Anda di halaman 1dari 36

Nama PRATAMA BERDINANTO

Kelas 2A

BP 1812042

Tugas Utilitas Pertemuan-8

1. Jelaskan pengertian bahan bakar, jenis-jenis bahan bakar dan karakteristik bahan
bakar di industri
Bahan bakar adalah suatu materi apapun yang bisa diubah menjadi energi. Biasanya
bahan bakar mengandung energi panas yang dapat dilepaskan dan dimanipulasi.
Kebanyakan bahan bakar digunakan manusia melalui proses pembakaran (reaksi
redoks) dimana bahan bakar tersebut akan melepaskan panas setelah direaksikan
dengan oksigen di udara. Proses lain untuk melepaskan energi dari bahan bakar
adalah melalui reaksi eksotermal dan reaksi nuklir (seperti Fisi nuklir atau Fusi
nuklir). Hidrokarbon (termasuk di dalamnya bensin dan solar) sejauh ini merupakan
jenis bahan bakar yang paling sering digunakan manusia. Bahan bakar lainnya yang
bisa dipakai adalah logam radioaktif.
Adapun berdasarkan dari jenis bahan bakar dan penggunaanya adalah sebagai berikut
Minyak solar

Minyak solar adalah bahan bakar minyak jenis distillate dan berwarna kuning coklat
yang jernih. Minyak solar ini pada umumnya dipergunakan sebagai bahan bakar pada
semua jenis mesin diesel dan juga sebagai bahan bakar untuk pembakaran langsung
didalam dapur-dapur kecil, dimana dikehendaki pembakaran yang bersih.

Minyak diesel

Minyak diesel adalah bahan bakar minyak jenis distillate yang mengandung fraksi-
fraksi berat atau campuran dari jenis distillate dengan fraksi-fraksi yang berat
(residual fuel oil) dan berwarna hitam serta gelap, tetapi banyak dipergunakan
sebagai bahan bakar untuk pembakaran langsung dalam dapur-dapur industri.

Minyak bakar
Minyak bakar adalah bahan bakar minyak bukan jenis distillate, tetapi jenis residu,
yang lebih kental dan mempunyai titik tuang (pour point) yang lebih tinggi dari pada
minyak diesel serta berwarna hitam gelap. Minyak bakar ini  dipergunakan sebagai
bahan bakar untuk pembakaran langsung dalam dapur-dapur industri besar,
pembangkit listrik, tenaga  uap dan lain-lain dimana dari segi ekonomi, bahan
bakarnya menjadi pertimbangan.

Bahan bakar dibedakan menjadi tiga menurut wujudnya:

1. Bahan bakar cair (BBM)

Minyak (petroleum) berasal dari kata-kata: Petro = rock (batu) dan leaum = oil
(minyak) Minyak dan gas sebagian besar terdiri dari campuran molekul carbon dan
hydrogen yang disebut dengan hydrocarbons. Minyak dan gas terbentuk dari siklus
alami yang dimulai dari sedimentasi sisa-sisa tumbuhan dan binatang yang
terperangkap selama jutaan tahun. Pada umumnya terjadi jauh dibawah dasar lautan.
Material-material organik tersebut berubah menjadi minyak dan gas akibat efek
combinasi temperatur dan tekanan di dalam kerak bumi. Kumpulan dari minyak dan
gas tersebut membentuk reservoir-reservoir minyak dan gas.

BBM terdiri dari berbagai jenis hydrocarbons yang berasal dari minyak bumi, dan
sering pula terdiri dari campuran-campuran lain. Sifat mudah menguap di dalam
mesin menentukan jenis hydrocarbons dan campuran yang digunakan pada BBM.
Sifat mudah menguap tersebut disebut dengan volatility. Karena minyak bumi
mentah mempunyai kadar volatility yang lebih rendah dan tinggi dari BBM, maka
BBM harus dipisahkan dari minyak bumimentahmelalui proses  destilasi,  namun 
karena  dengan  proses  tersebut  jumlah  BBM  yang  diperoleh  sangat sedikit maka
minyakk bumi mentah harus melalui proses penyulingan  yang lebih komplek.
Penyulingan minyak bumi mentah tersebut akan mengubah kadar volatility
hydrocarbons yang lebih rendah atau lebih tinggi dari BBM menjadi sama dengan
BBM.BBM yang dihasilkan merupakan campuran dari hydrocarbon-hydrocarbon
dengan kadar volatility yg sama.

2. Bahan bakar padat.


Bahan bakar padat adalah suatu materi padat yang dapat diubah menjadi
energy. Contohnya adalah batubara. Sifat fisik batubara termasuk nilai panas,
kadar air, bahan mudah menguap dan abu.Sifat kimia batubara tergantung dari
kandungan berbagai bahan kimia seperti karbon,hidrogen, oksigen, dan
sulfur.Nilai kalor batubara beraneka ragam dari tambang batubara yang  satu 
ke  yang  lainnya.

3. Bahan Bakar Gas

Berikut adalah daftar jenis-jenis bahan bakar gas:

a. Bahan bakar yang secara alami didapatkan dari alam:

– Gas alam

– Metan dari penambangan batubara

b. Bahan bakar gas yang terbuat dari bahan bakar padat

–  Gas yang terbentuk dari batubara

–  Gas yang terbentuk dari limbah dan biomasa

–  Dari proses industri lainnya (gas blast furnace)

c. Gas yang terbuat dari minyak bumi

–  Gas Petroleum cair (LPG)

–  Gas hasil penyulingan

–  Gas dari gasifikasi minyak

d. Gas-gas dari proses fermentasi

Bahan bakar bentuk gas yang biasa digunakan adalah gas petroleum cair (LPG), gas
alam, gas hasil produksi, gas blast furnace, gas dari pembuatan kokas, dll. Nilai
panas bahan bakar gas dinyatakan dalam Kilokalori per normal meter kubik
(kKal/Nm3) ditentukan pada suhu normal (20 0C) dan tekanan normal (760 mm Hg).
LPG  terdiri  dari  campuran  utama  propan  dan  Butan  dengan  sedikit  persentase
hidrokarbon tidak jenuh (propilen dan butilene) dan beberapa fraksi C2 yang lebih
ringan dan C5 yang lebih berat. Senyawa yang terdapat dalam LPG adalah propan
(C3H8), Propilen (C3H6), normal dan iso-butan (C4H10) dan butilen (C4H8).  LPG
merupakan campuran dari hidrokarbon tersebut yang berbentuk gas pada tekanan
atmosfir, namun dapat diembunkan menjadi bentuk cair pada suhu normal, dengan
tekanan yang cukup besar. Walaupun digunakan sebagai gas, namun untuk
kenyamanan dan kemudahannya, disimpan dan ditransport dalam bentuk cair dengan
tekanan tertentu. LPG cair, jika menguap membentuk gas dengan volum sekitar 250
kali.

Gas  alam  merupakan  bahan  bakar dengan  nilai  kalor  tinggi  yang tidak 
memerlukan fasilitas penyimpanan. Gas ini bercampur dengan udara dan tidak
menghasilkan asap atau jelaga. Gas ini tidak juga mengandung sulfur, lebih
ringan dari udara dan menyebar ke udara dengan mudahnya jika terjadi
kebocoran. Metan merupakan kandungan utama gas alam yang mencapai
jumlah sekitar 95% dari volum total. Komponen lainnya adalah: Etan, Propan,
Pentan, Nitrogen, Karbon Dioksida, dan gasgas lainnya dalam jumlah kecil.
Sulfur dalam jumlah yang sangat sedikit juga ada. Karena metan merupakan
komponen terbesar dari gas alam, biasanya sifat metan digunakan untuk
membandingkan sifat-sifat gas alam terhadap bahan bakar lainnya.

Berdasarkan karakteristik bahan

 Berat jenis 
Ini adalah suatu perbandingan berat dari bahan bakar minyak yang dimaksudkan
dengan berat dari air dengan isi yang sama, dimana suhu dari bahan bakar minyak
dan suhu dari air adalah sama tingginya (umumnya 60oF). Bahan bakar minyak
umumnya mempunyai berat jenis antara 0,82 dan 0,96 atau dengan lain perkataan,
bahan bakar minyak adalah lebih ringan dari pada berat jenis air. Di Amerika untuk
berat minyak ini umumnya menggunakan satuan lain, yaitu derajat A.P.I (American
Petroleum Institute) dan dihitung sebagai berikut:
sehingga pada 60oF mempunyai A.P.I Gravity sebesar 10 o dan minyak bakar 
mempunyai A.P.I Gravity lebih dari 10o.

Kegunaan berat jenis ini adalah untuk menghitung berat dari minyak dimana
besarnya isi telah diketahui.

