.9(b)
1
lim ( ) tidak ada dalam R . [Akan tetapi, lihat contoh 4.3.9 (a).
x →0 x

(b) lim
x →c
sgn( x) tidak ada

Gambar 4.1.2 Fungsi Signum


Misalkan fungsi signum didefinisikan dengan

+1 untuk x > 0
Sgn (x) = 0 untuk x = 0
-1 untuk x < 0

Perhatikan bahwa s g n(x)=x /| x| untuk x ≠ 0. (Lihat Gambar 4.1.2) Kita akan


menunjukkan bahwa sgn tidak mempunyai limit pada x=0. Kita akan mengerjakan ini

den- gan menunjukkan bahwa terdapat barisan (xn) sedemikian sehingga lim
x →0
( x n), tetapi

sedemikian sehingga ( s g n( x n)) tidak konvergen.


Misalkan x n=(−1) n/n untuk n ∈ N dengan demikian lim (x n)=0. Akan tetapi
Karena
sgn( x n)=(−1)n untuk n ∈ N ,

1
maka dari Contoh 3.4.5(a¿ ,( s g n(x n)) tidak konvergen. Oleh karena ini,lim ( ) tidak ada.
x →0 x

1
( c ) lim ⁡sin ( ) tidak ada dalam R
x→0 x

Misalkan g( x )=sin (1/x ) untuk x ≠ 0. (Lihat Gambar 4.1.3.) Kita akan menunjukkan
bahwa sgn tidak mempunyai limit pada x=0, dengan memperlihatkan dua arisan (xn) dan
(yn) dengan x n≠ 0 dan y n ≠ 0 untuk semua n ∈ N dan sedemikian sehingga
li m( x n)=0=li m( y n) , tetapi sedemikian sehingga li m( g( x n))≠li m( g( y n)). Mengingat
Teorema 4.1.9, ini mengakibatkan limit g tidak ada. (Jelaskan mengapa.)
Gambar 4.1 3. Grafik f(x) = sin(1/x), x ≠ 0

Kita mengingat kembali dari kalkulus bahwa s in t=0 jika t=nπ untuk n ∈ Z , dan
s in t=+1 jika t=½ π +2 πn untuk n ∈ Z . Sekarang missalkan x n=1/n untuk n ∈ N ; maka
li m( x n)=0 dan g(x n)=0 untuk semua n ∈ N , dengan demikian li m( g( x n))=0. Di

pihak lain, misalkan y n=(½+2 n)−1 untuk n∈N; maka li m( y n)=0 dan
g( y n)=s i n(½+2 n)=1 untuk semua n ∈ N , dengan demikian li m( g( y n))=1.
1
Kita simpulkan bahwalim ⁡sin ( ) tidak ada.
x→0 x

Soal-soal Latihan
1. Tentukan suatu syarat pada ¿ x – 1∨¿ yang akan menjamin bahhwa :
(a) ¿ x 2 – 1∨¿ ½ ,
(b) ¿ x 2 – 1∨¿ 1/10 3
(c) ¿ x 2 – 1∨¿ 1/n untuk suatu n ∈ N yang diberikan,
(d) x – 1 < 1/n untuk suatu n ∈ N yang diberikan.
3

2. Misalkan c suatu titik cluster dari A ⊆ R dan f : A → R . Buktikan bahwa

lim f =L
x →c

Jika dan hanya jika lim


x →c
f ( x )−L=0

3. Misalkan f : R → R , dan c ∈ R . Tunjukkan bahwa bahwa lim


x →c
f =L Jika dan
hanya jika lim
x →c
¿ x +c ∨¿ L
x→0

4. Misalkan f : R → R , I ⊆ R suatu interval buka, dan c ∈ I . Jika f1 merupakan pembatasan dari f

pada I, tunjukkan bahwa f1 mempunyai suatu limit pada c jika dan hanya jika f mempunyai

suatu limit pada c dan tunjukkan pula bahwa lim


x →c
f =lim f 1
x→ c

5. Misalkan f : R → R , J ⊆ R suatu interval tutup, dan c ∈ J . Jika f 2merupakan pembata- san dari

f pada I, tunjukkan bahwa jika f mempunyai suatu limit pada c dan hanya jika f2 mempunyai
suatu limit pada c. Tunjukkan bahwa tidak berlaku bahwa jika f2 mempun- yai suatu limit pada
c dan hanya jika f mempunyai suatu limit pada c.
6. Misalkan I =( 0 , a), a> 0 , dan misalkan g( x )=x 2untu x ∈ I . Untuk sebarang x,c dalam I,
tunjukkan bahwa ¿ g(x )– c 2∨≤2 a }x – c∨. Gunakan ketaksamaan ini untuk membuktikan
2 2
bahwa lim
x →c
x =c untuk sebarang c ∈ I

7. Misalkan I ⊆ R suatu interval, f : I → R, dan c ∈ I. Misalkan pula terdapat K dan L

sedemikian sehingga f(x) - L ≤ Kx - c untuk x ∈I. Tunjukkan bahwa lim f = L


x→c
3
8. Tunjukkan bahwa lim x = c untuk sebarang c ∈ R .
3
x→c

9. Tunjukkan bahwa lim √ x = √ c untuk sebarang c ≥ o


x→c

10. Gunakan formulasi - dan formulasi formulasi barisan dari pengertian limit untuk mem-
perlihatkan berikut :

(a) lim 1/1-x = -1 (x>1) (b) lim x/1+x = ½ (x>0)


x→2 x→1

(c) lim x2/|x| = 0 (x≠0) (d) lim (x2 – x + 1) / (x + 1) = ½ (x>0)


x→0 x→1

11. Tunjukkan bahwa limit-limit berikut ini tidak ada dalam R :


(a) lim 1/x2 (x>0) (b) lim 1/√ x (x>0)
x→0 x→0

. (c) lim (x + sgn(x)) (d) lim sin 1/x2 (x≠0)


x→0 x→1

12. Misalkan fungsi f : R → R , mempunyai limit L pada 0, dan misalkan pula a > 0. Jika

g : R R didefinisikan oleh g(x) = f(ax) untuk x ∈ R, tunjukkan bahwa lim g= L



13. Misalkan c titik cluster dari A ⊆ R dan f : A → R sedemikian sehingga lim (f(x))2=

L . Tunjukkan bahwa jika L =0 maka lim f(x) = 0. Tunjukkan dengan contoh bahwa jika
L≠0 , maka f bisa mungkin tidak mempunyai limit pada c

14. Misalkna f : R → R didefinisikan oleh f(x) = x jika x rasional, dan f(x) = 0 jika x ira- sional.

Tunjukkan bahwa f mempunyai suatu limit pada x = 0. Gunakan argumen barisan untuk
menunjukkan bahwa jika c≠ 0, maka f tidak mempunyai limit pada c.

4.2. Teorema-teorema Limit


Sekarang kita akan memperlihatkan hasil-hasil yang dipergunakan dalam me-
nentukan limit fungsi. Hasil-hasil ini serupa dengan teorema-teorema limit untuk ba-
risan.yang telah diperlihatkan pada Pasal 3.2. Pada kenyataannya, dalam banyak kasus
hasil-hasil ini dapat dibuktikan dengan menggunakan Teorema 4.1.8 dan hasil-hasil dari
Pasal 3.2. Secara alternatif, hasil-hasil dalam Pasal ini dapat dibuktikan dengan
menggunakan argumen - yang sangat serupa untuk hal yang sama dalam Pasal 3.2.

4.2.1 Definisi. Misalkan A ⊆ R , f : R → R, dan c ∈ R suatu titik cluster dari A. Kita

mengatakan bahwa f terbatas pada suatu lingkungan dari c jika terdapat lingkungan-δ
dari c V δ (c)dan suatu konstanta M > 0 sedemikian sehingga kita mem- punyai f(x) ≤
M untuk semua x ∈ A ∩V δ (c)

4.2.2 Teorema Jika A R dan f : A → R mempunyai suatu limit pada c ∈ R maka f

terbatas pada suatu lingkungan dar c.

Bukti. Jika L¿ lim


x →c
f ( x )maka oleh Teorema 4.1.6, dengan ε =¿ 1 terdapat δ>0

sedemikian sehingga jika 0< ¿ x – c∨¿ δ , maka ¿ f ( x) – L∨¿ 1; dari sini (oleh Teorema
Akibat 2.3.4(a)),

¿ f ( x)∨−¿ L∨≤∨f ( x) – L∨¿1.


Oleh karena itu, jika x ∈ A ∩V δ( c), x ∈c , maka ¿ f ( x)∨≤ L+1. Jika c ∈ A, kita ambil
M =¿ L∨+1, sedangkan jika c ∈ A kita ambil M ={ ¿ f (c)∨,∨L∨+1 }. Ini berarti bahwa
jika c ∈ A ∩V δ (c) maka ¿ f (x)∨≤ M .Ini menunjukkan bahwa f terbatas pada V δ (c )
suatu lingkungan-δ dari c.
Definisi berikut serupa dengan definisi 3.1.3 untuk jumlah, selisih, ha- sil
kali, dan hasil bagi barisan-barisan.

4.2.3 Definisi Misalkan A ⊆ R dan misalkan pula f dan g fungsi-fungsi yang


terdefinisi pada A ke R. Kita mendefinisikan jumlah f + g, selisih f – g, dan ha- sil kali fg
pada A ke R sebagai fungsi-fungsi yang diberikan oleh
( f + g)( x)=f (x)+ g ( x) ,( f −g)( x)=f ( x )−g( x ),
( f g)(x )=f (x) g ( x) ,
untuk semua x ∈ A. Selanjutnya, jika b ∈ R , kita definisikan kelipatan bf sebagai
fungsi yang diberikan oleh
(b f )( x)=b f ( x ) untuk semua x ∈ A .
Akhirnya, jika h(x )≠ 0untuk x ∈ A, kita definisikan hasil bagi f/h adalah fungsi yang
didefinisikan sebagai

( f /h)( x)=f ( x )/h(x) untuk semua x ∈ A

4.2.4 Teorema. Misalkan A ⊆ R, f dan g fungsi-fungsi pada A ke R,


dan c ∈ R titik cluster dari A. Selanjutnya, misalkan b ∈ R.

(a) jika lim f =L dan lim g=M maka


lim (f +g)=L+ M , lim (f – g)=L−M
lim (fg)=LM , lim ( f / g)=L/ M
(b) Jika h : A → R , h(x )≠ 0 untuk semua x ∈ A , dan jika lim h=H ≠ 0 maka
lim ( f / h)=L/ H

Bukti. Salah satu cara pembuktian dari teorema-teorema ini sangat se- rupa
dengan pembuktian Teorema 3.2.3. Secara alternatif, teorema ini dapat dibukti- kan dengan
menggunakan Teorema 3.2.3 dan Teorema 4.1.8. Sebagai contoh, misal- kan (xn) sebarang
barisan dalam A sedemikain sehingga xn ≠ c untuk semua n ∈ N ,dan
c = lim (xn). Menurut Teorema 4.1.8, bahwa

L im(f ( x n))=L ,li m( g(x n))=M .

Di pihak lain, Definisi 4.2.3 mengakibatkan


( f g)(x n)=f (x n) g (x n) untuk semua n ∈ N .

Oleh karena itu suatu aplikasi dari Teorema 3.2.3 menghasilkan


L im(( f g)(x n))=li m( f (x n)g( x n))
¿(li m f ( x n))(li m(g ( x n)))
¿ LM .
Bagian lain dari teorema ini dibuktikan dengan cara yang serupa. Kita
tinggalkan untuk dilakukan oleh pembaca.
Catatan (1) Kita perhatikan bahwa, dalam bagian (b), asumsi tambahan
dibuat
Bahwa H = lim h ≠ 0 jika asumsi ini tidak dipenuhi maka

lim f ( x ) /h(x)
x →c

tidak ada. . Akan tetapi jika limit ini ada, kita tidak dapat menggunakan Teorema
4.2.4(b) untuk menghi tungnya.
2) Misalkan A ∈ R, dan f1, f2, …, fn fungsi-fungsi pada A ke R, dan c suatu titk clus ter
dari A. Jika

Lk = lim
x →c
f ( x )k

untuk k = 1,2, …, n,
maka ,menurut Teorema 4.2.4 dengan argumen induksi kita peroleh bahwa
L 1+ L 2+…+ L n=lim (f 1+ f 2+ …+f n)
dan
L 1. L2 . … . L n=lim (f 1. f 2 . …. f n)

(3) Khususnya, kita deduksi dari (2) bahwa jika L = lim


x →c
f

dan n ∈ N , maka
L n=lim (f ( x))n
x→c

. 4.2.5 Contoh-contoh (a) Beerapa limit yang diperlihatkan dalam Pasal 4.1 dapat

dibuktikan dengan menggunakan Teorema 4.2.4. Seagai contoh, mengikuti hasil ini
bahwa karena lim x = c, maka lim x 2=c 2 , dan jika c > 0, maka

1 1
lim ¿ =
x →c x c
(b) lim
x →2
¿ ( x 2+1)( x 3 – 4)=20

Berdasarkan Teorema 4.2.4, kita peroleh bahwa

lim ¿ (x2 + 1)(x3 – 4) = (lim ¿ (x2 + 1))(lim ¿ (x3 – 4))


x →2 x →2 x →2

= 5(4)= 20

(c) lim
x →2
¿ ( x 3 – 4)/(x 2+1)=4 /5

jika kitamenggunakan Teorema 4.2.4(b), maka kita mempunyai


lim ¿ ( x 3 – 4)/(x 2+1) =lim (x 3 – 4)lim ¿ ( x 2+1)=4 /5
x →2 x →2 x→ 2

Perhatikan bahwa karena limit pada penyebut [yaitu lim


x →2
¿ ( x 2+1)=5 ] tidak

sama dengan 0 . Teorema 4.2.4(b) dapat dipergunakan.

(d) lim
x →2
( x 2 – 4)/(3 x−6)=4 /3

Jika kita misalkan f (x)= x 2 – 4 dan h(x )=3 x – 6 untuk x ∈ R , maka kita tidak dapat

menggunakan Teorema 4.22.4(b) untuk menghitung lim


x →2
¿ ¿ karena

H=lim h( x )=lim (3 x−6)=3. 2−6=0 .


x→2 x →2

Akan tetapi, jika x ≠ 2, maka berarti bahwa


x 2−4 ( x +2)( x −2) 1 4
= = lim x+2 = .
3 x −6 3(x−2) 3 x →2 ( 3 )
Oleh karena itu kita mempunyai

lim (x2 – 4 )/(3x - 6) = lim 1/3 (x + 2) = 1/3 lim (x + 2)


x →2 x →2 x →2
= 1/3 (2 + 2)
= 4/3
2
Perhatikan bahwa fungsi g(x) = (x – 4)/(3x – 6) mempunyai limit pada x = 2
meskipun tidak terdefinisi pada titik tersebut.
( e ) lim (1/x) tidak ada dalam R

tentu saja lim lim 1 = 1 dan H lim x = 0. Akan tetapi, karena H = 0, kita tidak dapat
x →0 x →0
menggunakan Teorema 4.2.4(b) untuk menghitung lim (1/x). Kenyataannya
x →0
seperti kita telah lihat pada Contoh 4.1.10(a), fungsi φ (x) = 1/x tidak mempunyai
limit pada x = 0. Kesimpulan ini mengikuti juga Teorema 4.2.2 karena fungsi φ (x) =
1/x tidak terbatas pada lingkungan pada lingkungan dari x = 0. (Mengapa?)

( f ) jika p fungsi polynomial, maka lim p ( x ) = p ( c )


x→c
n n-1
Misalkan p fungsi polinimial pada R dengan demikian p(x) = anx + an-1x +
… + a1x + a0 untuk semua x ∈ R. Menurut Teorema 4.2.4 dan fakta bahwa lim xk = ck,
maka

lim p(x) = lim |an xn + an-1 xn-1 +…+ a1x + x0|


x →0 x →0

= lim (an xn )+ lim ( an-1 xn-1 ) +…+lim ( a1x ) +lim ( x0)


x →c x →c x →c x →c

= an cn + an-1 cn-1 +…+ a1c + c0


= p(c)

Jika kita misalkan f ( x )=x 2−4 dan h ( x )=3 x−6 untuk x ∈ R, maka kita tidak dapat
f (x)
menggunakan Teorema 4.22.4(b) untuk menghitung lim ( ) sebab
x →2 h ( x )

H=lim h ( x )=lim (3 x−6 )


x→2 x →2
¿ 3 lim x−6=3 ( 2 )−6=0
x→ 2
Akan tetapi, jika x ≠ 2, maka berarti bahwa
x 2−4 ( x +2 ) (x +2) 1
= = ( x +2).
3 x −6 3( x −2) 3
Oleh karena itu kita mempunyai
x 2−4 1 1
lim =lim ( x +2 )= lim ( x+2 )
x →2 3 x−6 x → 2 3 3 x →2

1 4
¿ ( 2+2 )=
3 3

Perhatikan bahwa fungsi g ( x )=( x 2−4)/(3 x−6) mempunyai limit pada x=2meskipun
tidak terdefinisi pada titik tersebut.
1
(e) lim ( ) tidak ada dalam R
x →0 x

Tentu saja lim


x →0
1=1 dan H=lim x=0 . Akan tetapi, karena H=0, kita tidak dapat
x →0

menggunakan Teorema 4.2.4(b) untuk menghitung lim


x →0
1 /x . Kenyataannya, seperti kita telah

lihat pada Contoh 4.1.10(a), fungsi φ ( x )=1/ x tidak mempunyai limit pada x=0 . Kesimpulan ini

mengikuti juga Teorema 4.2.2 karena fungsi φ ( x )=1/ x tidak terbatas pada lingkaran dari x=0 .
(Mengapa?)

(f) Jika p fungsi polinomial, maka lim


x →c
p ( x )= p(c).

Misalkan p fungsi polinomial pada R dengan demikian


p ( x ) =an x n+ an−1 x n−1 +…+ a1 x +a 0 untuk semua x ∈ R. Menurut Teorema 4.2.4 dan fakta bahwa

lim x k =c k , maka
x →c

lim p ( x )=lim ⌊ an x n +a n−1 x n−1+ …+a1 x+ a0 ⌋


x →c x→c

n n−1
¿ lim (a n¿ x )+ lim ( an−1 x )+ …+lim (a1 ¿ ¿ x)+ lim a0 ¿ ¿ ¿
x →c x→ c x→ c x →c
n n−1
¿ a n c +a n−1 c +…+a 1 c +a 0
¿ p(c ).

Dari sini lim p (x)= p(c) untuk sebarang fungsi polinomial p.


x →c

(g) Jika p dan q fungsi-fungsi polinomial pada R dan jika q (c) ≠ 0, maka
p( x ) p( c)
lim = .
x →c q( x) q (c)
Karena q (x) suatu fungsi polinomial, berarti menurut suatu teorema alam aljabar bahwa terdapat paling

banyak sejumlah hingga bilangan real ∝1 , ∝2 , … , ∝m[pembuat nol dari q ( x) ¿ sedemikian sehingga
q ( ∝ j )=0 dan sedemikian sehingga jika x ∉ {∝1 ,∝2 ,… , ∝m } maka q ( x) ≠ 0. Dari sini, jika
x ∉ {∝1 ,∝2 ,… , ∝m } kita dapat mendefinisikan
p (x)
r ( x )= .
q ( x)
Jika c bukan pembuat nol dari q ( x ) ,maka q (c)≠ 0. Oleh karena itu kita dapat menggunakan Teorema
4.2.4 (b) untuk menyimpulkan bahwa
lim p ( x)
p( x ) x →c p (c )
lim = = .
x →c q( x) lim q( x ) q(c )
x→ c

Hasil berikut adalah suatu analog langsung dari Teorema 3.2.6.


4.2.6 Teorema Misalkan A⊆R. f : A → R dan c∈R suatu titik cluster dari A. Jika
a ≤ f(x) ≤ b untuk semua x∈A, x ≠ c,

dan jika lim


x →c
f ada, maka a ≤ lim f ≤ b.
x →c

Bukti. Jika L=lim


x →c
f ,maka menurut Teorema 4.1.8 bahwa jika (x n) sebarang

barisan bilangan real sedemikain sehingga c≠ xn∈A untuk semua n∈N dan jika barisan ( X n )

konvergen ke c, maka barisan ( f ( X n ) ) konvergen ke L. Karena a ≤ f ( X n ) ≤ b untuk semua n ∈ N ,

berarti menurut Teorema 3.2.6 bahwa a ≤ L≤ b.


