Disusun oleh:
PENDAHULUAN
Minyak bumi merupakan salah satu sumber energi yang tidak dapat diperbarui atau non
renewable. Keberadaannya hingga saat ini menempati urutan pertama sebagai sumber energi.
Salah satu turunan minyak bumi yang banyak digunakan dalam industri kecil dan rumah tangga
adalah minyak tanah. Upaya pemerintah untuk mengalihkan penggunaan minyak tanah ke bahan
bakar lain perlu didukung. Saat ini pengalihan penggunaan minyak tanah ke bahan bakar gas
banyak menemui kendala antara lain banyaknya kasus kebakaran yang disebabkan oleh bahan
bakar gas, karena sifat gas yang selalu memenuhi ruangan sehingga apabila terjadi percikan api
dalam kompor akan memicu kebakaran di sekitarnya.
Oleh karena itu pengalihan atau konversi minyak tanah tidak harus ke bahan bakar gas
tetapi juga dapat ke bioetanol yang bersifat lebih ramah lingkungan dan tidak membahayakan
lingkungan. Salah satu jenis bahan bakar yang sudah lama dikembangkan sebagai pengganti
bahan bakar minyak (BBM) adalah bioetanol yang dibuat dari biomassa (tumbuhan) melalui
proses biologi (fermentasi). Bioetanol dapat dengan mudah diproduksi dari tanaman - tanaman
yang mengandung gula. Diantaranya tetes tebu, nira bergula, sagu, jagung dan singkong. Dari
berbagai jenis tanaman yang dapat dijadikan sebagai sumber bahan baku bioetanol, salah satu
diantaranya adalah tanaman sorgum manis (sweet sorghum) (Tati, 2003).
Bioetanol adalah etanol yang diperoleh dari proses fermentasi bahan baku yang
mengandung pati atau gula. Bahan bakar nabati (BBN) ini digunakan sebagai pengganti
premium (gasoline). Etanol yang dapat digunakan sebagai bahan bakar nabati adalah alkohol
murni yang bebas air (anhydrous alcohol). Campuran premium menghasilkan emisi gas buang
yang lebih ramah terhadap lingkungan karena oksigennya dapat meningkatkan efisiensi
pembakaran. Bahan baku yang akan dijadikan penelitian kami adalah dengan menggunakan nira
dari batang sorgum untuk menghasilkan bioetanol melalui proses fermentasi menggunakan yeast
(ragi tape) Saccharomyces cereviseae, (Kartika noerwijati, 2007).
I.2. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, perumusan masalah yang dibahas dalam hal ini
adalah:
Tujuan penelitian ini adalah untuk membuat bioetanol dari pati sorgum dengan proses
fermentasi menggunakan mikroorganisme Saccharomyces cereviseae, variabel yang dipelajari
adalah pengaruh waktu fermentasi terhadap kadar alkohol yang dihasilkan dari larutan tersebut
dan pH terhadap yeast atau ragi demi memenuhi kebutuhan sebagai bahan bakar alternatif
sesuai aturan pakai dan kadar dari Bioetanol yang dapat digunakan sebagai bahan bakar, selain
dari Bahan Bakar Minyak (BBM).
I.4.1. Sorgum
Sorgum merupakan tanaman dari keluarga Poaceae dan marga Sorghum. Sorgum
sendiri memiliki 32 spesies. Diantara spesies-spesies tersebut, yang paling banyak
dibudidayakan adalah spesies Sorghum bicolor (japonicum). Tanaman yang lazim
dikenal masyarakat Jawa dengan nama Cantel ini sekeluarga dengan tanaman serealia
lainnya seperti padi, jagung, hanjeli dan gandum serta tanaman lain seperti bambu dan
tebu. Dalam taksonomi, tanaman-tanaman tersebu tergolong dalam satu keluarga besar
Poaceae yang juga sering disebut sebagai Gramineae (rumput-rumputan).
Sorgum adalah jenis serelia yang di Indonesia belum banyak dimanfaatkan
kegunaanya (Nurmala, 1998). Tanaman sorgum masih demikian kurang diminati, padahal
hasilnya dapat merupakan bahan pangan pengganti beras atau untuk diekspor
(Kartasapoetra, 1994).
