Anda di halaman 1dari 14

DAMPAK PSYCHOSOCIAL PASIEN, KELUARGA/MASYARAKAT DAN

TENAGA KESEHATAN DAN PENANGANAN DICINA, WHO DAN


PALANG MERAH DAN INDONESIA

Pandemi COVID-19 merupakan bencana non alam yang dapat memberikan dampak
pada kondisi kesehatan jiwa dan psikososial setiap orang. Pada Januari 2020, Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa wabah penyakit virus corona baru yang terjadi
di Provinsi Hubei, Cina sebagai Darurat Kesehatan Masyarakat yang merupakan
Keprihatinan Internasional. Dua bulan kemudian, pada 11 Maret 2020, WHO menyatakan
wabah virus Corona COVID-19 sebagai pandemi. Dalam keadaan darurat, orang mungkin
bereaksi terhadap stres dengan berbagai cara. Perubahan psikologis dapat mencakup
peningkatan kecemasan, suasana hati pada tingkat yang rendah, motivasi yang rendah dan
pikiran gelisah atau depresi. Selama wabah seperti COVID-19, seluruh populasi mengalami
peningkatan tingkat stres yang dapat memiliki efek serius pada kesehatan mental, terutama
dalam kasus di mana karantina wajib di rumah diberlakukan. Stigma sosial dan diskriminasi
sosial dapat dikaitkan dengan COVID-19, misalnya terhadap orang-orang yang pernah
tertular, keluarganya dan tenaga kesehatan dan petugas garis depan lain yang pernah
merawat. Harus diambil langkah-langkah untuk menghadapi stigma dan diskriminasi di
setiap fase tanggap darurat COVID-19. Perhatian yang wajar harus diberikan untuk
membantu integrasi orang-orang yang pernah terdampak COVID-19

A. Respons kesehatan jiwa dan psikososial untuk COVID-19

Dalam wabah apa pun, wajar jika orang merasa tertekan dan khawatir. Respons umum
dari orang-orang yang terdampak (baik secara langsung atau tidak) antara lain:

1) Takut jatuh sakit dan meninggal


2) Tidak mau datang ke fasilitas layanan kesehatan karena takut tertular saat dirawat
3) Takut kehilangan mata pencaharian, tidak dapat bekerja selama isolasi, dan
dikeluarkan dari pekerjaanya
4) Takut diasingkan masyarakat/dikarantina karena dikait-kaitkan dengan penyakit
(seperti rasisme terhadap orang yang berasal dari, atau dianggap berasal dari,
tempat-tempat terdampak)
5) Merasa tidak berdaya untuk melindungi orang-orang terkasih dan takutkehilangan
orang-orang terkasih karena virus yang menyebar.
6) Takut terpisah dari orang-orang terkasih dan pengasuh karena aturan karantina
7) Menolak untuk mengurusi anak kecil yang sendirian atau terpisah, penyandang
disabilitas atau orang berusia lanjut karena takut infeksi, karena orang tuanya atau
pengasuhnya dikarantina.
8) Merasa tidak berdaya, bosan, kesepian dan depresi selagi diisolasi
9) Takut mengalami pengalaman wabah sebelumnya

Kedaruratan memang selalu membuat tertekan, tetapi faktor penyebab tekanan khusus
wabah COVID-19 dapat mempengaruhi seperti:
a. Masyarakat
1) Risiko terinfeksi dan menginfeksi orang lain, terutama jika cara penularan COVID-
19 belum 100% diketahui
2) Gejala umum seperti masalah kesehatan lain (mis., demam) bisa disalahartikan
sebagai COVID-19 dan menyebabkan rasa takut terinfeksi.
3) Pengasuh dapat makin khawatir akan anak-anaknya yang mereka tinggal di rumah
sendiri (karena sekolah tutup) tanpa asuhan dan dukungan yang tepat.
4) Risiko penurunan kesehatan fisik dan jiwa pada kelompok-kelompok, yang rentan
seperti orang berusia lanjut dan penyandang disabilitas, jika pengasuh dikarantina
dan tidak ada layanan dan dukungan lain