Nilai kalori
Umumnya bahan bakar minyak mempunyai nilai kalori antara 18.300 – 19.800
B.T.U./1b atau 10.160 – 11.000 kkal/kg. nilai kalori kotor ini adalah besarnya panas
yang diperoleh dari pembakaran suatu jumlah tertentu minyak didalam zat asam.
Makin tinggi berat jenis suatu minyak makin rendah nilai kalori kotornya, atau lebih
jelasnya minyak solar mempunyai nilai kalori kotor lebih besar dari pada minyak
diesel. Untuk alasan-alasan praktis, sering juga digunakan satuan nilai kalori bersih
yang besarnya adalah lebih rendah dari pada nilai kalori kotor dan rata-rata besarnya
perbedaan antara nilai kalori kotor dengan nilai kalkori bersih adalah sebagai berikut:
a. Untuk minyak solar 1.200 B.T.U./1b atau 667 kcal/kg
b. Untuk minyak diesel 1.100 B.T.U/1b atau 612 kcal/kg
c. Untuk minyak bakar  1.000 B.T.U/1b atau 556 kcal/kg

 Viskositas
Viskositas adalah suatu ukuran dari besarnya perlawanan suatu bahan cair untuk
mengalir atau ukuran dari besarnya tahanan geser dalam dari suatu bahan cair. Makin
tinggi Viskositasnya, makin besar tahanan geser dalamnya. Viskositas ini diukur
dengan mengukur waktu dari mengalirnya suatu minyak yang banyaknya telah
ditentukan melalui lubang suatu viscometer. Pada hasil besarnya viskositas selalu
harus dibubuhkan sama viscometer yang dipergunakan dan tingginya suhu minyak
pada waktu pengukuran. 

Sebagai standard viskositet digunakan :

Redwood 1 diukur dalam detik


Saybolt Universal diukur dalam detik

Engler diukur dengan E (hasil bagi dari waktu mengalirnya minyak yang dimaksud
dengan waktu mengalirnya air 200cc pada suhu 20oC dengan viscometer Engler).

Kinematic diukur dalam centistokes

Selanjutnya untuk mengukur viskositet minyak bakar yang sangat kental bila
menggunakan viscometer Redwood 1 atau viscometer Saybolt Universal akan
memakan waktu yang agak lama. Maka untuk mempercepatnya digunakan
viscometer Redwood 2 atau viscometer Saybolt Furol yang besar lobangnya adalah
sedemikian rupa, sehingga waktu mengalirnya minyak menjadi sepersepuluhnya dari
Redwood 1 atau Saybolt Universal. Umumnya viskositet minyak bakar diukur
dengan Redwood 1 pada 100oF.

Belerang
Belerang ini terdapat dalam semua bahan-bahan bakar minyak dalam jumlah yang
sangat sedikit. Sekalipun demikian, berhubung belerang ini sifatnya merusak, maka
pembatasan dari banyaknya belerang adalah sangat penting di dalam spesifikasi
bahan-bahan bakar minyak. Selama terjadi proses pembakaran, belerang ini
beroksidasi dan menjadi asam belerang dioksid (S02) atau asam belerang trioksid
(S03). Asam-asam belerang oksid ini adalah bahan-bahan yang merusak/memakan
pada logam-logam, lebih-lebih bila berhubungan dengan air. Hal ini adalah sangat
penting untuk bahan-bahan bakar minyak yang digunakan sebagai bahan bakar
minyak untuk mesin diesel, ketel uap dan lain-lain.

Arang
Pemeriksaan karbon (Conradson atau Rams bottom test) pada minyak solar dan
minyak diesel adalah diperlukan untuk dapat menaksir kemungkinan terbentuknya
arang yang berasal dari bahan bakar minyak tersebut, karena hal ini akan
menyebabkan adanya kerak arang pada injektior-injektor dari mesin diesel.

Air dan endapan


Air dan endapan yang terdapat didalam bahan bakar minyak adalah sangat sedikit,
sekalipun pada minyak bakar. Air yang banyak didalam minyak bakar akan
menyebabkan matinya api didapur. Juga karena air, lebih-lebih air asin (air laut)
didalam minyak solar atau minyak diesel akan menyebabkan rusaknya injektor-
injektor dari mesin diesel yang bersangkutan. 

Titik tuang
Titik tuang (pour point) suatu minyak, adalah suhu terendah, dimana minyak tersebut
keadaannya masih dapat mengalir karena beratnya sendiri. Pada bahan-bahan bakar
minyak seringkali masih dapat dipompa, sekalipun suhunya telah dibawah titik
tuangnya. Titik tuang ini diperlukan sehubungan dengan kondisi dari penimbunan
dan pemakaian dari bahan-bahan bakar minyak tersebut.

Titik nyala
Titik- nyala suatu bahan bakar minyak adalah suhu terendah dari minyak dimana
akan timbul nyala api dalam sekejap mata, apabila pada permukaan minyak tersebut
didekatkan suatu api. Titik nyala api ini diperlukan, sehubungan dengan adanya
pertimbangan-pertimbangan mengenai keamanan penimbunan dan pengangkutannya
bahan bakar minyak terhadap bahaya kebakaran. Titik nyala ini tidak mempunyai arti
dalam pemakaiannya bahan bakar untuk mesin diesel, ketel-ketel uap dan lain-lain.

Kadar abu
Kadar abu adalah sisa-sisa minyak yang ketinggalan, setelah semua bagian yang
dapat terbakar dalam minyak, terbakar habis. Dari kadar abu ini dapat diperkirakan
banyaknya logam-logam yang terdapat didalam minyak residu seperti karet besi,
pasir dan lain-lain elemen logam. Kadar abu ini dapat berasal dari minyak bumi
sendiri dan juga dapat bertambah besar selama dalam penimbunan.

Jumlah cetan
Jumlah cetan didalam bahan bakar minyak diperlukan untuk mencegah adanya
“diesel knock” atau pukulan didalam ruang pembakaran mesin diesel. Untuk mesin
diesel yang berputar cepat diperlukan bahan bakar minyak dengan jumlah cetan yang
tinggi dan untuk mesin diesel yang berputar lambat diperlukan bahan bakar minyak
dengan jumlah cetan yang rendah.

2. Jelaskan bagaimana perkembangan terkini mengenai kebutuhan bahan bakar


secara global maupun industri di Indonesia
Hingga saat ini Indonesia masih sangat bergantung pada bahan bakar berbasis
fosil sebagai sumber energi. Data yang didapat dari Departemen Energi dan Sumber
Daya Mineral menunjukkan bahwa dengan persediaan minyak mentah di Indonesia,
yaitu sekitar 9 milyar barrel, dan dengan laju produksi rata-rata 500 juta barrel per
tahun, persediaan tersebut akan habis dalam 18 tahun. Untuk mengurangi
ketergantungan terhadap minyak bumi dan memenuhi persyaratan lingkungan global,
satu-satunya cara adalah dengan pengembangan bahan bakar alternatif ramah
lingkungan.

Indonesia memiliki potensi sumber energi terbarukan dalam jumlah besar.


Beberapa diantaranya bisa segera diterapkan di tanah air, seperti: bioethanol sebagai
pengganti bensin, biodiesel untuk pengganti solar, tenaga panas bumi, mikrohidro,
tenaga surya, tenaga angin, bahkan sampah/limbah pun bisa digunakan untuk
membangkitkan listrik.

Bioethanol sebagai pengganti bensin, dapat diproduksi dari tumbuh-tumbuhan


seperti tebu, singkong, ubi, dan jagung yang dapat dengan mudah dikembangkan di
negara kita. Salah satu keunggulan dari bioethanol ini adalah tingkat polusi yang
lebih rendah dibandingkan dengan bahan bakar fosil.

Biodiesel yang berasal dari minyak tanaman seperti kelapa sawit, jarak, kelapa
dll, juga dengan mudah diperoleh di indonesia. Kedua bahan energi dapat
dimanfaatkan sebagai pengganti bahan bakar fosil. Tetapi kendala yang utama adalah
bagaimana membangun rantai produksi energi tersebut mulai dari petani sebagai
pelaku utama dalam penyediaan bahan baku sampai ke distribusi energi yang
dihasilkan. Ketersediaan dan keberlanjutannya jangan sampai mengganggu produksi
pertanian kita.

Kebijakan Energi Nasional yang yang dijadikan sebagai landasan untuk


pengembangan dan peningkatan kapasitas penyediaan energi ke depan yang disebut
dengan energi mix dengan komposisi batubara 32,7 %, Gas bumi 30.6%, minyak
bumi 26.2%, PLTA 2.4%, panas bumi 3.8% dan lainnya 4.4%. Para pelaku dan
pemerhati dalam bidang energi Indonesia, juga melihat masih ada beberapa sumber
linnya, antara lain sumber energi panas bumi yang melimpah, mengingat Indonesia
terletak di daerah ring of fire, namun saat ini baru sebagian kecil yang dimanfaatkan.

Ketergantungan kita terhadap energi dari bahan bakar fosil akan menjadi
ancaman bagi kita sendiri, antara lain: semakin menipisnya sumber-sumber minyak
bumi jika tidak ditemukan sumber minyak yang baru, meningkatnya polusi (CO2)
yang dihasilkan dari penggunaan energi dari bahan bakar fosil tersebut sehingga akan
memicu efek rumah kaca.

Pemilihan biodiesel sebagai bahan bakar alternatif berbasis pada ketersediaan


bahan baku. Minyak rapeseed adalah bahan baku untuk biodiesel di Jerman dan
kedelai di Amerika. Sedangkan bahan baku yang digunakan di Indonesia adalah
crude palm oil (CPO). Selain itu, masih ada potensi besar yang ditunjukan oleh
minyak jarak pagar (Jathropa Curcas) dan lebih dari 40 alternatif bahan baku lainnya
di Indonesia.

