Anda di halaman 1dari 39

Pendahuluan

Syok adalaha suatu sindrom klinis yang terjadi akibat gangguan hemodinamik dan
metabolic ditandai dengan kegagalan system sirkulasi untuk mempertahankan perfusi yang
adekuat ke organ-organ vital tubuh. Hal ini muncul akibat kejadia pada hemostasis tubuh
seperti, perdarahan yang massif, trauma atau luka bakar yang berat (syok hipovolemia),
infark miokard luas atau emboli paru (syok kardiogenik), sepsis akibat bakteri yang tak
terkontrol (syok sepstik), tonus vasomotor yang tidak adekuat (syok neurogenik), atau akibat
respon imun (syok anafilaktik).

Syok Hipovolemik

Terjadi akibat penurunan volume darah, plasma atau cairan tubuh elektrolit. Syok ini
disebabkan oleh perdarahan, luka bakar, obstruksi usus, peritonitis.Tanda-tandanya adalah
penurunan tekanan vena, peningkatan tahanan perifer, takikardi. Disamping itu terdapat
faktor-faktor yang meningkatkan kepekaan terhadap syok seperti usia, penyakit kronis,
anastesi (kelumpuhan saraf vasomotor), kekurangan adrenalin. Penafsiran klinis syok
hipovolemik adalah menggolongkan syok hipovolemik atas ringan, sedang dan berat.
Misalnya pada syok hipovolemik perdarahan :
1. Kehilangan darah sebanyak < 20% dari volume darah dalam tubuh menyebabkan
syok ringan.
2. Kehilangan darah 20-40% dari volume darah dalam tubuh menyebabkan syok sedang.
3. Kehilangan darah >40% dari volume dalam tubuh menyebabkan syok berat.
Patofisiologi syok
Perdarahan akan menurunkan tekanan pengisian pembuluh darah rata-rata dan
menurunkan aliran darah balik ke jantung. Hal ini menimbulkan penurunan curah jantung.
Curah jantung yang rendah di bawah normal akan menimbulkan beberapa kejadian pada
beberapa organ :
 Mikrosirkulasi
Ketika curah jantung turun, tahanan vaskular sistemik akan berusaha untuk
meningkatkan tekanan sistemik guna menyediakan perfusi yang cukup bagi
jantung dan otak melebihi jaringan lain seperti otot, kulit dan khususnya
jaringan gastrointestinal. Kebutuhan energi untuk pelaksanaan metabolism di
jantung dan otak sangat tinggi tetapi kedua sel organ itu tidak dapat mampu
menyimpan cadangan energi. Sehingga keduanya sangat bergantung kepada
ketersediaan oksigen dan nutrisi tetapi sangat rentan bila terjadi iskemia yang
berat untuk waktu yang melebihi kemampuan toleransi jantung dan otak.
Ketika tekanan arteri rata-rata (mean atrial preassure/MAP) jatuh hingga
<60% mmHG, maka aliran ke organ akan turun drastic dan fungsi sel di
semua organ akan terganggu.

 Neuroendokrin
Hipovolemia, hipotensi, dan hipoksia dapat dideteksi oleh baroreseptor dan
kemoreseptor tubuh. Kedua reseptor tadi berperan dalam respons autonom
tubuh yang mengatur perfusi serta substrak lain.
 Kardiovaskular
Tiga variable seperti ; pengisian atrium, tahanan terhadap tekanan (ejeksi)
ventrikel dan kontraktilitas mmiokard, bekerja keras dalam mengatur volume
sekuncup. Curah jantung, penentu utama dalam perfusi jaringan, adalah hasil
kali volume sekuncup dan frekuensi jantung. Hipovolemia menyebabkan
penurunan pengisian ventrikel, yang ada pada akhirnya menurunkan volume
sekuncup.

 Ginjal
Gagal ginjal akut adalah suatu komplikasi dari syok dan hipoperpusi,
frekuensi terjadinya sangat jarang karena cepatnya pemberian cairan
pengganti. Secara fisiologis, ginjal mengatasi hipoperfusi dengan
mempertahankan garam dan air. Pada saat aliran darah di ginjal berkurang,
tahanan arteriol aferen meningkat untuk mengurangi laju filtrasi glomerulus,
yang bersama-sama dengan aldosteron dan vasopressin yang bertanggung
jawab terhadap menurunnya produksi urin.

Manifestasi Klinis
Gejala syok hipovolemik cukup bervariasi, tergantung pada usia, kondisi premorbid,
besarnya volume cairan yang hilang, dan lamanya berlangsung. Kecepatan kehilangan cairan
tubuh merupakan faktor kritis respons kompensasi. Pasien muda dapat dengan mudah
mengkompensasi kehilangan cairan dengan jumlah sedang dengan vasokonstriksi dan
takikardia. Kehilangan volume yang cukup besar dalam waktu lambat, meskipun terjadi pada
pasien usia lanjut, masih dapat ditolerir juga dibandingkan kehilangan dalam waktu yang
cepat atau singkat.
 Pada pasien dengan kemungkinan syok akibat hipovolemik, riwayat penyakit penting
untuk menentukan penyebab yang mungkin dan untuk penanganan lansung. Syok
hipovolemik akibat kehilangan darah dari luar biasanya nyata dan mudah didiagnosis.
Perdarahan dalam kemungkinan tidak nyata, seperti pasien hanya mengeluhkan
kelemahan, letargi, atau perubahan status mental.
 Gejala-gejala syok seperti kelemahan, penglihatan kabur, dan kebingungan,
sebaiknya dinilai pada semua pasien.
 Pada pasien trauma, menentukan mekanisme cedera dan beberapa informasi lain akan
memperkuat kecurigaan terhadap cedera tertentu (misalnya, cedera akibat tertumbuk
kemudi kendaraan, gangguan kompartemen pada pengemudi akibat kecelakaan
kendaraan bermotor).
 Jika sadar, pasien mungkin dapat menunjukkan lokasi nyeri.
 Tanda vital, sebelum dibawa ke unit gawat darurat sebaiknya dicatat.
 Nyeri dada, perut, atau punggung mungkin menunjukkan gangguan pada pembuluh
darah.
 Tanda klasik pada aneurisma arteri torakalis adalah nyeri yang menjalar ke punggung.
Aneurisma aorta abdominalis biasanya menyebabkan nyeri perut, nyeri punggung,
atau nyeri panggul.
 Pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal, mengumpulan keterangan tentang
hematemesis, melena, riwayat minum alkohol, penggunaan obat anti-inflamasi non
steroid yang lama, dan koagulopati (iatrogenik atau selainnya) adalah sangat
penting.  Kronologi muntah dan hematemesis harus ditentukan. Pada pasien dengan
hematemesis setelah episode berulang muntah yang hebat kemungkinan mengalami
Sindrom Boerhaave atau Mallory-Weiss tear, sedangkan pasien dengan riwayat
hematemesis sejak awal kemungkinan mengalami ulkus peptik atau varises
esophagus. 
 Jika suatu penyebab ginekologik dipertimbangkan, perlu dikumpukan informasi
mengenai hal berikut: periode terakhir menstruasi, faktor risiko kehamilan ektopik,
perdarahan pervaginam (termasuk jumlah dan durasinya), produk konsepsi pada
saluran vagina, dan nyeri. Semua wanita usia subur sebaiknya menjalani tes
kehamilan, untuk meyakinkan apakah mereka hamil. Tes kehamilan negatif bermakna
untuk menyingkirkan diagnosis kehamilan ektopik.
 Pemeriksaan fisik seharusnya selalu dimulai dengan penanganan jalan napas,
pernapasan, dan sirkulasi. Ketiganya dievaluasi dan distabilkan secara bersamaan,
sistem sirkulasi harus dievaluasi untuk tanda-tanda dan gejala-gejala syok.
Jangan hanya berpatokan pada tekanan darah sistolik sebagai indikator utama syok;
hal ini menyebabkan diagnosis lambat.
 Mekanisme kompensasi mencegah penurunan tekanan darah sistolik secara signifikan
hingga pasien kehilangan 30% dari volume darah. Sebaiknya nadi, frekuensi
pernapasan, dan perfusi kulit lebih diperhatikan. Juga, pasien yang mengkonsumsi
beta bloker mungkin tidak mengalami takikardi, tanpa memperhatikan derajat
syoknya.
 Klasifikasi perdarahan telah ditetapkan, berdasarkan persentase volume darah yang
hilang. Namun, perbedaan antara klasifikasi tersebut pada pasien hipovolemik sering
tidak nyata. Penanganan sebaiknya agresif dan langsung lebih berkaitan pada respon
terapi dibandingkan klasifikasi awal
a.      Perdarahan derajat I (kehilangan darah 0-15%)
 Tidak ada komplikasi, hanya terjadi takikardi minimal.
 Biasanya tidak terjadi perubahan tekanan darah, tekanan nadi, dan frekuensi
pernapasan.
 Perlambatan pengisian kapiler lebih dari 3 detik sesuai untuk kehilangan darah sekitar
10%
b.      Perdarahan derajat II (kehilangan darah 15-30%)
 Gejala klinisnya, takikardi (frekuensi nadi>100 kali permenit), takipnea, penurunan
tekanan nadi, kulit teraba dingin, perlambatan pengisian kapiler, dan anxietas ringan .
 Penurunan tekanan nadi adalah akibat peningkatan kadar katekolamin, yang
menyebabkan peningkatan resistensi pembuluh darah perifer dan selanjutnya
meningkatkan tekanan darah diastolik. 
c.       Perdarahan derajat III (kehilangan darah 30-40%)
 Pasien biasanya mengalami takipnea dan takikardi, penurunan tekanan darah sistolik,
oligouria, dan perubahan status mental yang signifikan, seperti kebingungan atau
agitasi.

 Pada pasien tanpa cedera yang lain atau kehilangan cairan, 30-40% adalah jumlah
kehilangan darah yang paling kecil yang menyebabkan penurunan tekanan darah
sistolik.

 Sebagian besar pasien ini membutuhkan transfusi darah, tetapi keputusan untuk
pemberian darah seharusnya berdasarkan pada respon awal terhadap cairan.
d.      Perdarahan derajat IV (kehilangan darah >40%)
 Gejala-gejalanya berupa takikardi, penurunan tekanan darah sistolik, tekanan nadi
menyempit (atau tekanan diastolik tidak terukur), berkurangnya (tidak ada) urine yang
keluar, penurunan status mental (kehilangan kesadaran), dan kulit dingin dan pucat. 

