Senggono bahkan tidak pernah mengintip film yang ditakuti Rahwana itu berdebat. Bibirnya yang Drama Musikal Pengakuan
suka dan merekah bergetar. Bahkan dari sela dedaunan nagasari Senggono juga diucapkan Rahwana, 6 Desember 2008
mengintai perempuan bermata binar itu memaki-maki Rahwana alias Dasamuka. Dasamuka Senin, 26 November 2007
dihina-dina sebagai lelaki yang bukan saja punya akun babi, tetapi juga punya tindak-tanduk tak
ubahnya babi. Dan bagaimana daya magnit bertambah tatkala mata perempuan itu mendelik,
parasnya padam merah dengan kernyitan kening dan perjumpaan kedua alis. Dan Senggono
menyaksikan, setelah umpatan-umpatan perempuan itu Rahwana mendadak pribadi, ngacir dari
Taman Argasoka.
***
”Juragan kami Rahwana punya empat saudara kandung,” kata ponokawan Togog kepada
Prabancana Siwi, nama lain Hanuman. ”Satu-satunya yang ndak rupa raksasa atau diyu ya Raden
Goenawan Wibisana. Ejaan lama. Dia malah ganteng. Sifatnya pandita. Nah, orang inilah
bapaknya perempuan itu. Alah… itu lho yang Sampeyan dari beduk tengah hari tadi amat-amati
sambil ngumpet-ngumpet dan garuk-garuk. Mbok kiro aku ndak tahu? Nama perempuan itu
adalah…”
”Hmmm…Di negaramu ini juga ada usaha pembunuhan?” Hanuman nylimur, mengalihkan
obrolan. Malulah ia ketahuan kalau mengendap-endap naksir perempuan asing. ”Ada nggak?”
”Ada dong,” sahut ponokawan Bilung. Ia tak merasa sedang dislimur. ”Tapi di Alengka sini orang
dibunuh karena ya untuk dimakan. Mereka ndak punya visi misi yang lain. Beta tahu betul. Beta
dan Togog kan su mengabdi di sini sejak sebelum zaman Bung Soekarno. Lha namanya raksasa,
buto, kalau ndak pi makan orang mau pi mbadog apalagi…Wong su takdirnya.”
”Makanya saya dan si Beta itu awet,” Togog menimpal. ”Kami langgeng di Alengka sini karena
dianggap bukan orang, ya syukur. Tapi di mana-mana di triloka yang namanya babu memang
ndak direken sebagai orang. Saya ngupang-nguping katanya di Nusantara sudah mulai diatur jam
kerja bagi babu-babu di rumah-rumah tangga. Ndak boleh lho sehari-semalam disurah-suruh
terus nonstop kayak lampu stopan. Tapi buktinya mana? Mereka prei cuma pas Lebaran…”
”Alah, Mas Monyeeeet, Mas Monyet,” sela Bilung, ”Sampeyan juga aman kok di sini. Pasti awet.
Buto maunya cuma pepes orang kok. Mereka ndak doyan bacem munyuk…”
Maksud Hanuman, apa di Alengka juga ada usaha pembunuhan aktivis yang rajin wadul soal
rekening gendut para punggawa negeri. Togog dan Bilung saur manuk bergantian membantah.
Mereka bilang di Alengka percuma ada usaha coba-coba bunuh orang. Langsung bunuh saja,
jadikan bancakan.
Kalau cuma main percobaan pembunuhan aktivis, wah… repot. Nanti calon korbannya malah
cuma luka dan leyeh-leyeh di rumah sakit. Nanti Raja Rahwana mau membesuk ke rumah sakit
juga serbasalah.
Rakyat Alengka sudah pinter-pinter karena nggak ada yang kelaparan, malah gizinya lebih dari
cukup. Mereka juga gak usah terus-terusan mikir kebakaran tabung gas. Jadi mereka masih
sempet mikir yang lain. Pasti mereka nanti berpikir, wah junjungan kami membesuk aktivis,
mengalihkan perhatian. Nek Rahwana nengok ke rumah sakit, pasti aparat penegak hukum akan
kelimpungan mencari siapa calon pembunuh pasien ini. Mereka dan juru warta, tidak akan
puyeng lagi pada penyelidikan pemilik rekening babi…
Prabancana Siwi cepat memotong, ”Perempuan tadi juga punya rekening babi?”
Bilung, ”O tidak. Dia bukan babi, eh, bukan punggawa negara. Dorang putri kesayangan Raden
Goenawan Wibisana. Ejaan lama. Dorang punya nama Dewi Trijata.”
