Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH KEPESANTRENAN

A. Perkembangan 0rganisasi Tarekat


Para pennulis sejarah islam di Indonesia sering mengemukakan bahwa
meskiun para pedagang yang beragama islam baik dari Arab, India maupun dari
negara-negara lain telah berdatangan ke indonesia sejak abad ke-8, namun baru
sejak abad ke-18 mulai berkembang kelompok-kelompok masyarakat islam.
Pertumbuhan kelompok masyarakat islam yang pesat terjadi antara abad ke-13
dan ke-18, bersamaan dengan periode perkembangan organisasi-organisasi
tarekat. Kesimpulan ini tentunya berlebih-lebihan dan didasarkan pada versi
yang sangat sederhana atas suatu proses sejarah yang sebenarnya sangat
kompleks. Namun memang cukup alasan untuk menyimpulkan, bahwa peranan
organisasi-organisasi tarekat dalam penyebaran islam di Indonesia sangat besar.
Sayangnya studi sejarah dalam bidang ini belum dilakukan secara memadai,
sehingga kita masih belum tahu persis bagaimana para sufi mengembakan Islam
di Indonesia.

Para ahli sejarah tentang Islam di Indonesia dapat mengemukakan bukti-


bukti tentang perkembangan organisasi-organisisa tarekat mulai sejak abad ke-
16. Profesor Rinkes misalnya menyebutkan, bahwa Tarekat Satariyyah mula-
mula dikembangankan oleh Abdurrauf Sinkel. Kemudian menyebar ke Jawa
Barat, di bawah pimpinan Abdul Muhyi, sala seorang murid Abdurrauf Sinkel.
Dari Jawa Barat kemudian menyebar ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Demikian
pula Tarekat Qodariyah, bermula dari Aceh di bawah pimpinan Hamzah Fausuri
yang selama hidupnya banyak berkelana ke daerah-daerah lain termasuk Jawa
dengan maksud menyebarkan Tarekat Qodariyah.

Dalam abad ke-19, organisasi-oganisasi tarekat di Indonesia memperoleh


semangat dan dukungan baru dari masyarakat. Hal ini disebabkan oleh
kedatangan para pengikut Syekh Khotib Sambas dan Sulaiman Effendi dari
Mekah. Snouck Hurgronje menyebutkan , bahwa Khatib Sambas adalah seorang
kyai yang terkenal dan di anggap oleh mirid-muridnya sebagai seorang ‘alim
yang mengesuai berbagai cabang pengetahuan Islam; bahkan dianggap melebihi
kawan-kawannya yang berasal dari wilayah Hndia Belanda, karena
kedudukannya sebagai pemimpin tertinggi di Tarekat Qodariyah yang berpusat
di Mekah. Berkat kedudukannya itulah, ia dapat menuntun dan membai’at orang-
orang yang berasal dari wilayah Hindia Belanda sebagai murid Tarekat yang
sepulangkan di Indonesia mendirikan cabang Tarekat Qodariyah .7 Namun yang
cukup menarik ialah, Syekh Khatib Samsas dikenal sebagai pendiri suatu tarekat
baru, Tarekan Qodariyah wan Naqsyabandiyyah, yang menggabungkan ajaran
dua buah tarekat: yaitu Tarekat Qodiriyyah
Sulaiman Effendi adalah pemimpin Tarekat Naqsyabandiyyah. Snouck
Hurgronje menyebutkan bahwa tarekat ini emmpunyai sebuah markas besar
yang terlatak di kaki Gunung Abu Qubais di pinggiran kota Mekah. Markas besar
ini didirikan oleh Sulaiman Effendi, yang menarik pengikut-pengikutnya
kebanyakan dari Turki dan wilayah-wilayah Hindia Belanda dan berkas jajahan
Inggris di daerah Melayu.8 Dari penelitian terhadap dokumen-dokumen
pemerintah Belanda, Profesor Sartono Kartodirdjo menyimpulkan bahwa pada
umumnya Tarekat Naqsyabandiyyah merupakan tarekat yang paling banyak
pengikutnya selamat abad ke-19, kemudian disusul oleh Tarekat Qodiriyyah dan
Syatariyyah. Di samping itu, ada pula sejumlah kelompok tarekat lainnya antara
lain Rahmaniyyah dan Rifaiyyah; namun pengikutnya sangat kecil jumlahnya.9