Sekarang kita akan menyatakan suatu hasil yang analog dengan Teorema Apit 3.2.7. Kita
akan tinggalkan pembuktiannya untuk dicoba oleh pembaca.
4.2.7 Teorema Apit. Misalkan A ⊆ R , f , g ,h : A ⟶ R, dan c ∈ R suatu titik cluster
dari A. Jika
f ( X ) ≤ g ( X ) ≤h ( X ) untuk semua X ∈ A , X ≠ c ,

dan jika lim


X→ c
f =L=lim h , maka lim g=L .
X →c X→ c

3/2
4.2.8 Contoh-contoh (a) lim X =0 ( X >0 ).
X→ 0

Misalkan f ( X )=X 3 / 2 untuk X > 0. Karena ketaksamaan X < X 1/ 2 ≤ 1 berlaku untuk 0< X ≤ 1,

maka berarti bahwa X 2 < f ( X )=( X 3 /2 ) ≤ X untuk 0< X ≤ 1. Karena

lim X 2=0 dan lim X =0,


X→ 0 X→ 0

3/2
maka dengan menggunakan Teorema Apit 4.2.7 diperoleh lim X =0.
X→ 0

(b) lim
X→ 0
sin X =0.
Dapat dibuktikan dengan menggunakan pendekatan deret Taylor (akan dibahas pada lanjutan dari
tulisan ini) bahwa
−X ≤ sin X < X untuk semua X ≥ 0.
Karena lim ( ± X )=0, maka menurut Teorema Apit bahwa lim sin X =0.
X→ 0 X→ 0

(c) lim
X→ 0
cos X=1.

Dapat dibuktikan dengan menggunakan pendekatan deret Taylor (akan dibahas pada
lanjutan dari tulisan ini) bahwa
1
(*) 1− X 2 ≤ cos X ≤ 1 untuk semua X ∈ R .
2
1 2
Karena lim 1− X =1, maka menurut Teorema Apit bahwa lim
( ) cos X=1.
X→ 0 2 X→ 0

(d) lim
X→ 0
( cos XX−1 )=0.
Kita tidak dapat menggunakan Teorema 4.2.4 (b) secara langsung untuk menghitung limit ini.
(Mnegapa?) Akan tetapi, dari ketaksamaan (*) dalam bagian (c) bahwa
−1
X ≤ ( cos X −1 ) / X ≤ 0 untuk X > 0
2
dan juga bahwa
1
0 ≤ ( cos X −1 ) / X ≤ X untuk X < 0.
2
Sekarang misalkan f ( X )=− X /2 untuk X ≥ 0 dan f ( X )=0 untuk X < 0, dan misalkan pula h ( X ) =0

untuk X ≥ 0 dan h ( X ) =−X /2 untuk X < 0. Maka kita mempunyai


f ( X ) ≤ ( cos X −1 ) / X ≤ h ( X ) untuk X ≠ 0.

Karena, mudah dilihat (Bagaimana?) bahwa lim


X→ 0
f =lim h , maka menurut Teorema Apit bahwa
X →0

cos X −1
lim =0.
X→ 0 X

(e) lim
X→ 0
( sinX X )=1.
Sekali lagi, kita tidak dapat menggunakan Teorema 4.2.4 (b) untuk menghitung limit ini. Akan
tetapi , dapat dibuktikan (pada lanjutan diktat ini) bahwa
1
X − X 3 ≤ sin X ≤ X untuk X ≥ 0
6
dan bahwa
1
X ≤ sin X ≤ X− X 3 untuk ≤ 0 .
6
Oleh karena itu berarti (Mengapa?) bahwa
1
1− X 2 ≤ ( sin X ) / X ≤ 1 untuk semua X ≠ 0 .
6
1 1
Tetapi karena (
X→ 0 6 )
lim 1− X 2 =1− lim X 2=1, kita simpulkan dari Teorema Apit bahwa
6 Z→0

lim
X→ 0
( sinX X )=1 .
(f) lim ( X sin ( 1/ X )) =0 .
X→ 0

Misalkan f ( X )=X sin ( 1/ X ) untuk X ≠ 0. Karena −1 ≤sin z ≤1 untuk semua z ∈ R, kita


mempunyai ketaksamaan

| X|≤ f ( X )=X sin ( 1/ X ) ≤|X|

untuk semua X ∈ R , X ≠ 0. Karena lim | X|=0 , maka dari Teorema Apit diperoleh bahwa lim f =0 .
X→ 0 X→ 0

Terdapat hasil-hasil yang paralel dengan Teorema 3.2.9 dan 3.2.10; akan tetapi, akan dilewatkan
untuk latihan bagi para pembaca. Kita tutup bagian ini dengan suatu hasil yang merupakan konvers
parsial dari Teorema 4.2.6.

4.2.9 Teorema Misalkan A ⊆ R , f : A ⟶ R danc ∈ R suatu titik cluster dari A. Jika

lim f > 0 atau , lim f <0 ,


X→ c [ X →c ]
maka terdapat suatu lingkungan dari c V δ (c ) sedemikian sehingga f ( x ) >0 [ atau f ( X)<0 ] untuk semua

X ∈ A ∩V δ ( c ) , X ≠ c .

Bukti. Misalkan L=lim f dan anggaplah L>0. Kita ambil ε = 1 L>0 dalam Teorema 4.1.6 (b),
X →c 2
dan diperoleh suatu bilangan δ >0 sedemikian sehingga jika 0<| X−c|<δ dan X ∈ A , maka

1
|f ( X )−L|< L. Oleh karena itu (Mengapa?) berarti bahwa jika X ∈ A ∩V δ ( c ) , X ≠ c , maka
2

1
f (X )> L> 0.
2
Jika L<0, dapat digunakan argumen yang serupa.

Latihan 4.2

1. Gunakan Teorema 4.2.4 untuk menentukan limit-limit berikut :

( X +1 ) (2 X +3) ( X ∈ R ) , X 2 +2
(a) lim (b) lim ( X >0),
X→ 1 X→ 1 X 2−2

X+1
(c) lim
X→ 2
( X 1+ 1 − 21X )( X >0), (d) lim
X→ 0 X 2 +2
( X ∈ R)

2. Tentukan limit-limit berikut dan nyatakan teorema-teorema mana yang digunakan dalam setiap kasus.
(Anda bisa menggunakan latihan 14 di bawah).
2 X +1 X 2−4
(a) lim
X→ 2 √ X +3
( x >0 ) , (b) lim
X→ 2 X−2
( X > 0),

( x+1)2−1 √ x−1 ( x> 0)


(c)lim (x> 0), (d) lim
x →0 x x →1 x−1

3. Carilah lim
√ 1+2 x −√ 1+3 x dimana x >0.
x →0 x +2 x 2
4. Buktikan bahwa lim cos ( 1/ x ) tidak ada, akan tetapi lim x cos ( 1/ x )=0 .
x →0 x →0

5. Misalkan f , g fungsi-fungsi yang didefinisikan pada A ⊆ R ke R , dan misalkan c suatu titik cluster

dari A. Anggaplah bahwa f terbatas pada suatu lingkungan dari c dan lim
x →c
g =0. Buktikan bahwa

lim fg=0 .
x →c

6. Gunakanlah formulasi ε −δ dari limit fungsi untuk membuktikan pernyataan pertama dalam Teorema
4.2.4(a).
7. Gunakanlah formulasi sekuensial untuk limit fungsi untuk membuktikan Teorema 4.2.4(b).
8. Misalkan n ∈ N sedemikian sehingga n ≥ 3. Buktikan ketaksamaan −x 2 ≤ x n ≤ x 2 untuk −1< x <1.
n
Selanjutnya, gunakan fakta bahwa lim x =0.
x →0

9. Misalkan f , g fungsi-fungsi yang didefinisikan pada A ⊆ R ke R , dan misalkan c suatu titik cluster
dari A.

(a) Tunjukkan bahwa jika lim


x →c
f dan lim ( f +g) ada, tunjukkanlah bahwa lim f ada.
x →c
x →c
(b) Jika lim
x →c
f dan lim fg ada, apakah juga lim g ada?
x →c x →c

10.Berikan contoh fungsi-fungsi f dan g sedemikian sehingga f dan g tidak mempunyai limit pada suatu
titik c , tetapi sedemikian sehingga fungsi-fungsi f +g dan fg mempunyai limit pada c .
11.Tentukan apakah limit-limit berikut ada dalam R.

x →0
2
(a) lim sin(1/ x ¿ ¿) ( x ≠ 0 ) , ¿ ¿ (b) lim x sin
x →0 ( x1 )(x ≠ 0)
2 ,

1
(c)lim sgn sin( )( x ≠ 0),
x →0 x
(d) lim
x →0
√ x sin ( x1 )( x> 0)
2

12. Misalkan f : R ⟶ R sedemikian sehingga f ( x + y )=f ( x )+ f ( y ) untuk semua x , y dalam R .

Anggaplah lim
x →0
f =L ada. Buktikan bahwa L=0, dan selanjutnya buktikan bahwa f mempunyai

suatu limit pada setiap titik cϵ R . [Petunjuk : Pertama-tama catat bahwa


f ( 2 x )=f ( x ) + f ( x )=2 f (x) untuk semua x ∈ R. Juga perhatikan bahwa f ( x )=f ( x−c ) +f (c)
untuk semua x , c dalam R ].

13. Misalkan A ⊆ R , f : A ⟶ R dan c suatu titik cluster dari A. Jika lim


x →0
f ada, dan jika |f |

menyatakan fungsi yang terdefenisi untuk xϵA dengan |f |( x )=|f (x)|, buktikan bahwa

lim |f |= lim f .
x →0 |
x →0 |
14. Misalkan A ⊆ R , f : A ⟶ R dan c suatu titik cluster dari A. Tambahan, anggaplah bahwa
f (x)≥ 0 untuk semua x ∈ A , dan misalkan √f suatu fungsi yang terdefenisi pada A dengan

√ f ( x )=√ f (x) untuk semua x ∈ A . Jika lim


x →0
f ada, buktikan bahwa lim
x →0
√ f = √ lim f .
x →0

Pasal 4.3 Beberapa Perluasan dari Konsep Limit

Pada pasal ini kita akan menyajikan tiga macam perluasan dari pengertian limit fungsi yang
sering terjadi.

Limit-limit Sepihak

Terdapat banyak contoh fungsi f yang tidak mempunyai limit pada suatu titik c , meskipun
demikian limit fungsi f tersebut ada jika dibatasi untuk suatu interval sepihak dari titik cluster c .

Salah satu contohnya adalah fungsi signum dalam contoh 4.1.10(b) dan gambarnya diperlihatkan
pada Gambar 4.1.2, tidak mempunyai limit pada c=0. Akan tetapi, jika kita membatasi fungsi
signum pada interval (0 , ∞ ), maka fungsi hasil pembatasannya mempunyai limit -1 pada c=0. Ini
merupakan contoh-contoh dari konsep tentang limit-kiri dan limit-kanan dari suatu fungsi pada suatu
titik c=0.

Defenisi tentang limit-kiri dan limit-kanan merupakan modifikasi langsung dari Defenisi 4.1.4.
Dalam kenyataannya, penggantian A dalam Defenisi 4.1.4 oleh himpunan A ∩( c , ∞ ) menghasilkan
defenisi limit-kanan suatu fungsi pada suatu titik c yang merupakan titik cluster dari A ∩( c , ∞ ).
Demikian juga, dengan penggantian A pada Defenisi 4.1.4 oleh himpunan A ∩(−∞ ,c ) menghasilkan
defenisi limit-kiri suatu fungsi pada suatu titik c yang merupakan titik cluster dari A ∩(−∞ ,c ).
Untuk lebih mudahnya, defenisi tentang limit-kiri dan limit-kanan yang dimaksud akan diformulasi
dalam bentuk ε −δ , analog dengan Teorema 4.1.6 seperti berikut ini.

4.3.1 Defenisi. Misalkan A ⊆ R dan f : A ⟶ R

(i) Jika cϵ R suatu titik cluster dari A ∩ ( c , ∞ )={x ∈ A : x> c } , maka kita mengatakan bahwa
L ∈ R adalah suatu limit-kanan dari f pada c dan dituliskan

lim ¿
+¿
x→ c f = L¿

jika diberikan sebarang ε > 0 terdapat suatu δ =δ (ε )>0 sedemikian sehingga untuk semua x ∈ A

dengan 0< x−c< δ , maka |f ( x ) −L|<ε .

(ii) jika cϵ R suatu titik cluster dari A ∩ (−∞ , c )={xϵA : x <c } , maka kita mengatakan bahwa
Lϵ R adalah suatu limit-kiri dari f pada c dan dituliskan

lim ¿
−¿
x→ c f = L¿

jika diberikan sebarang ε > 0 terdapat suatu δ =δ (ε )>0 sedemikian sehingga untuk semua x ∈ A

dengan 0< c−x< δ , maka |f ( x ) −L|<ε .

Catatan : (1) Jika L suatu limit kanan dari f pada c , kita kadang-kadang mengatakan bahwa L
adalah limit dari kanan pada c . Kita menggunakan notasi

lim ¿
+¿
x→ c f (x)= L¿

Terminologi dan notasi yang serupa digunakan juga untuk limit-kiri.


(2) Limit-limit lim ¿ dan lim ¿ disebut limit-limit sepihak dari f pada c . Ini dimungkinkan
+¿ −¿
x→ c f ¿ x→ c f ¿

kedua limit sepihak dimaksud ada. Juga bisa mungkin salah satu saja yang ada. Serupa, seperti kasus
pada fungsi f ( x )=sgn( x ) pada c=0, limit-limit ini ada, meskipun berbeda.

(3) jika A suatu interval dengan titik ujung kiri c , maka jelas nampak bahwa f : A ⟶ R
mempunyai suatu limit pada c jika dan hanya jika f mempunyai suatu limit kanan pada c . Selain itu,

dalam kasus ini limit lim f dan limit pihak kanan lim ¿ sama. (Situasi serupa juga akan berlaku
x →c +¿
x→ c f ¿

untuk limit-kiri suatu interval dengan titik ujung kanan adalah c .

Kita tinggalkan bagi pembaca untuk menunjukkan bahwa f hanya dapat memiliki satu limit-
kanan (atau, limit-kiri) pada suatu titik. Berikut ini adalah hasil yang analog dengan fakta yang
diperlihatkan pada Pasal 4.1 dan 4.2 untuk limit-limit dua-pihak. Khususnya, keberadaan limit satu-
pihak dapat direduksi untuk bahan pertimbangan selanjutnya.

4.3.2 Teorema Misalkan A ⊆ R , f : A ⟶ R dan c suatu titik cluster dari A ∩( c , ∞ ). Maka


pernyataan-pernyataan berikut ini eqivalen.

(i) lim ¿;
+¿
x→ c f = Lϵ R ¿

(ii) Untuk sebarang barisan ( x n) yang konvergen ke c sedemikian sehingga x n ∈ A dan x n >c

untuk semua n ∈ N , barisan ( f (x n) ¿ konvergen ke L ∈ R.

Kita tinggalkan pembuktian Teorema ini (dan formulasi dan pembuktian dari teorema yang
analog dengannya untuk limit-kiri) untuk dilakukan oleh pembaca.

Berikut ini adalah suatu hasil yang merupakan hubungan pengertian limit suatu fungsi dengan
limit-limit sepihak dari fungsi tersebut pada suatu titik.

4.3.3 Teorema Misalkan A ⊆ R , f : A ⟶ R dan c ∈ R suatu titik Cluster dari A ∩( c , ∞ ) dan

lim f =Lϵ R jika dan hanya jika lim ¿


A ∩(−∞ ,c ). Maka x→ c
❑ x→ c f = L= lim
+¿
¿ ¿¿ .
−¿
x→c f

4.3.4 Contoh-contoh (a) Misalkan f ( x )=sgn( x ).


kita telah lihat dari contoh 4.1.10(b) bahwa sgn tidak mempunyai limit pada c=0. Ini jelas bahwa

lim ¿ dan bahwa lim ¿. Karena limit-limit satu pihak ini berbeda, maka mengikuti
+¿ −¿
x→ 0 sgn ( x ) =+1 ¿ x→ 0 sgn ( x ) =−1 ¿

Teorema 4.3.3 bahwa sgn tidak mempunyai limit pada 0.

(b) Misalkan g ( x )=e 1/ x untuk x ≠ 0 . (Lihat gambar 4.3.1)

Pertama kita tunjukkan bahwa g tidak mempunyai limit kanan hingga pada c=0 karena g tidak
terbatas pada sebarang lingkungan kanan (0 , ∞) dari 0. Kita akan menggunakan ketaksamaan

(*) 0<t <e t untuk t >0

yang pada bagian ini tidak akan diberikan pembuktiannya. Berdasarkan (*), jika x >GAMBAR 4.3 .1

1
Grafik dari g ( x )=e x (x ≠ 0)

0 maka 0<1 /x <e 1/ x . Dari sini, jika kita mengambil x n=1/n, maka g( x n )> n untuk semua n ∈ N .

Oleh karena itu lim ¿ tidak ada dalam R.


+¿ 1 /x
x→ 0 e ¿

Akan tetapi, lim ¿ . Kita perhatikan bahwa, jika x <0 dan kita mengambil t=1/ x dalam
−¿ 1 /x
x→ 0 e =0 ¿

1 1 /x
(*) kita peroleh 0← <e =0.
x
1
(c) Misalkan h ( x )=1/( e x +1) untuk x ≠ 0 . (lihat gambar 4.3.2).

Kita telah melihat bagian (b) bahwa 0<1 /x <e 1/ x untuk x >0, dengan demikian

1 1
0< < 1/ x < x
1/ x
e +1 e

yang mengakibatkan bahwa lim ¿.


+¿
x→ 0 h=0 ¿

1
GAMBAR 4.3.2. Grafik dari
h ( x )= 1
( x ≠ 0)
x
e +1

Karena kita telah melihat dalam bagian (b) bahwa lim ¿, maka dari analog Teorema
+¿ 1 /x
x→ 0 e =0 ¿

4.2.4(b) untuk limit-kiri, kita peroleh

lim ¿
1 1
−¿
x→ 0
( 1/x
e +1)=
−¿
lim
1
1
¿¿
¿¿
x →0 ( e x + 1)= =1
0+ 1

Perbaikan bahwa untuk fungsi ini, limit sepihak kedua-duanya ada, akan tetapi tidak sama.

Limit-limit Tak Hingga


Fungsi f ( x )=1 /x 2 untuk x ≠ 0 (lihat Gambar 4.3.3) tidak terbatas pada suatu lingkungan 0,
dengan demikian fungsi tersebut tidak mempunyai suatu limit sesuai pengertian dalam Defenisi 4.1.4.
Sementara itu simbol-simbol ∞ (¿+ ∞) dan −∞ tidak menyatakan suatu bilangan real, ini kadang-
kadang menjadi bermakna dengan mengatakan bahwa f(x)=1/ {x} ^ {2 cenderung ke ∞ apabila
x→0 .

4.3.5 Definisi. Misalkan A ⊆ R, f : A → R dan c∈R suatu titik cluster dari A.


(i) Kita katakan bahwa f menuju ke ∞ apabila x→c, dan ditulis
lim f =∞
x →c

jika untuk setiap α∈R terdapat δ = δ(α) > 0 sedemikian sehinggauntuk semua x∈A dengan
0<| x−c|<δ , maka f(x) > α.
(ii) Kita katakan bahwa f menuju ke ∞ apabila x→c, dan ditulis
lim f =−∞
x →c

jika untuk setiap β∈R terdapat δ = δ(β) > 0 sedemikian sehingga untuk semua x∈A dengan
0<| x−c|<δ , maka f(x) < β.

4.3.6 Contoh-contoh (a)lim


x →0 ( x1 )=−∞
2 .

Karena, jika α > 0 diberikan, misalkan δ =1/ √ α . Ini berarti bahwa jika 0<| x|< δ , maka

x 2< 1/∝ dengan demikian 1/ x 2>∝ .


(b) Misalkan g(x) = 1/x untuk x ≠ 0. (Lihat Gambar 4.3.4)
Fungsi g tidak menuju ke ∞ atau ke -∞ sebagaimana x→0. Karena, jika α > 0 maka g(x) < α
untuk semua x < 0, dengan demikian g tidak menuju ke ∞ apabila x→0. Serupa juga, jikaβ < 0 maka
g(x) > β untuk semua x > 0, dengan demikian g tidak menuju ke -∞ apabila x→0.
Hasil berikut analog dengan Teorema Apit 4.2.7. (Lihat juga Teorema 3.6.4).
4.3.7 Teorema Misalkan A⊆R, f,g : A → R dan c∈R suatu titik cluster dari A. Anggaplah
bahwa f(x) ≤ g(x) untuk semua x∈A, x ≠ c.