Nah, ini dia. Hanya info tentang nama ini yang sesungguhnya sejak tadi dinanti-nanti oleh
Prabancana Siwi alias Maruti. Obrolan ngalor-ngidul lainnya tidak penting. Maruti alias Pawana
Suta sudah eneg ngomong masalah kemasyarakatan. Paling-paling abis itu masyarakat sendiri
sudah lupa. Contohnya kasus Century dan lumpur Lapindo. Hmm…Akhirnya… Dewi Trijata to
namamu, Diajeng… Nama yang syahdu.
***
Ponokawan Togog sebagai kakak Semar dan stafnya, Bilung, berada di Alengka punya tugas
seperti LSM yang bener. Laksana LSM yang belum keblinger, tugas mereka mengingatkan para
pamong praja agar kembali ke sirathalmustaqim. Tanpa kawalan dari Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban mulut Togog-Bilung sudah sampai berbusa-busa. Keduanya mohon ke
Rahwana agar mengembalikan Putri Mantili, Dewi Sinta. Sekarang mereka senang sekali
memergoki Hanuman, duta Prabu Ramawijaya. Mereka berharap Dewi Sinta segera balik.
Kedua ponokawan itu lantas meninggalkan Hanuman di pohon nagasari seraya mengucapkan
selamat bertugas sebagai duta. Tak lama kemudian, aduh, Hanuman melihat di kejauhan Dewi
Trijata dengan kain parang rusak warna kapuranta, coklat kekuningan. Selaras betisnya yang
kuning langsat. Ia berjalan menyangking timba. Rambutnya dibiarkan berangin-angin
sepinggang. Banyak kupu-kupu terbang mengiringinya. Aneka belalang, walang kadung, walang
daun, dan walang kayu pun berlompatan suka cita. Mungkin perempuan ayu itu hendak
mengambil air buat Dewi Sinta ke sendang nun di bawah sana.
Ketika Dewi Trijata akan melewati pohon nagasari, belum sempat Hanuman bersembunyi, Dewi
Trijata sudah keburu memergokinya. Hanuman panik. Ia tak ingin putri Goenawan Wibisana itu
ketakutan dikageti monyet asing di Taman Argasoka. Ternyata Hanuman keliru. Dewi Trijata
hanya tertegun. Terpana. Lalu putri yang dagunya belah itu mesem. Matanya berkaca-kaca.
Belum pernah Dewi Trijata terpesona menatap laki-laki selucu ini. Seluruh bulunya putih lebih
lembut dari salju. Mana matahari senja dari sela-sela cengkeh, kapulaga, dan kayu manis
membuat bulu putih kera ini berwarna semu lembayung semu keemasan. Dan mata lelaki ini
tulus.
Dewi Trijata pernah diajak terbang oleh ayahnya melanglang di atas gunung-gunung: Gunung
Suwela, Windu, Wreksamuka, Mahendra, Maenaka, dan Maliawan. Di bukit-lembah di antara
gegunung itu Dewi Trijata melihat gambar-gambar para lelaki di pohon-pohon. Kabarnya untuk
pemilukada. Dewi Trijata tak tahu apa itu pemilukada. Tapi bagi sang dewi tak satu pun di antara
lelaki pajangan itu yang matanya tulus dan bersih. Berbeda jauh dibanding lelaki salah tingkah
yang kini sendeku di hadapannya.
Baru kemarin Hanuman bertemu Dewi Sayempraba, perempuan ramah-tamah yang disangkanya
penuh kasih sayang bagai sang ibu, Ratna Anjani. Ternyata putri Prabu Wisamarta itu telik sandi,
mata-mata Rahwana. Buah-buahan segar yang disuguhkan Dewi Sayempraba dimanterai aji
Kemayan. Anjani Putra jadi buta. Untung di dekat Gunung Suwela itu Anjani Putra ditolong oleh
Raja Burung Sempati. Netra sang Anjani Putra kembali pulih sehingga kemudian sanggup ia lihat
kecantikan Dewi Trijata dari pohon nagasari.
Ternyata tak setiap wanita cantik berbahaya bagaikan Dewi Sayempraba. Pembelaan-
pembelaan Dewi Trijata terhadap Dewi Sinta membuktikan, tak setiap wanita cantik
menyembunyikan taring dan cakar dan lendir beracun bagai Dewi Sayempraba.
Benih-benih rasa akan tumbuh di antara Trijata-Anjani Putra. Togog datang bikin kaget. ”Saya
tahu Sampeyan kera sakti,” bisik Togog. ”Sampeyan pasti punya aji panglimunan dan panyirepan.
Buktinya seluruh raksasa pengawal istana sekarang bleg seg tertidur pulas. Tapi, waduh, aji
Sampeyan bocor sampai ke Khatulistiwa. Kasihan nasib rakyat di sana. Produksi beras turun.
Harga cabe melangit. Tapi mereka ndak punya pemimpin yang melek. Menteri-menterinya tidur
saat sidang kabinet pembagian rapot…” (*)