Anda di halaman 1dari 11

NAMA : Nurul Hidayati

NIM : PO.714241192012

1. Sistem Muskuloskeletal dan Perubahannya


Sistem muskuloskeletal merupakan sistem yang terdiri dari tulang, sendi, dan otot.
Sistem tersebut paling erat kaitannya dengan mobilitas fisik individu. Seiring
bertambahnya usia, terdapat berbagai perubahan yang terjadi pada sistem
musculoskeletal yang terdiri dari tulang, otot, sendi, dan saraf.
A. Perubahan Fisiologis Tulang
Sistem skeletal pada manusia tersusun dari 206 tulang termasuk dengan sendi
yang menghubungkan antar keduanya. Kerangka yang dibentuk dari susunan tulang
tersebut sangat kuat namun relatif ringan. Fungsi utama sistem skeletal ini adalah
memberikan bentuk dan dukungan pada tubuh manusia. Selain itu, sistem ini juga
berperan untuk melindungi tubuh, misalnya tulang tengkorak yang melindungi otak
dan mata, tulang rusuk yang melindungi jantung, serta tulang belakang yang
melindungi sumsum tulang belakang. Struktur pada kerangka ini juga terdapat tendon
otot yang mendukung adanya pergerakan [ CITATION Mau06 \l 1033 ].
Tulang mencapai kematangan pada saat waktu dewasa awal tetapi terus
melakukan remodeling sepanjang kehidupan. Menurut Colón, et al. (2018) secara
umum, perubahan fisiologis pada tulang lansia adalah kehilangan kandungan mineral
tulang. keadaan tersebut bedampak pada meningkatnya risiko fraktur dan kejadian
terjatuh. Selain itu, terjadi juga penurunan massa tulang atau disebut dengan
osteopenia. Jika tidak ditangani segara osteopenia bisa berlanjut menjadi osteoporosis
yang ditandai dengan karakteristik berkuranganya kepadatan tulang dan
meningkatkan laju kehilangan tulang.
Perubahan-perubahan lain yang terjadi menurut Miller (2012) antara lain:
1. Meningkatnya resorbsi tulang (misalnya, pemecahan tulang diperlukan untuk
remodeling)
2. Arbsorbsi kalsium berkurang
3. Meningkatnya hormon serum paratiroid;
4. Gangguan regulasi dari aktivitas osteoblast;
5. Gangguan formasi tulang sekunder untuk mengurangi produksi osteoblastik dari
matriks tulang; dan
6. Menurunnya estrogen pada wanita dan testosterone pada laki-laki.
B. Perubahan Fisiologis Otot
Selain tulang, otot yang dikontrol oleh neuron motorik secara langsung
berdampak pada kehidupan sehari-hari. Perubahan fisilogis pada otot yang terjadi pada
lansia disajikan dalam tabel berikut [ CITATION Col18 \l 1033 ].
Perubahan Efek Fungsional
Peningkatan variabilitas dalam ukuran Peningkatan heterogenitas jarak kapiler,
serat otot karena kapiler dapat hanya terletak di tepi
serat berdampak negatif terhadap
oksigenasi jaringan
Kehilangan massa otot Penurunan kekuatan dan tenaga
Serabut otot (fiber) tipe II menurun Terjatuh
Infiltrasi lemak Kerapuhan atau otot melemah
Secara keseluruhan akibat dari perubahan kondisi otot yang berhubungan dengan
bertambahnya usia disebut sarkopenia. Sarkopenia adalah kehilangan masa, kekuatan dan
ketahanan otot [ CITATION Mil12 \l 1033 ]. Berikut penampang mikroskoping tulang dan
otot dalam keadaan normal dan dalam kondisi patologis
Gambar 1 Penampang mikroskoping tulang dan otot

Sumber: Colón, et al., (2018)

