Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ilmu hadits merupakan salah satu pilar-pilar tsaqofah islam yang memang sudah
selayaknya dimiliki oleh setiap kaum muslim. Dewasa ini, begitu banyak opini umum yang
berkembang yang mengatakan bahwa ilmu hadits hanya cukup dipelajari oleh para salafus
sholeh yang memang benar-benar memilki kredibilitas dalam ilmu agama sehingga stigma ini
membuat sebagian kaum muslim merasa tidak harus untuk mempelajari ilmu hadits.

Hal ini tentu sangat tidak dibenarkan karena dapat membuat masyarakat muslim
menjadi kurang tsaqofah islamnya terutama dalam menjalankan sunnah-sunnah rosul.
Terlebih dengan keadaan saat ini dimana sangat bayak beredar hadits-hadits dho’if dan hadits
palsu yang beredar di tengah-tengah kaum uslim dan tentunya hal ini akan membuat kaum
muslimin menjadi pelaku bid’ah. Jika kaum muslim masih memandang remeh tentang ilmu
hadits ini maka tentu ini adalah suatu hal yang sangat berbahaya bagi aqidah kaumm
muslimin dalam menjalankah sunnah rosul. Oleh karena itulah, perlunya kita sebagai umat
muslim memilki pengetahuan yang luas tentang ilmu hadits.

Seperti yang telah diketahui bahwa hadits dho’if adalah hadits yang lemah atau hadits
yang tidak memilki syarat-syarat hadits shohih dan hadits hasan. Sebagian ulama berpendapat
bahwa hadits dhiof ini tidak dapat dijadikan sebagai hujjah namun sebagian ulama yang
lainnya juga ada yang berpendapat bahwa hadits dhoif ini dapat digunakan sebagai hujjah.
Dengan adanya khilafiah atau perbedaan pendapat diantara para ulama,maka sangat perlulah
kita sebagai umat muslim mengetahui bagaimana cara kita bersikap dalam menghadapi hadits
dhoif tersebut karena hal ini akan langsung berkaitan dengan aqidah dan ibadah-ibadah kita
kepada Allah SWT.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan hadits dha'if?
2. Apa saja macam-macam hadits dha'if?
3. Apa saja contoh-contoh hadits dha'if?

1
4. Apakah hadits dha'if dapat dijadikan sebagai dalil (kehujjahan hadits dha'if)?
5. Apa saja kitab-kitab yang memuat hadits dha'if?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadits Dha'if


Menurut bahasa dha’if berarti ‘Aziz yang artinya lemah. Sebagai lawan dari Qawiyyu
yang artinya kuat. Pengertian hadits dhaif Secara bahasa, hadits dhaif berarti hadits yang
lemah. Para ulama memiliki dugaan kecil bahwa hadits tersebut berasal dari Rasulullah
SAW. Dugaan kuat mereka hadits tersebut tidak berasal dari Rasulullah SAW.

Menurut istilah, Ibnu Shalah memberikan definisi “Yang tidak terkumpul sifat-sifat
shahih dan sifat-sifat hasan”. Sedangkan Zinuddin Al-Traqy menanggapi bahwa definisi
tersebut kelebihan kalimat yang seharusnya dihindarkan, menurut dia cukup “Yang tidak
terkumpul sifat-sifat hadits hasan” karena sesuatu yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits
hasan sudah tentu tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih. Drs. Fatkhur Rahman
memberikan definisi “Hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat –syarat hadits
shahih atau hadits hasan” Para ulama memberikan batasan bagi hadits dha’if “Hadits dha’if
adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits shahih dan juga tidak menghimpun
sifat-sifat hadits hasan”.

DR. Subhi As-Shalih, mengatakan hadits dha’if menempati urutan ketiga dalam
pembagian hadits. Batasannya yang paling tepat adalah hadits yang padanya tidak terdapat
ciri-ciri hadits shahih atau hasan.

