Anda di halaman 1dari 3

Home Profil Album Talirasa Blog Tejotube Macapat Galeri Kontak dan Pesan CD Sujiwotejo

Wayang Durangpo Tahun I (2009 - 2010) search here … Go

Episode 47 Terenyuh Sepasang Duda di Maliawan


Monday, 12 July 2010 8,662 Views
Wayang Durangpo
SEPASANG duda di gunung Maliawan.
Wajahnya sendu. Keduanya bergerak ke Episode 157 Halal bil Halal ala
Istana Guakiskenda. Jaraknya masih Prabu Kresna
Sunday, 19 August 2012
bergunung-gunung. Nun di balik gunung
terakhir, di bekas istana raja raksasa
Episode 156 Satrio Boyong
Maesasura itu bersinggasana Resi Subali.
Pambukaning Aib
Sosoknya kera. Matanya tajam. Dan ia sakti. Sunday, 12 August 2012
Dasamuka dan Dewa Indra di kahyangan
bahkan takluk. Permaisuri Resi Subali itulah Episode 155 Bambang Sagara Ari-
Dewi Tara. arimu …
Sunday, 5 August 2012

Dewi Tara…Dewi Tara..Putri Batara Indra.


Engkaukah itu, perempuan ayu yang
mendudakan banyak lelaki?.

Duda pertama Sugriwa namanya, adik kandung Resi Subali. Wujudnya juga rewanda, monyet. Ia Blog
pun sakti. Tak aneh, keduanya putra Resi Gotama yang digdaya di Gunung Sukendra. Namun
sesakti-sakti Sugriwa apalah artinya dibanding Subali. Lautan Tangis…Lautan Tangis…
Lautan Tangis
Tendangan sakti Sugriwa di hari budha alias Rabu dahulu telah meluluhlantakkan Subali di atas Thursday, 26 November 2009
tanah. Lihatlah! Aji Pancasonya membangkitkan Subali kembali hidup. Begitu mayatnya
menyentuh bumi, Subali kembali gumregah segar bugar. Seketika ia banting Sugriwa. Sugriwa Dongeng Cinta Kontemporer II –
menyerah, sekaligus wajib menyerahkan istrinya, Dewi Tara, menjadi istri sang kakak Sujiwo Tejo
Friday, 6 November 2009

Kini tinggal segunung lagi perjalanan sepasang duda ke Guakiskenda, di balik gugusan kabut, Drama Musikal Pengakuan
istana pengantin baru Subali-Dewi Tara. Kepada diri sendiri yang sedang dilanda sunyi Sugriwa Rahwana, 6 Desember 2008
bertanya, ”Sanggupkah bersama pertolongan duda yang baru kukenal di sebelahku ini…hmmm… Monday, 26 November 2007

Sanggupkah aku merebut Dewi Tara dari rengkuhan kakakku?”

***

Ponokawan Petruk juga bertanya, kok Wayang Durangpo hari ini nggak ada ngawur-ngawurnya
babar blas ya. Nggak kritik sana nggak kritik sini. Mana bahasanya sok tertib lagi, kayak orang-
orang manis di universitas.

”Mungkin karena dalang sudah merasa nggak ada gunanya lagi ngritik, Truk,” celoteh Bagong,
bungsu ponokawan. ”Kan kritik hanya mempan ke orang yang masih punya malu. Padahal kita
sudah lama paceklik isin, kehabisan rasa malu. Pamong daerah yang sudah dua periode mimpin,
masih mau tanduk lagi. Kalau ndak gitu, ndorong-dorong istri-istrinya jadi pemimpin baru.”

”Belum lagi, Truk, wakil rakyat, gaji wis sak langit, masih minta dana ini-itu. Abis itu penegak
hukum nggak idep isin punya rekening gemuk, tambah ndak malu lagi malah ingin menyelikidi
siapa yang main bocorkan nomor rekening. Tak pikir-pikir setelah semua itu kita terus tobat,
kembali punya kerasamaluan. Eh, belum. Konco-konco yang ngurus sepak bola, sudah tahu
sepak bola kita dedel duwel, perlu perhatian perlu duit perlu ini-itu yang diperlukan buat
perbaikan, malah duitnya diperlukan untuk jalan-jalan rombongan ke Afrika Selatan.”

