Anda di halaman 1dari 9

KONSEP PENGELOLAAN MANGROVE BERKELANJUTAN DAN

TERPADU DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN

Indonesia beruntung memiliki jutaan hektar Hutan Mangrove. Selain


berfungsi ekologis sebagaimana hutan di daratan, mangrove memiliki
keistimewaan lain karena posisinya yang berada di wilayah pencampuran antara
daratan dan lautan. Dengan posisi demikian, jenis fauna dan flora yang
dimilikinya menjadi sangat beragam karena merupakan perpaduan antara jenis
yang terdapat di kedua wilayah tersebut.

Hutan mangrove memiliki kekayaan yang tak ternilai harganya. Nilai fisik
didatangkan dari jenis pepohonan, hewan dan tanaman lainnya yang bisa diambil
kayunya, daging, buah-buahan hingga dedaunan yang berkhasiat untuk kesehatan,
bahan pangan bagi manusia dan pakan bagi ternak. Menurut Republika (2002) dan
Ruitenbeek (1992) dalam Setyawan et al (2003a), Total Economic Value (TEV)
ekosistem mangrove per tahun di Pulau Madura Rp 49 trilyun, Irian Rp 329
trilyun, Kalimantan Timur Rp 178 trilyun, Jawa Barat Rp 1,357 trilyun.
Sedangkan untuk seluruh Indonesia diperkirakan bernilai Rp 820 trilyun.
Pemanfaatan secara tradisional ekosistem mangrove di teluk Bintuni Irian yang
luasnya mencapai 300.000 ha diperkirakan menghasilkan Rp. 100 milyar/ tahun
plus perikanan Rp. 350 milyar/tahun dan kayu Rp. 200 milyar/tahun. Selain nilai
fisik tersebut, mangrove memberikan pelayanan jasa lingkungan seperti roteksi
garis pantai dari hempasan gelombang, proteksi dari tiupan angin kencang,
memperbaiki kualitas air, mengendalikan intrusi air lautan dan fungsi lainnya
yang bersifat intangible.

Namun pengelolaan Mangrove di Indonesia belum dilakukan secara


berkelanjutan dan terpadu. Akibatnya terjadi kerusakan parah sehingga dalam
waktu 11 tahun (1982-1993), Indonesia kehilangan 50% dari luasan 5.209.543 ha
hutan mangrove pada tahun 1982.

Menurut Setyawan et al (2003a), penurunan luasan hutan mangrove


disebabkan oleh reklamasi untuk membangun tambak udang, ikan, dan garam,

1
penebangan hutan , pertambangan, pencemaran, pembendungan sungai, pertanian,
bencana alam serta tumpahan minyak. Hal inilah yang mendorong terjadinya
intrusi air laut dan erosi pantai, sehingga menurunkan produktivitas perairan
pantai

Jika kegiatan pembangunan terus dilakukan tanpa memperhatikan konsep


berkelanjutan maka Indonesia berpotensi kehilangan seluruh hutan mangrovenya.
Maka itu diperlukan suatu konsep pengelolaan hutan mangrove yang benar-benar
bisa menjamin keberlanjutan hutan mangrove sehingga generasi yang akan datang
bisa menikmati jasa lingkungan dari hutan rawa ini.

Bagaimanakah konsep pengelolaan mangrove yang terpadu dan bisa


menjamin keberlanjutannya? Siapa sajakah aktor yang terlibat dalam pengelolaan
mangrove tersebut? Makalah ini akan berusaha menguraikan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan tersebut.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep dan Defenisi: Hutan Mangrove, Berkelanjutan, dan Terpadu

Hutan mangrove atau Mangal atau hutan pasang surut menurut Setyawan
et al (2003a) merupakan sejumlah komunitas tumbuhan pantai tropis dan sub-
tropis yang didominasi tumbuhan bunga terestrial berhabitus pohon dan semak
yang dapat menginvasi dan tumbuh di kawasan pasang surut dengan salinitas
tinggi. Sedangkan menurut Kusmana et al (2003), hutan mangrove merupakan
suatu tipe hutan di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai (di daerah pasang
surut) yang tergenang pada saat pasang dan bebas genangan saat surut yangmana
komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. Ekosistem mangrove
terdiri atas organisme (tumbuhan dan hewan) yang berinteraksi dengan faktor
lingkungan dan dengan sesamanya di dalam suatu habitat mangrove.

Pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan mengacu kepada konsep


pembangunan berkelanjutan seperti termuat dalam UU No. 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup , yaitu upaya sadar dan
terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke

2
dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta
keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan
generasi masa depan. Terlihat bahwa intinya berada pada integrasi tiga pilar
konsep pembangunan berkelanjutan yaitu dimensi ekonomi, ekologi dan sosial
sehingga memberikan jaminan akan keberadaan mangrove untuk dinikmati bagi
semua generasi di bumi.