Adapun kriteria hadits dhoif adalah dimana ada salah satu syarat dari hadits shohih
dan hadits hasan yang tidak terdapat padanya,yaitu sebagai berikut:
1. Sanadnya tidak bersambung
2. Kurang adilnya perawi
3. Kurang dhobithnya perawi
4. Ada syadz atau masih menyelisihi dengan hadits yang diriwayatkan oleh orang yang
lebih tsiqah dibandingkan dengan dirinya
5. Ada illat atau ada penyebab samar dan tersenbunyi yang menyebabkan tercemarnya
suatu hadits shohih meski secara dzohir terlihat bebas dari cacat.

3
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian hadits dha’if adalah hadits yang
lemah, yakni para ulama masih memiliki dugaan yang lemah, apakah hadits itu berasal dari
Rasulullah atau bukan. Hadits dha’if itu juga bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadits
shahih tetapi juga tidak memenuhi syarat-syarat hadits hasan.

Sedangkan pendapat yang lain mengatakan, hadits dha’if (lemah), ialah hadits yang
sanadnya tidak tersambung dan diriwayatkan oleh orang-orang yang tidak adil atau tidak kuat
ingatannya, mengandung kejanggalan atau cacat.

B. Macam-Macam Hadits Dha'if


Secara garis besar yang menyebabkan suatu hadits digolongkan menjadi hadits dhoif
dikarenakan dua hal, yaitu gugurnya rawi dalam sanadnya dan adanya cacat pada rawi atau
matan.

a. .Hadits Dha'if karena gugurnya rawi


Yang dimaksud dengan gugurnya rawi adalah tidak adanya satu, dua, atau beberapa
rawi, yang seharusnya ada dalam satu sanad baik pada permulaan sanad, pertengahan,
ataupun akhirnya. Adapun hadits dhoif karena gugurnya rawi di bagi menjadi beberapa
macam, di antaranya :

1. Hadits Mursal
Hadits Mursal, menurut bahasa berarti hadits yang terlepas. Yang dimaksud
terlepas yaitu hadits yang gugur sanadnya setelah tabi’in atau hadits yang gugur
rawinya di akhir sanad. Yang dimaksud dengan gugur disini adalah nama sanad
terakhirnya tidak disebutkan, dan yang dimaksud rawi di akhir sanad yaitu rawi pada
tingkat sahabat. Jadi hadits mursal adalah hadits yang dalam sanadnya tidak
menyebutkan sahabat nabi, sebagai rawi yang seharusnya menerima langsung dari
Rasulullah SAW.

2. Hadits Munqoti'
Menurut bahasa, hadits munqoti’ berarti hadits yang terputus. Para ulama
memberi batasan hadits munqoti’ adalah hadits yang gugur satu atau dua rawi tidak
beriringan menjelang akhir sanadnya. Bila rawi diakhir sanadnya adalah sahabat nabi,

4
maka rawi menjelang akhir sanad adalah tabi’in. jadi, hadits munqoti’ bukanlah rawi
di tingkat sahabat yang gugur, tetapi minimal gugur seorang tabi’in.

3. Hadits Mudhal
Menurut bahasa, hadis mudhal berarti hadis yang sulit dipahami. Para ulama’
memberi batasan hadis mudhal adalah hadis yang gugur dua orang rawinya atau lebih
secara beriringan dalam sanadnya.

4. Hadits Muallaq
Hadits mu’allaq menurut bahasa berarti hadits yang tergantung. Dari segi
istilah, hadits mu’allaq adalah hadits yang gugur satu rawi atau lebih diawal sanad.
Keguguran (inqitha’) sanad pada hadis muallaq dapat terjadi pada sanad yang
pertama, pada seluruh sanad, atau pada seluruh sanad selain sahabat.

b. Hadits Dha'if karena cacatnya rawi atau matan


Hadis yang bercacat rawi atau matannya, atau kedua-duanya digolongkan hadis dhaif.
Banyak macam cacat yang dapat menimpa para rawi atau menimpa matan, diantaranya
pendusta, pernah berdusta, fasiq, tidak di kenal, dan berbuat bid’ah, merupakan cacat yang
masing-masing dapat menghilangkan sifat dhabit rawi. Banyak keliru, banyak faham, buruk
hafalan, lalu mengusahakan hafalan dan menyalahi raw-rawi yang dipercaya,juga merupakan
cacat yang masing-masing dapat menghilangkan sifat dhabit pada rawi.