Sampai saat ini, payung hukum yang sudah disediakan oleh pemerintah untuk
industri biofuel, dalam bentuk Keputusan Presiden ataupun Peraturan
Perundangundangan lainny, adalah sebagai berikut:

Peraturan Presiden No. 5/2006 tentang Kebijaksanaan Energi Nasional


Instruksi Presiden No. 1/2006 tentang Pengadaaan dan Penggunaan Biofuel sebagai
Energi Alternatif
Dektrit Presiden No. 10/2006 tentang Pembentukan team nasional untuk
Pengembangan Biofuel

Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional


menyebutkan pengembangan biodiesel sebagai energi terbarukan akan dilaksakan
selama 25 tahun, dimulai dengan persiapan pada tahun 2004 dan eksekusi sejak tahun
2005. Periode 25 tahun tersebut dibagi dalam tiga fasa pengembangan biodiesel.
Pada fasa pertama, yaitu tahun 2005-2010, pemanfaatan biodiesel minimum sebesar
2% atau sama dengan 720.000 kilo liter untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar
minyak nasional dengan produk-produk yang berasal dari minyak castor dan kelapa
sawit.
Fasa kedua (2011-2015) merupakan kelanjutan dari fasa pertama akan tetapi telah
digunakan tumbuhan lain sebagai bahan mentah. Pabrik-pabrik yang dibangun mulai
berskala komersial dengan kapasitas sebesar 30.000 – 100.000 ton per tahun.
Produksi tersebut mampu memenuhi 3% dari konsumsi diesel atau ekivalen dengan
1,5 juta kilo liter. Pada fasa ketiga (2016 – 2025), teknologi yang ada diharapkan
telah mencapai level ‘high performance’ dimana produk yang dihasilkan memiliki
angka setana yang tinggi dan casting point yang rendah. Hasil yang dicapai
diharapkan dapat memenuhi 5% dari konsumsi nasional atau ekivalen dengan 4,7
juta kilo liter. Selain itu juga terdapat Inpres Nomor 1 Tahun 2006 tentang
Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai bahan bakar
lain. Hal-hal ini menunjukkan keseriusan Pemerintah dalam penyediaan dan
pengembangan bahan bakar nabati. (Rahayu, 2006)

Hingga Mei 2007, Indonesia telah memiliki empat industri besar yang memproduksi
biodiesel dengan total kapasitas 620.000 ton per hari. Industriindustri tersebut adalah
PT Eterindo Wahanatama (120.000 ton/tahun – umpan beragam), PT Sumi Asih
(100.000 ton/tahun dengan RBD Stearin sebagai bahan mentah), PT Indo BBN
(50.000 ton/tahun – umpan beragam), Wilmar Bioenergy (350.000 ton/tahun dengan
CPO sebagai bahan mentah), PT Bakrie Rekin Bioenergy (150.000 ton/tahun) dan PT
Musim Mas (100.000 ton/tahun). Selain itu juga terdapat industri-industri biodiesel
kecil dan menengah dengan total kapasitas sekitar 30.000 ton per tahun, seperti PT
Ganesha Energy, PT Energi Alternatif Indonesia, dan beberapa BUMN.

Oleh karena itu lah perusahaan besar lebih memilih bahan bakar dengan
menggunakan biodiesel atau bioenergi dikarenakan bahan yang murah dan
terjangkau serta pengolahan yang tidak rumit serta tidak begitu mencemari
lingkungan yang dari polusi atau aktifitas yang dihasilkan oleh energy alternative
tersebut.

3. Jelaskan perbedaan analisis ultimat dan analisis proksimat pada bahan bakar padatan
dan berikan contohnya
1.Analisis Proksimat Batubara (C o a l P r o x i m a t e A n a l y s i s   )
 
Analisis proksimat batubara bertujuan untuk menentukan kadar Moisture (air dalam
batubara) kadar moisture ini mengcakup pula nilai free moisture serta total moisture ,
ash (debu), volatile matters (zat terbang), dan fixed carbon (karbon tertambat).
Moisture ialah kandungan air yang terdapat dalam batubara sedangkan abu (ash)
merupakan kandungan residu non-combustible yang umumnya terdiri dari senyawa-
senyawa silika oksida (SiO2), kalsium oksida (CaO), karbonat, dan mineral-mineral
lainnya.
Volatile matters adalah kandungan batubara yang terbebaskan pada temperatur tinggi
tanpa keberadaan oksigen (misalnya CxHy, H2, SOx, dan sebagainya). Fixed carbon
ialah kadar karbon tetap yang terdapat dalam batubara setelah volatile matters
dipisahkan dari batubara. Kadar fixed carbon ini berbeda dengan kadar karbon (C)
hasil analisis ultimat karena sebagian karbon berikatan membentuk senyawa
hidrokarbon volatile. Proximate : Moisture, Ash, Volatile Matter, dan Fixed Carbon.

Total Moisture Total Sulfur Calori Value Analisa proximate ini berguna untuk
menentukan rank batubara, rasio  pembakaran (fuel ratio) dan dapat digunakan untuk
mengkonversi basis analisa untuk  parameter uji. Masing- masing parameter dalam
proximate memiliki prosedur tersendiri dalam pengujiannya. Moisture in the analysis
sampel mengacu pada Standar ASTM D3173 Standard Test Method for Moisture in
the analysis sampel for coal and coke. Atau dalam standar ISO 11722 mengenai
Solid mineral fuels Hard coal, Determination of moisture in the general analysis test
sample by drying in nitrogen.

a. Kandungan Air (M o i s t u r e i n A n a l y s i s   )
Moisture in the analysis merupakan nilai moisture batubara pada saat setelah
batubara tersebut di air drying  (diangin-anginkan) pada suhu 30-40 0C. dan sampel
yang digunakan adalah sampel yang lolos ayakan 250 micrometer. Sampel batubara
dipanaskan pada suhu 105 0C dibawah aliran gas nitrogen atau dapat pula dengan air
compressed (udara tekan). Dengan pemanasan ini, air yang ada dalam batubara akan
menguap seluruhnya. Karena kita tahu bahwa titik didih air berada pada 100 C.
Massa yang hilang akibat pemanasan ini dihitung sebagai persen massa terhadap
massa awal yang digunakan, sehingga diperoleh nilai % moisture in the analysis
sampel.
Kadar air dalam batubara akan menurunkan panas per-kg batubara, dalam  batubara
kandungannya antara 0,5% -10% dari beratnya. Analisa kadar air dilakukan dengan
menempatkan sampel batubara yang telah dihaluskan sampai ukuran 200 mikron
dalam krus terbuka, lalu dipanaskan dalam oven pada suhu 108±20 C dan di beri
penutup. Didinginkan pada suhu kamar dan ditimbang. Kehilangan berat adalah
kadar airnya.
Moisture in Analysis adalah moisture yang dianggap terdapat dalam rongga- rongga
kapiler dan pori-pori batubara yang relative kecil, yang mana pada kedalaman aslinya
secara teori bahwa kondisi tersebut adalah kondisi yang tingkat kelembaban yang
100% serta pada suhu 30oC, karena sulitnya mengemulsi kondisi batubara pada
kedalaman aslinya, maka badan standarisasi menetapkan kondisi batubara pada
kedalaman aslinya, maka badan standarisasi menetapkan kondisi pendekatan untuk
dipergunakan pada metode standar pengujian di laboratorium.
b. Zat Terbang (Volatile Matter)
Volatile Matter (VM) adalah banyaknya zat yang hilang bila sampel batubara
dipanaskan pada suhu dan waktu yang telah ditentukan (setelah dikoreksi dengan
kadar moisture). Suhunya adalah 900 C, dan waktunya 7 menit tepat. Moisture
berpengaruh  pada hasil penentuan VM sehingga sampel yang dikeringkan dengan
oven akan memberikan hasil yang berbeda dengan sampel yang dikeringkan di udara.
Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil penentuan VM ialah suhu, waktu, kecepatan,
pemanasan, penyebaran butir (size distibition) dan ukuran partikelnya. Bahan yang
mudah menguap dari batubara adalah Methana, Hidrokarbon, Hidrogen, CO2, CO,
dan NO. Kadar VM akan berbanding lurus dengan nyala api dan membantu dalam
memudahkan penyalaan batubara. Kadarnya terentang antara 20-35% dari berat
batubara. Sampel batubara ditimbang dan ditempatkan pada krus tertutup lalu
dipanaskan dlam tanur pada suhu 9000C 15. Sampel didinginkan dan ditimbang.
Kehilangan berat adalah kadar VM.
c. Kandungan Mineralnya (Ash Content )
Kandungan abu akan terbawa bersama gas pembakaran melalui ruang bakar dan
daerah konversi dalam bentuk abu terbang (fly ash) yang jumlahnya mencapai 80
persen dan abu dasar sebanyak 20 persen. Semakin tinggi kadar abu, secara umum
akan mempengaruhi tingkat pengotoran (fouling ), keausan, dan korosi peralatan
yang dilalui. Batubara sebenarnya tidak mengandung abu,tetapi mengandung zat
organic yang berupa mineral. Abu merupakan kotoran yang tidak akan terbakar,
parameter ini berguna untuk  penentuan efesiensin pembakaran. Buka tutup krus
yang dipakai dalam analisa kadar.

