Anda di halaman 1dari 11

Keterkaitan Regionalisme Uni Eropa sebagai Aktor Global dengan

Permasalahan Britain Exit (Brexit)

Subject: International Organization

Lecturer: Arif Susanto, M. Si.

Name :

Syaimma Nur Hidayat

Class :

IR-204C
PENDAHULUAN

I. Latar Belakang Masalah

Lahirnya peran baru atas pergeseran paradigma berbeda dalam tatanan hubungan
internasional sekarang ini terjadi setelah usainya Perang Dingin pada tahun 1947 – 1991.
Paradigma ini menciptakan trobosan baru dalam beberapa bidang kehidupan seperti ekonomi
dan politik. Adanya masyarakat internasional yang saling ketergantungan adalah ciri-ciri
globalisasi,di mana salah satu contohnya adalah meningkatnya peran regionalisme dalam
dunia internasional melalui peran negara-negara dalam suatu organisasi regional. Uni Eropa
merupakan sebuah organisasi regional yang beranggotakan negara-negara yang terletak di
kawaasan Eropa. Saat ini Uni Eropa beranggotakan 28 negara. Uni Eropa sebagai organisasi
yang bersifat supranasional memiliki seperangkat aturan yang mengatur negara anggotanya,
dimana setiap negara anggotanya harus mematuhi aturan tersebut.Pembentukan organisasi di
Uni Eropa ini dilatar belakangi oleh kehancuran Eropa pasca Perang Dunia II, hal tersebut
merupakan langkah awal untuk mendorong kerjasama dengan negara-negara. Berdirinya Uni
Eropa untuk menciptakan kemitraan ekonomi yang kuat untuk mengurangi terjadinya
konflik.

Motif politik dan ekonomi yang dijadikan latar belakang untuk membangun unifikasi di
Eropa, ini kemudian menemukan momentumnya selepas Perang Dunia II. Keinginan untuk
mendirikan penyatuan Eropa diwujudkan dengan membentuk European Coal and Steel
Community (ECSC) oleh Jerman, Perancis, Italia, Belanda, Belgia dan Luxemburg (1951).
Tujuan didirikan ECSC adalah untuk pengolahan sumber perolehan bahan baku produksi, dan
distribusi batu bara dan besi baja. Transformasi EC yang menjadi European Union (EU)
terjadi dalam rentang waktu cukup panjang, karena seiring perkembangannya, berbagai kerja
sama di bidang ekonomi juga mendorong lahirnya kerja sama lain yang merupakan usaha
pemenuhan kepentingan politik negara-negara anggota terutama kepentingan politik negara-
negara besar seperti Perancis, Jerman dan Inggris.

Uni Eropa sebagai organisasi supranasional memiliki beberapa struktur organisasi yang
memiliki fungsi dan perannya masing-masing yaitu European Commission, The Council Of
The European Union, European Parliament, Court of The Justice European Union, The
European Council, The Council of Ministers and European Central Bank. Dalam proses
pengambilan keputusan, Uni Eropa melibatkan berbagai lembaga-lembaga, seperti: Parlemen
Eropa, Dewan Eropa, Dewan Uni Eropa, dan Komisi Eropa. Dalam sistem pengambilan
keputusan di Uni Eropa harus melewati standar yang disebut codecison progress. Setelah itu
dewan dan parlemen merancang undang-undang kebijakan tersebut. selain itu juga dewan dan
parlemen menyelidiki dampak dari kebijakan tersebut untung dan ruginya.

