Tarekat yang paling berpengaruh dan tersebar secara luas di Jawa pada
saat ini ialah Tarekat Qodiriyyah wan Naqsyabandiyyah . Di Jawa Tengah dan
Jawa Timur di mana saya melakukan penelitian, terdapat pula empat kelompok
organisasi tarekat lainnya, yaitu Syatariyyah, siddiqiyyah, Syadhiliyyah, dan
Wahidiyyah, namun tidak tersebar secara luas dan pengaruhnya relatif kecil.
Asal-usul tarekat ini tidak begitu jelas. Di bawah itu, tarekat ini juga tidak
terdapat di negara-negara lain. Muncul dan perkembangannya di Jombang, Jawa
Timur, di mulai oleh kegiatan Kyai Muhtar Mukti yang mendirikan tarekat
tersebut di Losari, Ploso (Jombang) pada tahun 1958. Namun demikian, ia
sendiri tidak menganggap dirinya sebagai pendiri pertama tarekat tersebut,
tetapi menerima “warisan” kepemimpinannya dari Kyai Syu’aib yang “pergi ke
luar negeri” dan menyerahkan kepemimpinan tarekat kepada Kyai Mukhtar
Mukti pada tahun 1958. Di Jawa Timur, Kyai Mukhtar di kenal sebagai dukun
sakti. Popularitasnya sebagai dukun ini menerangkan sebagian dari sebab-sebab
mengapa ia menarik pengikutnya terutama dikalangan penderita penyakit
kronis, bekas pecandu minuman dan mereka yang dibebani oleh perasaan
bersalah atau frustasi akibat kegagalan di bidang politik dan perdagangan.
Sebagaimana mereka yang tertarik dengan Tarekat Syatariyyah, maka orang-
orang yang memasuki Tarekat Siddiyyah ini pun berasal dari kaum Abangan.
Berdasarkan pengatan Muslim Abdurrahman, keikutsertaan mereka dalam
Tarekat ini merupakan langkah maju sebagai seorang muslim yang semakin
taat.10 Tarekat ini mulai menjadi penting dan dapat menarik ratusan pengikut
pada tahun 1977, sebagai hasil dari langkah-langkah Kyai Mukhtar mendukung
Golkar dalam pemilu tahun 1977. Dukungannya terhadap Golkar ini disambut
baik oleh pejabat-pejabat pemerintah Daerah Jawa Timur yang memang sedang
memerlukan dukungan dari kelompok-kelompok organisasi Islam. Sambutan
baik dari pejabat Pemerintah Derah Jawa Timur ini, sebalikmya dapat
menghasilkan daya listrik bagi orang-orang tertentuuntuk memasuki Tarekat
tersebut. Muslim Abdurrohman menyebutkan, bahwa banyak lulusan Madrasah
dan Universitas yang segera di angkat sebagai Guru Agama Negeri, setelah
masuk menjadi anggota Tarekat Siddiqiyyah.
TAREKAT WAHIDIYYAH
Tarekat ini didirikan oleh Kyia Majid Ma’ruf di Kedunglo (Kediri) pada
tahun 1963. Secara Teoritis Tarekat ini terbuka sifatnya, karena oorang tidak
usah mengucapkan sumpah untuk menjadi anggota; siapa saja yang
mengamalkan dzikir”sholawat wahidiyyah” sudah dianggap sebagai anggota. Hal
yang mendorong Kyai Majid Ma’ruf mendirikan tareka ini adalah untuk
meningkatkan ketaatan orang islam kepada perintah-perintah Agama. Menurut
pengamatannya, kehidupan masyarakat islam di Jawa desa ini semakin jauh dari
ukuran-ukuran keislaman; orang mengukur kehidupan semata-mata dari sudut
kebendaan, sehingga Kyai Majid menganggap masyarakat Jawa desa ini
mengalami kekosongan Agama dan kejiwaan. Itulah sebabnya, ia mengajak
masyarakat islam agar menungkatkan ketakutannya kepada Tuhan dengan
setiap kali mengucapkan dzikir “fafirru ilallah”, yang maksudnya “marilah kita
kembali ke jalan Allah”. Belum banyak yang dapat kita ketahui tentang luasnya
penyebaran dan banyaknya keanggotaan Tarekat ini.
