Anda di halaman 1dari 9

KATA PENGANTAR

Pujisyukur kami panjatkankehadiratallah SWT atas limpahanrahmat dan hidayah-Nya sehingga


penyusunan makalah hasilriset study pustaka ini dapat terselesaikan.

Laporan pengamatan ini kami susun untuk memenuhitugas yang diberikankepada kami

Selanjutnya, kami mengucapkanterimakasihkepadaIbuMelianaNedoselaku guru


bidangstudisejarah yang telahmemberikanbimbingandan saran yang berharga dalam
penyusunan makalah inisehingga dapa tterselesaikan dengan baik

Kami
menyadaribahwalaporaninisangatjauhdarikesempurnaandanmasihmengalamikekuranganbaikd
arisegiisimaupunpenyusunannya.Makadariitu, kritikdan saran dari pembacasangat diharapkan
untuk menyempurnakan laporan kami selanjutnya.
BAB I

PENDAHAULUAN

Sebuah benda sejarah yang terdapat di kepulauan selayar merupakan sebuah pelajaran yang
harus di kita teliti benda ini mempunya nilai sejarah yang tinggi benda ini merupakan
peninggalan pada zaman yang sama

Gong nekara dan Jangkar Raksasa adalah salah satu benda peninggalan zaman belanda yang
patut kita jaga dan patut kita kembangkan GONG NEKARA yang terletak di padang kepulauan
selayar ini merupakan satu dari dua peinggalan sejarah yang ada di dunia

Penelitian kami lakukan agar kami dapat mengetahui apa dan di mana asal dari kedua benda ini

A. RUMUSAN MASALAH
1. Menjelaskan jangkar dan Gong nekara Sejak kapan berada di selayar
2. Agar para siswa mengetahui bentuk dari kedua benda ini
3. Menjelaskan kedua benda Sejarah ini
B. TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mengetahui sejarah dari kedua benda tersebut
2. Untuk memberikan pengatahuan sejak kapan dan dari mana kedua benda tersebut
ditemukan
3. Untuk mengetahui siapa yang membawa kedua benda bersejarah tersebut dan
BAB II

PEMBAHASAN

A. Jangkar Rakasa

Kampung Padang ini letaknya memang sangat terpencil dan jauh dari peradaban perkotaan.
Kapung Padang terletak di Desa Bontosunggu Kecamatan Bontoharu. Kampung ini
mempunyai latar sejarah yang menarik untuk ditelusuri.
Di balik ketandusan alamnya, perkampungan yang dihuni oleh mayoritas nelayan ini
rupanya menyimpan sejarah lalu lintas pelayaran dan perdagangan pada abad ke-17 dan 18
yang secara arkeologis, dibuktikan oleh temuan jangkar raksasa. Masyarakat setempat sering
juga menyebut benda ini sebagai balango lopinna Sawerigading (jangkar kapal milik
Sawerigading).

Jangkar milik saudagar Cina


Jangkar ini diduga milik saudagar Cina bernama Gowa Liong Hui (Baba Bos Kamar), yang
pernah datang dengan kapalnya yang sangat besar membawa barang dagangan. Setelah
bertahun-tahun kapal ini melalui perairan Padang (Selayar), akhirnya rusak dan tidak dapat
digunakan lagi untuk berlayar.
Selain itu, di perkampungan nelayan ini juga terdapat peninggalan berupa Meriam Kuno.
Berdasarkan cerita rakyat yang berkembang, konon kabarnya meriam tersebut merupakan
peninggalan seorang saudagar Cina bernama Baba Desan yang datang dari Gowa. Saudagar
ini datang bersama barang dagangannya dengan tujuan mencari perairan baru untuk
mendapatkan hasil laut seperti teripang, ikan, dan sebagainya.

