Anda di halaman 1dari 29

PROPOSAL PENELITIAN

PEMBUATAN BIOETANOL DARI PATI BIJI SORGUM

Disusun oleh:

Aditya Fajar Pratama (121130032)

Safira Rachmania Anggriani (121130043)

PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN
YOGYAKARTA
2016
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG

Minyak bumi merupakan salah satu sumber energi yang tidak dapat diperbarui atau non
renewable. Keberadaannya hingga saat ini menempati urutan pertama sebagai sumber energi.
Salah satu turunan minyak bumi yang banyak digunakan dalam industri kecil dan rumah tangga
adalah minyak tanah. Upaya pemerintah untuk mengalihkan penggunaan minyak tanah ke bahan
bakar lain perlu didukung. Saat ini pengalihan penggunaan minyak tanah ke bahan bakar gas
banyak menemui kendala antara lain banyaknya kasus kebakaran yang disebabkan oleh bahan
bakar gas, karena sifat gas yang selalu memenuhi ruangan sehingga apabila terjadi percikan api
dalam kompor akan memicu kebakaran di sekitarnya.

Oleh karena itu pengalihan atau konversi minyak tanah tidak harus ke bahan bakar gas
tetapi juga dapat ke bioetanol yang bersifat lebih ramah lingkungan dan tidak membahayakan
lingkungan. Salah satu jenis bahan bakar yang sudah lama dikembangkan sebagai pengganti
bahan bakar minyak (BBM) adalah bioetanol yang dibuat dari biomassa (tumbuhan) melalui
proses biologi (fermentasi). Bioetanol dapat dengan mudah diproduksi dari tanaman - tanaman
yang mengandung gula. Diantaranya tetes tebu, nira bergula, sagu, jagung dan singkong. Dari
berbagai jenis tanaman yang dapat dijadikan sebagai sumber bahan baku bioetanol, salah satu
diantaranya adalah tanaman sorgum manis (sweet sorghum) (Tati, 2003).

Bioetanol adalah etanol yang diperoleh dari proses fermentasi bahan baku yang
mengandung pati atau gula. Bahan bakar nabati (BBN) ini digunakan sebagai pengganti
premium (gasoline). Etanol yang dapat digunakan sebagai bahan bakar nabati adalah alkohol
murni yang bebas air (anhydrous alcohol). Campuran premium menghasilkan emisi gas buang
yang lebih ramah terhadap lingkungan karena oksigennya dapat meningkatkan efisiensi
pembakaran. Bahan baku yang akan dijadikan penelitian kami adalah dengan menggunakan nira
dari batang sorgum untuk menghasilkan bioetanol melalui proses fermentasi menggunakan yeast
(ragi tape) Saccharomyces cereviseae, (Kartika noerwijati, 2007).
I.2. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas, perumusan masalah yang dibahas dalam hal ini
adalah:

1. Bagaimana pengaruh waktu lama fermentasi untuk menghasilkan bioetanol yang


berkadar tinggi
2. Bagaimana pengaruh pH yeast atau ragi terhadap kadar etanol yang dihasilkan

I.3. TUJUAN MASALAH

Tujuan penelitian ini adalah untuk membuat bioetanol dari pati sorgum dengan proses
fermentasi menggunakan mikroorganisme Saccharomyces cereviseae, variabel yang dipelajari
adalah pengaruh waktu fermentasi terhadap kadar alkohol yang dihasilkan dari larutan tersebut
dan pH terhadap yeast atau ragi demi memenuhi kebutuhan sebagai bahan bakar alternatif
sesuai aturan pakai dan kadar dari Bioetanol yang dapat digunakan sebagai bahan bakar, selain
dari Bahan Bakar Minyak (BBM).

I.4. TINJAUAN PUSTAKA

I.4.1. Sorgum
Sorgum merupakan tanaman dari keluarga Poaceae dan marga Sorghum. Sorgum
sendiri memiliki 32 spesies. Diantara spesies-spesies tersebut, yang paling banyak
dibudidayakan adalah spesies Sorghum bicolor (japonicum). Tanaman yang lazim
dikenal masyarakat Jawa dengan nama Cantel ini sekeluarga dengan tanaman serealia
lainnya seperti padi, jagung, hanjeli dan gandum serta tanaman lain seperti bambu dan
tebu. Dalam taksonomi, tanaman-tanaman tersebu tergolong dalam satu keluarga besar
Poaceae yang juga sering disebut sebagai Gramineae (rumput-rumputan).
Sorgum adalah jenis serelia yang di Indonesia belum banyak dimanfaatkan
kegunaanya (Nurmala, 1998). Tanaman sorgum masih demikian kurang diminati, padahal
hasilnya dapat merupakan bahan pangan pengganti beras atau untuk diekspor
(Kartasapoetra, 1994).
Klasifikasi sorgum:
Kingdom : Plantae
Divisi : Magonoliophyta
Kelas : Lilopsida
Ordo : Poales
Familia : Poaceae
Genus : Sorghum

Gambar 1. Biji Sorgum


Biji sorgum dapat digunakan sebagai bahan pangan serta bahan baku industri
pangan dan pakan, seperti industri gula, monosodium glutamate (MSG), asam amino, dan
industri minuman serta industri bahan bakar (bioetanol). Dengan kata lain, sorgum
merupakan komoditas pengembang untuk diversifikasi indsutri secara vertical
(Prihandana & Handoko, 2008).
Sebagai bahan industri, kandungan 71% pati biji sorgum dapat dihidrolisis
menjadi gula sederhana. Biji sorgum dapat dibuat gula atau glukosa cair atau sirup
fruktosasesuai kandungan gula pada biji. Gula sederhana yang diperoleh dari biji sorgum
selanjutnya dapat difermentasi untuk menghasilkan alkohol. Untuk sweet sorgum, bahan
baku bioetanol dapat dibuat dari biji dan batang. Untuk menghasilka bioetanol harus
menggunakan biji sorgum yang terpilih (Prihandana & Handoko, 2008).
Sorgum memiliki kandungan nutrisi yang baik, bahkan kandungan protein dan
unsur-unsur lainya lebih tinggi daripada beras. Sorgum manis mengandung kadar gula
yang cukup tinggi pada batan (perasan nira) dan bijinya, sehingga dapat dijadikan sumber
bioetanol melalui proses ekstraksi (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2013)
Tabel 1. Kandungan gizi pada biji sorgum
Komposisi nutrisi (%)
Bagian Biji
Pati Protein Lemak Abu Serat Kasar
Biji utuh 73,8 12,3 3,60 1,65 2,2
Endosperma 82,5 12,3 0,63 0,37 1,3
Kulit biji 34,6 6,7 4,90 2,02 8,6
Lembaga 9,8 13,4 18,90 10,36 2,6
Sumber : Hubbard et al. (1968).