(a) Jika lim


x →c
f =∞, maka lim g=∞ .
x →c

(b) Jika lim


x →c
g=−∞, maka lim f =−∞ .
x →c
GAMBAR 4.3.3 Grafik dari f(x) = 1/ x 2 (x ≠ 0)

GAMBAR 4.3.4 Grafik dari g(x) = 1/x (x ≠ 0)

Bukti. (a) Jika lim


x →c
f =∞ dan α∈R diberikan, maka terdapat δ(α) > 0 sedemikian sehingga

jika 0 <|x−c|< δ(α) dan x∈A, maka f(x) > α. Akan tetapi, jika f(x) ≤ g(x) untuk semua x∈A x ≠ c,

maka berarti jika 0 <|x – c| < δ(α) dan x∈A, maka g(x) > 0. Oleh karena itu lim
x →c
g=¿ ∞ ¿.
Pembuktian bagian (b) dilakukan dengan cara serupa.
Fungsi g(x) = 1/x dalam Contoh 4.3.6(b) menyarankan bahwa itu dapat berguna untuk
memandang limit-limit sepihaknya.
4.3.8 Definisi Misalkan A⊆R dan f : A → R.
(i) Jika c∈R suatu titik cluster dari A∩(c,∞) ={x∈A: x > 0}, maka kita mengatakan bahwa f
menuju ∞ [atau -∞] apabila x→c+, dan ditulis
lim ¿
x→ c f =¿ ∞ ⌊ atau,
+¿
lim ¿ ¿¿ ,
+¿
x→ c f=−∞ ⌋ ¿

jika untuk setiap α∈R terdapat δ=δ(α) sedemikian sehingga untuk semua x∈A dengan 0 < x – c < δ,
maka f(x) > α [atau, f(x) < α].
(ii) Jika c∈R suatu titik cluster dari A∩(-∞,c) ={x∈A: x < 0}, maka kita mengatakan bahwa
f menuju ∞ [atau -∞] apabila x→c-, dan ditulis
lim ¿
x→ c f =¿ ∞ ⌊ atau,
−¿
lim
−¿
¿¿¿
x→c f =−∞ ⌋ ¿

jika untuk setiap α∈R terdapat δ=δ(α) sedemikian sehingga untuk semua x∈A dengan 0 < c – x < δ,
maka f(x) > α [atau, f(x) < α].
4.3.9 Contoh-contoh (a) Misalkan g(x) = 1/x untuk x ≠ 0. Kita telah mencatat dalam Contoh

4.3.6(b) bahwa lim


x →0
g tidak ada. Akan tetapi suatu latihan yang mudah untuk menunjukkan bahwa

lim ¿
+¿ 1
x→ 0 ( )∞ dan lim ¿¿
x
x→c ( 1x )=−∞ ¿
−¿

1
(b) Telah diperoleh pada Contoh 4.3.4(b) bahwa fungsi g ( x )=e x untuk x ≠ 0 tidak terbatas

pada sebarang interval (0,δ), δ > 0. Dari sini limit-kanan dari e 1/ x apabila x→0+¿ ¿tidak ada dalam
pengertian Definisi 4.3.1(1). Akan tetapi, karena
1/x < e 1/ x untuk x > 0,

maka secara mudah kita melihat bahwa lim ¿ dalam pengertian dari Definisi 4.3.8.
+¿ 1/ x
x→ 0 (e )=∞ ¿

Limit-limit pada Ketakhinggaan

Kita dapat mempertimbangkan pula untuk mendefinisikan pengertian limit dari suatu
fungsi apabila x→∞ [atau, x→-∞].
4.3.10 Definisi Misalkan A⊆R dan f : A → R.
(i) Anggaplah bahwa (a,∞) ⊆ A untuk suatu a∈R. Kita mengatakan bahwa L∈R
merupakan limit dari f apabila x→∞, dan ditulis
lim f =L,
x→ ∞

jika diberikan sebarang ε > 0 terdapat K=K(ε) > a sedemikian sehingga untuk sebarang x > K, maka |
f(x) – L| < ε.
(ii) Anggaplah bahwa (-∞,b) ⊆ A untuk suatu b∈R. Kita mengatakan bahwa L∈R
merupakan limit dari f apabila x→-∞, dan ditulis
lim f =L,
x→−∞

jika diberikan sebarang ε > 0 terdapat K=K(ε) < b sedemikian sehingga untuk sebarang x < K, maka |
f(x) – L| < ε.
Kita tinggalkan bagi pembaca untuk menunjukkan bahwa limit-limit dari f apabila x→±∞
adalah tunggal jika ada. Kita juga mempunyai Kriteria Sekuensial untuk limit-limit ini; kita hanya
akan menyatakan kriteria apabila x→∞. Ini digunakan pengertian dari limit dari suatu barisan yang
divergen murni (lihat Definisi 3.6.1).
4.3.11 Teorema Misalkan A⊆R, f : A → R, dan anggaplah bahwa (a,∞) ⊆ A untuk suatu
a∈R. Maka pernyataan-pernyataan berikut ini eqivalen :

(i) L= xlim
→∞
f ;

(ii) Untuk sebarang barisan ( x n) dalam A∩(a,∞) sedemikian sehingga lim



(x n ¿ )=∞ ¿,

barisan (f( x n)) konvergen ke L.


Kita tinggalkan bagi pembaca untuk membuktikan teorema ini dan untuk merumuskan
serta membuktikan teorema serupa dengannya untuk limit dimana x→-∞.
4.3.12 Contoh-contoh (a) Misalkan g(x) = 1/x untuk x ≠ 0.

Ini merupakan suatu latihan dasar untuk membuktikan bahwa lim


x→ ∞
( 1x )=0= lim ( 1x )
x →−∞

(Lihat Gambar 4.3.4)


(b) Misalkan f ( x )=1 /x 2 untuk x ≠ 0.

Pembaca dapat menunjukkan bahwa bahwa lim


x→ ∞ ( x1 )=0= lim ( x1 )
2
x→−∞
2 . (Lihat Gambar

4.3.3). Cara lain untuk menunjukkan ini adalah dengan menunjukkan bahwa jika x ≥ 1 maka 0 ≤ 1/ x 2

≤ 1/x. Mengingat bagian (a), ini mengakibatkan lim


x→ ∞ ( x1 )=0
2 .
GAMBAR 4.3.5 lim
x→ ∞
f =−∞

4.3.13 Definisi Misalkan A⊆R dan f : A → R.


(i) Anggaplah bahwa (a,∞)⊆A untuk suatu a∈A. Kita mengatakan bahwa f menuju ke ∞
[atau, -∞] apabila x→∞, dan ditulis
lim f =∞ ⌊ atau lim f =−∞ ⌋ ,
x→ ∞ x→ ∞

jika diberikan sebarang α∈R terdapat K = K(α) > a sedemikian sehingga untuk sebarang x > K, maka
f(x) > α [atau, f(x) < α]. (Lihat Gambar 4.3.5)
(ii) Anggaplah bahwa (-∞,b)⊆A untuk suatu b∈A. Kita mengatakan bahwa f menuju ke ∞
[atau, -∞] apabila x→-∞, dan ditulis
lim f =∞ ⌊ atau lim f =−∞ ⌋ ,
x→ ∞ x→ ∞

jika diberikan sebarang α∈R terdapat K = K(α) < b sedemikian sehingga untuk sebarang x<K, maka
f(x) > α [atau, f(x) < α].
Sebagaimana sebelumnya, terdapat kriteria sekuensial untuk limit ini. Kita akan
memformulasinya apabila x→∞.
4.3.14 Teorema Misalkan A⊆R, f : A → R, dan anggaplah bahwa (a,∞)⊆A untuk suatu
a∈R. Maka pernyataan-pernyataan berikut ini ekuivalen :

(i) lim f =∞ ⌊ atau lim f =−∞ ⌋


x→ ∞ x→ ∞

(ii) Untuk sebarang barisan (x n) dalam (a,∞) sedemikian sehingga lim(xn) = ∞, maka lim
(f(xn)) = ∞ [atau lim (f(xn)) = -∞].
Hasil berikut ini analog dengan Teorema 3.6.5.
4.3.15 Teorema Misalkan A⊆R, f,g : A → R, dan anggaplah bahwa (a,∞)⊆A untuk suatu
a∈R. Misalkan pula bahwa g(x) > 0 untuk semua x > a dan bahwa
f (x)
lim =L
x→ ∞ g ( x)
untuk suatu L∈R, L ≠ 0.

(i) Jika L > 0, maka lim


x→ ∞
f =∞ jika dan hanya jika lim g=∞.
x→ ∞

(ii)Jika L < 0, maka lim


x→ ∞
f =∞jika dan hanya jika lim g=−∞ .
x→ ∞

Bukti. (i) Karena L > 0, hipotesis mengakibatkan bahwa terdapat a1 > a sedemikian
sehingga
1 f (x) 3
0< L< < L untuk x >a1.
2 g(x) 2
3
Oleh karena itu kita mempunyai (½L)g(x) < f(x) < ( L)g(x) untuk semua x > a1, dari sini
2
dengan mudah kita peroleh kesimpulannya.
Pembuktian bagian (ii) dikerjakan dengan cara serupa.
Kita tinggalkan bagi pembaca untuk memformulasi hasil-hasil yang analogi dengan
Teorema di atas, apabila x→-∞.
n
4.3.16 Contoh-contoh (a) lim x =∞untuk n∈N.
x→ ∞

Misalkan g(x) = xn untuk x∈(0,∞). Diberikan α∈R, misalkan K = sup{1,α}. Maka untuk

semua x > K, kita mempunyai g(x) = xn ≥ x ≥ α. Karena α∈R sebarang, maka ini berarti lim
x→ ∞
g=∞
n n
(b) lim x =∞untuk n∈N, n genap, dan lim x =−∞untuk n∈N, n ganjil.
x→ ∞ x→−∞

Kita akan mencoba kasus n ganjil, katakanlah n = 2k+1 dengan k = 0,1, ….. Diberikan
α∈R, misalkan K = inf{α,-1}. Untuk sebarang x < K, maka karena (x 2)k ≥ 1, kita mempunyai xn =
n
(x2)kx ≤ x< α. Karena α∈R sebarang, maka berarti lim x =−∞.
x→−∞

(c) Misalkan p : R → R fungsi polinomial


p ( x ) =an x n+ an−1 x n−1 + …+a 1 x❑+ a0

Maka lim
x→ ∞
p=∞, jika a > 0, dan lim p=−∞ , jika a < 0
n x→ ∞ n

Misalkan g(x) = xn dan gunakan Teorema 4.3.15. Karena


p (x) 1 1 1
=a + a
g( x ) n n−1 x
+ …+a1 n−1 +a0 n ,
x x () ( ) ( )
p ( x)
maka diperoleh lim =a , karena lim g=∞, maka menurut Teorema 4.3.15, lim p=∞.
x→ ∞ g( x ) n x→ ∞ x→ ∞

(d) Misalkan p fungsi polinomial dalam bagian (c). Maka lim


x→ ∞
p=∞ [atau, −∞ ¿

jika n genap [atau,ganjil] dan a n> 0.


Kita tinggalkan detailnya untuk pembaca kerjakan.
Latihan-latihan
1. Buktikan Teorema 4.3.2.
2. Berikan contoh suatu fungsi yang mempunyai limit-kanan, tetapi tidak mempunyai limit-kiri pada
suatu titik.
1/ 2
3. Misalkan f ( x )=| x| untuk x ≠ 0 . Tunjukkan bahwa
lim ¿
+¿
x→ 0 f ( x )= lim ¿¿¿ .
−¿
x→0 f ( x )=+ ∞

4. Misalkan cϵ R dan f didefinisikan untuk x ∈( c , ∞) dan f (x)>0 untuk semua x ∈ ( c , ∞ ) .

Tunjukkan bahwa lim f =∞ jika dan hanya jika lim 1 =0 .


x →c x →c
(f )
5. Hitunglah limit-limit berikut, atau tunjukkan bahwa limit-limit ini tidak ada.
lim ¿ x
(a) x , (b) lim ( x ≠1 ) ,
x−1
+¿
x→ 1 ( x ≠1 ) ¿
x →1
x−1

lim ¿ x+2
(c) x→ 1 x+2 (d) lim (x >0),
√x
+¿
(x>0) ,¿ x→ ∞
√x

(e) lim
√ x+ 1 ( x >−1), (f) lim
√ x +1 ( x> 0),
x →0 x x→ ∞ x

(g) lim
√ x −5 ( x >0), (h) lim
√ x −x (x >0).
x→ ∞ √ x+3 x→ ∞ √ x+ x
6. Buktikan Teorema 4.3.11.
7. Misalkan f dan g masing-masing mempunyai limit dalam R apabila x → ∞ dan f (x) ≤ g ( x) untuk

semua (∝ , ∞). Buktikan bahwa lim


x→ ∞
f ≤ lim g.
x→ ∞

8. Misalkan f terdefenisi pada ( 0 , ∞ ) ke R . Buktikan bahwa lim f ( x )=L jika dan hanya jika
x→ ∞

lim ¿
1 .
x→ 0 f
+¿
()
x
= L¿
9. Tunjukkan bahwa jika f : ( ∝ , ∞ ) ⟶ R sedemikian sehingga lim
x→ ∞
xf ( x )=L dimana Lϵ R , maka

lim f ( x )=0 .
x→ ∞

10. Buktikan Teorema 4.3.14.


11. Lengkapkan bukti dari Teorema 4.3.15.

12. Misalkan lim f ( x )=L dimana L>0, dan lim g ( x )=∞. Tunjukkan bahwa lim f ( x ) g ( x )=∞ . Jika
x →c x →c x →c

L=0, tunjukkan dengan contoh bahwa konklusi ini gagal.


13. Carilah fungsi-fungsi f dan g yang didefinisikan pada (0 , ∞ ) sedemikian sehingga lim
x→ ∞
f =∞ dan

lim g=∞, akan tetapi lim ( f −g ) =0. Dapatkah anda menemukan fungsi-fungsi demikian,
x→ ∞ x→ ∞

f
dengan g( x )> 0 untuk semua x ∈(0 , ∞), sedemikian sehingga lim =0?
x→ ∞ g
14. Misalkan f dan g terdefenisi pada (∝ , ∞) dan misalkan pula lim
x→ ∞
f =L dan lim g=∞. Buktikan
x→ ∞

bahwa lim f ∘ g=L.


x→ ∞

BAB 5
KEKONTINUAN FUNGSI

Dalam bab ini kita akan memulai mempelajari kelas terpenting dari fungsi-
fungsi yang muncul dalam analisis real, yaitu kelas fungsi-fungsi kontinu. Pertama-
tama kita akan mendefinisikan pengertian dari kekontinuan pada suatu titik dan
pada suatu himpunan, dan menunjukkan bahwa variasi kombinasi dari fungsi-fungsi
kon- tinu menghasilkan fungsi kontinu.
Sifat-sifat dasar yang membuat fungsi-fungsi kontinu demikain penting
diper- lihatkan pada Pasal 5.3. Misalnya, kita akan memuktikan bahwa suatu fungsi
kontinu pada suatu interval tertutup dan terbatas mesti mencapai nilai maksimum
dan mini- mum.Kita juga akan membuktikan bahwa suatu fungsi kontinu mesti
selalu memuat nilai antara untuk sebarang dua nilai yang dicapainya. Sifat-sifat ini
dan beberapa lainnya tidak dimiliki oleh fungsi-fungsi pada umumnya, dan dengan
demikian ini membedakan fungsi-fungsi kontinu sebagai suatu kelas yang
sangat khusus dari fungsi-fungsi.
Kedua, dalam Pasal 5.4 kita akan memperkenalkan pengertian penting dari
kekontinuan seragam, dan kita akan menggunakan pengertian ini untuk masalah dari
pendekatan (pengaproksimasian) fungsi-fungsi kontinu dengan fungsi-fungsi dasar
(elementer) (seperti polinomial). Fungsi-fungsi monoton adalah suatu kelas penting
dari fungsi-fungsi dan mempunyai sifat-sifat kekontinuan kuat; mereka didiskusikan
dalam Pasal 5.5. Khususnya, akan ditunjukkan bahwa fungsi monoton kontinu
mem- punyai fungsi invers yang monoton kontinu juga.

Fungsi-fungsi Kontinu
Dalam Pasal ini, yang mana sangat serupa dengan pasal 4.1, kita akan
mendefinisikan tentang apa yang dimaksudkan dengan fungsi kontinu pada suatu titik,
atau pada suatu himpunan. Pengertian kekontinuan ini adalah salah satu dari penger-
tian sentral dari analisis matematika dan akan dipergunakan dalam hampir semua
pada pembahasan dalam buku ini. Akibatnya, konsep ini sangat esensial yang pem-
baca mesti menguasainya.

5.1.1 Definisi Misalkan A⊆R, f : A ⟶R dan c∈ A. Kita katakan bahwa f


kontinu pada c jika, diberikan sebarang lingkungan V ε (f(c)) dari f(c) terdapat suatu
lingkungan V δ (c) dari c sedemikain sehingga jika x sebarang titik pada A ∩V δ (c),
maka f(x) termuat dalam V ε (f(c)). (Lihat Gambar 5.1.1).
GAMBAR 5.1.1 Diberikan V ε (f(c)), lingkungan V δ (c) ditentukan

Peringatan
(1) Jika c ∈A merupakan titik cluster dari A, maka pembandingan dari Definisi 4.1.4 dan
5.1.1 menunjukkan bahwa f kontinu pada c jika dan hanya jika
( 1 ) f ( c )=lim f
x →c

Jadi, jika c titik cluster dari A, maka agar (1) berlaku, tiga syarat harus dipenuhi: (i) f
harus terdefinisi pada c (dengan demikian f(c) dapat dimengerti), (ii) limit dari f harus

ada dalam R (Dengan demikian lim


x →c
f dapat dimengerti) dan (iii) dari nilai nilai f(c) dan

lim f harus sama.


x →c

(2) Jika c bukan titik cluster dari A, maka terdapat lingkun- gan V δ (c) dari c
sedemikian sehingga A ∩V δ (c) = {c}. Jadi kita menyimpulkan bahwa suatu fungsi f
kontinu secara otomatis pada c ∈A yang bukan titik cluster dari A. Titik-titik
demikian ini sering disebut “titik-titik terisolasi” dari A; titik-titik ini kurang menarik
untuk kita bahas, karena “far from the action”. Karena kekontinuan berlaku secara
otomatis untuk titik-titik terisolasi ini, kita akan secara umum menguji kekontinuan
hanya pada titik-titik cluster. Jadi kita akan memandang kondisi (1) sebagai
karakteristik untuk kekontinuan pada c.
Dalam definisi berikut kita mendefinisikan kekontinuan dari f pada suatu himpunan.

5.1.2 Definisi

Misalkan A⊆R, f : A ⟶R. Jika B⊆ A, kita katakan bahwa f kontinu pada B jika f kontinu
pada setiap titik dalam B. Sekarang kita berikan suatu formulasi yang setara untuk Definisi 5.1.1.
5.1.3 Teorema
Misalkan A⊆R, f : A ⟶ R, dan c ∈A. Maka kondisi- kondisi berikut ekivalen.
(i) f kontinu pada c; yaitu, diberikan sebarang lingkungan V ε (f(c)) dari f(c) terdapat
suatu lingkungan V δ (c) dari c sedemikain sehingga jika x sebarang titik pada A ∩V δ (c),
maka f(x) termuat dalam V ε (f(c))
(ii) Diberikan sebarang ε > 0 terdapat suatu δ > 0 sedemikian sehingga untuk semua
x ∈A dengan x - c < , maka f(x) – f(c) < ε .
(iii) Jika (xn) sebarang barisan bilangan real sedemikian sehingga xn ∈A untuk semua n
∈N dan (xn) konvergen ke c, maka barisan (f(xn)) konvergen ke f(c).

Bukti
Pembuktian teorema ini hanya memerlukan sedikit modifikasi pembuktian dari Teorema
4.1.6 dan 4.1.8. Kita tinggalkan detailnya seba- gai suatu latihan penting bagi pembaca.