Analisis Ultimat Batubara (C o a l U l t i m a t e A n a l y s i s   )


Analisis ultimat dilakukan untuk menentukan kadar karbon (C), hidrogen (H),
oksigen (O), nitrogen, (N), dan sulfur (S) dalam batubara. Seiring dengan
perkembangan teknologi, analisis ultimat batubara sekarang sudah dapat dilakukan
dengan cepat dan mudah. Kandungan Oksigen mungkin merupakan indikator yang
paling signifikan dari sifat kimia batubara, yaitu untuk keperluan penerapannya di
pembakaran, pencairan, dan pengkokasan, serta untuk menentukan peringkat.
Kandungan oksigen secara tradisi dihitung sebagai oxygen by different (O diff) yaitu
porsi sisa batubara setelah dikurangi C, H, N dan S. Kandungan oksigen diperoleh
secara tidak langsung sehingga mengakumulasi semua kesalahan yang terjadi dalam
analisis unsur, dan dalam penentuan basis mineral-matter atau basis bebas mineral
matter.
Analisa ultimat ini sepenuhnya dilakukan oleh alat yang sudah terhubung dengan
komputer. Prosedur analisis ultimat ini cukup ringkas; cukup dengan memasukkan
sampel batubara ke dalam alat dan hasil analisis akan muncul kemudian  pada layar
komputer. Salah satu metode standar yang digunakan untuk coal ultimate analysis
adalah ASTM D3176-09 Standard Practice for Ultimate Analysis of Coal and Coke.
Selain itu ada juga ASTM D5373  – 13 Standard Test Methods for Determination of
Carbon,
Hydrogen and Nitrogen in Analysis Samples of Coal and Carbon in Analysis
Samples of Coal and Coke. Penggunaan analisis ini sebagai berikut
1.Nilai karbon dan hidrogen dapat digunakan untuk menentukan jumlah oksigen
(udara) yang diperlukan dalam proses pembakaran dan untuk perhitungan efisiensi
proses pembakaran.
2.Penentuan karbon dan hidrogen dapat digunakan dalam perhitungan material
balance, reaktivitas dan hasil produk yang relevan dengan proses konversi batubara
seperti gasifikasi dan pencairan.
3.Nilai karbon dan nitrogen dapat digunakan dalam perhitungan material balance
yang digunakan untuk tujuan perhitungan emisi.
a. Nilai Sulphur pada Batubara
Di dalam batubara, sulfur bisa berupa bagian dari material carbonaceous atau  bisa
berupa bagian mineral seperti sulfat dan sulfida. Gas sulfur dioksida yang terbentuk
selama pembakaran merupakan polutan yang serius. Kebanyakan negara memiliki
peraturan mengenai emisi gas tersebut ke atmosfir. Satu persen adalah limit
kandungan sulfur dalam batubara yang banyak dipakai oleh negara-negara pengguna
batubara.
Kandungan yang tinggi dalam coking coal tidak diinginkan karena akan berakumulasi di
dalam cairan logam panas sehingga memerlukan proses desulfurisasi. Sulfur dalam
batubara terdapat dalam tiga bentuk, yaitu pyritic sulphur, sulphate  sulphur  dan
organic sulphur Analisis forms of sulphur dilakukan untuk mengetahui komposisi
penyusun sulfur. Organic sulphur terdapat pada seluruh material carbonaceous dalam
batubara dan jumlahnya tidak dapat dikurangi dengan teknik  pencucian.
b. Karbon / Carbonate Carbondioxide
Penetapan carbonate carbondioxide dilakukan untuk mendapatkan angka yang dapat
dipergunakan sebagai pengoreksi hasil penetapan karbon, sehingga karbon yang
dilaporkan hanyalah karbon organik ( organic carbon). Penetapan carbonate
carbondioxide tidak perlu dilakukan pada contoh batubara derajat rendah (brown
coal dan lignite ), karena batubara derajat rendah atau lower rank coal  bersifat asam
sehingga carbonate carbon-nya akan kosong.
c. Klorin / Chlorine
 Chlorine adalah salah satu elemen batubara yang dapat menimbulkan korosi
(pengkaratan) dan masalah fouling/slagging (pengkerakkan) pada ketel uap.
Kadar chlorine  lebih kecil dari 0.2% dianggap rendah, sedangkan kadar
chlorine lebih besar dari 0.5% dianggap tinggi. Adanya elemen chlorine selalu
bersama-sama dengan adanya elemen natrium.

4. Perbedaan dari HHV (Higher Heating value) dan LHV (Low Heating value)
Nilai Panas ( Nilai Pembakaran) atau HV ( Heating Value) adalah  jumlah panas
yang dikeluarkan oleh 1kg bahan bakar bila bahan bakar tersebut dibakar. Pada gas
hasil pembakaran terdapat H2O dalam bentuk uap atau cairan. Dengan demikian nilai
pembakaran bila H2O yang terbentuk berupa uap akan lebih kecil bila dibandingkan
dengan H2O yang terbentuk sebagai cairan. Berarti ada 2 macam Nilai Pembakaran
yaitu Nilai Pembakaran Atas (NPA) atau HHV dan Nilai Pembakaran Bawah (NPB)
atau LHV.

NPA atau HHV adalah :

Yaitu Nilai Pembakaran bila didalam gas hasil pembakaran terdapat H2O berebentuk
cairan.

NPB atau LHV adalah:

Yaitu Nilai Pembakaran bila didalam gas hasil pembakaran terdapat H2O berbentuk
gas.

Prinsip pembakaran bahan bakar sejatinya adalah reaksi kimia bahan bakar dengan
oksigen (O). Kebanyakan bahan bakar mengandung unsur Karbon (C), Hidrogen (H)
dan Belerang (S).  Akan tetapi yang memiliki kontribusi yang penting terhadap
energi yang dilepaskan adalah C dan H.  Masing-masing bahan bakar mempunyai
kandungan unsur C dan H yang berbeda-beda.

Proses pembakaran terdiri dari dua jenis yaitu pembakaran lengkap (complete
combustion) dan pembakaran tidak lengkap (incomplete combustion). Pembakaran
sempurna terjadi apabila seluruh unsur C yang bereaksi dengan oksigen hanya akan
menghasilkan CO2, seluruh unsur H menghasilkan H2O dan seluruh S menghasilkan
SO2. Sedangkan pembakaran tak sempurna terjadi apabila seluruh unsur C yang
dikandung dalam bahan bakar bereaksi dengan oksigen dan gas yang dihasilkan tidak
seluruhnya CO2. Keberadaan CO pada hasil pembakaran menunjukkan bahwa
pembakaran berlangsung secara tidak lengkap.

Jumlah energi yang dilepaskan pada proses pembakaran dinyatakan sebagai entalpi
pembakaran yang merupakan beda entalpi antara produk dan reaktan dari proses
pembakaran sempurna.  Entalpi pembakaran ini dapat dinyatakan sebagai Higher
Heating Value (HHV) atau Lower Heating Value (LHV). HHV diperoleh ketika
seluruh air hasil pembakaran dalam wujud cair sedangkan LHV diperoleh ketika
seluruh air hasil pembakaran dalam bentuk uap.

Pada umumnya pembakaran tidak menggunakan oksigen murni melainkan


memanfaatkan oksigen yang ada di udara.  Jumlah udara minimum yang diperlukan
untuk menghasilkan pembakaran lengkap disebut sebagai jumlah udara teoritis (atau
stoikiometrik).  Akan tetapi pada kenyataannya untuk pembakaran lengkap udara
yang dibutuhkan melebihi jumlah udara teoritis.   Kelebihan udara dari jumlah udara
teoritis disebut sebagai excess air yang umumnya dinyatakan dalam persen.
Parameter yang sering digunakan untuk mengkuantifikasi jumlah udara dan bahan
bakar pada proses pembakaran tertentu adalah rasio udara-bahan bakar.  Apabila
pembakaran lengkap terjadi ketika jumlah udara sama dengan jumlah udara teoritis
maka pembakaran disebut sebagai pembakaran sempurna.

Nilai kalori merupakan nilai panas yang dihasilkan dari pembakaran sempurna suatu
zat pada suhu tertentu.

Reaksi pembakaran sempurna hydrocarbon seperti ini:

CxHy + (x + y/4) O2 —–> x CO2 + y/2 H2O

Sesuai definisinya, panas pembakaran dihitung seolah-olah reaktan dan hasil reaksi
memiliki suhu yang sama. Biasanya kondisi standar yang dipakai untuk
perhitungan nilai kalori adalah 25 °C dan 1 atm. Seperti kita tahu pada 25 °C dan 1
atm H2O memiliki fase liquid, maka perhitungan HHVmenganggap H2O hasil
pembakaran diembunkan menjadi fase liquid, sehingga selain panas didapat dari
pembakaran, diperoleh pula energi dari panas pengembunan H 2O. Kalau perhitungan
LHV itu menganggap bahwa H2O tetap pada fase gas pada 25 °C.Jadi selisih antara
HHV dan LHV adalah panas pengembunan H2O pada suhu dan tekanan standar.

HHV dan LHV adalah notasi theoretical, hanya dipakai untuk indikasi dan tidak
menunjukkan kondisi yang sebenarnya dalam praktek. Alasannya bahan bakar dan
gas hasil pembakaran tidak pernah berada pada temperatur yang sama sesuai asumsi
yang dipakai untuk perhitungan HHV dan LHV. Dalam praktek, energi yang bisa
kita peroleh dari pembakaran bahan bakar akan selalu lebih kecil dari HHV atau
LHV, karena ada energi dalam bentuk panas yang dibawa pergi oleh gas hasil
pembakaran. Itulah sebabnya efisiensi semua mesin konversi energi (steam power
plant, internal combustion engine, gas turbine) tidak pernah bisa 100 %.