I.4.2. Pati
Pati atau amilum adalah karbohidrat kompleks yang tidak larut dalam air,
berwujud bubuk putih, tawar dan tidak berbau. Barangkali tidak ada satu senyawa
organik lain yang tersebar begitu luas sebagai kandungan tanaman seperti halnya pati.
Dalam jumlah besar, pati dihasilkan dari dalam daun-daun hijau sebagai wujud
penympanan sementara dari produk fotosintesis. Pati juga tersimpan dalam bahan
makanan cadangan permanen untuk tanaman, dalam biji, jari-jari teras, kulit batang, akar
tanaman menahun dan umbi. Pati merupakan 50-65% berat kering biji gandum dan 80%
bahan kering umbi kentang (Claus, et al., 1970).
Pati berbentuk granul atau butir-butir kecil dengan lapisan-lapisan yang
karakteristik. Lapisan-lapisan ini serta ukuran dan bentuk granul seringkali khas bagi
beberapa spesies tanaman sehingga dapat digunakan untuk identitas tanaman asalnya.
Secara umum pati terdiri dari 20% bagian yang larut air (amilosa) dan 80% bagian yang
tidak larut dalam air (amilopektin) (Claus, et al., 1970).

I.4.3. Bioetanol
Bioetanol (C2H5OH) adalah cairan biokimia pada proses fermentasi gula dari
sumber karbohidrat yang menggunakan bantuan mikroorganisme. Louis Pasteur pertama
kalinya mengenalkan metode fermentasi.
Sementara Gay-Lussac di tahun 1815 memformulasikan konversi glukosa menjadi etanol
dan karbon dioksida.
Saccharomyces cereviceae
C6H12O6 2C2H5OH + 2CO2
Secara umum, produksi bioetanol ini mencakup 3 rangkaian proses yaitu
persiapan bahan baku, fermentasi, dan pemurnian (Anonim, 2008).
Bioetanol dengan kadar 90-94% disebut bioetanol tingkat industri. Jika bioetanol
yang diperoleh berkadar 94-99,5% maka disebut dengan bioetanol tingkat netral.
Umumnya bioetanol jenis ini dipakai untuk campuran minuman keras, dan yang terakhir
adalah bioetanol tingkat bahan bakar. Kadar bioetanol tingkat ini sangat tinggi, minimal
99,5%.
Dewan Standarisasi Nasional (DSN) telah menetapkan Standar Nasional
Indonesia (SNI) untuk bioetanol. Saat ini ada dua jenis SNI bioetanol, yaitu SNI DT 27-
0001-2006 untuk bioetanol terdenaturasi dan SNI-06-3565-1994 untuk alkohol teknis
yang terdiri dari Alkohol Prima Super, Alkohol Prima I dan Alkohol Prima II. Alkohol
Prima Super memiliki kadar maksimum 96,8 % dan minimum 96,3 %, sedangkan Prima
I dan Prima II minimal 96,1 % dan 95,0 %. Semua diukur pada temperature 15oC (Pusat
Studi Energi, 2011).
Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Nomor
23204.K/10/DJM.S/2008, tanggal 24 Desember 2008, bahwa standar dan mutu
(spesifikasi) bahan bakar nabati (Biofuel) dengan jenis bioetanol sebagai bahan bakar lain
yang dipasarkan didalam negeri adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Spesifikasi bioetanol di Indonesia

No. Sifat Unit, min/max Spesifikasi 1)

1 Kadar etanol %-v, min 99,5 (sebelum denaturasi) 2)


94,0 (setelah denaturasi)
2 Kadar methanol mg/L, max 300
3 Kadar air %-v, max 1
%-v, min 2
4 Kadar denaturan
%-v, max 5
5 Kadar tembaga (Cu) mg/kg, max 0,1
Keasaman sebagai
6 mg/L, max 30
CH3COOH
Jernih dan terang, tidak ada
7 Tampakan
endapan dan kotoran
8 Kadar ion klorida (Cl) mg/L, max 40
9 Kandungan Belerang (S) mg/L, max 50
10 Kadar getah (gum), dicuci mg/100 ml, max 5,0
11 pH 6,5-9,0

Sumber :Keputusan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Nomor


23204.K/10/DJM.S/2008
1)
Jika tak diberikan catatan khusus, nilai batasan (spesifikasi) yang diterakan adalah
nilai untuk bioetanol yang sudah didenaturasi
2)
FGE atau etanol kering biasanya memiliki berat jenis dalam rentang 0,7936-
0,7961 (pada kondisi 15,56/15,58oC) atau berat jenis dalam rentang 0,7871-
0,7896 (pada kondisi 25/25oC) diukur dengan cara piknometri atau hidrometri
yang sudah sangat lazim diterapkan di dalam industri alkohol.
Bioetanol bisa dipakai langsung sebagai BBM atau dicampurkan ke dalam premium
sebagai aditif dengan perbandingan tertentu (Gasohol atau Gasolin alkohol), jika dicampurkan ke
bensin maka bioetanol bisa meningkatkan angka oktan secara signifikan; campuran 10%
bioetanol ke dalam bensin akan menaikkan angka oktan premium menjadi setara dengan
pertamax (angka oktan 91); production cost bioetanol relatif rendah oleh karena itu bioetanol
dapat dibuat oleh siapa saja termasuk UMKM dan home industry.
a. Spesifikasi etanol adalah sebagai beikut:
Rumus molekul : C2H5OH
Berat molekul : 46,07 gram/mol
Titik didih : 78,5oC
Titik beku : -114,1oC
Warna : Jernih
Wujud : Cair
Specific gravity : 0,789 (air=1)
(Material Safety Data Sheet)
a. Sifat-sifat kimia etanol
1) Berbobot molekul rendah sehingga larut dalam air
2) Diperoleh dari fermentasi gula
Pembentukan etanol
C6H12O6 CH3CH2OH
glukosa etanol
3) Pembakaran etanol menghasilkan CO2 dan H2O
Pembakaran etanol
CH3CH2OH + 3O2 2CO2 + 3H2O + energi
(Fessenden & Fessenden, 1997).