Adapun cacat matan misalnya, terdapat sisipan ditengah-tengah lafadz hadis, atau
lafadz hadis itu di putarbalikan sehingga member pengertian yang berbeda dengan maksud
lafadz yang sebenarnya. Adapun hadits dhoif karena cacatnya rawi atau matan dibagi menjadi
beberapa macam, di antaranya :

1. Hadits Maudhu'
Dari segi bahasa, Hadis maudhu’ berarti palsu atau hadis yang dibuat-buat.
Sedangkan, menurut istilah “ Hadis yang dicipta serta dibuat oleh seseorang
(pendusta), yang ciptaan itu dibangsakan kepada Rasulullah SAW. Secara palsu dan
dusta, baik hal itu disengaja, maupun tidak.” Para ulama memberi batasan hadis
maudhu’ adalah hadis yang bukan hadis Rasulullah SAW, tetapi disandarkan kepada
beliau oleh orang secara dusta dan sengaja atau secara keliru tanpa sengaja.

5
2. Hadits Matruk atau Hadits Matruh
Dari segi bahasa, hadis matruk berarti yang ditinggalkan dan hadis matruh
berarti yang dibuang. Sedangkan, menurut istilah yaitu “ hadis yang menyendiri
dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh orang yang tertuduh dusta dalam
perhaditsan.” Para ulama memberikan batasan hadis matruk (hadis matruh) adalah
hadis yang di riwayatkan oleh orang yang tertuduh pernah berdusta (baikberkenaan
dengan hadis atau mengenai urusan lain), atau tertuduh pernah mengerjakan maksiat,
atau lalai, atau banyak fahamnya.

3. Hadits Munkar
Hadis munkar dari segi bahasa, berarti hadis yang diingkari atau hadis yang
tidak dikenal. Sedangkan, menurut istilah “hadis yang menyendiri dalam periwayatan,
yang diriwayatkan oleh orang yang banyak kesalahan, banyak kelengahannya atau
jelas kefasikannya yang bukan karena dusta”.
Para ulama memberikan batasan hadis munkar adalah hadis yang diriwayatkan
oleh rawi yang lemah yang menyalahi (berlawanan dengan) rawi yang kuat
(kepercayaan).
4. Hadits Muallal
Muallal, dari segi bahasa, berarti yang terkena illat (penyakit atau bencana).
Para ulama memberi batasan hadis muallal adalah hadis yang mengandung sebab-
sebab tersembunyi (tidak mudah untuk diketahui) yang menjatuhkan derajatnya. Illat
yang menjatuhkan derajat hadis itu bisa terdapat pada sanad atau pada matan, serta
bisa pada keduanya.

5. Hadits Mudraj
Hadis mudraj, dari segi bahasa, berarti hadis yang dimasuki sisipan. Dari segi
istilah hadis mudraj adalah hadis yang dimasuki sisipan, yang sebenarnya bukan
bagian hadis itu. Sisipan itu bisa pada sanad, matan, dan bisa pada keduanya.

6. Hadits Maqlub
Dari segi bahasa, hadis maqlub berarti, hadis yang diputar balik. Dari segi
istilah hadis maqlub adalah hadis yang terjadi pemutarbalikan pada matannya atau
pada rawi dalam sanadnya atau penukaran suatu sanad untuk matan yang lain.

6
Bila hadis sebenarnya diriwayatkan oleh kaab bin Murrah (misalnya), tetapi
Kaab bin Murrah itu dibalik menjadi Murrah bin kaab maka hadis itu disebut hadis
maqlub.