C. Perubahan pada Sendi dan Jaringan Ikat


Proses degeneratif memengaruhi tendon, ligamen, cairan synovial. Perubahan-perubahan
yang terjadi pada sendi meliputi :
Organ/Jaringan Perubahan Fisiologis Efek
Sendi Menurunnya viskositas cairan Menurunnya perlindungan ketika
synovial bergerak (Miller, 2012).
 Erosi tulang (Miller, Menghambat pertumbuhan tulang
2012). (Miller, 2012).
 Mengecilnya kartilago
 Degenerasi gen dan sel Penurunan elastisitas, fleksibilitas,
elastin. stabilitas, dan imobilitas (Kurnianto,
 Ligamen memendek 2015).
 Fragmentasi struktur
fibrosa di jaringan ikat.
 Pembentukan jaringan
parut di kapsul sendi dan
jaringan ikat (Miller,
2012).
Penurunan kapasitas gerakan, Gangguan fleksi dan ekstensi
seperti: penurunan rentang sehingga kegiatan sehari-hari menjadi
gerak pada lengan atas, fleksi terhambat.
punggung bawah, rotasi
eksternal pinggul, fleksi lutut,
dan dorsofleksi kaki (Miller,
2012).

Komponen-komponen kapsul sendi pecah dan kolagen pada jaringan penyambung


meningkat secara progresif (Stanley, et. al., 2007). Efek perubahan pada sendi ini adalah
gangguan fleksi dan ekstensi, penurunan fleksibilitas struktur berserat, berkurang
perlindungan dari kekuatan gerakan, erosi tulang, berkurangnya kemampuan jaringan ikat
(Miller, 2012), inflamasi, nyeri, penurunan mobilitas sendi, dan deformitas (Stanley, et. al.,
2007).
2.2 Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Sistem Muskuloskeletal
Berdasarkan rilis Joint Essential pada tahun 2013 berjudul ‘What Are The Effects
Of Aging On The Musculoskeletal System?’
 Gangguan hormon. Riwayat gangguan hormon yang tidak teratasi dengan baik dapat
menyebabkan metabolisme ke tulang maupun otot tidak optimal. Sebagai contoh,
hipertiroidisme berhubungan erat dengan kelemahan otot dan meningkatkan risiko
fraktur akibat demineralisasi tulang.
 Penyakit sistemik. Penyakit sistemik dapat berupa gangguan vaskuler atau metabolik.
Sebagai contoh, lansia dengan diabetes akan mengalami gangguan laju atau volume
pengiriman nutrisi yang dibutuhkan untuk remodeling jaringan. Oleh karena itu, sangat
penting untuk mengontrol proses patologis untuk mengoptimalkan penyembuhan dan
potensi perbaikan sistem muskuloskeletal.
 Faktor diet. Kekurangan nutrisi vitamin esensial (seperti vitamin D dan vitamin C yang
memainkan peran penting dalam pertumbuhan fungsional otot dan tulang), kurangnya
mineral tertentu (seperti kalsium, fosfor dan kromium dll) dapat menjadi hasil dari
masalah pencernaan yang berkaitan dengan usia. Dengan demikian, terjadi penurunan
penyerapan dari usus atau ketidakseimbangan dalam produksi hormon tertentu yang
mengatur konsentrasi serum vitamin dan mineral seperti kalsitonin, vitamin D, hormon
paratiroid (karena tumor yang sangat lazim di usia lanjut). Diet yang sangat baik ialah
diet yang kaya akan mikro-nutrisi dalam kualitas tinggi sehingga mampu menurunkan
risiko pengembangan cacat tulang dan kelemahan otot sebagai bagian dari proses
penuaan.
 Minimnya aktivitas fisik. Perubahan sistem muskuloskeletal dapat diperlambat dengan
melakukan olahraga karena dapat meningkatkan kemampuan untuk mempertahankan
kekuatan dan fleksibilitas sistem muskuloskeletal. Normalnya dalam satu hari,
setidaknya 30 menit aktivitas lansia diisi dengan olahraga ringan (Miller, 2012).
Beberapa olahraga yang terkenal dikalangan lansia yaitu Tai chi, yoga, dan pilates
(Arenson, 2009). Selain itu, berjalan juga merupakan olahraga yang mudah dan tidak
