Anda di halaman 1dari 2

3.

Kitab Shahih Muslim

a. Latar Belakang Penyusunan Kitab Shahih Muslim

Bagi Imam Muslim, sekurang-kurangnya ada dua alasan pokok yang melatarbelakangi dan
memotivasi penyusunan kitab haditsnya. Kedua alasan tersebut adalah (1). Karena pada masanya
masih sangat sulit mencari referensi koleksi hadits yang memuat hadits-hadits shahih dengan
kandungan yang relative komprehensif dan sistematis dan (2). Karena pada masanya terhadap kaum
Zindiq yang selalu berusaha membuat dan menyebarkan sejumlah cerita hadits palsu serta
mencampuradukkan antara hadits-hadits yang shahih dan yang tidak shahih.

b. Penamaan Kitab Shahih Muslim

Nama asli kitab ini adalah Al-Musnad Ash-Shahih Al-Mukhtashar Minas-Sunan Bin-Naqli
Al-‘Adl ‘Anil ‘Adl ‘An Rasulillah. Dalam bahasa kita kurang lebih maknanya, ‘Hadits shahih yang
bersambung rantai sanadnya, teringkas dari hadits-hadits (yang sangat banyak), dari penukilan
orang-orang yang terpercaya, sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam’. Hal ini sesuai
dengan nama kitabnya al-Jāmi’ al- Shaḥīh li Muslim yang mana maksudnya adalah kitab hadis yang
memuat hadis-hadis Shaḥīh saja dan terlebih di dahulu telah diseleksi oleh penulisnya. Di samping
itu, penulisan Shaḥīh Muslim juga dikarenakan Imām Muslim ingin menulis kitab hadis yang berbeda
metode dan kriteria dengan kitab-kitab sebelumnya seperti Shaḥīh al-Bukhārī dan Musnad Imām
Ahmad bin Hanbal atau Muwaṭṭa’ Imām Mālik.

c. Isi Kitab Shahih Muslim


d. Sitematika Kitab

Kitab shahih Muslim karya Imam Muslim dalam sistematika penulisannya dimulai dengan
pendahuluan (muqaddimah) dengan menguraikan pembagian dan macam-macam hadits, hadits-
hadits yang dimuat dalam kitab shahihnya, keadaan para periwayatnya, penjelasan tentang larangan
berdusta atas nama Rasulullah saw., anjuran agar berhati-hati dalam meriwayatkan hadits dan
larangan meriwayatkan hadits yang lemah serta menerangkan bahwa sanad merupakan bagian dari
agama. SetelahSetelah muqaddimah, beliau kemudian mengelompokkan hadits dalam suatu tema
tertentu dan masalah pada topik tertentu pula. Secara garis besar urutan dalam kitab ini adalah
sebagi berikut dimulai dengan kitab iman, ibadah, muamalah, jihad, makanan dan minuman,
pakaian, adab dan keutamaan-keutamaan serta diakhiri dengan kitab tafsir. Dari sistematika di atas,
dapat diketahui bahwa Imam Muslim melakukan beberapa hal yang agak berbeda dengan
sistematika kitab-kitab (model sunan) koleksi hadits lainnya, yaitu dengan memisahkan kitab sifat al-
munafiq dari kitab al-iman, kitab al-ilm ditempatkan pada posisi akhir dan hadits-hadits tentang adab
diperinci menjadi beberapa kitab

 Metode Kitab Dan Kualitas Hadis-hadisnya

Dalam menyusun kitabnya, Imam Muslim menggunakan metode yang bagus sekali. Beliau
menghimpun matan-matan hadits yang senada atau satu tema lengkap dengan sanad-sanadnya
pada satu tempat, tidak memisah-misahkan dalam beberapa bab yang berbeda serta tidak
mengulang-ulang penyebutan hadits kecuali dalam jumlah sedikit karena adanya kepentingan yang
mendesak seperti untuk menambah manfaat pada sanad atau matan hadits.

Selain itu, Imam Muslim sering menggunakan penjelasan makna ketika terdapat seorang
periwayat hadits yang berbeda dengan periwayat lainnya dalam menggunakan redaksi padahal
makna dan tujuannya sama. Demikian pula bila periwayat meriwayatkan hadits dengan kata ‫ حدثنا‬dan
periwayat lainnya menggunakan kalimat ‫ أخربنا‬, maka beliau juga menjelaskan perbedaan diantara
keduanya.Dalam menyusun dan memasukkan hadits-hadits ke dalam kitab Shahih Muslimnya, Imam
Muslim tidak menjelaskan syarat tertentu secara eksplisit. Namun ketika melihat keterangan beliau
dalam muqaddimah shahihnya, sebagaimana dikemukakan oleh Imam Nawawi dalam syarahnya
dapat disimpulkan mengenai syarat-syarat yang digunakan dalam kitab shahihnya menjadi tiga
katagori, yaitu; (1). Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para periwayat yang adil dan dhabit, (2).
Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para periwayat yang tidak diketahui keadaannya (mastur) dan
kekuatan hafal/ingatannya sedang-sedang saja. Dan (3). Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para
periwayat yang lemah (hafalannya). Dari ketiga katagori tersebut, Imam Muslim lebih memilih dan
condong pada katagori pertama dan pernah pula beliau memasukkan katagori dalam kitab
shahihnya.

Secara umum, berdasarkan data-data yang ada, jumhūr al-muḥaddithīn menilai Shaḥīh al-
Bukhārīberada pada peringkat kedua. Sementara sebahagian kecil lainnya dari kalangan
muḥaddithīn, demikian pula kalangan pakar peneliti hadis menilai Shaḥīh Muslim lebih utama dari
Shaḥīh a-Bukhārī. Adapun argumen yang mereka majukan sebagai berikut:

1. Dalam menghimpun hadis, Imām Muslim mengumpulkan hadis yang berbeda sanad dan
matan di dalam satu tema tertentu. Sehingga membantu orang-orang yang hendakmerujuk kepada
hadis-hadis tersebut atau yang hendak mengistimbatkan hukum dari padanya, sedangkan Imām al-
Bukhārī memilah-milahnya dalam beberapa kitab dan menempatkannya dalam bab-bab yang
terpencar-pencar.

2. Imām Muslim menyusun kitab Shaḥīh di negerinya, di hadapan sumber aslinya, yaitu
ketika sebahagian besar gurunya masih hidup. Karena itu dia sangat berhati-hati sekali dalam
memelihara lafadz-lafadz hadis yang diterimanya dan meneliti susunan kalimatnya.

3. Menurut sebahagian ulama hadis, Imām Muslim mempunyai kelebihan dari Imām al-
Bukhārī. Karena Imām al-Bukhārī menurut sebagian muḥaddithīn (terutama ahli hadis dari Syam)
terkadang berbuat kekeliruan. Contohnya Imām al-Bukhārī mengutip kitab-kitab mereka lalu
menganalisanya, kemudian ia menyebut salah satu ahli hadis Syam itu dengan kuniyah saja. Pada
bahagian lain uraiannya Imām al-Bukhārī menyebutkan nama aslinya. Hal ini mengakibatkan timbul
dugaan bahwa hadis itu diterima dari dua orang. Sementara itu Imām Muslim sangat jarang sekali
melakukan hal yang demikian.

Anda mungkin juga menyukai