Berbeda dengan regionalisme lainnya di dunia, Uni Eropa dianggap sebagai sebuah
regionalism yang lebih terintegrasi karena memiliki berbagai atribut lainnya yang dimiliki
oleh negara-negara merdeka seperti bendera, lagu kebangsaan, tanggal pembentukan, mata
uang sendiri, kebijakan luar negeri maupun kebijakan keamanan yang dilakukan dengan
negara-negara lain. Beberapa pencapaian yang telah diraih oleh Uni Eropa seperti nobel
perdamaian pada tahun 2012 yang menyatakan Uni Eropa selama lebih dari enam dasawarsa
berperan besar dalanmewujudkan perdamaian, rekonsiliasi, demokrasi, dan hak asasi
manusia, hal tersebut menjadi potensi bagi Uni Eropa untuk memberikan contoh bagi
berbagai macam integrasi regional lainnya di dunia internasional. Hadiah Nobel Perdamaian
ini dianggap sebagai dorongan moral bagi Uni Eropa dalam mengatasi krisis utang dalam
membangun kembali kawasan setelah Perang Dunia Kedua. Namun, pencapaian tersebut
belum dapat membuat Uni Eropa menjadi sebuah regionalisme yang sempurna. Berbagai
permasalahan muncul baik dari dalam maupun dari luar Uni Eropa itu sendiri, sebagai contoh
adalah krisis utang yang diawali oleh negara Yunani pada tahun 2008 dan menyebar ke
negara anggota Uni Eropa lainnya seperti Irlandia, Italia dan Portugal. Lalu, adanya
keinginan Inggris dari Uni Eropa yang sudah berlangsung pada tahun 2015 hingga saat ini
melalui referendum di Inggris pada 23 Juni 2016 yang dikenal dengan Brexit(Britain Exit).

II. Uni Eropa dan Integrasi Regionalisme

Regionalisme Uni Eropa dibentuk untuk membanguan tingkat kompetisi dalam


menghadapi tantangan globalisasi sehingga dapat menyesuaikan diri agar tidak tertinggal.
Dengan hal ini pula Uni Eropa dapat meningkatkan posisinya di mata Internasional.
Regionalime yang dilakukan Uni Eropa pun merupakan sebuah strategi dengan tujuan
mendorong Eropa menjadi kawasan yang kuat dan menjadi salah satu pengendali proses
globalisasi itu sendiri. Dengan berjalannya waktu Uni Eropa telah membuktikan bahwa
organisasi ini dapat menjadi salah satu aktor utama dalam pengendali globalisasi maupun
mempercepat proses globalisasi yang terjadi. Segala bentuk percepatan yang dilakukan
berkaitan dengan beberapa bidang seperti bidang perekonomian, perpolitikan, sosial dan
budaya.

Integrasi yang terjadi di Uni Eropa dapat dilihat dalam dua pandangan baik secara
internal maupun eksternal. Pertama, Uni Eropa sebagai salah satu aktor dominan dalam
proses globalisasi diawali dari kerjasama besi dan baja dalam European Coal and Steel
Community (ECSC) sehingga menyebabkan hubungan ekonomi antarnegara Eropa semakin
terjalin erat dan saling bergantung satu sama lain. Aktivitas perpindahan barang dan jasa
dipermudah dengan adanya penghapusan hambatan-hambatan dalam perdagangan akibat
kerjasama ekonomi tersebut. Setelahnya, terbentuk European Monetary System (EMS) dan
Economis and Monetary Union (EMU) yang merupakan cikal bakal dari hadirnya mata uang
bersama yang dicita-citakan di Uni Eropa, yakni Euro. Dilihat dari pandangan eksternal,
bergabungnya Uni Eropa ke dalam organisasi-organisasi internasional sebagai satu kesatuan,
seperti World Trade Organization dan bahkan dalam organisasi International Monetary Fund
(IMF), Uni Eropa menjadi pemain utama di dalamnya. Kebijakan-kebijakan Uni Eropa dalam
sektor perekonomian dan perdagangan menyebabkan banyak negara-negara lain yang ingin
melakukan kerjasama perdagangan dengan Uni Eropa harus menyesuaikan diri dengan
kebijakan Uni Eropa.

