Anda di halaman 1dari 3

Rumah Profil Album Talirasa Blog Tejotube Macapat Galeri Kontak dan Pesan CD Sujiwotejo

Wayang Durangpo Tahun I (2009 - 2010) search here … Go

Episode 40 Sensus Penduduk bernyanyi Ajatasatru


Minggu, 23 Mei 2010 3,611 Tampilan
Wayang Durangpo
SEPENINGGAL Semar, Ponokawan Gareng,
Petruk dan Bagong luntang-lantung nggak Episode 157 Halal bil Halal ala
punya gawean. Tadinya seorang dari mereka Prabu Kresna
Sunday, 19 August 2012
yang akan dipanggil jadi menteri keuangan
yang baru. Tapi, menurut Ponokawan
Episode 156 Satrio Boyong
Limbuk dan Cangik, mereka blas ndak punya
Pambukaning Aib
potongan jadi menteri. Arep ndaftar ikut Sunday, 12 August 2012
pemilukada jadi calon bupati atau wali kota,
sudah telat. Akhirnya, Gareng, Petruk, dan Episode 155 Bambang Sagara Ari-
Bagong nyari kerjaan alternatif. Mereka arimu …
mendaftar jadi petugas cacah jiwa alias Sunday, 5 August 2012

sensus penduduk.
Ternyata jadi petugas sensus juga banyak
makan ati-nya. Ampela dirogoh-rogoh.
Persis seorang menteri keuangan.
Serbasalah. Oleh orang luar, orang asing, dia dipuji-puji karena investor-investor asing podo
seneng . .jpg. Tapi oleh bangsa sendiri, terutama wong cilik , dia disinisi. Kalau memang ekonomi
Blog
tambah baik menurut orang asing itu, alasan nyatanya rakyat hidup makin ndak enak.
Lautan Tangis…Lautan Tangis…
Lautan Tangis
Persis. Petugas cacah jiwa dan juga ngono. Oleh negara mereka dipuji. Data Soale tentang
Thursday, 26 November 2009
jumlah dan keadaan warga negara sangat dibutuhkan untuk menentukan kebijakan-kebijakan
masyarakat. Ganti untuk daftar pemilih pada pemilu mendatang. Tapi masyarakat menerima dan Dongeng Cinta Kontemporer II -
memperbaiki petugas dengan cara yang lain lagi. Sujiwo Tejo
Jumat, 6 November 2009

Orang-orang kaya biasanya tak berkenan keluar pintu rumah. Gareng, Petruk, dan Bagong cuma
Drama Musikal Pengakuan
menerima di pintu pagar. Itu pun pagarnya cuma dibuka sedikit. Hanya cukup untuk pembantu
Rahwana, 6 Desember 2008
rumah tangga anguk-anguk menyembulkan kepala. Dia juga yang menjawab pertanyaan tentang Senin, 26 November 2007
bagaimana dan kapan juragannya dulu membosankan.

Orang kaya yang masih baik biasanya tidak menerima Gareng, Petruk, dan Bagong. Mereka
bersedia keluar rumah dan menerima pembayaran di teras. Tapi mereka khilafahkan anjing-
anjing mahalnya di halaman. Rugi paha Bagong digigit salah satu anjing. Gareng digigit betisnya
oleh anjing yang lain. Yang paling malang Petruk. Ujung hidungnya yang lama digigit oleh anjing
lainnya lagi.

Nah, mencacah jiwa kalangan yang gak kaya, yang cukupan, juga bukan tanpa penderitaan
seperti lagu dangdut. Mereka ndak mau buka pintu karena menganggap Gareng, Petruk, dan
Bagong sebagai petugas sales atau promosi barang-barang dapur. ”Maaf, saya sudah bayar
pajak, Mas!!!” teriak salah seorang warga dari dalam rumah. Dia sangka tiga sosok di depan
pagar rumahnya, kalau nggak makhluk jadi-jadian, ya paling kader Partai Gayus.

Apa lebih enak menyensus orang miskin, ya? Ah, sama saja.