 Jumlah perdarahan ini akan mengancam kehidupan secara cepat.

Stadium Syok Hipovolemik


a.      Syok Reversibel dini dan kompensasi
 Mean arterial pressure turun 10 – 15 mmHg
 Berkurangnya volume darah sirkulasi (25 – 35%) 1000 ml
 Sistem saraf pusat terangsang; keluarnya katekolamin
 Untuk menjaga tekanan darah : terjadi peningkatan denyut jantung dan
kontraktilitasnya; meningkatnya vasokontriksi perifer
 Sirkulasi terjaga, tetapi hanya bisa dipertahankan dalam waktu singkat tanpa
membahayakan jaringan
 Penyebab yang mendasari syok harus diketahui dan dikoreksi atau akan berlanjut ke
stadium berikutnya
b.      Syok intermediat atau progresif
 MAP selanjutnya turun (20%)
 Bertambahnya kehilangan cairan tubuh (1800 – 2500 ml)
 Vasokontriksi berlanjut dan menimbulkan defisiensi oksigen
 Tubuh akan menjalani metabolisme anaerob yang membentuk asam laktat sebagai
produk buangan.
 Tubuh meningkatkan denyut jantung dan vasokontriksi
 Jantung dan otak menjadi hipoksia
 Efek yang lebih berat  terhadap jaringan lainnya yang menjadi : iskemia dan anoksia
 Status asidosis dengan hiperkalemia terjadi
 Memerlukan penanganan yang cepat

c.       Syok refrakter atau ireversibel


 Jaringan anoksia, kematian sel  tersebar luas

 Bahkan dengan pengembalian tekanan darah dan volume cairan, terdapat sangat
banyak kerusakan untuk mengembalikan hemostasis jaringan.

 Kematian seluler menimbulkan kematian jaringan, kegagalan organ vital dan


kematian terjadi
Tanda Tanda Syok
1. Takikardia
2. Akral dingin
3. Kesadaran↓
4. Takipnea
5. Tensi↓

Pemeriksaan Laboratorium-Hematologi
Pemeriksaan laboratorium sangat bermanfaat untuk menentukan kadar hemoglobin dan
nilai hematokrit. Akan tetapi, resusitasi cairan tidak boleh ditunda menunggu hasil
pemeriksaan. Hematokrit pasien dengan syok hipovolemik mungkin rendah, normal, atau
tinggi, tergantung pada penyebab syok.
Jika pasien mengalami perdarahan lambat atau resusitasi cairan telah diberikan, nilai
hematokrit akan rendah. Jika hipovolemia karena kehilangan volume cairan tubuh tanpa
hilangnya sel darah merah seperti pada emesis, diare, luka bakar, fistula, hingga
mengakibatkan cairan intravaskuler menjadi pekat (konsentarted) dan kental, maka pada
keadaan ini nilai hematokrit menjadi tinggi.

Penatalaksanaan syok
Tiga tujuan penanganan kegawatdaruratan pasien dengan syok hipovolemik antara
lain: (1) memaksimalkan pengantaran oksigen-dilengkapi dengan ventilasi yang adekuat,
peningkatan saturasi oksigen darah, dan memperbaiki aliran darah, (2) mengontrol
kehilangan darah lebih lanjut, dan (3) resusitasi cairan.
1.      Memaksimalkan penghantaran oksigen
 Jalan napas pasien sebaiknya dibebaskan segera dan stabilisasi jika perlu. Kedalaman dan
frekuensi pernapasan, dan juga suara napas, harus diperhatikan. Jika terjadi keadaan
patologi (seperti pneumothoraks, hemothoraks, dan flail chest) yang mengganggu
pernapasan, harus segera ditangani. Tambahan oksigen dalam jumlah besar dan bantuan
ventilator harus diberikan pada semua pasien. Ventilasi tekanan positif yang berlebihan
dapat berbahaya pada pasien yang mengalami syok hipovolemik dan sebaiknya dihindari.
 Sebaiknya dibuat dua jalur intravena berdiameter besar. Jalur intravena dapat ditempatkan
pada vena antecubiti, vena saphena, atau vena tangan, atau pada vena sentralis dengan
menggunakan teknik Seldinger. Jika digunakan jalur utama vena sentralis maka
digunakan kateter infus berdiameter lebar. Pada anak kurang dari 6 tahun dapat
digunakan jalur intraosseus.
 Pengadaan infus arteri perlu dipertimbangkan pada pasien dengan perdarahan hebat.
Untuk pasien ini, infus arteri akan memonitoring tekanan darah secara berkala dan juga
analisa gas darah.
 Pada jalur intravena, cairan yang pertama digunakan untuk resusitasi adalah kristaloid
isotonik, seperti Ringer Laktat atau Saline Normal. Bolus awal 1-2 liter pada orang
dewasa (20 ml/kgBB pada pasien anak), dan respon pasien dinilai.
 Jika tanda vital sudah kembali normal, pasien diawasi agar tetap stabil dan darah pasien
perlu dikirim untuk dicocokkan. Jika tanda vital membaik sementara, infus kristaloid
dilanjutkan dan dipersiapkan darah yang cocok. Jika perbaikan yang terjadi tidak
bermakna atau tidak ada, infus kristaloid harus dilanjutkan, dan darah diberikan.
 Jika pasien sekarat dan hipotensi berat (syok derajat IV), diberikan cairan kristaloid dan
darah. Pedoman pemberian kristaloid dan darah tidak diatur, terapi yang diberikan harus
berdasarkan kondisi pasien.
 Posisi pasien dapat digunakan untuk memperbaiki sirkulasi; salah satu contohnya
menaikkan kedua kaki pasien sementara cairan diberikan. Contoh lain dari posisi yang
bermanfaat adalah memiringkan pasien yang sedang hamil dengan trauma kearah kirinya,
dengan tujuan memposisikan janin menjauhi vena cava inferior dan meningkatkan
sirkulasi. Posisi Trendelenburg tidak dianjurkan untuk pasien dengan hipotensi karena
dikhawatirkan terjadi aspirasi. Posisi Trendelenburg juga tidak memperbaiki keadaan
kardiopulmonal dan dapat mengganggu pertukaran udara.
 Autotransfusi mungkin dilakukan pada beberapa pasien trauma. Beberapa alat diizinkan
untuk koleksi steril, antikoagulasi, filtrasi, dan retransfusi darah disediakan. Pada
penanganan trauma, darah yang berasal dari hemothoraks dialirkan melalui selang
thorakostomi.
2.      Kontrol perdarahan lanjut
 Kontrol perdarahan tergantung sumber perdarahan dan sering memerlukan intervensi
bedah. Pada pasien dengan trauma, perdarahan luar harus diatasi dengan menekan sumber
perdarahan secara langsung, perdarahan dalam membutuhkan intervensi bedah. Fraktur
tulang panjang ditangani dengan traksi untuk mengurangi kehilangan darah.
 Pada pasien dengan nadi yang tidak teraba di unit gawat darurat atau awal tibanya, dapat
diindikasikan torakotomi emergensi dengan klem menyilang pada aorta diindikasikan
untuk menjaga suplai darah ke otak. Tindakan ini hanya bersifat paliatif dan butuh segera
dibawa di ruang operasi.
 Pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal, vasopressin intravena dan H2 bloker
telah digunakan. Vasopressin umumnya dihubungkan dengan reaksi negatif, seperti
hipertensi, aritmia, gangren, dan iskemia miokard atau splanikus. Oleh karena itu, harus
dipertimbangkan untuk penggunaanya secara tetap. H2 Bloker relatif aman, tetapi tidak
terlalu menguntungkan.
 Pada dasarnya penyebab perdarahan akut pada sistem reproduksi (contohnya kehamilan
ektopik, plasenta previa, solusio plasenta, ruptur kista, keguguran) memerlukan intervensi
bedah.
 Konsultasi segera dan penanganan yang tepat adalah kuncinya. Tujuan penanganan
kegawatdaruratan adalah untuk menstabilkan keadaan pasien hipovolemik, menentukan
penyebab perdarahan, dan menyediakan penanganan yang tepat sesegera mungkin. Jika
perlu untuk membawa pasien ke rumah sakit lain, hal ini harus dilakukan segera.
                                                                                                                         
3.   Apakah kristaloid dan koloid merupakan resusitasi terbaik yang dianjurkan masih menjadi
masalah dalam diskusi dan penelitian. Banyak cairan telah diteliti untuk digunakan pada
resusitasi, yaitu: larutan natrium klorida isotonis, larutan ringer laktat, saline hipertonis,
albumin, fraksi protein murni, fresh frozen plasma, hetastarch, pentastarch, dan dextran 70.
 Pendukung resusitasi koloid membantah bahwa peningkatan tekanan onkotik dengan
menggunakan substansi ini akan menurunkan edema pulmonal. Namun, pembuluh
darah pulmonal memungkinkan aliran zat seperti protein antara ruang interstitial dan
ruang intravaskuler. Mempertahankan tekanan hidrostatik pulmoner (< 15 mmHg
tampaknya menjadi faktor yang lebih penting dalam mencegah edama paru)
 Pendapat lain adalah koloid dalam jumlah sedikit dibutuhkan untuk meningkatkan
volume intravaskuler. Penelitian telah menunjukkan akan kebenaran hal ini. Namun,
mereka belum menunjukkan perbedaan hasil antara koloid dibandingkan dengan
kristaloid.
 Larutan koloid sintetik, seperti hetastarch, pentastarch, dan dextran 70 mempunyai
beberapa keuntungan dibandingkan dengan koloid alami seperti fraksi protein murni,
fresh frozen plasma, dan albumin. Larutan ini mempunyai zat dengan volume yang
sama, tetapi karena strukturnya dan berat molekul yang tinggi, maka kebanyakan
tetap berada pada intravaskuler, mengurangi edema intertisiel. Meskipum secara
teoritis menguntungkan, penelitian gagal menunjukkan perbedaan pada parameter
ventilasi, hasil tes fungsi paru, lama penggunaan ventilator, lama perawatan, atau
kelangsungan hidup.
 Kombinasi salin hipertonis dan dextran juga telah dipelajari sebelumnya karena fakta-
fakta menunjukkan bahwa hal ini dapat meningkatkan kontraktilitas dan sirkulasi
jantung. Penelitian di Amerika Serikat dan Jepang gagal menunjukkan perbedaan
kombinasi ini jika dibandingkan dengan larutan natrium klorida isotonik atau ringer
laktat. Selanjutnya, meski ada banyak cairan resusitasi yang dapat digunakan, tetap
dianjurkan untuk menggunakan Saline Normal atau Ringer Laktat. Di Amerika
Serikat, satu alasan untuk menggunakan kristaloid untuk resusitasi adalah harga
cairan tersebut.
 Rekomendasi terbaru adalah resusitasi cairan yang agresif dilakukan dengan Ringer
Laktat atau Saline Normal pada semua pasien dengan tanda-tanda dan gejala-gejala
syok tanpa memperhatikan penyebab yang mendasari.