III. Fenomena Brexit

“Brexit” adalah akronim dari Britain Exit, yang bermakna keluarnya Inggris dari integrasi
Uni Eropa yang sekarang terdiri dari 28 negara. “Brexit” digunakan untuk mengritik dan
menyudutkan Brussels, Belgia, markas Uni Eropa yang dinilai selama ini mencampuri
kedaulatan Inggris dengan beban-beban regulasinya. Dalam beberapa bidang, berbagai
keputusan ditetapkan melalui cara musyawarah-mufakat di antara 28 negara anggotanya.
Sebagai konsekuensinya, setiap negara anggota telah menyerahkan kedaulatannya dan tunduk
pada mekanisme bersama atas ketentuan Uni Eropa. Inggris baru bergabung dengan UE pada
1 Januari tahun 1973. Kelompok pro-“Brexit” berpendapat Inggris akan lebih baik jika bisa
mengatur ekonomi dan imigrasinya sendiri, sedangkan
menurut yang anti-“Brexit,” walaupun bergabung dengan Uni Eropa, Inggris tidak
mengadopsi seluruhnya idealisme Uni Eropa, antara lain tidak memberlakukan visa Schengen
dan mata uang Euro. Titik balik menegosiasikan keanggotannya dalam Uni Eropa muncul
22 Januari 2013, dalam janji kampanye PM David Cameron dari Partai Konservatif.

Integrasi Uni Eropa, sejak awal membutuhkan pengorbanan besar, terutama dalam
belanja ekonomi yang harus dikeluarkan para anggotanya. Juga dengan Inggris, yang
bebannya tidak hanya harus ditanggung para elit politik, namun juga penduduknya. Salah
satu pengorbanan terbesar Inggris adalah berkurangnya kedaulatan nasional, yang harus
ditransaksikan dengan kepentingan Eropa secara menyeluruh. Kedaulatan nasional tergerus
dengan dibangunnya entitas supranasional baru, yang melibatkan negara-negara kecil
anggotanya, yang sarat dengan beban ekonomi nasional, hutang luar negeri, bahkan yang
hampir bangkrut, seperti Yunani, dan angka pengangguran yang besar. Hal ini menyulitkan
Inggris untuk melesat dengan potensi ekonominya yang besar. Kebijakan Uni Eropa yang
terlalu ramah dalam imigrasi mendorong niat Inggris keluar dari Uni Eropa. Hal ini tampak di
kalangan mereka yang sangat tidak toleran terhadap orang asing, dengan berbagai perbedaan
latar belakang, seperti kondisi ekonomi, pendidikan, agama, dan kultur. Inggris menjadi
negara ke dua terbesar penerima imigran setelah Jerman.

Wacana “Brexit” telah menyebabkan tiga perpecahan, di antara partai di Inggris, negara-
negara Eropa, dan penduduk Inggris. Di politik nasional, “Brexit” telah menyebabkan
perpecahan tokoh politik Inggris, yang selama ini selalu memiliki banyak persamaan dalam
sikap, seperti antara PM David Cameron dan mantan Walikota London, Boris Johnson. PM
Cameron dan Johnson dengan persamaan sikapnya yang kuat telah berhasil membawa Partai
Konservatif memenangkan pemilu tahun 2015. Namun, 13 bulan kemudian, gagasan
referendum “Brexit” telah melahirkan perceraian politik, dengan PM Cameron berupaya
membujuk penduduk Inggris agar tidak meninggalkan Uni Eropa, dan Johnson berkampanye
sebaliknya, memperoleh dukungan agar Inggris dapat meninggalkan Uni Eropa dengan
segala beban kewajibannya. “Brexit” telah menunjukkan rakyat Inggris yang terbelah
pandangannya, antara mereka yang melihat peluang dan mereka yang sangat mencemaskan
dampaknya.

Gejolak Brexit ini tampak teredam, namun sesungguhnya belum padam dan bisa menyala
lagi sewaktu-waktu, serta menyambar ke gerak Pound Sterling di pasar mata uang. Para
pejabat politik di London serta ibukota negara-negara di benua Eropa lainnya sedang sibuk
mendiskusikan proses Brexit, termasuk syarat dan ketentuan pemisahan Inggris dari Uni
Eropa (UE). Dalam proses perceraian ini, muncullah istilah yang seringkali disebut 'Hard
Brexit' dan 'Soft Brexit', dengan pemikiran mantan PM Inggris, Theresa May, yang dinilai
lebih condong kepada kubu 'Hard Brexit'.

Hard Brexit atau Brexit "garis keras" adalah istilah populer yang merujuk pada
kemungkinan hasil negosiasi antara Inggris dan Uni Eropa, dimana Inggris akan melepas
sepenuhnya keanggotaan dalam pasar tunggal (single market) Eropa, utamanya pada sektor
barang dan jasa. Hard Brexit bisa membuat Inggris mendapatkan hak untuk mengendalikan
anggaran negaranya sendiri, undang-undangnya, dan yang paling penting, mendapatkan hak
untuk mengendalikan sepenuhnya undang-undang imigrasi Inggris sendiri.