Gareng si tukang analisis mencoba tak turut larut dalam problem sosial. Sulung ponokawan ini
mencari-cari kemungkinan lain. ”Wayang Durangpo bisa saja jadi kayak sekarang karena ”Batara”
Arief Santosa. Pukulun itu dewa dari Kahyangan Graha Pena yang menjaga rubrik ini dan ngasih
kemerdekaan. Katanya ndak harus ada kritik sosial. Kalau memang lagi ndak mood ngritik sosial,
ya ndak usah dipas-paskan dengan peristiwa sosial. Berdiri sendiri saja. Begitu dawuhnya
Kanjeng Batara. Dan ndak usah mikir macem-macem. Dalang kan juga manusia. Siapa tahu
Wayang Durangpo bisa jadi kayak sekarang ini karena dalangnya lagi jatuh cinta kepada anake
sing dodol rujak cingur…”

***

Ooo…Cinta…cinta adalah seluruh keherananku kepada manusia...(kutipan syair Afrizal Malna)

Sugriwa ingin lebih banyak mengadu pada duda yang baru dikenal di sebelahnya. Tetapi
bagaimana caranya? Lelaki tampan itu juga terlunta-lunta, baru saja kehilangan istri di hutan
Dandaka. Bagaimana Sugriwa akan menumpahkan perasaannya pada lelaki yang matanya
sedang menerawang tak tentu langit? Malah lelaki ini kadang bercakap-cakap kepada akar dan
perdu, tersenyum dan sesenggukan, seakan pohon dan dedaunan adalah mantan istrinya yang
berdenyut di dalam hutan.
Suatu fajar, sorot matahari bermasukan dari sela-sela rerimbun hutan membentuk jutaan benang
cahaya, lengkap dengan semburat warna-warninya pada kolang-kaling, langsep, jambu bol,
kedondong, blimbing wuluh, dan lain-lain, lelaki tampan itu siuman dari gandrung-nya. Ia ingin
berbagi pada Sugriwa. Bagaimana rasanya pernah memiliki istri setia. Baru manten anyar, lelaki
ini diusir ke tengah hutan. Lelaki itu bergegas pergi sendiri ke belantara karena tak ingin
menyusahkan istri. Tapi sang istri nangis-nangis bergelayutan nggondeli suaminya terkasih,
minta diajak serta. Ia tak tega suaminya sendirian di kelembaban yang asing. Hari-hari mereka
lalui berdua di peraduan hutan sampai tiba-tiba sang istri lenyap.

Lelaki yang baru tersadar dari kasmaran itu tak bisa menumpahkan segalanya kepada Sugriwa
karena, seperti bergiliran, Sugriwa kini malah sedang dilanda kunjana papa. Kunjana sakit. Papa
edan. Sugriwa kelimpungan pada mantan istrinya, Dewi Tara.

”Sugriwa, aku akan membela kamu. Bisa kuhayati sebeban apa rasa dipisahkan dari perempuan
tercinta…”

”Aku yang akan membelamu, hei lelaki!!!” teriak Sugriwa, ”karena telah aku alami beban terpisah
dari wanodya yang kita cintai…”

Sehabis teriak tiba-tiba Sugriwa terbahak-bahak, tiba-tiba menangis. Ada ular, dipeluknya ular.
Dielus-elus dan diciuminya taksaka itu seakan-akan ia Dewi Tara.

”Oh, Dewi Tara,” desah Sugriwa selepas rangkulannya dari sang ular. Ia kini memeluk singa,
berbincang kepadanya. ”Dahulu tak salah aku nikahi kamu, Tara. Batara Indra janji, siapa
sanggup membunuh Maesasura dan tunggangannya, Jatasura, akan mendapat cintamu sebagai
anugerah. Kakakku Subali masuk ke istana megah yang mulut gerbangnya bagaikan gua
mengerikan itu. Aku tak boleh masuk. Aku disuruh menunggu di depan mulut gua. Kakakku
Subali yang berdarah putih itu bersabda, kalau nanti mengalir darah putih di mulut gua, berarti aku
yang mati. Tutup lekas-lekaslah pintu gua, agar semuanya mati di dalam gua…”