Klasifikasi sorgum:
Kingdom : Plantae
Divisi : Magonoliophyta
Kelas : Lilopsida
Ordo : Poales
Familia : Poaceae
Genus : Sorghum
I.4.2. Pati
Pati atau amilum adalah karbohidrat kompleks yang tidak larut dalam air,
berwujud bubuk putih, tawar dan tidak berbau. Barangkali tidak ada satu senyawa
organik lain yang tersebar begitu luas sebagai kandungan tanaman seperti halnya pati.
Dalam jumlah besar, pati dihasilkan dari dalam daun-daun hijau sebagai wujud
penympanan sementara dari produk fotosintesis. Pati juga tersimpan dalam bahan
makanan cadangan permanen untuk tanaman, dalam biji, jari-jari teras, kulit batang, akar
tanaman menahun dan umbi. Pati merupakan 50-65% berat kering biji gandum dan 80%
bahan kering umbi kentang (Claus, et al., 1970).
Pati berbentuk granul atau butir-butir kecil dengan lapisan-lapisan yang
karakteristik. Lapisan-lapisan ini serta ukuran dan bentuk granul seringkali khas bagi
beberapa spesies tanaman sehingga dapat digunakan untuk identitas tanaman asalnya.
Secara umum pati terdiri dari 20% bagian yang larut air (amilosa) dan 80% bagian yang
tidak larut dalam air (amilopektin) (Claus, et al., 1970).
I.4.3. Bioetanol
Bioetanol (C2H5OH) adalah cairan biokimia pada proses fermentasi gula dari
sumber karbohidrat yang menggunakan bantuan mikroorganisme. Louis Pasteur pertama
kalinya mengenalkan metode fermentasi.
Sementara Gay-Lussac di tahun 1815 memformulasikan konversi glukosa menjadi etanol
dan karbon dioksida.
Saccharomyces cereviceae
C6H12O6 2C2H5OH + 2CO2
Secara umum, produksi bioetanol ini mencakup 3 rangkaian proses yaitu
persiapan bahan baku, fermentasi, dan pemurnian (Anonim, 2008).
Bioetanol dengan kadar 90-94% disebut bioetanol tingkat industri. Jika bioetanol
yang diperoleh berkadar 94-99,5% maka disebut dengan bioetanol tingkat netral.
Umumnya bioetanol jenis ini dipakai untuk campuran minuman keras, dan yang terakhir
adalah bioetanol tingkat bahan bakar. Kadar bioetanol tingkat ini sangat tinggi, minimal
99,5%.
Dewan Standarisasi Nasional (DSN) telah menetapkan Standar Nasional
Indonesia (SNI) untuk bioetanol. Saat ini ada dua jenis SNI bioetanol, yaitu SNI DT 27-
0001-2006 untuk bioetanol terdenaturasi dan SNI-06-3565-1994 untuk alkohol teknis
yang terdiri dari Alkohol Prima Super, Alkohol Prima I dan Alkohol Prima II. Alkohol
Prima Super memiliki kadar maksimum 96,8 % dan minimum 96,3 %, sedangkan Prima
I dan Prima II minimal 96,1 % dan 95,0 %. Semua diukur pada temperature 15oC (Pusat
Studi Energi, 2011).
Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Nomor
23204.K/10/DJM.S/2008, tanggal 24 Desember 2008, bahwa standar dan mutu
(spesifikasi) bahan bakar nabati (Biofuel) dengan jenis bioetanol sebagai bahan bakar lain
yang dipasarkan didalam negeri adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Spesifikasi bioetanol di Indonesia
I.4.4. Mikroorganisme
Pada proses fermentasi alkohol ada beberapa jenis mikroorganisme yang dapat
digunakan, yaitu sebagai berikut:
1. Bakteri: Clostiridium acetobuty-licum, Klebsiella penmoniae, Leuconoctoc
mesenteroides, Sarcina ventriculi, Zymomonas mobilis, dan lain-lain.
2. Yeast: Aspergillus oryzae, Endomyces latis, Kloeckera sp., Kluyreromyces fraglis,
Mucor sp., Neurospora crassa, Rhizopus sp., Saccharomyces beticus, Saccharomyces
cereviceae, Saccharomyces ellipsoideus, Saccharomyces oviformis, Saccharomyces
saki, Torula sp., dan lain-lain (Sudarmadji K, 1989).
Yeast sejak dulu berperan dalam fermentasi yang bersifat alkohol, dimana produk
utama metabolsmenya adalah etanol (Suprihatin, 2010).
