Induksi Persalinan
Induksi Persalinan
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ALKHAIRAAT
PALU
REFERAT
JULI 2018
INDUKSI PERSALINAN
Pembimbing:
dr. Sasono Udijanto, Sp.OG
1
PALU
2018
2
HALAMAN PENGESAHAN
Fakultas : Kedokteran
Universitas : Alkhairaat
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu
Universitas Al-Khairaat.
Mengetahui,
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
Induksi mungkin saja menginisiasi intervensi selanjutnya, seperti seksio
sesaria. Namun, dengan metode modern induksi persalinan, resikonya semakin
berkurang. 4
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. DEFINISI
II. INDIKASI
6
b) Perkiraan risiko yang mungkin terjadi pada ibu, seperti meningkatkan rasa
sakit dan kebutuhan untuk analgesik, hiperstimulasi uterus, seksio sesaria,
infeksi, komplikasi dari prosedur tindakan medis, perdarahan pasca salin,
ruptur uterus (sangat jarang terjadi), kecemasan jika induksi diperpanjang
atau tidak berhasil, dan kehilangan rasa percaya diri karena merasa gagal
melahirkan dengan normal.4
c) Keuntungan bagi bayi, seperti memperbaiki pertumbuhan dan
perkembangan ketika pertumbuhan dalam janin tidak lagi optimal,
mengurangi risiko kematian dalam janin karena komplikasi dari diabetes,
kehamilan post-term, amnionitis, ketuban pecah dini, inkompatibilitas
rhesus, ancaman terhadap janin, dan kolestasis pada kehamilan.4
d) Perkiraan risiko yang mungkin terjadi pada bayi seperti prematuritas dan
dampak dari hiperstimulasi uterus.4
1) Kondisi ibu
2) Kondisi bayi.
3) Usia kehamilan dan tingkatan pertumbuhan janin di dalam rahim. Bila
kematangan paru tidak bisa dipastikan, amniosintesis dapat dilakukan
untuk memeriksa penanda kematangan paru seperti alcohol ‘shake’ test,
rasio lecithin/spingomyelin dan level glycerol phosphatidil.
4) Riwayat seksio sesaria sebelumnya.
5) Preferensi ibu.
6) Kemungkinan efisiensi induksi dan keberhasilan persalinan
pervaginam.
7) Pembukaan serviks.
7
Tabel 1. Indikasi induksi absolut dan relatif faktor maternal
Adapun indikasi lain seperti faktor logistik yaitu seperti risiko persalinan
cepat, jarak dari rumah ke rumah sakit, ketersediaan tenaga medis, pendampingan
suami, dan lain-lain.1,3
8
Berdasarkan indikasi-indikasi tersebut, risiko untuk ibu dan janin harus
dipertimbangkan, untuk memastikan bahwa keuntungan lebih besar dari risiko
yang ada. Komplikasi pada ibu utamanya adalah tingginya risiko persalinan
operatif bila induksi dinilai gagal. Sedangkan risiko untuk janin adalah
prematuritas. Kapan pun ditemukan bukti maturitas paru janin, atau usia
kehamilan mencapai 39 minggu (dikonfirmasi dengan USG), keputusan untuk
induksi persalinan tidak lah sulit. Persetujuan ibu terhadap tingginya risiko
operasi dapat diperoleh dan risiko prematuritas pada bayi dapat ditangani oleh unit
neonatus modern.2
III. KONTRAINDIKASI
9
Pernoll’s handbook of Obstetrics and Gynecology. 2001. Roman AS. Current
Diagnosis & Treatment Obstetrics & Gynecology, 2013
Kriteria Parameter
Maternal Konfirmasi indikasi induksi
Meninjau kontraindikasi untuk persalinan normal
Menilai kondisi serviks (menggunakan skor
Bishop)
Meninjau ulang risiko, keuntungan, dan alternatif
induksi persalinan bersama dengan pasien
Janin Konfirmasi usia kehamilan
Penilaian untuk membuktikan status maturitas paru
Estimasi berat janin (baik secara klinis maupun
USG)
Menentukan letak dan presentasi janin
Konfirmasi status janin
Sumber: Gabbe SG, Niebyl JR, Simpson JL, Landon MB, Galan HL, Jauniaux
ERM, et al. Obstetrics Normal and Problem Pregnancies. 2007
Kriteria Parameter
Klinis 1. Kehamilan > 39 minggu dihitung dari hari pertama
haid terakhir, jika ibu memiliki riwayat siklus haid
yang teratur.