Kini Sugriwa memindahkan dekapannya pada trenggiling. Di matanya, hewan ini adalah sang
dewi yang tiada tara. ”Aku sayang banget sama kamu, Tara. Aku lanjutkan ceritaku, ya Tara.
Ternyata yang mengalir di mulut gua darah merah dan putih. Sedih sekali kakakku mati. Aku
segera naik ke kahyangan melapor Batara Indra. Saking bahagianya atas kematian pengacau
kahyangan Maesasura dan Jatasura, Batara Indra menghadiahkan putrinya sebagai istriku…”

Bagai lolong serigala Sugriwa lalu berteriak kepada sulur-sulur rimba, mengagetkan perkutut,
betet, drekuku, sriti, murai, dan blekok. ”Oooo Mas Budionoooo, Mas Budionoooo...tulung
gambar ilustrasi Wayang Durangpo sekarang yang romantis banget ya….bagai tembang
Dhandhanggula Sidoasih…

Pamintakuuuuu…Nimas Sidoasiiiih…Anut runtut tansah reruntungaaaaan…..”

***

Yang tewas di Guakiskenda ternyata cuma Maesasura dan Jatasura. Yang putih-putih bukan
darah Subali. Warna putih hanya ceceran otak raksasa dan tunggangannya. Subali ngamuk.
Pintu gua didobrak, dijebolnya. Ia banting Sugriwa hampir mati. Untung adik yang dicintainya itu
masih sempat meruntutkan apa yang sesungguhnya terjadi. Hati Subali luluh. Ia serahkan istana
Guakiskenda. Didoakannya pula pernikahan Sugriwa-Dewi Tara langgeng di dalam cinta.

Tapi Rahwana menyusupkan Wil Sukasrana. Mata-mata ini berubah rupa menjadi inang
pembantu Dewi Tara. Suatu hari inang pembantu Dewi Tara itu mengarang-ngarang cerita. Ia
mengada-ada dan mengadu pada Subali bahwa Dewi Tara dipukuli Sugriwa. Pasalnya, Dewi Tara
merasa, yang berhak menikahinya adalah Subali, karena Subalilah yang berhasil membunuh
Maesasura dan Jatasura.

Amuk! Amuk! Amuk!

Subali menggempur istana Guakiskenda. Ia hajar habis adiknya yang tak tahu apa juntrungannya
tiba-tiba dihajar. Sugriwa lalu dilemparnya hingga jatuh ke Gunung Wreksamuka di sekitar
Maliawan. Hari itu juga Dewi Tara direbutnya sebagai istri bahkan hari ini telah mengandung
anaknya.

Dan hari ini, sepasang duda itu telah sampai di mulut Guakiskenda. Sugriwa menyumbarkan
tantangan. Subali keluar. Peristiwa dulu-dulu terulang kembali. Subali berkali-kali membanting
Sugriwa. Saat Sugriwa makin sekarat, tatkala Subali terakhir akan membantingnya, rongga dada
Subali panas dadakan. Mendidih. Ada panah nancap di situ dan melontarkan Subali
mengambang tak menyentuh bumi.

”Panah kamukah ini, Kisanak?” tanya Subali tersengal-sengal kepada lelaki yang tiba bareng
Sugriwa. ”Tak pangling lagi aku. Hanya panah Guwawijaya yang akan sanggup menyudahiku. Ini
pusaka dari Ayodya. Jadi, kamu Prabu Ramawijaya?”

Mestinya Sugriwa kaget mendegar bahwa duda teman seperjalanannya ternyata titisan Batara
Wisnu. Tapi badannya yang nyaris remuk masih menahan sakit sambil memandangi Dewi Tara.
Siapa yang ditangisi sang dewi? Dirinya yang babak belur? Atau waspa Dewi Tara itu sejatinya
menetes untuk yang baru wafat, tapi mengapa Wisnu lebih ingin Tara kembali kepadaku?

Duda yang satu lagi tak sempat mendengar namanya disebut-sebut oleh Subali sebelum tewas.
Ia juga tak tahu bahwa sikapnya sedang direnung-renungkan oleh Sugriwa. Jiwanya masih
terhuyung-huyung pada cintanya yang telah lenyap.

Dalang juga bingung bagaimana seyogyanya mengakhiri lakon ini. Hatinya masih
sempoyongan…pada anake sing dodol rujak cingur…

Disadur selengkapnya dari Jawa Pos, Kolom MIngguan, Wayang Durangpo

© 2018 Sujiwotejo ↑

Anda mungkin juga menyukai