Anggang Dari Laut (Pinto Anugrah)
Anggang Dari Laut (Pinto Anugrah)
"Pergilah! Ikuti aliran batang Kuantan itu, kelak kau akan bertemu ujungnya, di mana air
akan terasa asin di lidahmu. Muara dengan riak ombak yang mendesir, nyanyian yang
mendayu-dayu, yang membuat hati pilu dan layu. Ya, di sanalah tanah Melayu. Carilah
ayahmu! Ia berdiam di laut yang sedidih hingga teratak berair hitam, tempat buaya putih
tengkuk. Anggang, itulah nama ayahmu, terkenal dengan julukan ‘Anggang dari Laut’!"
Mengiang, kata-kata itu mengiang. Tertanam di tubuhku yang paling dalam. Masuk ke
darah, mengalir, setiap persendian, ngilu, dan pilu. Menjadi dayung setiap pelayaranku.
"Ingat, Buyuang! Kau bukan lagi anak dari seorang putri raja dengan ibu bernama Puti
Jamilan. Kini, kau hanya seorang anak rantau yang mencari penghidupan baru di tanah
seberang. Layarilah penghidupanmu, kini kau punya kapal sendiri yang bebas kau kayuh ke
samudra manapun."
Sebuah kapal dagang baru saja melempar jangkar. Petang di bandar Malaka tak
menyurutkan hiruk-pikuknya sebagai bandar dagang yang sangat ramai. Kapal-kapal silih
berganti menurunkan dan menaikkan jangkarnya. Barang-barang dagang tak habis-
habisnya turun dan naik dari kapal-kapal.
Aku tak menyangka ia akan menyapaku juga. Sedari tadi kuperhatikan ia sibuk
menyelesaikan pekerjaannya; mengangkuti peti-peti lada yang hendak diperdagangkan. Ia
seorang kuli angkut di bandar ini, aku mengenalnya pagi tadi di kedai kopi sudut bandar.
Ia tertawa, lepas, keras sekali. Hingga orang-orang pun menoleh, kami jadi pusat perhatian.
"Ke mana kau akan berlayar, Bujang?"
"Kau masih terlalu mentah. Kau tahu, di laut lepas sana lanun-lanun berkeliaran.
Membidikkan meriamnya ke setiap kapal dagang yang lewat. Sanggup kau
menghadapinya?"
Aku tercenung, kemudian mengangkat kepala kembali. "Boleh saya tanya sesuatu."
Kembali aku termenung di ujung bandar, menatap laut lepas, dan sesekali pikiranku
melayang entah ke mana. Tak lama ia kembali, namun kali ini ia tak sendiri. Di
belakangnya seorang tua mengikuti. Air mukanya jernih. Bawaannya sangat tenang.
Tampaknya ia seorang tua yang sangat dihormati dan jadi kaul tempat bertanya. Ia
menghampiriku, sangat dekat, memandang lekat-lekat.
Tampak ia terkejut, namun keterkejutannya itu dapat ia redam dengan bijak sebagai
seorang tua. "Dari mana kau tahu keberadaan Anggang? Hanya orang-orang yang telah
lama berlayar dan lanun-lanun yang tahu akan keberadaan Anggang."
"Sebaiknya kau, anak dagang, cepat pergi dari sini! Jika Syahbandar tahu, kau bisa
dirantai."
Dan orang tua itu tampak memandang lurus ke depan, seolah pandangannya dapat
menembus luas lautan. "Datang juga masa itu!"
***
Ruang ini gelap sekali, tak ada cahaya masuk sedikit pun. Aku tersandar di dinding batu
yang lembab dengan kaki terantai dan terpasung ke dinding. Kepalaku terasa berat, tak lagi
berasa apa-apa. Hanya darah dingin yang mulai membeku terasa di bibirku yang sembab.
"Asin," umpatku, "Seasin air laut..."
Tak dapat kuingat dengan jelas, kejadian itu berlalu begitu cepat. Menghantamku, membuat
segala yang ada di sekitarku mengelam. Kelam.
Tiba-tiba saja ia telah berada di belakangku dengan para hulubalangnya. Mereka langsung
menyekap dan merantaiku. Kawanku—kuli angkut itu, tak dapat berbuat apa-apa, hanya
memandang nanar ke arahku. Sedangkan orang tua itu, ia tersenyum, senyum yang lepas,
"tidak apa, ikuti saja mereka! Itulah jalan untuk bertemu ayahmu!" Kemudian ia
menghilang di antara kerumunan orang yang menonton.