Jika memilih Hard Brexit, maka para petinggi negara Inggris akan terus ditekan untuk
secepatnya membuat pakta-pakta perdagangan baru ataupun segera membuat kesepakatan
antara industri per industri, dengan Uni Eropa. Jika tidak begitu, maka perusahaan-
perusahaan di Inggris akan diarahkan untuk mengikuti aturan standar World Trade
Organization (WTO), yang di dalamnya ada aturan untuk menetapkan tarif (bea
impor/ekspor) jika Inggris ingin menjalin hubungan dengan Uni Eropa atau sebaliknya.
Bank-bank Inggris pun akan kehilangan akses kemudahan bebas bea yang dinikmatinya
selama ini dalam hubungan dengan bank-bank lain yang masih menjadi anggota Uni Eropa.
Sebaliknya, Brexit yang lebih "lunak" alias "Soft Brexit" akan mempertahankan sejumlah
akses bebas tarif ke pasar tunggal. Dalam Soft Brexit, Inggris kemungkinan masih harus
berkontribusi pada anggaran keuangan Uni Eropa, membuka kebebasan bagi pergerakan
tenaga kerja, dan mengikuti sebagian aturan-aturan Uni Eropa lainnya. Dengan kata lain,
Inggris akan berlaku seperti Norwegia, yang merupakan anggota European Economic Area,
namun bukan anggota Uni Eropa.

Perbedaan antara "Hard" dan "Soft" Brexit dimulai bahkan jauh sebelum referendum 23
Juni. Referensi awalnya datang dari, John Wraith, Kepala Ahli Strategi di UBS AG yang
mengungkapkan pada Bloomberg Radio pada bulan Februari lalu, bahwa Brexit "yang lebih
lunak" akan terkesan cukup bersahabat dan memiliki arti pembangunan kembali kesepakatan
perdagangan. Sebaliknya Brexit "garis keras", artinya adalah negosiasi yang alot dan
pemancangan barikade-barikade perdagangan antar negara. Para investor yang
mengkhawatirkan "Hard Brexit" mendorong jatuh Pound Sterling ke level rendah tiga dekade
setelah mantan PM Theresa May dan rekan-rekannya di Partai Konservatif memberi sinyal
akan kecenderungan mereka untuk melepaskan diri sebebas-bebasnya dari Uni Eropa. Namun
para investor justru khawatir. Mereka takut perekonomian akan dirugikan karena fungsi
Inggris sebagai partner komersial dan perdagangan yang terbesar memudar sehingga
menyebabkan lemahnya pertumbuhan, rendahnya investasi, dan pesatnya inflasi. Otomatis,
akan makin sulit bagi Inggris untuk keluar dari rekor defisit neraca berjalannya. The
Confederation of British Industry dan British Retail Consortium adalah dua kelompok bisnis
yang paling vokal memperingatkan dampak dari pemutusan hubungan dengan perdagangan
Uni Eropa. Bank-bank pun gugup karena meninggalkan single-market dapat menambah biaya
yang biasa mereka sebut "ongkos paspor". Kondisi ini memang masih memungkinkan
mereka untuk menawarkan jasanya sebagai bank di Uni Eropa, tapi mereka harus memiliki
kantor pusat di London. Pada dasarnya Parlemen kemungkinan lebih menginginkan "Soft
Brexit" ketimbang apa rencana-rencana mantan PM Theresa May yang kental akan sentimen
"Hard Brexit".

