Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

MENGKAJI MASALAHA MATERI AJAR SMA KELAS XI


Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Telaah Kurikulum

Dosen Pengampu :
Dr. Sri Haryani, M.S. dan Dra. Sri Nurhayati, M.Pd.

Disusun oleh :
Tasya Syalsya Dhila (4301417024)
Salsabila Syafari Zaza (4301417031)
Kurnia Dwi Rahayu (4301417091)

JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA ILMU PENGETAHUAN DAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2020
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa
melimpahkan rahmat, taufik, hidayah, serta inayah-Nya kepada kami, sehingga kami bisa
menyelesaikan tugas penyusunan Makalah Telaah Kurikulum mengenai Mengkaji Masalah
Materi Ajar Kelas XI.
Kami selaku penyusun makalah menyampaikan ucapan terima kasih kepada Ibu Dosen yang
telah memberikan arahan dan bimbingan dalam pembuatan makalah ini.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas kelompok mata kuliah Telaah
Kurikulum. Kami tidak menutup diri dari para pembaca akan saran dan kritik yang sifatnya
membangun demi perbaikan dan peningkatan kualitas penyusunan makalah. Dan berharap,
semoga makalah ini bisa memberikan manfaat bagi kami penyusun dan para pembaca
semuanya. Amiin.
 
 
Semarang, 16 Mei 2020
 
Penulis,
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kimia adalah suatu ilmu logis yang dipenuhi gagasan dengan berbagai
penerapan yang menarik di dalam kehidupan sehari-hari. Kebanyakan benda yang ada
didunia ini merupakan campuran zat-zat kimia yang kompleks dan rumit (Chang,
2005). Ilmu kimia terdiri dari konsep yang bersifat abstrak dan kompleks sehingga
untuk menguasainya diperlukan pemahaman yang bertahap dan mendalam. Hasil
belajar yang rendah menunjukkan rendahnya pemahaman siswa terhadap konsep
kimia. Belajar kimia tidak cukup hanya dengan menyelesaikan soal-soal yang terdiri
dari angka-angka tetapi juga mempelajari fakta, aturan-aturan, dan beberapa
peristilahan kimia. Dalam ilmu kimia terdapat konsep-konsep yang saling
berhubungan satu sama lain sehingga dalam mempelajarinya dibutuhkan penguasaan
konsep yang mendalam untuk dapat mempermudah memahaminya.
Untuk mengetahui tingkat penguasaan siswa terhadap suatu materi dapat
dilakukan dengan memberikan tes dan menelaah atau menganalisis jawaban siswa
terhadap soal yang diberikan. Tes ini dapat dilakukan pada awal maupun akhir
pembelajaran. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat
pemahaman dan mengidentifikasi bentuk kesulitan belajar yang terjadi pada siswa
adalah melalui tes diagnostik. Tes diagnostik merupakan tes yang digunakan untuk
mengetahui kesulitan-kesulitan siswa pada materi tertentu. Dari hasil tes tersebut,
maka guru dapat mencari solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan yang
dialami oleh siswa.
Pada umumnya, guru hanya memperoleh hasil pemahaman konsep siswa
berdasarkan hasil ulangan atau hasil ujian dan bentuk alat ukur yang digunakan
berupa soal pilihan ganda biasa (multiple choice konvensional) atau essay. Umumnya
guru tidak menggunakan tes diagnostik untuk mengukur tingkat pemahaman konsep
siswa. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan waktu dalam membuat instrumen yang
lebih baik. Sebuah instrumen yang baik tentunya membutuhkan waktu yang lebih
lama untuk merancangnya sehingga hasil yang diperoleh juga bagus.
Waktu pelajaran disekolah yang tidak cukup mengakibatkan latihan soal-soal
disekolah dijadikan sebagai pekerjaan rumah. Pada saat seperti inilah, waktu luang
yang dimiliki siswa dirumah tidak dimanfaatkan dengan baik untuk mengerjakan
pekerjaan rumah dan tugas yang diberikan oleh guru. Siswa sering memberikan alasan
bahwa tugas atau pekerjaan rumah yang mereka dapat tidak hanya pelajaran kimia,
terkadang hampir semua pelajaran setiap harinya diberikan tugas sehingga waktu
yang dimiliki tidak cukup. Solusi dari siswa itu sendiri adalah mencontek yaitu
menyelesaikan tugas tersebut dengan cara melihat punya teman yang sudah selesai.
Siswa tidak memiliki inisiatif untuk belajar kelompok atau bertanya hal-hal yang
tidak dipahaminya kepada teman yang lebih paham. Hal ini menyebabkan
pengalaman belajar siswa menjadi berkurang karena siswa yang mengalami kesulitan
pemahaman tidak mau berusaha belajar dan hanya berharap contekan dari temannya
yang sudah memahami.
Suatu konsep harus dipelajari dan dipahami secara mendalam, tidak cukup
dengan menghafal saja karena antara materi yang satu dengan yang lainnya saling
berkaitan. Apabila suatu konsep dapat dipahami dengan baik maka konsep tersebut
akan melekat dan tidak akan mudah hilang atau lupa. Hasil belajar yang diperoleh
dengan cara menghafal tanpa memahaminya dengan baik maka hanya akan bersifat
sementara dan memberi dampak yang tidak baik pada penguasaan konsep sehingga
menyebabkan terjadinya kesulitan pemahaman pada saat mempelajari materi
selanjutnya serta kesulitan dalam menyelesaikan berbagai macam bentuk soal.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana analisis miskonsepsi pada materi kimia kelas 11 dan cara mengatasinya ?
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui analisis miskonsepsi pada materi kimia kelas 11 dan cara
mengatasinya.
1.4 Manfaat
Manfaat dari penulisan makalah ini yaitu agar pembaca dapat menambah wawasan
dan ilmu pengetahuan mengenai miskonsepsi yang terjadi pada siswa kelas XI. Selain
itu agar pembaca dapat mengetahui cara yang bisa dilakukan untuk mereduksi suatu
miskonsepsi.
BAB II
PEMBAHASAN