Syok Kardiogenik
Gangguan yang disebabkan oleh penurunan curah jantung sistemik pada keadaan
volume intravascular yang cukup, dan dappat mengakibatkan hipoksia jaringan. Syok dapat
terjadi karena disfungsi ventrikel kiri yang berat, tetapi dapat pula terjadi pada keadaan
dimana fungsi ventrikel kiri cukup baik.
Hipotensi sistemik umumnya menjadi dasar diagnosis. Nilai cut off untuk tekanan
darah sistolik yang sering dipakai adalah < 90 mmHg. Dengan menurunnya tekanan darah
sistolik akan meningkatkan kadar katekolamin yang mengakibatkan konstriksi arteri dan vena
sistemik. Manifestasi klinis dapat ditemukan tanda-tanda hipoperfusi sistemik mancakup
perubahan status mental, kulit dingin, dan oliguria.
Syok kardiogenik didefinisikan sebagai tekanan sistolik < 90 mmHg selama > 1 jam
dimana :
 Tak responsif dengan pemberian cairan saja
 Sekunder dari disfungsi jantung
 Berkaitan dengan tanda-tanda hipoperfusi atau indeks kardiak < 2,2l/menit per m2
dan tekanan baji kapiler paru > 18 mmHg.
 Pasien dengan tekanan darah sistolik meningkat > 90 mmHg dalam 1 jam setelah
pemberian obat inotropik,
Epidemiologi
Penyebab syok kardiogenik yang terbanyak adalah infark miokard akut, dimana
terjadi kehilangan sejumlah besar miokardium akibat terjadinya nekrosis. Syok kardiogenik
terjadi pada 2,9% pasien angina pectoris tak stabil dan 2,1% pasien infark miokard akut non
elevasi ST. Median waktu perkembangan menjadi syok pada pasien ini adalah 76-94 jam
dimana yang tersering adalah 48 jam. Syok lebih sering terjadi pada komplikasi IMA dengan
elevasi ST daripada tipe lain dari sindrom koroner akut.
Patofisiologi
Syok kardiogenik dapat dipandang sebagai bentuk yang berat dari kegagalan ventrikel
kiri. Peristiwa patofisiologik dan respon kompensatoriknya sesuai dengan gagal jantung,
tetapi telah berkembang ke bentuk yang lebih berat. Penurunan kontraktilitas jantung
mengurangi curah jantung dan meningkatkan volume dan tekanan akhir diastolik ventrikel
kiri, hingga mengakibatkan kongesti paru-paru dan edema.
Dengan menurunnya tekanan arteria, maka terjadi perangsangan terhadap
baroreseptor pada aorta dan sinus karotikus. Perangsangan simpato adrenal menimbulkan
refleks vasokonstriksi, takikardia, dan meningkatkan kontraktilitas untuk menambah curah
jantung dan menstabilkan tekanan darah. Kontraktilitas akan terus meningkat sesuai dengan
hukum Starling melalui retensi natrium dan air. Jadi, menurunnya kontraktilitas pada syok
kardiogenik akan memulai respon kompensatorik, yang meningkatkan beban akhir dan beban
awal. Meskipun mekanisme protektif ini pada mulanya akan meningkatkan tekanan arteria
darah dan perfusi jaringan, namun efeknya terhadap miokardium justru buruk karena
meningkatkan beban kerja jantung dan kebutuhan miokardium akan oksigen. Karena aliran
darah koroner tidak memadai, terbukti dengan adanya infark, maka ketidakseimbangan antara
kebutuhan dan suplai oksigen terhadap miokardium semakin meningkat. Gangguan
miokardium juga terjadi akibat iskemia dan nekrosis fokal, yang akan memperberat lingkaran
setan dari kerusakan miokardium. Dengan bertambah buruknya kinerja ventrikel kiri,
keadaan syok berkembang dengan cepat sampai akhirnya terjadi gangguan sirkulasi hebat
yang mengganggu sistem organ-organ penting.
Pengaruh sistemik dari syok akhirnya akan membuat syok menjadi irreversibel.
Beberapa organ terserang lebih cepat dan berat daripada yang lain. Seperti telah diketahui,
miokardium akan menderita kerusakan yang paling dini pada keadaan syok. Selain dari
bertambahnya kerja miokardium dan kebutuhannya terhadap oksigen, beberapa perubahan
lain juga terjadi. Karena metabolisme anaerobik dimulai pada keadaan syok, maka
miokardium tidak dapat mempertahankan cadangan fosfat berenergi tinggi (adenosin
trifosfat) dalam kadar normal, dan kontraktilitas ventrikel akan makin terganggu. Hipoksia
dan asidosis menghambat pembentukan energi dan mendorong terjadinya kerusakan lebih
lanjut dari sel-sel miokardium. Kedua faktor ini juga menggeser kurva fungsi ventrikel ke
bawah dan ke kanan yang akan semakin menekan kontraktilitas.
Gangguan pernafasan terjadi sekunder akibat syok. Komplikasi yang mematikan
adalah gangguan pernafasan yang berat. Kongesti paru-paru dan edema intra-alveolar akan
mengakibatkan hipoksia dan kemunduran gas-gas darah arteria. Atelektasis dan infeksi paru-
paru dapat pula terjadi. Faktor-faktor ini memicu terjadinya syok paru-paru, yang sekarang
sering disebut sebagai sindrom distres pernafasan dewasa. Takipnea, dispnea, dan ronki basah
dapat ditemukan, demikian juga gejala-gejala yang dijelaskan sebelumnya sebagai
manifestasi gagal jantung ke belakang.
Perfusi ginjal yang menurun mengakibatkan anuria dengan keluaran kemih kurang
dari 20 ml/jam. Dengan semakin berkurangnya curah jantung, biasanya menurunkan pula
keluaran kemih. Karena adanya respon kompensatorik retensi natrium dan air, maka kadar
natrium dalam kemih juga berkurang. Sejalan dengan menurunnya laju filtrasi glomerulus,
terjadi peningkatan BUN dan kreatinin. Bila hipotensi berat dan berkepanjangan, dapat
terjadi nekrosis tubular akut yang kemudian disusul gagal ginjal akut.
Syok yang berkepanjangan akan mengakibatkan gangguan sel-sel hati. Kerusakan sel
dapat terlokalisir pada zona-zona nekrosis yang terisolasi atau dapat berupa nekrosis hati
yang masif pada syok yang berat. Gangguan fungsi hati dapat nyata dan biasanya
bermanifestasi sebagai peningkatan enzim-enzim hati, glutamat-oksaloasetat transaminase
serum (SGOT), dan glutamat-piruvat transaminase serum (SGPT). Hipoksia hati juga
merupakan mekanisme etiologi yang mengawali komplikasi-komplikasi ini.
Iskemia saluran cerna yang berkepanjangan umumnya mengakibatkan nekrosis
hemoragik dari usus besar. Cedera usus besar dapat mengeksaserbasi syok melalui
penimbunan cairan pada usus dan absorbsi bakteria dan endotoksin ke dalam sirkulasi.
Penurunan motilitas saluran cerna hampir selalu ditemukan pada keadaan syok.

Penatalaksanaan

Langkah pertama
Tujuannya adalah mencegah kerusakan organ sewaktu pasien dibawa untuk terapi
definitif. Mempertahankan tekanan arteri rata-rata yang adekuat untuk mencegah sekuele
neurologi dan ginjal vital. Dopamin atau noradrenalin (norepinefrin), tergantung pada derajat
hipotensi, harus diberikan secepatnya untuk meningkatkan tekanan arteri rata-ratadan
dipertahankan pada dosis minimal yang dibutuhkan. Dabutamin dapat dikombinasikan
dengan dopamine dalam dosis sedang atau digunakan tanpa kombinasi pada keadaan low
output tanpa hipotensi yang nyata.
Intra aortic ballon counterpulsation (IABP) harus dikerjakan sebelum transportasi jika
fasilitas tersedia. Analisis gas darah dan saturasi oksigen harus dimonitor dengan
memberikan countinuous positive airway pressure atau ventilasi mekanisme jika ada indikasi.
EKG harus dimonitor terus menerus, dan peralatan defibrillator, obat antiaritmia amiodaron
dan lidokain harus tersedia.
Langkah kedua
Hal ini merupakan hal penting dalam tatalaksana syok kardiogenik yang berasal dari
kegagalan pompa iskemik yang predominan. Hipotensi diatasi dengan IABP. Syok
mempunyai cirri penyakit 2 pembuluh darah yang tinggi, penyakit left main, dan penurunan
fungsi ventrikel kiri.

Syok Anafilaktik

Anafilaksis berasal dari bahasa Yunani, dari 2 kata, ana yang berarti jauh dan
phylaxis yang berarti perlindungan. Secara harfiah artinya adalah menghilangkan
perlindungan. Anafilaksis merupakan reaksi alergi sistemik yang berat dan dapat
menyebabkan kematian, terjadi secara tiba-tiba segera setelah terpapar oleh alergen atau
pencetus lainnya. Reaksi anafilaksis termasuk ke dalam reaksi Hipersensivitas Tipe I menurut
klasifikasi Gell dan Coombs. Reaksi ini harus dibedakan dengan reaksi anafilaktoid yang
memiliki gejala, terapi, dan risiko kematian yang sama tetapi degranulasi sel mast atau
basofil terjadi tanpa keterlibatan atau mediasi dari IgE.
Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis dan
merupakan bagian dari syok distributif yang ditandai oleh adanya hipotensi yang nyata akibat
vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan disertai kolaps pada sirkulasi darah yang
menyebabkan terjadinya sinkop dan kematian pada beberapa pasien. Syok anafilaktik
merupakan kasus kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk menggambarkan anafilaksis secara
keseluruhan, karena anafilaksis yang berat dapat terjadi tanpa adanya hipotensi, dimana
obstruksi saluran napas merupakan gejala utamanya.