Pada hari Selasa, 23 Juli 2019, Boris Johnson dari Partai Konservatif menggantikan
Theresa May setelah mengundurkan diri karena kemelut Brexit. Hanya lebih dari tiga bulan
kemudian, tanggal 31 Oktober 2019, Inggris dijadwalkan akan meninggalkan Uni Eropa.
Johnson bersumpah untuk menghidupkan kembali pesona kharismatik Inggris dengan janji
utamanya adalah Inggris akan meninggalkan Uni Eropa tanggal 31 Oktober 2019 apapun
yang terjadi. Presiden Komisi Eropa yang baru terpilih Ursula von der Leyen mengatakan
bahwa Inggris dapat memiliki perpanjangan hanya untuk alasan kuat seperti pemilihan atau
referendum baru. Begitu Inggris meninggalkan Uni Eropa, pemimpinnya akan menghadapi
serangkaian tantangan baru dalam menegosiasikan kesepakatan perdagangan baru di seluruh
dunia.

IV. Dampak Brexit Terhadap Uni Eropa dan Inggris

Dengan adanya fenomena Brexit tentu akan memberikan dampak bagi masing-masing
pihak dalam berbagai bidang berikut dampak-dampak yang diterima oleh kedua pihak

Ekonomi

Terdapat dampak bagi Uni Eropa jika Inggris keluar dari Uni Eropa yaitu Uni Eropa
akan kehilangan anggaran karena Inggris merupakan anggota penyumbang nomor empat
terbesar untuk anggaran Uni Eropa sebesar 11,3 miliar Euro setelah Jerman, Perancis dan
Italia. Negara yang tergabung dalam Uni Eropa setidaknya harus mengisi setengah jumlah
kekurangan dari hilangnya kontribusi dana Inggris kepada Uni Eropa. Total kontribusi
Inggris untuk anggaran Uni Eropa untuk tahun 2016 adalah 19,4 miliar euro, termasuk di
dalamnya pemotongan tarif dan pajak impor. Inggris menerima sekitar 7 miliar euro dari
subsidi regional dan pertanian. Jerman, negara anggota Uni Eropa terbesar harus
menyediakan uang ekstra untuk menutupi celah ini sekitar 2,5 miliar euro. Inggris pun
merupakan negara dengan perekonomian terbesar kedua di Eropa, sehingga secara langsung
akan berdampak kepada perekonomian Uni Eropa, karena free flow of goods dan free flow
of movement berbeda jika Inggris keluar dari Uni Eropa. Bagi Inggris sendiri, fenomena
Brexit mereugikan perekonomian Inggris. Poundsterling jatuh secara dramatis pada
referendum brexit tahun 2016 .
Politik

Dengan berhasilnya referendum keluarnya Inggris dari Uni Eropa, dampak politik
terjadi bagi Inggris adalah mundurnya David Cameron dari jabatannya sebagai Perdana
Menteri Inggris. Bagi Uni Eropa sendiri, fenomena brexit menimbukan kerjasama regional
dan sistem perdagangan bebas di Uni Eropa. Penyebabnya karena brexit mementingkan
nasionalisme diatas regionalisme. Hal tersebut menjadi tantangan sendiri bagi negara Uni
Eropa yang tergabung lainnya. Seperti bagaimana Prancis, Belanda dan Italia menjadikan
brexit sebagai sebuah model untuk mempertanyakan mengenai kedaulatan yang sudah
mereka berikan sebagian kepada Uni Eropa.

Keamanan

Tantangan yang harus dihadapi Uni Eropa dengan adanya fenomena brexit adalah
bagaimana cara melanjutkan program Kebijakan Keamanan dan Ketahanan Umum (Common
Security and Defense Policy) Uni Eropa, karena Inggris merupakan penggerak utama dan
merupakan salah satu pemegang saham utama di bidang kebijakan ini. Bahwa 50 persen
kemampuan pertahanan Uni Eropa di kapal induk dan kapal selam nuklir berasal dari Inggris.
Sehingga, Uni Eropa harus menyusun kerangka kerja kemitraan untuk menjaga agar Inggris
terlibat dalam aktivitas tersebut di masa depan sebagai pihak ke tiga.

Sosial

Warga imigran atau ekspatriat akan menjadi kubu yang paling menderita jika Inggris
keluar dari Uni Eropa. Berbagai kebijakan soal imigran di Inggris akan mengalami perubahan
drastis. Jumlah imigran di Inggris tahun 2015 mencapai 333 ribu orang dan selalu naik
menjadi 100 ribu per tahunnya sejak 1998. Usai referendum yang memenangkan pro brexit,
para ekspatriat Eropa di Inggris terancam di deportasi. Brexit juga akan mengancam pekerja
imigran di Inggris datang dari negara-negara Eropa Timur. Keluarnya Inggris atau brexit dari
Uni Eropa mulai membawa damoak buruk dalam kehidupan sosial Inggris. Tindakan yang
dilakukan oleh Inggris memicu aksi rasisme yang menyasar pada warga muslim.