Saccharomyces cereviseae lebih banyak digunakan untuk memproduksi alkohol
secara komersial dibandingkan dengan bakteri dan jamur. Hal ini disebabkan karena
Saccharomyces cereviseae dapat memproduksi alkohol dalam jumlah besar dan
mempunyai toleransi pada kadar alkohol yang tinggi. Kadar alkohol yang dihasilkan
sebesar 8-20% pada kondisi optimum. Saccharomyces cereviseae yang bersifat stabil,
tidak berbahaya atau menimbulkan racun, mudah di dapat dan malah mudah dalam
pemeliharaan. Bakteri tidak banyak digunakan untuk memproduksi alkohol secara
komersial, karena kebanyakan bakteri tidak dapat tahan pada kadar alkohol yang tinggi
(Sudarmadji K., 1989).
Pertumbuhan kultur mikroba umumnya dapat digunakan dalam suatu kurva
pertumbuhan. Pertumbuhan mikroba dapat terbagi dalam beberapa tahap, yakni:
1. Fase stationer adalah fase yang disebut fase adaptasi/lag phase. Pada saat ini mikroba
lebih berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan dan medium baru daripada
tumbuh ataupun berkembang biak.
2. Fase pertumbuhan dipercepat atau fase dimana mikroba sudah dapat menggunakan
nutrisi dalam medium fermentasinya. Pada fase ini mikroba bayak tumbuh dan
membelah diri sehingga jumlahnya dapat meningkat dengan cepat.
3. Fase eksponensial adalah akhir dase pertumbuhan dipercepat. Pada fase ini laju
pertumbuhan tetap pada laju pertmbuhan maksimum.
4. Fase pertumbuhan diperlambat mulai pada akhir fase eksponensial. Pertumbuhan
mikroba yang begitu cepat tidak diimbangi tersedianya nutrisi yang cukup. Jika
fermentasi dilakukan secara batch, dimana umpan nutrisi dimasukan hanya pada awal
proses fermentasi, pada waktu tertentu saat jumlah mikroba yang mengkonsumsi
nutrisi tersebut melebihi daya dukung nutrisi akan terjadi kekurangan nutrisi.
5. Fase kematian terjadi apabila nutrisi sudah benar-benar tidak dapat lagi mencukupi
kebutuhan mikroorganisme. Keadaan ini diperparah oleh akumulasi produk metabolit
primer dan sekunder yang tidak dipanen sehingga terus menginhibisi ataupun
merepresi pertumbuhan sel mikroorganisme. Selain itu umur sel juga sudah tua,
sehingga pertahan sel terhadap lingkungan yang berbeda dari kondisi biasanya juga
berkurang (Departemen Teknik Kimia ITB, 2012).
I.5. LANDASAN TEORI
1.5.1. Hidrolisis
Hidrolisis adalah proses antara reaktan dengan air agar suatu senyawa pecah
terurai. Reaksi Hidrolisis:
(C6H10O5)n + nH2O nC6H12O6
Polisakarida Air Glukosa
Reaksi antara pati dan air berlangsung sangat lambat sehingga dibutuhkan
katalisator untuk memperbesar kerektifan air. Katalisator bisa berupa asam dan enzim.
Katalisator yang dapat digunakan adalah asam korida, asam sulfat, dan asam nitrat.
Dalam industri umumnya digunakan enzim sebagai katalisator.
Terdapat berbagai macam metode hidrolisa yang dipakai yaitu hidrolisa asam dan
hidrolisa enzimatik yang banyak digunakan. Katalisator yang sering digunakan adalah
asam. Asam berfungsi sebagai katalisator dengan mengaktifkan air. Di dalam industri
asam yang dipakai adalah H2SO4 dan HCl. HCl lebih menguntungkan karena lebih reaktif
disbanding H2SO4. (Groggins, 1992)
Faktor-faktor yang berpengaruh pada hidrolis pati antara lain:
a. Suhu
Suhu memengaruhi jalanya reaksi hidrolisis, terutama pada kecepatan
reaksinya. Hidrolisis dari pati mengikuti persamaan reaksi orde satu dengan
kecepatan reaksi yang berbeda-beda untuk setiap jenis pati. Untuk kisaran
suhu 90oC-100oC. Dengan penggunaan suhu yang lebih tinggi, maka waktu
reaksi dapat diminimalkan (Groggins, 1958).