7. Hadits Syadz
Dari segi bahasa, hadis syadz berarti hadis yang ganjil. Para ulama memberi
batasan hadis syadz adalah hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang dipercaya tetapi
hadisnya berlainan dengan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang
juga dipercaya.

C. Contoh-Contoh Hadits Dha'if


1. Hadits Mursal

ِ ‫ بَ ْينَن َوبَ ْينَ ْال ُمنَافِقِ ْينَ ثُهُوْ ُد ْال ِع َشا ِء َوالصُّ ب‬:‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ك‬
)‫ (رواه مالك‬. َ‫ْح اَل يَ ْست َِط ْيعُوْ ن‬ َ ِ‫قَا َل َرسُوْ ُل هللا‬
Artinya:
“Rasulullah bersabda, “Antara kita dengan kaum munafik (ada batasan), yaitu
menghindari jamaah Isya dan Shubuh; mereka tidak sanggup menghindarinya”

Hadits tersebut diriwatkan Imam Malik, dari Abdurrahman, dari Harmalah,


dan dari Said bin Mutsayyab. Siapa sahabat Nabi yang meriwayatkan hadits itu
kepada Said Bin Mutsyyab, tidaklah disebutkan dalam sanad diatas.

2. Hadits Munqoti'
‫ بِس ِْم هللاِ َوال َّساَل ُ َم َعلَى َرسُوْ ِل هللاِ اللّهُ َّم‬: ‫ص َّل هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم اِ َذا َذ َخ َل ْال َم ْس ِج َد قَا َل‬
َ ِ‫َكانَ َرسُوْ ُل هللا‬
)‫ (رواه ابن ماجه‬.‫ك‬ َ ِ‫لى ُذنُوْ بِى َوا ْفتَحْ لِى اَ ْب َوابَ َرحْ َمت‬
ِ ْ‫ا ْغفِر‬
Artinya:
“Rasulullah SAW. Bila masuk kedalam masjid, membaca: dengan nama
Allah, dan sejahtera atas Rasulullah; Ya Allah, ampinilah segala dosaku dan
bukakanlah bagiku segala pintu rahmatmu.” (HR. Ibnu Majah)

3. Hadits Mudhal

7
Contoh hadits Mudhal adalah hadits Imam Maliki hak hamba dalam kitab AL-
Muwata. Dalam kitab tersebut Imam Malik berkata, “Telah sampai kepadaku, dari
Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW. Bersabda:
ِ ْ‫ك ط َعا ُمهُ َو ِك ْس َوتُهُ بِ ْل َم ْعرُو‬
)‫ (رواه مالك‬.‫ف‬ َ ْ‫لِ ْل ُملُو‬
Artinya:
“ Budak itu harus diberi makanan dan pakaian secara baik” (HR. Malik)

Imam Malik dalam kitabnya tidak menyebut dua orang rawi yang beriringan
antara dia dengan Abu Hurairah. Dua orang rawi yang gugur itu diketahui melalui
riwayat Imam Malik diluar kitab Al-Muawata’. Malik meriwayatkan hadits yang
sama yaitu: “Dari Muhammad bin Ajlan dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dari
Rasulullah”. Dua rawi yang gugur secara beriringan adalah Muhammad bin Ajlan dan
Ayahnya.

4. Hadits Muallaq
Bukhari berkata, kata Malik, dari Zuhri, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah,
bahwa Rasulullah bersabda:
)‫ (رواه البخارى‬.‫اضلُوْ ا بَ ْينَ ااْل َ ْنبِيَا ِء‬
َ َ‫اَل تَف‬
Artinya:
“Janganlah kamu melebihkan sebagian Nabi dan sebagian yang lain”.
(HR.Bukhari)