Epidemiologi
Data yang menjelaskan jumlah insiden dan prevalensi dari syok dan reaksi anafilaksis
saat ini sangat terbatas. Dari beberapa data yang diperoleh di Amerika Serikat menunjukkan
10 dari 1000 orang mengalami reaksi anafilaksis tiap tahunnya. Penelitian lain menunjukkan
bahwa rata-rata reaksi anafilaksis akibat makanan adalah 0,0004%, 0,7-10% untuk penisilin,
0,22-1% untuk media radiokontras, dan 0,5-5% untuk gigitan serangga.
Saat ini diperkirakan setiap 1 dari 3000 pasien rumah sakit di USA mengalami reaksi
anafilaksis, dengan resiko mengalami kematian sebesar 1%. Dari 1453 sampai 1503 kematian
tiap tahunnya akibat syok atau reaksi anafilaksis, 100 disebabkan oleh makanan, 400 oleh
penisilin, 900 oleh media radiokontras, 3 oleh lateks, 40-100 oleh getah. Data yang
disebutkan diatas menunjukkan bahwa anafilaksis merupakan masalah serious kesehatan di
USA.
Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras di dunia. Beberapa sumber menyebutkan
bahwa anafilaksis lebih sering terjadi pada perempuan, terutama perempuan dewasa muda
dengan insiden lebih tinggi sekitar 35% dan mempunyai risiko kira-kira 20 kali lipat lebih
tinggi dibandingkan laki-laki. Berdasarkan umur, anafilaksis lebih sering pada anak-anak dan
dewasa muda, sedangkan pada orang tua dan bayi anafilaksis jarang terjadi karena sistem
imun pada individu ini belum sepenuhnya mengalami perkembangan yang optimal .
Faktor Predisposisi dan Etiologi
Atopi merupakan faktor risiko reaksi anafilaksis. Pada studi berbasis populasi di Olmsted
County, 53% dari pasien anafilaksis memiliki riwayat penyakit atopi. Cara dan waktu
pemberian berpengaruh terhadap terjadinya reaksi anafilaksis. Pemberian secara oral lebih
sedikit kemungkinannya menimbulkan reaksi dan kalaupun ada biasanya tidak berat. Selain
itu, semakin lama interval pajanan pertama dan kedua, semakin kecil kemungkinan reaksi
anafilaksis akan muncul kembali. Hal ini berhubungan dengan katabolisme dan penurunan
sintesis dari IgE spesifik seiring waktu.
Asma merupakan faktor risiko yang fatal berakibat fatal. Lebih dari 90% kematian
karena anafilaksis makanan terjadi pada pasien asma. Penundaan pemberian adrenalin juga
merupakan faktor risiko yang berakibat fatal.
Faktor-faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah sifat alergen,
jalur pemberian obat, dan kesinambungan paparan alergen. Golongan alergen yang sering
menimbulkan reaksi anafilaksis adalah makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks.
Udang, kepiting, kerang, ikan kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur, dan susu
adalah makanan yang biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obat-obatan yang bisa
menyebabkan anafikasis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat anestesi intravena,
relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1, asam folat, dan lain-lain. Media kontras
intravena, transfusi darah, latihan fisik, dan cuaca dingin juga bisa menyebabkan anafilaksis.
Tabel 1. Mekanisme dan Obat Pencetus Anafilaksis
Anafilaksis (melalui IgE)
Antibiotik (penisilin, sefalosporin)
Ekstrak alergen (tawon, polen)
Obat (glukokortikoid, thiopental, suksinilkolin)
Enzim (kemopapain, tripsin)
Serum heterolog (antitoksin tetanus, globulin antilimfosit)
Protein manusia (insulin, vasopresin, serum)
Anafilaktoid (tidak melalui IgE)
Zat pelepas histamin secara langsung
Obat (opiat, vankomisin, kurare)
Cairan hipertonik (media radiokontras, manitol)
Obat lain (dekstran, fluoresens)
Aktivasi komplemen
Protein manusia (imunoglobulin dan produk darah lainnya)
Bahan dialisis
Modulasi metabolisme asam arakidonat
Asam asetilsalisilat
NSAIDs
Sumber : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi ke-5, Jilid 1, Balai Penerbit
Ilmu Penyakit Dalam FK UI, Jakarta.

Patofisiologi
Anafilaksis dikelompokkan dalam hipersensitivitas tipe I (immediate type reaction)
oleh Coombs dan Gell (1963), timbul segera setelah tubuh terpajan dengan alergen.
Anafilaksis diperantarai melalui interaksi antara antigen dengan IgE pada sel mast, yang
menyebabkan terjadinya pelepasan mediator inflamasi. Reaksi ini terjadi melalui 2 fase:
1. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya
dengan reseptor spesifik pada permukaan sel mast dan basofil.
2. Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang sama
dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.

Gambar 1. Patofisiologi Reaksi Anfilaksis

Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di tangkap
oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T,
dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi Limfosit B
berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig E spesifik untuk
antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan
reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh.
Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera
yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa
bahan vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah preformed mediators.
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel
yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu
setelah degranulasi yang disebut newly formed mediators. Fase Efektor adalah waktu
terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit
atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan
efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan
edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan
Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek
bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit.
Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang
dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya
fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan aliran
darah balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan tekanan darah.
Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia
jaringan yang berimplikasi pada keaadan syok yang membahayakan penderita.

Gambar 2. Patofisiologi Syok anafilaktik

Pelebaran Pembuluh Darah



Maldistribusi Volume Sirkulasi

Aliran Darah Balik (Venous Return) ↓

Tekanan Darah ↓

Tekanan Perfusi ↓

Hipoksia Jaringan

Manifetasi Klinis Anafilaksis


Anafilaksis terdiri dari kombinasi berbagai gejala yang bisa muncul beberapa detik,
menit, sampai beberapa jam setelah terpapar alergen. Manifestasi klinis anafilaksis yang
sangat bervariasi terjadi sebagai akibat berbagai macam mediator yang dilepaskan dari sel
mastosit jaringan dan basofil yang memiliki sensitivitas yang berbeda pada setiap organ yang
dipengaruhinya. Manifestasi klinis dari anafilaksis sangat bervariasi yaitu dari yang bersifat
ringan, sedang, sampai berat, dimana syok anafilaktik merupakan contoh manifestasi klinis
yang berat.
Reaksi anafilaksis dapat dilihat dalam bentuk urtikaria, angiodema, obstruksi respirasi
sampai dengan kolaps pembuluh darah. Di samping itu terdapat pula bentuk lainnya, seperti
rasa takut, kelemahan, keringat dingin, bersin, rinorhea, asma, rasa tercekik, disfagia, mual
dan muntah, nyeri abdomen, inkontinensia, sampai dengan kehilangan kesadaran. Walaupun
demikian, sebab kematian utama dari anafilaksis adalah syok dan obstruksi saluran
pernafasan. Obstruksi saluran pernafasan dapat berupa edema laring, bronkospasme dan
edema bronkus.
Gejala prodromal pada umumnya adalah lesu, lemah, rasa tidak enak yang sukar
dilukiskan, rasa tidak enak di dada dan perut, rasa gatal di hidung dan palatum. Gejala ini
merupakan permulaan dari gejala lainnya.
Gejala pada organ pernapasan didahului dengan rasa gatal di hidung, bersin dan
hidung tersumbat, diikuti dengan batuk, sesak, mengi, rasa tercekik, suara serak, dan stridor.
Disamping itu terjadi pula edema pada lidah, edema laring, spasme laring, dan spasme
bronkus.
Gejala kardiovaskular ditandai dengan takikardi, palpitasi, hipotensi sampai syok,
pucat, dingin, aritmia, hingga sinkop. Pada EKG dapat dijumpai beberapa kekainan seperti
gelombang T datar, terbalik, atau tanda-tanda infark miokard.
Gejala gastrointestinal berupa disfagia, mual, muntah, rasa kram diperut, diare yang
kadang-kadang disertai darah, dan peningkatan peristaltik usus.
Gejala pada kulit berupa gatal-gatal, urtikaria, angioedema pada bibir, muka, atau
ekstrimitas. Penderita juga biasanya mengeluh adanya rasa gatal dan lakrimasi pada mata.
Sedangkan gejala pada sistem saraf pusat dapat berupa gelisah dan kejang.

Tabel 2. Gejala dan Tanda Anafilaksis Berdasarkan Organ Sasaran


Sistem Gejala dan Tanda
Umum Lesu, lemah, rasa tak enak yang sukar
Prodromal dilukiskan, rasa tak enak di dada dan
perut, rasa gatal di hidung dan palatum
Pernapasan
Hidung Hidung gatal, bersin, tersumbat
Laring Rasa tercekik, suara serak, sesak nafas,
stridor, edema, spasme.
Lidah Edema
Bronkus Batuk, sesak, mengi, spasme
Kardiovaskular Pingsan, sinkop, palpitasi, takikardi,
hipotensi sampai syok, aritmia . Kelainan
EKG: gelombang T datar, terbalik, atau
tanda-tanda infark miokard.
Gastrointestinal Disfagia, mual, muntah, kolik dan diare
yang kadang disertai darah, peristaltik
usus meninggi
Kulit Urtika, angioedema di bibir, muka,
ekstremitas
Mata Gatal, lakrimasi
Susunan Saraf Pusat Gelisah, kejang

Sumber : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi ke-5, Jilid 1, Balai Penerbit
Ilmu Penyakit Dalam FK UI, Jakarta.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium diperlukan karena sangat membantu menentukan
diagnosis, memantau keadaan awal, dan beberapa pemeriksaan digunakan untuk memonitor
hasil pengobatan serta mendeteksi komplikasi lanjut. Hitung eosinofil darah tepi dapat
normal atau meningkat, demikian halnya dengan IgE total sering kali menunjukkan nilai
normal. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak
kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Pemeriksaan lain yang lebih
bermakna yaitu IgE spesifik dengan RAST (radio-immunosorbent test) atau ELISA (Enzym
Linked Immunosorbent Assay test), namun memerlukan biaya yang mahal.5,6,12
Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit untuk mencari alergen penyebab yaitu
dengan uji cukit (prick test), uji gores (scratch test), dan uji intrakutan atau intradermal yang
tunggal atau berseri (skin end-point titration/SET). Uji cukit paling sesuai karena mudah
dilakukan dan dapat ditoleransi oleh sebagian penderita termasuk anak, meskipun uji
intradermal (SET) akan lebih ideal. Pemeriksaan lain sperti analisa gas darah, elektrolit, dan
gula darah, tes fungsi hati, tes fungsi ginjal, elektrokardiografi, rontgen thorak, dan lain-
lain.5,6,12