I.4.4. Mikroorganisme
Pada proses fermentasi alkohol ada beberapa jenis mikroorganisme yang dapat
digunakan, yaitu sebagai berikut:
1. Bakteri: Clostiridium acetobuty-licum, Klebsiella penmoniae, Leuconoctoc
mesenteroides, Sarcina ventriculi, Zymomonas mobilis, dan lain-lain.
2. Yeast: Aspergillus oryzae, Endomyces latis, Kloeckera sp., Kluyreromyces fraglis,
Mucor sp., Neurospora crassa, Rhizopus sp., Saccharomyces beticus, Saccharomyces
cereviceae, Saccharomyces ellipsoideus, Saccharomyces oviformis, Saccharomyces
saki, Torula sp., dan lain-lain (Sudarmadji K, 1989).
Yeast sejak dulu berperan dalam fermentasi yang bersifat alkohol, dimana produk
utama metabolsmenya adalah etanol (Suprihatin, 2010).
Saccharomyces cereviseae lebih banyak digunakan untuk memproduksi alkohol
secara komersial dibandingkan dengan bakteri dan jamur. Hal ini disebabkan karena
Saccharomyces cereviseae dapat memproduksi alkohol dalam jumlah besar dan
mempunyai toleransi pada kadar alkohol yang tinggi. Kadar alkohol yang dihasilkan
sebesar 8-20% pada kondisi optimum. Saccharomyces cereviseae yang bersifat stabil,
tidak berbahaya atau menimbulkan racun, mudah di dapat dan malah mudah dalam
pemeliharaan. Bakteri tidak banyak digunakan untuk memproduksi alkohol secara
komersial, karena kebanyakan bakteri tidak dapat tahan pada kadar alkohol yang tinggi
(Sudarmadji K., 1989).
Pertumbuhan kultur mikroba umumnya dapat digunakan dalam suatu kurva
pertumbuhan. Pertumbuhan mikroba dapat terbagi dalam beberapa tahap, yakni:
1. Fase stationer adalah fase yang disebut fase adaptasi/lag phase. Pada saat ini mikroba
lebih berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan dan medium baru daripada
tumbuh ataupun berkembang biak.
2. Fase pertumbuhan dipercepat atau fase dimana mikroba sudah dapat menggunakan
nutrisi dalam medium fermentasinya. Pada fase ini mikroba bayak tumbuh dan
membelah diri sehingga jumlahnya dapat meningkat dengan cepat.
3. Fase eksponensial adalah akhir dase pertumbuhan dipercepat. Pada fase ini laju
pertumbuhan tetap pada laju pertmbuhan maksimum.
4. Fase pertumbuhan diperlambat mulai pada akhir fase eksponensial. Pertumbuhan
mikroba yang begitu cepat tidak diimbangi tersedianya nutrisi yang cukup. Jika
fermentasi dilakukan secara batch, dimana umpan nutrisi dimasukan hanya pada awal
proses fermentasi, pada waktu tertentu saat jumlah mikroba yang mengkonsumsi
nutrisi tersebut melebihi daya dukung nutrisi akan terjadi kekurangan nutrisi.
5. Fase kematian terjadi apabila nutrisi sudah benar-benar tidak dapat lagi mencukupi
kebutuhan mikroorganisme. Keadaan ini diperparah oleh akumulasi produk metabolit
primer dan sekunder yang tidak dipanen sehingga terus menginhibisi ataupun
merepresi pertumbuhan sel mikroorganisme. Selain itu umur sel juga sudah tua,
sehingga pertahan sel terhadap lingkungan yang berbeda dari kondisi biasanya juga
berkurang (Departemen Teknik Kimia ITB, 2012).
I.5. LANDASAN TEORI
1.5.1. Hidrolisis
Hidrolisis adalah proses antara reaktan dengan air agar suatu senyawa pecah
terurai. Reaksi Hidrolisis:
(C6H10O5)n + nH2O nC6H12O6
Polisakarida Air Glukosa
Reaksi antara pati dan air berlangsung sangat lambat sehingga dibutuhkan
katalisator untuk memperbesar kerektifan air. Katalisator bisa berupa asam dan enzim.
Katalisator yang dapat digunakan adalah asam korida, asam sulfat, dan asam nitrat.
Dalam industri umumnya digunakan enzim sebagai katalisator.
Terdapat berbagai macam metode hidrolisa yang dipakai yaitu hidrolisa asam dan
hidrolisa enzimatik yang banyak digunakan. Katalisator yang sering digunakan adalah
asam. Asam berfungsi sebagai katalisator dengan mengaktifkan air. Di dalam industri
asam yang dipakai adalah H2SO4 dan HCl. HCl lebih menguntungkan karena lebih reaktif
disbanding H2SO4. (Groggins, 1992)
Faktor-faktor yang berpengaruh pada hidrolis pati antara lain:
a. Suhu
Suhu memengaruhi jalanya reaksi hidrolisis, terutama pada kecepatan
reaksinya. Hidrolisis dari pati mengikuti persamaan reaksi orde satu dengan
kecepatan reaksi yang berbeda-beda untuk setiap jenis pati. Untuk kisaran
suhu 90oC-100oC. Dengan penggunaan suhu yang lebih tinggi, maka waktu
reaksi dapat diminimalkan (Groggins, 1958).
Menurut Meldha, dkk dalam penelitiannya mengenai pengaruh suhu
hidrolisis dilakukan analisis konsentrasi gula pada berbagai suhu yaitu pada
suhu 75C,85C,98C, dan 105C dan diperoleh kadar gula yang paling besar
adalah 14,001 g/l yaitu pada suhu 98C. Analisa tersebut dilakukan dengan
menggunakan metode Nelson somogy dengan spektrofotometer dan sinar
tampak. (Meldha dkk, 2012)
b. Waktu
Waktu reaksi mempengaruhi konversi yang dihasilkan. Semakin lama
waktu reaksi, maka semakin tinggi pula konversi yang dihasilkan. Hal ini
disebabkan oleh kesempatan zat reaktan untuk saling bertumbuhkan dan
bereaksi semakin besar, sehingga konversi yang dihasilkan semakin tinggi
(Perwitasari & Cahyo, 2009).
Menurut Fauziah dalam percobaanya mengenai pengaruh waktu hidrolisis
terhadap produksi bioetanol dari limbah kulit pisang kepok kuning, terdapat
tiga variasi waktu hidrolisis yang diuji yakni 120 menit, 150 menit, 180 menit
masing-masing pada suhu 100oC dan konsentrasi asam sulfat 0,8N. Kondisi
hidrolisis saat percobaan manunjukan bahwa waktu hidrolisis selama 180
menit menghasilkan kadar etanol yang tinggi, hal ini terjadi karena sampel
tersebut menggunakan konsentrasi asam tertinggi dan waktu pemanasan
terlama. Sehingga banyak polisakarida yang terpecah menjadi monosakarida
dan disakarida (Fauziah, 2015).
Monosakarida yang terbentuk akan mereduksi kuprioksida menjadi
kuprooksida. Dan banyaknya gula pereduksi yang terbentuk akan terbaca oleh
spektroskopi Uv-Vis saat percobaan setelah direaksikan dengan
aresenmolibdat dan membentuk molybdenum berwarna biru gelap. Sampel
inilah yang kemudian dilakukan fermentasi (Fauziah, 2015).
c. Perbandingan pereaksi
Perbandingan antara air dan pati yang tepat akan membuat reaksi
hidrolisis berjalan cepat. Penggunaan air yang berlebihan akan memperbesar
penggunaan energi untuk pemekatan hasil. Sebaliknya, jika pati berlebihan
tumbukan antara pati dan air akan berkurang sehingga mengurangi kecepatan
reaksi. Seperti yang terlihat pada persamaan Arhenius
= /