b. Tenaga kesehatan garis depan (termasuk perawat, dokter, pengemudi ambulans,


petugas identifikasi kasus, dan lainnya)
1) Stigmatisasi terhadap orang yang menangani pasien COVID-19 dan jenazahnya
2) Langkah-langkah biosecurity yang ketat: .
a) Alat perlindungan yang membatasi gerak .
b) Isolasi fisik mempersulit upaya menolong orang yang sakit atau tertekan .
Kesiagaan dan kewaspadaan yang terus-menerus
c) Prosedur ketat melarang tindakan spontan dan sesuai pilihan
3) Tuntutan pekerjaan yang lebih tinggi, termasuk waktu kerja yang lama jumlah
pasien yang meningkat dan praktik terbaik yang terus berubah seiring
perkembangan informasi tentang COVID-19
4) Semakin sulit mendapatkan dukungan sosial karena jadwal kerja yang padat dan
adanya stigma masyarakat terhadap petugas garis depan
5) Kurang kesempatan dan tenaga untuk perawatan dasar bagi dirinya sendiri y
Kurang informasi tentang paparan jangka panjang pada orang-orang yang
terinfeksi COVID-19
6) Rasa takut petugas garis depan akan menularkan COVID-19 ke teman dan keluarga
karena bidang pekerjaannya.

Rasa takut, kekhawatiran dan faktor penyebab tekanan yang terus ada di masyarakat
selama wabah COVID-19 dapat menyebabkan konsekuensi jangka panjang di tengah
masyarakat dan keluarga
1) Melemahnya hubungan sosial, dinamika lokal dan ekonomi.
2) Stigma terhadap pasien yang selamat sehingga ditolak masyarakat
3) Kemungkinan timbulnya amarah dan permusuhan terhadap pemerintah dan tenaga
garis depan
4) Kemungkinan rasa ragu atas informasi dari pemerintah dan otoritas lain
5) Kemungkinan kambuhnya gangguan kesehatan jiwa dan penyalah-gunaan obat dan
akibat-akibat negatif lain karena orang menghindari fasilitas kesehatan atau tidak
dapat menjangkau tenaga kesehatan
Sebagian rasa takut dan reaksi ini muncul dari bahaya yang memang ada, tetapi
banyak juga yang muncul dari kurangnya pengetahuan, rumor dan misinformasi. Rumor
umum tentang COVID-19 antara lain:

1) Virus hanya menyerang orang tua saja, bukan orang muda dan anak-anak
2) Virus dapat ditransmisikan melalui hewan peliharaan dan orang harus
meninggalkan hewan peliharaan mereka
3) Penggunaan cairan pencuci mulut, antibiotik, rokok, dan minuman keras
beralkohol tinggi dapat membunuh COVID-19
4) Penyakit ini dibuat manusia dan COVID-19 merupakan senjata biologis yang
dirancang untuk menyerang kelompok tertentu
5) Adanya kontaminasi makanan yang akan menyebarkan virus
6) Hanya orang dari etnis atau budaya tertentu yang menyebarkan virus.

Selama pandemi COVID-19, terdapat masalah psikologis dan sosial saling


berhubungan satu dengan lainnya. Seperti banyaknya pekerja diharuskan bekerja dari rumah
untuk sementara waktu.Sebuah studi baru-baru ini yang dilaksanakan di 15 negara oleh
Eurofound dan ILO (2017) menemukan bahwa 41 persen orang yang bekerja dari rumah
menganggap diri mereka sangat tertekan, dibandingkan dengan hanya 25 persen dari mereka
yang bekerja di tempat kerja. Bekerja dari rumah dapat menghasilkan perasaan terisolasi,
bekerja lebih lama dan mengaburkan batas antara pekerjaan dan kehidupan keluarga. Jika
karantina dapat memudahkan konsentrasi, tidak terjadinya interaksi sosial dapat menjadi
pemicu stres yang kuat. Jam kerja yang fleksibel dapat menjadi jam kerja yang berlebihan,
tanpa istirahat dan dapat berlanjut sepanjang malam, yang mengakibatkan risiko insomnia.
Menetapkan batasan antara pekerjaan yang dibayar dan kehidupan pribadi dapat
menjadi sangat sulit ketika bekerja dari rumah, terutama bagi perempuan yang terus memikul
tanggung jawab utama untuk pekerjaan yang tidak dibayar di rumah tangga, termasuk
penyediaan perawatan bagi anggota keluarga dan tugas-tugas rumah tangga (ILO, 2019 ).