2. Detak jantung janin sudah terekam pada usia
kehamilan > 20 minggu dengan fetoscope non-
10
elektrik atau >30 minggu dengan ultrasound
Doppler
Laboratorium Usia kehamilan > 36 minggu terhitung sejak tes serum
HCG (tes plano) positif.
USG Estimasi usia kehamilan dengan USG dianggap akurat
bila berdasarkan pengukuran crown-rump yang
dilakukan pada usia 6-11 minggu kehamilan atau
berdasarkan pada pengukuran diameter biparietal yang
dilakukan pada usia kehamilan 20 minggu.
Maturitas Paru Berdasarkan Pedoman Perawatan Perinatal, usia
Janin kehamilan dapat dikonfirmasi jika dua atau lebih
kriteria klinis atau laboratorium di atas terpenuhi. Jika
usia kehamilan, tidak dapat dikonfirmasi, analisis
cairan amnion dapat digunakan untuk pembuktian
maturitas paru janin. Ada banyak macam tes yang
dapat dilakukan, yakni sebagai berikut
1. Rasio lecithin/sphingomyelin (L/S) > 2,1
2. Adanya phosphatidylglycerol (PG)
3. Nilai TDxFLM > 70 mg surfactant per 1 g albumin
4. Adanya saturated phosphatidylglycerol (SPC) > 500
ng/ml pada pasien non diabetik (> 1000 ng/mL untuk
pasien pra gestasional diabetik)
Sumber: Gabbe SG, Niebyl JR, Simpson JL, Landon MB, Galan HL, Jauniaux
ERM, et al. Obstetrics Normal and Problem Pregnancies. 2007
11
Pada trimester awal persalinan, 50% dari bagian serviks terdiri dari
kolagen yang berikatan kuat, 20% adalah otot polos, dan sisanya adalah substansi
basal yang terdiri dari elastin dan glycosaminoglycans (chondrotin, dermatan
sulfat, dan hyaluronidase). Selama kehamilan, hyaluronidase meningkat dari 6%
menjadi 33%, sedangkan dermatan dan chondritin, yang mengikat kolagen,
berkurang. Enzim kollagenase dan elastase meningkat bersama dengan
vaskularitas dan substansi air.4
Penipisan/
Pembukaa Penurunan
Skor Pendataran(% Konsistensi Posisi
n (station)
)
0 Tertutup 0-30 -3 Tebal Posterior
1 1-2 40-50 -2 Sedang Midposition
2 3-4 60-70 -1 Lunak Anterior
3 >5 > 80 +1, +2 - -
Sumber: Gabbe SG, Niebyl JR, Simpson JL, Landon MB, Galan HL, Jauniaux
ERM, et al. Obstetrics Normal and Problem Pregnancies. 2007
12
Tidak hanya itu, menginduksi kontraksi uterus dengan serviks yang
belum terbuka, memiliki kemungkinan yang besar akan berujung pada operasi
seksio sesaria; bahkan jika akhirnya persalinan pervaginam tercapai, proses
persalinan memakan waktu yang lebih lama. Hal ini merupakan masalah yang
serius, jika induksi dilakukan atas indikasi fetus, maka pengawasan terhadap janin
juga diperpanjang seiring dengan waktu persalinan yang bertambah lama; fetus
yang terekspos lama dengan kontraksi uterus menyebabkan reduksi aliran darah
intervillous dan dapat berakibat hipoksia dan asidosis pada janin. Sehingga sangat
berguna untuk menggunakan agen pematang serviks sebagai persiapan sebelum
induksi pesalinan.2
Gambar 7. Perbedaan antara serviks yang belum matang (kiri) dengan skor Bishop
yang rendah dan serviks yang matang (kanan) dengan skor Bishop yang tinggi.
13
tanpa menginisiasi kontraksi uterus dengan menggunakan obat dinoproston
(PGE2), hasilnya kontraksi seringkali terjadi bahkan sebelum serviks tebuka.2
1) Metode Mekanik
a) Kateter Transservikal
Metode mekanik diketahui sebagai metode pembukaan serviks tertua (4).