Kriteria Diskontinu berikut adalah suatu konsekuensi dari ekuivalensi dari (i) dan (ii)
dari teorema sebelumnya; ini akan dibandingkan dengan Kriteria Divergensi 4.1.9(a)
dengan L = f(c). Pembuktiannya akan dituliskan se- cara detail oleh pembaca.

5.1.4. Kriteria Diskontinu Misalkan A⊆R, f : A ⟶R, dan c∈A. Maka f


diskontinu pada c jika dan hanya jika terdapat suatu barisan (xn) dalam A sedemikian
sehingga (xn) konvergen ke c, tetapi barisan (f(xn)) tidak konvergen ke f(c).

5.1.5 Contoh-contoh
a) f(x) = b kontinu pada R
Telah diperlihatkan pada Contoh 4.1.7(a) bahwa jika c ∈R maka kita mempunyai

lim f =b
x →c

Karena f(c) = b, maka f kontinu pada setiap titik c∈R. Jadi f kontinu pada R
b) g(x) = x kontinu pada R.
Telah diperlihatkan pada Contoh 4.1.7(b) bahwa jika c ∈R, maka kita mempunyai
lim g=c , Karena g(c) = c, maka g kontinu pada setiap titik c∈R. Jadi g kontinu pada R
x →c

2
c) h(x) = x kontinu pada R.
Telah diperlihatkan pada Contoh 4.1.7(c) bahwa jika c∈R, maka kita mempunyai
lim g=c , karena h ( c )=c2 maka h kontinu pada setiap titik c ∈R. Jadi h kontinu pada
x →c

R
d) φ(x) = 1/x kontinu pada A = {x∈R : x > 0}.
Telah diperlihatkan pada Contoh 4.1.7(d) bahwa jika c ∈A, maka kita mempunyai
lim φ = 1/c. Karena φ(c)= 1/c, maka φ kontinu pada setiap titik c ∈A. Jadi φkontinu
x →c

pada A.
e) φ (x) = 1/x tidak kontinu pada x = 0
Memang, jika φ(x) = 1/x untuk x > 0, maka tidak terdefinisi pada x= 0, dengan
demikian tidak kontinu pada titik ini. Secara alternatif, telah diperlihatkan pada Contoh

4.1.10(a) bahwa lim


x →0
φ tidak ada dalam R, dengan demikian φ tidak kontinu pada x = 0

f) Fungsi signum tidak kontinu pada x = 0.


Fungsi signum telah didefinisikan pada contoh 4.1.10(b), dimana juga telah

ditunjukkan bahwa lim


x →0
sgn( x) tidak ada dalam R. Oleh karena itu sgn tidak kontinu

pada x = 0 meskipun sgn 0 terdefinisi.


g) Misalkan A = R dan f “fungsi diskontinu” Dirichlet yang didefinisikan oleh

f ( x )= {01,,jika
jika x rasional
x irrasional
Kita claim bahwa f tidak kontinu pada sebarang titik pada R. (Fungsi ini
diperke- nalkan pada tahun 1829 oleh Dirichlet). Memang, jika c bilangan rasional,
misalkan (xn) suatu barisan bilangan irasional yang konvergen ke c. (Teorema Akibat
2.5.6 untuk Teorema 2.5.5 menjamin adanya barisan seperti ini.) Karena f(xn) = 0 untuk
semua n N, maka kita mempunyai lim (f(xn)) = 0 sementara f(c) = 1. Oleh karena itu
f tidak kontinu pada bilangan rasional c.
Sebaliknya, jika b bilangan rasional, misalkan (yn) suatu barisan bilangan
irasional yang konvergen ke b. (Teorema Akibat 2.5.6 untuk Teo- rema 2.5.5 menjamin
adanya barisan seperti ini.) Karena f(yn) = 1 untuk semua n N, maka kita mempunyai
lim (f(yn)) = 1 sementara f(b) = 0. Oleh karena itu f tidak kon- tinu pada bilangan
irasional b.
Karena setiap bilangan real adalah bilangan rasional atau irasional, kita
simpulkan bahwa f tidak kontinu pada setiap titik dalam R.
h) Misalkan A = {x∈R : x > 0}.
Untuk sebarang bilangan irasional x > 0 kita definisikan h(x) = 0. Untuk suatu
bilangan rasional dalam A yang berbentuk m/n, dengan bilangan asli m,n tidak
mempunyai faktor persektuan kecuali 1, kita definisi- kan h(m/n) = 1/n. (Lihat Gambar
5.1.2.) Kita claim bahwa h kontinu pada setiap bilangan irasional pada A, dan
diskontinu pada setiap bilangan rasional dalam A.(Fungsi ini diperkenalkan pada
tahun 1875 oleh K.J. Thomae).
Memang, jika a > 0 bilangan rasional, misalkan (xn) suatu barisan bilangan
irasional dalam A yang konvergen ke a. maka lim h(xn) = 0 sementara h(a) > 0. Dari
sini h diskontinu pada a.
Di pihak lain, jika b suatu bilangan irasional dan ε > 0, maka (dengan Sifat
Arcimedean) terdapat bilangan asli n0 sedemikian sehingga 1/n0 < ε. Terdapat hanya
sejumlah hingga bilangan rasional dengan penyebut lebih kecil dari n0 dalam interval
(b – 1, b + 1).
(Mengapa?) Dari sini δ> 0 dapat dipilih sekecil mungkin yang mana lingkungan (b -δ
,b +δ ) tidak memuat tidak memuat bilangan rasional dengan penyebut lebih kecil dari
n0. Selanjutnya, bahwa untuk x - b< δ, x ∈A, kita mempunyai h(x) – h(b) =
h(x)≤1/n0 <ε. Jadi h kontinu pada bilangan irasional b.
Akibatnya, kita berkesimpulan bahwa fungsi Thomae h kontinu hanya pada
titik-titik irasional dalam A.
GAMBAR 5.1.2 Grafik Fungsi Thomae

5.1.6 Peringatan
a) Kadang-kadang suatu fungsi f : A→ R tidak kontinu pada suatu titik c, sebab
tidak terdefinisi pada titik tersebut.. Akan tetapi, jika fungsi f mempunyai suatu limit L
pada tiitik c dan jika kita definisikan F pada A∪{c} → R dengan

F ( x )= {f (Lx ,untuk x=c


) ,untuk x ∈ A

maka F kontinu pada c. Untuk melihatnya, perlu mengecek bahwa lim


x →c
F=L tetapi

ini tidak berlaku (mengapa) ? karena lim


x →c
f =L

b) Jika fungsi g : A →R tidak mempunyai suatu limit pada c, maka tidak ada cara
untuk memperoleh suatu fungsi G : A∪{c} →R yang kontinu pada c dengan
pendefinisian

G ( x) = {g (cx,untuk x=c
) ,untuk x ∈ A

Untuk melihatnya, amati bahwa jika lim


x →c
Gada dan sama dengan C maka lim g mesti ada
x →c

juga dan sama dengan C.

5.1.7 Contoh-contoh
a) Fungsi g(x) = sin (1/x) untuk x ≠0
(lihat Gambar 4.1.3) tidak mempunyai limit pada x = 0 (lihat contoh 4.1.10(c)). Jadi
tidak terdapat nilai yang dapat kita berikan pada x = 0. Untuk memperoleh suatu
perluasan kontinu dari g pada x = 0.
b) Misalkan f(x) = x sin(1/x) untuk x ≠0. (Lihat Gambar 5.1.3) Karena f tidak terdefinisi
pada x = 0, fungsi f tidak bisa kontinu pada titik ini. Akan tetapi, telah diperlihatkan

pada Contoh 4.2.8(f) bahwa lim


x →0
x sin 1/ x=0 Oleh karena itu, Oleh karena itu

mengikuti Peringatan 5.1.6(a) bahwa jika kita definisikan F : R →R dengan

F ( x )= {x sin01/,untuk x=0
x ,untuk x ≠ 0
maka F kontinu pada x = 0.

Gambar 5.1.3 Grafik dari f(x) = x sin(1/x) x ≠ 0

Latihan Latihan 5.1


1. Buktikan Teorema 5.1.4.
2. Perlihatkan Kriteria Diskontinu 5.1.4.
3. Misalkan a < b < c. Misalkan pula bahwa f kontinu pada [a,b], g kontinu pada [b,c], dan
f(b) = g(b). Definisikan h pada [a,c] dengan h(x) = f(x) untuk x∈[a,b] dan h(x) = g(x)
untuk x∈ (b,c]. Buktikan bahwa h kontinu pada [a,c].
4. Jika x∈R, kita definisikan ⟦ x ⟧ adalah bilangan bulat terbesar n ∈Z sedemikian sehingga
n≤ x. (Jadi, sebagai contoh, ⟦ 8,3 ⟧=8 , ⟦ π ⟧=3 , ⟦−π ⟧ =−4 ). Fungsi x ⟼ ⟦ x ⟧ disebut
fungsi bilangan bulat terbesar. Tentukan titik-titik dimana fungsi-fungsi berikut
kontinu :
(a). f ( x ) ≔ ⟦ x ⟧, (b) g ( x ) ≔ x ⟦ x ⟧,
(c). h ( x ) ≔ ⟦ sin x ⟧ , (d) k ( x ) ≔ ⟦ 1/ x ⟧ ( x ≠ 0)

5. Misalkan f terdefinisi untuk semua x ∈R, x≠2, dengan f(x) = (x2 + x – 6)/(x – 2).
Dapat- kah f terdefinisi pada x = 2 dimana dengan ini menjadikan f kontinu pada titik
ini?
6. Misalkan A ⊆R dan f : A ⟶ R kontinu pada titik c∈A. Tunjukkan bahwa untuk se-
barang ε> 0, terdapat lingkungan V δ (c) dari c sedemikian sehingga jika x,y ∈A∩ V δ
(c), maka |f ( x) – f ( y )|<ε .
7. Misalkan f : R ⟶ R kontinu pada c dan misalkan f(c) > 0. Tunjukkan bahwa
terdapat V δ (c) suatu lingkungan dari c sedemikian sehingga untuk sebarang x ∈V δ(c)
maka f(x) > 0.
8. Misalkan f : R ⟶ R kontinu pada R dan misalkan S = {x ∈R : f(x) = 0} adalah “him-
punan nol” dari f. Jika (xn) ⊆S dan x = lim (xn), tunjukkan bahwa x∈S.
9. Misalkan A⊆B⊆R, f : B ⟶ R dan g pembatasan dari f pada A (yaitu, g(x) = f(x)
untuk x∈A).
(a). Jika f kontinu pada c ∈A, tunjukkan bahwa g kontinu pada c.
(b). Tunjukkan dengan contoh bahwa jika g kontinu pada c, tidak perlu berlaku
bahwa f kontinu pada c.
10. Tunjukkan bahwa fungsi nilai mutlak f(x) = x kontinu pada setiap titik c ∈R.
11. Misalkan K > 0 dan f : R ⟶ R memenuhi syarat f(x) – f(y)≤ Kx - y untuk
semua x,y∈R. Tunjukkan bahwa f kontinu pada setiap titik c ∈R.
12. Misalkan bahwa f : R ⟶ R kontinu pada R dan f(r) = 0 untuk setiap bilangan
rasional r. Buktikan bahwa f(x) = 0 untuk semua x ∈R.
13. Definisikan g : R ⟶ R dengan g(x) = 2x untuk x rasional, dan g(x) = x + 3 untuk x
irasional. Tentukan semua titik dimana g kontinu.
14. Misalkan A = (0, ∞) dan k : A ⟶ R didefinisikan sebagai berikut. Untuk x∈A, x
rasional, kita definisikan k(x) = 0; untuk x∈A rasional dan berbentuk x = m/n dengan
bi- langan asli m, n tidak mempunyai faktor persekutuan kecuali 1, kita definisikan
k(x) = n. Buktikan bahwa k tidak terbatas pada setiap interval terbuka dalam A.
Simpulkan bahwa k tidak kontinu pada sebarang titik dari A.

PASAL 5.2 Kombinasi dari Fungsi-fungsi Kontinu


Misalkan A⊆R, f dan g fungsi-fungsi yang terdefinisi pada A ke R dan b ∈R.
Dalam Definisi 4.2.3 kita mendefinisikan jumlah, selisih, hasil kali, dan kelipatan fungsi-
fungsi disimbol f + g, f – g, fg, bf. Juga, jika h : A ⟶ R sedemikian sehingga h(x) ≠0
untuk semua x∈A, maka kita definisikan fungsi hasil bagi dinotasi dengan f/h.

Hasil berikut ini serupa dengan Teorema 4.2.4.

5.2.1 Teorema Misalkan A⊆R, f dan g fungsi-fungsi yang terdefinisi pada A ke R


dan b∈R. Andaikan bahwa c∈A dan f dan g kontinu pada c.
(a) Maka f + g, f – g, fg, dan bf kontinu pada c.
(b) Jika h : A ⟶ R kontinu pada c∈A dan jika h(x)≠ 0 untuk semua x∈A, maka fungsi
f/h kontinu pada c.

Bukti. Jika c bukan suatu titik cluster dari A, maka konklusi berlaku secara otomatis.
Dari sini, kita asumsikan bahwa c titik cluster dari A.
a) Karena f dan g kontinu pada

b) a c, maka f ( c ) =lim
x→ c
f dan g ( c ) =lim g
x→ c

Oleh karena itu mengikuti Teorema 4.2.4(a) diperoleh


( f + g )( c ) =f ( c ) + g ( c )=lim (f + g)
x →c

Dengan demikian f + g kontinu pada c. Pernyataan-pernyataan lain pada bagian


(a) dibuktikan dengan cara serupa.

c) Karena c∈A, maka h(c) ≠0. Tetapi karena h ( c )=lim


x →c
h berikut dari teorema 4.2.4 (b)

bahwa
lim f
f f ( c ) x →c f
h
( c )= = =lim
h ( c ) lim h x → c h
x→ c
()
Oleh karena itu f/h kontinu pada c.

Hasil berikut merupakan konsekuensi dari Teorema 5.2.1, diterapkan untuk semua
titik dalam A. Akan tetapi, secara ekstrim, ini adalah suatu hasil penting, kita akan
menyatakannya secara formal.

5.2.2 Teorema Misalkan A⊆R, f dan g fungsi-fungsi yang terdefinisi pada A ke R


dan b∈R.
(a) Maka f + g, f – g, fg, dan bf kontinu pada A.
(b) Jika h : A ⟶ R kontinu pada A dan h(x) ≠ 0 untuk x ∈A, maka fungsi
f/h kontinu pada A.

5.2.3 Komentar Untuk mendefinisikan fungsi hasil bagi, kadang-kadang lebih


cocok memulainya sebagai berikut : Jika φ: ⟶R, misalkan A1 = {x∈A : φ (x) ≠ 0}. Kita
akan mendefinisikan fungsi hasil bagi f/φ pada himpunan A1 dengan

( ¿)
( φf ) ( x ) = φf (( xx)) untuk x ∈ A
Jika φ kontinu pada titik c∈ A 1, maka jelas bahwa pembatasan φ 1 dari φ pada A1 juga
kontinu pada c. Oleh karena itu mengikuti Teorema 5.2.1(b) dipergunkan untuk φ1
bahwa f/φ kontinu pada c∈ A 1. Serupa juga jika f dan φ kontinu pada A, maka fungsi f/φ,
didefinisikan pada A1 oleh (*), kontinu pada A1

5.2.4 Contoh-contoh
a) Fungsi-fungsi polinomial.
Jika p suatu fungsi polinimial, dengan demikian p(x) = anxn + an-1xn-1 + … + a1x +

a0 untuk semua x∈R, maka mengikuti Contoh 4.2.5(f) bahwa p ( c )=lim


x →c
f untuk

sebarang c∈R. Jadi fungsi polinomial kontinu pada R.

b) Fungsi-fungsi rasional
Jika p dan q fungsi-fungsi polinomial pada R, maka terdapat paling banyak sejumlah
hingga α 1 , α 2 , … , α nakar-akar real dari q. Jika x∉{ α 1 , α 2 , … , α n} maka q(x) ≠0 dengan
demikian kita dapat mendefinisikan fungsi rasional r dengan
p(x)
r ( x )= untuk x ∉ {α 1 ,α 2 ,… ,α n }
q (x )

Telah diperlihatkan dalam Contoh 4.2.5(g) bahwa jika q(c) ≠0, maka
lim p( x)
p ( x) x→c
r ( x )= = =lim r ( x )
q ( x ) lim q( x ) x → c
x →c

Dengan kata lain, r kontinu pada c. Karena c sebarang bilangan real yang bukan akar
dari q, kita katakan bahwa suatu fungsi rasional yang kontinu pada setiap bilangan
real dimana fungsi tersebut terdefinisi.

c) Kita akan menunjukkan bahwa fungsi sinus kontinu pada R.


Untuk mengerjakan ini kita akan menggunakan sifat-sifat dari fungsi sinus dan cosines
yang pada bagian ini tidak akan dibuktikan. Untuk semua x,y,z R kita mempunyai

sin z ≤ z, cos z≤ 1,


sin x – sin y = 2sin[½(x – y)]cos[½(x + y)]. Dari
sini, jika c ∈R, maka kita mempunyai
sin x – sin c≤ 2(½x – c)(1) = x - c.

Oleh karena itu sin kontinu pada c. Karena c∈R sebarang, maka ini berarti
fungsi sin kontinu pada R.

d) Fungsi cosinus kontinu pada R.


Untuk mengerjakan ini kita akan menggunakan sifat-sifat dari fungsi sinus dan cosinus
yang pada bagian ini tidak akan dibuktikan. Untuk semua x,y,z∈R kita mempunyai
sin z≤z, sin z≤1,
cos x – cos y = 2sin[½(x + y)]sin[½(y - x)].
Dari sini, jika c ∈ R, maka kita mempunyai
cos x – cos c≤ 2(1)(½c – x) = x - c.
Oleh karena itu cos kontinu pada c. Karena c ∈R sebarang, maka ini berarti
fungsi cos kontinu pada R. (Cara lain, kita dapat menggunakan hubungan cos x = sin (x
+ π /2).)

e) Fungsi-fungsi tan, cot, sec, csc kontinu dimana fungsi-fungsi ini terdefinisi.
Sebagai contoh, fungsi cotangen didefinisikan dengan
cos x
cot x=
sin x
Asalkan sin x ≠ 0 (yaitu, asalkan x ≠ nπ , n ∈Z). Karena sin dan cos kontinu pada R,
maka mengikuti Komentar 5.2.3 bahwa fungsi cot kontinu pada domainnya. Fungsi-
fungsi trigonometri yang lain dilakukan dengan proses pengerjaan yang serupa.

5.2.5 Teorema Misalkan A ⊆R, f : A → R dan f didefinisikan untuk x ∈A


dengan f(x) = f(x).
(a) Jika f kontinu pada suatu titik c A, maka f kontinu pada c.
(b) Jika f kontinu pada A, maka f kontinu pada A.

Bukti. Ini merupakan konsekuensi dari Latihan 4.2.13.

5.2.6 Teorema Misalkan A R, f : A→ R dan f(x) ≥0 untuk semua x ∈A. Kita


misalkan √ f didefinisikan untuk x ∈A dengan √ f ( x )=√ f (x)
(a) Jika f kontinu pada suatu titik c ∈A, maka √ f kontinu pada c.
(b)Jika f kontinu pada A, maka √ f kontinu pada A

Bukti. Ini merupakan konsekuensi dari Latihan 4.2.14.

Komposisi Fungsi-fungsi Kontinu


Sekarang kita akan menunjukkan bahwa jika f : A → R kontinu pada suatu titik c
dan jika g : B → R kontinu pada b = f(c), maka komposisi g o f kontinu pada c. Agar
menjamin bahwa g o f terdefinisi pada seleruh A, kita perlu menganggap bahwa f(A)
⊆ B.
5.2.7 Teorema Misalkan A,B ⊆ R, f : A → R dan g : B → R fungsi- fungsi
sedemikian sehingga f(A)⊆ B. Jika f kontinu pada suatu titik c ∈A dan g kon- tinu pada
b = f(c) ∈B, maka komposisi g o f : A → R kontinu pada c.

Bukti. Misalkan W suatu lingkungan- ε dari g(b). Karena g kontinu pada b,

maka terdapat suatu lingkungan-δ V dari b = f(c) sedemikian sehingga jika y ∈B∩V
maka g(y)∈W. Karena f kontinu pada c, maka terdapat suatu lingkungan-γ U dari c
sedemikian sehingga jika x∈U ∩A, maka f(x)∈V. (Lihat Gambar 5.2.1.) Karena f(A)
⊆B, maka ini berarti jika x∈A∩U, maka f(x)∈B∩V dengan demikian g o f(x) = g(f(x))∈
W. Tetapi karena W suatu lingkungan-ε dari g(b), ini mengakibatkan bahwa g o f kontinu
pada c.