membutuhkan banyak peralatan sehingga dapat dilakukan oleh lansia.
Jika faktor-faktor tersebut di atas tidak tertangani dengan baik, dapat berubah
menjadi penurunan fungsi muskuloskeletal pada lansia. Penurunan fungsi
muskuloskeletal dipicu oleh tiga faktor (Fillit, Rockwood & Young, 2017) yaitu :
1. Efek penuaan pada komponen sistem muskuloskeletal, misalnya tulang rawan
artikular, kerangka, jaringan lunak, memberikan kontribusi untuk pengembangan
osteoporosis dan osteoarthritis serta penurunan gerakan sendi, kekakuan, dan kesulitan
dalam memulai gerakan.
2. Gangguan muskuloskeletal berhubungan dengan penuaan yang mulai terjadi pada
masa dewasa muda menyebabkan peningkatan rasa sakit dan cacat tanpa
memperpendek rentang hidupnya, misalnya seronegatif spondyloarthritis, trauma
muskuloskeletal.
3. Tingginya angka kejadian gangguan muskuloskeletal tertentu pada lansia,
misalnya polymyalgia rheumatica, penyakit Paget tulang, arthropathies terkait kristal.
2. Patologis pada Sistem Muskuloskeletal
1. Osteoporosis
Osteoporosis merupakan penyakit skeletal istemik yang ditandai dengan
berkurangnya kepadatan tulang dan kerusakan jaringan tulang yang berakibat pada
menurunnya kekuatan tulang (Tabloski, 2014). Kekuatan tulang mencerminkan kepadatan
dan kualitas tulang. Kepadatan dan kualitas tulang merupakan kedua hal yang berbeda.
Kepadatan tulang dipengaruhi oleh gram mineral yang terdapat di dalam tulang. Sementara,
kualitas tulang dipengaruhi oleh mikroarsitektur tulang, bone turnover, dan akumulasi
kerusakan pada tulang (Tabloski, 2014). Sehingga, apabila individu menderita osteoporosis
dimana hal tersebut dapat menurunkan kekuatan tulangnya, maka individu tersebut akan
memiliki risiko tinggi terjadinya fraktur atau patah tulang (Amelio & Isaia, 2015). Individu
yang mengalami osteoporosis umumnya tidak menimbulkan tanda dan gejala apapun selain
adanya patah tulang (Tabloski, 2014).
Faktor risiko utama terjadinya osteoporosis adalah usia yang sering terjadi pada
lansia, jenis kelamin yang sering terjadi pada wanita, ras kulit putih atau asia, riwayat
keluarga yang memiliki osteoporosis, dan gaya hidup seperti aktivitas fisik yang kurang dan
atau kurangnya konsumsi vitamin D (Tabloski, 2014). Osteoporosis dapat juga diakibatkan
karna konsumsi alkohol berlebih, rokok, stress, dan penggunaan kortikosteroid jangka
panjang. Wanita memiliki risiko tinggi terjadi osteoporosis. Hal ini diakibatkan oleh tulang
pada wanita memiliki lebih sedikit massa tulang dibanding laki-laki, penurunan kadar
estrogen saat menopause secara cepat mengakibatkan kerapuhan tulang secara cepat pula,
dan wanita mungkin juga kehilangan massa tulang saat masa reproduksi atau laktasi
(Tabloski, 2014). Selain itu, risiko tinggi osteoporosis terjadi pula pada lansia.
Menurut Amelio & Isaia (2015), lansia memiliki risiko tinggi terjadinya
osteoporosis diakibatkan oleh penuaan yang membuat berkurangnya massa tulang melalui
perubahan hormon dan disfungsi osteoblast terkait usia. Pada lansia perempuan, perubahan
hormon terjadi saat setelah menopause yang mengakibatkan menurunnya kadar estrogen
(Sihombing et al, 2012). Padahal, estrogen memiliki peran penting untuk remodelling tulang
dan menghambat terjadinya resorpsi tulang oleh osteoblast sehingga, menghambat
kerapuhan tulang (Sihombing et al, 2012). Sementara itu, pada lansia laki-laki terjadi juga