Diagnosis
Diaganosis anafikasis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Dari anamnesis dicari apakah pasien mendapatkan zat penyebab anafilaksis
seperti injeksi, minum obat, disengat hewan, atau setelah makan sesuatu. Pemeriksaan fisik
dilakukan berdasarkan kriteria klinis dibawah ini :
1. Onset yang akut (dari beberapa menit sampai beberapa jam) disertai dengan gejala-gejala
yang terjadi pada kulit, jaringan mukosa, atau keduanya (urtikaria, pruritus, edema pada
bibir-lidah-uvula). Dan minimal satu dari gejala yang berikut ini :
a. Gangguan pada sistem respirasi (sesak, wheeze-bronchospasm, stridor).
b. Penurunan tekanan darah atau gejala yang berhubungan dengan end-organ
dysfunction (hipotonia, syncope, incontinence).
2. Dua atau lebih gejala berikut ini yang terjadi secara cepat setelah terpapar alergen yang
spesifik pada pasien tersebut ( beberapa menit sampai beberapa jam):
a. Gangguan pada kulit dan jaringan mukosa.
b. Gangguan pada sistem respirasi.
c. Penurunan tekanan darah atau gejala lainnya yang berkaitan.
d. Gangguan pada sistem pencernaan yang terjadi secara persisten.
3. Penurunan tekanan darah setelah terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut
(beberapa menit sampai beberapa jam):
a. Bayi dan anak-anak: tekanan darah sistolik yang rendah (tergantung umur) atau
penurunan darah sistolik lebih dari 30%.
b. Orang dewasa: tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmhg atau penurunan darah
sistolik lebih dari 30% dari tekanan darah awal.

Diagnosis Banding
Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaksis. Gambaran klinis yang tidak
spesifik dari anafilaksis mengakibatkan reaksi tersebut sulit dibedakan dengan penyakit
lainnya yang memiliki gejala yang sama. Hal ini terjadi karena anafilaksis mempengaruhi
seluruh sistem organ pada tubuh manusia sebagai akibat pelepasan berbagai macam mediator
dari sel mast dan basofil, dimana masing-masing mediator tersebut memiliki afinitas yang
berbeda pada setiap reseptor pada sistem organ. Beberapa kondisi yang menyerupai reaksi
anafilaksis dan syok anafilaktik adalah reaksi vasovagal, infark miokard akut, reaksi
hipoglikemik, reaksi histeris, sindrom karsinoid, asma bronkiale, dan rhinitis alergika.
Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik, seperti:
1. Reaksi vasovagal
Reaksi vasovagal sering dijumpai setelah pasien mandapat suntikan. Pasien tampak
pingsan, pucat dan berkeringat. Tetapi dibandingkan dengan reaksi anafilaktik, pada reaksi
vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis. Meskipun tekanan darahnya turun
tetapi masih mudah diukur dan biasanya tidak terlalu rendah seperti anafilaktik.
2. Infark miokard akut
Pada infark miokard akut gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan atau tanpa
penjalaran. Gejala tersebut sering diikuti rasa sesak tetapi tidak tampak tanda-tanda
obstruksi saluran napas. Sedangkan pada anafilaktik tidak ada nyeri dada.
3. Reaksi hipoglikemik
Reaksi hipoglikemik disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau sebab lain. Pasien
tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak sadar. Tekanan darah kadang-kadang
menurun tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi
anafilaktik ditemui obstruksi saluran napas.
4. Reaksi histeris
Pada reaksi histeris tidak dijumpai adanya tanda-tanda gagal napas, hipotensi, atau
sianosis. Pasien kadang-kadang pingsan meskipun hanya sementara. Sedangkan tanda-
tanda diatas dijumpai pada reaksi anafilaksis.
5. Carsinoid syndrome
Pada syndrom ini dijumpai gejala-gejala seperti muka kemerahan, nyeri kepala, diare,
serangan sesak napas seperti asma.
6. Chinese restaurant syndrome
Dapat dijumpai beberapa keadaan seperti mual, pusing, dan muntah pada beberapa menit
setelah mengkonsumsi MSG lebih dari 1gr, bila penggunaan lebih dari 5gr bisa
menyebabkan asma. Namun tekanan darah, kecepatan denyut nadi, dan pernapasan tidak
berbeda nyata dengan mereka yang diberi makanan tanpa MSG.
7. Asma bronchial
Gejala-gejalanya dapat berupa sesak napas, batuk berdahak, dan suara napas yang
berbunyi ngik-ngik. Dan biasanya timbul karena faktor pencetus seperti debu, aktivitas
fisik, dan makanan, dan lebih sering terjadi pada pagi hari.

8. Rhinitis alergika
Penyakit ini menyebabkan gejala seperti pilek, bersin, buntu hidung, gatal hidung yang
hilang-timbul, mata berair yang disebabkan karena faktor pencetus, mis. debu, terutama di
udara dingin.dan hampir semua kasus asma diawali dengan RA
Penatalaksanaan Syok Anafilaktik
Pada renjatan yang berat (syok anafilaktik), penatalaksanaan pada dasarnya ditujukan
untuk mengembalikan sirkulasi yang adekuat, dan memberikan ventilasi yang bagus, dan bila
mungkin dilakukan upaya pencegahan.
Tindakan Segera
Tindakan pertama yang paling penting dilakukan menghadapi pasien dengan syok anafilaktik
adalah mengidentifikasi dan menghentikan kontak dengan alergen yang diduga menyebabkan
reaksi anafilaksis. Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih
tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki
curah jantung dan menaikkan tekanan darah.
Selanjutnya dilakukan penilaian airway, breathing, dan circulation dari tahapan
resusitasi jantung paru untuk memberikan kebutuhan bantuan hidup dasar. Airway, penilaian
jalan napas. Jalan napas harus dijaga tetap bebas agar tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk
penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang
menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan triple airway manuver yaitu ekstensi kepala,
tarik mandibula ke depan, dan buka mulut. Penderita dengan sumbatan jalan napas total,
harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau
trakeotomi. Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada
tanda-tanda bernapas spontan, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok
anafilaktik yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas
total atau parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong
dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen 5-10 liter /menit.
Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis atau a.
femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.
Obat-obatan
Obat pilihan pertama untuk mengobati syok anafilaktik adalah adrenalin. Obat ini
berpengaruh untuk meningkatkan tekanan darah, menyempitkan pembuluh darah, melebarkan
bronkus, dan meningkatkan aktivitas otot jantung. Adrenalin bekerja pada reseptor adrenergik
di seluruh tubuh sehingga mempunyai kemampuan memperbaiki kontraktilitas otot jantung,
tonus pembuluh darah perifer dan otot polos bronkus. Adrenalin selalu akan dapat
menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu denyut dan kontraksi
jantung sehingga menimbulkan tekanan darah naik seketika dan berakhir dalam waktu
pendek.
Cara pemberian adrenalin secara intramuskuler pada lengan atas, paha, ataupun
sekitar lesi pada sengatan serangga merupakan pilihan pertama pada penatalaksanaan syok
anafilaktik. Adrenalin memiliki onset yang cepat setelah pemberian intramuskuler. Pada
pasien dalam keadaan syok, absorbsi intramuskuler lebih cepat dan lebih baik dari pada
pemberian subkutan. Berikan 0,5 ml larutan 1:1000 (0,3-0,5 mg) untuk orang dewasa dan
0,01 ml/kg BB untuk anak. Dosis diatas dapat diulang beberapa kali tiap 5-15 menit, sampai
tekanan darah dan nadi menunjukkan perbaikan.
Adrenalin sebaiknya tidak diberikan secara intravena kecuali pada keadaan tertentu
saja misalnya pada saat syok (mengancam nyawa) ataupun selama anestesia. Pada saat pasien
tampak sangat kesakitan serta kemampuan sirkulasi dan absorbsi injeksi intramuskuler yang
benar-benar diragukan, adrenalin mungkin diberikan dalam injeksi intravena lambat dengan
dosis 500 mcg (5 ml dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) diberikan dengan kecepatan
100 mcg/menit dan dihentikan jika respon dapat dipertahankan. Pada anak-anak dapat diberi
dosis 10 mcg/kg BB (0,1 ml/kg BB dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) dengan
injeksi intravena lambat selama beberapa menit. Beberapa penulis menganjurkan pemberian
infus kontinyu adrenalin 2-4 ug/menit. Individu yang mempunyai resiko tinggi untuk
mengalami syok anafilaktik perlu membawa adrenalin setiap waktu dan selanjutnya perlu
diajarkan cara penyuntikan yang benar. Pada kemasan perlu diberi label, pada kasus kolaps
yang cepat orang lain dapat memberikan adrenalin tersebut.
Pengobatan tambahan dapat diberikan pada penderita anafilaksis, obat-obat yang
sering dimanfaatkan adalah antihistamin, kortikosteroid, dan bronkodilator. Pemberian
antihistamin berguna untuk menghambat proses vasodilatasi dan peningkatan peningkatan
permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh pelepasan mediator dengan cara menghambat
pada tempat reseptor-mediator tetapi bukan bukan merupakan obat pengganti adrenalin.
Tergantung beratnya penyakit, antihistamin dapat diberikan oral atau parenteral. Pada
keadaan anafilaksis berat antihistamin dapat diberikan intravena. Untuk AH2 seperti simetidin
(300 mg) atau ranitidin (150 mg) harus diencerkan dengan 20 ml NaCl 0,9% dan diberikan
dalam waktu 5 menit. Bila penderita mendapatkan terapi teofilin pemakaian simetidin harus
dihindari sebagai gantinya dipakai ranitidin. Anti histamin yang juga dapat diberikan adalah
dipenhidramin intravena 50 mg secara pelan-pelan (5-10 menit), diulang tiap 6 jam selama 48
jam.
Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon keradangan, kortikosteroid tidak
banyak membantu pada tata laksana akut anafilaksis dan hanya digunakan pada reaksi sedang
hingga berat untuk memperpendek episode anafilaksis atau mencegah anafilaksis berulang.
Glukokortikoid intravena baru diharapkan menjadi efektif setelah 4-6 jam pemberian.
Metilprednisolon 125 mg intravena dpt diberikan tiap 4-6 jam sampai kondisi pasien stabil
(yang biasanya tercapai setelah 12 jam), atau hidrokortison intravena 7-10 mg/Kg BB,
dilanjutkan dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam, atau deksametason 2-6 mg/kg BB.
Apabila terjadi bronkospasme yang menetap diberikan aminofilin intravena 4-7
mg/Kg BB selama 10-20 menit, dapat diikuti dengan infus 0,6 mg/Kg BB/jam, atau
aminofilin 5-6 mg/Kg BB yang diencerkan dalam 20 cc dextrosa 5% atau NaCl 0,9% dan
diberikan perlahan-lahan sekitar 15 menit. Pilihan yang lain adalah bronkodilator aerosol
(terbutalin, salbutamol). Larutan salbutamol atau agonis β2 yang lain sebanyak 0,25 cc-0,5 cc
dalam 2-4 ml NaCl 0,99% diberikan melalui nebulisasi.