Sebagai bagian dari wilayah pesisir, pengelolaan mangrove secara terpadu


dapat mengacu kepada pengertian dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 27
Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, yaitu
pengelolaan yang mengintegrasikan kegiatan: (a) antara Pemerintah dan
Pemerintah Daerah; (b). antar-Pemerintah Daerah; (c). antarsektor; (d). antara
Pemerintah, dunia usaha, dan Masyarakat; ( e ). antara Ekosistem darat dan
Ekosistem laut; dan (f). antara ilmu pengetahuan dan prinsip-prinsip manajemen.

2.2. Permasalahan Mangrove

Seperti telah disinggung di atas, kerusakan mangrove di Indonesia


umumnya disebabkan reklamasi, penebangan kayu, penambangan dan
pencemaran. Hal ini memerlukan langkah rehabilitasi agar mangrove kembali
memberikan jasa lingkungan kepada masyarakat di sekitarnya. Menurut Setyawan
et al (2003b), rehabilitasi adalah suatu langkah strategi manajemen untuk
mencegah degradasi suatu lanskap sehingga menjadi bermanfaat bagi
lingkungannya.

Kementrian Kehutanan RI (2013) mengungkap bahwa lebih 50% hutan


mangrove Indonesia dalam keadaan rusak dan ini menyebabkan merosotnya
biodiversitas dan jasa lingkungan ekosistem mangrove akibat perubahan fungsi
lahan sehingga meningkatkan risiko bencana. Dari segi sosial ekonomi
pengelolaan mangrove berkelanjutan menjadi sulit karena : (a) Perbedaan
pemahaman tentang nilai dan fungsi ekosistem mangrove dan pentingnya upaya
rehabilitasi; (b). Partisipasi masyarakat lokal belum optimal; (c) Sebagian besar
masyarakat di sekitar ekosistem mangrove tergolong miskin; (d). Kegiatan

3
pemanfaatan ekosistem mangrove ramah lingkungan belum berkembang dan (e ).
Pertumbuhan penduduk tinggi dan aktivitas ekonomi memicu alih fungsi lahan.

Sedangkan menyangkut kelembagaan pengelolaan mangrove terdapat


permasalahan : (a). belum efektifnya koordinasi diantara lembaga terkait dalam
pengelolaan ekosistem mangrove ; (b). Kebijakan antar sektor dalam pengelolaan
ekosistem mangrove masih belum sinergis; (c). Kelembagaan pemerintah dan
masyarakat belum berkembang dan berfungsi secara optimal; (d). Kurangnya
kapasitas pemerintah pusat dan daerah serta stakeholder terkait dalam
menginterpretasikan dan mengimplementasikan kebijakan pengelolaan ekosistem
mangrove; dan (e). data ekosistem mangrove belum terintegrasi secara nasional.
Pada bidang perundundang-undangan Indonesia asih menghadapi masalah
lemahnya penegakan hukum serta kurang terintegrasi dan terimplementasikannya
regulasi tentang pengelolaan mangrove.

III. DISKUSI DAN PEMBAHASAN

Pengelolaan hutan mangrove di Indonesia saat ini diarahkan kepada


rehabilitasi karena banyaknya kawasan yang rusak sehingga jika kegiatan tersebut
berhasil, diharapkan dapat mengembalikan fungsi ekologisnya untuk
menyediakan jasa lingkungan bagi masyarakat sekitarnya dan bagi masyarakat
yang berada di luar kawasan tersebut. Namun kegiatan rehabilitasi tersebut tidak
bisa mengabaikan isu-isu ekonomi dan soaial terkait kehadiran masyarakat di
sekitarnya.

Melibatkan masyarakat dalam pengelolaan Mangrove sangat penting


karena dapat menjadi faktor sukses dari pengelolaan itu sendiri, sebagaimana
terbukti pada beberapa kegiatan rehabilitasi mangrove di daerah Sinjai Sulawesi
Selatan (Irawanti dan Kuncoro, tanpa tahun) dan Aceh (Kusmana dan Samsuri,
2009). Pelibatan masyarakat juga dilakukan di banyak negara seperti Vietnam dan
Bangladesh (Islam, tanpa tahun ).