5.2.8 Teorema Misalkan A,B⊆R, f : A ⟶ R kontinu pada A dan g : B ⟶ R


kontinu pada B. Jika f(A)⊆B, maka komposisi g o f : A ⟶ R kontinu pada A.

Bukti. Teorema ini secara serta-merta mengikuti hasil sebelumnya, jika berturut-turut, f
dan g kontinu pada setiap titik A dan B. Teorema 5.2.7 dan 5.2.8 sangat bermanfaat
dalam menunjukkan bahwa fungsi-fungsi tertentu kontinu. Teorema-teorema ini dapat
dipergunakan dalam berbagai situasi dimana situasi ini akan sulit untuk menggunakan
definisi kekontinuan secara langsung.

5.2.9 Contoh-contoh
a) Misalkan g1(x) = x untuk x R. Menurut Ketaksamaan Segitiga (Lihat Akibat
2.3.4) bahwa
g1(x) – g1(c)≤x - c
untuk semua x,c∈R. Dari sini g1 kontinu pada c∈R. Jika f : A ⟶ R sebarang

fungsi kontinu pada A, maka Teorema 5.2.8 mengakibatkan bahwa g1 o f = f


kontinu pada A. Ini memberikan cara lain pembuktian dari Teorema 5.2.5. pada A. Ini
memberikan cara lain pembuktian dari Teorema 5.2.5.
b ) Misalkan g 2( x)=√ x untuk x ≥ 0.
Mengikuti Teorema 3.2.10 dan 5.1.3 bahwa g2 kontinu pada sebarang c ≥ 0. Jika f : A
⟶ R kontinu pada A dan jika f(x) ≥0 untuk semua x∈A, maka menurut Teorema 5.2.8
g 2 o f =√ f kontinu pada A. Ini memberikan pembuktian lain dari Teorema 5.2.6.
c) Misalkan g3(x) = sin x untuk x∈R.
Kita telah tunjukkan dalam Contoh 5.2.4 (c) bahwa g3 kontinu pada R. Jika f : A ⟶
R kontinu pada A, maka mengikuti Teorema 5.2.8 bahwa g 3 o f kontinu pada A.
Khususnya, jika f(x) = 1/x untuk x ≠0, maka fungsi g(x) = sin(1/x) kontinu
pada setiap titik c ≠0. [Kita telah tunjukkan, dalam Contoh 5.1.7(a), bahwa g tidak
didefinisikan pada 0 agar g menjadi kontinu pada titik itu.

G AMBAR 5.2.1 Komposisi dari f dan g

LATIHAN 5.2
1. Tentukan titik-titik kekontinuan dari fungsi-fungsi berikut dan nyatakan teorema-
teorema mana yang dipergunakan dalam setiap kasus :
2
( a ) . f ( x )= x +22
x+ 1 (
x ∈ R ) ; ( b ) . g ( x )=√ x+ √ x ( x ≥ 0 ) ;
x +1

( c ) h ( x) =
√ 1+|sin x| ( x ≠0 ) ; ( d ) k ( x )=cos √ x 2+ 1(x ∈ R) ;
x
2. Tunjukkan bahwa jika f : A⟶ R kontinu pada A ⊆R dan jika n ∈N, maka fungsi f n

didefinisikan oleh f ( x )= (f(x))n untuk x∈A, kontinu pada A.


n

3. Berikan satu contoh f dan g yang kedua-duanya tidak kontinu pada suatu titik c dalam
R sedemikian sehingga : (a) fungsi jumlah f + g kontinu pada c, (b) fungsi hasil kali fg
kontinu pada c.
4. Misalkan x ⟼ ⟦ x ⟧ menyatakan fungsi bilangan bulat terbesar (lihat Latihan 5.1.4.)
Tentu- kan titik-titik kekontinuan dari fungsi f (x) := x−⟦ x ⟧ , x∈R.
5. Misalkan g didefinisikan pada R oleh g(1) = 0, dan g(x) = 2 jika x ≠1, dan misalkan

f ( x )=x +1 untuk semua x∈R. Tunjukkan bahwa lim


x →0
gοf ≠ gοf ( 0 ) Mengapa ini tidak

kontradiksi dengan Teorema 5.2.7?

6. Misalkan f,g didefinisikan pada R dan c∈R. Misalkan juga bahwa lim
x →0
f =b dan g

kontinu pada b. lim


x →0
gοf =g(b) (Bandingkan hasil ini dengan Teorema 5.2.7 dan latihan

sebelumnya.
7. Berikan contoh dari fungsi f : [0,1] →R yang diskontinu pada setiap titik dalam [0,1]
tetapi sedemikian sehingga |f |kontinu pada [0,1].
8. Misalkan f,g fungsi-fungsu kontinu dari R ke R, dan misalkan pula f(r) = g(r) untuk se-
mua bilangan rasional r. Apakah benar bahwa f(x) = g(x) untuk semua x ∈ R?

9. Misalkan h : R → R kontinu pada R memenuhi h(m/2n) = 0 untuk semua m Z, n∈N.


Tunjukkan bahwa h(x) = 0 untuk semua x ∈R.
10. Misalkan f : R → R kontinu pada R, dan misalkan pula P = {x∈R : f(x) > 0}. Jika c ∈P,

tunjukkan bahwa terdapat suatu lingkungan V δ (c) ⊆ P.


11. Jika f dan g kontinu pada R, misalkan pula S={x ∈ R : f(x) ≥g(x)}. Jika (sn) ⊆S dan
lim (sn) = s, tunjukkan bahwa s ∈S.
12. Suatu fungsi f : R →R dikatakan aditif jika f(x + y) = f(x) + f(y) untuk semua x,y ∈R.
Buktikan bahwa jika f kontinu pada suatu titik x0, maka fungsi itu kontinu pada setiap
ti- tik dalam R. (Lihat Latihan 4.2.12.)
13. Misalkan f fungsi aditif kontinu pada R. Jika c = f(1), tunjukkan bahwa kita
mempunyai f(x) = cx untuk semua x∈R. [Petunjuk : Pertama-tama tunjukkan bahwa
jika r suatu bi- langan rasional, maka f(r) = cr.]
14. Misalkan g : R →R memenuhi hubungan g(x + y) = g(x)g(y) untuk semua x,y∈R. Tun-
jukkan bahwa jika g kontinu pada x = 0, maka g kontinu pada setiap titik dalam R.
Juga jika kita mempunyai g(a) = 0 untuk suatu a ∈R, maka g(x) = 0 untuk semua x ∈
R.
15. Misalkan f,g : R →R kontinu pada suatu titik c, dan h(x) = sup{f(x), g(x)} untuk x∈R.
Tunjukkan bahwa h(x) = ½(f(x) + g(x)) + ½f(x) – g(x) untuk semua x ∈R.
Gunakan hasil ini untuk menunjukkan bahwa h kontinu pada c.
16. Misalkan I = [a,b] dan f : I → R terbatas dan kontinu pada I. Definisikan g : I → R
dengan g(x) = sup{f(t) : a ≤ t ≤ b} untuk semua x∈I. Buktikan bahwa g kontinu pada
I.

PASAL 5.3 Fungsi-fungsi Kontinu pada Interval

Fungsi-fungsi yang kontinu pada interval-interval mempunyai sejumlah sifat


penting yang tidak dimiliki oleh fungsi kontinu pada umumnya. Dalam pasal ini kita akan
memperlihatkan beberapa hasil yang agak mendalam yang dapat dipandang penting, dan
yang akan diterapkan pada bagian-bagian selanjutnya.

5.3.1 Definisi Suatu fungsi f : A → R dikatakan terbatas pada A, jika terda- pat
M > 0 sedemikan sehingga |f ( x)| ≤ M untuk semua x ∈A.
Dengan kata lain, suatu fungsi dikatakan terbatas jika range-nya merupakan suatu
himpunan terbatas dalam R. Kita mencatat bahwa suatu fungsi kontinu tidak perlu
terbatas. Contohnya, fungsi f(x) = 1/x adalah fungsi kontinu pada himpunan A = {x∈R : x
> 0}. Akan tetapi, f tidak terbatas pada A. Kenyataannya, f(x) = 1/x tidak terbatas apabila
dibatasi pada
B = {x∈R : 0 < x < 1}. Akan tetapi, f(x) = 1/x terbatas apabila dibatasi untuk
himpunan C = {x∈R : 1 ≤ x}, meskipun himpunan C tidak terbatas.

5.3.2 Teorema Keterbatasan Misalkan I = [a,b] suatu interval tertutup dan


terbatas dan misalkan f : I → R kontinu pada I. Maka f terbatas pada I.
Bukti. Andaikan f tidak
n terbatas pada I. Maka, untuk sebarang n ∈ N terdapat

suatu bilangan xn ∈ I sedemikian sehingga |f ( x n)| > n. Karena I terbatas, barisan X = (xn)
terbatas. Oleh karena itu, menurut Teorema Bolzano-Weiestrass 3.4.7 bahwa terdapat
subbarisan
X‘ = ( x nr ) dari X yang konvergen ke x. Karena I tertutup
n dan unsur-unsur X’ masuk
kedalam I, maka menurut Teorema 3.2.6, x ∈I. Karena f kontinu pada x, dengan demikian
n
barisan (f( x nr )) konvergen ke f(x). Kita selanjutnya menyimpul-kan dari Teorema 3.2.2
bahwa kekonvergenan barisan (f( x nr )) mesti terbatas. Tetapi ini suatu kontradiksi karena

|f (nr )|>
r
nr ≥ r untuk r ∈ N

Oleh karena itu pengandaian bahwa fungsi kontinu f tidak terbatas pada interval
tertu- tup dan terbatas I menimbulkan kontradiksi.

5.3.3 Definisi Misalkan A ⊆ R dan f : A → R. Kita katakan f mempunyai


*
suatu maksimum mutlak pada A jika terdapat suatu titik x ∈ A sedemikian
sehingga
*
f(x ) ≥ f(x) untuk semua x ∈A.
Kita katakan f mempunyai suatu minimum mutlak pada A jika terdapat
suatu titik x∗∈ A sedemikian sehingga
f(x*) ≤ f(x) untuk semua x ∈ A.

*
Kita katakan bahwa x suatu titik maksimum mutlak untuk f pada A, dan x*
suatu titik minimum mutlak dari f pada A, jika titik-titik itu ada.
GAMBAR 5.3.1 Grafik fungsi f(x) = 1/x (x > 0)
Kita perhatikan bahwa suatu fungsi kontinu pada himpunan A tidak perlu
mempunyai suatu maksimum mutlak atau minimum mutlak pada himpunan tersebut.
Sebagai contoh, f(x) = 1/x, yang tidak mempunyai baik titik maksimum mutlak maupun
minimum mutlak pada himpunan A = {x ∈R : x > 0}. (Lihat Gambar 5.3.1). Tidak adanya
titik maksimum ab- solut untuk f pada A karena f tidak terbatas diatas pada A, dan tidak ada
titik yang mana f mencapai nilai 0 = inf{f(x) : x ∈ A}. Fungsi yang sama tidak mempunyai
baik suatu mak- simum mutlak maupun minimum mutlak apabila dibatasi pada himpunan
{x ∈ R : 0 < x < 1}, sedangkan fungsi ini mempunyai nilai maksimum mutlak dan juga
minimum mutlak apabila dibatasi pada himpunan {x ∈R : 1≤ x ≤ 2}. Sebagai tambahan,
f(x) = 1/x mempunyai suatu maksimum mutlaktetapi tidak mempunyai minimum mutlak
apabila dibatasi pada himpunan
{x ∈ R : x ≥ 1}, tetapi tidak mempunyai maksimum mutlak dan tidak mempunyai
nilai mini- mum mutlak apabila dibatasi pada himpunan {x ∈ R : x > 1}.

Jika suatu fungsi mempunyai suatu titik maksimum mutlak, maka titik ini ti dak
2
perlu ditentukan secara tunggal. Sebagai contoh, fungsi g(x) = x didefinisikan untuk x
∈ A = [-1,+1] mempunyai dua titik x = !1 yang memberikan titik maksimum pada A, dan
titik tunggal x = 0 menghasilkan minimum mutlaknya pada A. (Lihat Gambar 5.3.2.)
Untuk memilih suatu contoh ekstrim, fungsi konstan h(x) = 1 untuk
x ∈ R adalah sedemikian sehingga setiap titik dalam R merupakan titik maksimum
mutlak dan sekaligus titik minimum mutlak untuk f.
2
GAMBAR 5.3.2 Grafik fungsi g(x) = x (x ≤ 1)

5.3.4 Teorema Maksimum-Minimum Misalkan I = [a,b] interval tertutup dan


terbatas dan f : I → R kontinu pada I. Maka f mempunyai maksimum mutlak dan minimum
mutlak pada I.
Bukti. Pandang himpunan tak kosong f(I) = {f(x) : x ∈ I} nilai-nilai dari f pada I.
Dalam Teorema 5.3.2 sebelumnya telah diperlihatkan bahwa f(I) merupakan sub
*
himpunan dari R yang terbatas. Misalkan s = sup f(I) dan s* = inf f(I). Kita claim
* * *
bahwa terdapat titik-titik x dan x* sedemikian sehingga s = f(x ) dan s* = f(x*). Kita akan
*
memperlihatkan bahwa keberadaan titik x , meninggalkan pembuktian eksistensi dari x*
untuk pembaca.
* *
Karena s = sup f(I), jika n∈ N, maka s - 1/n bukan suatu batas atas dari him-
punan f(I). Akibatnya terdapat bilangan real xn ∈ I sedemikian sehingga
1
− < f ( x n ) ≤ s¿ untuk n ∈ N
¿
( ¿) s
n

1
s¿ − <f ( x n ) ≤ s¿ untuk r ∈ N
nr r

*
kita menyimpulkan dari Teorema Apit 3.2.7 bahwa lim (f( x ))n = s . Oleh karena itu kita
mempunyai
f ( x ¿ )=lim ( f ( xn ) )=s¿ =f (I) ¿
c
*
Kita simpulkan bahwa x adalah suatu titik maksimum mutlak dari f pada I.
Hasil berikut memberikan suatu dasar untu lokasi akar dari fungsi-fungsi kon- tinu.
Pembuktiannya memberikan juga suatu algoritma untuk pencarian akar dan da- pat dengan
mudah diprogram untuk suatu komputer. Suatu alternatif pembuktian dari teorema ini
ditunjukkan dalam Latihan 5.3.8.

5.3.5 Teorema Lokasi Akar Misalkan I suatu interval dan f : I → R fungsi


kontinu pada I. Jika α < β bilangan-bilangan dalam I sedemikian sehingga f(α) < 0 < f(β)
(atau sedemikian sehingga f(α) > 0 > f(β)), maka terdapat bilangan c (α,β ) sedemikian
sehingga f(c) = 0.

Bukti. Kita asumsikan bahwa f(α) < 0 < f(β). Misalkan I1 = [α,β] dan γ = ½(α + β
). Jika f(γ ) = 0 kita ambil c =γ dan bukti lengkap. Jika f(γ ) > 0 kita tetapkan α 2 = α, β 2 =
γ , sedangkan jika f(γ ) < 0 kita tetapkan α 2 =γ , β 2 =β . Dalam kasus apapun, kita
tetapkan I2 = [α 2, β 2], dimana f(α 2) < 0 dan f(β 2) > 0. Kita lanjutkan proses biseksi ini.
Anggaplah bahwa kita telah mempunyai interval-interval I1, I2, …, Ik = [α k, β k]
yang diperoleh dengan biseksi secara berturut-turut dan sedemikian sehingga f(α k) < 0 dan
f(β k) > 0. Misalkan γ k = ½(α k + β k). Jika f(γ k) = 0 kita ambil c = γ k dan bukti
lengkap. Jika f(γ k) > 0 kita tetapkan α k+1= α k, β k+1= γ k, sedangkan jika f(γ k) < 0 kita
tetapkan α k+1= γ k, β k+1= β k.Dalam kasus apapun, kita tetapkan Ik+1=[α k+1, β k+1]
,dimana
f(α k+1) < 0 dan f(β k+1) > 0.

Jika proses ini diakhiri dengan penetapan suatu titik γ n sedemikian sehingga f(γ n)
=0, pembuktian selesai. Jika proses ini tidak berakhir, kita memperoleh suatu barisan
nested dari interval-interval tutup In = [α n, β n], n∈N. Karena interval-interval ini
n–1
diperoleh dengan biseksi berulang, kita mempunyai β n - α n = ( β - α )/2 . Mengikuti Sifat
Interval Nested 2. 6.1 bahwa terdapat suatu titik c dalam In untuk semua n ∈N. Karena
α n≤ c ≤ βn untuk semua n∈N, kita mempunyai 0 ≤ c−α n ≤ β n−α n=( β−α )/2n−1, dan

0 ≤ β n−c ≤ β n−α n=( β−α) /2n −1/2n – 1. Dari sini diperoleh bahwa c = lim (α n) dan c = lim (
β n). Karena f kontinu pada c, kita mempunyai

lim ( f ( α n ) ) =f ( c ) =lim ( f ( β n ) )

Karena f (β n) ≥ 0 untuk semua n ∈N, maka mengikuti Teorema 3.2.4 bahwa f(c) =
lim f (β n) ≥ 0. Juga Karena f(α n)≤0 untuk semua n N, maka mengikuti hasil yang sama
(gunakan –f) bahwa f(c) = lim (f(α n)) ≤ 0. Oleh karena itu kita mesti mempunyai f(c) = 0.
Akibatnya c merupakan akar dari f.
Hasil berikut adalah generalisasi dari teorema sebelumnya. Ini menjamin
bahwa suatu fungsi kontinu pada suatu interval memuat sejumlah bilangan yang masuk
diantara dua nilainya.

5.3.6 Teorema Nilai Antara Bolzano Misalkan I suatu interval dan f : I⟶ R


kontinu pada I. Jika a, b ∈I dan jika k ∈R memenuhi f(a) < k < f(b), maka terdapat suatu
titik c ∈I antara a dan b sedemikian sehingga f(c) = k.
Bukti. Anggaplah a < b dan misalknya g(x) = f(x) – k; maka g(a) < 0 < g(b).
Menurut Teorema Lokasi Akar 5.3.5 terdapat suatu titik c dengan a < c < b
sedemikian sehingga 0 = g(c) = f(c) – k. Oleh karena itu f(c) = k.
Jika b < a, misalkan h(x) = k – f(x) dengan demikian h(b) < 0 < h(a). Oleh karena
itu terdapat titik c dengan b < c < a sedemikian sehingga 0 = h(c) = k – f(c), dari sini f(c)
= k.
5.3.7 Akibat Misalkan I = [a,b] suatu interval tutup dan terbatas. Misalkan pula
f : I ⟶ R kontinu pada I. Jika k ∈R sebarang bilangan yang memenuhi
inf f(I) ≤ k ≤sup f(I)
maka terdapat suatu bilangan c∈I sedemikian sehingga f(c) = k.

Bukti. Ini mengikut pada Teorema MaksimumMinimum 5.3.4 bahwa terda- pat titik-titik
*
c* dan c dalam I sedemikian sehingga
*
inf f(I) = f(c*) k f(c ) = sup f(I).

Sekarang kesimpulan mengikut pada Teorema 5.3.6.

Teorema berikut ini meringkaskan hasil utama dari pasal ini. Teorema ini
menyatakan bahwa peta dari suatu interval tertutup dan terbatas dibawah suatu fungsi
kontinu juga interval tertutup dan terbatas. Titik-titik ujung dari interval peta adalah nilai
maksimum mutlak dan minimum mutlak dari fungsi, dan pernyataan bahwa se mua nilai
antara nilai maksimum dan nilai minimum masuk dalam interval peta adalah suatu
cara dari pertimbangan Teorema Nilai Antara Bolzano.