Bames pada abad ke-19 adalah yang pertama menjelaskan tentang penggunaan
balon kateter untuk membuka serviks. Kateter Foley yang biasa digunakan
adalah kateter 26F dengan balon 25-50 ml, yang dapat melewati ostium uterus
eksterna dan interna sebelum balonnya dikembangkan. Setelah balon kateter
melewati ostium uterus interna, balon dikembangkan hingga 30 ml. Kemudian
balon ditarik melawan ostium uterus interna. Untuk menambah daya traksi,
tekanan dapat diberikan dengan menambah beban (seperti 1L cairan infus) di
ujung tali yang terikat dengan kateter dan beban digantung bebas. Gaya
gravitasi akan menarik balon kateter yang sedang mengembang, melewati
ostium uterus interna dan eksterna. Selain itu, kateter juga dapat difiksasi di
paha bagian dalam.1,2
Pemisahan selaput placenta dari serviks dan bagian bawah rahim
menstimulasi pelepasan cytokin dan prostaglandin; aksi peregangan oleh balon
kateter terhadap substansi basal serviks ini juga memicu putusnya ikatan silang
14
antara sesama glycosaminoglycan. Oleh karena proses tersebut, serviks mulai
membuka dan menipis.2
Modifikasi kateter trans-servikal terbaru disebut EASI (extra-amnionic
saline infusion) yang terdiri atas infus salin konstan melalui kateter masuk
hingga ruang yang berada di antara ostium uteri interna dan selaput
chorioamniotic.3
Penggunaan kateter dengan atau tanpa infus salin menghasilkan
peningkatan pematangan serviks dan menstimulasi kontraksi. Sherman dkk,
pada tahun 1966, mengumpulkan hasil dari 13 percobaan efek balon kateter
terhadap dilatasi serviks. Mereka menyimpulkan bahwa dengan atau tanpa
infus saline, metode ini menghasilkan peningkatan skor Bishop yang cepat dan
masa persalinan yang lebih singkat. melaporkan bahwa kejadian
chorioamnionitis lebih rendah pada kateter dengan infus salin dibandingkan
dengan kateter tanpa infus salin, dengan perbandingan 6%:16%.3
Penggunaan kateter Foley dengan extra-amnionic saline infusion jika
dibandingkan dengan PGE2 telah dilaporkan memiliki efek yang lebih lambat;
dengan angka kejadian hiperstimulasi uterus dan denyut jantung janin yang
berubah lebih sedikit; dan angka seksio sesaria yang lebih rendah.
Dibandingkan dengan misoprostol 50μg/4 jam, tidak ada perbedaan pada
pematangan serviks atau tingkat kesuksesan induksi persalinan, tingkat
abnormalitas kontraksi uterus rendah dan kejadian ketuban mekonial pun
rendah.4
15
Sumber. Cunningham FG, Hauth JC, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC,
Wenstrom KD. Obstetri Williams. 2014
b) Hygroscopic Cervical Dilators
Dilatasi serviks dapat dilakukan dengan menggunakan hygroscopic
osmotic cervical dilators, terutama untuk terminasi kehamilan muda. Dilator
mekanik ini telah lama diakui pemakaiannya sebagai agen pembuka serviks
sebelum terminasi kehamilan. Saat ini, hygroscopic osmotic cervical dilators
juga digunakan untuk pematangan serviks sebelum induksi persalinan.
Implikasi infeksi terkait pemakaiaannya belum bisa dibuktikan sampai saat ini.