Menurut Kementrian Kehutanan (2013) menyebutkan pengelolaan


ekosistem mangrove berbasis masyarakat merupakan bagian dari kebijakan
Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove guna meningkatkan

4
pendapatan masyarakat dan mendukung pembangunan yang berkelanjutan.
Pengelolaan mangrove harus mengikuti azas: (1). Transparansi, yaitu bisa diakses
oleh semua pihak untuk ditinjau ulang; (2). Partisipatif, yaitu mengakomodasi
semua komitmen stakeholders dan dapat diterapkan secara partisipatif ; (3).
Akuntabilitas, yaitu disosialisasikan kepada publik dan dikaji secara menyeluruh,
ilmiah serta dapat dipertanggungjawabkan; (4). Responsif, yaitu mampu
mengantisipasi perubahan komitmen lokal, nasional dan global terhadap
ekosistem mangrove; (5). Efisiens, yaitu mempunyai kemampuan untuk
menserasikan kebijakan (Pusat dan Daerah) secara harmonis; (6). Efektif, yaitu
dapat dilaksanakan tepat sasaran oleh para pihak baik pemangku kepentingan
maupun masyarakat ; dan (7) Berkeadilan, yaitu mampu memberikan manfaat
sesuai dengan tanggung jawab masing-masing pihak yang terlibat.

Faktor lain yang penting diperhatikan dalam pengelolaan mangrove


berkelanjutan adalah pengakuan terhadap masyarakat adat dan kearifan lokal yang
dimilikinya. Menurut UU Nomor 32/2009, nilai-nilai luhur yang berlaku dalam
tata kehidupan masyarakat perlu dihidupkan kembali guna melindungi dan
mengelola lingkungan hidup secara lestari.

Sedangkan mengacu kepada Kementrian Kehutanan (2013) keterpaduan


dalam pengelolaan mangrove direalisasikan dengan cara :

1. Pengelolaan ekosistem mangrove sebagai bagian integral dari pengelolaan


wilayah pesisir terpadu dan pengelolaan DAS (Daerah Aliran Sungai).

2. Memperkuat komitmen politik dan dukungan kuat pemerintah, pemerintah

daerah, dan para pihak.

3. Koordinasi dan kerjasama antar instansi dan para pihak terkait secara vertical
dan horizontal.

4. Peningkatan kapasitas Pemerintah Daerah dalam melaksanakan kewenangan


dan kewajiban pengelolaan ekosistem mangrove sesuai dengan kondisi dan
aspirasi lokal.

5. Pengembangan riset, iptek dan sistem informasi yang diperlukan untuk


memperkuat pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan.

5
6. Pengelolaan ekosistem mangrove melalui pola kemitraan antara pemerintah,
pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat dengan dukungan lembaga
dan masyarakat Internasional, sebagai bagian dari upaya mewujudkan
komitmen lingkungan global.

Keterpaduan pengelolaan mangrove dalam konteks wilayah dikenal


dengan istilah ekoregion, yang dalam UU nomor 32/2009 diterjemahkan sebagai
wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora, dan fauna
asli, serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas
sistem alam dan lingkungan hidup. Konsep ini sulit diterapkan di Indonesia
karena pembagian wilayah admnistrasi yang tidak memperhatikan kesamaan
karakteristik kawasan. Akibatnya pembangunan di suatu wilayah administrasi
berpotensi merusak kawasan di wilayah administrasi lainnya karena perencanaan
dan pelaksanakan pembangunan yang tidak terintegrasi dengan baik.

Kusmana (2010) menganjurkan pentingnya pengelolaan mangrove yang


rasional, Mangrove harus dimanfaatkan berdasarkan prinsip keberlanjutan dan
untuk tujuan beragam ( multipurpose) sesuai dengan diversitas dan potensi
sumberdaya dan jasa lingkungan yang dapat disediakan, sebagaimana dijelaskan
pada gambar berikut.

Gambar 1 Multi-Use Pengelolaan Wilayah Pesisir (sumber: Kusmana, 2010)

6
Selanjutnya Kusmana (2010) menjelaskan pengelolaan mangrove harus
dapat dipanen secara berkelanjutan dan dipertahankan secara alami seperti
semula. Preservasi sebagian areal mangrove yang betul-betul tidak terganggu
(pristine mangrove forest) seharusnya diperjuangkan atau dialokasikan sehingga
jika suatu pengelolaan mengalami kegagalan yang menyebabkan kerusakan
bahkan hilangnya mangrove tersebut, bagian pristine mangrove forest dapat
menjadi penyelamat kondisi tersebut. Ekosistem mangrove harus dikelola
berdasarkan pada paradigma ekologi yang meliputi prinsip-prinsip
interdependensi antar unsur ekosistem, sifat siklus dari proses ekologis,
fleksibilitas, diversitas dan koevolusi dari organisme beserta lingkungannya dalam
suatu unit fisik DAS.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

Pengelolaan mangrove secara berkelanjutan dan terpadu bertujuan untuk


menjamin keberadaan mangrove lestari yang dapat dinikmati oleh semua generasi
dan mengintegrasikan perencanaan hulu dan hilir dan kepentingan seluruh
stakeholders. Pengelolaan ini bukan semata berorientasi ekologis, namun harus
memperhatikan aspek sosial dan ekonomi karena menyangkut manusia yang
hidup di sekitarnya yang tidak bisa dilepaskan dari kepentingan sosial dan
ekonomi tersebut.