Kesalahan konsep atau miskonsepsi adalah gagasan yang berbeda dengan


pandangan ilmiah yang telah diterima kebenarannya. Secara umum, kesalahan konsep
bersifat sangat sulit untuk diubah, menetap sampai bertahun-tahun, dan sering-kali tidak
terpengaruh melalui pembelajaran di kelas.Kesalahan konsep se-ringkali terjadi pada
materi-materi kimia yang sarat dengan konsep-konsep abstrak, salah satunya adalah Sifat
Koligatif Larutan. Konsep-konsep abstrak pada materi ini meliputi gaya antarpartikel,
perubahan fa-se, dan syarat dimilikinya tekanan uap oleh suatu zat cair. Kesalahan
konsep pada materi ini telah banyak dilaporkan, di antaranya oleh (Pinarbasi, 2009).
Dalam mempelajari materi Sifat Koligatif Larutan, terdapat beberapa konsep dasar yang
membutuhkan visualisasi, antara lain adalah konsep gaya antarpartikel dan perubahan
fase. Konsep gaya antar-partikel sulit divisualisasi menggunakan model konkret karena
melibatkan banyak molekul. Konsep ini juga kurang tepat divisualisasi menggunakan
animasi karena animasi hanya sesuai untuk memfasilitasi pembelajaran yang
merepresentasikan suatu proses atau sistem (Vavra, 2011).
Dalam pembelajaran sesungguhnya siswa sudah membawa sejumlah pengalaman
atau ide-ide yang diperoleh melalui interaksi dengan lingkungan. Ide-ide ini disebut
sebagai prakonsepsi atau konsepsi alternatif (Pinker, 2003). Konsepsi alternatif ini sering
bersifat miskonsepsi. Kenyataan menunjukkan bahwa konsepsi alternatif siswa sangat
resisten terhadap perubahan. Dengan demikian, diperlukan suatu kondisi pembelajaran
khusus untuk dapat mengubah konsepsi alternatif siswa tersebut. Konsepsi alternatif ini
akan berubah menjadi konsepsi ilmiah hanya jika pembelajaran yang dilakukan guru
menjadi lebih necessary, intelligible, plausible, dan fruitful bagi siswa (Posner et al.,
1982).
Teori pengubahan konseptual telah dikembangkan mulai tahun 1980-an oleh
kelompok peneliti pendidikan sains dan ahli fisikologi di Universitas Cornell (Posner et
al., 1982). Teori ini diilhami oleh pendapat Piaget tentang ketidakseimbangan dan
akomodasi. Sejak itu penelitian tentang pengubahan konseptual berkembang pesat.
Beberapa peneliti menemukan bahwa pembelajaran yang berbasis pengubahan
konseptual ternyata mampu mengubah miskonsepsi siswa menjadi konsepsi ilmiah
(Posner et al., 1982; Hewson & Thorley, 1989; Hennessey, 2003).
2.1 SENYAWA HIDROKARBON
 Miskonsepsi
Kekhasan Atom Karbon

Miskonsepsi Pada konsep kekhasan atom karbon siswa


mengalami miskonsepsi karena mereka
berpikir bahwa hanya atom karbon yang
memiliki 4 elektron valensi dan hanya
unsur karbon yang dapat membentuk
ikatan kovalen.
Konsep yang benar Konsep yang seharusnya adalah atom
karbon dapat membentuk empat ikatan
kovalen, karena atom karbon memiliki
empat elektron valensi. Ikatan kovalen
yang dibentuk oleh atom karbon ini lebih
kuat jika dibandingkan dengan ikatan
kovalen yang lainnya yang memiliki
empat elektron valensi. Hal ini
disebabkan karena atom karbon memiliki
jari-jari atom yang kecil. Hal inilah yang
menjadi kekhasan atom karbon.

Rantai Atom Karbon

Miskonsepsi Pada konsep ikatan antar atom dalam


rantai karbon, siswa beranggapan  bahwa
ikatan terjadi antara atom C dengan atom
H, serta atom H dan C.
Konsep yang benar Kedua pernyataan ini salah karena rantai
karbon terjadi antara atom C dengan atom
C. Pernyataan pertama yang menyatakan
rantai karbon terjadi antara atom C
dengan atom H salah karena atom H
hanya memiliki satu elektron valensi,
sehingga ketika atom karbon berikatan
dengan atom H, maka tidak terjadi rantai,
karena atom H sudah tidak dapat
berikatan dengan atom lain kembali.
Pernyataan kedua salah karena atom H
bukan sebagai penghubung C dengan C,
melainkan atom H berada bersama
dengan atom C dalam bentuk alkil.

Rantai Siklik
Miskonsepsi Siswa berpendapat bahwa bensin mudah
meledak dan terbakar karena  bensin
memiliki titik didih yang tinggi.
Konsep yang benar Konsepsi siswa ini tidak logis. Titik didih
tidak ada hubungannya dengan mudahnya
suatu senyawa terbakar atau meledak.
Sifat mudah terbakar atau mudah meledak
(sifat kimia) ditentukan oleh jenis zat,
bukan titik didihnya. Titik didih akan
berhubungan dengan wujud zat atau
perubahan wujud zat (sifat fisika).
Miskonsepsi Siswa beranggapan bahwa Pesawat jet
menggunakan bahan bakar minyak tanah.
Pendapat siswa ini dilatarbelakangi oleh
pengamatan siswa terhadap hasil
pembakaran oleh pesawat jet berupa asap
hitam. Karena siswa mengamati ibunya
memasak di dapur menggunakan minyak
tanah dan parabot untuk memasak
menjadi berwarna hitam, siswa
menyimpulkan bahwa pesawat jet
menggunakan bahan bakar minyak tanah.3
Konsep yang benar Bahan bakar jet atau jet fuel atau aviation
turbuine fuel (ATF) atau avtur (aviation
turbine) merupakan salah satu jenis bahan
bakar penerbangan yang dirancang untuk
digunakan pada pesawat terbang yang
bermesin turbin gas. Avtur adalah minyak
tanah dengan spesifikasi yang diperketat,
terutama mengenai titik uap, dan titik
beku. Bahan bakar minyak ini merupakan
BBM jenis khusus yang dihasilkan dari
fraksi minyak bumi. Avtur didesain
khusus untuk bahan bakar pesawat udara
dengan tipe mesin turbin (external
combution). Perfoma atau nilai mutu jenis
bahan bakar avtur ditentukan oleh
karakteristik kemurnian, model
pembakaran turbin, dan daya tahan
struktur pada suhu yang rendah.
Disamping sebagai sumber energi
penggerak mesin pesawat terbang juga
berfungsi sebagai cairan hidrolik didalam
sistem kontrol mesin dan sebagai
pendingin bagi beberapa komponen
sistem pembakaran. Hanya terdapat satu
jenis bahan bakar jet yakni tipe kerosine
yang digunakan untuk keperluan
penerbangan sipil diseluruh dunia. Oleh
karena itu sangatlah penting bagi
perusahaan  penyedia bahan bakar
penerbangan untuk memastikan bahan
bakar yang disediakannya bermutu tinggi,
dan sesuai dengan standar internasional.

Senyawa Hidrokarbon Tak Jenuh

Miskonsepsi Pada konsep hidrokarbon tak jenuh, siswa


beranggapan bahwa senyawa hidrokarbon
dengan ikatan tunggal merupakan
hidrokarbon tak jenuh
Konsep yang benar Konsep ini salah karena senyawa
hidrokarbon tak jenuh merupakan
senyawa hidrokarbon yang memiliki
ikatan rangkap 2 (alkena) atau 206 ikatan
rangkap tiga (alkuna), sedangkan
senyawa hidrokarbon dengan ikatan
tunggal (alkana) disebut dengan
4
hidrokarbon jenuh.