Ponokawan dari Klampis Ireng itu suatu tengah malam pernah terbirit-birit dikejar pemulung.
Gelandangan ini sambil mengacung-ngacungkan gancu mengejar-ngejar mereka. Mungkin salah
Bagong. Lha bambungan itu lagi enak-enaknya ngorok di emper toko berlian, digugah Bagong.

Maksud Bagong baik. Tengah malam, lingsir wengi, bungsu Ponokawan itu cuma mau tanya, si
bapak asalnya dari mana, namanya siapa, dan, kalau tahu, kira-kira umurnya piro. Eh, si bapak
yang lagi angler-angler-nya tidur pulas dan tampak happy itu rupanya merasa terganggu. Ia
langsung nyamber gancu dan memburu ponokawan. Gareng sampek manjat naik ke Tugu
Pahlawan.

Sejak insiden itu Gareng dan Petruk agak patah arang sebagai petugas sensus. Maka, di suatu
rumah besar, di kawasan elite, begitu mbok-mbok pembantu rumah tangga membuka pintu
pagar, Gareng dan Petruk langsung balik kanan. Bagong yang masih bengong melihat kakak-
kakaknya pergi langsung digeret ke dalam oleh mbok-mbok itu.

”Ayo masuk, Mas. Bapak itu sueeneng kalau ada tamu,” kata si mbok. ”Abis pensiun jadi menteri,
ndak pernah ada tamu, Mas. Padahal bapak itu seneng ndongeng. Biasane soal wayang. Beliau
penggemar berat wayang…”

Bagong yang masih plonga-plongo tidak saja digeret sampai ruang tamu, bahkan sampai ruang
tengah. Ada sedap malam dan melati nduk kono. Terdengar lagu Bengawan Solo dari suwargi
Gesang. Tapi ruangan bau cerutu. Bapak-bapak sepuh yang sedang duduk sambil menerawang
di kursi malas itu memang sedang klepas-klepus berkemelut asap.
***

”Menjadi pemimpin itu mestinya seperti Prabu Yudistira dari Pandawa,” si bapak mengawali
suatu dongeng tentang wayang di depan petugas sensus.

Seperti kebiasaannya sejak lama, bapak ini ngasih selang-seling pantun model parikan tembang
jula-juli dalam kesenian ludruk. Kadang parikannya itu tanpa juntrungan dan nggak ada
hubungannya dengan lakon. Dengar saja!

Bosen Century bosen di emper//Orang di Malang bukanlah orang

Bos polisi lapor DPR//Disuruh ngulang bikin laporan…

Alkisah….

Ada burung besar seperti garuda. Unggas ini pemakan daging khususon burung emprit. Ketika
Prabu Yudistira sedang di tengah padang pasir tiba-tiba hinggaplah di depannya burung emprit
sambil terengah-engah. Dengan napas melar mingkus ia lapor sedang dikejar-kejar burung besar
untuk dimangsa.

Padahal, kalau si emprit mati, anak-anaknya yang masih bayi dan menunggu di sarang akan mati
pula. Ia meninggalkan sarang untuk mencari makan buat anak-anaknya. Kalau sampai dia
tewas…aduh. Makanya dia minta perlindungan sang raja. Prabu Yudistira sebagai raja yang
terkenal ambeg paramarta, yang selalu melindungi kaum cilik pencari keadilan, langsung
menyatakan kesanggupannya untuk ngayomi…

Suramadu boyong ke Rungkut// Orang Jombang ada yang kaya

Mari berpadu jangan cemberut// Orang bimbang sungguh bahaya…

Tiba-tiba, dari langit di padang pasir itu, menukiklah burung besar mirip garuda. Prabu Yudistira
alias Puntadewa langsung menghadangnya ketika burung perkasa yang serbahitam ini hendak
mematuk emprit kelabu. Sang Prabu meminta burung besar itu mencari emprit yang lain saja.
Burung besar kepalanya gedek-gedek tanda ndak mau.

Lihatlah sudah tak ada emprit lain di muka bumi ini. Manusia telah membuat burung-burung itu
kian punah. Hutan-hutan saja sudah mulai punah. Padang pasir yang dipijak Prabu Yudistira
sendiri kan dulunya adalah hutan yang hijau royo-royo.