5. Hadits Maudhu'
‫الز َنا ْال َج َّن َة ِالَى َسب ِْع اَ ْب َتا ٍء‬
ِّ ‫اَل َي ْد ُخ ُل َولَ ُد‬
Artinya:
“ Anak zina itu tidak masuk surga hingga tujuh turunan”
Hadits tersebut bertentangan dengan ayat Al-qur’an/ Firman Allah SWT:
)164 : ‫ ( االنعام‬. ‫ت ِو ْز َر اُ ْخرى‬
ٌ ‫از َر‬
ِ ‫َواَل ت َِزر َُو‬
Artinya:
“Pemikul dosa itu tidaklah memikul dosa orang lain”. (QS.Al-An’am : 164)

6. Hadits Matruk
‫ لَوْ اَل النِّ َسا ُءلَ ُعبِ َدهللاُ َحقًّا‬: ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ِ‫قَا َل َرسُوْ ُل هللا‬.

8
Artinya:
“ Rasulullah bersabda, “Sekiranya tidak ada wanita, tentu Allah disembah
(ditaati) dengan sungguh-sungguh”.

Hadits tersebut diriwayatkan Yaqub bin Sufyan bin Asyim dengan sanad
terdiri serentetan rawi: Muhammad bin Imran, Isa bin Ziyad, Abdur Rahim bin Zaid
dan ayahnya, Said bin Musayyab, dan Umar bin Khattab. Diantara nama-nama dalam
sanad itu, Abdur Rahim dan ayahnya tertuduh pernah berdusta, oleh karena itu, hadits
diatas dikenal dengan sebutan hadits matruk atau matruh.

7. Hadits Munkar
)‫ (رواه ابن الب حاتم‬. َ‫ضافَهُ َواَ ْك َر َمهُ) َد َخ َل ْال َجنَّة‬
َ َ‫ض ْيفَف (ا‬ َ ‫صاَل ةَ َو ا تَى ال َّز َكاةَ َو َح َّج َو‬
َّ ‫صا َم َوقَ َرى ال‬ َّ ‫َم ْن اَقَا َم ال‬
Artinya:
“ Barang siapa yang mendirikan shalat, membayar zakat, mengerjakan haji,
berpuasa dan menghormati tamu, niscaya masuk surga”. (HR. Ibnu Abi Hatim)

Hadits di atas berasal dari rasulullah, dan diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim
dari serangkaian rawi-rawi yang lemah. Ibnu Abi Hatim sendiri memendang hadits
tersebut sebagai hadits munkar, karena rawi-rawinya lemah dan matannya berlainan
dengan matan hadits-hadits yang lebih kuat.

8. Hadits Muallal
Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Qutaibah bin Sa’id, telah menceritakan
kepada kami Abdus Salam bin Harb al-Mala’I, dari al-A’masy dari Anas, ia berkata,

ِ ْ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم إِ َذا أَ َرا َد ْال َحا َجةَ لَ ْم يَرْ فَ ْع ثَوْ بَهُ َحتَّى يَ ْدنُو ِمنَ ْاألَر‬
‫ض‬ َ ‫َكانَ النَّبِ ّي‬
Artinya:
"Apabila Rasulullah saw hendak membuang air maka beliau tidak membuka
(mengangkat) pakaiannya sehingga berada di tempat yang tersembunyi."

Dikeluarkan oleh at-Tirmidzi (14), Abu Isa ar-Ramli di dalam Zawaid ‘ala
Sunan Abu Dawud (Sunan;1/50)

9
Sanad hadis ini secara lahir adalah sahih, rijalnya siqah, hanya saja al-A’masy
tidak pernah mendengarkan hadis secara langsung dari Anas bin Malik ra. Ibnu al-
Madini mengatakan, “al-A’masy tidak pernah mendengar hadis dari Anas bin Malik,
ia hanya pernah melihatnya di Mekkah, ketika salat ada di belakang Maqam”