5.3.8 Misalkan I = [a,b] suatu interval tutup dan terbatas. Misalkan pula f : I ⟶R
kontinu pada I. Maka himpunan f(I) = {f(x) : x ϵ I} adalah interval tutup dan ter- batas.
Bukti. Jika kita memisalkan m = inf f(I) dan M = sup f(I), maka mengetahui dari
Teorema Maksimum-Minimum 5.3.4 bahwa m dan M masuk dalam f(I). Selain itu, kita
mempunyai f(I) ⊆[m,M]. Di pihak lain, jika k sebarang unsur dari [m,M], maka menurut
Teotema Akibat sebelumnya bahwa terdapat suatu titik c ϵI sedemikian sehingga k = f(c).
Dari sini, k ϵ f(I) dan kita menyimpulkan bahwa [m,M] ⊆f(I). Oleh karena itu, f(I) adalah
interval [m,M].

GAMBAR 5.3.3 f(I) = [m,M]


Catatan. Jika I = [a,b] suatu interval dan f : I ⟶ R kontinu pada I, kita mem-
punyai bukti bahwa f(I) adalah interval [m,M]. Kita tidak mempunyai bukti (dan itu
tidak selalu benar) bahwa f(I) adalah interval [f(a),f(b)]. (ihat Gambar 5.3.3.)
Teorema sebelumnya adalah suatu teorema “pengawetan” dalam pengertian,
teorema ini menyatakan bahwa peta kontinu dari suatu interval tutup dan terbatas adalah
himpunan yang bertipe sama. Teorema berikut memperluas hasil ini untuk in- terval
secara umum. Akan tetapi, akan dicatat bahwa meskipun peta kontinu dari suatu
interval adalah juga suatu interval, tidak benar bahwa interval peta perlu mem- punyai
bentuk sama seperti interval domain. Sebagai contoh, peta kontinu dari interval buka
tidak perlu suatu interval buka, dan peta kontinu dari suatu interval tertutup tak terbatas
2
tidak perlu interval tertutup. Memang, jika f(x) = 1/(x + 1) untuk xϵ R, maka f kontinu
pada R [lihat Contoh 5.2.4(b)]. Mudah untuk melihat bahwa jika I1 = (-1,1), maka f(I1)
= (½,1], yang mana bukan suatu interval buka. Juga, jika I2 = [0, ∞), maka f(I2) = (0,1]
yang mana bukan interval tutup. (Lihat Gambar 5.3.4.)

2
GAMBAR 5.3.4 Grafik fungsi f(x) = 1/(x + 1) (x R)
Untuk membuktikan Teorema Pengawetan Interval 5.3.10, kita perlu lemma
pencirian interval berikut.

5.3.9 Lemma Misalkan S⊆R suatu himpunan tak kosong dengan sifat
(*) jika x,yϵS dan x < y, maka [x,y] ⊆ S.
Bukti. Kita akan menganggap bahwa S mempunyai sekurang-kurangnya dua titik.
Terdapat empat kasus untuk diperhatikan : (i) S terbatas, (ii) S terbatas diatas tetapi tidak
terbatas dibawah, (iii) ) S terbatas dibawah tetapi tidak terbatas diatas, dan (iv) S tidak
terbatas baik diatas maupun dibawah.
(i) Misalkan a = inf S dan b = sup S. Jika s ϵ S maka a ≤ s ≤b dengan demikian
s ϵ [a,b]; karena s ϵS sebarang, kita simpulkan bahwa S ⊆ [a,b].
Dipihak lain kita claim bahwa (a,b) ⊆S. Karena jika z ϵ (a,b), maka z
bukansuatu batas bawah dari S dengan demikian terdapat x ϵ S dengan x < z. Juga z
bukan suatu batas atas dari S dengan demikian terdapat y ϵ S dengan z < y.
Akibatnya, z ϵ[x,y] dan sifat (*) mengakibatkan zϵ [x,y]⊆S. Karena z unsur sebarang
dalam (a,b), maka disimpulkan bahwa (a,b)⊆ S.
Jika a∉S dan b∉ S, maka kita mempunyai S = (a,b); jika a ∉ S dan b ∈ S kita
mempunyai S = (a,b]; jika a∈S dan b ∉ S kita mempunyai S = [a,b); dan jika a ∈ S dan b
∈ S kita mempunyai S = [a,b].
(ii) Misalkan b = sup S. Jika s ∈ S maka s ≤ b dengan demikian kita mesti
mempunyai S ⊆ (- ∞,b]. Kita claim bahwa (-∞,b) S. Karena, jika z ∈ (-∞,b), argumen
yang diberikan (i) mengakibatkan terdapat x,y ∈ S sedemikian sehingga [x,y] ⊆S. Oleh
karena itu (-∞,b) ⊆ S. Jika b ∉ S, maka kita mempunyai S = (-∞,b); jika b ∈ S, maka kita
mempunyai S = (-∞,b].
(iii) Misalkan a = inf S dan memperlihatkan seperti dalam (ii). Dalam ka- sus ini
kita mempunyai S = (a, ∞) jika a ∉S, dan S = [a, ∞) jika a ∈ S.
(iv) Jika z∈R, maka argumen yang diberikan pada (i) mengakibatkan bahwa
terdapat x,y ∈ S sedemikian sehingga z ∈ [x,y] ⊆S. Oleh karena itu R ⊆ S, dengan
demikian S = (-∞,∞).
Jadi, dalam semua kasus, S merupakan suatu interval.

5.3.10 Teorema Pengawetan Interval Misalkan I suatu interval dan f : I→R


kontinu pada I. Maka himpunan f(I) merupakan suatu interval.
Bukti. Misalkan α , β ∈ f(I) dengan α < β; maka terdapat titik-titik a,b ∈I
sedemikian sehingga α = f(a) dan β = f(b). Selanjutnya, menurut Teorema Nilai
Antara Bolzano 5.3.6 bahwa jika k ∈ (α , β) maka terdapat suatu c ∈I dengan k =
f(c) ∈f(I). Oleh karena itu [α , β]⊆f(I), meninjukkan bahwa f(I) memiliki sifat (*) pada
lemma sebelumnya. Oleh karena itu f(I) merupakan suatu interval.
Latihan 5.3

1. Misalkan I = [a,b] dan f : I ⟶ R fungsi kontinu sedemikian sehingga f(x) > 0


untuk setiap x ∈I. Buktikan bahwa terdapat suatu α > 0 sedemikian sehingga f(x) ≥ α
untuk semua x ∈ I.
2. Misalkan I = [a,b] dan f : I ⟶ R dan g : I ⟶ R fungsi kontinu pada I. Tunjukkan
bahwa himpunan E = {x∈I : f(x) = g(x)} mempunyai sifat bahwa jika (xn) ⊆ E dan
xn ⟶ x0, maka x0 ∈ E.
3. Misalkan I = [a,b] dan f : I ⟶ R fungsi kontinu pada I sedemikian sehingga untuk
setiap x dalam I terdapat y dalam I sedemikian sehingga f(y) ≤ ½f(x). Buktikan
bahwa ter- dapat suatu titik c dalam I sedemikian sehingga f(c).
4. Tunjukkan bahwa setiap polinomial derajat ganjil dengan koefisien real mempunyai
paling sedikit akar real.

5. Tunjukkan bahwa polinomial p(x) = x4 + 7x3 – 9 mempunyai paling sedikit dua akar
real. Gunakan kalkulator untuk menemukan akar-akar ini hingga dua tempat desimal.
6. Misalkan f kontinu pada interval [0,1] ke R dan sedemikian sehingga f(0) = f(1).
Bukti- kan bahwa terdapat suatu titik c dalam [0,½] sedemikian sehingga f(c) = f(c +
½). [Petun- juk : Pandang g(x) = f(x) – f(x +½).] Simpulkan bahwa , sebarang waktu,
terdapat titik- titik antipodal pada equator bumi yang mempunyai temperatur yang
sama.
7. Tunjukkan bahwa persamaan x = cos x mempunyai suatu solusi dalam interval [0, π
/2]. Gunakan prosedur biseksi dalam pembuktian Teorema Pencarian Akar dan
kalkulator un- tuk menemukan suatu solusi oproksimasi dari persamaan ini, teliti
sampai dua tempat de- simal.
8. Misalkan I = [a,b] dan f : I ⟶R fungsi kontinu pada I dan misalkan f(a) < 0, f(b) >
0. Misalkan pula W = {x I : f(x) < 0}, dan w = sup W. Buktikan bahwa f(w) = 0. (Ini
memberikan suatu alternatif pembuktian Teorema 5.3.5.)

9. Misalkan I = [0, π /2], dan f : I ⟶ R didefinisikan oleh f(x) = sup {x2,cos x} untuk
x∈I. Tunjukkan terdapat suatu titik minimum mutlak x0 ∈ I untuk f pada I. Tunjukkan
bahwa x0 merupakan suatu solusi untuk persamaan cos x = x
lim f =0 dan lim f =0 .
10. Andaikan bahwa f : R ⟶R kontinu pada R dan bahwa x→−∞ x→ ∞

Buktikan bahwa f terbatas pada R dan mencapai maksimum atau minimum pada R.
Berikan contoh untuk menunjukkan bahwa maksimum dan minimum, keduanya,
tidak perlu dicapai.
11. Misalkan f : R⟶R kontinu pada R dan β ∈R. Tunjukkan bahwa jika x0 ∈R
sedemikian sehingga f(x0) <β, maka terdapat suatu lingkungan- δU dari x0
sedemikian sehingga f(x) < β untuk semua x ∈U.

12. Ujilah bahwa interval-interval buka [atau, tutup] dipertakan oleh f(x) = x2 untuk x∈
R pada interval-interval buka [atau, tutup].
13. Ujilah pemetaan dari interval-interval buka [atau, tutup] dibawah fungsi-fungsi g(x)

= 1/(x2 + 1) dan h(x) = x3 untuk x ∈ R.


14. Jika f : [0,1]⟶ R kontinu dan hanya mempunyai nilai-nilai rasional [atau, nilai-
nilai irasional], mesti f fungsi konstan.
15. Misalkan I = [a,b] dan f : I ⟶ R suatu fungsi (tidak perlu kontinu) dengan sifat
bahwa untuk setiap x ∈I, fungsi f terbatas pada suatu lingkungan V δ ( x) dari x (dalam
x

pengertian pada Definisi 4.2.1). Buktikan bahwa f terbatas pada I.


16. Misalkan J = (a,b) dan g : J⟶ R fungsi kontinu dengan sifat bahwa untuk setiap x ∈
J fungsi g terbatas pada suatu lingkungan V δ ( x) dari x. Tunjukkan bahwa g tidak
x

perlu terbatas pada J.

PASAL 5.4 Kekontinuan


Seragam
Misalkan A ⊆R dan f : A⟶ R. Telah dilihat pada Teorema 5.1.3 bahwa pern-
yataan-pernyataan berikut ini ekivalen :
(i) f kontinu pada setiap titik u ∈ A;
(ii) diberikan ε > 0 dan u ∈ A, terdapat δ ¿,u) > 0 sedemikian sehingga untuk
semua x ∈ A dan |x−u| < δ ¿,u) , maka |f ( x) – f (u)| < ε .

Suatu hal kita ingin menekankan disini bahwa, secara umum, δ bergantung pada ε
> 0 dan u ∈A. Fakta bahwaδ bergantung pada u adalah suatu refleksi bahwa fungsi f dapat
diubah nilai-nilainya dengan cepat dekat titik-titik tertentu dan dengan lambat dekat
dengan nilai-nilai lain. [Sebagai contoh, pandang f(x) = sin(1/x) untuk x > 0; lihat Gambar
4.1.3.]
Sekarang, sering terjadi bahwa fungsi f sedemikian sehingga δ dapat dipilih tidak
bergantung pada titik u ∈A dan hanya bergantung pada ε . Sebagai contoh, jika f(x) = 2x
untuk semua x ∈ R, maka|f ( x) – f (u)| = 2|x−u| dan dengan demikian kita dapat memilih
δ ¿ ,u) = ε /2 untuk semua ε > 0, u ∈ R (Mengapa?)
Di pihak lain jika kita memandang g(x) = 1/x unuk x ∈ A {x ∈R : x > 0}, maka (1)
u−x
g ( x )−g ( u )=
ux

Jika u ∈ A diberikan dan jika kita memilih

2
(2) δ ¿ ,u) = inf {½u, ½u ε },

2 jika |x−u| < δ ¿,u) kita mempunyai |x−u| < ½u dengan demikian ½u < x <
3
maka u,
2
dimana berarti bahwa 1/x < 2/u. Jadi, jika |x−u| < ½u, ketaksamaan (1)
menghasilkan ketaksamaan

2
(3) |g ( x )−g ( u )|≤ (2/u )|x−u|

Akibatnya, jika |x−u| < δ ¿,u) ,ketaksamaan (3) dan definisi (2) mengakibatkan
|g ( x )−g ( u )| < (2/u2)(½u2 ε ) =ε

Kita telah melihat bahwa pemilihan δ ¿,u) oleh formula (2) “works” dalam pengertian
bahwa pemilihan itu memungkinkan kita untuk memberikan nilai δ yang akan men-
jamin bahwa |g ( x )−g ( u )|< ε apabila |x−u|< δ dan x,u ∈ A. Kita perhatikan bahwa nilai
δ ¿,u) yang diberikan pada (2) tidak memunculkan satu nilai δ ¿) > 0 yang akan “work”
untuk semua u > 0 secara simultan, karena inf{ δ ¿,u): u > 0} = 0.
GAMBAR 5.4.1 g(x) = 1/x (x > 0)
Suatu tanda bagi pembaca akan mempunyai pengamatan bahwa terdapat pili-
han lain yang dapat dibuat untuk δ. (Sebagai contoh kita juga dapat memilih

δ 1 ( ε ,u ) =inf {13 u , 23 u ε }. Sebagaimana pembaca dapat tunjukkan; akan tetapi kita masih
2

mempunyai inf{δ 1 ( ε ,u ) : u > 0} = 0.) Kenyataannya, tidak ada cara pemilihan satu
nilai δ yang akan “work” untuk semua u > 0 untuk fungsi g(x) = 1/x, seperti kita akan
lihat .
Situasi di atas diperlihatkan secara grafik dalam Gambar 5.4.1 dan 5.4.2 di- mana,
untuk lingkungan- ε yang diberikan sekitar f(2) = ½ dan f(½) = 2, sesuai den- gan nilai
maksimum dari δ terlihat sangat berbeda. Seperti u menuju 0, nilai δ yang diperbolehkan
menuju 0.
5.4.1 Definisi Misalkan A ⊆R dan f : A⟶ R. Kita katakan f kontinu
seragam pada A jika untuk setiap ε > 0 terdapat δ(ε) > 0 sedemikian sehingga jika x,u
∈A sebarang bilangan yang memenuhi x - u < δ(ε), maka f(x) – f(u) < ε .
Ini jelas bahwa jika f kontinu seragam pada A, maka f kontinu seragam pada setiap
titk dalam A. Akan tetapi, secara umum konversnya tidak berlaku, sebagaimana telah
ditunjukkan oleh fungsi g(x) = 1/x pada himpunan A = {x ∈ R : x > 0}.
Pengertian di atas berguna untuk memformulasi syarat ekuivalensi untuk
mengatakan bahwa f tidak kontinu seragam pada A. Kita akan memberikan kriteria
demikian dalam hasil berikut, ditinggalkan pembuktiannya seagai latihan bagi pembaca.

5.4.2 Kriteria Kekontinuan tidak Seragam Misalkan A⊆R dan f : A ⟶ R.


Maka pernyataan-pernyataan berikut ini ekuivalen
(i) f tidak kontinu seragam pada A;
(ii) Terdapat ε 0 > 0 sedemikian sehingga untuksetiap δ > 0 terdapat titik- titik x , u
dalam A sedemikian sehingga  x δ−u δ  < δ dan f(x ) – f(u ) ≥ ε 0.
(iii) Terdapat ε 0 > 0 dan dua barisan (xn) dan (un) dalam A sedemikian se- hingga lim
(xn – un) = 0 dan f(xn) – f(un) ≥ ε 0untuk semua n ∈ N.
Kita dapat menggunakan hasil ini untuk menunjukkan bahwa g(x) = 1/x kontinu tidak
seragam pada A = {x ∈R : x > 0}. Karena, jika xn = 1/n dan un = 1/(n + 1), maka kita
mempunyai lim (xn – un) = 0, tetapi g(x) – g(u) = 1 untuk semua n∈N.

GAMBAR 5.4.1 g(x) = 1/x (x > 0)


Sekarang kita menyajikan suatu hasil penting yang menjamin bahwa suatu
fungsi kontinu pada interval tertutup dan terbatas I adalah kontinu seragam pada I.

5.4.3 Teorema Kekontinuan Seragam Misalkan I suatu interval tutup dan


terbatas dan f : I ⟶ R kontinu pada I. Maka f kontinu seragam pada I.

Bukti. Jika f tidak kontinu seragam pada I maka menurutn hasil sebelumnya,
terdapat ε 0 > 0 dan dua barisan (xn) dan (un) dalam A sedemikian sehingga xn - un
<1/n dan f(xn) – f(un) > ε 0 untuk semua n ∈ N. Karena I terbatas, barisan (xn) terbatas;
menurut Teorema Bolzano-Weierstrass 3.4.7 terdapat subbarisan ( x ) dari (xn) yang
konvergen ke suatu unsur z. Karena I tertutup, limit z masuk dalam I, menurut Teorema
3.2.6. Ini jelas bahwa subbarisan yang bersesuaian ( u ) juga konvergen ke z,
K karena
|u n −z|≤|u n −x n |+|x n −z|
k k k k

Sekarang jika f kontinu pada titik z, maka barisan (f(xn)) dan (f(un)) mesti

konvergen ke f(z). Akan tetapi ini tidak mungkin karena


|f ( x n) −f (un )|≥ ε 0
untuk semua n ∈N. Jadi hipotesis bahwa f tidak kontinu seragam pada interval
tutup dan terbatas I mengakibatkan f tidak kontinu pada suatu titik z ∈I. Akibatnya, jika f
kontinu pada setiap titik dalam I, maka f kontinu seragam pada I.

Fungsi-fungsi Lipschitz
Jika suatu fungsi kontinu seragam diberikan pada suatu himpunan yang meru-
pakan interval tidak tertutup dan terbatas, maka kadang-kadang sulit untuk menun- jukkan
kekontinuan seragamnya. Akan tetapi, terdapat suatu syarat yang selalu terjadi yang cukup
untuk menjamin kekontinuan secara seragam.

5.4.4 Definisi Misalkan A ⊆ R dan f : A⟶R. Jika terdapat suatu konstanta K >
0 sedemikian sehingga f(x) – f(u) ≤ Kx - u untuk semua x,u ∈ A, maka f
dikatakan fungsi Lipschitz (atau memenuhi syarat Lipschitz) pada A.
Syarat bahwa suatu fungsi f : I ⟶ R pada suatu interval I adalah fungsi
Lipschitz dapat diinterpretasi secara geometri sebagai berikut. Jika kita menuliskan
syaratnya sebagai
¿
maka kuantitas dalam nilai mutlak adalah kemiringan segmen garis yang melalui
titik-titik (x,f(x)) dan (u,f(u)). Jadi, suatu fungsi f memenuhi syarat Lipschitz jika dan
hanya jika kemiringan dari semua segmen garis yang menghubungkan dua titik pada
grafik y = f(x) pada I terbatas oleh suatu K.

5.4.5 Teorema Jika f : A ⟶ R suatu fungsi Lipschitz, maka f kontinu seragam


pada A.
Bukti. Jika syarat Lipschitz dipenuhi dengan konstanta K, maka diberikan ε > 0

sebarang, kita dapat memilih δ = ε /K. Jika x,u ∈ A dan memenuhi x - u< δ ,
makaf(x) – f(u) < K( ε /K) = ε Oleh karena itu, f kontinu seragam pada A.