Sehingga penggunaanya dinyatakan aman, walaupun anaphylaxis infeksi harus
diberikan sebelum memasukkan hygroscopic osmotic cervical dilators ke
dalam serviks.3
Dilator mekanik ini ditempatkan pada bagian bawah rahim sehingga
terjadi pelepasan prostaglandin endogen dari selaput placenta dan decidua
maternal. Selain itu, komponen osmotik pada dilator hygroscopic membantu
pematangan serviks. Dilator hygroscopic ini menyerap cairan endoserviks dan
jaringan sekitarnya yang menyebabkan dilator membesar dan menjadikan
serviks berdilatasi akibat tekanan mekanik yang diberikan. Contoh dilator
sintetik seperti Dilapan (hydrophilic polymer polyacrylonitrile non toksik yang
stabil) dan Lamicel (spons polyvinyl alcohol polymer yang ditambah dengan
450 mg magnesium sulfat) tersedia di negara-negara tertentu.1,7
16
c) Batang Laminaria
Laminaria adalah dilator osmotik alamiah yang terbuat dari batang
rumput laut Laminaria digitata atau L. japonica yang telah dikeringkan. Cara
kerjanya hampir sama dengan dilator hygroskopik sintetik. Sewaktu laminaria
ditempatkan pada endoserviks selama 6-12 jam, diameter laminaria bertambah
menjadi 3-4 kali lebih besar dari ukuran semula yakni dari diameter 2 mm
menjadi 6 mm dengan cara menyerap air dari jaringan serviks, secara bertahap
laminaria membesar dan memperlebar kanalis serviks.1
Dalam hal merangsang dilatasi serviks, laminaria dilaporkan sama
efektifnya dengan gel PGE2. Kelemahan signifikan dari penggunaan laminaria
adalah rasa tidak nyaman yang dirasakan pasien sewaktu pemasukan dan pada
saat dilatasi serviks berlangsung. Dengan adanya alat pematangan serviks lain
yang tersedia, tidak ada manfaat signifikan yang mendukung pemakaian rutin
laminaria. Pada kondisi klinis yang spesifik di mana prostaglandin harus
dihindari atau tidak tersedia karena harganya yang tinggi, laminaria aman dan
efektif untuk digunakan.1
d) Akupuntur
Menginduksi persalinan dan mematangkan serviks dengan teknik
akupuntur adalah praktek yang sering dilakukan di Asia dan juga negara-
negara barat. Sebuah penelitian terbaru menyimpulkan bahwa akupuntur pada
titik LI 4 (usus besar) dan SP 6 (limpa) dapat menginduksi pembukaan serviks
pada kehamilan cukup bulan. Pada kehamilan post-term, akupuntur
memperpendek jarak waktu antara tanggal taksiran persalinan dan tanggal
persalinan sebenarnya.2
e) Membrane Stripping
“Stripping” (melepaskan) selaput ketuban merupakan pemisahan selaput
chorioamnionitik dari dinding seviks dan segmen bawah uterus dengan
17
menggunakan jari yang dimasukkan ke serviks dan mengusap sekitar bagian
bawah rahim, tepat di atas ostium uterus interna dengan gerakan memutar.
Prosedur ini pertama kali dilaporkan sebagai tindakan induksi persalinan cukup
bulan pada tahun 1810 oleh Hamilton di England. Untuk melakukan membrane
stripping, vertex janin harus terpresentasikan dengan baik pada serviks, dan
serviks harus cukup terbuka untuk memungkinkan jari pemeriksa melewatinya.
Proses ini menyebabkan terlepasnya prostaglandin endogen dari decidua,
selaput di sekitarnya, dan serviks. Banyak investigasi yang telah dilakukan
mengenai teknik “membrane stripping” pada usia kehamilan 38 atau 39
minggu, dengan tujuan baik untuk mencegah kehamilan post-term maupun
untuk menurunkan jumlah induksi elektif yang dilakukan setelah 41 minggu.
Sebuah meta-analisis yang berdasar pada 19 percobaan, menyatakan bahwa
teknik membrane stripping pada kehamilan cukup bulan akan mengurangi
jangka waktu hingga persalinan spontan sebanyak 3 hari, menurunkan
frekuensi kehamilan yang melebihi 41 dan 42 minggu, dan memperkecil
frekuensi induksi elektif.1,2
Sebuah penelitian terbaru menyatakan bahwa tidak ada bukti peningkatan
risiko infeksi maternal dan perinatal; juga pada angka kejadian ruptur selaput
ketuban atau seksio seasaria, setelah membrane stripping dilakukan.
Bagaimanapun, membrane stripping memiliki efek negatif bagi ibu dan janin.