B. Dukungan Kesehatan Jiwa dan Psikososial


Secara global istilah ‘Dukungan Kesehatan Jiwa dan Psikososial (DKJPS) atau
Mental Health and Psychososcial Support (MHPSS)’ digunakan dalam Panduan Inter
Agency Standing Committee (IASC) dalam Situasi Kedaruratan, yang berarti dukungan jenis
apa pun dari luar atau lokal yang bertujuan melindungi atau meningkatkan kesejahteraan
psikologis dan/ atau mencegah serta menangani kondisi kesehatan jiwa dan psikososial.
DKJPS dipakai berbagai pihak untuk merespons kondisi kedaruratan maupun bencana, salah
satunya pandemic COVID-19. DKJPS mengintegrasikan pendekatan biologis, psikologis, dan
sosiokultural di bidang kesehatan, sosial, pendidikan dan komunitas, serta untuk menekankan
perlunya pendekatan-pendekatan yang beragam dan saling melengkapi dari berbagai profesi
dalam memberikan dukungan yang sesuai. DKJPS dalam Situasi Kedaruratan
mengedepankan berbagai tingkatan intervensi agar diintegrasikan dalam kegiatan respons
pandemi. Tingkatan-tingkatan ini disesuaikan dengan spectrum kebutuhan kesehatan jiwa dan
psikososial dan digambarkan dalam piramida intervensi (Gambar 1), mulai dari
mempertimbangkan aspek sosial dan budaya dalam layanan-layanan dasar, hingga
memberikan layanan spesialis untuk orang-orang dengan masalah kesehatan jiwa dan
psikososial yang lebih berat. Prinsip-prinsip utamanya adalah jangan menyakiti, menjunjung
hak asasi manusia dan kesetaraan, menggunakan pendekatan partisipatif, meningkatkan
sumber daya dan kapasitas yang sudah ada, menjalankan intervensi berlapis dan menjalankan
tugas dengan sistem dukungan terintegrasi.
Pedoman Dukungan Kesehatan Jiwa Dan Psikososial Pada Pandemi COVID 19
1. Orang Sehat
Peningkatan Imunitas (Promosi kesehatan)
Peningkatan imunitas fisik dalam rangka mencegah infeksi dari virus COVID-19,
di antaranya dapat diupayakan melalui:
1) Makanan seimbang (karbohidrat, protein, sayur, buah-buahan yang mengandung
vitamin dan mineral), jika diperlukan tambahan vitamin;
2) Minum yang cukup, orang dewasa minimal 2 liter per hari; Olah raga minimal
30 menit sehari;
3) Berjemur di pagi hari seminggu dua kali;
4) Tidak merokok dan tidak minum alkohol.
Peningkatan Kesehatan Jiwa dan Psikososial
Kondisi kesehatan jiwa dan kondisi optimal dari psikososial dapat tingkatkan
melalui:
1) Emosi positif: gembira, senang dengan cara melakukan kegiatan dan hobby
yang disukai, baiksendiri maupun bersama keluarga atau teman;
2) Pikiran positif: menjauhkan dari informasi hoax, mengenang semua
pengalaman yang menyenangkan, bicara pada diri sendiri tentang hal yang
positif (positive self-talk ), responsive (mencari solusi) terhadap kejadian, dan
selalu yakin bahwa pandemi akan segera teratasi; Hubungan sosial yang positif :
memberi pujian, memberi harapan antar sesama, saling mengingatkan cara-cara
positif, meningkatkan ikatan emosi dalam keluarga dan kelompok, menghindari
diskusi yang negatif, dan saling memberi kabar dengan rekan kerja, teman atau
seprofesi;
3) Secara rutin tetap beribadah di rumah atau secara daring.
2. Orang Tanpa Gejala (OTG), Orang Dalam Pemantauan (ODP), Pasien Dalam
Pengawasan (PDP), Konfirmasi COVID-19
Upaya promotif Kesehatan Jiwa dan Psikososial OTG,ODP,PDP, dan Konfirmasi:
1) Mengurangi stressor
a) Mengurangi membuka media sosial terutama tentang COVID-19
b) Mendapatkan informasi yang benar tentang COVID-19
2) Relaksasi fisik
a) Tarik nafas dalam
b) Progressive Muscle Relaxation (Relaksasi Otot Progresif)
c) Olah raga secara rutin
3) Berpikir positif
a) Afirmasi/positive self talk, mengucapkan pernyataan pernyataan positif
tentang diri sendiri, keluarga, kehidupan, dll
b) Hipnotik 5 jari, menggunakan kelima jadi untuk memikirkan hal yang
positif, satukan jempol dan telunjuk sambil membayangkan kondisi tubuh
yang sehat, jempol dengan jari tengah sambil membayangkan orang-orang
yang sayang dan perhatian, jempol dengan jari manis sambil membayang
prestasi, penghargaan dan pujian yang pernah dialami, jempol dengan
kelingking sambil membayangkan tempat yang paling indah yang pernah
dikunjungi sambil membayangkan keindahannya.
c) Penghentian pikiran, jika ada pikiran negative yang mengganggu jangan
biarkan berlama-lama langsung katakan stop
4) Mempertahankan dan meningkatkan hubungan interpersonal
a) Saling menyapa, memberi pujian atau penghargaan dan harapan dengan
memanfaatkan teknologi informasi(medsos)
b) Berbagi cerita positif / let’s talk melalui media sosial
c) Berbagi perasaan dan pikiran pada orang yang dapat dipercaya
d) Mempertahankan dan meningkatkan komunikasi antar anggota keluarga
dengan kasih saying, rasa hormat dan saling menghargai dalam keluarga.
e) Membangun jaringan sosial dalam memenuhi kebutuhan dasar di antaranya
pangan, sandang dan papan.
3. Orang Dalam Pemantauan (ODP)