 Penyebab Terjadinya Miskonsepsi


1. Pada umumnya menyukai pelajaran kimia, tetapi masih ada yang tidak paham
maateri sifat koligatif larutan
Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan, umumnya siswa
menyukai pelajaran kimia. Namun, masih terdapat siswa yang tidak paham
mengenai materi sifat koligatif larutan dan merasa kebingungan sehingga kesulitan
dalam mengerjakan soal yang diberikan guru apalagi jika soalnya berbeda dari
contoh yang pernah diberikan sebelumnya.
2. Kurangnya kesiapan psikologis dan pikiran
Hal ini disebabkan oleh siswa yang kurang mempersiapkan diri terlebih
dahulu sebelum menerima suatu materi maka hal ini akan memberi pengaruh yang
besar terhadap pemahaman siswa. Siswa akan sangat mudah menerima materi yang
disampaikan oleh guru apabila siswa tersebut sudah mempersiapkan diri dirumah
dengan baik, baik dari segi pikiran maupun psikologis. Sebaliknya, siswa akan sulit
menerima apapun yang diajarkan oleh guru apabila siswa tersebut tidak memiliki
persiapan untuk belajar. Hal ini dapat menyebabkan siswa mengalami kesulitan
pemahaman dan memungkinkan terjadinya miskonsepsi terhadap materi yang
diterimanya.

3. Kurangnya penguasaan dasar mengenai materi,kekuatan menghitung yang telah


diberikan yang berkaitan dengan sifat koligatif larutan
Selain itu, konsep-konsep penting yang menjadi syarat untuk mempelajari
konsep selanjutnya harus dikuasai dan dipahami oleh siswa. Untuk mempelajari
materi sifat koligatif larutan, konsep-konsep dasar yang merupakan syarat adalah
konsep fraksi mol, larutan elektrolit dan nonelektrolit, konsep mol serta konsep
perhitungan kimia. Diantara empat submateri dari sifat koligatif larutan yaitu
penurunan tekanan uap, penurunan titik beku, kenaikan titik didih, dan tekanan
osmotik, siswa mengalami kesulitan pada submateri penurunan tekanan uap. Siswa
merasa kesulitan dalam menghitung baik itu tekanan uap maupun penurunan
tekanan uap yang disebabkan oleh kurang memahami penentuan fraksi mol pelarut
dan fraksi mol zat terlarut. Pada setiap materi, tentunya ada beberapa konsep yang
harus dijelaskan atau dibahas lebih mendalam.
4. Lupa terhadap konsep yang telah dipelajari
Ketika pembelajaran berlangsung, guru sering mengajukan pertanyaan
tentang pemahaman siswa, beberapa siswa mengaku sudah paham, namun pada
saat dilakukan tes tentang materi yang sudah dipelajari atau ketika mempelajari
konsep selanjutnya, banyak siswa yang mengeluh kesulitan dan bahkan ada
diantara siswa tersebut mengatakan lupa dengan konsep yang telah dipelajarinya.
5. Pengaruh dari faktor eksternal
Selain itu, ketika ditanyakan mengenai penyebabnya lainnya, siswa tersebut
menjawab bahwa kesulitan memahami suatu materi disebabkan oleh dirinya sendiri
dan pengaruh dari teman sekitarnya yang membuat konsentrasinya menjadi
terganggu. Hal ini membuat perhatian siswa terhadap materi yang sedang
disampaikan oleh guru menjadi terganggu. Gangguan konsentrasi yang dialami
disebabkan oleh faktor eksternal yaitu keributan teman lainnya.

 Cara Mengatasi
Cara Mengatasi Miskonsepsi yang dapat dilakukan: Guru bisa menggunakan
media pembelajaran yang tepat untuk menanamkan pemahaman konsep pada
materi hidrokarbon. Misalnya pada mikonsepsi yang dialami siswa ini guru bisa
menggunakan media video animasi untuk menunjukkan konsep ikatan antar atom
dalam rantai karbon dan konsep rantai tertutup. Guru juga bisa menggunakan
media
2.2 TERMOKIMIA
 Miskonsepsi
Termokimia adalah salah satu materi pembelajaran kimia yang dianggap sulit
oleh peserta didik, karena banyak menggunakan perhitungan, sehingga kurang
diminati. Suatu pelajaran yang dianggap sulit oleh seorang siswa biasanya dihindari
atau bahkan tidak dipelajari lebih lanjut. Miskonsepsi masih terjadi pada sebagian
besar konsep-konsep pada materi termodinamika diantaranya:
1. Menentukan suatu sistem berdasarkan percobaan sederhana
Air merupakan salah satu bagian yang diamati perubahan energinya namun tidak
hanya air yang diamati perubahan energinya tetapi urea juga merupakan bagian
yang diamati perubahan energinya. Adanya pengaruh kalor dari lingkungan
membuat suhu es turun. Alasan ini menjadi penyebab miskonsepsi siswa tersebut
digolongkan pada intuisi yang salah. Seharusnya, dengan adanya penambahan
kalor yang diserap oleh es dari lingkungan tidak merubah suhu es hingga es
tersebut mencair, setelah es mencair maka suhunya akan naik dan energi potensial
dari zat-zat kimia yang bersangkutan akan turun sehingga sistem melepaskan
kalor kelingkungan (Justiana, 2009).
2. Menentukan perubahan suhu suatu senyawa saat menyerap kalor dari lingkungan
Konsepsi siswa tidak sesuai dengan konsep yang dikemukakan oleh ilmuan
bahwa untuk menentukan suatu kalor berdasarkan ΔH tidak menggunakan rumus
ΔH = ΔHpereaksi – ΔHhasil reaksi tetapi dengan rumus ΔH = Hproduk –
Hreaktan (Parning, 2006).
3. Menghitung jumlah kalor yang dibebaskan pada pembakaran suatu senyawa
Dari jawaban yang diberikan yakni reaksi endoterm adalah reaksi kimia dengan
entalpi produk lebih kecil daripada entalpi reaktan sehingga entalpi sistem
berkurang. Konsepsi siswa ini tidak sesuai dengan konsep yang dikemukakan
oleh ilmuan bahwa dalam reaksi endoterm adalah reaksi kimia dengan entalpi
produk tidak lebih kecil daripada entalpi reaktan tetapi entalpi produk lebih besar
dari entalpi pereaksi.
4. Menganalisis suatu reaksi endoterm
H2SO4 + air → larutan H2SO4 merupakan reaksi endoterm. Dalam reaksi tersebut
terjadi reaksi endoterm karena adanya kalor yang dilepas ke lingkungan sehingga
suhu lingkungan meningkat. Konsepsi siswa ini tidak sesuai dengan konsep yang
dikemukakan oleh ilmuan bahwa reaksi endoterm tidak terjadi karena adanya
kalor yang dilepas ke lingkungan tetapi reaksi kimia dengan sistem menyerap
kalor dari lingkungannya (Justiana, 2009).
5. Menentukan perubahan entalpi berdasarkan persamaan reaksi
Pada reaksi CH4 + 2O2 →CO2 + 2H2O terjadi perubahan entalpi yakni kalor
pembentukan CO2 dan H2O. Konsepsi siswa ini tidak sesuai dengan konsep yang
dikemukakan oleh ilmuan bahwa pada reaksi CH4 + 2O2 →CO2 + 2H2O tidak
terjadi perubahan entalpi pembentukan CO2 dan H2O tetapi entalpi pembakaran
CH4. Hal ini dikarenakan perubahan entalpi pembakaran CH4 yang terjadi
melalui pembakaran 1 mol senyawa tersebut menjadi senyawa CO2 dan H2O
pada keadaan standar (Kalsum,2009).
6. Menentukan harga ΔH berdasarkan percobaan sederhana
Terjadi kekeliruan dalam perhitungan yang menyatakan banyaknya mol yang
terbentuk tidak mempengaruhi perubahan entalpi pembentukannya sehingga
perubahan entalpinya CuSO4 tetap. Sedangkan pada soal lainnya yang memiliki
indikator sama terdapat 94.73% yang mengalami miskonsepsi. ΔH peruraian HBr
dapat dihitung dengan 0,5 mol HBr x (−36kJ)1mol. Konsepsi siswa ini tidak
sesuai dengan konsep yang dikemukakan oleh ilmuan bahwa ΔH peruraian HBr=
0,5 mol HBr x 36kJ1mol.
 Cara Mengatasi
Cara mengatasi miskonsepsi yang daapat dilakukan: Miskonsepsi pada materi
termokimia bisa diatasi dengan menggunakan model pembelajaran discovery
learning dengan metode diskusi, praktikum, maupun demonstrasi. Guru bisa
melakukan praktikum mengenai materi sistem dan lingkungan ataupun demonstrasi
pada materi reaksi eksoterm dan endoterm untuk menanamkan konsep pada
pemahaman siswa.

