Makalah Tafsir Kelompok 1
Makalah Tafsir Kelompok 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1
BAB II
PEMBAHASAN
>ك يَ>>وْ ِمِ >ِ) َمال3( َّح ِيم ِ ) ال>رَّحْ َم ِن ال>ر2( َ) ْال َح ْم> ُد هَّلِل ِ َربِّ ْال َع>>الَ ِمين1( َّح ِيم ِ بِس ِْم هَّللا ِ الرَّحْ َم ِن ال>ر
َص> َراطَ الَّ ِذينَ أَ ْن َع ْمتِ )6( الص> َراطَ ْال ُم ْس>تَقِي َم
ِّ ) ا ْه> ِدنَا5( ين ُ ) إِيَّاكَ نَ ْعبُ ُد َوإِيَّاكَ نَ ْست َِع4( ِّين
ِ الد
ِّ
]7 - 1 : >[الفاتحة )7( َب َعلَ ْي ِه ْم َواَل الضَّالين ْ ْ
ِ َعلَ ْي ِه ْم َغي ِْر ال َمغضُو
1. Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
2. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam;
3. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang;
4. Yang menguasai Hari Pembalasan.
5. Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami
meminta pertolongan.
6. Tunjukkanlah kami jalan yang lurus;
7. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka;
bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
B. Penjelasan Umum Surat Al-Fatihah
Al-Fatihah terdiri dari tujuh ayat dan menurut mayoritas ulama diturunkan di
Mekkah.[1]Namun menurut pendapat sebagian ulama, seperti Mujahid, surat ini
diturunkan di Madinah. Menurut pendapat lain lagi, surat ini diturunkan dua kali,
sekali di Mekkah, sekali di Madinah.[2] Ia merupakan surat pertama dalam daftar
surat Al-Qur’an. Meski demikian, ia bukanlah surat yang pertama kali diturunkan,
karena surah yang pertama kali diturunkan adalah Surah al-Alaq.[3]
Surat ini dinamakan al-fatihah (pembuka) karena secara tekstual ia memang
merupakan surat yang membuka atau mengawali Al-Qur’an, dan sebagai bacaan yang
mengawali dibacanya surah lain dalam shalat.[4] Selain al-Fatihah, surat ini juga
dinamakan oleh mayoritas ulama dengan Ummul Kitab. Namun nama ini tidak
disukai oleh Anas, al-Hasan, dan Ibnu Sirin. Menurut mereka, nama Ummul
Kitab adalah sebutan untuk al-Lauh al-Mahfuzh.[5] Selain kedua nama itu di atas,
menurut as-Suyuthi memiliki lebih dari dua puluh nama, di antaranya adalah al-
Wafiyah (yang mencakup),[6] asy-Syafiyah (yang menyembuhkan),[7] dan as-Sab’ul
Matsani (tujuh ayat yang diulang-ulang).[8]
2
C. Tafsir Surat Al-Fatihah
Ayat ini merupakan pujian kepada Allah karena Dia memiliki semua sifat
kesempurnaan dan karena telah memberikan berbagai kenikmatan, baik lahir maupun
batin; serta baik bersifat keagamaan maupun keduniawian. Di dalam ayat itu pula,
terkandung perintah Allah kepada para hamba untuk memuji-Nya. Karena hanya
Dialah satu-satunya yang berhak atas pujian. Dialah yang menciptakan seluruh
makhluk di alam semesta. Dialah yang mengurus segala persoalan makhluk. Dialah
yang memelihara semua makhluk dengan berbagai kenikmatan yang Dia berikan.
Kepada makhluk tertentu yang terpilih, Dia berikan kenikmatan berupa iman dan
amal saleh.[11]
ِ الرَّحْ َم ِن الر
]3 : ) [الفاتحة3( َّح ِيم
“ Maha Pemurah lagi Maha Penyayang “
Kedua kata tersebut adalah kata sifat yang berakar pada satu kata, yaitu ar-
rahmah. Secara bahasa, kata rahmat berarti kasih di dalam hati yang mendorong
timbulnya perbuatan baik. Makna bahasa ini kurang tepat untuk menggambarkan sifat
Allah. Karena itulah, para ulama lantas lebih sepakat untuk menyatakan bahwa kasih
3
sayang adalah sifat yang ada dalam Dzat Allah. Kita tidak mengetahui bagaimana
hakikatnya. Kita hanya menyadari efek dari sifat kasih sayang-Nya, yaitu berupa
kebaikan.[12]
Banyak para ulama yang membedakan antara makna ar-Rahmandan ar-
Rahim. Sifat ar-Rahman merupakan sifat kasih sayang Allah yang memberikan
kenikmatan kepada seluruh makhluk-Nya. Sedangkan sifat ar-Rahim adalah sifat
kasih sayang-Nya yang memberikan kenikmatan secara khusus untuk orang-orang
mukmin saja. Sebagian ulama lain menyatakan bahwa sifat ar-Rahman merupakan
sifat kasih sayang Allah yang memberikan kenikmatan yang bersifat umum.