Di muka bumi masih ada satu lagi burung gelatik dan satu lagi burung jalak. Prabu Yudistira
alias Samiaji meminta burung yang garang itu memangsa mereka. Si garang kembali geleng-
geleng. Bagaimana mau ngemplok jalak, wong takdirnya memang hanya sebagai pemangsa
emprit, bukan daging sembarang daging.

Nduk Ndupak, Dik, rumah sang pacar//Menakjinggo minggat ke Muncar

Mari yang kompak, Dik, jangan berpencar//Barang-barang Cino semakin gencar…

Hah? Opo hubungane? Bagong membatin.

”Ssssttt….!!!” Mbok-mbok pembantu rumah tangga sambil mengantar minum kasih kode ke
Bagong. Bisiknya, ”Biarkan saja…Yang penting Sampeyan duduk anteng…”

Bung Tomo arek Suroboyo/Rujak cingur dioplos rawon

S’lamat jalan buat Mbak Ani/Jangan nangis di Amerika…

”Lho, Pak, ndak nyambung bunyi parikannya…” Akhirnya Bagong nggak tahan juga untuk nyeletuk.
Suaranya keras banget, ”Mosok Suroboyo jadi Mbak Ani…Rawon jadi Amerika…Huruf ‘O’ kok jadi
‘I’…’Won’ kok jadi ‘Ka”...”

”Hah? Saya nggak bisa dengar. Kamu ngomong apa? Saya tadi bilang, Bung Tomo arek
Suroboyo/Rujak manis dioplos rawon.. S’lamat jalan ke Sri Mulyono/Jangan nangis di Washington.”

Tahu bapak ini budek, sejak itu Bagong tak pernah komentar lagi.

***

Bowo Leksono. Bowo artinya ucapan. Leksono perbuatan. Satunya kata dan perbuatan. Itulah
sifat Prabu Yudistira yang terkenal bowo leksono. Karena sudah berjanji, ia tetap melindungi
emprit apa pun alasan calon pemangsa emprit itu. Akhirnya si burung besar nanting. Bagaimana
nek emprit itu diganti dengan daging Prabu Yudistira yang timbangannya setimpal dengan berat
emprit.
Yudistira langsung memotong jari kelingkingnya sendiri. Ternyata emprit masih lebih berat.
Ditambah potongan seluruh jari tangannya, emprit masih lebih berat. Emprit juga masih lebih
berat ketika Yudistira menambahkan potongan kakinya, lalu betisnya sampai pahanya juga.
Akhirnya, tatkala Yudistira akan memenggal kepalanya sendiri, guntur menyambar di antariksa,
kedua burung sak kal menjelma wujud aslinya. Burung besar menjadi Batara Darma. Burung
kecil menjadi Batara…Batara siapa gitu (Sorry, Rek. Aku betul-betul lupa. Asli. Kalau ada pecinta
Jawa Pos sing eling nama dewa itu tolong kasih tahu ya. Matur nuwun. Semoga Gusti Allah
ngijabahi.).

”Jangan kamu potong lehermu,” sabda Sang Darma sambil mengheningkan cipta. Seketika
Prabu Yudistira yang sudah tinggal sisa separo badan kini kembali utuh. ”Samiaji, Puntadewa,
titah ulun. Di jagad ini tak ada raja yang melindungi rakyatnya seperti titah ulun…Karena itu, mulai
detik ini, titah ulun berhak menggunakan nama Ajatasatru. Negerimu, Amarta, mulai fajar 2014
besok juga berhak ganti semboyan Bersama Ajatasatru Kita Bisa…”

”Sensusnya sudah, Gong?” tanya Gareng dan Petruk yang menunggu jauh di luar pagar sambil
minum es degan.

”Wis, Truk, Reng…Wis tak catet. Di situ ternyata bermukim lima orang. Mbok-mbok. Bapak-bapak.
Batara Darma. Dan Batara siapa gitu. Ndak penting.”

”Lho, satunya lagi?”

”Prabu Ajatasatru…Orangnya aneh.”

DISADUR SELENGKAPNYA DARI JAWA POS, KOLOM MINGGUAN, WAYANG DURANGPO

© 2018 Sujiwotejo ↑

Anda mungkin juga menyukai