Menurut Meldha, dkk dalam penelitiannya mengenai pengaruh suhu
hidrolisis dilakukan analisis konsentrasi gula pada berbagai suhu yaitu pada
suhu 75C,85C,98C, dan 105C dan diperoleh kadar gula yang paling besar
adalah 14,001 g/l yaitu pada suhu 98C. Analisa tersebut dilakukan dengan
menggunakan metode Nelson somogy dengan spektrofotometer dan sinar
tampak. (Meldha dkk, 2012)
b. Waktu
Waktu reaksi mempengaruhi konversi yang dihasilkan. Semakin lama
waktu reaksi, maka semakin tinggi pula konversi yang dihasilkan. Hal ini
disebabkan oleh kesempatan zat reaktan untuk saling bertumbuhkan dan
bereaksi semakin besar, sehingga konversi yang dihasilkan semakin tinggi
(Perwitasari & Cahyo, 2009).
Menurut Fauziah dalam percobaanya mengenai pengaruh waktu hidrolisis
terhadap produksi bioetanol dari limbah kulit pisang kepok kuning, terdapat
tiga variasi waktu hidrolisis yang diuji yakni 120 menit, 150 menit, 180 menit
masing-masing pada suhu 100oC dan konsentrasi asam sulfat 0,8N. Kondisi
hidrolisis saat percobaan manunjukan bahwa waktu hidrolisis selama 180
menit menghasilkan kadar etanol yang tinggi, hal ini terjadi karena sampel
tersebut menggunakan konsentrasi asam tertinggi dan waktu pemanasan
terlama. Sehingga banyak polisakarida yang terpecah menjadi monosakarida
dan disakarida (Fauziah, 2015).
Monosakarida yang terbentuk akan mereduksi kuprioksida menjadi
kuprooksida. Dan banyaknya gula pereduksi yang terbentuk akan terbaca oleh
spektroskopi Uv-Vis saat percobaan setelah direaksikan dengan
aresenmolibdat dan membentuk molybdenum berwarna biru gelap. Sampel
inilah yang kemudian dilakukan fermentasi (Fauziah, 2015).
c. Perbandingan pereaksi
Perbandingan antara air dan pati yang tepat akan membuat reaksi
hidrolisis berjalan cepat. Penggunaan air yang berlebihan akan memperbesar
penggunaan energi untuk pemekatan hasil. Sebaliknya, jika pati berlebihan
tumbukan antara pati dan air akan berkurang sehingga mengurangi kecepatan
reaksi. Seperti yang terlihat pada persamaan Arhenius
= /
d. Konsentrasi katalisator
Penambahan katalisator bertujuan untuk memperbesar kecepatan reaksi.
Jadi semakin banyak katalisator yang digunakan maka semakin cepat reaksi
hidrolisis. Katalisator yang digunakan biasanya asam, yaitu asam klorida,
asam sulfat, asam nitrat, atau yang lainya. Apabila katalis ditambahkan dalam
reaksi maka energi aktivasi akan naik. Hal ini dapat dilihat dari persamaan
Arhenius berikut ini (Smith, 1987):
= /
e. Faktor Pengadukan
Pengadukan dilakukan untuk memperbesar probabilitas tumbukan
molekul-molekul reaktan yang bereaksi. Jika tumbukan antar molekul reaktan
semakin besar, maka kemungkinan terjadinya reaksi semakin besar pula. Hal
ini sesuai dengan persamaan Arrhenius dimana konstanta kecepatan reaksi K
akan semakin besar seiring terjadinya tumbukan yang disimbolkan dengan
konstanta A (Lavenspiel, 1987). Semakin cepat pengadukan maka semakin
cepat zat akan menjadi homogen.
Menurut Hijri, dkk. pada penelitian mengenai pembuatan bioetanol dari
limbah makanan berupa padatan menggunakan tiga varian kecepatan
pengadukan yakni 100 rpm, 150 rpm, dan 200 rpm. Pada percobaanya,
kecepatan pengadukan pada 150 rpm menghasilkan hasil yang optimum untuk
diatur pada pengadukan proses hidrolisis, pada kecepatan 200 rpm kadar
glukosa yang dihasilkan lebih rendah sehingga terjadi penurunan kadar
glukosa akhir. Frekuensi tumbukan antar molekul sangat tergantung pada
kondisi fisik dari reaktan (Hijri, 2011).