B. Selain jangkar raksasa tersimpan juga meriam kuno di sana

Meriam ini adalah kelengkapan peralatan dalam kegiatan pelayaran yang bertujuan sebagai
senjata untuk melindungi diri dan barang-barang bawaan. Mengingat pada waktu itu di
perairan Sulawesi masih ramai oleh bajak laut, dalam perjalanannya Baba Desan melengkapi
kapalnya dengan peralatan senjata berupa meriam, tombak serta panah dengan maksud untuk
menjaga segala kemungkinan bahaya yang  mengancam.
Selain itu Padang juga merupakan tempat persinggahan untuk menambah perbekalan dan
pesediaan air minum serta berlindung dari cuaca yang buruk dalam suatu musim pelayaran.
Seperti diketahui Selayar berada di jalur pelayaran dan perdagangan sebelum dan sesudah
kedatangan bangsa barat terbentuk dalam kerangka pelayaran dan perdagangan antar
kawasan Barat dan Timur Nusantara
Kini Jangkar dan meriam kuno sudah mengalami penyusutan akibat korosi. Konon jangkar
tersebut susah untuk dipindahkan ke tempat yang sekarang, dan untuk memindahkannya
membutuhkan tenaga orang sekampung.

Di Dusun Padang, sekitar 8 km arah selatan kota Benteng, Kepulauan Selayar, terdapat
sebuah peninggalan sejarah yang patut anda kunjungi. Benda yang memiliki nilai history itu
berupa jangkar raksasa yang tersimpan pada sebuah ruangan khusus yang dikelola
pemerintah setempat.

Jangkar yang dilengkapi dengan meriam itu konon merupakan peninggalan pedagang Cina
pada abad 17-18. Konon katanya, Jangkar Raksasa ini milik seorang saudagar China
bernama Gowa Liong Hui yang mengadakan pelayaran menggunakan kapal besar dan
singgah di Padang pada akhir abad XVII. Sampai suatu saat kapal dagang milik Cowa Liong
Hui ini rusak hingga tidak dapat lagi digunakan untuk berlayar, kemudian jangkar kapal
diamankan oleh penduduk setempat yang dikemudian hari menjadi bukti sejarah.

Ada dua jangkar ditempat ini. Jangkar pertama berukuran,panjang batang : 226 cm,panjang
lengkungan : 167 cm, lingkar batang : 60 cm. Sementara jangkar kedua berukuran, panjang
batang : 229 cm, panjang lengkungan 117 cm dan lingkar batang, 70 cm. Dari penuturan
warga, ternyata bukan hanya wisatan lokal yang sering datang di tempat ini. Wistawan dan
peneliti budaya dan sejarah dari luar negeri juga berdatangan di tempat ini.

Untuk meriam sendiri, jumlahnya 3 buah. Jika jangkar raksasa merupakan milik dari
saudagar China, lain cerita dengan tiga meriam kuno yang ditempatkan diruang yang sama.
Konon, pemilik meriam ini seorang saudagar dari Gowa keturunan Cina yang bernama Baba
Desan.

Baba Desan datang ke dusun Padang bersama dengan armada dagangnya dalam rangka
mencari perairan baru untuk mendapatkan hasil laut yang akhirnya dia menetap di dusun
Padang tersebut. Makanya sekarang ini, meriam tersebut dapat dijumpai di dusun padang
kab. Selayar. Ukuran meriam ini bervariasi. Meriam I berukuran, panjang 117 cm, diameter
mulut 17 cm, diameter lubang mulut 8 cm. Meriam II bekuran panjang 123 cm, diameter
mulut 23 cm, diameter lubang mulut 10 cm. Sementara meriam III berukuran, panjang 125
cm, diameter mulut 18 cm, diameter lubang mulut 8 cm.

Dusun Padang terletak pada areal Bandara Aroeppala Kabupaten Kepulauan Selayar. Lokasi
jangkar tua itu sendiri bisa anda kunjungi sesaat setelah mendarat di Pulau Selayar atau
sebelum meininggalkan Selayar melalui penerbangan Selayar – Makassar. Atau jika anda
berkunjung ke Pantai Baliyya, lokasi jangkar tua tersebut hanya berjarak sekitar 4 km dari
pantai berpasir putih itu.