1) Dukungan Keluarga untuk ODP

a) Mempertahankan komunikasi rutin keluarga dengan ODP melalui media


sosial.
b) Fasilitas kesehatan menyediakan media komunikasi antara ODP dan keluarga.
c) KIE untuk keluarga, termasuk diberikan dukungan kesehatan jiwa dan
psikososial OTG.
d) Memfasilitasi keluarga mengidentifikasi dan menghubungkan sumber-sumber
di sekitar dalam memenuhi kebutuhan.
4. Pasien Dalam Pengawasan (PDP)
1) Layanan Psikiatri
Konseling psikiatri selama masa pandemi COVID-19 dilakukan secara daring
baik melalui media sosial PDSKJI Jaya atau melalui aplikasi SEHATPEDIA atau
aplikasi sejenis.
5. Konfirmasi Covid-19
Ruang Rawat Isolasi:
1) Pertahankan komunikasi positif dengan pasien secara daring.
Anggota keluarga dan teman dekat memberikan dukungan emosi positif secara
intensif, paling sedikit 3 kali sehari disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan
pasien.

2) Dukungan Keluarga dan Sosial


Pencegahan masalah kesehatan jiwa dan psikososial dapat dilakukan dengan
melaksanakan tindakan untuk orang sehat, OTG dan ODP dan bila tidak ada
perbaikan dapat berkonsultasi dengan tim kesehatan jiwa.
Ruang Rawat ICU:
1) Pertahankan komunikasi positif dengan pasien di ICU Perdengarkan musik yang
lembut dan menenangkan dapat juga berupa ayat-ayat kitab suci, voice note yang
positif dari anggota keluarga dan teman.

2) Dukungan Keluarga dan Sosial Pemberian informasi tentang kondisi pasien


secara teratur, menyiapkan keluarga untuk dapat menghadapi hasil pelayanan
kesehatan yang baik maupun terburuk.

6. Pasien Pulang/Sembuh
1) Dukungan pada pasien di rumah
Dukungan keluarga dalam bentuk perhatian dan tidak melakukan penolakan
terhadap anggota keluarganya, namun lebih banyak menguatkan bisa melewati
sakit dengan mudah, memberikan ruangan tersendiri agar dapat melakukan isolasi
secara mandiri, menyiapkan berbagai fasilitas dan kebutuhan agar mampu
menghadapi proses penyembuhan dengan baik.
2) Dukungan pada keluarga di rumah
Keluarga tetap harus mendapatkan informasi benar tentang status anggota
keluarganya yang sembuh, dan memberikan nomor hotline untuk mendapatkan
layanan psikologi secara daring.
3) Dukungan sosial untuk pasien dan keluarga
Pasien dan keluarganya tidak dijauhkan dari interaksi sosial, tidak melakukan
penolakan atau tetap memberikan kesempatan sebagai warga di lingkungannya,
dan saling meyakinkan satu dengan yang lain tentang perlunya kehati-hatian,
namun tidak melakukan tindakan reaktif agresif pada pasien dan keluarganya,
serta tetap mendukung lewat kelompok media sosial.