Jadi HHV dan LHV sama sekali tidak ada hubungannya dengan fase dari bahan
bakarnya, baik bahan bakar padat maupun cair, sama-sama punya HHV dan LHV.
Kalau soal gampang atau susahnya membakar, juga tidak ada hubungannya dengan
HHV & LVH. Karena, pembakaran itu proses eksotermis, jadi tidak mengambil
panas (energi) dari lingkungan justru memberikan panas ke lingkungan

Sebenarnya yang bisa dibakar itu adalah fase gas, kalau ada bahan bakar cair, maka
harus terbentuk cukup uap di atas permukaannya supaya bisa memulai pembakaran.
Kalau kita mulai dari temperatur ambient, untuk bahan bakar cair tertentu, misalnya
diesel oil, mesti diberikan suhu yang cukup supaya tekanan uapnya cukup tinggi
untuk membentuk fase uap yang bisa dibakar (dari sinilah muncul istilah flash point).
Tapi begitu sudah dibakar, panas dari pembakaran akan selalu menyediakan energi
yang cukup untuk menghasilkan fase uap yang siap untuk dibakar.

Reaksi kimia antara bahan bakar dengan oksigen dari udara menghasilkan panas.
Besarnya panas yang ditimbulkan jika satu satuan bahan bakar dibakar sempurna
disebut nilai kalor bahan bakar. Bedasarkan asumsi ikut tidaknya panas laten
pengembunan uap air dihitung sebagai bagian dari nilai kalor suatu bahan bakar,
maka nilai kalor bahan bakar dapat dibedakan menjadi nilai kalor atas dan nilai kalor
bawah.

Nilai kalor atas (High Heating Value,HHV), merupakan nilai kalor yang diperoleh
secara eksperimen dengan menggunakan bom kalorimeter dimana hasil pembakaran
bahan bakar didinginkan sampai suhu kamar sehingga sebagian besar uap air yang
terbentuk dari pembakaran hidrogen mengembun dan melepaskan panas latennya.
Data yang diperoleh dari hasil pengujian bom kalorimeter adalah temperature air
pendingin sebelum dan sesudah penyalaan.
Nilai kalor bawah (Low Heating Value, LHV), merupakan nilai kalor bahan bakar
tanpa panas laten yang berasal dari pengembunan uap air. Umumnya kandungan
hidrogen dalam bahan bakar cair berkisar 15 % yang berarti setiap satu satuan bahan
bakar, 0,15 bagian merupakan hidrogen. Pada proses pembakaran sempurna, air yang
dihasilkan dari pembakaran bahan bakar adalah setengah dari jumlah mol
hidrogennya. Selain berasal dari pembakaran hidrogen, uap air yang terbentuk pada
proses pembakaran dapat pula berasal dari kandungan air yang memang sudah ada
didalam bahan bakar (moisture).

Batubara adalah bahan bakar utama pembangkit listrik tenaga uap yang terkandung
energi secara kimia melalui ikatan-ikatan kimia antara karbon, hidrogen, oksigen,
nitrogen, dan sulfur. Batubara tidak memiliki struktur kimia yang baku karena
merupakan campuran dari beberapa ikatan hidrokarbon yang kompleks, dan apabila
ikatan tersebut terputus melalui proses pembakaran maka akan menghasilkan energi
panas.

Nilai kalor batubara yang merupakan indikator dari kualitas batubara dibagi menjadi
dua jenis, yaitu High Heating Value (HHV) dan Low Heating Value (LHV). High
Heating Value (HHV) atau nilai kalori atas didapat dengan cara membakar batubara
sebanyak satu kilogram dan mengukur kalori yang didapat dengan menggunakan
kalorimeter pada suhu 15 ᵒC sehingga uap air yang dihasilkan dari pembakaran ini
mengembun dan melepaskan kalori pengembunannya. Sedangkan Low Heating
Value (LHV) atau nilai kalori rendah didapat dengan cara mengurangi nilai kalori
atas dengan kalori pengembunan air yang dikandungnya.
Sesuai definisinya panas pembakaran dihitung seolah-olah reaktan dan hasil reaksi
memiliki suhu yang sama. Biasanya kondisi standar yang dipakai untuk perhitungan
heating value adalah 25 °C dan 1 atm. Seperti kita tahu pada 25 °C dan 1 atm H2O
memiliki fase liquid, maka perhitungan HHV menganggap H2O hasil pembakaran
diembunkan menjadi fase liquid, sehingga selain panas didapat dari pembakaran,
diperoleh pula energi dari panas pengembunan H2O. Kalau perhitungan LHV itu
menganggap bahwa H2O tetap pada fase gas pada 25 °C. Jadi selisih antara HHV
dan LHV adalah panas pengembunan H2O pada suhu dan tekanan standar.
Perlu dicatat bahwa HHV dan LHV adalah notasi theoretical, hanya dipakai untuk
indikasi dan tidak menunjukkan kondisi yang sebenarnya dalam praktek. Alasannya
bahan bakar dan gas hasil pembakaran tidak pernah berada pada temperatur yang
sama sesuai asumsi yang dipakai untuk perhitungan HHV dan LHV. Dalam praktek,
energi yang bisa kita peroleh dari pembakaran bahan bakar akan selalu lebih kecil
dari HHV atau LHV, karena ada energi dalam bentuk panas yang dibawa pergi oleh
gas hasil pembakaran. Itulah sebabnya efisiensi semua mesin konversi energi (steam
power plant, internal combustion engine, gas turbine) tidak pernah bisa 100 %.

Jadi HHV dan LHV sama sekali tidak ada hubungannya dengan fase dari bahan
bakarnya, baik bahan bakar padat maupun cair, sama-sama punya HHV dan LHV.
Kalau soal gampang atau susahnya membakar, juga tidak ada hubungannya dengan
HHV & LVH. Ingat! Pembakaran itu proses eksotermis, jadi tidak mengambil panas
(energi) dari lingkungan justru memberikan panas ke lingkungan. Sebenarnya yang
bisa dibakar itu adalah fase gas, kalau ada bahan bakar cair, maka harus terbentuk
cukup uap di atas permukaannya supaya bisa memulai pembakaran. Kalau kita mulai
dari temperatur ambient, untuk bahan bakar cair tertentu, misalnya diesel oil, mesti
diberikan suhu yang cukup supaya tekanan uapnya cukup tinggi untuk membentuk
fase uap yang bisa dibakar (dari sinilah muncul istilah flash point). Tapi begitu sudah
dibakar, panas dari pembakaran akan selalu menyediakan energi yang cukup untuk
menghasilkan fase uap yang siap untuk dibakar.

Semakin tinggi carbon number, heating value dalam kJ/kmol (tapi tidak dlm kJ/kg!)
juga semakin tinggi. Untuk gas, heating value biasanya dinyatakan dalam
Btu/MMscf, dan kita tahu bahwa untuk gas mol itu proportional terhadap volume,
jadi untuk gas alam semakin banyak fraksi berat semakin tinggi heating valuenya
dalam volumetric basis. Harap diperhatikan, satuan yang menyatakan nilai
LHV/HHV juga, bahwa nilai LHV/HHV membesar sesuai kenaikan jumlah
karbonnya tentu saja untuk satuan Btu/lbmol (kJ/kmol). Karena jika satuan yang
digunakan adalah berbasis massa, LHV/HHV methane lebih besar dibanding rantai
yang lebih panjang (karena MWnya makin kecil).
Menentukan gross heating value bukan lewat GC tapi lewat komputasi numeris (yang
umumnya sudah ada di soft machine-nya GC yang lalu mengambil data composition
peaknya GC). Mengapa? Karena kita harus menginput properties natural gas pada 60
oF dan 14,7 psia.
Hakikatnya, GC tidak terbatas sampai pengukuran C9 saja, bisa lebih tergantung
setting atau instrument dan standar method yang diimplementasikan.

Mengukur GHV bukan langsung dari GC kayak ngukur pressure dari pressure
transmitter, tapi ada komputasi dari GC setelah gas composition didapatkan.
Memang bisa mengkalkulasi sampai rantai karbon yang berat, tapi biasanya sudah
tidak akurat, lagipula dalam kenyataannya fraksinya juga sangat kecil dibandingkan
dengan fraksi C1 (yang biasanya dipakai sebagai standar spesifikasi dari gas untuk
sales), sehingga jika terjadi perubahan kecil dari komposisi di rantai karbon yang
berat hanya memberikan impact yang kecil terhadap nilai GHV.