C. GONG NEKARA

Gong nekara adalah gong perunggu buatan kebudayaan Dong Son, yang terdapat di delta
Sungai Merah Vietnam Utara. Gong ini diproduksi pada sekitar 600 tahun sebelum masehi
atau sebelumnya, sampai abad ketiga Masehi. Dengan menggunakan metode pengecoran
logam yang telah hilang (lost wax method),[1] gong ini oleh para peneliti sejarah dianggap
sebagai salah satu contoh terbaik dari budaya pengerjaan logam. Gong Nekara ini
mempunyai 3 fungsi pada masanya,[2] yakni fungsi Keagamaan, Sosial-Budaya, dan Politik.
Fungsi keagamaan yaitu sebagai alat komunikasi, upacara, dan simbol. Sementara fungsi
sosial budaya yaitu sebagai simbol status sosial, perangkat upacara dan karya seni yang
mempunyai daya magis religius. Sedangkan fungsi politik yaitu sebagai tanda bahaya atau
isyarat perang.
Gong Nekara mempunyai luas lingkaran sebesar 396 cm persegi, luas lingkaran pinggang
340 cm persegi, dan tinggi 95 cm persegi. Keunikan yang dimiliki gong yang dikenal sakral
itu adalah adanya gambar bermotif flora dan fauna terdiri dari gajah 16 ekor, burung 54 ekor,
pohon sirih 11 buah dan ikan 18 ekor. Sementara dipermukaan gong bagian atas terdapat 4
ekor arca berbentuk kodok dengan panjang 20 cm dan di samping terdapat 4 daun telinga
yang berfungsi sebagian pegangan. Pada bidang pukul terdapat hiasan geometris, demikian
pula pada bagian tengah gong terdapat garis pola bintang berbentuk 16. Nekara secara
vertikal terdiri atas susunan kaki berbentuk bundar seperti silinder, badan dan bahu
berbentuk cembung.

TERTUA DI DUNIA

, seorang peneliti asal Belanda pada tahun 1882 mengadakan penelitian untuk mengetahui


asal usul gong nekara
atas perkenan Opu Bontobangun Massairang Daeng Mangatta (1895–1936), AA
Cense mengunjungi gong nekara (Keteltrom) di Bontobangun
Gong Nekara terbesar di Asia Tenggara dan bahkan tertua di dunia[3] adalah gong nekara
yang ada di Pulau Selayar. Menurut informasi dari tetua adat dan penduduk
Kelurahan Bontobangun (tempat ditemukannya gong nekara), gong tersebut ditemukan
secara tidak sengaja oleh seorang penduduk dari Kampung Rea-Rea yang
bernama Sabuna pada tahun 1686. Pada saat itu Sabuna sedang mengerjakan sawah
Raja Putabangun di Papaniohea, tiba-tiba cangkul Sabuna membentur benda keras yang
ternyata adalah hiasan katak yang merupakan bagian dari gong nekara. Sejak berakhirnya
Dinasti Putabangun, pada tahun 1760 gong nekara tersebut dipindahkan ke Bontobangun
dan menjadi kalompoang/arajang (benda keramat) Kerajaan Bontobangun.
Legenda mengenai keberadaan Gong Nekara di Pulau Selayar berasal dari 2 (dua) sumber.
Sumber yang pertama yaitu cerita mitos Sawerigading yang berkembang pada
periode Galigo, suatu periode kekuasaan manusia dewa yang mengatur tata tertib dunia
dengan pola kepemimpinan religius kharismatis. Sawerigading ditempatkan sebagai tokoh
utama dalam perwujudan tata tertib dan penataan pertama
masyarakat Bugis - Makassar di Sulawesi Selatan. Periode Galigo diperkirakan berlangsung
sekitar abad ke-7 sampai abad ke-10 tetapi Christian Pelras menempatkannya pada sekitar
abad ke-12.
Sumber yang kedua adalah naskah hukum pelayaran dan perdagangan Ammana
Gappa (abad 17) dimana Pulau Selayar disebut sebagai salah satu daerah tujuan niaga.
Letaknya sangat strategis bagi pelayaran yang menuju ketimur maupun ke barat. Dengan
demikian Pulau Selayar menjadi bandar transit bagi lalu lintas pelayaran kala itu. Di dalam
naskah itu juga disebutkan tentang daftar sewa bagi orang yang berlayar
dari Makassar ke Aceh, Kedah, Kamboja sewanya 7 rial dari tiap seratus (orang) dan apabila
naik dari tempat tersebut menuju Selayar, Malaka, Johor, sewanya 6 rial dari tiap seratus
(orang).
Dari sumber tersebut memberikan keterangan tentang peranan Pulau Selayar dengan daerah-
daerah di Nusantara dan Asia Tenggara. Hal ini memperkuat dugaan bahwa gong nekara
mungkin didatangkan dari daratan Asia Tenggara pada waktu pengaruh kebudayaan Cina
berkembang di kawasan itu. Menurut cerita yang terkait dengan gong nekara di Pulau
Selayar, dikatakan bahwa ketika Sawerigading bersama isterinya (We Cuddai) dan ketiga
putranya (La Galigo, Tenri Dio, dan Tenri Balobo) kembali dari Cina, dalam perjalanannya
menuju ke Luwuk mereka singgah di Pulau Selayar dan langsung menuju ke suatu tempat
yang disebut Putabangun dengan membawa sebuah nekara perunggu yang besar. Di tempat
itu mereka dianggap sebagai Tumanurung. Pada saat itulah Tenri Dio dianggap menjadi raja
pertama di Putabangun dan menempatkan gong nekara itu sebagai kalompoang di Kerajaan
Putabangun.
Dari cerita itu dapat disimpulkan bahwa Gong Nekara dibawa dari Cina oleh Sawerigading.
Yang dimaksud dengan Cina disini, mungkin adalah Indo China. Selain itu, masyarakat juga
menganggap bahwa hanya ada dua gong nekara di dunia, yaitu sebuah di Pulau Selayar dan
sebuah lagi berada di Cina. Gong nekara yang ada di Pulau Selayar dianggap
sebagai suami dan yang ada di Cina dianggap sebagai isteri. Hal ini mengingatkan kita pada
nekara yang dipuja berpasangan di daerah Birma yang dipersonifikasikan sebagai pasangan
suami isteri. Nekara yang di atasnya terdapat hiasan katak berukuran lebih tinggi
melambangkan pria, sedangkan yang tidak memakai hiasan katak dan berukuran lebih kecil
dan rendah melambangkan wanita. Dengan demikian tampak adanya persamaan nilai
simbolis dari negara penganut kebudayaan perunggu khususnya gong nekara di Indonesia
dan Asia Tenggara[4].
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
a. Kesimpulan
Kepulauan Selayar punya ikon yang sungguh. Ada gong nekara perunggu jantan, yang
konon terpisah dengan gong nekara betina di negara lain.
Kepulauan Selayar seakan tak ada habisnya dengan yang namanya peninggalan sejarah.
Kali ini ada gong nekara perunggu yang jadi salah satu ikon dari kepulauan tersebut.
Menurut sejarah, gong nekara perunggu ada 2 jenis yaitu jantan dan betina. Yang jantan
berada di Selayar, sedangkan betinanya diklaim berada di China.
Gong nekara berbentuk dandang terbalik dan memiliki beberapa ornamen. Di antaranya
ada motif gajah, bangau, katak, ikan, pohon sirih hingga simbol matahari