perubahan hormon yaitu menurunnya kadar steroid seksual yang mengakibatkan
peningkatan pada kortisol oleh kelenjar adrenal. Efek yang terjadi apabila terdapat
peningkatan sekresi kortisol ialah akan terjadinya kelebihan hormon glukokortikoid. Hal ini
akan memicu kerusakan tulang, karena hormon glukokortiokoid yang berlebih dapat
mengganggu fungsi dari osteoblast (Amelio & Isaiya, 2015). Namun, walaupun begitu pada
lansia dapat terjadi pula disfungsi dari osteoblast. Amelio dan Isaiya (2015) menjelaskan
bahwa disfungsi osteoblast diakibatkan oleh menurunnya kemampuan sel mesenchymal
stem untuk berdiferensiasi menjadi osteoblast. Kemampuan sel mesenchymal stem yang
menurun merupakan efek dari penuaan yang terjadi pada lansia.
Pengkajian untuk osteoporosis dapat diukur melalui kepadatan mineral tulang. Hal
ini dikarenakan kekuatan tulang tidak dapat diukur secara langsung. Menurut Tabloski
(2014) pengukuran kepadatan mineral tulang dapat memberikan informasi sebanyak 70%
mengenai kekuatan tulang. Pengkajian ini dinamakan pengkajian densinometri tulang
dengan menggunakan energi x-ray absorptiometry (DXA, DEXA) yang perhitungan
scorenya dinamakan T-score (Miller, 2012). Jika nilai T-score berada di rentang -1 sampai
-2,5 Standar Deviasi (SD) hal ini menandakan osteopenia. Namun, jika T-score lebih rendah
dari -2,5 SD maka kondisi tersebut dinamakan osteoporosis (Miller, 2012). Pengkajian lain
yang dapat perawat lakukan ialah assessment faktor risiko osteoporosis seperti gaya hidup,
diet, dan aktivitas fisik (Miller, 2012).
Penatalaksanaan pada lansia dengan osteoporosis dapat melalui terapi farmakologi
dan non farmakologi. Pada terapi farmakologi dapat diberikan suplemen vitamin D untuk
membantu menambahkan asupan kalsium. Namun, suplemen kalsium dapat memperburuk
kondisi konstipasi pada lansia (Touhy & Jett, 2014). Oleh karena itu, perawat perlu
memberikan cairan tambahan jika tidak ada kontraindikasi, atau pelunak feses. Terapi lain
yang dapat diberikan ialah terapi Selective Estrogen Receptor Modulators (SERMs) yang
merupakan pengganti terapi estrogen (Touhy & Jett, 2014). Hal ini dikarenakan terapi
estrogen walaupun dapat meingkatkan massa tulang namun juga dapat meningkatkan risiko
kanker payudara, kanker usus besar, dan penyakit jantung. Pada terapi SERMs dinilai
memiliki risiko kanker yang kecil. Terapi medis lain ialah kalsitonin yang berfungsi untuk
memperlambat pengeroposan tulang dan meningkatkan mineral tulang pada wanita setelah
menopause (Touhy & Jett, 2014).
Terapi selanjutnya ialah nonfarmakologi diantaranya mengurangi konsumsi
alkohol, kurangi konsumsi rokok, dan melakukan aktivitas fisik minimal 30 menit seperti
berjalan, aerobik, menari (Touhy & Jett, 2014). Selain itu, lansia juga disarankan untuk diet
tinggi kalsium dengan mengonsumsi dairy product, tofu, jus jeruk, roti, dan sayuran hijau.
Bagi wanita yang di atas 50 tahun dan pria yang di atas 70 tahun, asupan kalsium yang
disarankan setiap harinya ialah 1200 mg/day (Touhy & Jett, 2014). Perawat juga perlu
melakukan edukasi kepada lansia terkait medikasi osteoporosis dan risiko jatuh. Perawat
dapat memberikan informasi tentang penggunaan sepatu yang ukurannya sesuai,
penggunaan handrails, menghindari berjalan di tempat yang kurang terang, dan menghindari
mengangkat beban berat. Pada keluarga pun perawat dapat memberikan edukasi terkait
home safety, pastikan karpet tidak longgar dan tidak ada kabel listrik (Touhy & Jett, 2014).