Pencegahan
Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penetalaksanaan syok anafilaktik
terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Melakukan anamnesis riwayat alergi penderita
dengan cermat akan sangat membantu menentukan etiologi dan faktor risiko anafilaksis.
Individu yang mempunyai riwayat penyakit asma dan orang yang mempunyai riwayat alergi
terhadap banyak obat, mempunyai resiko lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya syok
anafilaktik.
Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatian bahwa tes kulit
negatif pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian obat-obat tersebut, tetapi
tidak berarti pasti penderita tidak akan mengalami reaksi anafilaksis. Orang dengan tes kulit
negatif dan mempunyai riwayat alergi positif mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1-3%
dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif.
Dalam pemberian obat juga harus berhati-hati, encerkan obat bila pemberian dengan
jalur subkutan, intradermal, intramuskular, ataupun intravena dan observasi selama
pemberian. Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi yang kuat dan tepat. Hindari obat-
obat yang sering menyebabkan syok anafilaktik. Catat obat penderita pada status yang
menyebabkan alergi. Jelaskan kepada penderita supaya menghindari makanan atau obat yang
menyebabkan alergi. Hal yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk
mengantisipasi reaksi anfilaksis serta adanya alat-alat bantu resusitasi kegawatan.
Desensitisasi alergen spesifik adalah pencegahan untuk kebutuhan jangka panjang.

Prognosis
Dengan penanganan yang cepat, tepat, dan sesuai dengan kaedah kegawatdaruratan,
reaksi anafilaksis jarang menyebabkan kematian. Namun pasien yang pernah mengalami
reaksi anafilaksis mempunyai resiko untuk memperoleh reaksi yang sama bila terpajan oleh
pencetus yang sama.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi anafilaksis yang
akan menentukan tingkat keparahan dari reaksi tersebut, yaitu umur, tipe alergen, atopi,
penyakit kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronis, asma, keseimbangan asam basa dan
elektrolit, obat-obatan yang dikonsumsi seperti β-blocker dan ACE Inhibitor, serta interval
waktu dari mulai terpajan oleh alergen sampai penanganan reaksi anafilaksis dengan injeksi
adrenalin.

Syok septik
Sepsis adalah suatu sindroma klinik yang terjadi oleh karena adanya respon tubuh
yang berlebihan terhadap rangsangan produk mikroorganisme. Ditandai dengan panas,
takikardia, takipnea, hipotensi dan disfungsi organ berhubungan dengan gangguan sirkulasi
darah.
Sepsis sindroma klinik yang ditandai dengan:
 Hyperthermia/hypothermia (>38°C; <35,6°C)
 Tachypneu (respiratory rate >20/menit)
 Tachycardia (pulse >100/menit)
 >10% cell immature
 Suspected infection
Biomarker sepsis (CCM 2003) adalah prokalsitonin (PcT); Creactive Protein (CrP).
Derajat Sepsis
1. Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), ditandai dengan .2 gejala sebagai
berikut:
 Hyperthermia/hypothermia (>38,3°C; <35,6°C)
 Takipnea (resp >20/menit)
 Tachycardia (nadi >100/menit)
 Leukositosis >12.000/mm atau Leukopenia <4.000/mm
 >10% cell imature
2. Sepsis : Infeksi disertai SIRS
3. Sepsis Berat : Sepsis yang disertai MODS/MOF, hipotensi, oliguria bahkan anuria.
4. Sepsis dengan hipotensi : Sepsis dengan hipotensi (tekanan sistolik <90 mmHg atau
penurunan tekanan sistolik >40 mmHg).
5. Syok septik
Syok septik adalah subset dari sepsis berat, yang didefinisikan sebagai hipotensi yang
diinduksi sepsis dan menetap kendati telah mendapat resusitasi cairan, dan disertai
hipoperfusi jaringan.
Epidemiologi
Dalam kurun waktu 23 tahun yang lalu bakterimia karena infeksi bakteri gram negatif di
AS yaitu antara 100.000-300.000 kasus pertahun, tetapi sekarang insiden ini meningkat
antara 300.000-500.000 kasus pertahun (Bone 1987, Root 1991). Shock akibat sepsis terjadi
karena adanya respon sistemik pada infeksi yang seirus. Walaupun insiden shock sepsis ini
tak diketahui namun dalam beberapa tahun terakhir ini cukup tinggi Hal ini disebabkan
cukup banyak faktor predisposisi untuk terjadinya sepsis antara lain diabetes melitus,
sirhosis hati, alkoholisme, leukemia, limfoma, keganasan, obat sitotoksis dan
imunosupresan, nutrisi parenteral dan sonde, infeksi traktus urinarius dan gastrointestinal. Di
AS syok sepsis adalah penyebab kematian yang sering di ruang ICU.

Etiologi
Infeksi dapat disebabkan oleh virus, bakteri, fungi atau riketsia. Respon sistemik dapat
disebabkan oleh mikroorganisme penyebab yang beredar dalam darah atau hanya disebabkan
produk toksik dari mikroorganisme atau produk reaksi radang yang berasal dari infeksi local.
Umumnya disebabkan kuman gram negatif. Insidensnya meningkat, antara lain karena
pemberian antibiotik yang berlebihan, meningkatnya penggunaan obat sitotoksik dan
imunosupresif, meningkatnya frekuensi penggunaan alat-alat invasive seperti kateter
intravaskuler, meningkatnya jumlah penyakit rentan infeksi yang dapat hidup lama, serta
meningkatnya infeksi yang disebabkan organisme yang resisten terhadap antibiotic.
Patofisologi
Baik bakteri gram positif maupun gram negatif dapat menimbulkan sepsis. Pada bakteri
gram negatif yang berperan adalah lipopolisakarida (LPS). Suatu protein di dalam plasma,
dikenal dengan LBP (Lipopolysacharide binding protein) yang disintesis oleh hepatosit,
diketahui berperan penting dalam metabolisme LPS. LPS masuk ke dalam sirkulasi,
sebagian akan diikat oleh faktor inhibitor dalam serum seperti lipoprotein, kilomikron
sehingga LPS akan dimetabolisme. Sebagian LPS akan berikatan dengan LBP sehingga
mempercepat ikatan dengan CD14.1,2 Kompleks CD14-LPS menyebabkan transduksi sinyal
intraseluler melalui nuklear factor kappaB (NFkB), tyrosin kinase(TK), protein kinase C
(PKC), suatu  faktor transkripsi yang menyebabkan diproduksinya RNA sitokin oleh sel.
Kompleks LPS-CD14 terlarut juga akan menyebabkan aktivasi intrasel melalui toll like
receptor-2 (TLR2) .
Pada bakteri gram positif, komponen dinding sel bakteri berupa Lipoteichoic acid (LTA)
dan peptidoglikan (PG) merupakan induktor sitokin. Bakteri gram positif menyebabkan
sepsis melalui 2 mekanisme: eksotoksin sebagai superantigen dan komponen dinding sel
yang menstimulasi imun. Superantigen berikatan dengan molekul MHC kelas II dari antigen
presenting cells dan Vβ-chains dari reseptor sel T, kemudian akan mengaktivasi sel T dalam
jumlah besar untuk memproduksi sitokin proinflamasi yang berlebih.

Peran Sitokin pada Sepsis


Mediator inflamasi merupakan mekanisme pertahanan pejamu terhadap infeksi dan
invasi mikroorganisme. Pada sepsis terjadi pelepasan dan aktivasi mediator inflamasi yang
berlebih, yang mencakup sitokin yang bekerja lokal maupun sistemik, aktivasi netrofil,
monosit, makrofag, sel endotel, trombosit dan sel lainnya, aktivasi kaskade protein plasma
seperti komplemen, pelepasan proteinase dan mediator lipid, oksigen dan nitrogen radikal.
Selain mediator proinflamasi, dilepaskan juga mediator antiinflamasi seperti sitokin
antiinflamasi, reseptor sitokin terlarut, protein fase akut, inhibitor proteinase dan berbagai
hormon (Widodo, 2004).
Pada sepsis berbagai sitokin ikut berperan dalam proses inflamasi, yang terpenting
adalah TNF-α, IL-1, IL-6, IL-8, IL-12 sebagai sitokin proinflamasi dan IL-10 sebagai
antiinflamasi. Pengaruh TNF-α dan IL-1 pada endotel menyebabkan permeabilitas endotel
meningkat, ekspresi TF, penurunan regulasi trombomodulin sehingga meningkatkan efek
prokoagulan, ekspresi molekul adhesi (ICAM-1, ELAM, V-CAM1, PDGF, hematopoetic
growth factor, uPA, PAI-1, PGE2 dan PGI2, pembentukan NO, endothelin-1.1 TNF-α, IL-1,
IL-6, IL-8 yang merupakan mediator primer akan merangsang pelepasan mediator sekunder
seperti prostaglandin E2 (PGE2), tromboxan A2 (TXA2), Platelet Activating Factor (PAF),
peptida vasoaktif seperti bradikinin dan angiotensin, intestinal vasoaktif peptida seperti
histamin dan serotonin di samping zat-zat lain yang dilepaskan yang berasal dari sistem
komplemen.
Awal sepsis dikarakteristikkan dengan peningkatan mediator inflamasi, tetapi pada sepsis
berat pergeseran ke keadaan immunosupresi antiinflamasi.

Peran Komplemen pada Sepsis


Fungsi sistem komplemen: melisiskan sel, bakteri dan virus, opsonisasi, aktivasi respons
imun dan inflamasi dan pembersihan kompleks imun dan produk inflamasi dari sirkulasi.
Pada sepsis, aktivasi komplemen terjadi terutama melalui jalur alternatif, selain jalur klasik.
Potongan fragmen pendek dari komplemen yaitu C3a, C4a dan C5a (anafilatoksin) akan
berikatan pada reseptor di sel menimbulkan respons inflamasi berupa: kemotaksis dan adhesi
netrofil, stimulasi pembentukan radikal oksigen, ekosanoid, PAF, sitokin, peningkatan
permeabilitas kapiler dan ekspresi faktor jaringan.