Dalam hubungan ini, k adalah konstanta kecepatan reaksi, A adalah faktor


tumbukan, E adalah energi aktivasi (cal/gmol), T adalah suhu (K), dan R
adalah tetapan gas ideal (cal/gmol K) (Groggins, 1992).
Menurut Gusmarwan, dkk. pada percobaan perbandingan berat padatan
hidrolisis bonggol pisang menunjukan bahwa hasil kadar glukosa yang
dihasikan optimal pada perbandingan padatan:air yaitu 1:5 dengan waktu
reaksi 80 menit dengan jumlah glukosa yang didapatkan 13,080g/100ml.
Percobaan tersebut dilakukan dengan delapan varian perbandingan, yaitu
1:6,25; 1:5:88; 1:5,55; 1:5;26; 1:5,00; 1:4,76; 1:4,54; 1:4,34 (Gusmarwan,
2010).

d. Konsentrasi katalisator
Penambahan katalisator bertujuan untuk memperbesar kecepatan reaksi.
Jadi semakin banyak katalisator yang digunakan maka semakin cepat reaksi
hidrolisis. Katalisator yang digunakan biasanya asam, yaitu asam klorida,
asam sulfat, asam nitrat, atau yang lainya. Apabila katalis ditambahkan dalam
reaksi maka energi aktivasi akan naik. Hal ini dapat dilihat dari persamaan
Arhenius berikut ini (Smith, 1987):
= /

Menurut Roosdiani, dkk. bahwa penambahan katalisator dapat


meningkatkan kecepatan reaksi, terbukti dalam penelitianya yang berupa
pembuatan Bioetanol dari Biji Alpukat dimana larutan asam sulfat digunakan
sebagai katalisator. Roosdiani, dkk. menggunakan konsentrasi larutan asam
sulfat sebesar 3%, 4%, 5%, 6%, 7%. Dihasilkan bahwa hasil hidrolisis dari
larutan asam sulfat dengan konsentrasi 6% merupakan konsentrasi optimum
untuk menghasilkan kadar glukosa terbanyak dibandingkan yang lain. Ini
menandakan bahwa semakin tinggi konsentrasi larutan maka kadar glukosa
akan semakin banyak diperoleh, namun meninjau ulang pada keadaan dan
konsentrasi paling optimum untuk perlakuan hidrolisis pada bahan baku itu
sendiri (Roosdiani, dkk. 2014).

e. Faktor Pengadukan
Pengadukan dilakukan untuk memperbesar probabilitas tumbukan
molekul-molekul reaktan yang bereaksi. Jika tumbukan antar molekul reaktan
semakin besar, maka kemungkinan terjadinya reaksi semakin besar pula. Hal
ini sesuai dengan persamaan Arrhenius dimana konstanta kecepatan reaksi K
akan semakin besar seiring terjadinya tumbukan yang disimbolkan dengan
konstanta A (Lavenspiel, 1987). Semakin cepat pengadukan maka semakin
cepat zat akan menjadi homogen.
Menurut Hijri, dkk. pada penelitian mengenai pembuatan bioetanol dari
limbah makanan berupa padatan menggunakan tiga varian kecepatan
pengadukan yakni 100 rpm, 150 rpm, dan 200 rpm. Pada percobaanya,
kecepatan pengadukan pada 150 rpm menghasilkan hasil yang optimum untuk
diatur pada pengadukan proses hidrolisis, pada kecepatan 200 rpm kadar
glukosa yang dihasilkan lebih rendah sehingga terjadi penurunan kadar
glukosa akhir. Frekuensi tumbukan antar molekul sangat tergantung pada
kondisi fisik dari reaktan (Hijri, 2011).