1. Arthritis
Arthritis secara harfiah berarti peradangan sendi. Arthritis merupakan sekelompok
kondisi yang mempengaruhi sendi. Kondisi ini menyebabkan kerusakan sendi, biasanya
mengakibatkan rasa sakit dan kekakuan. Arthritis dapat mempengaruhi banyak bagian yang
berbeda dari sendi dan hampir setiap sendi di dalam tubuh (Arthritis Care, 2016). Secara
umum, arthritis dikenal dengan rematik.

2. Osteoarthritis
Osteoarthritis merupakan penyakit radang degenerative yang menyerang sendi
dan otot, tendon dan ligament yang melekat, hal ini ditandai dengan rasa sakit,
bengkak dan gerakan terbatas di persendian (Touhy & Jett, 2014). Faktor resiko yang
dapat menyebabkan terjadinya osteoarthritis yaitu penambahan usia, obesitas,
riwayat keluarga, dan memiliki trauma sendi.
Osteoarthritis terjadi dimana lapisan kartilago normal yang lembut dan ulet
menjadi tipis dan rusak, berlubang, kasar dan rapuh. Hal ini menyebabkan ruang
sendi menyempit dan akhirnya tulang-tulang sendi bergesekan, menyebabkan
kerusakan, rasa sakit, bengkak dan kesulitan bergerak. Tulang dibawah kartilago
menebal dan melebar keluar. Dalam beberapa kasus, osteofit dapat terbentuk di tepi
luar sendi, dan menyebabkan sendi terlihat menonjol. Membran sinoval dan kapsul
sendi menebal, dan ruang sendi menyempit yang dapat menyebabkan peningkatakan
jumlah cairan dalam sendi dan dapat membengkak (Arthritis Care, 2016). Untuk
lebih jelas, perhatikan gambar perbandingan antara sendi normal dan sendi dengan
gangguan.
Gambar 3 Perbandingan antara sendi normal dengan sendi yang mengalami
gangguan

Sumber: Arthritis Research UK (2011)

Osteoarthritis biasanya terjadi secara bertahap selama beberapa tahun dan


mempengaruhi beberapa sendi. Sendi-sendi yang sering terkena osteoarthritis yaitu
tangan, lutut, pinggul, kaki dan tulang belakang. Kekakuan yang terjadi pada
masalah ini biasanya akan hilang dengan aktivitas, dan pada saat yang sama aktivitas
dapat menyebabkan rasa sakit yang hilang dengan istirahat. Kekakuan yang paling
tinggi terjadi pada pagi hari, karena tidak digunakan selama tidur dan bisa
diselesaikan selama 30 menit. Ketika gangguan ini sedang berkembang, maka akan
muncul sakit saat istirahat dan melibatkan banyak sendi atau mungkin akan terjadi
ketidakstabilan dan krepitasi yang dapat dirasakan dan merupakan indikasi kerusakan
sendi (Touhy & Jett, 2014).
Osteoarthritis tidak bisa disembuhkan, kecuali dengan penggantian
sambungan (artroplasi). Kebanyakan perawatan yang dilakukan hanya paliatif yang
ditujukan untuk kenyamanan. Beberapa intervensi pengobatan yang dilakukan yaitu
bertujuan untuk meminimalkan efek dari radang sendi dan untuk mengurangi gejala,
terutama rasa sakit. Banyak obat yang digunakan untuk membantu mengelola nyeri
sendi seperti analgesic, obat anti-inflamasi non-steroid, steroid. Selain menggunakan
obat-obatan, ada beberapa cara yang sering digunakan untuk mengurangi rasa sakit
yaitu dengan teknik relaksasi, memijat, olahraga juga dapat membantu meredakan
rasa tidak nyaman dan rasa sakit bagi banyak orang (Touhy & Jett, 2014). Mencapai
dan memepertahankan berat badan ideal juga dapat meringankan ketegangan pada
sendi yang menahan berat badan.