Tarekat yang paling berpengaruh dan tersebar secara luas di Jawa pada
saat ini ialah Tarekat Qodiriyyah wan Naqsyabandiyyah . Di Jawa Tengah dan
Jawa Timur di mana saya melakukan penelitian, terdapat pula empat kelompok
organisasi tarekat lainnya, yaitu Syatariyyah, siddiqiyyah, Syadhiliyyah, dan
Wahidiyyah, namun tidak tersebar secara luas dan pengaruhnya relatif kecil.

Tarekat Syattariyyah di Jawa Timur melacak mata rantai spiritualnya


sampai kepada Tarekat Satariyyah di Banten sejak pendiriannya oleh Syekh
Abdul Muhyi dari karang. Tarekat ini berasal dari India dan pertama kali
didirikan oleh Syekh Abdullah Syattar ( meninggal tahun 1485 ). Dewasa ini
terdapat dua buah pusat Tarekat Satariyyah di Jawa Timur, yaitu pertama di
Nganjuk (Madiun) dibawah pimpinan Kyai Kusnun, dan kedua di Tarekan
(madiun) , di bawah pimpinan Kyai Turmudli. Sebelum tahun 1966, tarekat ini
tidak begitu penting, tapi sejak tahun itu pengikutnya semakin bertambah.
Pengikut-pengikut baru ini kebanyakan berasal dari kaum abang Muslim
Abdurrahman yang melakukan penelitian terhadap tarekat ini pada 1977
menyimpulkan, bahwa motif pertama kaum abangan memasuki Tarekat
Syatariyyah adalah untuk memperoleh “kesaktian”. Setelah sering berhubungan
dengan tarekat tersebut, mereka kemudian mengikuti ajaran-ajarannya dan
seterusnya menjadi anggota yang aktif. Belum diketahui secara pasti berapa
jumlah pengikut dan wilayah penyebaram tarekat ini.
TAREKAT SIDDIYYAH

Asal-usul tarekat ini tidak begitu jelas. Di bawah itu, tarekat ini juga tidak
terdapat di negara-negara lain. Muncul dan perkembangannya di Jombang, Jawa
Timur, di mulai oleh kegiatan Kyai Muhtar Mukti yang mendirikan tarekat
tersebut di Losari, Ploso (Jombang) pada tahun 1958. Namun demikian, ia
sendiri tidak menganggap dirinya sebagai pendiri pertama tarekat tersebut,
tetapi menerima “warisan” kepemimpinannya dari Kyai Syu’aib yang “pergi ke
luar negeri” dan menyerahkan kepemimpinan tarekat kepada Kyai Mukhtar
Mukti pada tahun 1958. Di Jawa Timur, Kyai Mukhtar di kenal sebagai dukun
sakti. Popularitasnya sebagai dukun ini menerangkan sebagian dari sebab-sebab
mengapa ia menarik pengikutnya terutama dikalangan penderita penyakit
kronis, bekas pecandu minuman dan mereka yang dibebani oleh perasaan
bersalah atau frustasi akibat kegagalan di bidang politik dan perdagangan.
Sebagaimana mereka yang tertarik dengan Tarekat Syatariyyah, maka orang-
orang yang memasuki Tarekat Siddiyyah ini pun berasal dari kaum Abangan.
Berdasarkan pengatan Muslim Abdurrahman, keikutsertaan mereka dalam
Tarekat ini merupakan langkah maju sebagai seorang muslim yang semakin
taat.10 Tarekat ini mulai menjadi penting dan dapat menarik ratusan pengikut
pada tahun 1977, sebagai hasil dari langkah-langkah Kyai Mukhtar mendukung
Golkar dalam pemilu tahun 1977. Dukungannya terhadap Golkar ini disambut
baik oleh pejabat-pejabat pemerintah Daerah Jawa Timur yang memang sedang
memerlukan dukungan dari kelompok-kelompok organisasi Islam. Sambutan
baik dari pejabat Pemerintah Derah Jawa Timur ini, sebalikmya dapat
menghasilkan daya listrik bagi orang-orang tertentuuntuk memasuki Tarekat
tersebut. Muslim Abdurrohman menyebutkan, bahwa banyak lulusan Madrasah
dan Universitas yang segera di angkat sebagai Guru Agama Negeri, setelah
masuk menjadi anggota Tarekat Siddiqiyyah.