V. Kerangka Teori

Teori digunakan sebagai pedoman dalam menganalisa suatu kejadian ataupun


fenomena, sebuah teori didukung melalui sekumpulan data yang terbentuk kemudian menjadi
sebuah fakta. Beberapa teori pendukung dalam permasalahan Brexit ini menggunakan teori
regionalisme dan pendekatan perspektif neorealisme.

Teori Regionalisme

Bagi negara yang cenderung berada dalam posisi lemah dalam organisasi regional,
Hurrell menjelaskan fungsi regionalisme adalah sebagai institusi pembentuk peraturan dan
prosedur. Selain itu, institusi tersebut juga membuka “voice opportunities” atau kesempatan
dan hak yang sama dalam berpendapat, membuka peluang membentuk koalisi yang lebih
kuat, dan membuka wadah politis untuk membangun koalisi baru. Sedangkan bagi negara
yang relatif kuat, regionalisme berfungsi sebagai tempat untuk menjalankan strategi, tempat
untuk mewadahi hegemoni, dan tempat untuk melegitimasi power.

Regionalisme merupakan perkembangan integrasi sosial dalam sebuah wilayah yang


kerap kali tidak secara langsung dalam interaksi sosial dan ekonomi. Pengambilan kebijakan
di dalam regionalisme berdasarkan kebijakan yang secara sadar dibuat oleh negara maupun
sekumpulan negara yang tergabung di dalam organisasi regional tersebut, seperti misalnya
Uni Eropa. Sedangkan kesadaran regional dan identitas menekankan pada sense of belonging
atau rasa memiliki antar entitas-entitas yang terlibat di dalamnya. Kerapkali regionalisme
jenis ini didasari oleh persamaan identitas dan identifikasi terhadap identitas itu sendiri
sehingga kerap menimbulkan diferensiasi dan kategorisasi. Misalnya saja penggolongan
masyarakat masyarakat Eropa dan bukan Eropa. Kerjasama regional antar negara merupakan
regionalisme yang terbentuk sebagai upaya untuk merespon tantangan eksternal. Dalam
regionalisme ini ditekankan adanya koordinasi untuk menentukan posisi regional dalam
sistem internasional. Di lain sisi, integrasi regional menekankan pada pengurangan atau
bahkan usaha untuk menghilangkan batas antar negara. Dalam konteks ini bukan batas
geografis yang ingin dihilangkan, namun batas interaksi seperti batasan pajak ekspor dan
impor.

Hubungan yang dilakukan oleh Uni Eropa dan Inggris untuk membentuk aliansi
bersama demi merespon tantangan eksternal sudah terjalin pada 1 Januari 1973 dengan
permohonan Inggris bergabung dengan European Community. Sehingga perspektif organisasi
regional untuk mengaktualisasikan strategi sebagai alat hegemon untuk menguasai sebagian
dunia telah dilakukan sejak lama. Hal tersebut merujuk kepada aktivitas kerjasama antara Uni
Eropa dan Inggris yang menunjukkan interdependensi termasuk negosiasi-negosiasi bilateral
sampai pembentukan rezim yang dikembangkan untuk memenuhi kesejahteraan, dan
meningkatkan nilai-nilai kebersamaan terutama kerja sama regional berupa integrasi ekonomi
regional yang mengurangi dan menghilangkan hambatan-hambatan dalam pertukaran barang,
jasa dan orang-orang.

Teori Neorealisme

Neorealisme adalah sebuah pemikiran klasik realisme dan dikembangkan, dicetuskan


oleh Kenneth N. Waltz pada bukunya yang berjudul “Theory of International Politics” pada
tahun 1979. Waltz memfokuskan teori hubungan internasional pada struktur sistem, unit-unit
yang berinteraksi, kesinambungan, dan perubahan sistem. Pada perspektif neorealisme,
struktur dalam hubungan internasional merupakan hal yang penting karena strukturlah yang
akan menentukan perilaku negara dalam mencapai kepentingan nasionalnya.