5.4.6 Contoh-contoh
2
a) Jika f(x) = x pada A = [0,b], dimana b suatu kon- stanta positif, maka f(x) – f(u) =
x + ux -u ¿ 2bx - uuntuk semua x,u dalam [0,b]. Jadi f memenuhi
syarat Lipschitz dengan konstanta K = 2b pada A, dan oleh karena itu f kontinu
seragam pada A. Tentu saja, karena f kontinu pada A yang merupakan interval tertutup
dan terbatas, ini dapat juga disimpulkan dari Teorema Kekontinuan Seragam.
(Perhatikan bahwa f tidak memenuhi kondisi Lipschitz pada interval [0, ∞ ).
b) Tidak semua fungsi yang kontinu seragam merupakan fungsi Lipschitz. Misalkan g(x)
= x untuk x dalam interval tertutup dan terbatas I = [0,2]. Karena g kontinu pada I,
maka menurut Teorema Kekontinuan Seragam 5.4.3, g kontinu seragam pada I.
Akan tetapi, tidak terdapat bilangan K > 0 sedemikian sehingga g(x) ¿

Kx untuk semua x ∈ I. (Mengapa tidak?) Oleh karena itu, g bukan suatu fungsi
Lipschitz pada I.
c) Teorema Kekontinuan Seragam dan Teorema 5.4.5 kadang-kadang dapat
dikombinasikan untuk memperlihatkan kekontinuan seragam dari suatu fungsi pada
suatu himpunan. Kita pandang g(x) = x pada himpunan A = [0, ∞ ). Kekontinuan
seragam dari g pada interval I = [0,2] mengikuti Teorema Kekontinuan Seragam
seperti dicatat dalam (b). Jika J = [1, ∞ ), maka jika x dan u dalam J, kita mempunyai
|x −u| 1
|g ( x )−g(u)|=|√ x−√u|= ≤ |x−u|
√ x+ √u 2
Jadi g suatu fungsi Lipschitz pada J dengan konstanta K = ½, dan dari sini menurut
Teorema 5.4.5, g kontinu seragam pada [1, ∞ ). Karena A= I ¿ J, ini berarti

[dengan pemilihan δ ( ε )= inf{1, δ I( ε ), δ J( ε )}] bahwa g kontinu


seragam pada A. Kita tinggalkan detailnya untuk pembaca.
Teorema Perluasan Kontinu
Kita telah melihat fungsi yang kontinu tapi tidak kontinu seragam pada inter- val
buka; sebagai contoh, fungsi f(x) = 1/x pada interval (0,1). Di pihak lain, dengan Teorema
Kekontinuan Seragam, suatu fungsi yang kontinu pada interval tutup dan terbatas selalu
kontinu seragam. Dengan demikian muncul pertanyaan: Syarat apa yang diperlukan
suatu fungsi untuk kontinu seragam pada suatu interval buka? Jawa- bannya menampakkan
kekuatan dari kekontinuan seragam, karena akan ditunjukkan bahwa suatu fungsi pada
(a,b) kontinu seragam jika dan hanya jika dapat didefinisi- kan pada titik-titik ujung untuk
menghasilkan suatu fungsi yang kontinu pada interval tertutup. Pertama=tama kita akan
menunjukkan suatu hasil sebagai teorema berikut.

5.4.7 Teorema Jika f : A → R kontinu seragam pada suatu A ⊆ R dan jika


(xn) barisan Cauchy dalam A, maka (f(xn)) barisan Cauchy dalam R.
Bukti. Misalkan (xn) barisan Cauchy dalam A, dan ε > 0 diberikan. Pertama- tama pilih
δ > 0 sedemikian sehingga jika x,u dalam A memenuhi x - u < δ , maka f(x) –

f(u) < ε . Karena (xn) barisan Cauchy, maka terdapat H( δ ) sedemikian se-

hingga xn - xm< δ untuk semua n,m >H( δ ). Dengan pemilihan δ , ini

mengakibat- kan bahwa untuk n,m > H( δ ), kita mempunyai f(xn) – f(xm) < ε .
Oleh karena itu ba- risan (f(xn)) barisan Cauchy.

Hasil di atas memberikan kita suatu cara alternatif dalam melihat bahwa f(x) =1/x
tidak kontinu seragam pada (0,1). Kita perhatikan bahwa barisan yang diberikan oleh xn =
1/n dalam (0,1) merupakan barisan Cauchy, tetapi barisan petanya, dimana f(xn) = n untuk
semua n ∈ N bukan barusan Cauchy.

5.4.8 Teorema Perluasan Kontinu Suatu fungsi f kontinu seragam pada interval (a,b)
jika dan hanya jika f dapat didefinisikan pada titik-titik ujung a dan b sedemikian sehingga
fungsi perluasannya kontinu pada [a,b].

Bukti. Suatu fungsi yang kontinu seragam pada [a,b] tentu saja kontinu pada
(a,b), dengan demikian kita hanya perlu membuktikan implikasi sebaliknya.

Misalkan f kontinu seragam pada (a,b). Kita akan menunjukkan bagaimana

memperluas f ke a; argumen untuk b dilakukan dengan cara yang sama. Ini dilakukan

dengan menunjukan bahwa lim


x →c
f ( x )=L ada, dan ini diselesaikan dengan penggunaan

gunaan Kriteria Sekuensial untuk limit. Jika (xn) barisan dalam (a,b) dengan lim (xn) = a,
maka barisan ini barisan Cauchy, dan dengan demikian konvergen menurut Teorema 3.5.4.
Jadi lim (f(xn)) = L ada. Jika (un) sebarang barisan lain dalam (a,b) yang konvergen ke a,
maka lim (un - xn) = a – a = 0, dengan demikian oleh kekontinuan seragam dari f kita
mempunyai
Lim (f(un)) = lim (f(un) – f(xn)) + lim (f(xn)) = 0 + L = L.

Karena kita memperoleh nilai L yang sama untuk sebarang barisan yang konvergen
ke a, maka dari Kriteria Sekuensial untuk limit kita menyimoulkan bahwa f mempunyai
limit L pada a. Argumen yang sama digunakan untuk IbI, dengan demikian kita simpulkan
bahwa f mempunyai perluasan kontinu untuk interval [a,b]. Karena lim dari f(x) = sin(1/x)
pada 0 tidak ada, kita menegaskan dari Teorema Perluasan Kontinu bahwa fungsi ini

1
tidak kontinu seragam pada (0,b] untuk sebarang b > 0. Di pihak lain, karena lim x sin =0
x →0 x
ada, maka fungsi g(x) = x sin (1/x) kontinu seragam pada (0,b) untuk semua b > 0.
Aproksimasi
Dalam banyak aplikasi adalah penting untuk dapat mengaproksimasi fungsi-fungsi
kontinu dengan suatu fungsi yang memiliki sifat-sifat dasar. Meskipun terdapat variasi
definisi yang dapat digunakan untuk membuat kata “aproksimasi” lebih tepat, satu
diantaranya yang sangat alami (dan juga salah satu yang terpenting) adalah memaksa
bahwa setiap titik dari domain yang diberikan, fungsi aproksimasinya akan tidak
berbeda dari fungsi yang diberikan dengan lebih kecil dari kesalahan yang ditentukan.

5.4.9 Definisi Misalkan I ⊆ R suatu interval dan s : I → R. Maka s


dinamakan fungsi tangga jika s hanya mempunyai sejumlah hingga nilai-nilai yang
berbeda, setiap nilai diberikan pada satu atau lebih interval dalam I.
Sebagai contoh , fungsi s : [-2,4] → R didefinisikan oleh

0 ,−2 ≤ x ←1

{
1 ,−1≤ x ≤ 0
1
, 0< x< 1/2
2
s ( x )≔
1
3 , ≤ x< 1
2
−2 ,1 ≤ x ≤3
2 ,3< x ≤ 4

merupakan fungsi tangga. (Lihat Gambar 5.4.3)


y

[
(
[ x

GAMBAR 5.4.3 Grafik y = s(x)


Sekarang kita akan menunjukkan bahwa suatu fungsi kontinu pada suatu
interval tertutup dan terbatas I dapat diaproksimasi secara sebarang dengan fungsi tangga.

5.4.10 Teorema Misalkan I interval tertutup dan terbatas. Misalkan pula f : I

→ R kontinu pada I. Jika ε >0, maka terdapat suatu fungsi tangga sε :I → R

sedemikian sehingga f(x) -


s ε (x) < ε untuk semua x ∈ I.
Bukti. Karena fungsi f kontinu seragam (menurut Teorema Kekontinuan Seragam 5.4.3),

maka itu berarti bahwa diberikan ε > 0 terda- pat δ (ε) > 0 sedemikian sehingga jika
x,y ∈ I dan x - y< δ (ε) , maka f(x) – f(y)< ε . Misalkan I = [a,b] dan m ∈ N

cukup besar dengan demikian h = (b – a)/m < δ (ε) . Sekarang kita membagi I = [a,b] ke
dalam m interval saling lepas yang panjangnya h; yaitu I1 = [a,a+h], dan Ik = (a+(k-

1)h,a+kh] untuk k = 2, … ,m. Karena panjang setiap subinterval Ik adalah h < δ (ε) ,
maka selisih antara dua nilai dari f dalam Ik lebih kecil dari . Sekarang kita definisikan

(5)
s ε (x) = f(a + kh) untuk x ∈ Ik, k = 1, …

,m, dengan demikian


s ε adalah konstanta pada setiap interval I . (Kenyataannya
k

bahwa nilai dari


s ε pada I adalah nilai dari f pada titik ujung dari I , Lihat Gambar
k k

5.4.4.)

Akibatnya jika x ∈ Ik, maka f(x) - s ε (x) = f(x) - f(a + kh) < ε Oleh karena

itu kita mempunyai f(x) -


sε (x) < ε untuk semua x ∈ I.

GAMBAR 5.4.4 Aproksimasi dengan fungsi tangga

Perhatikan bahwa pembuktian dari teorema sebe- lumnya agak lebih dibandingkan
dengan pernyataan dalam teorema. Pada ken- yataannya kita telah membuktikan
pernyataan berikut.

5.4.11 Akibat Misalkan I = [a,b] interval tutup dan terbatas, dan f : I → R


kontinu pada I. Jika ε > 0, maka terdapat bilangan asli m sedemikian sehingga jika kita

membagi I dalam m interval saling lepas Ik yang mem- punyai panjang h = (b – a)/m,
maka fungsi tangga s didefinisikan pada (4) memenuhi f(x) - s (x) < ε untuk semua x
∈ I.
Fungsi tangga merupakan fungsi yang memiliki karakter dasar, akan tetapi tidak
kontinu (kecuali dalam kasus trivial). Karena itu ser- ing diperlukan sekali untuk
mengaproksimasi fungsi-fungsi kontinu dengan fungsi kontinu sederhana, bagaimana kita
akan menunjukkan bahwa kita dapat mengaprok- simasi fungsi-fungsi kontinu dengan
fungsi linear kontinu piecewise (potong demi potong).

5.4.12 Definisi Misalkan I = [a,b] suatu interval. Maka suatu fungsi g : I → R


dikatakan linear potong demi potong pada I jika I me- rupakan gabungan dari sejumlah
hingga interval saling lepas I1, … Im, sedemikian se- hingga pembatasan dari g untuk
setiap interval Ik merupakan fungsi linear.

Remark. Jelas bahwa agar suatu fungsi linear potong demi potong g kontinu
pada I, segmen garis yang membentuk grafik g bertemu pada titik-titik ujung dari
subinterval yang berdekatan Ik dan Ik + 1k + 1 (k = 1, … , m-1)

5.4.13 Teorema Misalkan I suatu interval tutup dan terbatas, dan f : I → R


kontinu pada I. Jika ε > 0, maka terdapat suatu fungsi lin- ear potong-demi-potong

kontinu
gε : I → R sedemikian sehingga f(x) - gε (x)< ε untuk semua x ∈ I.
Bukti. Karena fungsi f kontinu seragam pada I = [a,b] maka itu berarti bahwa diberikan
ε >0 terdapat δ ( ε )> 0 sedemikian sehingga jika x,y ∈ I dan x - y < δ (
ε ), maka f(x) – f(y)< ε . Misalkan m ∈ N cukup besar dengan demikian h = (b –

a)/m < δ ( ε ). Sekarang kita membagi I = [a,b] ke dalam m interval saling lepas yang
panjangnya h; yaitu I1 = [a,a + h], dan Ik = (a + (k-1)h,a + kh] untuk k = 2, … ,m. Pada

setiap interval Ik kita definisikan


gε fungsi linear yang menghubungkan titik-titik (a +

(k – 1)h,f(a + (k – 1)h) dan (a + kh,f(a+ kh)).


Maka
gε fungsi linear potong-demi-potong kontinu pada I. Karena, untuk x ∈

Ik nilai f(x) tidak lebih dari dari f(a + (k –1)h) dan f(a + kh), ditinggalkan sebagai latihan
pembaca untuk menunjukkan bahwa f(x) - g (x) < ε untuk semua x ∈ Ik; oleh karena
itu ketaksamaan ini berlaku untuk semua x ∈ I. (Lihat Gambar 5.4.5.)

GAMBAR 5.4.5 Aproksimasi oleh fungsi linear potong-demi-potong

Kita akan menutup pasal ini dengan mengemu- kakan teorema penting dari
Weierstrass mengenai aproksimasi fungsi-fungsi kontinu dengan fungsi polinimial. Seperti
diharapkan, agar memperoleh suatu aproksimasi tidak lebih dari suatu ε > 0 yang

ditentukan, kita mesti bersedia untuk menggunakan polinomial sebarang derajat tinggi.

5.4.14 Teorema Aproksimasi Weierstrass Mis alkan I = [a,b] dan misalkan f :


I → R kontinu. Jika ε > 0 diberikan, maka terdapat suatu fungsi polinimial pε

sedemikian sehingga f(x) -


pε (x) < ε untuk semua x ∈ I.
Terdapat sejumlah pembuktian dari teorema ini. Sayangnya, semua pembyktiian
itu agak berbelit-belit, atau memakai hasil-hasil yang belum pada pengerjaan kita. Salah
satu pembuktian yang paling elementer berdasar- kan pada teorema berikut yang
dikemukakan oleh Serge Bernsteîn, untuk fungsi kon- tinu pada [0,1]. Diberikan f : [0,1]
→ R, Bernsteîn mendefinisikan barisan polynomial
n
B n ( x )=∑ f
k =0
( kn )( nk ) x (1−x )
k n−k

(5)
Fungsi polinomial Bn, yang didefinisikan dalam (5) dinamakan polinomial Bernsteîn ke-
n untuk f; ini adalah suatu polinomial derajat aling tinggi n dan koefisien-
1 2 k
koefisiennya bergantung pada nilai dari fungsi f pada n + 1 titik 0 , , , … , , 1 .
n n n
dan koefisien-koefisien binomial
n n!
() =
k k ! ( n−k ) !
5.4.15 Teorema Aproksimasi Bernsteîn Misal- kan f : [0,1] → R fungsi

konttinu dan misalkan ε > 0. Terdapat n ∈ N sedemikian se hingga jika n ¿ nε ,


maka kita mempunyai f(x) – Bn(x) < ε untuk semua x ∈ [0,1].

Bukti. Pembuktian Teorema ini diberikan dalam Elements of Analysis Real, H. 169-

172. Disana ditunjukkan bahwa jika δ (ε) > 0 sedemikian sehingga f(x) – f(y) < ε

untuk semua x,y ∈ [0,1] dengan x - y < δ (ε) , dan jika M ¿ f(x) untuk semua x
[0,1], maka kita dapat memilih

(6)
nε =sup{( δ ( ε
-4 2
/2) ,M / ε 2}.

Menaksir (6) memberikan informasi tentang seberapa besar n yang mesti kita
pilih agar Bn mengaproksimasi f tidak melebihi ε .Teorema Aproksimasi Weierstrass
5.4.14 dapat diperoleh dari Teorema Aproksimasi Bernsteîn 5.4.15 dengan suatu
pengubahan variabel. Secara khusus, kita ganti f : [a,b] → R dengan fungsi F : [0,1]

→ R yang didefinisikan oleh

F(t) = f(a + (b – a)t) untuk t ∈ [0,1].


Fungsi F dapat diaproksimasi dengan polinmial Bernsteîn untuk F pada interval
[0,1], yang mana selanjutnya menghhasilkan polinomial pada [a,b] yang mengaproksimasi
f.

Latihan 5.4
1. Tunjukkan bahwa fungsi f(x) = 1/x kontinu seragam pada himpunan A = [a, ∞ ),
dimana a suatu konstanta positif.
2
2. Tunjukkan bahwa fungsi f(x)=1/x kontinu seragam pada A = [1, ∞ ), tetapi tidak
kontinu seragam pada B = (0, ∞ ).
3. Gunakan Kriteria Kekontinuan Tak-Seragam 5.4.2 untuk menunjukkan bahwa
fungsi-fungsi berkut ini tidak kontinu seragam pada himpunan yang diberikan.
2
(a) f(x) = x A =[0, ∞ );
(b) g(x) = sin(1/x) B = (0, ∞ ).
2
4. Tunjukkan bahwa fungsi f(x) = 1/(1 + x ) untuk x ∈ R kontinu seragam pada R
5. Tunjukkan bahwa jika f dan g kontinu seragam pada A ⊆ R, maka f + g juga kon-
tinu seragam pada A.
6. Tunjukkan bahwa jika f dan g kontinu seragam pada A ⊆ R dan jika kedua-duanya
terbatas pada A, maka hasil kali fg juga fungsi kontinu seragam.
7. Jika f(x) = x dan g(x) = sin x, tunjukkan bahwa f dan g kontinu seragam pada R, tetapi
hasil kali fg tidak kontinu seragam pada R.
8. Buktikan bahwa jika f dan g masing-masing kontinu seragam pada R maka fungsi
komposisinya f o g juga kontinu seragam pada R.
9. Jika f kontinu seragam pada A ⊆ R, dan f(x) ¿ k > 0 untuk semua x ∈ A,
tunjuk- kan bahwa 1/f kontinu seragam pada A.
10. Buktikan bahwa jika f kontinu seragam pada suatu himpunan A ⊆ R yang terbatas,
maka f terbatas pada A.
11. Jika g(x) = x untuk x [0,1], tunjukkan bahwa tidak terdapat suatu konstanta K
sedemikian sehingga g(x) ¿ Kx untuk semua x ∈ [0,1]. Berikan kesimpulan
bahwa g kontinu seragam yang tidak merupakan fungsi Lipschitz pada [0,1].
12. Tunjukkan bahwa jikaf kontinu pada [0, ∞ ) dan kontinu seragam pada [a, ∞ )
untuk suatu konstanta positif a, maka f kontinu seragam pada [0, ∞ ).
13. Misalkan A ⊆ R dan f : A → R memiliki difat: untuk setiap ε > 0 terdapat suatu

fungsi
gε : A → R sedemikian sehingga g kontinu seragam pada A dan f(x) -
gε (x) < ε untuk semua x A. Buktikan bahwa f kontinu seragam pada A.
14. Suatu fungsi f : R → R dikatakan fungsi periodik pada A jika terdapat suatu
bilangan p > 0 sedemikian sehingga f(x + p) = f(x) untuk semua x ∈ R. Buktikan
bahwa suatu fungsi periodik kontinu pada R adalah terbatas dan kontinu seragam pada
R.
15. Jika f0(x) = 1 untuk x ∈ [0,1], Hitunglah beberapa polinomial pertama Bernsteîn
untuk f0.Tunjukkan bahwa polinomial ini serupa dengan f0. [Petunjuk: Teorema

n
Binomial menyatakan bahwa (a+ b) =∑
n

k=0
(nk) a b
k n−k

16. Jika f1(x) = x untuk x ∈ [0,1], Hitunglah beberapa polinomial pertama Bernsteîn
untuk f1.Tunjukkan bahwa polinomial ini serupa dengan f1.
2
17. Jika f2(x) = x untuk x ∈ (0,1), Hitunglah beberapa polinomial pertama Bernsteîn
2
untuk f2.Tunjukkan bahwa Bn(x) = (1 –1/n)x + (1/n)x.
18. Gunakan hasil latihan sebelumnya untuk f2, seberapa besarnya n sedemikian se-
hingga polinomial Bernsteîn ke-n Bn untuk f2 memenuhi f2(x) – Bn(x) ¿ 0,001
untuk semua x ∈ [0,1].
Pasal 5.5 Fungsi Monoton dan Fungsi Invers

Ingat kembali jika A ⊆R , maka fungsi f : A→ R dikatakan naik pada A jika

untuk setiap
x 1 ,x 2 ∈ A dengan
x 1≤x 2 berlaku f (x 1 )≤f ( x 2 ) . Fungsi f dikatakan

naik secara murni pada A jika untuk setiap


x 1 ,x 2 ∈ A dengan
x 1 <x 2 berlaku

f (x 1 )<f (x 2 ) . Demikian juga g : A →R dikatakan turun pada A jika untuk setiap

x 1 ,x 2 ∈ A dengan
x 1≥x 2 berlaku g( x 1 )≥g ( x 2 ) . Fungsi g dikatakan turun secara

murni pada A jika untuk setiap


x 1 ,x 2 ∈ A dengan x 1 >x 2 berlaku g( x 1 )>g( x 2 ) .