TAREKAT WAHIDIYYAH

Tarekat ini didirikan oleh Kyia Majid Ma’ruf di Kedunglo (Kediri) pada
tahun 1963. Secara Teoritis Tarekat ini terbuka sifatnya, karena oorang tidak
usah mengucapkan sumpah untuk menjadi anggota; siapa saja yang
mengamalkan dzikir”sholawat wahidiyyah” sudah dianggap sebagai anggota. Hal
yang mendorong Kyai Majid Ma’ruf mendirikan tareka ini adalah untuk
meningkatkan ketaatan orang islam kepada perintah-perintah Agama. Menurut
pengamatannya, kehidupan masyarakat islam di Jawa desa ini semakin jauh dari
ukuran-ukuran keislaman; orang mengukur kehidupan semata-mata dari sudut
kebendaan, sehingga Kyai Majid menganggap masyarakat Jawa desa ini
mengalami kekosongan Agama dan kejiwaan. Itulah sebabnya, ia mengajak
masyarakat islam agar menungkatkan ketakutannya kepada Tuhan dengan
setiap kali mengucapkan dzikir “fafirru ilallah”, yang maksudnya “marilah kita
kembali ke jalan Allah”. Belum banyak yang dapat kita ketahui tentang luasnya
penyebaran dan banyaknya keanggotaan Tarekat ini.

Tarekat Syadiliyyah di Jawa Timur hanya mempunyai beberapa pengikut


saja dan tidak cukup berarti untuk dibahas dibuku ini. Para Kyai yang bergabung
dalam organisasi NU di Jawa Tengah dan Jawa Timur menganggap tarekat
Qodiriyyah wan Naqsabandiyyah sebagai tarekat yang Mu’tabar (sah),
sedangkan keempat tarekat tersebut di atas, dianggap tidak mu’tabar (sah)

TAREKAT MU’TABARAH NAHDLIYYIN

Pada tanggal 10 Oktober 1957, para Kyai mendirikan suatu badan


faderasi bernama ucuk pimpinan jam’iyah ahli thoriqoh Mu’tabarah, sebagai
tindak lanjut dari keputusan muktamar NU tahun 1979 di Semarang, nama
badan ini diganti menjadi jam’iyyah thoriqoh muktabarah nadliyyin.
Penambahan kata “Nadliyyin” ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa badan
faderasi ini harus tetap berafiliasi kepada NU. Sejak berdirinya, pimpinan
tertinggi badan federasi ini adalah para Kyai ternama dari pesantren-pesantren
besar, antara lain Kyai Baidlawi, Kyai Ma’sum dan Kyai Hafidh (ketiganya
pemimpin pesantren Lasem, Rembang). Kyai Muslih dari Mranggen (Semarang),
Kyai Adlan dari Tebuireng (Jombang), dan Kyai Arwani dari Kudus. Mereka
adalah pemimpin-pemimpin Tarekat Qodariyyah wan Naqsabandiyyah di
daerahnya masing-masing, di samping sebagai pimpinan dalam organisasi NU.