GC bisa melakukan perhitungan GHV. Yang dilakukan oleh GC adalah melihat


komposisi gas berdasarkan peak di chromatogram. Kemudian berdasarkan standar
yang digunakan, apakah itu GPA-2172, atau ISO 6976, GC akan menghitung GHV
berdasarkan data masukan mol % dari gas yang diukur itu sendiri, base pressure dan
base pressure pengukuran yang digunakan. Di beberapa tempat ini tidak biasa
dilakukan karena GC tidak mengukur nilai komposisi H2O dan H2S dan beberapa
componen lain yang tidak terdeteksi oleh GC. Jadi yang biasa dilakukan adalah
memberikan semua informasi data ini ke flow computer (data GC dan H2O dan
komponen lain yang dibutuhkan), dan flow computer yang akan melakukan
perhitungan gross heating value. Untuk standar ISO6976, kita tidak bisa memilih
standar pressure yang digunakan, itu tidak dispesifikasi oleh standar. Satuan keluaran
dari standar ISO6976 adalah MJ/Sm3 untuk perhitungan volume. ISO6976
memberikan pilihan untuk menghitung GHV dalam beberapa combustion/metering
temp. Yang cukup umum digunakan (15,15) dan (20,20). Semua masukan dan
keluaran dari ISO6976 adalah dalam bentuk metric.
Untuk standar GPA 2172, kita bisa memilih GHV mau dihitung pada tekanan berapa
terserah kita. Yang umum digunakan adalah 14.73 psia. Standar perhitungan
GPA2172 menggunakan pressure 14.696. Tetapi, GPA 2172 tidak memberikan
pilihan input temperatur karena perhitungan selalu dianggap untuk temperature
standard 60 degF. Masukan lain yang dibutuhkan adalah nilai compressibility gas
pada tekanan standar (14.73 dalam hal ini) yang biasanya didapat dari perhitungan
AGA 8.

Untuk pengukuran gasnya sendiri, fraksi berat yang memang pada pengukuran fiscal
gas nilainya cukup kecil, namun bila ada salah perhitungan akan memberikan
perbedaan yang cukup signifikan karena fraksi berat memiliki nilai heating value
yang terbesar. Kalau misalnya nilai gas yang seharusnya 0.01% terbaca 0.1%, itu
sudah cukup untuk memberikan error kesalahan sekitar 0.4% yang kalau diuangkan
akan memberikan angka sekitar beberapa ratus ribu dolar per tahun yang bergantung
pada jumlah gas yang mengalir.

C1 - C4 mempunyai konstribusi HHV yang lebih besar, karena diantara C yang


lainnya heating value dari C1 - C4 lebih besar. Sebagai referensi di Perry's
Chemichal Engineers Handbook edisi ke 6, table 3-207. Disitu tertera heating value
untuk masing-masing komponen :
C1 = 21.502 (BTU/lb)
C2 = 20.416 (BTU/lb)

C3 = 19.929 (BTU/lb)
iC4 = 19.614 (BTU/lb)

nC4 = 19.665 (BTU/lb)


iC5 = 19.451 (BTU/lb)

nC5 = 19.499 (BTU/lb)


nC6 = 19.391( BTU/lb)

Ada ukuran lain dari heating value yaitu volume, dengan satuan Btu/scf. Biasanya
kalau kita bicara gas metering dengan on line chromatograph maka pengukuran
heating value adalah berdasar volume ini, Btu/scf, jadi total energi yang melewati
meter (Btu per jam atau per day) adalah perkalian dari volume, mmscfd dan nilai
heating value ini (Btu/scf). Kalau heating value dihitung berdasar volume maka
secara logis heating value dari C2 akan lebih tinggi.
Table4.1 parameter coal analisi

Parameter ini merepresentasikan nilai kalor yang terkandung pada batubara, dalam
satuan kcal/kg. Terdapat dua tipe nilai kalor pada setiap bahan bakar,  Gross Calorific
Value (GCV) dan Nett Calorific Value (NCV) atau kadang disebut juga High
Heating Value (HHV) dan Low Heating Value (LHV).
HHV, heat yang dihasilkan dari pembakaran sempurna batubara pada volume
konstant sehingga semua air (H2O) terkondensasi dalam bentuk cairan. Dari tabel
diatas dapat dilihat nilai GCV batu bara tersebut adalah sebesar 4134 kcal/kg
(pada Kondisi As received)
LHV, heat yang dihasilkan dari pembakaran sempurna batubara pada volume
konstant dengan semua air (H2O) terbentuk dalam bentuk uap. Pada data diatas,
kebetulan nilai NCV tidak ditampilkan
setiap bahan bakar Hidrokarbon, baik berbentuk padat, cair maupun gas pasti
memiliki nilai HHV dan LHV karena setiap reaksi oksidasi yang melibatkan atom C
dan H pasti menghasilkan H2O dan CO2. Pada kenyataanya, pembakaran batubara
yang terjadi termasuk menguapkan H2O yang terbentuk sehingga nilai LHV lah yang
dihasilkan.  pada batubara dimana kandungan air (moisture) yang relatif lebih besar
dibandingkan dengan Bahan Bakar Minyak atau gas, sehingga rentang nilai antara
HHV dan LHV nya cukup signifikan dibanding  nilai Kalor pada BBM atau BBG

PROXIMATE ANALISIS PARAMETER


Suatu analisis untuk menentukan kandungan utama baatubara yaitu: Moisture,
Volatile Matter, Fixed Carbon, dan Ash.

Moisture, adalah kadar air yang terkandung di dalam batubara, nilai ini
didapatkan ketika sample batubara dialirkan udara panas pada temperature 104-
110°C. Bobot yang hilang itulah kadar moisture pada batubara. Prosedure lengkap
pengetesaannya dapat dibaca pada ASTM D3173. pada report diatas dapat dilihat
total moisture content di dalam batubara tersebut 34.83% artinya dari 100 kg
batubara 34.83 kg adalah air, cukup besar kan.. dapat dibayangkan sebagian nilai
kalor batubara hilang hanya untuk menguapkan kandungan air tersebut.
dari 34.83% total moisture tersebut, 14.18% nya adalah Inherent Moisture (IM) dan
sisanya adalah Surface Moisture (SM). surface Moisture adalah kandungan air yang
berada di permukaan  butir batu bara sedangkan IM adalah kandungan air yang
terdapat pada rongga-rongga kapiler batubara yang sangat kecil

Volatile Matter, adalah kandungan batubara yang mudah menguap jika


dipanaskan selain moisture. Metode pengetesan dapat dibaca ASTM D3175
Fixed carbon, adalah material padat selain ash pada batubara. Metode
penentuannya tidak ada standar khusus, tetapi merupakan selisih bobot batubara
dikurangi bobot moisture, volatile matter, dan ash (sesuai prosedure di ASTM
D3172)
Ash, adalah  kandungan abu pada batubara. Metode pengetesannya  dapat dilihat
di ASTM D3174
ULTIMATE ANALISIS PARAMETER
Suatu analisis untuk menentukan nilai kandungan Carbon (C), Hidrogen (H),
Nitrogen (N), Oxigen (O), dan Sulfur (S). Dari gambar tabel diatas dapat dilihat
bahwa kandungan terbesar batubara adalah Carbon,moisture, kemudian Oxigen dan
seterusnya. Kandungan ini cenderung konstan kecuali moisture, jika dikurangi atau
ditambah maka akan sangat berpengaruh terhadap nilai kalor suatu batubara. Oleh
karena itu, semakin banyak dikembangkan teknologi pengeringan batubara untuk
meningkatkan kualitas batubara.

Data pada Ultimate Analisis dan Moisture inilah menjadi dasar perhitungan
Combustion calculation dalam desain boiler yang nanti terkait dengan kebutuhan
udara pembakaran dan estimasi flue gas yang dihasilkan serta batasan emisi yang
dijinkan oleh peraturan Kemetrian Lingkungan Hidup. detail perhitungan cumbustion
calculation akan kita bahas dilain kesempatan

BASIS PENGUKURAN
Tentunya dapat dilihat pada hasil analisis report di atas, bahwa pada proximate
analysis dan Ultimate Analisis terdapat beberapa basis yaitu, As received (AR) basis,
Air Dried basis (ADB), Dry Basis (DB), dan Dry ash free (DAF) basis.
As Recieved basis, kondisi sample batubara yang datang ke laboratorium
sebelum adanya pemprosesan atau pengkondisian atau kondisi batubara apa
adanya.
Air Dried basis, , kondisi dimana batubara sudah tidak terdapat surface moisture
Dry basis, kondisi batubara dimana tidak terkandung moisture secara teoritic
pada sample batubara yang di tes
Dry Ash Free Basis, kondisi batubara dimana tidak terkandung moisture dan Ash
sehingga hanya terdapat volatile matter dan Fixed Carbon
Pada contoh report analisis batubara diatas dapat dilihat bahwa pada masing-masing
terdapat nilai kalor yang berbeda dan semakin membesar dari AR hingga DAF.
Tentunya hal ini harus menjadi perhatian, bahwa nilai kalor batubara harus dikaitkan
dengan basisnya. Sehingga pada dunia pertambangan sering digunakan istilah
kombinasi seperti Gross As Received (GAR) artinya nilai kalor gross calorivic value
pada kondisi As received basis, contoh batubara diatas bisa disebut sebagai GAR
4134 kcal/kg

pada boiler PLTU tentunya bahan bakar yang masuk adalah pada kondisi As-
Received basis sehingga dalam desain maupun operasional boiler kondisi inilah yang
digunakan, sedangkan basis yang lain hanyalah basis pada tahap pengukuran sample
batubara saja.