Kenneth N. Waltz menjelaskan politik internasional atau global harus dilihat sebagai
obyek kajian empiris yang diasumsikan sebagai sebuah sistem dengan struktur distribusi
kekuatan tertentu di antara unit-unitnya. Meskipun setiap negara menjalankan fungsi pokok
yang sama seperti keamanan dan kesejahteraan rakyatnya, mereka memiliki kemampuan atau
kapabilitas yang berbeda dalam menjalankannya. Menurut pandangan neorealisme, negara
melakukan kerjasama berdasarkan pada self-interest yang digunakan untuk memenuhi tujuan
survival-nya.
Namun, neorealisme memandang secara pesimis terhadap hasil dari kerjasama.
Kepentingan utama negara adalah kelangsungannya sendiri, sehingga negara akan
memaksimalkan power mereka baik kekuatan ekonomi maupun militer. Menurut Waltz
terkait penjelasan neorealis, menjelaskan tentang pemimpin negara dalam menjalankan
kebijakan luar negeri, yaitu kepentingan para penguasa, dan kemudian negara membuat suatu
rangkaian tindakan, kebutuhan kebijakan muncul dari persaingan negara yang diatur.
Kalkulasi yang berdasarkan pada kebutuhan-kebutuhan ini dapat menemukan kebijakan-
kebijakan yang akan menjalankan dengan baik kepentingan-kepentingan negara, keberhasilan
adalah ujian terakhir dari kebijakan itu, dan keberhasilan didefinisikan sebagai memelihara
dan memperkuat negara.

Terdapat tiga tingkat analisis menurut Waltz. Tingkat analisis pertama adalah sistem
(system-level analyse). Tingkat analisis ini disebut sebagai tingkat analisis yang paling
komprehensif karena dapat memberikan pola umum tentang perilaku negara dan saling
ketergantungan di antara keduanya, tingkat analisis sistem harus memahami bentuk dari
sistem internasional dan bagaimana sistem tersebut mempengaruhi aktor. Tingkat analisis
kedua adalah negara (state level analyse) di mana perilaku negara ditentukan oleh faktor-
faktor internal dari negara tersebut. Maka dalam menggunakan tingkat analisis negara,
dibutuhkan pemahaman tentang bagaimana berbagai aktor (birokrat, kelompok kepentingan,
dan badan legislatif) dalam negara berperan dalam pengambilan kebijakan luar negeri.
Tingkat analisis terakhir yaitu individu. Tingkat analisis individu memandang manusia
sebagai aktor. Tingkat analisis ini dibutuhkan untuk menganalisa bagaimana individu
berinteraksi dalam kelompok atau bagaimana faktor idiosinkratik berpengaruh terhadap
pengambilan kebijakan luar negeri.

Konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep kepentingan nasional
(national interest). Kepentingan nasional adalah tujuan-tujuan yang ingin dicapai sehubungan
dengan kebutuhan bangsa/negara atau sehubungan dengan hal yang dicita-citakan. Secara
minimum, kepentingan nasional mencakup keutuhan wilayah suatu bangsa, kemerdekaan,
dan kelangsungan hidup nasional. Namun, kelangsungan hidup nasional itu sendiri diberi
bermacam-macam interpretasi oleh beragam negara yang menghadapi kondisi yang
berlainan. Kepentingan nasional sering dijadikan tolak ukur atau kriteria pokok bagi para
pengambil keputusan (decision makers) masing-masing negara sebelum merumuskan dan
menetapkan sikap atau tindakan. Bahkan setiap langkah kebijakan luar negeri (foreign policy)
perlu dilandaskan kepada kepentingan nasional dan diarahkan untuk mencapai serta
melindungi apa yang dikategorikan atau ditetapkan sebagai “kepentingan nasional”.