Tenaga kesehatan masyarakat perlu memahami kebutuhan pekerja di garis depan dan
relawan yang melakukan pelayanan kesehatan, dukungan kesehatan jiwa dan psikososial di
masyarakat, dengan cara:
1) Mendorong pekerja di garis depan dan relawan menggunakan alat pelindung diri
(APD), melakukan upaya promosi dan pencegahan penularan dan masalah kesehatan
jiwa sesuai pedoman ini pada sub bab “orang sehat” dan “orang tanpa gejala”
2) Memberikan edukasi dan mendorong dilakukannya self-care untuk pekerja di garis
depan/relawan yaitu menyeimbangkan beban kerja dengan kebutuhan nutrisi dan
istirahat, mengenal gejala stress pada diri, mengelola stress dengan coping dan
dukungan sosial.
Kesehatan Jiwa dan Psikososial pada Tenaga Kesehatan
1) Memberikan informasi yang jelas pada masyarakat tentang kondisi diri;
2) Tetap terhubung dengan keluarga atau orang terdekat lainnya;
3) Membuat support group: antar petugas kesehatan harus saling memberikan dukungan
sosial terutama yang memiliki pengalaman serupa
Kesehatan Jiwa dan Psikososial pada Relawan
1) Memberikan pelatihan yang memadai agar lebih siap dalam menghadapi orang atau
komunitas yang membutuhkan bantuan dukungan psikososial;
2) Memberikan penanganan sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya;
3) Ada supervisi dari tenaga kesehatan jiwa sesuai dengan kompetensinya;
4) Memberikan informasi yang jelas pada masyarakat tentang kondisi diri;
5) Tetap terhubung dengan keluarga atau orang terdekat lainnya; Membuat support
group : antar relawan harus saling memberikan dukungan sosial terutama yang
memiliki pengalaman serupa

Panduan Pertimbangan Kesehatan Mental Selama Pandemi COVID-19


World Health Organization (WHO) beberapa waktu yang lalu merilis panduan
pertimbangan kesehatan mental selama adanya COVID-19. Dalam edaran tersebut, berikut
ini beberapa saran badan kesehatan dunia itu untuk menjaga kondisi psikologis selama
pandemi berlangsung bagi masyarakat umum.
1) Bersikap Empati pada yang Terdampak
WHO menyatakan bahwa COVID-19 telah mempengaruhi orang-orang di seluruh
dunia, dari berbagai negara dan wilayah geografis. Maka dari itu, jangan lekatkan
stigma pada etnis atau negara mana pun."Bersikaplah empatik terhadap mereka yang
terdampak, dan dari negara mana pun, mereka yang mengalami penyakitnya tidak
melakukan kesalahan apa pun," tulis WHO.
2) Penyebutan Pasien
WHO meminta agar pasien tidak disebut dengan "kasus COVID-19", "korban", atau
"keluarga COVID-19." Sebagai gantinya mereka disarankan disebut sebagai "orang
dengan COVID-19", "orang yang sedang dirawat karena COVID-19", "orang yang
sembuh dari COVID-19." "Setelah pulih dari COVID-19, hidup mereka akan
berlanjut dengan pekerjaan, keluarga, dan orang-orang yang mereka cintai," kata
WHO.
3) Kurangi Paparan Pemberitaan
"Hindari menonton, membaca, atau mendengarkan berita yang membuat Anda merasa
cemas atau tertekan," tulis WHO. Apabila Anda membutuhkan informasi, carilah
untuk mengambil langkah-langkah praktis dengan tujuan mempersiapkan rencana
melindungi diri sendiri dan yang dicintai. "Carilah informasi terkini pada waktu
tertentu, sekali atau dua kali sehari. Paparan pemberitaan yang tiba-tiba dan konstan
dapat menyebabkan siapa saja merasa khawatir." Selain itu, kumpulkan juga
informasi dari sumber-sumber yang terpercaya misalnya WHO atau otoritas kesehatan
untuk membedakan fakta dan rumor.
4) Saling Melindungi
WHO meminta masyarakat untuk melindungi diri sendiri dan mendukung orang lain.
"Membantu orang lain di saat mereka membutuhkan bisa bermanfaat bagi orang yang
menerima dukungan serta yang membantu."
5) Menyuarakan Kisah-Kisah Positif
WHO meminta masyarakat untuk ikut menyuarakan kisah-kisah positf dari mereka
yang sembuh dan pulih dari COVID-19 dan bersedia mengungkapkan pengalaman
mereka.
6) Menghargai Perawat dan Petugas Kesehatan
Berilah penghormatan dan penghargaan bagi para perawat dan petugas kesehatan
yang menangani pasien COVID-19 di komunitas Anda.