I.5.2. Fermentasi
Fermentasi adalah proses metabolisme yang menghasilkan energi dari gula dan
molekul organik lain serta tidak memerlukan oksigen atau sistem transfer elektron.
Fermentasi menggunakan molekul organik sebagai akhir aseptor elektronnya (Dede,
2008).
Fermentasi juga dapat diartikan sebagai proses yang memanfaatkan mikroba
untuk menghasilkan metabolit promer dan metabolit sekunder dalam suatu lingkungan
yang dikendalikan. Proses pertumbuhan mikroba merupakan tahap awal proses
fermentasi yang dikendalikan terutama dalam pengembangan inokulum agar dapat
diperoleh sel yang hidup.
Fermentasi berasal dari bahasa Latin fervere yang berarti mendidihkan. Seiring
perkembangan teknologi, definisi fermentasi meluas, menjadi semua proses yang
melibatkan mikroorganisme untuk menghasilkan suatu produk yang disebut metabolit
primer dan sekunder dalam suatu lingkungan yang dikendalikan. Pada mulanya istilah
fermentasi digunakan untuk menunjukkan proses pengubahan glukosa menjadi alkohol
yang berlangsung secara anaerob. Namun, kemudian istilah fermentasi berkembang lagi
menjadi seluruh perombakan senyawa organik yang dilakukan mikroorganisme yang
melibatkan enzim yang dihasilkannya. Dengan kata lain, fermentasi adalah perubahan
struktur kimia dari bahan-bahan organik dengan memanfaatkan agen-agen biologis
terutama enzim sebagai biokatalis.
Produk fermentasi dapat digolongkan menjadi 4 jenis, yaitu produk biomassa,
produk enzim, produk metabolit. dan produk transformasi (Departemen Teknik Kimia
ITB, 2012).
Proses fermentasi merupakan suatu proses pemecahan senyawa kompleks menjadi
senyawa yang sederhana. Dalam proses mikrobiologi, fermentasi dilakukan mikrobia
yang menghasilkan atau mempunyai enzim yang sesuai dengan proses tersebut.
Berdasarkan produk yang dihasilkan fermentasi digolongkan menjadi dua macam, yaitu
sebagai berikut :
1. Fermentasi alkoholis, yaitu fermentasi yang menghasilkan alkohol sebagai produk
akhir di samping produk akhir selain bahan lainnya. Misalnya pada pembuatan wine,
cider, dan tape.
2. Fermentasi non-alkoholis, yaitu fermentasi yang tidak menghasilkan alkohol sebagai
produk akhir selain bahan lainnya. Misalnya pada pembuatan tempe, antibiotika, dan
lain-lain.
Pada proses pembuatan bioetanol fermentasi sangat berperan penting. Adapun
faktor-faktor yang mempengaruhi proses fermentasi :
1. Waktu
Waktu yang dibutuhkan dalam proses fermentasi bioetanol adalah 2-3 hari. Waktu
yang sesuai akan menghasilkan etanol yang optimum. Semakin lama fermentasi kadar
alkohol yang dihasilkan akan optimum dan akhirnya akan menurun. Hal ini
disebabkan karena pada tahap awal sel khamir mulai memasuki fase eksponensial
dimana etanol sebagai metabolit primer dihasilkan, sedangkan tahap selanjutnya sel
khamir mulai masuk fase stasioner dan kematian sehingga alkhol yang dihasilkan
menurun (Apriwinda, 2013).
Menurut Rochayana & Kinkie pada percobaan pembuatan bioetanol dari nira
sorgum, waktu fermentasi yang dilakukan berlangsung Selama 7 hari. Dimana hasil
etanol dengan kadar optimum dihasilkan pada hari ke-3, setelah hari ke-4 sampai hari
ke-7 kadar etanol mulai menurun karena mikroba megalami fase stasioneri, dimana
mikroba yang tumbuh sama dengan mikroba yang mati sehingga tidak ada
penambahan jumlah mikroba yang akan mengubah substrat menjadi etanol
(Rochayana & Kinkie, 2016).
2. Keasaman pH
Nilai pH merupakan salah satu faktor penting yang perlu untuk diperhatikan pada
saat proses fermentasi. Oleh karena itu, pada awal pelaksanaan penelitian, substrat
yang akan dipakai terlebih dahulu diuji pHnya.
Tingkat keasaman sangat berpengaruh dalam perkembangan mikroorganisme.
Kondisi keasaman yang baik untuk bakteri adalah 4-5. (Winarno, 1984). Nilai pH
mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme.
Menurut Roukas (1994) dalam Jurnal Teknologi Pangan bahwa kisaran
pertumbuhan Saccharomyces cereviseae adalah pada pH 3,5-6,5. Pada kondisi basa
Saccharomyces cereviseae tidak dapat tumbuh. Disebutkan oleh Elevri dan Putra
(2006) dalam Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan, bahwa produksi etanol oleh
Saccharomyces cereviseae maksimal dapat dicapai pada pH 4,5 (Utama, dkk., 2013).
3. Mikroba
Fermentasi biasanya dilakukan dengan menggunakan kultur murni yang
dihasilkan di laboratorium. Kultur ini dapat disimpan dalam keadaan kering atau
dibekukan. Berbagai macam jasad renik dapat digunakan untuk proses fermentasi
antara lain yeast. Yeast tersebut dapat berbentuk bahan murni pada media agar-agar
atau dalam bentuk dry yeast yang diawetkan. (Winarno, 1984).
Proses pertumbuhan mikroba sangat dinamik dan kinteknya dapat digunakan
untuk meramal produksi biomassa dalam suatu proses fermentasi. Faktor-faktor yang
dapat menyebabkan berhentinya pertumbuhan mikroba antara lain:
a. Penyusutan konsentrasi nutrisi yang dibutuhkan dalam pertumbuhan mikroba
karena habis terkonsumsi.
b. Produk akhir metabolisme yang menghambat pertumbuhan mikroba karena
terjadinya inhibisi danrepresi (Departemen Teknik Kimia ITB, 2012)
4. Suhu
Suhu fermentasi sangat menentukan macam mikroba yang dominan selama
fermentasi. Tiap-tiap mikroorganisme memiliki suhu pertumbuhan optimal, yaitu
suhu yang memberikan pertumbuhan terbaik dan perbanyakan diri secara tercepat.
Pada suhu 30C mempunyai keuntungan terbentuk alkohol lebih banyak karena ragi
bekerja optimal pada suhu itu. (Winarno, 1984).
Menurut Apriwinda pada percobaan pembuatan etanol dari nira batang sorgum,
suhu optimum pada fermentasi saat percobaan adalah 30oC. Ini disebabkan karena
pertumbuhan mikroba yang digunakan, yaitu Saccharomyces cereviceae dapat
mekakukan aktivitasnya pada suhu 4oC-32oC dan dapat tumbuh optimum pada suhu
28oC-30oC (Apriwinda, 2013).
5. Oksigen
Udara atau oksigen selama proses fermentasi hatus diatur sebaik mungkin untuk
memperbanyak atau menghambat mikroba tertentu. Setiap mikroba membutuhkan
oksigen yang berbeda jumlahnya untuk pertumbuhan atau membentuk sel-sel baru
dan untuk fermentasi. Misalnya ragi roti (Saccharomyces cerevisae) akan tumbuh
lebih baik pada keadaan aerobik, tetapi akan melakukan fermentasi terhadap gula jauh
lebih cepat pada keadaan anaerobik. (Winarno, 1984).
Pada pembuatan bioetanol, dilakukan fermentasi secara anaerobik, ..
6. Makanan (untuk mikroorganisme)
Semua mikroorganisme memerlukan nutrient yang akan menyediakan:
a. Energi biasanya diperoleh dari subtansi yang mengandung karbon
b. Nitrogen untuk sintesis protein. Salah satu contoh sumber nitrogen yang dapat
digunakan adalah urea
c. Mineral yang dipergunakan mikroorganisme salah satunya adalah asam
phospat yang dapat diambil dari pupuk NPK
d. Vitamin, sebagian besar sumber karbon dan nitrogen alami sudah mengandung
semua atau beberapa vitamin yang dibutuhkan mikroorganisme (Gaman,
1992).