Pandangan terhadap kasus brexit terhadap Uni Eropa dan Inggris, kedua pihak sama-
sama mementingkan kepentingan nasional atas negaranya masing-masing diatas adanya
konsep regionalisme dalam tujan kerjasama untuk meningkatkan kesejahteraan antara kedua
pihak Uni Eropa maupun Inggris. Inggris menginginkan lepas sepenuhnya dari Uni Eropa,
banyak alasan seperti berkurangnya kedaulatan nasional yang harus disesuaikan dengan
kepentingan Eropa secara menyeluruh yang melibatkan harus menanggung beban ekonomi
nasional, hutang luar negeri dan pengangguran yang besar di negara Uni Eropa, sehingga
menyulitkan Inggris untuk melesat dengan potensi ekonominya yang besar. Selain itu,
kebijakan Uni Eropa yang terlalu ramah dalam imigrasi mendorong niat Inggris keluar dari
Uni Eropa. Hal ini tampak di kalangan mereka yang sangat tidak toleran terhadap orang asing
atau imigran, dengan berbagai perbedaan latar belakang, seperti kondisi ekonomi,
pendidikan, agama, dan kultur.Sikap Brussels yang mengharuskan para anggotanya berbagi
beban mengatasi pengungsi yang mengalir ke daratan Eropa telah memaksa London juga
harus membuka pintu lebar-lebar atas pengungsi. Mereka sudah berada di kamp
penampungan di perbatasan Prancis, dan siap memasuki daratan Inggris lewat jalan tol dan
kereta api. Perilaku pengungsi imigran yang beringas, ditambah lagi dengan biaya dan
pengorbanan lebih besar yang harus dikeluarkan Pemerintah Inggris, telah membuat sebagian
elit politik dan rakyat Inggris harus mengambil langkah drastis dengan referendum pada 23
Juni 2016. Sehingga, membuktikan bahwa Inggris ingin mengamankan kepentingan
nasionalnya, khususnya di Eropa.

VI. Kesimpulan

Dengan kemunginan keluarnya Inggris dari Uni Eropa secara Hard Brexit yang diperkasai
oleh Perdana Menteri baru Inggris Boris Johnson, membuktikan adanya tantangan
regionalisme itu sendiri karena Uni Eropa dilihat sebagai model kesuksesan organisasi
regional yang supranasional bagi dunia internasional. Dengan adanya persamaan mata uang,
penyerahan sebagian kedaulatan, merupakan suatu ciri kuatnya integrasi antara negara-negara
Eropa yang tergabung dalam Uni Eropa. Dampak brexit akan mengganggu dinamika politik
dalam negeri dan luar negeri kedua pihak, serta Eropa akan kehilangan harga diri sebagai
negara-negara yang sudah tergabung dalam Uni Eropa sejak lama lalu tidak dapat
mempertahankan anggotanya akibat gagalnya sebuah negosiasi yang tidak dapat
menguntungkan kedua pihak. Namun, tidak dapat dikatakan pula bahwa regionalisme itu
gagal, pada kenyataanya PM baru Inggris Boris Johnson mendesak Uni Eropa berunding
ulang soal brexit, sehingga berharap keputusan brexit pada 31 Oktober 2019 mendatang
memberikan bayangan kepastian atas hubungan Uni Eropa dan Inggris yang dapat
menguntungkan kedua pihak.
Sumber

http://fkmhii.com/2016/11/12/regionalisme-fenomena-brexit-dampak-bagi-inggris-uni-eropa-
dan-dunia/

https://www.global-counsel.co.uk/sites/default/files/special-reports/downloads/Global
%20Counsel_Impact_of_Brexit.pdf

http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/3799/fisip-
anthonius3.pdf;jsessionid=2A3A818FEEBFF096372262DFEFC8FC89?sequence=l

https://www.matamatapolitik.com/analisis-boris-johnson-berpeluang-terpilih-jadi-pm-masa-
depan-inggris-terseok/

https://www.academia.edu/33361152/REGIONALISME_DALAM_POLITIK_GLOBAL_D
AMPAK_BREXIT_TERHADAP_INGGRIS_DAN_REGIONALISME_UNI_EROPA

https://www.seniberpikir.com/teori-realisme-dalam-hubungan-internasional/

https://www.seputarforex.com/7-hal-pokok-tentang-hard-brexit-dan-soft-brexit-274837-12

Anda mungkin juga menyukai