Efek negatif bagi ibu merupakan rasa sakit saat melakukan pemeriksaan dalam
vagina dan perdarahan dari serviks. Sedangkan bagi janin, membrane stripping
menyebabkan kontraksi sehingga janin perlu diawasi dengan ketat. 1,2
Komplikasi yang dapat terjadi akibat membrane stripping adalah ruptur
selaput ketuban, perdarahan dari placenta previa yang tak terdeteksi
sebelumnya, dan korioamnionitis.1,2
Gambar 13. Metode “Membranes Stripping”
18
Sumber: Pitkin J, Peattie AB, Magowan BA. Obstetrics and Gynaecology an
illustrated colour text.2003
2) Metode Farmakologi
a) Prostaglandin E2
Prostaglandin dapat dianggap sebagai hormon lokal karena kerjanya
terbatas pada organ penghasil dan segera dinonaktifkan di tempat yang sama.
Prostaglandin (PG) ditemukan pada ovarium, miometrium, dan cairan
menstrual dengan konsentrasi yang berbeda-beda selama siklus haid. Sesudah
sanggama, ditemukan PG yang berasal dari semen dalam sistem reproduksi
wanita. PG ini diserap oleh vagina dan cukup untuk menghasilkan kadar dalam
darah, yang menibulkan efek fisiologis.9
Pada manusia PG berperan penting dalam peristiwa persalinan. Berlainan
dengan oksitosin, PG dapat merangsang terjadinya persalinan pada setiap usia
kehamilan. Pada saat persalinan spontan, konsentrasi PG dalam darah perifer
dan cairan amnion meningkat.9
19
Prostaglandin bekerja secara sinergis dengan oksitosin terhadap kontraksi
uterus. Namun, sediaan kombinasi PG dan oksitosin tidak dianjurkan karena
dapat meningkatkan risiko terjadinya ruptur uterus. Prostaglandin yang dapat
digunakan sebagai agen pematangan serviks adalah PGE1 dan PGE2.9
Berikut adalah sediaan PGE2 yang ada di Indonesia:
Dinoproston ialah PGE2, dapat menginduksi kontraksi uterus pada setiap
tahap kehamilan, Obat ini dipilih bila induksi partus diperlukan sedang serviks
belum terbuka misalnya pada kematian janin atau ketuban pecah dini. Juga
digunakan untuk menangani missed abortion serta mola hidatiform benigna.
Penggunaan obat ini hanya boleh dilakukan oleh seorang ahli di rumah sakit
yang memiliki fasilitas bedah dan fasilitas perawatan obstetrik yang intensif.
Pemberian IV disertai insidens efek samping tinggi terhadap saluran cerna dan
kardiovskular. Stimulasi uterus berlebihan dapat menyebabkan kegawatan
janin dan ruptur uteri. Dinoproston tersedia dalam bentuk supositoria vaginal
20 mg. Sediaan ini harus disimpan pada suhu 20 oC. Obat harus ditaruh pada
suhu kamar sebelum digunakan. Selain itu tersedia juga dalam bentuk gel 0,5
mg dan insersi intravaginal dengan sistem lepas terkendali 10 mg.9
Gemeprost merupakan analog alprostadil yang berefek oksitosik. Obat
ini digunakan untuk melunakkan rahim dan mendilatasi serviks sebelum
tindakan bedah untuk terminasi kehamilan. Biasa diberikan dalam kombinasi
dengan mifepriston suatu antiprogestin murni untuk terminasi kehamilan.