I.5.3. Distilasi

Distilasi merupakan teknik memisahkan campuran yang misibel berdasarkan


perbedaan titik didihnya. Campuran yang akan dipisahkan sebelumnya ditempatkan di
labu pemanasan untuk dididihkan. Pendidihan ini bertujuan untuk menguapkan zat yang
potensi volatilitasnya lebih tinggi. Pemanasan yang dilakukan mampu memutus gaya
antarmolekul campurannya karena meningkatkan tekanan uap molekulnya dan energi
kinetiknya sekaligus. Zat yang menguap akan menuju pipa kondensor. Distilat yang telah
mengalami kondensasi selanjutnya diarlikan ke penampungan. Cairan distilat bisa
didistilasi ulang untuk mendapatkan zat hasil yang absolut. Umumnya, perulangan
distilasi dapat meningkatkan kadar zat secara maksimum, namun dapat menurunkan
kuantitas zat murni yang dihasilkan. (Nurhayati dkk, 2015).

Distilasi dilakukan untuk memisahkan etanol dari beer (sebagian besar adalah air
dan etanol). Titik didih etanol murni adalah 78C sedangkan air adalah 100C (kondisi
standar). Dengan memanaskan larutan pada suhu rentang 78-100C akan mengakibatkan
sebagian besar etanol menguap, dan melalui unit kondensasi akan bisa dihasilkan etanol
dengan konsentrasi 95% volume (LIPI, 2008).

I.6. BATASAN MASALAH


Pada penelitian ini ada beberapa hal yang menjadi batasan masalah yaitu :
1. Suhu yang digunakan adalah suhu kamar (30C)
2. Bahan yang digunakan adalah pati dari biji sorgum
3. Volume starter yang digunakan adalah 10 % dari volume glukosa yang diperoleh dari hasil
hidrolisis pati biji sorgum.

I.7. HIPOTESA
Dari percobaan yang akan dilakukan dapat dilihat berupa kemungkinan bahwa:
1. Dengan waktu fermentasi yag sesuai maka akan didapatkan kadar etanol yang tinggi
2. Dengan nilai pH yang sesuai maka akan didapatkan kadar etanol yang tinggi.
BAB II
METODOLOGI PENELITIAN

II.1. Bahan Baku dan Bahan Pendukung

II.1.1. Bahan Baku:

1. Biji Sorgum yang diperoleh di daerah Playen, Gunung Kidul


II.1.2. Bahan Pendukung:
1. Yeast extract
2. Asam Klorida 0,1 N
3. Glukosa
4. Aquades
5. Spiritus
6. Kertas saring
7. Alumunium foil
8. Kertas saring
9. Kertas pH
10. Karet
11. Kapas steril
II.2. Alat Penelitian dan Rangkaian Alat
Keterangan:
1. Kompor pemanas
2. Waterbath
3. Labu leher tiga
4. Termometer
5. Pendingin balik
6. Air masuk & air keluar

Gambar 1. Rangkaian Alat Hidrolis

Keterangan:
1. Penutup
2. Erlenmeyer
3. Selang
4. Tabung

Gambar 2. Rangkaian Alat Fermentasi


Keterangan :
1. Statif
2. Klem
3. Labu destilasi
4. Kompor pemanas
5. Termometer
6. Pendingin balik
7. Pipa penghubung
8. Erlenmeyer