Kesehatan Mental Dan IntervensiPsikologisDitengahWabah Covid-19: Perspektif Dari


Korea Selatan
Pemerintah Korea Selatan dan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Korea
(K-CDC) secara teratur melaporkan status harian pasien baru, serta kondisi fisik mereka dan
tempat-tempat yang baru saja mereka kunjungi, untuk memastikan orang tetap mendapat
informasi tentang status epidemi. Dengan volume berita yang signifikan datang dari berbagai
sumber, ada kekhawatiran tentang "berita palsu" yang terkait dengan COVID-19.Orang-
orang terus-menerus mengonsumsi berita agar tetap diperbarui, dan mungkin mengalami
kecemasan tinggi saat melakukannya.
Selain itu, sumber infeksi tetap tidak pasti dalam beberapa kasus, sementara larangan
bepergian dan instruksi untuk pendatang dan warga karantina juga telah dikeluarkan; faktor-
faktor semacam itu dapat mendorong orang untuk merasa bahwa “tidak ada tempat yang
aman,” yang dapat memperkuat kecemasan publik. Ini dapat menyebabkan konsekuensi yang
lebih parah; misalnya, seorang wanita bunuh diri dicurigai setelah melakukan perjalanan
baru-baru ini ke Cina (otopsi kemudian mengungkapkan bahwa wanita itu di tes negative
untuk virus).K-CDC telah mendistribusikan selebaran kepada publik dan terus mengeluarkan
pedoman untuk mencegah COVID-19.
Asosiasi Neuro psikiatrik Korea juga telah menerbitkan pedoman menargetkan lima
populasi: masyarakat, orang tua daria norang tua , orang yang dikarantina, tenaga medis yang
merawat pasien COVID-19, dan praktisi medis lainnya. Pedoman ini, dirilis oleh
Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan, menyarankan untuk merasakan respons
kecemasan terhadap wabah sebagai hal yang normal dan menahan diri dari tindakan
menghindari kelompok tertentu. Mereka juga menyoroti perlunya mengandalkan informasi
yang kredibel. Lebih jauh, karantina dan isolasi terhadap mereka yang diduga tertular atau
membawa virus dapat memicu masalah kesehatan mental yang substansial; situasi ini
diketahui terkait dengan gangguan stress akut, depresi, gangguan stress pasca-trauma,
insomnia, lekas marah, marah, dan kelelahan emosional.
Pusat Kesehatan Mental Nasional (NCMH) menawarkan konseling psikologis bagi
orang-orang yang dikarantina di Daegu serta mereka yang baru saja kembali dari Wuhan, dan
telah merilis pedoman untuk orang dengan gejala COVID-19. Serupa dengan Asosiasi Neuro
psikiatri Korea, NCMH menyarankan masyarakat untuk bekerjasama dengan otoritas
karantina dan membangun keterampilan untuk bersantai selama kesusahan - instruksifokus
pada keterampilan dan pengetahuan individu. Selain itu, Jaringan Kelompok Dukungan
Psikologis dari Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan memberikan informasi pada
hotline untuk krisis kesehatan mental saati ni; sistem responsnya berbeda untuk orang dengan
COVID-19 dan keluarga mereka versus masyarakat yang dikarantina dan masyarakat umum.
Asosiasi Neuro psikiatrik Korea mendistribusikan Pedoman Kesehatan Pikiran untuk
mengatasi Corona 19 yang disiapkan oleh Komite Kesehatan Mental Bencana dan Asosiasi
Psikiatri RemajaPediatri Korea (Ketua Dong-Won Shin). Pedoman ini terdiri dari empat
bidang: (1) warga negara (2) anak-anak dan remaja (3) mandiri (4) Tenga Medis, dapat di
jelaskan sebagai berikut:
1) Pedoman buat warga Negara atau masyarakat setempat
a. Kecemasan adalah perasaan yang sangat normal.
Kecemasan adalah reaksi yang sangat normal dalam krisis infeksi.Karena
kegelisahan, anda dapat menghindari bahaya, seperti mengenakan masker dan
sering mencucit angan.Namun, kecemasan yang berlebihan dapat membuat kita
terlalu sensitif dan melelahkan tubuh dan pikiran kita, yang dapat secara negative
menekankan kekebalan tubuh kita.Selain kesehatan tubuh, pencegahan pikiran juga
merupakan saat yang penting.
b. Saling membantu.
c. Perhatikan emosi dan reaksit ubuh
d. Ambil ketidakpastian sebagai fenomena alam.
Dianjurkan untuk menerima ketidakpastian ini hanya sebagai situasi normal dan
menerima apa yang tidak dapat Anda kendalikan, dan alih-alih mengalihkan
perhatian Anda keaktivitas yang dapat dikendalikan sendiri.
e. Tetap terhubung dengan keluarga, teman, dan kolega
f. Jalani kehidupan biasa.
g. Berikan perhatian pada mereka yang sakit dan rentan.
h. Saling mendukung.
8) Pedoman untuk anak-anak dan remaja
a. Lakukanpercakapansimpatikdengananak Anda.
b. Jadilah model yang sehatuntukanak Anda
c. Batasipaparanberlebihananak Anda ke media
d. Perhatiankhususdiperlukanuntukanak-anak yang terisolasi
9) Pedoman untuk isolasi mandiri
Karantina adalah tindakan untuk mengurangi kemungkinan penularan agen infeksi
dari orang yang terinfeksi, pembawa atau dugaan infeksi. Isolasi bukan hanya cara
untuk mengamati dan memperlakukan saya dengan lebih baik, tetapi juga cara untuk
melindungi orang-orang dan masyarakat yang saya cintai. Adalah baik untuk memiliki
pikiran positif bahwa Anda dapat menerima situasi yang terisolasi, memahami reaksi
Anda, dan pulih.
10) Pedoman untuk professional perawatan kesehatan baik staf medis untuk penyakit
menular maupun staf medis umum
a. Minta bantuan jika Anda mengalami tanda-tanda stress berlebihan atau masalah
kesehatan mental.
b. Gejala sisa psikologis dapat diminimalisir denganp endidikan dan dukungan
sistematis untuk penyakit menular.
c. Alat pelindung diri harus mengatasi stress
d. Kegiatan kerja timdan moral dapat mengurangi stres kerja
e. Fokus pada informasi yang dapat diandalkan
f. Fokus pada informasi yang diberikan oleh rumah sakit.
g. Staf medis mungkin mengalami kecemasan dan ketakutan terkait infeksi
h. Bersiaplah untuk stigma terhadap staf medis dan keluarga
i. Tetap berhubungan dengan keluarga, teman dan kolega saat mengelola beban
kerja Anda.
j. Jalani kehidupan biasa.
DAFTAR PUSTAKA