3. Rheumatoid Arthritis
Rheumatoid arthritis yaitu penyakit autoimun yang disebabkan karena
inflamasi sendi pada sendi (Arthritis Research UK, 2014). Ganguan ini merupakan
gangguan sistemik dan kronis. Diperkirakan gangguan ini terjadi ketika tubuh
menciptakan peradangan pada persendiannya sendiri yang tidak di perlukan dan
bersifat merusak dirinya sendiri. Hal ini terjadi pada selaput synovial tipis yang
melapisi kapsul sendi, selubung tendon dan bursae menjadi meradang. Sendi yang
meradang kemudian menjadi kaku, nyeri dan bengkak. Pasien biasanya akan merasa
lelah atau mengalami kekakuan di pagi hari melebihi osteoarthritis. Menurut Arthritis
Research UK (2014) rasa sakit yang diderita oleh pasien rheumatoid arthritis karena
dua hal yaitu ujung saraf yang teriritasi oleh bahan kimia yang dihasilkan oleh
peradangan dan kapsul sendi meregang karena pembengkakan. Ketika inflamasi
berkurang, kapsul sendi tetap meregang dan tidak bisa kembali ke posisi awal, hal ini
disebabkan karena sendi menjadi tidak stabil dan dapat menyebabkan posisi yang
salah.
Faktor resiko yang dapat menyebabkan rheumatoid arthritis yaitu faktor
genetik, lingkungan dan gaya hidup. Karena gangguan ini merupakan gangguan
autoimun, sesuatu yang bermasalah yaitu sistem imun. Penurunan sistem imun juga
dapat menjadi faktor risiko terjadinya rheumatoid arthritis, gaya hidup seperti
merokok, banyak konsumsi daging merah dan kopi juga menjadi salah satu faktor
risiko (Arthritis Research UK, 2014). Gejala yang sering muncul pada pasien ini
yaitu kekakuan sendi dan nyeri, lelah, depresi, anemia, merasa panas dan berkeringat,
malaise dan demam yang sesekali tidak di rasakan. Gangguan ini dapat terjadi secara
bertahap selama beberapa bulan, tahun atau bisa menjadi kondisi kronis dengan
kerusakan progresif pada sendi. Pengobatan yang diberikan kepada pasien
rheumatoid arthritis yaitu menggunakan obat modifikasi antirheumatic (DMARDs),
obat ini harus diberikan dengan hati-hati karena berpotensi beracun. Perawatan yang
dilakukan juga bersifat paliatif untuk kenyamanan pasien serta diberikan dukungan
khusus kepada pasien dan merubah gaya hidup pasien (Touhy & Jett, 2014)