Ada dua alasan utama kenapa para Kyai mendirikan badan federasi ini.
Pertama, untuk membimbing organisasi-organisasi tarekat yang di nilai belum
mengajarkan amalan-amalan Islam yang sesuai dengan Qur’an dan Hadist.
Kedua, untuk mengawasi organisasi-organisasi tarekat agar tidak
mengalahgunakan pengaruhnya untuk kepentingan yang tidak di benarkan oleh
ajaran-ajaran Agama.
Telah sering kali di kemukakan oleh para ahli sejarah, bahwa para
penyebar islam di Jawa hampir seluruhnya adalah pemimpin-pemimpin tarekat.
Dengan kata lain berbagai kualitas tarekat yang mampu menyerap pengikut dari
bermacam-macam tingkatan kesadaran islam, merupakan ujung panah yang
sangat efektif bagi penyebaran islam di Jawa.
Para Kyai selalu menamakan dirinya sebagai “al-Faqir” yang berarti “si
miskin”. Penamaan diri al-Faqir ini sejalan dengan ayat Al-Qur’an. “dan Allah
Maha Karya, sedangkan engkau adalah miskin”12. Sebagai al-Faqir, ia selalu
menyadari bahwa dirinya tidak memiliki apa-apa; segala yang kita memiki ini
semata-mata dari Allah SWT: secara metafisik manusia ini tidak mempunyai
esensi tersendiri; Allah adalah esensi yang sebenarnya dan merupakan satu-
satunya esensi.
Sebagai “orang yang ada di jalan Allah”, para Kyai selalu berusaha patuh
kepada ajaran-ajaran Nabi yang menguraikan, bahwa agama Islam yang pada
umumnya terdiri dari tiga tinggatan, yaitu Islam, iman dan Ihsan. Orang yang
telah mengakui islam sebagai agamanya dan menyerahkan diri sepenuhnya
kepada takdir Tuhan, berhak disebut muslim. Tetapi tidak setiap muslim dapat
disebut sebagai seorang mukmin. Iman merupakan tingkatan yang lebih tinggi
lagi daripada sekedar muslim, karena iman berarti suatu ketaatan dan keterikan
hubungan yang terus-menerus dengan Tuhan. Ihsan merupakan tingkatan yang
lebih tinggi lagi, karena ihsan adalah suatu kemampuan untuk menembus lebih
tinggi lagi ke dalam inti wahyu ke-Tuhanan. Ihsan diberikan oleh Tuhan hanya
kepada beberapa orang tertentu saja.
Sejalan dengan pengertian Islam, iman dan ihsan ini, Kyai Syamsuri,
pimpinan pesantren Tebuireng (Jombang) dalam khotbanya tanggal 28 April
1981 melukiskan tingkatan-tingkatan tauhid sebagai berikut: pertama, Tauhid
zindiq, yaitu tauhidnya seorang muslim yang telah mengucapkan dua kalimat
syahadah tetapi belum sepenuhnya mengamalkan ajaran-ajaran tauhid yang
sebenarnya. Kedua, tauhid mu’min yaitu tauhidnya seorang muslim muslim yang
selalu berusaha taat kepada Tuhan. Ketiga, tauhid siddiqin, yaitu tauhidnya
seorang muslim yang walaupun tujuan dan kegiatan hidupnya hanya
diperuntukkan untuk mengabdi kepada Allah SWT, tapi masih juga menyenangi
kehidupan dunia ini. Keempat, tauhid muqarrabin, yaitu tauhidnya para wali,
yang selain kehidupannya semata-mata di tunjukkan kepada Allah SWT, juga
tidak lagi mempunyai kepentingan kehidupan duniawi.