2.3 LAJU REAKSI


 Miskonsepsi
Miskonsepsi yang terjadi diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Konsep Laju Reaksi
Miskonsepsi yang terjadi adalah pada reaksi A+B→C, apabila reaksi berlangsung
dengan jumlah B berlebih, maka pada akhir reaksi, B akan mendekati nol. Padahal
konsep yang benar adalah bahwa pada reaksi A+B→C, jika reaksi berlangsung
dengan jumlah B berlebih maka pada akhir reaksi akan mendekati nol. Miskonsepsi
kedua pada persamaan laju reaksi yang terjadi adalah laju reaksi ditentukan
berdasarkan konsentrasi reaktan pada tahap cepat. Teori yang tepat adalah laju reaksi
ditentukan berdasarkan konsentrasi reaktan pada tahap lambat.
2. Konsep Orde Reaksi Miskonsepsi yang terjadi adalah pada reaksi nol, laju reaksi
meningkat dengan berkurangnya konsentrasi reaktan. Padahal konsep yang benar
adalah pada reaksi orde nol laju reaksinya tidak dipengaruhi oleh perubahan
konsentrasi reaktan.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Laju Reaksi
a. Pengaruh Luas Permukaan Terhadap Laju Reaksi
Miskonsepsi yang terjadi adalah: zat yang memiliki ukuran partikel lebih kecil
memiliki luas permukaan sentuhan yang lebih kecil dalam massa yang sama.
Hal ini bertentangan dengan konsep yang benar, dimana bahan kimia yang
memiliki ukuran lebih kecil memiliki luas permukaan sentuhan lebih besar
sehingga reaksi lebih cepat berlangsung. Dalam memahami pengaruh luas
permukaan terhadap laju reaksi, siswa mengira bahwa bahan yang berbentuk
serbuk memiliki luas permukaan lebih kecil sehingga reaksi lebih cepat
berlangsung.
b. Pengaruh Suhu Terhadap Laju Reaksi
Miskonsepsi yang terjadi adalah kenaikan suhu mempengaruhi energi aktivasi
reaktan. Padahal konsep yang benar adalah kenaikan suhu dalam suatu reaksi
kimia dapat meningkatkan energi kinetik zat-zat yang bereaksi sehingga reaksi
lebih cepat berlangsung. Dalam memahami pengaruh suhu terhada laju reaksi,
siswa salah dalam memahami pengaruh katalis dan suhu terhadap laju reaksi
terutama mereka sering tertukar dalam memahami antara energi kinetik
reaktan dan energi aktivasi reaktan. Miskonsepsi kedua yang terjadi adalah
reaksi dengan harga energi aktivasi (Ea) tinggi akan berjalan lebih cepat.
Padahal konsep yang benar adalah pada reaksi dengan harga Ea yang kecil
(atau pada suhu yang tinggi) maka laju reaksinya akan berjalan lebih cepat.
c. Pengaruh Katalis Terhadap Laju Reaksi
Miskonsepsi yang terjadi adalah penambahan katalis dapat menaikkan energi
aktivasi. Padahal konsep yang benar adalah penambahan katalis dapat
menurunkan energi aktivasi reaktan sehingga lebih banyak reaktan yang
bereaksi membentuk produk.
4. Konsep Teori Tumbukan
Miskonsepsi yang terjadi adalah tumbukan dengan orientasi tepat hanya
terjadi pada atom-atom sejenis. Padahal konsep yang benar adalah reaksi akan
terjadi bila tumbukan antar molekul memiliki orientasi tumbukan yang tepat dan
energi yang cukup. Miskonsepsi kedua yang terjadi adalah semakin besar ukuran
pereaksi mak frekuensi terjadinya tumbukan akan makin besar karena luas
permukaannya juga semakin besar. Padahal konsep yang benar adalah semakin
halus partikel reaktan luas permukaan bidang sentuhnya juga semakin besar
sehingga frekuensi terjadinya tumbukan juga semakin besar. Miskonsepsi ketiga
yang terjadi adalah ketika susunan partikel semakin renggang frekuensi tumbukan
akan semakin besar karena ruang untuk bertumbukan juga semakin luas. Padahal
konsep yang benar adalah semakin besar konsentrasi susunan partikelnya akan
semakin rapat sehingga frekuensi terjadinya tumbukan semakin besar (Pajaindo,
2012).
 Cara Mengatasi
Cara mengatasi miskonsepsi yang dapat dilakukan: Proses pembelajaran untuk
mereduksi miskonsepsi yang tejadi pada siswa sesuai dengan model pembelajaran
konstruktivisme adalah dengan strategi konflik kognitif. Fasefase pada strategi
konflik kognitif meliputi indentifikasi miskonsepsi, membuat konflik kognitif,
membimbing siswa kedalam proses equilibrium dan rekonstruksi pemahaman
siswa. Strategi konflik kognitif berguna untuk meningkatkan kepercayaan siswa
dalam belajar. Konflik yang diberikan membuat siswa lebih bermakna dalam
belajar karena siswa akan mengubah miskonsepsi yang mereka alami menuju
perubahan tahu konsep dan dapat sadar akan kesalahannya.
2.4 KESETIMBANGAN KIMIA
 Miskonsepsi
Miskonsepsi pada peserta didik kelas XI IPA untuk materi kesetimbangan
kimia pada perhitungan harga Kc jika diketahui jumlah mol mula-mula, perhitungan
harga Kc jika diketahui jumlah mol reakstan pada keadaaan setimbang, perhitungan
harga Kp jika dikatahui jumlah mol zat-zat yang terlibat dalam reaksi, perhitungan
harga Kp berdasarkan hubungan dengan harga Kc untuk kesetimbangan homogen gas,
pengertian derajat disosiasi, perhitungan jumlah mol mula-mula dalam kesetimbangan
jika harga a dan penjelasan tentang manfaat reaksi kesetimbangan dalam proses
indudtri. Namun, miskonsepsi paling menonjol terletak pada pebjelasan tentang
manfaat rekasi kesetimbangan dalam proses industri.
Menurut Friesta (2016) berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan,
diperoleh fakta bahwa:
1. Terdapat miskonsepsi pada siswa MAN Banjarmasin tahun pelajaran 2015/2016
pada konsep kesetimbangan kimia, yaitu:
a. konsep kesetimbangan dinamis berkriteria rendah.
b. konsep kesetimbangan homogen dan heterogen berkriteria sedang.
c. konsep tetapan kesetimbangan berkriteria sedang.
d. konsep hubungan kuantitatif antar komponen dalam reaksi kesetimbangan
berkriteria sedang.
e. konsep pergeseran kesetimbangan berkriteria sedang.
f. konsep kesetimbangan kimia dalam proses industri berkriteria sedang.
2. Penyebab-penyebab miskonsepsi siswa yang berasal dari siswa itu sendiri, yaitu :
a. prakonsepsi yang ditandai dengan siswa menganggap massa reaktan sama
dengan massa produk
b. pemikiran asosiatif siswa yang ditandai dengan siswa mengasosiasikan