Panduan Pertimbangan Kesehatan Mental Selama Pandemi COVID-19


http://djsn.go.id/berita/detail/panduan-menjaga-kesehatan-mental-selama-pandemi-covid-19-
dari-who (Diakses 18 Mei 2020)
Pedoman Dukungan Kesehatan Jiwa Dan Psikososial Pada Pandemi Covid-19.
https://www.kemkes.go.id/article/view/20043000003/pedoman-dukungan-kesehatan-jiwa-
dan-psikososial-pada-pandemi-covid-19.html (Diakses 18 Mei 2020)
Catatan tentang aspek kesehatan jiwa dan psikososial wabah COVID-19 Versi 1.0
https://www.who.int/docs/default-source/searo/indonesia/covid19/catatan-tentang-aspek-
kesehatan-jiwa-dan-psikososial-wabah-covid-19-feb-2020-indonesian.pdf?
sfvrsn=ebae5645_2 (Diakses 18 Mei 2020)
Laporan Tentang Peningkatan Risiko Keselamatan Dan Kesehatan Kerja (K3) Yang
Meningkat Akibat Penyebaran COVID-19
https://www.ilo.org/jakarta/whatwedo/publications/WCMS_742959/lang--en/index.htm
(Diakses 18 Mei 2020)
Mental Health and Psychosocial Support for Staff, Volunteers and Communities in an
Outbreak of Novel Coronavirus
https://pscentre.org/wp-content/uploads/2020/02/MHPSS-in-nCoV-2020_ENG-1.pdf
(Diakses 18 Mei 2020)

Anda mungkin juga menyukai