Pengalaman masa lalu menunjukkan kerusakan mangrove tidak dapat


dipisahkan dari aktivitas masyarakat di sekitarnya. Paradigma lama yang bersifat
top-down terbukti tidak berhasil, bahkan memicu kerusakan lebih luas karena
kurang memedulikan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Jika masyarakatnya
tidak sejahtera maka mangrove berpotensi untuk rusak lebih cepat. Guna
meningkatkan kepedulian masyarakat untuk menjaga mangrove, Kementrian
Kehutanan mengembangkan pengelolaan mangrove berbasis masyarakat sebagai
strategi nasional pengelolaan hutan mangrove.

7
4.2. Saran

1. pengelolaan mangrove saat ini yang masih terpisah antara satu wilayah
administrasi dengan wilayah administrasi lainnya harus dipadukan agar
tercapai efisiensi pengelolaan dan menghindari dampak negative proses
pembangunan yang tidak menghiraukan konsep ekoregion.

2. pengeloaan mangrove bertujuan konservasi harus dipadukan dengan tujuan


untuk kesejahteraan masyarakat sehingga masyarakat memiliki insentif untuk
melindungi kawasan mangrove dari kerusakan.

3. pemahaman masyarakat tentang manfaat hutan mangrove sebagai penghasil


kayu harus dikembangkan kepada hal-hal yang lebih luas dengan menggali
manfaat ekonomi lainnya (non kayu). Hal ini harus dimulai dari penelitian
dan pengembangan manfaat mangrove yang bersifat aplikasi dan tepat guna
sehingga dapat dikerjakan oleh masyarakat. Mengembangkan perhatian
kepada manfaat non kayu juga akan mencegah/mengurangi kegiatan illegal
logging di hutan mangrove.

4. pencemaran pada kawasan mangrove tidak hanya diakibatkan oleh kegiatan


di laut, tapi sangat dipengaruhi oleh aktivitas di daratan sehingga perencanaan
pembangunan yang memperhatikan integrasi hulu dan hilir sangat penting
untuk mencegah meningkatnya pencemaran yang berakibat pada kematian
tanaman dan biodiversitas kawasan mangrove.

DAFTAR PUSTAKA

Irawanti S dan Kuncoro A. tanpa tahun. Rehabilitasi Mangrove Secara Swadaya:


Belajar Dari Masyarakat Sinjai, diunduh tanggal 15 Mei 2014, tersedia
pada http:// puslitsosekhut.web.id.

Islam M.M. Coastal Forest Rehabilitation And Management in Bangladesh,


diunduh tanggal 15 Mei 2014, tersedia pada
http://www.fao.org/forestry/12669-
09d3e208c72f517f191a02fed14d9bb8a.pdf

8
Kementrian Kehutanan RI. 2013. Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem
Mangrove Indonesia. Jakarta: Kementrian Kehutanan RI.

Kusmana C dan Samsuri. 2009. Rehabilitas Mangrove Pada Tapak-Tapak Yang


Khusus, diunduh tanggal 14 Mei 2014, tersedia pada
http://cecep_kusmana.staff.ipb.ac.id/files/2011/01/2009-Mangrove-
Rehabilitasi-Mangrove-Tapak-Khusus.pdf

Kusmana C, Wilarso S, Hilwan I, Pamoengkas P, Wibowo C, Tiryana T,


Triswanto A, Yunasfi dan Hamzah. 2003. Teknik Rehabilitasi Mangrove.
Fak. Kehutanan IPB.

Kusmana C. 2010. Konsep Pengelolaan Mangrove Yang Rasional, diunduh


tanggal 31 Mei 2014 tersedia pada http://cecep_kusmana.staff.ipb.ac.id/
files/2011/01/2010- PAPER-KONSEP-PENGELOLAAN-MANGROVE-
YANG-RASIONAL.pdf

Setneg RI. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007


Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil . Jakarta:
Setneg RI.

Setneg RI. 2009. UU RI No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta: Setneg RI.

Setyawan AD, Winarno K dan Purin CP. 2003a.Ekosistem Mangrove di Jawa:


Kondisi Terkini. Jurnal Biodiversitas Vol.4 (2)

Setyawan AD, Winarno K dan Purin CP. 2003b. Ekosistem Mangrove di Jawa:
Restorasi. Jurnal Biodiversitas Vol.5 (2)

Anda mungkin juga menyukai