tetapan kesetimbangan merupakan produk dibagi reaktan.
c. pemahaman konsep abstrak siswa yang ditandai dengan siswa kesusahan
pada konsep konsep kenaikan suhu pada reaksi endoterm.
d. kemampuan siswa yang ditandai dengan siswa kesulitan dalam perhitungan
matematika terutama ketika menghitung tetapan kesetimbangan
e. (reasoning siswa yang salah ditandai dengan siswa menganggap katalis
merupakan faktor yang dapat menggeser kesetimbangan.
3. Penyebab-penyebab miskonsepsi siswa yang berasal dari guru yang mengajar
yaitu:
a. penggunaan bahasa verbal yang terlalu tinggi dan vokal yang kecil.
b. guru tidak memberikan penjelasan yang mendalam dan penekanan pada
konsep kekeliruan penjelasan guru.
 Cara mengatasi miskonsepsi
Berdasarkan penelitian oleh Erza (2017), salah satu cara agar miskonsepi
dapat direduksi dengan menerapkan strategi pembelajaran Predict Discuss Explain
Observe Discuss Explain (PDEODE). Strategi pembelajaran ini memiliki 6 langkah
dalam pembelajaran, yaitu Predict: disajikan fenomena, siswa diminta untuk
meramalkan apa yang terjadi. Discuss: siswa berdiskusi untuk berbagi ide. Explain:
siswa dalam kelompok diminta membuat simpulan tentang fenomena yang muncul.
Observe: siswa mengamati perubahan pada fenomena. Discuss: siswa berdiskusi
lagi untuk membandingkan antara prediksi yang dibuat pada langkah awal dengan
pengamatan nyata dan terakhir Explain: siswa mengintegrasikan prediksi dan
pengamatan untuk menetapkan konsep baru yang sesuai dengan fakta.
Kelebihan dari strategi ini yaitu siswa diberikan kesempatan berinteraksi
sehingga siswa aktif dalam proses pembelajaran, siswa menkonstruksi pengetahuan
berdasarkan fenomena yang ada dalam pikirannya dengan apa yang dipelajari. Siswa
memiliki motivasi dan kreativitas belajar yang tinggi sehingga dapat
membangkitkan diskusi antar siswa dengan guru maupun siswa dengan siswa.
Melalui strategi PDEODE ini siswa dapat menggali gagasan awal yang dimiliki oleh
siswa dan dapat membangkitkan rasa ingin tahu siswa terhadap suatu permasalahan.
Dengan demikian, strategi PDEODE ini diharapkan megindikasikan gagasan awal
siswa tergolong miskonsepsi atau tidak sehingga mampu mereduksinya pada siswa
terutama saat siswa mempelajari konsep baru dan yang dipelajari menjadi
pengetahuan yang bermakna.
Pembelajaran dengan menggunakan strategi PDEODE telah dilaksanakan
dengan sangat baik dengan persentase keterlaksanaan sebesar 93,68% pada
pertemuan pertama, 93,91% pada pertemuan kedua, dan 98,62% pada pertemuan
ketiga. Secara keseluruhan guru telah melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan
menggunakan strategi PDEODE dengan sangat baik. Keseluruhan aktivitas siswa
dapat dikatakan efektif dalam uapaya untuk mereduksi miskonsepsi siswa dimana
persentase aktivitas siswa pada pertemuan 1, 2, dan 3 sebesar 100%.
POGIL adalah suatu teknik pembelajaran inkuiri terbimbing yang di dalamnya
terdapat sebuah sistem yang saling berhubungan yaitu eksplorasi, penemuan konsep,
dan aplikasi. Model pembelajaran POGIL merupakan pembelajaran inkuiri yang
berorientasi proses dan berpusat pada siswa. Pada model pembelajaran POGIL
terdapat lima tahapan yaitu; orientasi, eksplorasi, penemuan konsep, aplikasi dan
evaluasi. model POGIL efektif untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis
siswa pada materi kesetimbangan kimia, karena pada model POGIL terdapat 5 sintak
yaitu orientasi, eksplorasi, penemuan konsep, aplikasi dan evaluasi yang dapat
melatih keterampilan berpikir kritis siswa (Susana, 2018).
2.5 ASAM BASA
Permasalahan dalam Materi Asam Basa Berdasarkan penelitian (Utami et al., 2017)
memaparkan miskonsepsi siswa pada materi asam basa ada pada:
1. Berkaitan dengan konsep asam basa. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa
siswa sudah memiliki konsep awal mengenai konsep asam, dimana mereka
menganggap asam berhubungan dengan rasa pada makanan, fungsi pada tubuh
dan untuk siswa yang menderita sakit maag, mereka mengasosiasikan asam
dengan penyebab rasa sakit pada perutnya. Konsep asam yang berhubungan
dengan rasa masam dapat menyebabkan terjadinya miskonsep pada siswa karena
rasa masam merupakan bagian dari sifat larutan asam dan bukan merupakan
konsep tentang asam.
2. Berkaitan dengan reaksi ionisasi asam. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa
sebagian besar siswa berfikir bahwa laruta HCOOH bersifat basa yang melepas
OH-, sehingga dapat terlihat bahwa siswa mengalami kesulitan memahami
bagaimana suatu senyawa mengion. Padahal seharusnya HCOOH bersifat asam
dan melepas ion H+.
3. Berkaitan dengan reaksi ionisasi basa. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa
ketika siswa membuat reaksi ionisasi Ba(OH)2 , siswa belum memahami makna
reaksi ionisasi dan juga terdapat kesalahan konsep dimana sebagian besar siswa
menentukan biloks ion Ba adalah +1. Seharusnya ion Ba memiliki biloks +2.
4. Berkaitan dengan reaksi ionisasi. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa
sebagian besar siswa tidak bisa membedakan antara asam kuat dan asam lemah.
Antara H2S dengan HNO3 memiliki makna reaksi yang sama yaitu terionisasi
sempurna. Padahal seharusnya, H2S tidak terionisasi sempurna (masih ada yang
menjadi senyawa) sedangkan HNO3 terionisasi sempurna menghasilkan ion H+
dan NO3-.
5. Berkaitan dengan indikator. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa Sebagian
besar siswa beranggapan bahwa asam kuat memberikan warna yang lebih jelas
dibandingkan asam lemah setelah ditetesi indicator. Padahal, ketika HCl dengan
CH3COOH masing-masing ditetesi indicator PP akan menghasilkan warna yang
sama yaitu bening.
6. Berkaitan dengan pH larutan. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa siswa
menganggap ketika asam kuat direaksikan dengan basa kuat menghasilkan pH=0.
Padahal pH=0 merupakan kondisi ketika larutan tersebut merupakan asam yang
sangat kuat.