Sebagaimana ditanyakan dalam konstitusinya, badan federasi ini


bertujuan: (1) mengingatkan pengalaman syari’at Islam di kalangan masyarakat,
(2) mempertebal kesetian masyarakat kepada ajaran-ajaran dari salah satu
mazhab empat; dan (3) menganjurkan para anggota tarekat agar meningkatkan
amalan-amalan ibadah dan mu’amalah, sesuai dengan yang dicontohkan oleh
para ulama salihin. Pasal 4 dari konstitusi jam’iyah ini menyatakan, bahwa badan
federasi ini akan tetapi kepada faham ahlussunnah wal jama’ah.

Ada dua alasan utama kenapa para Kyai mendirikan badan federasi ini.
Pertama, untuk membimbing organisasi-organisasi tarekat yang di nilai belum
mengajarkan amalan-amalan Islam yang sesuai dengan Qur’an dan Hadist.
Kedua, untuk mengawasi organisasi-organisasi tarekat agar tidak
mengalahgunakan pengaruhnya untuk kepentingan yang tidak di benarkan oleh
ajaran-ajaran Agama.

Para Kyai menyadari sepenuhnya, bahwa para pemimpin tarekat


memiliki pengaruh dan kekuasaan yang tidak terbatas atas pengikut-
pengikutnya dan sebaliknya para pengikut itu pun pada waktu-waktu tertentu
menyampaikan hadiah-hadiah pada gurunya, sehingga dikhawatirkan adanya
guru tarekat yang hendak mengeruk keuntungan material atas hubungan guru-
murid yang sebenarnya bersifat spiritual ini.

B. PERANAN TAREKAT DALAM PENYEBARAN ISLAM

Telah sering kali di kemukakan oleh para ahli sejarah, bahwa para
penyebar islam di Jawa hampir seluruhnya adalah pemimpin-pemimpin tarekat.
Dengan kata lain berbagai kualitas tarekat yang mampu menyerap pengikut dari
bermacam-macam tingkatan kesadaran islam, merupakan ujung panah yang
sangat efektif bagi penyebaran islam di Jawa.

Ada banyak alasan yang dapat menerangkan kenyataan ini.

Pertama tekanan tarekat pada amalan-amalan praktis dan etis cukup


menarik perhatian bagi kebanyakan anggota masyarakat. Dengan demikian
penyebaran islam tidak melalui ajaran-ajaran keagamaan secara teoritis,
melainkan mealui contoh-contoh perbuatan dari para guru tarekat. Disamping
itu tekanan praktis ini juga dapat memenuhi spiritual dan emosional, terutama
orang-orang tua yang mulai berkurang keinginan dan kebutuhannya terhadap
tuntutan kehidupan yang bersifat duniawiah. Dengan demikian, islam yang
disebarkan oleh organisasi-organisasi tarekat bukan bersifat doktrin-doktrin
formal yang kaku, melainkan menekankan perasaan keagamaan, dan keintiman
hubungan baik antara manusia baik dengan Tuhan maupun sesama manusia.

Kedua, pertemuan secara teratur antara sesama anggota tarekat (yang


biasanya diatur mingguan) dapat pula memenuhi kebutuhan sosial mereka.
Ketiga, organisasi-orgaisasi di Jawa mengajak partisipasi kaum wanita secara
penuh, hal mana kurang memperoleh saluran yang cukup dalam lembaga
keislaman yang lain. Sebagaimana saya gambarkan dalam bab yang lalu,
presentase kaum wanita dalam keanggotaan tarekat dipesantren Tegalsari, lebih
besar dari kaum prianya.