Gambar 3. Rangkaian Alat Destilasi


II.3. Cara Kerja
1. Tahap Persiapan Bahan Baku
Mengambil biji sorgum dari tumbuhan sorgum yang dibeli di daerah Playen,
Gunung Kidul lalu menghaluskan biji sorgum dengan cara digiling dan diayak dijadikan
tepung dengan ukuran 100 mesh. Menganalisis kadar pati, kadar air, kadar serat atau
selulosa tepung biji sorgum.
2. Proses Hidrolisis
Menimbang tepung biji sorgum 100 gram, memasang rangkaian alat hidrolisis
lalu memasukkan larutan Asam Klorida 0.1 N sebanyak 750 ml ke dalam labu leher tiga
dan memanaskan hingga mendidih, pemanasan dilakukan pada suhu 110oC, yaitu pada
suhu titik didih Asam Klorida. Kemudian, memasukkan tepung biji sorgum ke dalam
labu leher tiga dan mengaduknya menggunakan pengaduk merkuri selama 1 jam lalu
membiarkan hasil hidrolisis dingin pada suhu kamar. Menyaring larutan hasil hidrolisis
lalu menganalisa kadar glukosa hasil proses hidrolisis tersebut dengan metode Lane
Eynon.
3. Fermentasi
Pada tahap ini, tepung telah sampai pada titik telah berubah menjadi gula
sederhana (glukosa dan sebagian fruktosa) dimana proses selanjutnya melibatkan
penambahan enzim yang diletakan pada ragi (yeast) agar dapat bekerja pada suhu
optimum kisaran 27C s.d. 32C, dan membutuhkan ketelitian agar tidak terkontaminasi
oleh mikroba lainya. Selanjutnya ragi akan menghasilkan etanol sampai kandungan
etanol dalam tangki mecapai 8% s.d. 12% (biasa disebut cairan beer) dan selanjutnya ragi
tersebut akan menjadi tidak aktif, karena kelebihan etanol akan berakibat racun bagi ragi.
Dan tahap selanjutnya akan dilakukan adalah destilasi, namun sebelumnya perlu
dilakukan pemisahan padatan-cairan, untuk menghindari terjadinya clogging selama
proses destilasi (Bustaman, 2008).
4. Distilasi
Distilasi dilakukan untuk memisahkan etanol dari air. Titik didih etanol murni
adalah 78oC sedangkan air adalah 100oC (kondisi standar). Dengan memanaskan larutan
pada suhu rentang 78oC-100oC akan mengakibatkan sebagian besar etanol menguap,dan
melalui unit kondensasi akan bisa dihasilkan etanol dengan konsentrasi 95% volume
(Bustaman, 2008).

II.4. Diagram Alir Kerja


1. Tahap Persiapan Bahan Baku dan Analisis Hidrolisis Bahan Baku
Biji sorgum manis

Penggilingan

Pengayakan (diayak
sampai 100 mesh)
Tepung Analisa Pati
Asam Klorida
Pemanasan (110oC)
0,1 N, 750 ml

Pendinginan (suhu
kamar)

Endapan
Penyaringan

Glukosa Analisa kadar glukosa pati sorgum


2. Fermentasi tepung sorgum (Glukosa)
Glukosa sorgum hasil proses hidrolisis

Yeast
Pencampuran (suhu
operasi 27oC 32oC)
waktu yang diamati
hari ke-3, hari ke-5,
dan hari ke-7

Etanol + Air

3. Proses distilasi etanol


Etanol + Air

Proses destilasi (pada


Cairan Air
suhu 90C)

Etanol
Analisis kadar etanol
II.5. Analsis Hasil
1. Analisis pati
Menimbang tepung biji sorgum seberat 100 gram dan dilarutkan dalam aquadest
selama 1 jam, kemudian menyaringnya dengan kertas saring dan dicuci dengan aquadest
sampai volume tertentu. Filtrat ini mengandung karbohidrat yang larut dan dibuang.
Residu dipindahkan dari kertas saring ke dalam Erlenmeyer dengan pencucian 200 ml
aquadest dan menambahkan 1 ml HCl 25% . Menutupnya dengan pendingin balik dan
memanaskan di atas waterbath selama 2,5 jam. Setelah dingin dinetralkan dengan larutan
NaOH 45% dan diencerkan sampai volume 500 ml kemudian disaring dan ditentukan
kadar gula dari filtrat yang diperoleh. (Sudarmadji S,dkk., 1997).

2. Analisis kadar air


Menimbang tepung sorgum sebanyak 1-2 gram dalam botol timbang yang telah
diketahui beratnya. Kemudian keringkan dalam oven pada suhu 100oC-105oC selama 3-5
jam tergantung bahanya. Kemudian diinginkan dalam eksikator dan ditimbang. Panaskan
lagi dalam oven 30 menit, diinginkan dalam eksikator dan ditimbang perlakuan ini
diulangi sampai tercapai berat konstan (selisih penimbangan berturut-turut kurang dari
0,2 mg). Pengurangan berat merupakan banyaknya air dalam bahan (Sudarmadji S, dkk.,
1984).

3. Analisa hidrolisis dengan metode Lane Eynon


Mengambil larutan sampel dan kemudian diencerkan lalu mengambil larutan
fehling A dan fehling B kemudian dimasukkan ke dalam Erlenmeyer. Mengisi buret
dengan larutan sampel dan menambahkan larutan dalam buret ke dalam Erlenmeyer.
Memanaskan larutan pada Erlenmeyer sampai mendidih dan tetap dididihkan selama 2
menit. Sambil tetap dipanaskan, menambahkan indikator methylene blue. Menitrasi
larutan dengan larutan hasil hidrolisis hingga warna biru hilang. Menghitung volume
larutan hasil hidrolisis yang digunakan untuk menitrasi. Mengulangi percobaan dan
menghitung volume rata-rata larutan hasil hidrolisis yang digunakan
100
=

Dengan :
G = total gula yang dibutuhkan untuk mereduksi larutan fehling, dicari dalam
Table Lane-Eynon (Tabel 4)
T = titer = larutan contoh (ml)
(Sudarmadji S, dkk., 1997)

4. Analisis Kadar Etanol


Dalam percobaan ini untuk menganalisis kadar etanol menggunakan metode
Kromatografi Gas Cair. Larutan sampel yang telah didestilasi masing-masing diambil 1
ml menggunakan mikropipet dan dimasukkan ke dalam labu ukur 50 ml, kemudian
ditambahkan 0,1 ml n-butanol dan diencerkan dengan aquades. Larutan ini masing-
masing diambil 1l dan disuntikkan ke dalam kolom melalui tempat injeksi. Luas puncak
etanol dan n-butanol dari kromatografi dihitung, kemudian dicari rasio luas puncak
etanol/n-butanol. Kadar etanol dalam sorgum ditentukan menggunakan kurva baku
(Sandhika, 2010).
II.6 Jadwal Kegiatan Penelitian