Berdasarkan penelitian (Amry et al., 2017) memaparkan miskonsepsi siswa pada


materi asam basa ada pada:

1. Berkaitan dengan karakteristik asam-basa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa


sebagian kecil siswa beranggapan asam mengandung atom H dan dapat
melepaskan ion H+. Dan beranggapan hanya larutan asam yang berbahaya karena
mengandung H+ yang bersifat merusak sedangkan basa tidak berbahaya. Konsep
yang benar adalah baik larutan asam maupun larutan basa akan bersifat berbahaya
apabila berada pada konsentrasi pekat. Kemungkinan miskonsepsi ini berasal dari
ketidakpahaman siswa tentang konsep konsentrasi.
2. Berkaitan dengan konsep asam-basa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
terdapat sebagian kecil siswa yang beranggapan bahwa senyawa yang
mengandung atom H bersifat asam karena akan mampu menghasilkan ion H + saat
dilarutkan pada pelarut air. Konsep yang benar adalah terdapat tiga teori asam
basa yang mendefinisikan asam dan basa. Menurut Arhenius asam adalah zat
yang apabila dilarutkan dalam air akan menghasilkan ion H+ sedangkan basa
adalah zat yang apabila dilarutkan dalam air akan menghasilkan ion OH-.
Menurut Bronsted Lowry asam adalah spesi yang mampu mendonorkan proton
(H+) sedangkan basa adalah spesi yang mampu menerima proton (H +). Menurut
Lewis asam adalah spesi yang mampu menerima pasangan electron dan basa
adalah spesi yang mampu mendonorkan pasangan elektron. Meskipun terdapat
atom H belum tentu senyawa tersebut pasti akan melepaskan ion H + contohnya
senyawa NaOH. Miskonsepsi yang dialami kemungkinan berasal dari
kecenderungan siswa menjelaskan sifat asam basa hanya dengan satu teori. Siswa
juga beranggapan bahwa semua senyawa yang mengandung atom H merupakan
asam dan yang mengandung gugus OH merupakan basa.
3. Berkaitan dengan kekuatan asam. Hasil penelitian menunjukkan sebagian kecil
siswa menganggap bahwa semakin rendah nilai pH maka semakin asam karena
Ph memengaruhi kekuatan asam. Dan karena pH menunjukkan konsentrasi ion H+
di dalam larutan. Padahal konsep yang benar adalah kekuatan asam berhubungan
dengan kemampuan asam untuk terdisosiasi/ terionisasi di dalam air yang
dinyatakan dengan harga Ka. Semakin besar harga Ka suatu asam semakin kuat
asamnya.
4. Berkaitan dengan kekuatan basa. Hasil penelitian menunjukkan sebagian kecil
siswa menganggap bahwa kekuatan basa berbanding lurus dengan besarnya harga
pH. Semakin besar harga pH semakin basa larutan tersebut. Konsep yang benar
adalah kekuatan basa berhubungan dengan kemampuan basa untuk
terdisosiasi/terionisasi di dalam air yang dinyatakan dengan harga Kb. Semakin
besar harga Kb suatu basa semakin kuat basanya. Berdasarkan penelitian
(Chandra et al., 2019) memaparkan bahwa miskonsepsi siswa pada materi asam
basa berakaitan dengan konsep asam-basa menurut Lewis. Sebagian kecil siswa
beranggapan bahwa asam adalah zat yang menerima elektron dan basa adalah zat
yang memberi elektron. Konsep yang benar menurut teori Lewis, asam adalah
penerima pasangan elektron dan basa adalah donor (pemberi) pasangan elektron.
Sehingga yang benar itu bukan hanya elektron, tapi pasangan elektron.
 Cara Mengatasi Miskonsepsi
1. Menggunakan model pembelajaran PDEODE (Predict-Discuss-Explain-
Observe- Discuss-Explain). Dengan menerapkan model pembelajaran PDEODE
peserta didik dapat membentuk konsep mereka sendiri, menjelaskan konsep
yang telah mereka bangun, serta memiliki kemampuan dalam mengaplikasikan
konsep yang mereka bangun dalam beberapa persoalan. Miskonsepsi yang
mungkin terjadi dapat diminimalisir dengan cara guru meluruskan dan
menjelaskan tentang konsep yang salah. Hal ini membuat pemahaman
konseptual peserta didik menjadi lebih baik dan terhindar dari miskonsepsi
(Chandra et al., 2019).
2. Menggunakan Model DSL (Dual Situated Learning). DSL adalah salah satu
model pembelajaran yang dapat digunakan untuk mendorong terjadinya
perubahan konsep dan memperbaiki miskonsepsi siswa. Model pembelajaran ini
disusun berdasarkan teori belajar pendidikan sains dan teori psikologi kognitif
yaitu teori Posner dan teori Piaget. Pembelajaran ini menekankan bahwa
pembelajaran dimulai dari dua hal yaitu konsep yang diyakini siswa dan konsep
yang diterima oleh masyarakat ilmiah. DSLM terdiri dari enam langkah yaitu:
a. Menelaah atribut konsep dan daftar mental set yang dibutuhkan untuk
membangun konsep yang diterima secara ilmiah.
b. Menyelidiki miskonsepsi pada materi asam basa.
c. Menganalisis konsep dasar yang masih kurang dipahami siswa pada materi
asam basa.
