KELAS: 2A
BP: 1812042
MAKNA OTODA
Otonomi daerah adalah sebuah bentuk dari hak, wewenang, hingga kewajiban dari sebuah
daerah otonom didalam melakuakn pengaturan dan juga pengurusan sendrii dari berbagai
macam bentuk urusan pemerintahan dan juga kepentingan daripada masyarakat setempat
yang dimana telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan otonomi ini
sendiri sejatinya berasal dari sebuah kata otonomi dan juga daerah dan dalam penggunaan
bahasa Yunaninya sendiri otonomi sendiri akan berasal dari kata otonomi autos dan namos.
Autos sendiri memiliki artian sebagai sendiri dan namos yang dimana memiliki artian sebagai
aturan maupun undang-undang sehingga akan dapat dilakukan pengertain sebagai sebauh
bentuk dari kewenangan didalam melakukan pengaturan sendrii maupun kewenangan untuk
membuat aturan sendiri.
LATAR BELAKANG OTODA
Latar Belakang Otonomi Daerah
Otonomi daerah di Indonesia lahir di tengah gejolak sosial yang sangat massif pada Tahun
1999. Gejolak sosial tersebut didahului oleh krisis ekonomi yang melanda Indonesia di
sekitar tahun 1997. Gejolak sosial yang melanda Negara Indonesia di sekitar tahun 1997
kemudian melahirkan gejolak politik yang puncaknya ditandai dengan berakhirnya
pemerintahan orde baru yang telah berkuasa selama kurang lebih 32 tahun di Indonesia.
Setelah runtuhnya pemerintahan orde baru pada Tahun 1998, mencuat sejumlah
permasalahan terkait dengan sistem ketatanegaraan dan tuntutan daerah-daerah yang selama
ini telah memberikan kontribusi yang besar dengan kekayaan alam yang dimilikinya. Wacana
otonomi daerah kemudian bergulir sebagai konsepsi alternatif untuk menjawab permasalahan
sosial dan ketatanegaraan Indonesia yang dianggap telah usang dan perlu diganti. Inilah yang
menjadi latar belakang otonomi daerah di Indonesia.
Latar belakang otonomi daerah terdiri atas faktor internal dan eksternal. Berikut di bawah ini
adalah pembahasannya. Faktor internal latar belakang otonomi daerah adalah kondisi yang
terdapat dalam negara Indonesia yang mendorong penerapan otonomi daerah di Indonesia.
Sedangkan faktor eksternal latar belakang otonomi daerah adalah faktor dari luar negara
Indonesia yang mendorong dan mempercepat implementasi otonomi daerah di Indonesia.
1. Latar belakang otonomi daerah secara internal, timbul akibat adanya tuntutan atas
buruknya pelaksanaan sistem pemerintahan yang dilaksanakan secara sentralistik. Terdapat
kesenjangan dan ketimpangan yang cukup besar antara pembangunan yang terjadi di daerah
dengan pembangunan yang dilaksanakan di kota-kota besar, khususnya Ibukota Jakarta.
Kesenjangan ini pada gilirannya meningkatkan arus urbanisasi yang di kemudian hari justru
telah melahirkan sejumlah masalah termasuk tingginya angka kriminalitas dan sulitnya
penataan kota di daerah Ibukota.
Ketidakpuasan daerah terhadap pemerintahan yang sentralistik juga didorong oleh massifnya
eksploitasi sumber daya alam yang terjadi di daerah-daerah yang kaya akan sumber daya
alam. Eksploitasi kekayaan alam di daerah kemudian tidak berbanding lurus dengan
optimalisasi pelaksanaan pembangunan di daerah tersebut. Bahkan pernah mencuat adanya
dampak negatif dari proses eksploitasi sumber daya alam terhadap masyarakat lokal. Hal
inilah yang mendorong lahirnya tuntutan masyarakat yang mengingingkan kewenangan untuk
mengatur dan mengurus daerah sendiri dan menjadi salah satu latar belakang otonomi daerah
di Indonesia.
2. Latar belakang otonomi daerah secara eksternal adalah adanya keinginan modal asing
untuk meningkatkan modal / investasinya di Indonesia. Dorongan internasional mungkin
tidak langsung mengarah kepada dukungan terhadap pelaksanaan otonomi daerah, tetapi
modal internasional sangat berkepentingan untuk melakukan efisiensi dan biaya investasi
yang tinggi sebagai akibat dari korupsi dan rantai birokrasi yang panjang. Agenda juga
menjanjikan hal tersebut aibat terjadinya perubahan dalam sistem pemerintahan yang sarat
dengan KKN menjadi pemerintahan yang bersih dan pada gilirannya akan lebih terbuka
terhadap investasi asing.
TUJUAN OTODA
Otonomi Daerah adalah sebuah kewenangan yang dimiliki oleh suatu daerah tertentu untuk
mengatur serta mengurus sendiri mengenai hal-hal yang terkait dengan pemerintahan ataupun
kepentingan dari masyarakat setempat yang didasarkan pada Undang-undang. Jadi, adapun
beberapa tujuan dari otonomi daerah terbagi ke dalam tiga kelompok, yaitu tujuan dalam
bidang poitik, tujuan dalam bidang administratif, dan tujuan dalam bidang ekonomi.