5.Gout
Gout merupakan bagian dari penyakit radang sendi yang ditandai dengan
adanya inflamasi pada sendi akibat akumulasi kristal asam urat (Touhy & Jett, 2014).
Kadar asam urat dalam tubuh ditentukan dari keseimbangan antara produksinya baik
melalui asupan purin dalam diet atau produksi endogen dan ekskresi ginjal. Menurut
Ragab et al (2017), gout merupakan penyakit sistemik yang dihasilkan dari
pengendapan kristal Monosodium Urat (MSU) dalam jaringan. MSU dapat disimpan
disemua jaringan terutama di dalam sendi yang nantinya akan membentuk tophi.
Asam urat merupakan produk sampingan dari purin yang disintesis dari
makanan yang dikonsumsi (Touhy & Jett, 2014). Purin merupakan salah satu
komponen utama dalam asam nukleat di DNA atau RNA bersama pirimidin. Purin
akan terkonversi menjadi asam urat yang normalnya dapat difiltrasi oleh ginjal dan
dikeluarkan melalui urin. Asam urat memiliki kelarutan yang terbatas dalam cairan
tubuh (Ragab et al, 2017). Namun, dalam kondisi patologis yaitu ketika terjadi
kenaikan asam urat diatas 6,8 mg/dL, maka akan terjadi deposisi asam urat di
jaringan. Asam urat tersebut akan kehilangan proton dan akan menjadi ion urat yang
kemudian mengikat natrium dan berkembang menjadi kristal MSU (Ragab et al,
2017). Walaupun demikian, terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
kelarutan asam urat dalam sendi seperti pH cairan sinovial, konsentrasi air, tingkat
elektrolit, dan komponen sinovial lainnya seperti proteoglikan dan kolagen (Ragab et
al, 2017).
Adanya pengendapan kristal MSU akan menimbulkan manifestasi klinis pada
penderita gout. Pada tahap akut, pengendapan kristal MSU dapat mengakibatkan
nyeri akut, pembengkakan, dan hangat apabila disentuh dibagian sendi yang nyeri
(Tabloski, 2014). Hal ini diakibatkan oleh proses inflamasi dari sel darah putih yang
bermigrasi ke sendi untuk membantu menghilangkan MSU. Sementara, pada tahap
kronik atau yang biasa disebut dengan gout thopaceous dimulai dari paling cepat 3
tahun atau paling lambat 40 tahun setelah serangan akut. Individu akan mengalami
nyeri sendi yang persisten dan kaku sendi pada pagi hari (Tabloski, 2014). Hal ini
dapat mengakibatkan sulitnya individu untuk menggerakan tangan dan kakinya
sehingga, Ia akan menjadi sulit untuk melakukan mobilisasi. Pada lansia umumnya
jarang terjadi serangan yang akut namun, gout akan terlihat sebagai manifestasi
arthritis yang kronik dengan kumpulan tophi pada jari-jari kaki, jari-jari tangan, siku,
dan lutut (Tabloski, 2014).
Salah satu kondisi yang mengakibatkan terjadinya gout ialah hyperuricemia.
Namun, Ragab et al (2017) mengungkapkan bahwa banyak individu yang menderita
hyperuricemia tidak berlanjut menjadi gout atau membentuk kristal asam urat. Hanya
5% individu yang memiliki nilai asam urat diatas 9 mg/dL yang menderita gout
(Ragab et al, 2017). Faktor predisposisi lain yang mengakibatkan gout ialah kelainan
genetik metabolisme purin. Hal ini memberikan dampak pada produksi purin yang
berlebih. Pada pasien dengan kondisi kelainan genetik, mengurangi asupan makanan
purin pun tidak mempengaruhi tingkat produksi asam urat (Ragab et al, 2017). Faktor
lain yang berkontribusi pada gout ialah konsumsi alkohol, tekanan darah tinggi, diet
tinggi purin, obesitas, gagal ginjal, dan medikasi seperti thiazid diuretic, aspirin,
cyclosporine, dan ledovopa (Touhy & Jett, 2014)
Pengkajian yang dapat digunakan pada gout ialah identifikasi kristal MSU
melalui aspirasi cairan sinovial (Ragab et al, 2017). Cairan sinovial tersebut akan
dilihat menggunakan mikroskop cahaya terpolarisasi. Sampel dapat bertahan selama
24 jam dalam penyimpanan pada suhu 4˚C, namun hal ini dapat memungkinkan
hilangnya kristal. Sehingga, pemeriksaan sampel harus dilakukan sedini mungkin
dan waktu terbaik ialah 6 jam setelah sampel diambil (Ragab et al, 2017). Analisis
lebih lanjut mencakup jumlah leukosit, pada penderita gout akut, leukositik cairan
sinovial dapat melebihi 50.000 sel/μL. Pengkajian lain juga dapat menggunakan urin
24 jam untuk mengidentifikasi hiperurisemia (Ragab et al, 2017). Adanya asam urat
melebihi 800m/24 jam, dapat mengindikasikan gout. Selain itu, pengkajian lain juga
dapat melalui Ultrasound, Conventional Radiography, dan Double Countour Sign
(DCT).