d. Menyusun Dual Situated Learning Event (DSLE) DSL dapat menjadi
alternatif model pembelajaran yang dapat diterapkan untuk meminimalisir
miskonsepsi, maka identifikasi miskonsepsi pada konsep asam basa dengan
pembelajaran DSL menjadi penting untuk dilakukan (Amry et al.,2017).
3. Menggunakan model pembelajaran 5E dengan metode Conceptual Change Text.
Model pembelajaran 5E adalah model pembelajaran menggunakan 5 tahap yaitu
Engagement, Exploration, Explanation, Elaboration , dan Evaluation. CCT
merupakan teks yang berisi pertanyaan awal untuk mengidentifikasi konsep
awal siswa, miskonsepsi yang biasa terjadi pada konsep tersebut, teori yang
menjelaskan setiap konsep dan pertanyaan akhir untuk mengevaluasi perubahan
konsep siswa. CCT digunakan sesuai dengan tujuan setiap tahap dalam model
5E. untuk tahap engagement akan digunakan pertanyaan awal dalam CCT untuk
mengidentifikasi konsep awal siswa, untuk tahap exploration dan explanation
akan digunakan tugas yang ada di dalam CCT, tahapan elaboration akan
menggunakan bagian dari CCT yang berisi miskonsepsi siswa dan teori yang
menjelaskan materi dan terakhir pada tahap evaluation akan digunakan
pertanyaan akhir dari CCT.
2.6 HIDROLISIS
Materi hidrolisis merupakan materi pengembangan asam basa. Reaksi
hidrolisis garam tidak dapat dilihat secara langsung oleh siswa karena bersifat abstrak,
sehingga siswa hanya dapat membayangkan jika mudah untuk dibayangkan. Garam
merupakan reaksi yang terjadi antara asam dan basa yang menghasilkan hasil samping
berupa air. Garam dibedakan menjadi tiga yaitu garam asam, garam basa, dan garam
netral. Garam asam memiliki pH kurang dari 7, garam basa memiliki pH lebih dari 7,
dan garam netral memiliki pH sama dengan 7 (Apriadi et al., 2018).
Hidrolisis garam dapat dipahami dengan memerlukan integritas antar aspek
mikroskopis, makroskopis, dan simbolik. Hidrolisis garam dalam larutan bersifat
abstrak karena terletak pada aspek mikroskopis. Materi ini juga bersifat kompleks
karena materi ini terletak pada materi asam - basa yang telah dipelajari sebelumnya
yang menjadi prasyarat dalam mempelajari materi ini (Maratusholihah et al., 2019).
Materi hidrolisis garam merupakan materi yang mudah untuk memacu miskonsepsi
siswa. Miskonsepsi biasanya didefinisikan sebagai sesuatu hal yang seseorang ketahui
dan mereka percaya tetapi tidak mereka ketahui kebenarannya secara ilmah (Mulyo
dan Sukarmin, 2019). Selain itu, miskonsepsi juga didefinisikan sebagai pengetahuan
konseptual dan proporsional yang tidak sesuai dengan kesepakatan para ilmuwan
yang telah diterima secara umum, selain itu siswa tidak bisa menjelaskan secara
ilmiah apa yang diamati. Miskonsepsi terjadi berdasarkan konsep yang diajrkan,
yaitu: 1) bagaimana pengetahuan yang disajikan di dalam buku, 2) pemahaman
konsep yang komplikatif dan tergantung pada konsep dan situasi, 3) generelisasi dasar
analogi, dan 4) pelatihan guru (Sari dan Sukisman, 2009).
Mulyo dan Sukarmin (2019) menyatakan salah satu miskonsepsi pada
hidrolisis garam adalah salah konsep pada definisi dari hidrolisis garam. Siswa
beranggapan hidrolisis garam merupakan proses pelarutan garam di dalam air.
Sedangkan konsep yang benar adalah hidrolisis garam merupakan reaksi antara kation
atau anion garam, atau keduanya dengan air. Maratusholihah et al (2017) menyatakan
beberapa miskonsepsi yang terjadi pada materi hidrolisis garam ini, yaitu:
d. Garam Asam
Sebanyak 18,75% siswa kelas A dan 15,62% siswa kelas B menganggap bahwa
garam yang bersifat asam terbuat dari asam kuat dan basa lemah yang telah
mengalami hidrolisis anion dan menghasilkan ion H3O+ sehingga konsentrasinya
di dalam air bertambah. Konsep tersebut merupakan konsep yang salah, konsep
yang benar yaitu kation dari basa lemah terhidrolisis dan manghasilkan ion H 3O+
sehingga jumlah ion H3O+ di dalam larutan bertambah,
e. Garam Basa
Sebanyak 3,12% siswa kelas A menganggap bahwa garam yang bersifat basa
berasal dari campuran basa lemah dan asam kuat dan mengalami hidrolisis parsial
dimana anionnya terhidrolisis menghasilkan ion OH-, Selain itu 3,12% siswa
kelas B beranggapan bahwa garam bersifat basa karena berasal dari campuran
basa kuat dan asam lemah yang telah mengalami hidrolisis anion sehingga
menghasilkan asam lemah. Kedua konsep dari masing - masing kelas merupakan
konsep yang salah, konsep yang benar yaitu garam bersifat basa karena terbuat
dari basa kuat dan asam lemah yang mengalami hidrolisis anion serta
menghasilkan ion OH- sehingga ion OH- di dalam air lebih banyak daripada ion
H3O+,
f. Garam Netral