Pesari berisi 1 mg diberikan 3 jam sebelum tindakan. Efek samping serupa
prostaglandin lain terutama mual dan muntah, nyeri abdominal dan gangguan
kardiovaskular, dispnoe, palpitasi, nyeri dada, pusing dan sakit kepala.9
Sulproston adalah derivat dinoproston, digunakan untuk indikasi yang
sama dengan prostaglandin yang berefek oksitosik. Diberikan IM, IV, atau
lokal. Suntikan IM 3-4 kali 500 mg atau extraamniotik 25, 50, atau 100 μg.9
Penggunaan PGE2 menyebabkan penipisan serviks secara langsung
dengan melalui tiga mekanisme berikut:2
a) Mengubah substansi basal serviks
b) Meningkatkan aktivitas otot polos serviks dan uterus
20
c) Merangsang kontraksi uterus
Penelitian owen dilakukan meta-analisis terhadap 18 penelitian dengan
jumlah sampel 1811 wanita. Mereka menemukakan bahwa prostaglandin E 2
meningkatkan skor Bishop dan jika dikombinasikan dengan oksitosin, dapat
mengurangi jangka waktu dari induksi hingga pesrsalinan dibandingkan
dengan wanita yang hanya mendapat oksitosin. Namun, penggunaan
prostaglandin E2 dinyatakan tidak dapat mengurangi angka seksio sesaria.3
Preparat prostaglandin hanya boleh dimasukkan jika ibu sudah berada di
ruang bersalin serta pengawasan ketat terhadap aktivitas uterus dan denyut
jantung janin dapat dilakukan. Kontraksi uterus muncul pada 1 jam pertama
pemberian prostaglandin E2 dan mencapai puncaknya pada 4 jam setelah
pemberian.3
Perry dan Leaphart membandingkan penggunaan gel intraservikal dan
insersi intravaginal dan menemukan bahwa dengan pemakaian insersi
intravaginal, persalinan menjadi lebih cepat 11,7 jam dibandingkan dengan gel
intraservikal 16,2 jam. penelitian melaporkan bahwa 59% wanita yang
mendapatkan lebih dari dua kali dosis penggunaan insersi intravaginal, harus
menjalani operasi seksio sesaria darurat. Menurut pedoman pemakaian, induksi
oksitosin setelah penggunaan prostaglandin untuk pematangan serviks,
dilakukan 6-12 jam setelah pemberian prostaglandin E2.3
Telah dilaporkan bahwa pada 1-5% perempuan yang diberikan PGE 2 per
vaginam, mengalami uterus tachysystole. Ada banyak definisi perihal uterus
tachysystole, tetapi definisi yang paling sering digunakan adalah yang
berdasarkan American College of Obstetricians and Gynecologists, berikut ini:3
a) Uterus tachysystole adalah kontraksi uterus > 6 kali dalam 10 menit.
b) Hipertonus uterus adalah satu kontraksi uterus yang berlangsung selama
lebih dari 2 menit.
c) Hiperstimulasi uterus adalah ketika salah satu dari kondisi di atas
mengakibatkan gangguan terhadap denyut jantung janin.
21
Hiperstimulasi uterus dapat menyebabkan keadaan gawat janin, jika
prostaglandin diberikan pada ibu setelah proses persalinan spontan telah
bermula. Oleh karena itu, penggunaan dengan cara ini tidak dianjurkan. Jika
hiperstimulasi terjadi pada penggunaan insersi intravaginal, dengan
melepaskan alat insersi intravaginal akan memulihkan kondisi tersebut. Irigasi
untuk menghapus preparat gel tidak cukup membantu.3
b) Misoprostol Prostaglandin E1
Misoprostol adalah prostaglandin E1 sintetik yang tersedia dalam bentuk
tablet 100 μg, digunakan untuk pencegahan tukak lambung. Obat ini telah lama
digunakan di luar indikasi yang dianjurkan oleh produsen obat, yakni untuk
pematangan serviks pra induksi dan dapat digunakan secara oral maupun
suposutoria vagina. Tabletnya stabil pada kondisi ruangan.3
Walaupun, penggunaannya di luar indikasi yang dianjurkan, telah
menyebar luas, penggunaan misoprostol untuk pematangan serviks pra induksi
masih kontroversial. Di tahun 2000, perusahaan obat memperingatkan dokter
bahwa misoprostol tidak diakui untuk induksi persalinan atau aborsi. Meskipun
begitu, American College of Obstetricians and Gynecologists (2000) telah
menetapkan rekomendasinya untuk pemakaian obat ini karena keamanan dan
keberhasilannya telah terbukti untuk pematangan serviks dan induksi
persalinan. Ada banyak sekali publikasi penelitian yang menunjukkan bahwa
misoprostol, baik pemberian melalui vagina maupun oral, adalah efektif untuk
tujuan tersebut.2,3
Sebuah meta-analisis awal menyatakan penurunan yang signifikan pada
angka seksio sesaria pada pasien yang diinduksi dengan misoprostol. Meta-
analisis selanjutnya menunjukkan bahwa 84% pasien yang mendapatkan
misoprostol, memasuki fase persalinan aktif, dengan hanya 29,4% saja yang
22
membutuhkan augmentasi oksitosin. Sekelompk pasien dengan jumlah yang
lebih besar dan mendapatkan misoprostol, melahirkan per vaginam dalam
waktu 12 jam (37,6% berbanding 23,9%). Demikian pula, 68,1% pasien yang
mendapatkan misoprostol, melahirkan per vaginam dalam 24 jam. Penggunaan
misoprostol untuk pematangan serviks dan induksi persalinan menghasilkan
pengurangan interval waktu sekitar 5 jam dari pemberian dosis pertama hingga
kelahiran anak jika dibandingkan dengan dinoproston. Pengurangan interval
waktu dari induksi hingga melahirkan terlihat dengan penggunaan misoprostol
dibandingkan dengan penggunaan dinoproston, kateter Foley, atau placebo.