Sedangkan sifat ar-Rahim merupakan sifat kasih Allah yang memberikan kenikmatan
yang bersifat khusus.[13]
Menurut Syekh Thanthawi Jauhari, kata ar-Rahman merupakan sifat kasih
sayang Allah yang berkaitan dengan Dzat-Nya. Allah merupakan sumber kasih
sayang dan kebaikan. Sedangkan kata ar-Rahim adalah sifat kasih sayang Allah yang
berkaitan dengan perbuatan, yaitu bagaimana sampainya kasih sayang dan kebaikan
Allah kepada para hamba-Nya yang diberi kenikmatan.[14]
]4 : ) [الفاتحة4( ِّين
ِ ك يَوْ ِم الد
ِ َِمال
“ Yang menguasai di hari Pembalasan “
Dalam ayat ini, terdapat dua macam qiraat. Ashim, al-Kisa’i, dan Ya’qub
membacanya dengan huruf mim dibaca panjang (mad). Sedangkan para qari yang
lain membacanya dengan huruf mim tidak dibaca panjang (mad). Meski bisa dibaca
dengan dua cara, kata tersebut memiliki makna yang sama. Sebagian ulama
menyatakan bahwa kata al-Maalik atau al-Malik bermakna Yang Maha Kuasa untuk
menciptakan sesuatu dari tidak ada menjadi ada. Tidak ada yang mampu melakukan
hal itu kecuali Allah SWT.[15]
Menurut Ibnu Abbas, Muqatil, dan as-Sadi, ayat tersebut berarti “yang
memutuskan di hari perhitungan.” Menurut Qatadah, kata ad-din ( )ال>>>دينberarti
pembalasan. Dalam hal ini, pembalasan berlaku atas semua kebaikan dan keburukan.
Sedangkan menurut Muhammad bin Ka’ab al-Qarzhi, ayat tersebut bermakna “yang
menguasai hari ketika tak ada lagi yang bermanfaat kecuali agama.” Menurut
pendapat lain, kata ad-din berarti ketaatan. Dengan demikian, yaum ad-din berarti
hari ketaatan. [16] Saat itu, hanya ketaatan hamba kepada Tuhan yang
menyelamatkannya dari siksaan neraka.
4
ُ إِيَّاكَ نَ ْعبُ ُد َوإِيَّاكَ نَ ْست َِع
]5 : ) [الفاتحة5( ين
Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami
meminta pertolongan.
Menurut Ibnu Abbas, kata “tunjukkanlah kami” ( )ا ْه> ِدنَاberarti “berilah kami
ilham.” Sedangkan “jalan yang lurus” (ص َراطَ ْال ُم ْستَقِي َم
ِّ )الberarti kitab Allah. Dalam
riwayat lain “jalan yang lurus” itu adalah agama Islam. Selain itu, ada juga riwayat
yang menyatakan bahwa ia berarti “al-haqq” (kebenaran). Dengan demikian, menurut
Ibnu Abbas lagi, kalimat “tunjukkan kami jalan yang benar” berarti “berilah kami
ilham tentang agama-Mu yang benar, yaitu tiada tuhan selain Allah satu-satunya;
serta tiada sekutu bagi-Nya.”[20]
Kata ash-shirath (َ)الص > َراط
ِّ dalam ayat di atas mempunyai tiga macam cara
membaca (qiraat). Pertama, mayoritas qari, membacanya dengan dengan huruf shad,
sebagaimana yang tercantum dalam mushaf Utsmani.Kedua, sebagian lain
membacanya dengan huruf siin, sehingga menjadi ()الس> َراط. Ketiga, dibaca
ِ dengan
huruf zay ()ز, sehingga menjadi (>زراَط ِ >)ال.[21] Sedangkan menurut bahasa, seperti
5
dikatakan at-Thabari, kata ash-shirath (َ)الص > َراط
ِّ berarti jalan yang jelas dan tidak
bengkok.[22]
Kataا ْه> ِدنَا berasal dari akar kata hidayah ()هداية. Menurut al-Qasimi, hidayah
berarti petunjuk –baik yang berupa perkataan maupun perbuatan– kepada kebaikan.
Hidayah tersebut diberikan Allah kepada hamba-Nya secara berurutan.
Hidayah pertama diberikan Allah kepada manusia melalui kekuatan dasar yang
dimiliki manusia, seperti pancaindra dan kekuatan berpikir. Dengan kekuatan inilah,
manusia bisa memperoleh petunjuk untuk mengetahui kebaikan dan keburukan.
Hidayah kedua adalah melalui diutusnya para Nabi. Macam hidayah ini terkadang
disandarkan kepada Allah, para rasul-Nya, atau Alquran. Hidayah
tingkatan ketiga adalah hidayah yang diberikan oleh Allah kepada para hamba-Nya
yang karena perbuatan baik mereka. Hidayah keempat adalah hidayah yang telah
ditetapkan oleh Allah di alam keabadian. Dalam pengertian hidayah keempat inilah,
maka Nabi Muhammad tidak berhasil mengajak sang paman, Abi Thalib, untuk
masuk Islam.[23]
>ِ ص َراطَ الَّ ِذينَ أَ ْن َع ْمتَ َعلَ ْي ِه ْم َغي ِْر ْال َم ْغضُو
]7 : ) [الفاتحة7( َب َعلَ ْي ِه ْم َواَل الضَّالِّين ِ
“(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan
(jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat “
Ayat ini merupakan penjelasan dan tafsir dari ayat sebelumnya tentang apa
yang dimaksud dengan “jalan yang lurus” (ط ْال ُم ْس>تَقِي َم
َ الص> َرا ).