9. Hadits Mudraj
‫ْت فِى‬ ِ ‫ اَ نَا زَ ِع ْي ٌم َوال َّز ِع ْي ُم ال َح ِم ْي ُل لِ َم ْن ا َمنَ ل‬: ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَ َم‬
ُ ‫ب َواَ ْسلَ َم َوخَاهَ َد فِى َسبِ ِل هللاِ يَبِي‬ َ ِ‫قا َ َل َرسُوْ ُل هللا‬
)‫ (رواه النّسائ‬.‫يض ْال َجنَّ ِة‬ ِ ‫َر‬
Artinya:
“ Rasulullah bersabda, “ Saya adalah zaim dan zaim itu adalah penanggung
jawab bagi orang yang berimankepadaku, taat dan berjuang di jalan Allah, dia
bertempat tinggal di taman surga”.(HR. Nasai)

Hadis tersebut diriwayatkan oleh Nasai, dan disebut hadis mudraj, karena
َ ‫ َوال َّز ِع ْي ُم‬adalah sisipan, tidak berasal dari sabda Rasulullah SAW.
ungkapan ‫الح ِم ْي ُل‬

10. Hadits Maqlub


‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم اِ َذا ا َمرْ تُ ُك ْم بِ َش ْى ٍءفَاجتَنِبُوْ هُ َماا ْستَطَ ْعتُ ْم‬
َ ِ‫قَا َل َرسُوْ ُل هللا‬
(‫)رواه الطبرانى‬
Artinya:
“Rasulullah bersabda, “ Apabila aku menyuruh kami mengerjakan sesuatu,
maka kerjakanlah dia; apabila aku melarang kamu dari sesuatu, maka jauhilah dia
sesuai dengan kesanggupan kamu.” (HR.Thabrani)
Matan hadist diatas, merupakan pemutarbalikan. Berdasarkan hadis bukhari dan
muslim, seharusnya hadis itu berbunyi:

‫ َمانَهَ ْيتُ ُك ْم َع ْنهُ فَاجْ تَنِبُوْ هُ َو َما اَ َمرْ تُ َك ْم بِ ِه‬: ‫ْت َرسُوْ َل هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَقُوْ ُل‬
ُ ‫ َس ِمع‬: ‫ض َي هللاُ َع ْنهُ قَا َل‬
ِ ‫ع َْن اَبِى هُ َر ْي َرةَ َر‬
)‫ (رواه البخارى ومسلم‬.‫ط ْعتُ ْم‬ َ َ‫فَا ْف َعلُوْ هُ ِم ْنهُ َما ا ْست‬
Artinya:
“ Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah SAW
bersabda, “ Apa-apa yang kami cegah dari kamu semua maka jauhilah dan apa-apa
yang kami perintahkan kepadamu sekalian perbuatlah menurut kemampuannya”.
(HR. Bukhari-Muslim)

10
11. Hadits Syadz

)‫ب (رواه موسى بن على‬ ِ ‫ يَوْ ُم َع َرفَةَ َواَيَّا ُم التَّ ْش ِري‬: ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
ٍ ْ‫ْق اَيَّا ُم اَ ْك ٍل َو ُشر‬ َ ِ‫قَا َل َرسُوْ ُل هللا‬
Artinya:
“Rasulullah bersabda, “ Hari Arafah dan hari tasyrik adalah hari-hari makan
dan minum”. (HR. Musa bin Ali)
Hadis diatas diriwayatkan oleh Musa bin Ali bin Kubah dengan sanad dari
serentetan rawi yang dipercaya, namun matan hadis tersebut ganjil, jika dibandingkan
dengan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang juga dipercaya. Pada
hadis-hadis lain tidak dijumpai ungkapan َ‫ يَوْ ُم َع َرفَة‬Keganjilan hadis di atas terletak
pada adanya ungkapan tersebut.