Pembahasan:
Tujuan Politik, dimana daerah diberikan kewenangan yang bertujuan untuk mewujudkan
demokrasi politik dengan melalui partai-partai politik serta DPRD. Dengan adanya hal ini
diharapkan masyarakat bisa mendapatkan pelayanan yang baik, pengadaan sarana dan
prasarana yang layak serta pemberdayaan masyarakat.
Tujuan Administratif, dimana pemberian kewenangan terhadap daerah juga memiliki tujuan
untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya alam secara lebih efekif serta memberikan
peluang bagi masyarakat setempat untuk turut dalam menyelenggarakanpemerintahan.
Tujuan Ekonomi, dimana otonomi daerah diharapkan dapat mewujudkan peningkatan indeks
pembangunan sehingga masyarakat bisa mendapat kesejahteraan yang lebih baik. Penerapan
otonomi daerah juga untuk meningkatkan daya saing dari segi ekonomi serta kualitas
produksi daerah untuk membantu perekonomian masyarakat.
AZAS OTODA
Otonomi daerah merupakan Hak, Wewenang, serta kewajiban yang diberikan pemerintah
kepada daerah otonom guna mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
masyarakat di wilayahnya berlandaskan peraturan perundang-undangan. Dalam
pelaksanaanya, otonomi daerah memiliki asas-asas tertentu, antara lain :
Asas Desentralisasi, merupakan penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat
kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya dalam sistem
NKRI.
Asas Dekonsentrasi, merupakan pendelegasian wewenang dari pemerintah pusat pada
pemerintah daerah atau dari badan otonom untuk mengatur dan mengurus urusan sektor
administrasi dalam sistem NKRI.
Asas Medebewind (Tugas Pembantuan), merupakan suatu asas dasar hukum otonomi daerah
yang memiliki sifat membantu pemerintah pusat atau pemerintah yang lebih tinggi
tingkatannya dalam menyelenggarakan negara atau daerah melalui kewenangan yang dimiliki
oleh pemerintah atau badan otonom yang dimintai bantuannya tersebut
Kesimpulan
Asas dalam otonomi daerah ada 3, antara lain :
Asas Desentralisasi, merupakan kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahannya dalam sistem NKRI.
Asas Dekonsentrasi, merupakan kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan sektor
administrasi dalam sistem NKRI.
Asas Medebewind, merupakan kewenangan pemerintah yang lebih rendah tingkatannya
untuk membantu pemerintah yang lebih tinggi tingkatannya.
Sedangkan asas umum penyelenggaraan negara adalah:
Asas Kepastian Hukum, yaitu asas yang mengacu pada peraturan perundang-undangan dan
keadilan penyelenggaraan kegiatan negara;
Asas Tertib Penyelenggara, yaitu asas yang menjadi pedoman untuk keteraturan, keserasian,
dan keseimbangan dalam mengendalikan penyelenggaraan negara;
Asas Kepentingan Umum, yaitu asas yang berfokus kepada kesejahteraan umum dgn cara
aspiratif, akomodatif, dan selektif
Asas Keterbukaan, yaitu asas yang memerintahkan untuk lebih terbuka atas hak masyarakat
agar/untuk bisa mendapat informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif mengenai
penyelenggaraan negara dengan selalu melindungi hak asasi pribadi, golongan, maupun
rahasia negara.
Asas Proporsionalitas, yaitu asas yg mengutamakan keseimbangan hak dan kewajiban.
Asas Profesionalitas, yaitu asas yg mengutamakan keadilan berlandaskan kode etik serta
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Asas Akuntabilitas, yaitu asas yang memastikan setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan
penyelenggaraan negara bisa dipertanggungjawabkan kepada rakyat;
Asas Efisiensi dan Efektifitas, yaitu asas yang menjamin penggunaan sumber daya yang ada
secara optimal dan bertanggung jawab untuk kesejahteraan masyarakat.
Pelaksanaan otonomi daerah di era reformasi ini seperti pedang bermata dua. Di satu
sisi,otonomi daerah diterapkan dengan harapan bahwa pemerintah daerah di seluruh
indonesia memiliki kewenangan atau otonomi untuk mengembangkan ekonomi dan potensi
daerahnya masing – masing yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan
masyarakatnya, tetapi di sisi lain, pemberian otonomi daerah ternyata berkembang menjadi
pundi-pundi uang bagi koruptor. Kekuasaan atau otonomi yang diberikan kepada para kepala
daerah merangsang para pengusaha, birokrasi dan politisi untuk berlomba-lomba meraih
posisi strategis ini, Akibatnya,terdapat fenomena banyaknya kepala daerah yang dipenuhi
oleh orang-orang yang tidak kompeten dan tidak memiliki rasa tanggung jawab kepada
publik.