I.5.2. Fermentasi
Fermentasi adalah proses metabolisme yang menghasilkan energi dari gula dan
molekul organik lain serta tidak memerlukan oksigen atau sistem transfer elektron.
Fermentasi menggunakan molekul organik sebagai akhir aseptor elektronnya (Dede,
2008).
Fermentasi juga dapat diartikan sebagai proses yang memanfaatkan mikroba
untuk menghasilkan metabolit promer dan metabolit sekunder dalam suatu lingkungan
yang dikendalikan. Proses pertumbuhan mikroba merupakan tahap awal proses
fermentasi yang dikendalikan terutama dalam pengembangan inokulum agar dapat
diperoleh sel yang hidup.
Fermentasi berasal dari bahasa Latin fervere yang berarti mendidihkan. Seiring
perkembangan teknologi, definisi fermentasi meluas, menjadi semua proses yang
melibatkan mikroorganisme untuk menghasilkan suatu produk yang disebut metabolit
primer dan sekunder dalam suatu lingkungan yang dikendalikan. Pada mulanya istilah
fermentasi digunakan untuk menunjukkan proses pengubahan glukosa menjadi alkohol
yang berlangsung secara anaerob. Namun, kemudian istilah fermentasi berkembang lagi
menjadi seluruh perombakan senyawa organik yang dilakukan mikroorganisme yang
melibatkan enzim yang dihasilkannya. Dengan kata lain, fermentasi adalah perubahan
struktur kimia dari bahan-bahan organik dengan memanfaatkan agen-agen biologis
terutama enzim sebagai biokatalis.
Produk fermentasi dapat digolongkan menjadi 4 jenis, yaitu produk biomassa,
produk enzim, produk metabolit. dan produk transformasi (Departemen Teknik Kimia
ITB, 2012).
Proses fermentasi merupakan suatu proses pemecahan senyawa kompleks menjadi
senyawa yang sederhana. Dalam proses mikrobiologi, fermentasi dilakukan mikrobia
yang menghasilkan atau mempunyai enzim yang sesuai dengan proses tersebut.
Berdasarkan produk yang dihasilkan fermentasi digolongkan menjadi dua macam, yaitu
sebagai berikut :
1. Fermentasi alkoholis, yaitu fermentasi yang menghasilkan alkohol sebagai produk
akhir di samping produk akhir selain bahan lainnya. Misalnya pada pembuatan wine,
cider, dan tape.
2. Fermentasi non-alkoholis, yaitu fermentasi yang tidak menghasilkan alkohol sebagai
produk akhir selain bahan lainnya. Misalnya pada pembuatan tempe, antibiotika, dan
lain-lain.
Pada proses pembuatan bioetanol fermentasi sangat berperan penting. Adapun
faktor-faktor yang mempengaruhi proses fermentasi :
1. Waktu
Waktu yang dibutuhkan dalam proses fermentasi bioetanol adalah 2-3 hari. Waktu
yang sesuai akan menghasilkan etanol yang optimum. Semakin lama fermentasi kadar
alkohol yang dihasilkan akan optimum dan akhirnya akan menurun. Hal ini
disebabkan karena pada tahap awal sel khamir mulai memasuki fase eksponensial
dimana etanol sebagai metabolit primer dihasilkan, sedangkan tahap selanjutnya sel
khamir mulai masuk fase stasioner dan kematian sehingga alkhol yang dihasilkan
menurun (Apriwinda, 2013).
Menurut Rochayana & Kinkie pada percobaan pembuatan bioetanol dari nira
sorgum, waktu fermentasi yang dilakukan berlangsung Selama 7 hari. Dimana hasil
etanol dengan kadar optimum dihasilkan pada hari ke-3, setelah hari ke-4 sampai hari
ke-7 kadar etanol mulai menurun karena mikroba megalami fase stasioneri, dimana
mikroba yang tumbuh sama dengan mikroba yang mati sehingga tidak ada
penambahan jumlah mikroba yang akan mengubah substrat menjadi etanol
(Rochayana & Kinkie, 2016).
2. Keasaman pH
Nilai pH merupakan salah satu faktor penting yang perlu untuk diperhatikan pada
saat proses fermentasi. Oleh karena itu, pada awal pelaksanaan penelitian, substrat
yang akan dipakai terlebih dahulu diuji pHnya.
Tingkat keasaman sangat berpengaruh dalam perkembangan mikroorganisme.