C. DASAR-DASAR DOKTRIN AMALAN DALAM LINGKUNGAN PESANTREN

Dalam bukunya Siraj at-Tholibin, Kyai Ihsan Muhammad Dahlan,


pemimpin pesantren Jampes, Kediri, mengawali kupasannya dengan sebuah
epigraph: “Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu yang tulus
ikhlas dan penuh kebahagiaan”. Epigraph ini menunjukkan keyakinan Kyai Ihsan
bahwa tujuan utama kehidupan manusia ialah “kembali ke pangkuan ilahi”.
Sesungguhannya perhatian utama para Kyai dalam kehidupan ini ialah untuk
dapat mengalami hubungan yang dekat dan mendalam dengan Tuhan. Menurut
mereka, hanya ada satu jalan untuk memperolah hubungan yang mendalam
dengan Tuhan:
“Engkau harus mengikuti contoh kehidupan yang dilakukan oleh

Nabi Muhammad SAW; engkau harus selalu bertindak sesuai dengan

Tindakan-tindakan dan ajaran-ajaran Nabi, sebab ini semua berarti

Ekspresi kecintaanmu kepada Allah SWT.”11

Para Kyai selalu menamakan dirinya sebagai “al-Faqir” yang berarti “si
miskin”. Penamaan diri al-Faqir ini sejalan dengan ayat Al-Qur’an. “dan Allah
Maha Karya, sedangkan engkau adalah miskin”12. Sebagai al-Faqir, ia selalu
menyadari bahwa dirinya tidak memiliki apa-apa; segala yang kita memiki ini
semata-mata dari Allah SWT: secara metafisik manusia ini tidak mempunyai
esensi tersendiri; Allah adalah esensi yang sebenarnya dan merupakan satu-
satunya esensi.

Sebagai “orang yang ada di jalan Allah”, para Kyai selalu berusaha patuh
kepada ajaran-ajaran Nabi yang menguraikan, bahwa agama Islam yang pada
umumnya terdiri dari tiga tinggatan, yaitu Islam, iman dan Ihsan. Orang yang
telah mengakui islam sebagai agamanya dan menyerahkan diri sepenuhnya
kepada takdir Tuhan, berhak disebut muslim. Tetapi tidak setiap muslim dapat
disebut sebagai seorang mukmin. Iman merupakan tingkatan yang lebih tinggi
lagi daripada sekedar muslim, karena iman berarti suatu ketaatan dan keterikan
hubungan yang terus-menerus dengan Tuhan. Ihsan merupakan tingkatan yang
lebih tinggi lagi, karena ihsan adalah suatu kemampuan untuk menembus lebih
tinggi lagi ke dalam inti wahyu ke-Tuhanan. Ihsan diberikan oleh Tuhan hanya
kepada beberapa orang tertentu saja.

Sejalan dengan pengertian Islam, iman dan ihsan ini, Kyai Syamsuri,
pimpinan pesantren Tebuireng (Jombang) dalam khotbanya tanggal 28 April
1981 melukiskan tingkatan-tingkatan tauhid sebagai berikut: pertama, Tauhid
zindiq, yaitu tauhidnya seorang muslim yang telah mengucapkan dua kalimat
syahadah tetapi belum sepenuhnya mengamalkan ajaran-ajaran tauhid yang
sebenarnya. Kedua, tauhid mu’min yaitu tauhidnya seorang muslim muslim yang
selalu berusaha taat kepada Tuhan. Ketiga, tauhid siddiqin, yaitu tauhidnya
seorang muslim yang walaupun tujuan dan kegiatan hidupnya hanya
diperuntukkan untuk mengabdi kepada Allah SWT, tapi masih juga menyenangi
kehidupan dunia ini. Keempat, tauhid muqarrabin, yaitu tauhidnya para wali,
yang selain kehidupannya semata-mata di tunjukkan kepada Allah SWT, juga
tidak lagi mempunyai kepentingan kehidupan duniawi.