Jika suatu fungsi naik atau turun pada A, amak kita katakan fungsi tersebut monoton
pada A. Jika F fungsi naik murni atau turun murni pada A, kita katakan bahwa f monoton
murni pada A.

Kita perhatikan bahwa jika f : A→ R naik pada A maka g=−f trun pada A,

demikian juga jika φ : A→ R turun pada A, maka ψ=−φ naik pada A.


Dalam pasal ini, kita akan bekerja dengan fungsi-fungsi monoton yang didefenisikan

pada suatu interval I ⊆ R . Kita akan mendiskusikan fungsi-fungsi naik secara


eksplisit, tetapi itu jelas bahwa terdapat persesuaian hasil untuk fungsi-fungsi turun.
Hasil-hasil ini dapat diperoleh secara langsung dari hasil-hasil untuk funsi-fungsi naik
atau dibuktikan dengan argumen yang serupa.

Fungsi monotn tidak perlu kontinu. Sebagai contoh, jika f (x )=0 untuk

x∈ [ 0,1 ] dan f (x )=1 untuk x∈(1,2] , maka f merupakan fungsi naik pada [ 0,1 ] ,
tetapi tidak kontinu pada x =1. Akan tetapi hasil berikut ini menunjukkan bahwa suatu
fungsi monoton selalu mempunyai limit -limit sepihak baik limit pihak kiri maupun pihak
kanan (lihat definisi 4.3.1) dalam R pada setiap titik yang bukan titik ujng dari
domainnya.

5.5.1 Teorema Misalkan I⊆R suatu interval dan f : I →R naik pada I.

Andaikan bahwa c∈ I bukan titik ujung dari I. Maka

lim f =sup { f ( x ): x ∈ I , x <c }


i. x →c

lim f =sup { f ( x ): x ∈ I , x >c }


ii. x →c

Bukti. Pertama-tama kita perhatikan jika x∈ I dan x< c maka f (x )≤f (c ) . Dari

sini himpunan { f (x ): x ∈ I , x <c } , yang mana tidak kosong karena c bukan titik ujung
dari I, terbata atas oleh f(c). Jadi ini menunjukan bahwa supremunnya ada, kita simbolkan

dengan L. Jika ε> 0 diberikan L−ε bukan suatu batas atas dari himpunan ini. Dari

sini terdapat
y ε ∈ I , y ε <c sedimikan sehingga L−ε<f ( y )≤L . Karena f fungsi naik,

kita simpulkan bahwa jika δ (ε)=c− y ε dan jika 0<c − y< δ( ε ) maka
y ε < y <c
dengan demikian

L−ε<f ( y )≤f ( y )≤L


Oleh karena itu |f ( y)−L|<ε bila 0<c − y< δ( ε ) . Karena ε> 0 sebarang, kita
katakan bahwa (i) berlaku.

Pembuktian bagian (ii) dilakukan dengan cara serupa.

Hasil berikut memberikan kriteria untuk kekontinuan dari fungsi naik f pada suatu
titik c yang b ukan titik ujung interval pada mana f didefinisikan.

5.5.2 Akibat Misalkan I⊆R suatu interval dan f : I →R naik pada I.

Andaikan bahwa c∈ I bukan titik ujung dari I. Maka pernyataan-pernyataan berikut


ini ekuivalen

a. f kontinu pada c
lim f =f (c )= lim f
b. x → c− x →c +

c. sup { f ( x ): x ∈ I , x <c }=f (c )=inf { f ( x ): x ∈ I , x>c }


Pembuktian mudah, tinggal mengikuti Teorema 5.5.1 dan 4.3.3. Kita tinggalkan
detailnya untuk pembaca.

Misalkan I suatu interval dan f : I →R suatu fungsi naik. Jika a titik ujung kiri
dari I, maka merupakan suatu latihan untuk menunjukan bahwa f kontinu pada a jikan
dan hanya jika

f (a)=inf { f ( x ): x ∈ I , a<x }

lim f
Atau jika hanya jika x → a+ . Syarat yang serupa diterapkan pada suatu titik ujung kanan dari I,
dan untuk fungsi-fungsi turun.
GAMBAR 5.5.1 lompatan dari f pada c

Jika f : I →R fungsi naik pada I dan jika c bukan suatu titik ujung dari I, kita

jf (c )= lim f − lim f
definisikan lompatan dari f pada c sebagai x →c + x → c− . (lihat gambar
5.5.1.) Mnegikuti Teorema 5.5.1 bahwa

jf (c)=inf { f ( x ): x ∈i . x >c }−sup { f ( x ): x ∈ i. x<c }

Untuk fungsi naik. Jika titik ujung kiri a dari I masuk dalam I, kita mendefinisikan lompatan

jf (a )= lim f −f (a )
dari f pada a menjadi x →a+ . Jika titik ujung kanan b dari I masuk dalam I,

jf (b )=f ( b)− lim f


kita mendefinisikan lompatan dari f pada b menjadi x → a+ .

5.5.3 Teorema Misalkan I⊆R suatu interval dan f : I →R naik pada I.

Jika c∈ I , maka f kontinu pada c jika dan hanya jika jf (c)=0

Bukti. Jika c bukan suatu titik ujung, ini secara mudah mengikuti Akibat 5.5.2. Jika

f ( c )= lim f
c∈ I titik kiri ujung dari I, maka f kontinu pada c jika dan hanya jika x →c + ,

yang mana ekuivalen dengan jf (c)=0 . Cara serupa juga dapat diperoleh untuk kasus
c∈ I titik ujung kan dari I.

Sekarang kita akan menunjukan bahwa bisa terdapat paling b anyak sejumlah
terhitung titik-titik dimana fungsi monoton diskontinu.
5.5.4 Teorema Misalkan I⊆R suatu interval dan f : I →R fungsi monotn

pada I. Maka himpunan titik-titik D⊆ I dimana f diskontinu adalah himpunan


terhitung.

Bukti. Kita akan menganggap bahwa f fungsi naik pada I. Mengikuti Teorema 5.5.3

bahwa D= { x ∈ I : jf ( x )≠0 } . Kita akan memandang kasus bahwa I=[ a ,b ] suatu


interval tertutup dan terbatas, ditinggalkan kasus lain sebagai latihan bagi pembaca..

Pertama-tama kita perhatikan bahwa karena f fungsi naik, maka jf (c)≥0 untuk

semua c∈ I . Selain itu jika


a≤x1 <.. .< x n ≤b , maka kita mempunyai

f (a)≤f ( x 1 )<.. .<f (x n )≤f (b )

Yang berarti bahwa

jf ( x1 )<. ..< jf ( x n )≤f (b )−f (a )

(Lihat Gambar 5.5.2.). Akibatnya bisa terdapat paling banyak k buah titik dala I=[ a ,b ]

dimana jf ( x )≥( f (b )−f (a )) /k . Kita simpulkan bahwa terdapat paling banyak satu titik

x∈ I dimana jf ( x )≥( f (b )−f (a )) , terdapat paling banyak dua titik dalam I dimana

jf ( x )≥( f (b )−f (a )) /2 ; terdapat paling banyak tiga titik dala I dimana

jf ( x )≥( f (b )−f (a ) ) /3 , dan seterusnya. Oleh karena itu terdapat paling banyak sejumlah

titik-titik x dimana jf ( x )>0 . Akan tetapi karena setiap titik dalam D mesti masuk dalam
himpunan ini, kita simpulkan bahwa D himpunan terhitung.

Teorema 5.5.4 Beberapa aplikasi yang berguna. Sebagai contoh, diperlihatkan

dalam Latihan 5.2.12 bahwa jika h : R→ R memenuhi idenstitas

(*) h( x + y )=h( x )+h( y ) untuk semua x, y ∈ R


Dan jika h kontinu pada satu titik
x 0 , maka h kontinu pada setiap titik dalam R. Ini
berrati bahwa jika h merupakan fungsi monoton yang memenuhi (*) maka h mesti
kontinu pada R

GAMBAR 5.5.2 jf ( x1 )+. ..+ jf ( x n )≤f (b )−f (a )

Fungsi-fungsi Invers

Sekarang kita akan memandang keberadaan invers suatu fungsi yang kontinu pada

suatu interval I ⊆ R . Kita ingiat kembali (lihat Pasal 1.2) bahwa suatu fungsi

f : I →R mempunyai fungsi invers jika dan hanya jika f injektif (satu-satu), yaitu

x, y ∈I dan x≠ y mengakibatkan bahwa f (x )≠f ( y ) . Kita perhatikan bahwa


suatu fungsi monoton murni adalah injektif dan dengan demikian mempunyai invers.

Dalam terorema berikut, kita menunjukan bahwa jika f : I →R fungsi kontinu

monoton murni, maka f mempunyai suatu fungsi invers g pada J =f ( I ) yang juga
fungsi kontinu monoton murni pada J. Khususnya, jika f fungsi naik murni maka
demikian juga dengan g, dan jika f fungsi turun murni maka demikian juga g.
5.5.5 Teorema Invers Kontinu Misalkan I⊆R suaatu interval dan f : I →R
monoton murni dan kontinu pada I. Maka fungsi g invers dari f adalah fungsi monoton

murni dan kontinu pada J =f ( I ) .

GAMBAR 5.5.3 g( y )≠x untuk y∈ J

Bukti. Kita pandang kasus f fungsi naik murni, meninggalkan kasus bahwa f fungsi
turtun murni untuk pembaca.

Karena f kontinu dan I interval, maka Teorema Pengawetan Interval 5.3.10,

J =f ( I ) suatu interval. Selain itu, karena f naik murni pada I, maka f fungsi injektif

pada I, oleh karena itu fungsi g :J →R invers dari f ada. Kita claim bahwa g naik

murni. Memang, jika


y1< y2 maka y 1 =f ( x 1 ) dan y 2 =f ( x 2 ) untuk semua

x 1 ,x 2 ∈ I . Kita mesti mempunyai x 1 <x 2 , untuk hal lain x 1≥x 2 mengakibatkan

y 1 =f ( x 1 )≥f ( x2 )= y 2 , bertentangan dengan hipotesis bahwa y 1 < y 2 . Oleh karena


itu kita mempunyai

g( y 1 )=x 1 <x 2 =g ( y 2 )
Karena
y 1 dan y 2 sebarang unsur dalam J dengan y 1 < y 2 , kita simpulkan bahwa g naik
murni pada J.

Tinggal menunjukan bahwa g kontinu pada J. Akan tetapi, ini merupakan

konsekuensi dari fakta bahwa g(J )=I suatu interval. Memang, jika g diskontinu pada

satu titik c ∈ J , maka lompatan dari g pada c tidak nol dengan demikian

lim g< lim g


x → c− x → c+

lim g< x< lim g


Jika kita memilih sebarang x≠g(c) yang memenuhi x → c− x →c + , maka x

mempunyai sifat bahwa x≠g( y ) untuk sebarang y∈ J . (Lihat Gambar 5.5.3.) dari sini
x≠I , yang mana kontradiksi dengan fakta bahwa I suatu interval. Oleh karena itu kita
menyimpulkan bahwa g kontinu pada J.

n
GAMBAR 5.5.4 Grafik dari f (x )=x ,( x≥0 ) , n genap

i. n genap. Agar diperoleh suatu fungsi yang monoton murni, kita batasi perhatian kita untuk
n
interval I=[ 0,∞) . Jadi misalkan f (x )=x untuk x∈ I . (Lihat Gambar 5.5.4). Kita

telah melihat (dalam latihan 2.2.17)bahwa jika 0≤x< y , maka f (x )=x n < y n =f ( y ) ,

oleh karena itu f monton murni pada I. Selain itu, mengikuti contoh. 5.2.4(a) bahwa |f|
kontinu pada I. Oleh karena itu, menurut Teorama Pengawetan Interval 5.3.10, J =f ( I )

suatu interval. Kita akan menunjukan bahwa J=[0,∞) . Misalkan y≥0 sebarang,

menurut Sifat Archimedan, terdapat k ∈ N sedemikian sehingga 0≤ y<k . Karena


n
f (0)=0≤ y < k≤k =f ( k )

Mengikuti Teorema Nilai Bolzano 5.3.6 bahwa y∈ J . Karena y≥0 sebarang,

kita simpulkan bahwa J=[0,∞) .

Kita menyimpulkan dari Teorema Invers Kontinu 5.5.5 bahwa fungsi g yaitu invers

dari f (x )=x n pada I=(0,∞] naik murni dan kontinu pada J=(0,∞] . Kita
lazimnya menuliskan

1
n
g( x )=x n
atau g( x )= √ x

1
n n
Untuk x≥0 (n genap), dan menyebut x =√ x akar ke-n dari x≥0 (n genap).

Fungsi g dinamakan fungsi akar ke-n (n genap). (Lihat Gambar 5.5.5)

1/n
GAMBAR 5.5.5 Grafik dari f (x )=x ,( x≥0 ) n genap

Karena invers untuk f, kita mempunyai g(f (x ))=x dan f (g (x ))=x untuk

semua x∈[ 0,∞) .


Kita dapat menuliskan persamaan-persamaan ini dalam bentuk berikut :

n 1/n 1 /n n
( x ) =x dan ( x ) =x

Untuk semua x∈[ 0,∞) dan n genap.

n
ii. n ganjil. Dalam kasus ini kita misalkan f (x )=x untun semua x ∈ R , menurut
5.3.4(a), f kontinu pada R. Kita tinggalkan bagi pembaca untuk menunjukkan bahwa f naik

murni pada R dan f (R )=R . (Lihat Gambar 5.5.6)


n
Mengikuti Teorema Invers Kontinu 5.5.5, fungsi G yaitu invers dari F(x) = x untuk
x ∈ R, adalah fungsi naik murni dan kontinu pada R. Kita lazimnay menuliskan
1/n n
G(x) = x atau G(x) = x untuk x ∈ R, n ganjil
1/n
Dan menyebut x sebagai akar ke-n dari x ∈ R. Fungsi G disebut fungsi akar ke-n (n
ganjil). (Lihat Gambar 5.5.7.) Disini kita mempunyai

n 1/n 1/n n
(x ) =x dan (x ) = x.

untuk semua x ∈ R dan n ganjil


n
GAMBAR 5.5.6 Grafik F(x) = x (x ∈ R, n ganjil)
Pangkat-pangkat Rasional
Telah didefinisikan fungsi-fungsi akar ke-n untuk n ∈ N, yang mana hal ini
memudahkan untuk mendefinisikan pangkat-pangkat rasional.
m/n 1/n m
5.5.6 Definisi (i) Jika m,n ∈ N dan x 0, kita definisikan x = (x ) . (ii) Jika
-m/n 1/n -m
m, n ∈ N dan x > 0, kita definisikan x = (x ) .
r
Dari sini kita telah mendefinisikan x apabila r bilangan rasional dan x > 0.

Grafik dari x ξ
r
x bergantung pada apakah r > 1, r = 1, 0 < r < 1, r = 0, atau r < 0.
(Lihat Ganbar 5.5.8.) Karena suatu bilangan rasional r ∈ Q dapat ditulis dalam bentuk
r = m/n dengan m ∈ Z, n ∈ N, dalam banyak cara, akan diunjukkan bahwa Definisi
5.5.6 tidak berarti ganda. Yaitu, jika r = m/n = p/q dengan m,p ∈ Z dan n,q ∈

1/n m 1/q p
N dan jika x > 0, maka (x ) = (x ) . Kita tinggalkan sebagai latihan bagi pembaca
untuk mem- buktikan hubungan ini.

m/n m 1/n
5.5.7 Teorema Jika m ∈ Z, n ∈ N, dan x > 0, maka x = (x ) .

m n mn n m m/n
Bukti. Jika x > 0 dan m,n ∈ Z, maka (x ) = x = (x ) . Sekarang misalkan y=x =
1/n m n 1/n m n 1/n n m m
(x ) > 0 dengan demikian y = ((x ) ) = ((x ) ) = x . Oleh karena itu diperoleh bahwa
m 1/n
y = (x ) .

1/n
GAMBAR 5.5.7 Grafik G(x) = x (x ∈ R, n ganjil)

Pembaca akan menunjukkan juga, sebagai latihan, bahwa jika x > 0 dan
r,s ∈ Q, maka
r s r+s s r r s rs s r
xx =x =x x dan (x ) = x = (x ) .

Latihan-latihan
1. Jika I = [a,b] suatu interval dan f : I → R suatu fungsi naik, maka titik a [atau juga, b] suatu
titik minimum mutlak [atau juga, titik maksimum absolut] untuk f pada I. Jika f suatu fungsi
naik murni, maka a merupakan satu-satunya titik minimum mutlak untuk f pada I.
2. Jika f dan g fungsi-fungsi naik pada suatu interval I ⊆ R, tunjukkan bahwa f + g juga
suatu fungsi naik pada I. Jika f juga fungsi naik murni pada I, maka f + g fungsi naik murni
pada I.
3. Tunjukkan bahwa f(x) = x dan g(x) = x – 1 naik murni pada I = [0,1], akan tetapi hasil kali fg
tidak naik pada I.
4. Tunjukkan bahwa jika f dan g fungsi-fingsi positif naik pada suatu interval I, maka fungsi
hasil-kalinya fg merupakan fungsi naik pada I.
5. Tunjukkan bahwa jika I = [a,b] dan f : I → R fungsi naik pada I, maka f kontinu pada a jika
dan hanya jika f(a) = inf {f(x) : x ∈ (a,b]}.

r
GAMBAR 5.5.8 Grafik dari x ξ x (x > 0)
6. Misalkan I ⊆ R suatu interval dan f : I → R fungsi naik pada I. Misalkan juga c ∈ I

bukan titik ujung dari I. Tunjukkan bahwa f kontinu pada c jika dan hanya jika terdapat suatu
barisan (xn) dalam I sedemikian sehingga xn < c untuk n = 1,3,5, … ; xn > c untuk n = 2,4,6,
… ; dan sedemikian sehingga c = lim (xn) dan f(c) = lim (f(xn)).
7. Misalkan I ⊆ R suatu interval dan f : I → R fungsi naik pada I. Jika c ∈ I bukan titik
ujung dari I, tunjukkan bahwa lompatan jf(c) dari f pada c diberikan oleh inf{f(y) –f(x) : x < c <
y, x,y ∈ I}.
8. Misalkan f,g fungsi-fungsi naik pada suatu interrval I ⊆ R dan f(x) > g(x) untuk semua x
∈ I. Jika y f(I) -1 -1
g(I), tunjukkan bahwa f (y) < g (y). [Petunjuk: Pertama-tama interpre- tasi
pernyataan ini secara geometri].
9. Misalkan I = [0,1] dan misalkan f : I → R didefinisikan oleh f(x) = x untuk x rasional, dan
f(x) = 1 – x untuk x irasional. Tunjukkan bahwa f injektif pada I dan f(f(x)) = x untuk semua
x ∈ I. (Dari sini f adalah fungsi invers untuk dirinya sendiri!) Tunjukkan bahwa f kontinu
hanya pada x = ½.
10. Misalkan I = [a,b] dan f : I → R kontinu pada I. Jika f mempunyai suatu maksimum mut- lak
[atau, minimum mutlak] pada suatu titik interior c dari I, tunjukkan bahwa f bukan in- jektif
pada I.
11. Misalkan f(x) = x untuk x ∈ [0,1], dan f(x) = x + 1 untuk x ∈ (1,2]. Tunjukkan bahwa f
-1 -1
dan f merupakan fungsi-fungsi naik murni. Apakah f dan f kontinu pada setiap titik?
12. Misalkan f : [0,1] → R suatu fungsi kontinu yang tidak memuat sebarang dari nilai-
nilainya dua kali dan dengan f(0) < f(1). Tunjukkan bahwa f fungsi naik murni pada [0,1].
13. Misalkan h : [0,1] → R suatu fungsi yang memuat nilai-nilainya tepat dua kali. Tunjuk- kan
bahwa h tidak kontinu pada setiap titik. [Petunjuk : Jika c1 < c2 titik-titik dimana h mencapai
supremumnya, tunjukkan bahwa c1 = 0, c2 = 1. Sekarang titik-titik dimana h mencapai
infimumnya.]
14. Misalkan x ∈ R, x > 0. Tunjukkan bahwa jika m,p ∈ Z, n,q ∈ N, dan mq = np, maka
1/n m 1/q p
(x ) = (x ) .
r s r+s s r r s rs
15. Jika x ∈ R, x > 0, dan jika r,s ∈ Q, tunjukkan bahwa x x = x =x x dan (x ) = x =
s r
(x ) .
.

Anda mungkin juga menyukai