Peran NO pada Sepsis


NO diproduksi terutama oleh sel endotel berperan dalam mengatur tonus vaskular. Pada
sepsis, produksi NO oleh sel endotel meningkat, menyebabkan gangguan hemodinamik
berupa hipotensi. NO diketahui juga berkaitan dengan reaksi inflamasi karena dapat
meningkatkan produksi sitokin proinflamasi, ekspresi molekul adhesi dan menghambat
agregasi trombosit. Peningkatan sintesis NO pada sepsis berkaitan dengan renjatan septik
yang tidak responsif dengan vasopresor.

Peran Netrofil pada Sepsis


Pada keadaan infeksi terjadi aktivasi, migrasi dan ekstravasasi netrofil dengan pengaruh
mediator kemotaktik. Pada keadaan sepsis, jumlah netrofil dalam sirkulasi umumnya
meningkat, walaupun pada sepsis berat jumlahnya dapat menurun. (Widodo, 2004). Netrofil
seperti pedang bermata dua pada sepsis. Walaupun netrofil penting dalam mengeradikasi
kuman, namun pelepasan berlebihan oksidan dan protease oleh netrofil dipercaya
bertanggungjawab terhadap kerusakan organ. (Hotckin, 2003). Terdapat 2 studi klinis yang
menyatakan bahwa menghambat fungsi netrofil untuk mencegah komplikasi sepsis tidak
efektif, dan terapi untuk meningkatkan jumlah dan fungsi netrofil pada pasien dengan sepsis
juga tidak efektif.
Infeksi sistemik yang terjadi biasanya karena kuman Gram negatif yang menyebabkan
kolaps kardiovaskuler. Endotoksin basil Gram negatif ini menyebabkan vasodilatasi kapiler
dan terbukanya hubungan pintas arteriovena perifer.
Selain itu, terjadi peningkatan permeabilitas kapiler. Peningkatan kapasitas vaskuler
karena vasodilatasi perifer meyebabkan terjadinya hipovolemia relatif, sedangkan
peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan kehilangan cairan intravaskular ke
interstisial yang terlihat sebagai edema.
Pada syok sepsis hipoksia, sel yang terjadi tidak disebabkan oleh penurunan perfusi
jaringan melainkan karena ketidakmampuan sel untuk menggunakan oksigen karena toksin
kuman.
Berlanjutnya proses inflamasi yang maladaptive akan menhyebabkan gangguan fungsi
berbagai organ yang dikenal sebagai disfungsi/gagal organ multiple (MODS/MOF). Proses
MOF merupakan kerusakan (injury) pada tingkat seluler (termasuk disfungsi endotel),
gangguan perfusi ke organ/jaringan sebagai akibat hipoperfusi, iskemia reperfusi, dan
mikrotrombus. Berbagai faktor lain yang ikut berperan adalah terdapatnya faktor humoral
dalam sirkulasi (myocardial depressant substance), malnutrisi kalori-protein, translokasi
toksin bakteri, gangguan pada eritrosit, dan efek samping dari terapi yang diberikan.

Gejala Klinik
1. Fase dini: terjadi deplesi volume, selaput lendir kering, kulit lembab dan kering.
2. Post resusitasi cairan: gambaran klinis syok hiperdinamik: takikardia, nadi keras
dengan tekanan nadi melebar, precordium hiperdinamik pada palpasi, dan
ekstremitas hangat.
3. Disertai tanda-tanda sepsis.
4. Tanda hipoperfusi: takipnea, oliguria, sianosis, mottling, iskemia jari, perubahan
status mental.

Bila ada pasien dengan gejala klinis berupa panas tinggi, menggigil, tampak toksik,
takikardia, takipneu, kesadaran menurun dan oliguria harus dicurigai terjadinya sepsis
(tersangka sepsis).
Pada keadaan sepsis gejala yang nampak adalah gambaran klinis keadaan tersangka
sepsis disertai hasil pemeriksaan penunjang berupa lekositosis atau lekopenia,
trombositopenis, granulosit toksik, hitung jenis bergeser ke kiri, CRP (+), LED
meningkat dan hasil biakan kuman penyebab dapat (+) atau (-).
Keadaan syok sepsis ditandai dengan gambaran klinis sepsis disertai tanda-tanda
syok (nadi cepat dan lemah, ekstremitas pucat dan dingin, penurunan produksi urin, dan
penurunan tekanan darah).
Gejala syok sepsis yang mengalami hipovolemia sukar dibedakan dengan syok
hipovolemia (takikardia, vasokonstriksi perifer, produksi urin < 0,5 cc/kgBB/jam,
tekanan darah sistolik turun dan menyempitnya tekanan nadi). Pasien-pasien sepsis
dengan volume intravaskuler normal atau hampir normal, mempunyai gejala takikardia,
kulit hangat, tekanan sistolik hampir normal, dan tekanan nadi yang melebar.

Perubahan hemodinamik
Tanda karakteristik sepsis berat dan syok-septik pada awal adalah hipovolemia, baik
relatif (oleh karena venus pooling) maupun absolut (oleh karena transudasi cairan).
Kejadian ini mengakibatkan status hipodinamik, yaitu curah jantung rendah, sehingga
apabila volume intravaskule adekuat, curah jantung akan meningkat. Pada sepsis berat
kemampuan kontraksi otot jantung melemah, mengakibatkan fungsi jantung intrinsik
(sistolik dan diastolik) terganggu.
Meskipun curah jantung meningkat (terlebih karena takikardia daripada peningkatan
volume sekuncup), tetapi aliran darah perifer tetap berkurang. Status hemodinamika pada
sepsis berat dan syok septik yang dulu dikira hiperdinamik (vasodilatasi dan
meningkatnya aliran darah), pada stadium lanjut kenyataannya lebih mirip status
hipodinamik (vasokonstriksi dan aliran darah berkurang).
Tanda karakterisik lain pada sepsis berat dan syok septik adalah gangguan ekstraksi
oksigen perifer. Hal ini disebabkan karena menurunnya aliran darah perifer, sehingga
kemampuan untuk meningkatkan ekstraksi oksigen perifer terganggu, akibatnya VO2
(pengambilan oksigen dari mikrosirkulasi) berkurang. Kerusakan ini pada syok septic
dipercaya sebagai penyebab utama terjadinya gangguan oksigenasi jaringan.
Karakteristik lain sepsis berat dan syok septik adalah terjadinya hiperlaktataemia,
mungkin hal ini karena terganggunya metabolisme piruvat, bukan karena dys-oxia
jaringan (produksi energi dalam keterbatasan oksigen).

Diagnosis
Diagnosis awal sepsis atau syok septik tergantung pada kepekaan dokter untuk
menilai pasien dengan dan tanda awal yang tidak spesifik seperti takipnnea, dispnea,
takikardia dengan keadaan hiperdinamik, vasodilatasi perifer, instabilitas tempratur, dan
perubahan keadaan mental. Keadaan seperti ini penting di perhatikan pada seperti pada
wanita – wanita dengan resiko tinggi seperti pyelonefritis, korioamnionitis, endometritis,
abortus septik, atau telah menjalani prosudur operasi emergensi. Diagnosa dan penanganan
awal ini sangat menentukan keberhasilan hidup pasien.
Tanda yang tampak tergantung dari fase syok septik dan tipe kerusakan organ yang
terjadi, tetapi hipotensi selalu ditemukan. Kebanyakan pasien mengalami peningkatan
temperatur dan lekosit dengan pergeseran ke kiri, tetapi pada beberapa pasien terjadi
penurunan temperatur dan kadar leukosit dibawah normal. Sebagai akibat dari keadaan
hiperdinamik jantung, terjadi gejala gejala pada jantung seperti iskemia, gagal jantung kiri,
atau aritmia. Konsekuansi klinik dari DIC adalah perdarahan, trombosis dan hemolisis
mikroangiopati. Karena pada syok sepsis potensi terjadinya disfungsi ginjal dan
hipovulemia, manifestasi klinik dapat berupa oligouria, hematuria dan proteinuria.
Dalam hal membantu menegakkan diagnosa sepsis atau syok septik, selain melalui
pemeriksaan fisik, juga diperlukan pemeriksaan rongen dan kultur. Dua kuman yang sangat
virulen dengan angka mortalitas yang tinggi adalah Streptokokus pyogens ( group A
streptokokus ) dan Clostridium Sordeli.

Penatalaksanaan

Dalam melakukan evaluasi pasien sepsis, diperlukan ketelitian dan pengalaman


dalam mencari dan menentukan sumber infeksi, menduga patogen yang menjadi penyebab
(berdasarkan pengalaman klinis dan pola kuman di RS setempat), sebagai panduan dalam
memberikan terapi antimikroba empirik.

Penatalaksanaan sepsis yang optimal mencakup eliminasi patogen penyebab infeksi,


mengontrol sumber infeksi dengan tindakan drainase atau bedah bila diperlukan, terapi
antimikroba yang sesuai, resusitasi bila terjadi kegagalan organ atau renjatan. Vasopresor
dan inotropik,  terapi suportif terhadap kegagalan organ, gangguan koagulasi dan terapi
imunologi bila terjadi respons imun maladaptif host terhadap infeksi.

1. Resusitasi
Mencakup tindakan airway (A), breathing (B), circulation (C) dengan oksigenasi,
terapi cairan (kristaloid dan/atau koloid), vasopresor/inotropik, dan transfusi bila
diperlukan. Tujuan resusitasi pasien dengan sepsis berat atau yang mengalami
hipoperfusi dalam 6 jam pertama adalah CVP 8-12 mmHg, MAP >65 mmHg, urine
>0.5 ml/kg/jam dan saturasi oksigen >70%. Bila dalam 6 jam resusitasi, saturasi
oksigen tidak mencapai 70% dengan resusitasi cairan dengan CVP 8-12 mmHg,
maka dilakukan transfusi PRC untuk mencapai hematokrit >30% dan/atau pemberian
dobutamin (sampai maksimal 20 μg/kg/menit).