Hal ini menunjukkan bahwa baik misoprostol menghasilkan aktifitas uterus
yang lebih tinggi maupun, obat ini lebih efisien untuk pematangan serviks
dibandingkan dengan metode lain. Wanita yang mendapatkan misoprostol dua
kali lebih rentan mengalami tachysistol dan hiperstimulasi uterus, yang mana
insiden ini terkait erat dengan dosis pemberian misoprostol.2
23
peningkatan denyut jantung janin. Penggunaan misoprostol intravaginal dengan
dosis 50 μg dapat menyebabkan peningkatan signifikan uterus tachysystole,
cairan ketuban mekonial, dan aspirasi mekonium; dibandingkan dengan
penggunaan gel prostaglandin E2. Misoprostol dosis 25 μg dinyatakan
sebanding dengan dinoproston perihal dampaknya pada neonatus.3
24
VI. JENIS-JENIS INDUKSI
1) Oksitosin
Farmakodinamik
25
pengamatan yang sungguh-sungguh terhadap frekuensi, lama dan kekuatan
kontraksi uterus.9
2) Amniotomi
26
a) Serviks ibu dinilai telah cukup matang (favorable). Amniotomi yang
dilakukan pada multipara hasilnya lebih baik dibandingkan pada
nulipara.1,8
b) Presentasi janin adalah bagian vertex dari kepala dan telah masuk ke
dalam pintu panggul (well engaged).1,8
c) Pada pemeriksaan dalam vagina, tidak teraba tali pusat atau bagian
kecil lain dari janin. Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya
prolapsus tali pusat yang merupakan indikasi darurat untuk dilakukan
pembedahan seksio sesaria.1
d) Denyut jantung janin harus dipantau dengan ketat sebelum dan sesudah
prosedur amniotomi. Cairan amnion harus dievaluasi dan hasilnya
dicatat. 1,8
e) Sebelum melakukan amniotomi, ibu harus diberi informasi tentang
tujuan, risiko dan prosedur tindakan ini. Amniotomi harus dilakukan
dengan persetujuan ibu. 11
27
Sumber: Pitkin J, Peattie AB, Magowan BA. Obstetrics and Gynaecology an
illustrated colour text.2003
28
5) Infeksi dapat terjadi pada ibu dan janin jika rentang waktu antara
amniotomi hingga kelahiran sangat panjang. Infeksi dapat dicegah
dengan melakukan teknik pemeriksaan yang antiseptik dan memberikan
antibiotik saat kelahiran mengalami keterlambatan.
6) Emboli cairan amnion pada paru adalah kondisi yang sangat jarang
terjadi. Keadaaan ini ditandai dengan gejala-gejala syok yang muncul
dengan cepat, dyspnea berat dan tidak jarang terjadi perdarahan. Hal ini
berhubungan dengan amniotomi dan kontraksi uterus yang kuat.
Kondisi ini harus dapat dibedakan dengan eklampsia, abrupsio, ruptur
uterus, dan aspirasi asam. Penanganannya adalah ventilasi tekanan
positif dan koreksi gangguan koagulasi yang terjadi. Pada pemeriksaan
post mortem paru-paru ibu, akan tampak sel janin dan lanugo.