HARDGROVE GRINDABILITY INDEX (HGI)


HGI merepresentasikan nilai kekerasan suatu batubara, semakin rendah nilai HGI
berarti batubara tersebut semakin keras. Semakin tinggi kualitas/nilai kalor batubara
maka batubara semakin keras atau HGI rendah. Batubara paling keras adalah antrasit
dengan nilai HGI  mendekati 30 atau 40, sedangkan sample batubara diatas dengan
HGI 63 artinya tidak terlalu keras. pada Pulverized Coal (PC) Boiler, HGI sangat
berpengaruh terhadap pemilihan dan desain Pulverizer

SIZE DISTRIBUTION
Distribusi ukuran batubara pada sample batubara yang dites berdasarkan data diatas
berukuran dibawah 70 mm dan diatas 2.38 mm

ASH COMPOSITION ANALYSIS


Ash analisis adalah analisis terhadap kandungan didalam ash. Dari report diatas dapat
dilihat bahwa ash batubara tersebut mengandung beberapa senyawa, 5 senyawa
terbesar kandungannya diantaranya SiO2,Al2O3,Fe2O3, SO3, dan CaO

SLAGGING FACTOR DAN FOULING FACTOR

Slagging factor dan fouling factor merepresentasikan potensi deposit yang akan
terjadi pada boiler. Slagging, merupakan deposit yang terjadi pada daerah furnace
yang terexpose langsung oleh radiasi api pembakaran sedangkan fouling, deposit
yang terjadi pada bagian yang tidak terekspose langsung radiasi api pembakaran
misalnya pada area superheater.

Pada report diatas didapatkan slagging factor dan fouling factor  adalah low.
Formula berikut dapat digunakan untuk menentukan nilai slagging factor dan fouling
factor:

Slagging Factor (SF) = Base/Acid * sulfur in coal


Fouling Factor (FF)= Base/Acid * Na2O in ash
Dimana :

Base/Acid = (Fe2O3+CaO+MgO+Na2O+K2O)/ (SiO2+Al2O3+TiO2)


nilai masing-masing kandungan didapatkan dari Ash Analisi diatas, Kemudian nilai
SF dan FF yang dihasilkan dibandingkan terhadap tabel dibawah ini.

ASH FUSION TEMPERATUR

Ash Fusion Temperature Adalah suatu parameter pengetesan ash batubara dimana
tersebut dibentuk  menjadi kerucut (cone)  kemudian di panaskan sampai beberapa
tahap perubahan bentuk.  Terdapat  4 tahap perubahan bentuk sesuai dengan ASTM
D1857, lihat gambar dibawah:
Initial Deformation Temperature (IT), temperatur dimana ujung kerucut mulai
membentuk bulat atau tumpul
Spherical Temperature (ST), temperatur dimana kerucut berubah menjadi
gundukan tumpul dimana tinggi sama dengan lebar gundukan.
Hemisphere Temperatura (HT), temperatur dimana kerucut meluruh menjadi
bentuk hemisphere atau setengah bola.
Flow Temperature (FT),  temperatur dimana ash sudah meleleh menyebar
mendekati rata dengan ketinggian maksimum 1.6 mm
pada pengetesan ash fusibility terdapat 2 kondisi yang digunakan yaitu kondisi
reducing dan oxidizing dan sebagian besar combustor adalah pada kondisi oxidizing
termasuk boiler

dari hasil report diatas dapat dilihat bahwa ash fusion temperatur dimulai pada 1150
C (reducing) atau  1250 C (oxodizing) dan hal ini dikaitkan dengan temperature
operasi Boiler pada PLTU. berikut beberapa tipe Boiler dan temperatur operasinya
pada PLTU:

Stoker Boiler : 800 -900 ° C


Circulating Fluidized Bed (CFB) Boiler : 850 -900° C
Pulverized Coal (PC) Boiler : 1300 – 1400° C
sehingga dari nilai ash fusion temperatur jika dibandingkan dengan temperatur
operasi boiler pada contoh report batubara diatas akan berpengaruh jika digunakan
pada PC Boiler, kemudian dihubungkan dengan slagging dan fouling factor ternyata
masih kategori LOW sehingga penggunaan PC Boiler masih bisa ditolerir

5. Batu bara merupakan salah satu jenis bahan bakar padat yang terdiri dari 4 macam
jelaskan perbedaan
Batubara yang dipakai sebagai bahan bakar alternatif pada industri, ternyata memiliki
klasifikasinya sendiri. Setiap jenis batubara memiliki kualitas dan karakteristik yang
berbeda-beda. Batubara adalah batuan yang terbentuk dari material organik yang
tertimbun selama jutaan tahun. Batuan ini memiliki sifat mudah terbakar karena
memiliki kandungan hidrokarbon. Namun selain hidrokarbon, batubara juga
memiliki kandungan lainnya seperti sulfur dan air.
Lignite
Lignite atau batubara-cokelat adalah jenis batubara muda yang baru tebentuk.
Dikatakan batubara muda karena lignite merupakan bentuk pertama dari proses
coalifaction dari gambut menjadibatubara. menurut penelitian, lignite tebentuk sejak
251 juta tahun yang lalu. Atau dengan kata lain, material yang membentuk berasal
dari zaman Mesozoic dan Cenozoic.
Karakteristik lignite, antara lain ;

Berwarna cokelat

Memiliki energi yang sedikit (sekitar 10 - 20 MJ/Kg)

Memiliki banyak bahan pengotor (Sampai 40 - 75% bahan pengotor)

Kandungan unsur karbon hanya 60 sampai 70%

Dan mengandung sekitar 9 - 19% debu

Karena tingkat efisiensinya yang sangat rendah, lignite tidak dipasarkan secara luas
untuk kebutuhan transportasi atau industri. Lignit biasanya dipakai sebagai bahan
bakar PLTU (pembangkit listrik tenaga uap).
Sub-bituminous

Sub-bituminous merupakan jenis batubara yang sedikit lebih tua dari lignite namun
masih sedikit lunak. Sehingga belum bisa disebut batubara sempurna. Sub-
bituminous memiliki warna cokelat kehitaman dengan kadar air yang masih tinggi
namun lebih rendah dibandingkan lignite. Jenis batubara ini hanya memiliki 40 - 60
% karbon dan kandungan energinya 19 - 26 MJ/Kg. Meskipun memiliki sedikit
karbon, sub-bituminous memiliki tekstur lebih padat daripada lignite sehingga berat
jenisnya juga lebih berat dibandingkan lignite. Hal itulah yang menyebabkan sub-
bituminousmemilikienergilebihbanyak.
Sub-bituminous juga banyak digunakan pada PLTU.

Bituminouscoal
Bituminous coal adalah jenis batubara berwarna hitam yang paling banyak digunakan
pada industri dan PLTU. Jenis batubara ini memiliki kualitas jauh lebih baik dari
lignite.
Batubara ini terbentuk dari jenis sebelumnya, yakni sub-bituminous coal yang
semakin dalam dan semakin lama tertimbun, sehingga tekstur batubara menjadi keras
danwarnanyamenjadilebihhitam.
Kandungan karbonya sendiri mencapai 80% dari total beratnya, selain karbon
bituminous coal juga terususun dari material hidrogen, sulfur, nitrogen dan air.

Karakteristik bituminous coal antara lain ;

Fixed karbon sekitar 60 - 80%

Kandungan debu sekitar 6 - 12 %


Energi yang dihasilkan mencapai 35 MJ/Kg

Batubara jenis ini juga dibedakan menjadi beberapa tingkatan, seperti Low volatile,
medium volatile, high volatile A, B dan C. Volatile content adalah zat penyususn
batubara yang mudah menguap saat dipanaskan pada suhu tertentu.Semakin rendah
volatile contennya, maka kualitas batubara semakin baik. Yang membedakan volatile
content batubara, adalah faktor pembentukan batubara itu sendiri. Bisa dari material
dasarnya, formasi pembentukan batubara dan kondisi geologi sekitar pembentukan
batubara.

Antrasit
Batubara antrasit adalah jenis batubara keras yang berwarna hitam mengkilat, secara
fisik memang hampir sama seperti bitumonous coal tapi antrasit memiliki tekstur
lebih padat, mengkilatdanlebihsedikitdebunya. Secara umum, antrasit adalah jenis
batubara dengan grade tertinggi karena dari semua jenis batubara tipe inilah yang
memiliki kandungan carbon yang paling banyak, sehingga energi yang dihasilkan
jugajauhlebihbanyakdarijenisbituminouscoal.
Karekteristik antrasit antara lain ;

Berwarna hitam pekat

Kandungan fixed karbon diatas 80%

Sedikit mengandung bahan pengotor

Energi yang dihasilkan diatas 35 MJ/Kg

Lebih sulit terbakar

Asap pembakaran cenderung lebih bersih

Meski ini merupakan grade batubara terbaik, penggunaan antrasit pada skala industri
cukup jarang. Hal itu dikarenakan jumlah antrasit pada alam itu lebih sedikit dan
biaya produksi yang mahal sehingga harganya juga akan sangat mahal.

Dalam analisis yang dilkaukan perlulah melihat beberapa parameter dibawah sesuai
dengan standar yang diinginkan berdasarkan nilai-nilai yang sesuai dengan baku
mutu bahan dan kualitas yang dimana semakin tinggi nilai standar bahan maka
semakin bagus bahan yang didapatkan atau digunakan.