Menurut Kyai Syamsuri, orang-orang yang telah mencapai tingkatan


tauhid siddiqin dan muqarrabin selalu melakukan amalan-amalan, baik dan
bersifat ‘ubudiyyah maupun muamalah, antara lain zakat dan amal jariyah.
Mereka yang mengerjakan amalan ‘ubudiyah tanpa mengerjakan amalan-amalan
yang bersifat mu’amalah, didibaratkan oleh Kyai Syamsuri sebagai pohon yang
tidak dapat menghasilkan buah. Amalan-amalan mu’amalah mempunyai nilai
yang lebih tinggi dibandingkan amalan-amalan ‘ubudiyyah yang bersifat sunnat.
Ini berarti bahwa iman dan Ihsan bagi para pengamal tarekat merupakan
pengamalan syari’ah, baik yang bersifat ritual maupun bersifat sosial.
Para Kyai sering menghubungkan ihsan dengan watak ikhlas. Keikhlasan
adalah ajaran islam yang paling tinggi, Kyai Abdul Jalil menunjukkan tiga
tingkatan Ikhlas. Tingkat ke ikhlasan yang paling rendah adalah keikhlasan
seorang muslim yang melakukasn kewajiban-kewajiban agama hanya karena
adanya perintah. Tingkat keikhlasan yang kedua adalah keikhlasan seorang
muslim yang melaksanakan amalan-amalan ibadah bukan karena semata-mata
menjalankan kewajiban, melainkan karena telah menjadi kebutuhan hidupnya.
Tingkatan ikhlas yang ketiga adalah keikhlasan seorang muslim yang
mengerjakan ibadah ritual dan sosial semata-mata untuk mendekatkan diri
kepada Tuhan.13

Semua tingkatan tersebut mempunyai inti yang sama, yaitu keikhlasan


mengabdi kepada Tuhan dengan cara melaksanakan amalan-amalan ibadah.
KyaiAbdul Jalil menujukkan lawan dari sifat ikhlas, yaitu sifatriya’, yaitu
mengerjakan amalan-amalan ibadah karena ingin di nilai oleh orang lain sebagai
orang yang taat beribadah. Dengan demikian, riya’ berarti pengerjaan ibadah
karena ingin memperoleh pengaruh dalam masyerakat; dan sifat yang seperti ini
sangat merusak hubungan yang murni antara manusia dan Tuhan. Namun hal
ini tidak berarti bahwa pengamalan ibadah itu sebaiknya dilakukan secara
menyendiri. Kyai Adlan ‘Ali dalam khotbah jum’atnya tanggal 31 Maret 1978
menekankan bahwa bahwa Tuhan akan memberikan pahala 27 kali kepada
orang yang mengerjakan sembahyang berjama’ah. Namun demikian, haruslah
disadari benar bahwa sembahyang berjama’ah tersebut aharus dilakukan
dengan seikhlas-ikhlasnya; semata-mata karena Allah SWT, dan tidak karena
merasa malu kepada orang lain.

Para Kyai menekankan pentingnya sembahyang dan dzikir sebagai cara


utama dalam peningkatan kehidupan spiritual seorang. Sembahyang dan dzikir
pada dasarnya menyebut-nyebut nama Tuhan. Untuk melepaskan keterikatan
dirinya dengan alam duniawi, dan menyadari hakikat dirinya sebagai makhluk
Allah SWT, sehingga memudahkan dirinya mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Dalam tradisi tarekat, pendekatan diri sebagai hamba Allah SWT” ini merupakan
ytujuan dan kebahagiaan hidup yang paling utama. Banyak ayat Al-Qur’an dan
hadist Nabi yang memerintahkan agar manusia mengagungkan nama Allah SWT.
Para Kyai berkeyakinan bahwa tarekat merupakan unsur yang tidak dapat
dipisahkan dari aspek hukum dan tuahid. Kyai Syamsuri menjelaskan bahwa
para Kyai mengikuti tradisi imam Malik yang mengajarkan , bahwa “seorang
muslim yang mempelajari syariah Islam tetapi melupakan aspek tasawwuf, akan
menjadi munafiq; seorang yang mempelajari tasawuf tetapi mengabaikan
syari’ah menjadi kafir zindiq; dan seorang muslim yang mempelari dan
mengamalakan dua-duanya (syari’ah dan tasawuf ) akan mendapat
kesempurnaan dala ke-Islaman.”

Anda mungkin juga menyukai