D. Kehujjahan Hadits Dha'if


Cacat-cacat hadits dhaif berbeda-beda, baik macamnya maupun berat
ringannya. Oleh karena itu tingkatan (martabat) hadits-hadits dhaif tersebut juga
berbeda. Dari hadits-hadits yang mengandung cacat pada rawi (sanad) atau matannya,
yang paling rendah martabatnya adalah hadits maudu’, kemudian hadits matruk,
hadits munkar, hadits muallal, hadits mudraj, hadits maqlub dan hadits-hadits lain.
Dari hadits-hadits yang gugur rawi atau sejumlah rawinya, yang paling lemah adalah
hadits muallaq (kecuali hadits-hadits sahih, yang diriwayatkan secara muallaq oleh
Bukhari dalam kitab sahihnya), hadits mudal, lalu hadits munqati, kemudian hadits
mursal.
Bila suatu hadits dhaif dimungkinkan bahwa rawinya benar-benar hapal dan
menyampaikannya dengan cara yang benar, maka hal ini telah mengandung
perbedaan pendapat yang serius dikalangan ulama sehubungan dengan
pengalamannya.
Pendapat yang pertama; hadits dhaif tersebut dapat diamalkan secara mutlak,
yakni baik yang berkenaan dengan masalah halal haram, maupun kewajiban, dengan
syarat tidak ada hadits lain yang menerangkannya. Pendapat ini disampaikan oleh
beberapa imam, seperti; Imam Ahmad bin Hambal, Abu Dawud dan sebagainnya.
Pendapat ini tentunya berkenaan dengan hadits yang tidak terlalu dhaif, karena hadits
yang sangat dhaif itu ditinggalkan oleh para ulama. Disamping itu, hadits dhaif yang
dimaksud tidak boleh bertentangan dengan hadits lain.

11
Pendapat kedua; dipandang baik mengamalkan hadits dhaif dalam fadailul
amal, baik yang berkaitan dengan hal-hal yang dianjurkan maupun hal-hal yang
dilarang.
Pendapat ketiga; hadits dhaif sama sekali tidak dapat diamalkan, baik yang
berkaitan dengan fadailil amal maupun yang berkaitan dengan halal-haram. Pendapat
ini dinisbatkan kepada Qadi Abu Bakar Ibnu Arabi.
Selanjutnya yang disebut hadits maudu’ (palsu) adalah pernyataan yang
sesungguhnya bukanlah hadits Nabi, tetapi beberapa kalangan menyebutnya sebagai
hadits Nabi. Isi hadits palsu tidaklah selalu buruk atau bertentangan dengan ketentuan
umum ajaran Islam.
Sebagian ulama memasukkan hadits maudu’ (palsu) kedalam salah satu jenis hadits
dhaif, dalam hal ini adalah jenis yang paling buruk dan sebagian ulama lagi tidak
memasukkannya kedalam jenis hadits.

E. Kitab-kitab Hadits Dha'if


Para Imam hadits telah menyusun berbagai kitab yang menjelaskan hadits-
hadits maudu’. Untuk itu, mereka mencurahkan segala kemampuan untuk membela
kaum muslimin agar tidak terjerumus dalam kebatilan dan untuk memurnikan agama.
Diantara kitab-kitab sumber hadits maudu’ yang terpenting adalah:
1. Al-maudu’at, karya Al Imam Al-Hafiz Abdul Faraj Abdur Rahman bin Al-Jauzi
(W.597 H). Kitab ini merupaka kitab yang pertama dan paling luas bahasannya
dibidang ini. Akan tetapi kekurangan kitab ini adalah banyak sekali memuat hadits
yang tidak dapat dibuktikan kepalsuannya, melainkan hanya berstatus dhaif bahkan
ada diantaranya yang berstatus hasan dan sahih. Hal ini melebihi batas dan hanya
dikira-kira saja.
2. Al-Laali Al-Masnuah fi Al-Mauduah, karya Al-Hafizh Jalaludin Al-Suyuti (w. 911
H). Kitab ini merupakan ringkasan dari kitab Ibnu Al-Jauzi disertai penjelasan tentang
kedudukan hadits-hadits yang bukan maudu’ dan ditambah dengan hadits-hadits
maudu’ yang belum disebutkan oleh Ibnu Al-Juzi. Dengan demikian, kitab ini sangat
komplit dan besar manfaatnya.
3. Tanzih Al-Syariah Al-Marfuah an Al-Ahadis Al-Syaniah Al-Mauduah, karya Al-
Hafizh Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad bun Iraq Al-Kannani (w.963 H). Kitab ini
merupakan ringkasan dari kitab Ibnu Al-Jauzi dan tambahan Al-Suyuti serta
tambahan ulama lainnya dalam kitab mereka. Kitab ini diberi muqqadimah yang