Analisis proksimat batubara (coal proximate analysis)


Analisis proksimat batubara bertujuan untuk menentukan kadar Moisture (air dalam
batubara) kadar moisture ini mengcakup pula nilai free moisture serta total moisture,
ash (debu), volatile matters (zat terbang), dan fixed carbon (karbon tertambat).
Moisture ialah kandungan air yang terdapat dalam batubara sedangkan abu (ash)
merupakan kandungan residu non-combustible yang umumnya terdiri dari senyawa-
senyawa silika oksida (SiO2), kalsium oksida (CaO), karbonat, dan mineral-mineral
lainnya,Volatile matters adalah kandungan batubara yang terbebaskan pada
temperatur tinggi tanpa keberadaan oksigen (misalnyaCxHy,H2,SOx,dansebagainya),
Fixed carbon ialah kadar karbon tetap yang terdapat dalam batubara setelah volatile
matters dipisahkan dari batubara. Kadar fixed carbon ini berbeda dengan kadar
karbon (C) hasil analisis ultimat karena sebagian karbon berikatan membentuk
senyawa hidrokarbon volatile.

Nilaikalorbatubara(coalcalorificvalue)
Salah satu parameter penentu kualitas batubara ialah nilai kalornya, yaitu seberapa
banyak energi yang dihasilkan per satuan massanya. Nilai kalor batubara diukur
menggunakanalatyangdisebutbombkalorimeter.
Kalorimater bom terdiri dari 2 unit yang digabungkan menjadi satu alat. Unit pertama
ialah unit pembakaran di mana batubara dimasukkan ke dalam bomb lalu
diinjeksikan oksigen lalu bomb tersebut dimasukkan kedalam bejana disini batubara
dibakar dengan adanya pasokan udara/oksigen sebagai pembakar. Unit kedua ialah
unit pendingin/kondensor (water handling)

Kadarsulfur
Salah satu cara untuk menentukan kadar sulfur yaitu melalui pembakaran pada suhu
tinggi. Batubara dioksidasi dalam tube furnace dengan suhu mencapai 1350°C.
Sulfur oksida (SOx) yang terbentuk sebagai hasil pembakaran kemudian ditangkap
oleh oleh detektor infra merah kalau menggunakan metode infrared sedangkan kalau
menggunakan metode HTM akan ditangkap oleh larutan  peroksida lalu dititrasi
dengan natrium borat dan kemudian dianalisis.
 
Analisisultimatbatubara(coalultimateanalysis)
Analisis ultimat dilakukan untuk menentukan kadar karbon (C), hidrogen (H),
oksigen (O), nitrogen, (N), dan sulfur (S) dalam batubara. Seiring dengan
perkembangan teknologi, analisis ultimat batubara sekarang sudah dapat dilakukan
dengan cepat dan mudah. Analisa ultimat ini sepenuhnya dilakukan oleh alat yang
sudah terhubung dengan komputer. Prosedur analisis ultimat ini cukup ringkas;
cukup dengan memasukkan sampel batubara ke dalam alat dan hasil analisis akan
muncul kemudian pada layar komputer.
 
Analisa Size Analisis
Data analisis dari suatu hasil tambang ialah satu data dari data-data yang diperlukan
dalam perancangan coal preparation plant, pada crushing plant dan screening plant
pemeriksaan size diperlukan untuk melihat apakah hasil dari proses masih sesuai
dengan spesifikasi atau tidak, pada proses loading dilakukan untuk mengantisifasi
masalah yang timbul karena kalau terlalu banyak yang fine coal nilai total
moisturenya cenderung meningkat dan akan berdebu pada saat kering.

Dalam analisi table dibawah


Dimana didapatkan kandungan-kandungan dari nilai batu bara diukur berdasarkan
nilai-nilai berikut
Kadar Air Lembab (IM). Kadar Air Lembab (IM) yaitu kandungan air bawaan
setelah contoh dikondisikan diruang pengujian laboratorium. 

Kadar Abu (Ash). Kadar Abu (Ash) adalah zat organik yang dihasilkan setelah
batubara dibakar. Kadar abu dapat dihasilkan dari pengotoran bawaan dalam proses
pembentukan batubara maupun pengotoran yang berasal dari proses penambangan. 

Zat Terbang (VM). Kadar Zat Terbang (VM) adalah zat aktif yang menghasilkan
energi panas apabila batubara tersebut dibakar. Umumnya terdiri dari gas-gas yang
mudah terbakar seperti Hidrogen, Karbon Monoksida (CO) dan Metan (CH4).
Volatile Matter sangat erat kaitannya dengan rank batubara, makin tinggi kandungan
VM makin rendah kelasnya. Dalam pembakaran batubara dengan VM tinggi akan
mempercepat pembakaran karbon tetap (Fixed Carbon/FC). Sebaliknya bila VM
rendah mempersulit proses pembakaran.
Karbon Tetap (FC). Kadar Karbon Tetap (FC) adalah karbon yang terdapat dalam
batubara yang berupa zat padat / karbon yang tertinggal sesudah penentuan nilai zat
terbang (VM). Melalui pengeluaran zat terbang dan kadar air, maka karbon tertambat
secara otomatis sehingga akan naik. Dengan begitu makin tinggi nilai karbonnya,
maka peringkat batubara meningkat. 

Nilai Kalor (CV). Nilai Kalor (CV) adalah penjumlahan dari harga-harga panas
pembakaran unsur-unsur pembentuk batubara

Pada analisi batu bara lignin atau juga dikenal dengan sebutan batubara coklat,
adalah jenis batubara yang paling rendah kualitasnya. Banyak ditambang di Yunani,
Jerman, Polandia, Serbia, Rusia, Amerika Serikat, India, Australia, dan beberapa
bagian negara-negara Eropa. Batubara jenis ini banyak digunakan sebagai bahan
bakar pembangkit listrik tenaga uap. Namun karena jenis ini memiliki energi konten
rendah dan kandungan moisture yang tinggi, maka sangat tidak efisien untuk
ditransportasikan ke tempat yang jauh. Untuk itu pembangkit listrik yang
menggunakan batubara jenis ini dibangun di lokasi yang cukup dekat dengan lokasi
penambangannya. Jadi lignin merupakan nilai kualitas rendah dikarenakan dalam
table tersebut memiliki nilai fixer carbon dan volatile meter rendah serta heating
vulve yang rendah

Pada analisis Sub-bituminous jenis batubara sedang di antara jenis lignite dan


jenis bituminous. Secara fisik memiliki ciri-ciri berwarna coklat gelap cenderung
hitam. Memiliki kandungan kelembaban yang lebih rendah dari jenis lignite dan
cocok digunakan untuk bahan bakar pembangkit listrik tenaga uap.

Pada analisis Bituminous jenis batubara yang lebih tinggi tingkatan kualitasnya.
Mayoritas berwarna hitam, namun kadang masih ada yang berwarna coklat tua.
Dinamakan bituminous dikarenakan adanya kandungan bitumen/aspal. Batubara jenis
ini memiliki kandungan karbon sebanyak 60-80%, dan sisanya berupa air, udara,
hidrogen, dan sulfur.

Pada analisi batu bara terakhir yaitu Anthracite adalah jenis batubara yang paling
baik kualitasnya. Jenis ini memiliki kandungan karbon sebesar 92,1% sampai dengan
98%, sehingga berwarna hitam mengkilap. Penggunaan batubara anthracite pada
pembangkit listrik tenaga uap, masuk ke dalam jenis batubara High Grade dan Ultra
High Grade. Namun persediaannya masih sangat terbatas, yaitu sebanyak 1% dari
total penambangan batubara. Negara penghasil batubara ini antara lain adalah Cina,
Rusia, Ukraina, Korea Utara, Vietnam, Inggris, Australia, dan Amerika Serikat. Oleh
sebab itu lah batu bara jenis anthracite ini merupakan batubara kualtias tertinggi
karena memiliki warna serta nilai fixer dan volatile serta heating yang tinggi akan
tetapi batu bara ini merupakan batubara yang amat sanggat langka karena proses
terbentuknya sangat lama dan panjang.

Perbandingan hasil analisis batubara dengan cangkak kelapa sawit yaitu

Limbah padat kelapa sawit (serabut fiber) kelapa sawit dan cangkang kelapa sawit
yang dimanfaatkan sebagai bahan bakar boiler pada pabrik pengolahan kelapa sawit
dapat manfaatkan juga sebagai bahan bahar pusat listrik tenaga uap (PLTU).

Nilai kalor yang dihasilkan dari bahan uji/sampel setelah karbonisasi lebih besar dari
pada sebelum karbonisasi, peningkatannya mencapai 14% pada batubara, 65% pada
(serabut fiber) kelapa sawit dan 34% pada cangkang kelapa sawit.

Pusat listrik tenaga uap (PLTU) dengan asumsi daya yang dihasilkan 10 MWh
menujukkan bahwa yang memiliki efektifitas tinggi yang pertama adalah solar
(791,256 kg atau setara dengan 648,82 liter), yang kedua adalah cangkang kelapa
sawit (1,2 ton), yang ketiga adalah batubara (1,3 ton) dan yang keempat adalah
serabut (fiber) kelapa sawit (1,4 ton).
Biaya yang dibutuhkan dari masing – masing bahan bakar dengan asumsi daya yang
dihasilkan 10 MWh pada PLTU menunjukkan bahwa solar memerlukan biaya yang
paling tinggi.

Cangkang dan serabut (fiber) kelapa sawit sangat efektif untuk bahan bakar alternatif
pada PLTU, karena biaya yang murah, dampak lingkungan yang cukup kecil jika
dibandingkan dengan batubara, dalam ketersediaannya kelapa sawit cukup
memenuhi.

Anda mungkin juga menyukai