Aku dibawa ke sudut bandar, seperti sebuah gudang, tapi aku yakin ini bukanlah sebuah
gudang. Di dalam gelap, hanya bayangan garis wajah mereka yang dapat kutangkap dengan
mata.
"Siak!"
Sesuatu mendarat di kepalaku. Begitu keras. Membuat pandanganku mengabur. Dan benar-
benar kelam.
***
"Tukar kebebasanmu dengan Pedang Sijanawi!"
"Aku tidak tahu pedang apa itu, lagipula aku tidak punya pedang satu pun apalagi pedang
yang kau sebutkan tadi."
Tawanya langsung meledak seperti muncung meriam. Aku tak mengerti apa yang
ditertawakannya. "Bodoh! Aku tidak menyangka ia punya anak sebodoh ini."
"Tidak perlu kau tahu pedang apa itu, cukup kau beritahu di mana keberadaan ayahmu,
maka kau bebas!"
Ia lalu mengambil sebuah peti dan meletakkannya di atas meja Turki itu. Dikeluarkannya
sebuah peta yang tampak sudah usang dan dikembangkannya seperti mengembangkan layar
kapal ke hadapanku.
Aku sama sekali tak mengerti membaca peta. Yang kulihat hanya garis-garis hitam yang
tebal dan pada bagian tertentu terdapat garis tipis mengiris. Dan tulisan, tulisan Arab tanpa
baris, aku dapat membacanya sedikit-sedikit walau masih terbata-bata. Kutelusuri tulisan
itu dengan berusaha membacanya satu persatu.
"Inuk." Kutunjuk sebuah tempat yang dengan mudah dapat kubaca di peta.
"Inuk?"
"Kita lupa, ia itu Raja Lanun yang diburu muncung meriam raja-raja Melayu dan dibenci
oleh raja-raja Bugis. Tidak mungkin dengan mudahnya ia memberitahukan keberadaannya
pada orang-orang, bahkan kepada anak dan istrinya sekalipun."
"Buang budak ini ke air, biar muara Kampar menguliti tubuhnya, dicabik-cabik buaya.
Tidak ada gunanya budak ini di atas kapal kita."
"Huh, Anggang, Raja Lanun yang menyimpan pusaka segala lanun yang benar-benar licik
dan licin. Tidak salah ia dinamakan dengan Anggang, mendengarnya saja sudah bikin gatal
seluruh badan apalagi kalau menyentuhnya."
***
"Ya, inilah bentuk wujudku. Ternyata kau sudah besar, Buyuang. Tanggalkanlah nama
kecilmu itu! Sekarang kau bernama Tun Bujang yang akan mewarisi segalanya dariku."
"Ada di hatimu."
"Hatiku jauh kutinggalkan bersama Ibu, sebagai kawan sepinya untuk bersenandung."
"Telah kujemput dengan pusakamu Yamtuan Raja Kecik dan pedang Sapu Rajab, serta cap
kuasa atas segala selat dan pesisiran."
"Seperti kabut kau buat segalanya kabur. Tidakkah aku sekarang berada di laut yang
sedidih hingga teratak berair hitam, tempat buaya putih tengkuk?"
"Ibu sudah sangat rindu kepadamu. Aku ingin membawamu menemui Ibu."
"Ayah!"
"Ayah!"
"Sudah takdirmu kau akan menjadi Raja Lanun dan memegang pusaka pedang Sijanawi!"
"Ayah!"
"Ayah!"
"Di rumah. Kau terbawa arus sungai, untung tersangkut akar bakau, kalau tidak mungkin
kau akan digulung arus bendungan dan pulang namanya saja."
"Bagaimana aku menyusuri Kampar, Ibu? Batang Kampar telah dibendung, air
menggenang membuat danau. Bagaimana caranya aku sampai ke laut. Dan Ayah,
bagaimana dengan Ayah?"
"Laut yang sedidih hingga teratak berair hitam, tempat buaya putih tengkuk. Di mana itu,
Ibu?"
"Rupanya benturan di kepalamu cukup keras, hingga kau menceracau tidak karuan!"
Kandangpadati, 0705 – 09