a) Seksio Sesaria
Angka kejadian seksio sesaria meningkat pada nulipara yang menjalani
induksi persalinan. Beberapa penelitian melaporkan bahwa risikonya
meningkat dua sampai tiga kali pada nulipara. Selain itu, angka ini berbanding
terbalik dengan tingkat pematangan serviks pada masa induksi, yakni skor
Bishop. Semakin tinggi skor Bishop seorang ibu hamil yang menjalani induksi,
semakin rendah kemungkinannya untuk menjalani seksio sesaria dan
sebaliknya.3
Adapun, yang berkata lain, menyatakan bahwa pematangan serviks pra
induksi tidak menurunkan angka seksio sesaria pada wanita dengan serviks
yang belum matang (unfavorable). Sebuah penelitian retrospektif kohort
menemukan bahwa angka seksio sesaria meningkat secara signifikan pada
wanita pasca induksi elektif tanpa komplikasi antepartum dan skor Bishop 7
atau lebih, dibandingkan dengan wanita yang mengalami persalinan spontan.3
29
Pada nulipara, usia kehamilan 41 minggu dengan vertex janin yang
belum masuk ke pintu panggul, memiliki risiko seksio sesaria 12 kali lebih
tinggi dibandingkan dengan nulipara dengan vertex janin yang telah terfiksasi
masuk ke pintu panggul. Tidak ada peningkatan risiko seksio sesaria jika
bagian kepala janin yang masuk adalah occipital posterior pada saat induksi.3
b) Chorioamnionitis
Chorioamnionitis adalah peradangan pada membran fetalis. Pada wanita
yang menjalani induksi persalinan, mengalami peningkatan insiden
chorioamnionitis dibandingkan dengan wanita yang menjalani persalinan
spontan.3
c) Atonia Uteri
Perdarahan dan atoni postpartum lebih sering terjadi pada wanita yang
mengalami induksi atau augmentasi. Atoni utrerus yang tidak tertangani adalah
indikasi ke tiga terbanyak untuk histerektomi. Indikasi ini lebih dominan pada
wanita dengan induksi atau augmentasi persalinan serta chorioamnionitis.
Shellhass melaporkan data dari sekitar 137.000 persalinan di unit maternal,
sekitar 146 histerekromi postpartum darurat dilakukan – sekitar 1 per 1000
persalinan per vaginam berbanding 1 per 200 persalinan seksio sesaria. Sekitar
41% dari semua histerektomi, dilakukan pasca persalinan seksio sesaria.3
DAFTAR PUSTAKA
1. Wing DA, Farinelli CK. Abnormal Labor and induction of labor. In: Gabbe
SG, Niebyl JR, Simpson JL, Landon MB, Galan HL, Jauniaux ERM, et al.
Obstetrics Normal and Problem Pregnancies. 6th ed. USA: Mosby Elsevier;
2007. P. 293
2. Ramos LS, Delke I. Induction of labor and Termination of the previable
pregnancy. In: James D, Steer PJ, Weiner CP, Gonik B, Crowther CA,
30
Robson SC, editor. High Risk Pregnancy Management Options. Ed 4. USA:
Elsevier Saunders; 2011. P. 1145
3. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Spong CY, Dashe JS, Hoffman BL
et al. In: Induction and Augmentation of Labor. Obstetri Williams. 24th ed.
USA: McGraw-Hill Education; 2014. P. 523-31
4. Hofmeyr GJ. Induction and Augmentation of Labour. In: Edmonds DK,
editor. Dewhurst’s Textbook of Obstetrics and Gynaecology. 7th ed. USA:
Blackwell Publishing; 2007. P. 205
5. Norwitz ER, Schorge JO. In: Induction and Augmentation of Labour.
Obstetric and Gynecology at a Glance. 4th ed. USA: Blackwell Science;
2013. P. 132-33
6. Pernoll ML. In: Induction Of Labor. Benson and Pernoll’s handbook of
Obstetrics and Gynecology. 10th ed. USA: McGraw-Hill; 2001. P.194
7. Archie CL, Roman AS. Normal & Abnormal Labor & Delivery. In:
Decherney AH, Nathan L, Laufer N, Roman AS. Current Diagnosis &
Treatment Obstetrics & Gynecology. Ed 11. USA: The McGraw-Hill
Companies; 2013. P. 316
8. Pitkin J, Peattie AB, Magowan BA. Obstetrics and Gynaecology an
illustrated colour text. USA: Churchill Livingstone; 2003. P. 48
9. Syarif A, Muchtar A. Farmakologi Dan Terapi. Edisi 5. Jakarta :
Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2012. P. 410
10. Hanretty KP. Obstetric Illustrated. 6th ed. USA: Churchill Livingstone;
2003. p:252-6.
11. Fairley DH. Lecture Notes Obstetrics and Gynaecology. Ed 2. USA:
Blackwell Publishing; 2004. P. 184
31