ِّ Jadi, yang dimaksud
dengan “jalan yang lurus” adalah “jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat
kepada mereka”. Sedangkan yang dimaksud dengan “jalan orang-orang yang telah
Engkau beri nikmat kepada mereka”adalah jalan orang-orang yang telah Allah beri
anugerah kepada mereka, lalu Allah pun menjaga hati mereka dalam Islam, sehingga
mereka mati tetap dalam keadaan Islam. Mereka itu adalah para nabi, orang-orang
suci, dan para wali. Sedangkan, menurut Rafi’ bin Mahran, seorang tabi’in yang juga
dikenal dengan nama Abu al-Aliyah, yang dimaksud dengan “orang-orang yang
Engkau beri nikmat itu” adalah Nabi Muhammad dan kedua sahabat beliau, yaitu
Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab.[24]
Selanjutnya, yang dimaksud dengan “bukan jalan mereka yang dimurkai” (غير
)المغض>>>وب عليهمadalah jalan yang ditempuh oleh orang-orang Yahudi. Mereka
dimurkai oleh Allah dan mendapatkan kehinaan karena melakukan berbagai
kemaksiatan. Sedangkan yang dimaksud dengan orang-orang yang sesat ( )الضالينpada
lanjutan ayat tersebut adalah orang-orang Nasrani. Tafsir bahwa orang-orang
dimurkai adalah Yahudi dan orang-orang sesat adalah Nasrani sudah disepakati oleh
banyak para ulama dan diuraikan di dalam beberapa hadis dan ayat-ayat Alquran
sendiri.[25]
\
6
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Surat Al-Fatihah bukan semata-mata bacaan untuk beribadah saja, tetapi juga
mengandung bimbingan untuk membentuk pandangan hidup setiap muslim.
Tauhid uluhiyah sudah ditunjukkan keberadaannya dalam ayat,
“Alhamdulillah” (Segala puji bagi Allah). Hal itu dikarenakan penyandaran pujian
oleh para hamba terhadap Rabb mereka merupakan sebuah bentuk ibadah dan
sanjungan kepada-Nya, dan itu merupakan bagian dari perbuatan mereka. Kemudian
pada ayat, “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in” menunjukkan bahwa ibadah tidak
boleh dipersembahkan kecuali kepada Allah. Demikian pula meminta pertolongan
dalam urusan yang hanya dikuasai oleh Allah juga harus diminta hanya kepada Allah.
Kalimat yang pertama menunjukkan bahwasanya seorang muslim harus
melaksanakan ibadahnya dengan ikhlas untuk mengharap ridha Allah yang disertai
kesesuaian amal dengan sunnah Rasulullah SAW. Sedangkan kalimat yang kedua
menunjukkan bahwa hendaknya seorang muslim tidak meminta pertolongan dalam
mengatasi segala urusan agama dan dunianya kecuali kepada Allah. Dan pada ayat,
“Ihdinash shirathal mustaqim” yang merupakan doa yang termasuk jenis ibadah. Doa
ini merupakan permintaan seorang hamba untuk mendapatkan petunjuk menuju jalan
lurus.
Adapun tauhid rububiyah, ia juga sudah terkandung di dalam ayat, “Rabbil
‘alamin.” Hal itu disebabkan Allah adalah rabb bagi segala sesuatu, pencipta
sekaligus penguasanya. Pada ayat “Maliki yaumiddin” Allah adalah rabb segala
sesuatu dan penguasanya. Seluruh kerajaan langit dan bumi serta apapun yang berada
di antara keduanya adalah milik-Nya. Dialah Raja yang menguasai dunia dan akhirat.
Sedangkan tauhid asma’ wa shifat, maka sesungguhnya ayat kedua telah
menyebutkan dua buah nama Allah. Kedua nama itu adalah Allah dan Rabb
sebagaimana di dalam ayat, “Rabbil ‘alamin”. Pada ayat ini kata ‘alamin adalah
segala makhluk selain Allah. Allah dengan dzat-Nya, nama-nama-Nya, sifat-sifat-
Nya, maka Dialah Sang Pencipta. Sedangkan semua selain diri-Nya adalah makhluk.
7
DAFTAR PUSTAKA
8
Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Mahasin at-Ta’wil, kitab digital dalam Program al-
Maktabah asy-Syamilah versi 3.13.
[24] Abu al-Laits Nashr bin Muhammad bin Ibrahim as-Samarqandi, Bahr al-Ulum, (Beirut:
Dar al-Fikr, tt.), juz 1, hal.43.
[25] Ibid., juz 1, hal. 44.