Permasalahan tersebut sesuai dengan data yang dikeluarkan oleh Kementerian Dalam Negeri
yang dipublikasikan pada bulan Mei 2012, terdapat sekitar 173 kepala daerah yang
tersangkut kasus korupsi. Dan pada bulan November 2012,data dari Mahkamah konstitusi
menyebutkan bahwa ada sekitar 240 kepala daerah yang memiliki permasalahan hukum.
Meningkatkatnya jumlah kepala daerah yang tersangkut kasus hukum perlu dijadikan
warning bagi pemerintah dan para penegak hukum bahwa praktik korupsi di tanah air sudah
mencapai eskalasi yang mengkuatirkan. Perkembangan pelaksanaan otonomi daerah
membuat pola korupsi baru,yakni desentralisasi korupsi yang diwarnai dengan maraknya
fenomena raja-raja kecil di daerah yaitu kepala daerah yang kekuasaanya sering tidak bisa
dikontrol oleh pemerintah pusat. Fenomena ini tidak boleh disepelekan, karena memberikan
dampaknegatifbagiperkembanganekonomididaerah.
Lemahnyasistemcheck&Balance
Salah satu penyebab kurang berhasilnya pelaksanaan otonomi daerah saat ini karena
lemahnya sistem check and balance sehingga para kepala daerah yang mendapat julukan
negatif raja-raja kecil ini kurang respek dan patuh kepada kewibawaan pemerintah pusat dan
aturan hukum . Tanpa sungkan sungkan dan tidak takut kepada hukum banyak dari pejabat
daerah yang memperkaya diri dengan menyalahgunakan kekuasaan dan wewenangnya
dengan cara memanfaatkan celah hukum dan birokrasi modusnya yaitu korupsi APBD,
melakukan mark up anggaran, dan melakukan pungli kepada pengusaha dan masyarakat.
Fenomena pungli perlu mendapatkan perhatian khusus karena karena secara langsung akan
berdampak negative kepada iklim investasi. Praktik pungli memberikan dilema tersendiri
bagi para pengusaha, pelaku bisnis serta investor karena akibat hal tersebut akan
menimbulkan potensi kriminalisasi kepada pengusaha. Penegak hukum dapat mengartikan
bahwa pemberian uang kepada pejabat, ataupun pegawai negeri sipil dapat dianggap sebagai
penyuapanyangbisadikenakanhukumanpidanakorupsi
Selama tahun 2012, tidak sedikit kepala daerah yang tersangkut masalah korupsi
menjadi headline dalam pemberitaan di media yang menjadi sorotan publik. Salah satu
contoh kasus yang menarik perhatian masyarakat adalah kasus penyuapan Bupati Buol
AmranBatalipudenganpengusahaSitiHartatiMurdaya.
Perkembangan kasus Buol harus disikapi dengan bijaksana oleh para pemerintah pusat
khususnya para penegak hukum. Karena jika pihak pengusaha dianggap sebagai pihak yang
bersalah dalam kasus ini maka dampaknya akan memperburuk tingkat kepastian berinvestasi
di Indonesia. World Competitive Index yang dikeluarkan oleh World Economic Forum
(WEF) mencatat adanya penurunan ranking Indonesia pada periode 2012. Indonesia tercatat
berada di peringkat 46 pada tahun 2011 dan 44 pada tahun 2010. Hal ini memprihatinkan,
karena indonesia mengalami penurunan peringkat dalam tiga tahun berturut-turut. WCI juga
mencatatkan bahwa hambatan birokrasi masih merupakan salah satu permasalahan terbesar
dalamberinvestasidiIndonesia.
Pemerintah harus bergerak cepat sebelum otonomi daerah menjadi kanker baru bagi
suksesnya program pengentasan korupsi di Indonesia. Pemerintah perlu meningkatkan peran
institusi penegakan hukum seperti KPK , kejaksaan di daerah-daerah. Revisi undang-undang
KPK akan lebih baik jika dapat meningkatkan kemampuan KPK untuk lebih berdayaguna
dalam pemberantasan korupsi di daerah daerah. Dan UU No. 32/2004 tentang otonomi
daerah juga perlu direvisi secepatnya agar dapat memberikan kewenangan kepada gubernur,
sehingga dapat menyederhanakan birokrasi dan dapat memberikan check and balance di
daerah khususnya bagi pemerintahan kabupaten. UU no. 32/2004 tersebut juga perlu direvisi
karena tidak mendorong iklim investasi dan berusaha yang kondusif bagi para investor
karena terbukti justru mendorong para kepala daerah melakukan pidana korupsi.
Yang tidak kalah pentingnya adalah pemekaran daerah sebaiknya dihentikan sampai terdapat
revisi terbaru UU otonomi daerah. Pemekaran daerah yang merajarela akan membuat praktek
korupsi di daerah akan menjadi tak terkontrol. Desentralisasi korupsi harus dicegah sebelum
menggerogoti perekonomian nasional.