Kondisi keasaman yang baik untuk bakteri adalah 4-5. (Winarno, 1984). Nilai pH
mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme.
Menurut Roukas (1994) dalam Jurnal Teknologi Pangan bahwa kisaran
pertumbuhan Saccharomyces cereviseae adalah pada pH 3,5-6,5. Pada kondisi basa
Saccharomyces cereviseae tidak dapat tumbuh. Disebutkan oleh Elevri dan Putra
(2006) dalam Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan, bahwa produksi etanol oleh
Saccharomyces cereviseae maksimal dapat dicapai pada pH 4,5 (Utama, dkk., 2013).
3. Mikroba
Fermentasi biasanya dilakukan dengan menggunakan kultur murni yang
dihasilkan di laboratorium. Kultur ini dapat disimpan dalam keadaan kering atau
dibekukan. Berbagai macam jasad renik dapat digunakan untuk proses fermentasi
antara lain yeast. Yeast tersebut dapat berbentuk bahan murni pada media agar-agar
atau dalam bentuk dry yeast yang diawetkan. (Winarno, 1984).
Proses pertumbuhan mikroba sangat dinamik dan kinteknya dapat digunakan
untuk meramal produksi biomassa dalam suatu proses fermentasi. Faktor-faktor yang
dapat menyebabkan berhentinya pertumbuhan mikroba antara lain:
a. Penyusutan konsentrasi nutrisi yang dibutuhkan dalam pertumbuhan mikroba
karena habis terkonsumsi.
b. Produk akhir metabolisme yang menghambat pertumbuhan mikroba karena
terjadinya inhibisi danrepresi (Departemen Teknik Kimia ITB, 2012)
4. Suhu
Suhu fermentasi sangat menentukan macam mikroba yang dominan selama
fermentasi. Tiap-tiap mikroorganisme memiliki suhu pertumbuhan optimal, yaitu
suhu yang memberikan pertumbuhan terbaik dan perbanyakan diri secara tercepat.
Pada suhu 30C mempunyai keuntungan terbentuk alkohol lebih banyak karena ragi
bekerja optimal pada suhu itu. (Winarno, 1984).
Menurut Apriwinda pada percobaan pembuatan etanol dari nira batang sorgum,
suhu optimum pada fermentasi saat percobaan adalah 30oC. Ini disebabkan karena
pertumbuhan mikroba yang digunakan, yaitu Saccharomyces cereviceae dapat
mekakukan aktivitasnya pada suhu 4oC-32oC dan dapat tumbuh optimum pada suhu
28oC-30oC (Apriwinda, 2013).
5. Oksigen
Udara atau oksigen selama proses fermentasi hatus diatur sebaik mungkin untuk
memperbanyak atau menghambat mikroba tertentu. Setiap mikroba membutuhkan
oksigen yang berbeda jumlahnya untuk pertumbuhan atau membentuk sel-sel baru
dan untuk fermentasi. Misalnya ragi roti (Saccharomyces cerevisae) akan tumbuh
lebih baik pada keadaan aerobik, tetapi akan melakukan fermentasi terhadap gula jauh
lebih cepat pada keadaan anaerobik. (Winarno, 1984).
Pada pembuatan bioetanol, dilakukan fermentasi secara anaerobik, ..
6. Makanan (untuk mikroorganisme)
Semua mikroorganisme memerlukan nutrient yang akan menyediakan:
a. Energi biasanya diperoleh dari subtansi yang mengandung karbon
b. Nitrogen untuk sintesis protein. Salah satu contoh sumber nitrogen yang dapat
digunakan adalah urea
c. Mineral yang dipergunakan mikroorganisme salah satunya adalah asam
phospat yang dapat diambil dari pupuk NPK
d. Vitamin, sebagian besar sumber karbon dan nitrogen alami sudah mengandung
semua atau beberapa vitamin yang dibutuhkan mikroorganisme (Gaman,
1992).
I.5.3. Distilasi
Distilasi dilakukan untuk memisahkan etanol dari beer (sebagian besar adalah air
dan etanol). Titik didih etanol murni adalah 78C sedangkan air adalah 100C (kondisi
standar). Dengan memanaskan larutan pada suhu rentang 78-100C akan mengakibatkan
sebagian besar etanol menguap, dan melalui unit kondensasi akan bisa dihasilkan etanol
dengan konsentrasi 95% volume (LIPI, 2008).