Kegiatan Minggu Ke -
Pembuatan proposal : 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
- Studi Pustaka
- Pembuatan
Proposal
- Revisi
Pelaksanaan Penelitian
Olah Data
Pembuatan Laporan
Seminar
Revisi Laporan
DAFTAR PUSTAKA
Abdurahman Dede. 2008. BIOLOGI: Kelompok Pertanian dan Kesehatan. Grafindo Media
Pratama.
Apriwinda. 2013. Studi Fermentasi Nira Batang Sorgum Manis (Sorghum bicolor (L) Moench)
Untuk Produksi Bioetanol. Program Studi Keteknikan Pertanian. Jurusan Teknologi
Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Hassanudin. Makassar.
Bustaman Sjahrul. 2008. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan: Kebijakan Pengembangan Bahan
Bakar Nabati (Bioetanol) Vol. XVI (1). Yayasan Obor Indonesia.
Dyah Tri Retno, Wasir Nuri. 2011. Pembuatan Bioetanol dari Kulit Pisang. Program Studi
Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Pembangunan Nasional
Veteran Yogyakarta.
Fauziah Vina. 2015. Pengaruh Variasi Konsentrasi Asam Dan Waktu Hidrolisis Terhadap
Produksi Bioetanol Dari Limbah Kulit Pisang Kepok Kuning (Musa balbisiana BBB).
Program Studi Farmasi. Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan. Jakarta.
Gaman, P.M., 1992, ILMU PANGAN: Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Gusmarwani Rahayu Sri, Budi Prasetyo Sri M., Sediawan Budi Wahyudi, Hidayat Muslikhin.
2010. Pengaruh Perbandingan Berat Padatan Dan Waktu Reaksi Terhadap GUla
Pereduksi Terbentuk Pada Hidrolisis Bonggol Pisang. Grup Riset Energi Biofuel
STTNAS & Jurusan Teknik Kimia Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
http://akademik.che.itb.ac.id/labtek/wp-content/uploads/2012/05/fer-teknik-fermentasi.pdf
(diakses tanggal 18 April 2015)
http://balitsereal.litbang.pertanian.go.id/images/stories/anis.pdf (diakses tanggal 18 April 2015)
http://balitsereal.litbang.pertanian.go.id/images/stories/asrgum2.pdf (diakses tanggal 8 Juni 2016)
http://digilib.unila.ac.id/1081/3/BAB%20II.pdf (diakses tanggal 18 April 2015)
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/42211/4/Chapter%20II.pdf (diakses tanggal 8
Juni 2016)
https://id.wikipedia.org/wiki/Sorgum (diakses tanggal 18 April 2015)

https://www.academia.edu/8164899/BAB_15._SORGUM (diakses tanggal 18 April 2015)


Listyono Dipo Rheza, 2011, Buku Petunjuk Praktikum Dasar Teknik Kimia II. Program Studi
Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Dipenogoro, Semarang.
Mardoni, Tjadrawati Yetty M.M., Perbandingan Metode Kromatografi Gas dan Berat Jenis Pada
Penetepan Kadar Etanol Dalam Minuman Anggur, Fakultas Farmasi, USD.
(https://www.scribd.com/doc/87198402/uji-kadar-etanol)
Meldha Zuqni, Chairul, & Amraini Said Zul. 2012. Produksi Bioetanol dari Pati Sorgum Dengan
Proses Sakarifikasi dan Fermentasi Serentak dengan Variasi Temperatur Liquifikasi,
Jurusan Teknik Kimia, Universitas Riau.
Muin Roosdiana, Lestari Dwi, & Sri Wulan Tri. 2014. Pengaruh Konsentrasi ASam Sulfat dan
Waktu Fermentasi Terhadap Kadar Bioetanol Yang Dihaslkan Dari Biji Alpukat.
Jurusan Teknik Kimia. Fakultas Teknik. Universitas Sriwijaya. Palembang.
Nurhayati, Asmara Anjar Purba, dkk. 2015. Rancangan Alat Distilasi dengan Mengaplikasikan
Self siphon pada Pemurnian Bioetanol Menggunakan Zeolit. Bandung
Prihandana Rama, Noerwijati Kartika, dkk. 2007. Bioetanol Ubi Kayu: Bahan Bakar Masa
Depan. PT. AgroMedia Pustaka. Jakarta.
Prihandana, Handoko. 2008. Energi Hijau: Pilihan Bijak Menuju Negeri Mandiri Energi.
Penebar Swadaya. Depok.
Pusat Studi Energi. 2011. Bioetanol Sekala UMKM dan Home Industry. Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta (http://pse.ugm.ac.id/?p=350)
Rakhmadani Agista Hijri, Sutrisno Endro, & Zaman Badrus. 2011. Studi Pemanfaatan Limbah
Makanan Sebagai Bahan Penghasil Etanol untuk Biofuel Melalui Proses Hidrolisis pada
Kecepatan Pengadukan dan Waktu Fermentasi yang Berbeda. Jurusan Teknik
Lingkngan. Fakultas Teknik Universitas Diponegoro. Semarang.
Riza Fahmi S, Salimatul Milati, 2009, Pembuatan Bioetanol dari Kulit Singkong . Program
Studi DIII Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Rochayana Fina & Kinkie Natasia Anggy. 2016. Pembuatan Bioetanol dari Nira SOrgum
dengan Proses Fermentasi menggunakan Mikroorganisme Saccharomyces cereviseae.
Program Studi Teknik Kimia. Fakultas Teknologi Industri. Universitas Pembangunan
Nasional Veteran Yogyakarta. Yogyakarta.
Sandhika Sudyadnyana Gde Made I., 2010, Penggunaan Metode Kromatografi Gas dan Berat
Jenis pada Penetapan Kadar Etanol dalam Minuman Anggur, Jurusan Kimia, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Udayana.
Sudarmadji S, dkk., 1984, Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan dan Pertanian (Edisi
Ketiga), LIBERTY, Yogyakarta.
Suprihatin. 2010. Teknologi Fermentasi. UNESA University Press.
Utama W. A., Legowo M. A., Al-Baarri N., A. 2013. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan Vol.2
No.2: Produksi Alkohol, Nilai pH, dan Produksi Ga Pada Bioetanol Dari Susu Rusak
Dengan Campuran Limbah Cair Tapioka. Indonesian Food Technologist Community.
Vogel C. Henry, Todaro L. Celeste. 1997. Fermentation and Biochemical Engineering
Handbook 2nd Edition.Noyes Publications. New Jersey.
Winarno, F.G., 1984, Pengantar Teknologi Pangan, PT Gramedia, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai