Anda di halaman 1dari 4

Nama : Annisa Berliana (18210923)

IAT 4A

A. Sejarah Dan Pengertian Tafsir Falsafi

Tafsir falsafi adalah model penafsiran al-Qur’an yang menggunakan pendekatan


filsafat dengan cara merenungkan dan menghayati ayat yang ditafsirkan, kemudian
mengkajinya secara radikal (mengakar), sistematik dan obyektif. Tafsir falsafi cenderung
membangun proposisi universal berdasarkan logika; karena peran logika begitu
mendominasi, metode ini kurang memperhatikan aspek historisitas kitab suci. Namun begitu,
keunggulan metode ini adalah kemampuannya membangun abstraksi dan proposisi makna-
makna laten (tersembunyi) yang diangkat dari teks Kitab Suci untuk kemudian
dikomunikasikan kepada khalayak tanpa hambatan budaya dan bahasa. Tafsir falsafi berarti
penjelasan tentang kebenaran makna ayat al-Qur’an dengan menggunakan petunjuk yang
nyata, serta menggunakan pola pikir yang radikal, sistematis dan universal agar didapat satu
kebenaran yang rasional. Pendekatan yang digunakan dalam tafsir falsafi adalah penggunaan
akal yang lebih dominan sehingga ayat-ayat yang ada dipahami dengan rasio mufasir sendiri.
Menanggapi hal ini, umat Islam terbagi ke dalam dua kelompok: golongan yang menolak dan
menerima corak tafsir ini.

B. Model Penafsiran Tafsir Falsafi

Model penfasiran ini menuai pro dan kontra di kalangan ulama. Kelompok yang pro
atau menyetujui penafsiran ini mengatakan bahwa filsafat dapat dipergunakan manusia
setelah menghilangkan perbedaan atau pertentangannya dengan ajaran Islam. Mengingat
filsafat bersumber dari Yunani maka perlu adanya Islamisasi filsafat sehingga biasa
dipergunakan untuk menafsirkan al-Qur’an. Pendapat lain mengemukakan dua cara untuk
mengkompromikan atau menyelaraskan antara agama dan filsafat, sebagai berikut:

Pertama, mereka melakukan ta’wil terhadap nash-nash al-Qur’an sesuai dengan pandangan
para filsuf. Artinya, mereka menundukkan nash-nash al-Qur’an pada pandangan-pandangan
filsafat agar keduanya nampak seiring sejalan.

Kedua, mereka menjelaskan nash-nash al-Qur’an dengan menggunakan teori-teori filsafat.


Mereka menempatkan pandangan para filsuf sebagai bagian primer yang mereka ikuti, dan
menempatkan al-Qur’an sebagai bagian sekunder yang mengikuti filsafat. Artinya, filsafat
melampaui al-Qur’an. Cara ini lebih berbahaya dari cara yang pertama. Kelompok ulama
yang kontra atau tidak menyetujui tafsir falsafi ini beranggapan bahwa disiplin ilmu filsafat
banyak bertentangan dengan akidah. Mereka menolak ilmu-ilmu yang bersumber dari buku-
buku karangan filsuf. Mereka menyerang faham-faham yang dikemukakan di dalamnya,
membatalkan argumen-argumennya, dan mengharamkannya untuk dibaca. Di antara
penentang keras para filsuf dan filsafat adalah Ḥujjah al-Islām al-Imām Abū Ḥāmid al-
Ghazālī yang mengarang sebuah kitab berujudul al-Irshād untuk menolak paham mereka.

C. Metode Penafsiran Falsafi

Ada dua metode yang dilakukan dalam melakukan penafsiran bercorak Falsafi :

a. Menafsirkan ayat al-Qur’an dengan cara membenturkannya dengan teori-teori filsafat yang
ada. Kemudian, apabila tidak bertentangan dengan al-Qur’an maka penfasiran itu akan
ditolak dan sebaliknya. Penafsiran dengan jalan inilah yang dilakukan oleh Fakhruddīn al-
Rāzī dalam Mafātīḥ al-Ghayb dan al-Ṭaba’ṭaba’ī dalam al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur’ān;

b. Menafsirkan dan memahami ayat-ayat al-Qur’an dengan ide atau teori filsafat; artinya,
pemikiran filsafat atau teori filsafat dijadikan sebagai bahan untuk menafsirkan dan
memahami ayat-ayat al-Qur’an. Penafsiran seperti ini lah yang dilakukan oleh al Farābī, Ibn
Sīnā dan Ikhwān al-Ṣafa.

D. Kelebihan dan Kelemahan Tafsir Falsafi

Salah satu keunggulan tafsir ini adalah mendekatkan tafsir al-Qur’an dengan cakupan

filsafat. Oleh karena itu, tafsir falsafi ini menunjukkan betapa luas dan dalamnya kandungan
makna al-Qur’an. Pendekatan tafsir ini dapat menambah khazanah pemikiran atau
sumbangan pada perkembangan ilmu pengetahuan Islam, khususnya dalam bidang ilmu tafsir
dan filsafat.

Di samping itu, penafsiran falsafi ini sebenarnya penafsiran yang rumit, karena
membutuhkan penjelasan yang lebih mendalam karena tidak semua orang mempunyai
kemampuan dalam bidang tersebut. Karenanya, memperdalam tafsir falsafi akan menjadikan
al-Qur’an bak cakrawala yang mampu didekati dengan pendekatan apapun. Namun, tafsir ini
juga memperlihatkan sisi-sisi lemahnya. Salah satu dampak dari pendekatan falsafi ini secara
umum adalah pola bernalar filsafat. Karena filsafat pada dasarnya adalah disiplin ilmu yang
bukan dari Islam sendiri, maka ada kekhawatiran berlebihan tafsir ini akan membahayakan
akidah Islam. Selain itu, penafsiran bercorak filsafat ini sering terlihat terlalu mendalam
dalam memaknai ayat, sehingga kadang terkesan berlebihan.

E. Tokoh-Tokoh Tafsir Falsafi


1. Al-Farabi
2. Ikhwan al-Safa
3. Ibn Sina

METODOLOGI TAFSIR FAKHRU AL-DIN AL-RAZI: Telaah Tafsir QS. Al-Fatihah


dalam Mafatih al-Ghayb

A. Biografi Fakhruddin Al-Din Al-Razi

Al-Razi dan Generasi Muta’akkhirin Fakhruddin Al-Razi merupakan julukan bagi


Muhammad ibn ‘Umar ibn Husayn ibn Hasan ibn ‘Ali, seorang ulama Shafi’iyyah dan
Ash’ariyyah yang lahir pada 544 H/1149 M di kota Ray, Iran. Sedang wafatnya pada 606
H/1209 M.3 Ia lahir dan tumbuh dalam keluarga ulama. Ayahnya, D}iya’uddin ‘Umar,
adalah salah seorang ulama madzhab Syafi‟i sekaligus ulama dalam ilmu kalam dari mazhab
Asy‟ariyah. Silsilah keilmuannya bersambung dengan Imam Shafi’i melalui jalur al-
Muzanni, melalui „Ali Abi Qasim al-Anmati, dari Abi ‘Abbas ibn Surayj, dari Abu Ishaq al-
Murwazi, dari Abu Zayd al-Murwazi, al-Qaffal al-Murwazi, dari Husayn al-Murwazi dan al-
Farra’ al-Baghawi. Sementara silsilah ilmu kalamnya diterima dari Sulayman ibn Nasir al-
Ansari, yang merupakan murid dari al-Juwayni (guru Imam al-Ghazali), bersambung pada
Abu Ishaq al-Isfirayini, Abu Hasan al-Bahilh hingga Abu Hasan al-Asy’ari.

B. Karya-Karya Al-Razi

Seperti pengakuan dalam wasiatnya, Al-Razi menulis buku hampir di setiap cabang
ilmu keislaman.Hampir semua karyanya menjadi rujukan utama di masa setelahnya. Seperti
al-Mahsul fi Usul al-Fiqh. Kitab ini menjadi tebal tidak hanya karena merangkum 4 kitab
ushul erkemuka, tetapi juga menampilkan perdebatan teologis dan manthiqi, seperti ulasan
tentang qiyas. Secara teknis, karya Al-Razi adalah “foto-copy diperbesar” dari karya Imam
al-Ghazali. Dalam keduanya memberi pengantar tentang struktur pengetahuan dan
penempatan terminologi-terminologi teknis dalam kerangka struktur pengetahuan
tersebut.Teknik penulisan ini dapat juga dilihat dari karyanya al-Isharah fi Ilmi al-Kalam"’,
dengan menempatkan kualitas ilmu kalam dalam struktur pengetahuan yang logis. Lebih-
lebih dalam Muhassal Afkar al-Mutaqaddimin wal Mutakkhirin, Al-Razi memberi penilaian
terhadap keyakinan sebagai objek ilmu kalam dengan pertimbangan logika Aristoteles.
Banyak sekali karya Al-Razi dari beragam disiplin keilmuan. Namun penulis membatasi pada
karya-karya yang relevan dengan tulisan ini.

C. Penafsiran Al-Fatihah oleh Al-Razi

Fakhruddin Ar-Razi banyak menggunakan filsafat dalam penafsirannya, sehingga


corak penafsiran yang lebih dominan dalam tafsir Mafatiḥ al-Ghayb digolongkan sebagai
tafsir bi al ra’yi dengan corak falsafi. Sebagai contohnya adalah penafsiran Ar-Razi dalam
QS. al-Ra’d [13]: 3.

PendapatPendapat para ulama Para ulama menilai Fakhruddin Ar-Razi dalam


karyanya Mafaātiḥ al-Ghayb berbelitbelit dalam menjelaskan ayat, dan menyertakan beragam
pendapat tanpa memberikan kesimpulan apapun. Bahkan, ada beberapa pendapat yang
mengatakan bahwa tafsir ar-Razi mengandung semua hal kecuali tafsir.

Anda mungkin juga menyukai