I.7. HIPOTESA
Dari percobaan yang akan dilakukan dapat dilihat berupa kemungkinan bahwa:
1. Dengan waktu fermentasi yag sesuai maka akan didapatkan kadar etanol yang tinggi
2. Dengan nilai pH yang sesuai maka akan didapatkan kadar etanol yang tinggi.
BAB II
METODOLOGI PENELITIAN
Keterangan:
1. Penutup
2. Erlenmeyer
3. Selang
4. Tabung
Penggilingan
Pengayakan (diayak
sampai 100 mesh)
Tepung Analisa Pati
Asam Klorida
Pemanasan (110oC)
0,1 N, 750 ml
Pendinginan (suhu
kamar)
Endapan
Penyaringan
Yeast
Pencampuran (suhu
operasi 27oC 32oC)
waktu yang diamati
hari ke-3, hari ke-5,
dan hari ke-7
Etanol + Air
Etanol
Analisis kadar etanol
II.5. Analsis Hasil
1. Analisis pati
Menimbang tepung biji sorgum seberat 100 gram dan dilarutkan dalam aquadest
selama 1 jam, kemudian menyaringnya dengan kertas saring dan dicuci dengan aquadest
sampai volume tertentu. Filtrat ini mengandung karbohidrat yang larut dan dibuang.
Residu dipindahkan dari kertas saring ke dalam Erlenmeyer dengan pencucian 200 ml
aquadest dan menambahkan 1 ml HCl 25% . Menutupnya dengan pendingin balik dan
memanaskan di atas waterbath selama 2,5 jam. Setelah dingin dinetralkan dengan larutan
NaOH 45% dan diencerkan sampai volume 500 ml kemudian disaring dan ditentukan
kadar gula dari filtrat yang diperoleh. (Sudarmadji S,dkk., 1997).
Kegiatan Minggu Ke -
Pembuatan proposal : 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
- Studi Pustaka
- Pembuatan
Proposal
- Revisi
Pelaksanaan Penelitian
Olah Data
Pembuatan Laporan
Seminar
Revisi Laporan
DAFTAR PUSTAKA
Abdurahman Dede. 2008. BIOLOGI: Kelompok Pertanian dan Kesehatan. Grafindo Media
Pratama.
Apriwinda. 2013. Studi Fermentasi Nira Batang Sorgum Manis (Sorghum bicolor (L) Moench)
Untuk Produksi Bioetanol. Program Studi Keteknikan Pertanian. Jurusan Teknologi
Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Hassanudin. Makassar.
Bustaman Sjahrul. 2008. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan: Kebijakan Pengembangan Bahan
Bakar Nabati (Bioetanol) Vol. XVI (1). Yayasan Obor Indonesia.
Dyah Tri Retno, Wasir Nuri. 2011. Pembuatan Bioetanol dari Kulit Pisang. Program Studi
Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Pembangunan Nasional
Veteran Yogyakarta.
Fauziah Vina. 2015. Pengaruh Variasi Konsentrasi Asam Dan Waktu Hidrolisis Terhadap
Produksi Bioetanol Dari Limbah Kulit Pisang Kepok Kuning (Musa balbisiana BBB).
Program Studi Farmasi. Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan. Jakarta.
Gaman, P.M., 1992, ILMU PANGAN: Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Gusmarwani Rahayu Sri, Budi Prasetyo Sri M., Sediawan Budi Wahyudi, Hidayat Muslikhin.
2010. Pengaruh Perbandingan Berat Padatan Dan Waktu Reaksi Terhadap GUla
Pereduksi Terbentuk Pada Hidrolisis Bonggol Pisang. Grup Riset Energi Biofuel
STTNAS & Jurusan Teknik Kimia Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
http://akademik.che.itb.ac.id/labtek/wp-content/uploads/2012/05/fer-teknik-fermentasi.pdf
(diakses tanggal 18 April 2015)
http://balitsereal.litbang.pertanian.go.id/images/stories/anis.pdf (diakses tanggal 18 April 2015)
http://balitsereal.litbang.pertanian.go.id/images/stories/asrgum2.pdf (diakses tanggal 8 Juni 2016)
http://digilib.unila.ac.id/1081/3/BAB%20II.pdf (diakses tanggal 18 April 2015)
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/42211/4/Chapter%20II.pdf (diakses tanggal 8
Juni 2016)
https://id.wikipedia.org/wiki/Sorgum (diakses tanggal 18 April 2015)