Penatalaksanaan medis untuk gout bertujuan untuk mencegah serangan, mencegah penyebaran
penyakit, dan mencegah perkembangan gout menjadi kronis. Obat-obatan yang diberikan untuk
menurunkan produksi asam urat misalnya allopurinol, colchicine (Touhy & Jett, 2014). Dapat
juga diberikan obat untuk meningkatkan ekskresi asam urat itu sendiri misalnya probenecid.
Peran perawat untuk pengobatan individu dengan gout ialah memastikan intake cairan adekuat
yaitu 2L/hari (jika tidak ada kontraindikasi) agar asam urat dapat di ekskresi melalui ginjal
(Touhy & Jett, 2014). Perawat juga perlu memberikan edukasi terkait efek samping obat, tidak
terjadi serangan berulang dengan edukasi untuk menghindari makanan yang dapat meningkatkan
asam urat seperti jeroan, daging merah, sarden, jamur, kacang-kacangan, dan kerang (Touhy &
Jett, 2014).

3. Fisioterapi Muskuloskeletal pada Lansia


Memerlukan olahraga yang teratur agar bisa tetap sehat. Memilih olah raga untuk lansia harus
memperhatikan kemampuan lansia. Umumnya olah raga yang aman dilakukan oleh lansia adalah
aktivitas yang bersifat aerobik yang disertai oleh latihan kekuatan, terutama punggung, kaki,
lengan, perut dan latihan kelenturan untuk memperbaiki serta memelihara daerah geraknya juga
keseimbangan tubuh. Latihan aerobik tersebut yaitu Jalan kaki, senam aerobik low impac, senam
lansia, bersepeda, berenang dll.
Keefektifan dari olah raga yang dilakukan lansia tergantung dari program yang dijalankan.
Program latihan yang dijalankan harus memenuhi konsep berikut:

 Frequensi adalah banyaknya unit latihan persatuan waktu, untuk meningkatkan


kebugaran diperlukan latihan 3-5 kali/minggu. Lansia dapat melakukan latihan setiap
minggu minimal 3 kali dengan memilih latihan yang disukai ataupun yang sesuai dengan
kelompok yang diikutinya.
 Intensity yang dapat menunjukkan derajat kualitas dari latihan yang dilakukan. Intensitas
latihan diukur dengan kenaikan detak jantung (latihan untuk peningkatan daya tahan paru
jantung pada intensitas 75%-85% detak jantung maksimal, pembakaran lemak 65%-75%
detak jantung maksimal. Untuk intensitas latihan pada lansia tetap harus memperhatikan
faktor keterlatihan. Untuk pemula mulailah dari intensitas yang paling ringan selanjutnya
naikkan secara bertahap sesuai dengan adaptasi dari para lansia masing-masing.
 Time atau durasi adalah lama setiap sesi latihan. Untuk meningkatkan kebugaran, lansia
memerlukan waktu 20-60 menit/Sesi. Hasil latihan akan nampak setelah 8-12 minggu dan
akan stabil setelah 20 Minggu.
 Type atau model latihan, karena tidak semua tipe gerak/ model latihan cocok untuk
meningkatkan semua komponen kebugaran namun perlu disesuaikan dengan tujuan latihan.
Lansia harus memilih latihan yang cocok serta sesuai dengan kemampuannnya, maka
disarankan untuk melakukan olahraga yang bersifat aerobik.

Anda mungkin juga menyukai