12
menyebutkan nama-nama rawi yang pendusta yang jumlahnya lebih dari 1900 orang,
dan hal ini merupakan suatu ilmu yang sangat berharga yang terkandung dalam kitab
ini.
4. Al-Manar Al-Munif fi Al-Sahih wa Al-Daif, karya Al-Hafizh Ibnul Qayyim Al-
Juziyah (w. 751 H).
5. Al-Masnu fi Al-Hadis Al-Maudu’, karya Ali Al-Qari (w. 1014 H). Kedua kitab
terakhir ini ringkas dan sangat bermanfaat.

13
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1. Hadits dha’if menurut bahasa berarti hadist yang lemah, yakni para ulama memiliki dugaan
yang lemah (kecil atau rendah) tentang benarnya hadits itu berasal dari Rasullullah SAW.
Sedangkan menurut para ulama “Hadits dha’if adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-
sifat hadits sahih, dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan.”
2. Kriteria hadits dha’if yaitu hadits yang kehilangan salah satu syaratnya sebagai hadits sahih
dan hasan. Dengan demikian, hadis dhaif itu bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadist
hasan. Pada hadits dha’if itu terdapat hal-hal yang menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk
menetapkan hadits tersebut bukan berasal dari Rasulullah SAW.
3. Secara garis besar yang menyebabkan suatu hadits digolongkan menjadi hadits dha’if
dikarenakan dua hal, yaitu: gugurnya rawi dalam sanadnya dan adanya cacat pada rawi atau
matan.
4. Cacat-cacat hadits dhaif berbeda-beda, baik macamnya maupun berat ringannya. Oleh
karena itu tingkatan (martabat) hadits-hadits dhaif tersebut juga berbeda. Bila suatu hadits
dhaif dimungkinkan bahwa rawinya benar-benar hapal dan menyampaikannya dengan cara
yang benar, maka hal ini telah mengandung perbedaan pendapat yang serius dikalangan
ulama sehubungan dengan pengalamannya.
5. Diantara kitab-kitab sumber hadits maudu’: Al-maudu’at, karya Al Imam Al-Hafiz Abdul
Faraj Abdur Rahman bin Al-Jauzi (W.597 H), Al-Laali Al-Masnuah fi Al-Mauduah, Tanzih
Al-Syariah Al-Marfuah an Al-Ahadis Al-Syaniah Al-Mauduah, Al-Manar Al-Munif fi Al-
Sahih wa Al-Daif, Al-Masnu fi Al-Hadis Al-Maudu’

14
DAFTAR PUSTAKA
http://referensiagama.blogspot.com/2011/02/kehujjahan-hadits-dhaif.html?m=1
http://fithriaazizah.blogspot.com/2014/05/makalah-ulumul-hadis-hadis-dhaif-
dan.html?m=1
https://wahdah.or.id/hukum-beramal-dengan-hadits-dhaif/
https://hidayatullahahmad.wordpress.com/2014/07/12/hadits-dhaif-2/
Amir Abdat, Abdul Hakim bin. 2003. Hadits-Hadits Dha’if dan Maudhu’ jilid
1. : Maktabah Muawiyah bin Abi Sufyan
Amir Abdat, Abdul Hakim bin. 2003. Hadits-Hadits Dha’if dan Maudhu’ jilid
2. : Maktabah Muawiyah bin Abi Sufyan
Ath-Thahhan, Mahmud. Dasar-Dasar Ilmu Hadits. : Ummul Qura
Syaukani, Imam. Shahih – Dhaif Nailul Authar jilid 1. : Alqowam
Syaukani, Imam. Shahih – Dhaif Nailul Authar jilid 2. : Alqowam

15

Anda mungkin juga menyukai