Banyak pasien syok sepsis terjadi penurunan volume intravaskuler, sebagai respon
pertama harus diberikan cairan jika terjadi penurunan tekanan darah. Untuk mencapai
cairan yang adekuat pemberian pertama 1 L-1,5 L dalam waktu 1-2 jam. Jika tekanan
darah tidak membaik dengan pemberian cairan maka perlu dipertimbangkan
pemberian vasopressor seperti dopamin dengan dosis 5-10 ug/kgBB/menit. Dopamin
diberikan bila sudah tercapai target terapi cairan, yaitu MAP 60mmHg atau tekanan
sistolik 90-110 mmHg. Dosis awal adalah 2-5 μmg/Kg BB/menit. Bila dosis ini gagal
meningkatkan MAP sesuai target, maka dosis dapat di tingkatkan sampai 20 μg/
KgBB/menit. Bila masih gagal, dosis dopamine dikembalikan pada 2-5 μmg/Kg
BB/menit, tetapi di kombinasi dengan levarterenol (noreepinefrin). Bila kombinasi
kedua vasokonstriktor masih gagal, berarti prognosisnya buruk sekali. Dapat juga
diganti dengan vasokonstriktor lain (fenilefrin atau epinefrin)      

2. Eliminasi sumber infeksi


Tujuan: menghilangkan patogen penyebab, oleh karena antibiotik pada umumnya
tidak mencapai sumber infeksi seperti abses, viskus yang mengalami obstruksi dan
implan prostesis yang terinfeksi. Tindakan ini dilakukan secepat mungkin mengikuti
resusitasi yang adekuat.

3. Terapi antimikroba
Merupakan modalitas yang sangat penting dalam pengobatan sepsis. Terapi
antibiotik intravena sebaiknya dimulai dalam jam pertama sejak diketahui sepsis
berat, setelah kultur diambil. Terapi inisial berupa satu atau lebih obat yang memiliki
aktivitas melawan patogen bakteri atau jamur dan dapat penetrasi ke tempat yang
diduga sumber sepsis. Oleh karena pada sepsis umumnya disebabkan oleh gram
negatif, penggunaan antibiotik yang dapat mencegah pelepasan endotoksin seperti
karbapenem memiliki keuntungan, terutama pada keadaan dimana terjadi proses
inflamasi yang hebat akibat pelepasan endotoksin, misalnya pada sepsis berat dan
gagal multi organ.
Pemberian antimikrobial dinilai kembali setelah 48-72 jam berdasarkan data
mikrobiologi dan klinis. Sekali patogen penyebab teridentifikasi, tidak ada bukti
bahwa terapi kombinasi lebih baik daripada monoterapi.

Indikasi terapi kombinasi yaitu:


 Sebagai terapi pertama sebelum hasil kultur diketahui
 Pasien yang dapat imunosupresan, khususnya dengan netropeni
 Dibutuhkan efek sinergi obat untuk kuman yang sangat pathogen (pseudomonas
aureginosa, enterokokus)

4. Terapi suportif
a. Oksigenasi
Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal napas bila disertai dengan
penurunan kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik segera
dilakukan.
b. Terapi cairan
 Hipovolemia harus segera diatasi dengan cairan kristaloid (NaCl 0.9%
atau ringer laktat) maupun koloid.
 Pada keadaan albumin rendah (<2 g/dL) disertai tekanan hidrostatik
melebihi tekanan onkotik plasma, koreksi albumin perlu diberikan.
 Transfusi PRC diperlukan pada keadaan perdarahan aktif atau bila
kadar Hb rendah pada kondisi tertentu, seperti pada iskemia miokard
dan renjatan septik. Kadar Hb yang akan dicapai pada sepsis masih
kontroversi antara 8-10 g/dL.
c. Vasopresor dan inotropic
Sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi dengan pemberian
cairan adekuat, akan tetapi pasien masih hipotensi. Vasopresor diberikan
mulai dosis rendah dan dinaikkan (titrasi) untuk mencapai MAP 60 mmHg
atau tekanan darah sistolik 90mmHg. Dapat dipakai dopamin
>8μg/kg.menit,norepinefrin 0.03-1.5μg/kg.menit, phenylepherine 0.5-
8μg/kg/menit atau epinefrin 0.1-0.5μg/kg/menit. Inotropik dapat digunakan:
dobutamine 2-28 μg/kg/menit, dopamine 3-8 μg/kg/menit, epinefrin 0.1-0.5
μg/kg/menit atau fosfodiesterase inhibitor (amrinone dan milrinone).
d. Bikarbonat
Secara empirik bikarbonat diberikan bila pH <7.2 atau serum bikarbonat <9
mEq/L dengan disertai upaya untuk memperbaiki keadaan hemodinamik.
e. Disfungsi renal
Akibat gangguan perfusi organ. Bila pasien hipovolemik/hipotensi, segera
diperbaiki dengan pemberian cairan adekuat, vasopresor dan inotropik bila
diperlukan. Dopamin dosis renal (1-3 μg/kg/menit) seringkali diberikan untuk
mengatasi gangguan fungsi ginjal pada sepsis, namun secara evidence based
belum terbukti. Sebagai terapi pengganti gagal ginjal akut dapat dilakukan
hemodialisis maupun hemofiltrasi kontinu.
f. Nutrisi
Pada metabolisme glukosa terjadi peningkatan produksi (glikolisis,
glukoneogenesis), ambilan dan oksidasinya pada sel, peningkatan produksi
dan penumpukan laktat dan kecenderungan hiperglikemia akibat resistensi
insulin. Selain itu terjadi lipolisis, hipertrigliseridemia dan proses katabolisme
protein. Pada sepsis, kecukupan nutrisi: kalori (asam amino), asam lemak,
vitamin dan mineral perlu diberikan sedini mungkin.
g. Kontrol gula darah
Terdapat penelitian pada pasien ICU, menunjukkan terdapat penurunan
mortalitas sebesar 10.6-20.2% pada kelompok pasien yang diberikan insulin
untuk mencapai kadar gula darah antara 80-110 mg/dL dibandingkan pada
kelompok dimana insulin baru diberikan bila kadar gula darah >115 mg/dL.
Namun apakah pengontrolan gula darah tersebut dapat diaplikasikan dalam
praktek ICU, masih perlu dievaluasi, karena ada risiko hipoglikemia.
h. Gangguan koagulasi
Proses inflamasi pada sepsis menyebabkan terjadinya gangguan koagulasi
dan DIC (konsumsi faktor pembekuan dan pembentukan mikrotrombus di
sirkulasi). Pada sepsis berat dan renjatan, terjadi penurunan aktivitas
antikoagulan dan supresi proses fibrinolisis sehingga mikrotrombus
menumpuk di sirkulasi mengakibatkan kegagalan organ. Terapi antikoagulan,
berupa heparin, antitrombin dan substitusi faktor pembekuan bila diperlukan
dapat diberikan, tetapi tidak terbukti menurunkan mortalitas.
Untuk masa mendatang pengobatan dengan antibodi monoklonal merupakan
harapan dan diharapkan dapat menurunkan biaya pengobatan dan dapat
meningkatkan efektifitas. Pada binatang percobaan pemberian TNF antibodi
hanya efektif bila diberikan sebagai profilak. Suatu studi preklinik dengan
antibodi CB0006 dan TNF antibodi lainnya dapat digunakan sebagai profilak
dan mungkin juga dapat digunakan untuk pengobatan walaupun terapeutic
window-nya sempit. Pemberian HA-1A Human monoclonal antibody
sebaiknya dipertimbangkan pada pasien sepsis yang penyebabnya dicurigai
bakteri Gram negative, terutama pada sumber infeksi saluran cerna dan
saluran kemih yang sering disebabkan kuman Gram negatif.

i. Kortikosteroid
Hanya diberikan dengan indikasi insufisiensi adrenal. Hidrokortison dengan
dosis 50 mg bolus IV 4x/hari selama 7 hari pada pasien dengan renjatan
septik menunjukkan penurunan mortalitas dibandingkan kontrol. Keadaan
tanpa syok, kortikosteroid sebaiknya tidak diberikan dalam terapi sepsis.

Pemberian kortikosteroid pada binatang percobaan yang dibuat sepsis dapat


menurunkan angka mortalitas. Pada suatu studi prospektif pada manusia
pemberian dosis tinggi 30 mg metil prednisolon/kgBB dan diikuti 5
mg/kgBB/jam sampai 9 jam pada ke dua studi ini tidak didapatkan
peningkatan angka mortalitas (Root, 1991). Pada penelitian yang lain juga
didapatkan hasil yang sama dan hanya dapat memperbaiki keadaan shock
tetapi tidak memperbaiki angka mortalitas (Sprung,1984; Bone, 1987;
Hinshaw 1987; Cohen, 1991).

5. Modifikasi respons inflamasi


Anti endotoksin (imunoglobulin poliklonal dan monoklonal, analog
lipopolisakarida); antimediator spesifik (anti-TNF, antikoagulan-antitrombin, APC,
TFPI; antagonis PAF; metabolit asam arakidonat (PGE1), antagonis bradikinin,
antioksidan (N-asetilsistein, selenium), inhibitor sintesis NO (L-NMMA);
imunostimulator (imunoglobulin, IFN-γ, G-CSF, imunonutrisi); nonspesifik
(kortikosteroid, pentoksifilin, dan hemofiltrasi). Endogenous activated protein C
memainkan peranan penting dalam sepsis: inflamasi, koagulasi dan fibrinolisis.
Drotrecogin alfa (activated) adalah nama generik dari bentuk rekombinan dari human
activated protein C yang diindikasikan untuk menurunkan mortalitas pada pasien
dengan sepsis berat dengan risiko kematian yang tinggi.
Komplikasi

Multiple Organ Failure


DIC FDP≥ 1:40 atau D-dimers ≥2,0 dengan
rendahnya
platelet
Memanjangnya waktu:
- protrombin
- partial thromboplastin
- Perdarahan

Respirotary Distr.Syndrome Hipoksemia

Acute Renal Failure Kreatinin > 2,0 ug/dl


Na. Urin 40 mmol/L
Kelainan prerenal sudah disingkirkan
Hepatobilier disfunction Bil.>34 umol/L (2,0 mg/dL)
Harga alk. Fosfatase, SGOT, SGPt dua
kali harga
normal

Central Nervous System Disf.. GCS < 15

Prognosis
Keseluruhan angka kematian pada pasien dengan syok septik menurun dan sekarang
rata-rata 40% (kisaran 10 to 90%, tergantung pada karakteristik pasien). Hasil yang buruk
sering mengikuti kegagalan dalam terapi agresif awal (misalnya, dalam waktu 6 jam dari
diagnosa dicurigai). Setelah laktat asidosis berat dengan asidosis metabolik decompensated
menjadi mapan, terutama dalam hubungannya dengan kegagalan multiorgan, syok septik
cenderung ireversibel dan fatal.

Anda mungkin juga menyukai