Secara arkeologis pada abad ke-17 dan 18 di sekitar kampung Padang merupakan arus
lalu lintas perdagangan. Jadi tak heran jika di kampung ini ditemukan sebuah jangkar
raksasa yang konon milik suadagar Cina bernama Gowa Liong Hui (Baba Bos Kamar). 

Dia datang ke Selayar dengan kapal yang besar dan membawa barang dagangan. Setelah
bertahun-tahun kapal ini melalui perairan Padang (Selayar), akhirnya rusak dan tidak
dapat digunakan lagi untuk berlayar
b. Saran
Sebagai generasi muda kita patut menjaga dan merawat kedua benda bersejarah ini di
mana ini sudah menjadi ikon kabupaten kepulauan selayar . jangan merukas kedua benda
bersejarah ini .
DAFTAR PUSTAKA

: http://id.shvoong.com/humanities/history/2266640-pembagian-zaman-prasejarah-
berdasarkan-geologi/#ixzz2rLPihCnr

 WayanBadrika I. 2006. SejarahUntuk SMA Kelas X,  Jakarta. Erlangga

Haspari,RatnadanM.Adil. 2013. Sejarah Indonesia Untuk SMA/MA kelas X. Jakarta. Erlangga

Ari Listiyani, Dwi. 2009. Sejarahuntukkelas X, Jakarta.


PusatPerbukuanDepartemenPendidikanNasional

Dwiyantara, Heru. 2010. MateriIntidanSoalJawabSejarah. Solo. TigaSerangkai

HabibMustofo, M dkk. 2003. SejarahUntukKelas 1 SMA. Malang. Yudhistira

Anda mungkin juga menyukai