Sebanyak 15,62% siswa kelas A dan 3,12% siswa kelas B beranggapan bahwa
garam yang bersifat netral terbuat dari asam kuat dan basa kuat sehingga
konsentrasi H3O+ sama dengan OH- karena tidak akan larut dalam air dan
menyebabkan konsentrasi keduanya tidak akan bertambah. Konsep yang
dikemukakan oleh kedua kelas tersebut merupakan konsep yang salah, yang benar
yaitu garam yang bersifat terbuat dari asam kuat dan basa kuat serta konsentrasi
H3O+ sama dengan OH- dimana tidak menghasilkan ion H3O+ dan ion OH- sehingga
tidak mengubah jumlah H3O+ dan OH- di dalam air.

 Cara Mengatasi Miskonsepsi Pada Materi Hidrolisis


Miskonsepsi merupakan suatu permasalahan yang tidak sepele dan hanya bisa
diiarkan saja. Miskonsepsi akan mengganggu proses pengolahan konsep dalam
struktur kognitif yang telah dilakukan siswa. Guru harus mengetahui dan
mengidentifikasi miskonsepsi yang terjadi pada siswa untuk meremidiasi
miskonsepsi siswa. Miskonsepsi dapat dikurangi dengan mereduksinya. Hal ini
bisa dilakukan dengan cara mememerintah siswa membaca jurnal internasional
sebagai referensi, pelatihan guru dalam menyampaikan materi, melakukan
komunikasi yang efektif. Selain itu, pemilihan metode yang digunakan guru dalam
pembelajaran sangat penting. Apalagi jika materi pembelajaran termasuk level
submikroskopis yang tidak bisa dilihat. Hal itu diperlukan kemampuan mengajar
yang baik.
a. Penelitian Mulyo dan Sukarmin (2019) dalam mereduksi miskonsepsi
menggunakan software anti mischem dengan strategi conceptual change text
dengan metode Research and Development (R&D) layak digunakan untuk
mereduksi miskonsepsi siswa pada materi hidrolisis garam. Hal ini berdasarkan
hasil validasi isi dan validasi konstruk diperoleh presentase sebesar 85,74% dan
82,5% sehingga masuk dalam kriteria sangat layak.Dikategorikan praktis
berdasarkan persentase perolehan rata-rata hasil respon siswa sebesar 89,16%
atau masuk dalam kriteria sangat layak. Sedangkan keefektifan dapat dinyatakan
efektif dilihat dari hasil output software berupa pergeseran konsepsi dari
miskonsepsi menjadi tahu konsep sebesar 77,72% atau masuk dalam kriteria
layak.
Melalui lembar telaah, lembar validasi, lembar respon siswa, dan lembar
observasi aktivitas siswa dapat digunakan sebagai instrumen penelitian dalam
mengumpulkan data-data. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis
deskriptif kuantitatif dan kualitatif. Teknik analisis data kuantitatif digunakan
untuk menganalisis hasil validasi, dan hasil respon siswa. Sedangkan teknik
analisis kualitatif digunakan untuk menganalisis hasil telaah, dan hasil observasi
Situated Leaktivitas siswa.
b. Penelitian Maratusholihah dkk (2017) pendekatan perubahan konseptual Dual
arning Model berbantuan animasi mampu mencegah miskonsepsi lebih baik
dibandingkan pendekatan konvensional. Selisih miskonsepsi yang dialami siswa
pada kelas pertama dan kedua pada materi hidroliss garam sebanyak 6,88%,
sedangkan pada materi larutan penyangga sebanyak 9,82%. Model ini memiliki
enam tahapan, yaitu (1) menganalisis atribut konsep, (2) menyelidiki
miskonsepsi siswa, (3) menganalisi atribut konsep siswa yang lemah, (4)
merancang Dual Situated Learning Event, (5) melaksanakan Dual Situated
Learning Event, dan (6)memberikan Challenge Situated Learning Event.Kelas
A dibelajarkan dengan menggunakan pendekatan konvensional, yaitu dengan
metode ceramah, sedangkan kelas B dibelajarkan dengan menggunakan
pendekatan perubahan konseptual Dual Situated Learning Model (DSLM)
berbantuan animasi. Data dikumpulka dengan menggunakan soal Tes
Pemahaman Konsep Hidrolisis Garam yang berjumlah 16 soal two-tier multiple
choice.
2.7 LARUTAN PENYANGGA
 Miskonsepsi
Terdapat dua miskonsepsi yang ditemukan baik pada kelas B maupun kelas A.
Pertama, sebanyak 9,37% siswa pada kelas A beranggapan bahwa pada larutan
penyangga asam atau basa, asam lemah atau basa lemah terionisasi sempurna dan
garam dari asam atau basa lemah terdisosiasi sempurna. Kedua, sebanyak 3,12%
siswa pada kelas B dan 9,37% siswa pada kelas A menganggap bahwa pada larutan
penyangga asam atau basa, asam lemah atau basa lemah terionisasi sebagian dan
garam dari asam lemah atau basa lemah terdisosiasi sebagian. Miskonsepsi ini
sejalan dengan temuan Solihah, dkk (2015), siswa menganggap bahwa berdasarkan
ilustrasi partikel dasar pada larutan penyangga asam atau basa, asam lemah
terionisasi sebagian dan garam dari asam atau basa lemah terdisosiasi sebagian.
Salah satu alasan mereka menjawab itu adalah mereka menganggap semua ion atau
molekul yang merupakan bagian dari komponen penyangga akan terdapat dalam
larutan penyangga.
Konsep yang benar adalah pada larutan penyangga asam atau basa, asam
lemah atau basa lemah terionisasi sebagian dan garam dari asam lemah atau basa
lemah terdisosiasi sempurna. Masih ditemukannya miskonsepsi ini, dimungkinkan
karena siswa belum memahami konsep reaksi disosiasi yang terjadi pada garam
dan reaksi ionisasi yang terjadi pada asam atau basa lemah sehingga mereka
kesulitan memahami aspek mikroskopis pada larutan penyangga. Senyawa garam
merupakan seyawa ionik sehingga ketika dilarutkan dalam air mengalami disosiasi
sempurna sehingga reaktan tidak akan terdapat dalam larutan. Senyawa asam
lemah atau basa lemah di dalam air mengalami ionisasi karena merupakan senyawa
kovalen, adapun jenis ionisasinya adalah ionisasi sebagian sehingga reaktan masih
terdapat dalam larutan (Maratusholihah, 2017).
Pada fungsi larutan penyangga, siswa bernggapan bahwa HCO 3--CO32-
merupakan sistem penahan utama dalam darah. Miskonsepsi ini dapat diatasi
dengan CRI (Certainty of Response Index) (Jannah et all, 2016).
Siswa yang mengalami miskonsepsi sebagian besar benar dengan menjawab
bahwa larutan penyangga memiliki harga pH yang tidak akan berubah jika
ditambah dengan sedikit asam atau sedikit basa. Namun, menurut siswa tersebut
larutan penyangga tidak akan berubah pH nya karena jika asam dan basa dicampur
maka akan terbentuk larutan yang selalu bersifat netral. Konsep yang benar, yaitu
larutan penyangga tidak akan berubah pH nya karena memiliki komponen yang
saling mempertahankan harga pH. Komponen tersebut antara lain adalah
komponen asam yang menahan kenaikan pH dan komponen basa yang menahan
penurunan pH. Miskonsepsi pada siswa terjadi dikarenakan siswa kurang
memahami perbedaan antara reaksi yang menghasilkan larutan penyangga dengan
suatu reaksi penetralan.
Adapun miskonsepsi yang terjadi pada konsep komposisi larutan penyangga
antara lain :
a. Rata-rata siswa yang mengalami miskonsepsi menganggap bahwa NH 3 dan
NH4+ merupakan pasangan basa dan asam konjugasi sebab H2O (asam)
memberikan proton (H+ ) kepada OH- (basa konjugasinya). Sementara
Jawaban yang benar seharusnya adalah NH3 dan NH4+ merupakan pasangan
basa dan asam konjugasi sebab H2O (asam) memberikan proton (H+ ) kepada
NH3. Sehingga, pada reaksi sebelah kanan terbentuk NH4+.
b. Siswa menganggap bahwa campuran NH3 dan NH4Cl memiliki komponen
penyangga yaitu NH3 dan HCl. Seharusnya jawaban yang benar adalah
campuran NH3 dan NH4Cl memiliki komponen penyangga yaitu NH3 dan
NH4+.
c. Siswa menganggap bahwa H2SO4 dan SO42- merupakan komponen larutan
penyangga. Hal tersebut tidak tepat karena H2SO4 merupakan asam kuat
yang tidak dapat membentuk larutan penyangga dengan garam SO42- .
Pada miskonsepsi ini teknik pengumpulan data dengan tes berbentuk 13 butir soal
pilihan ganda dengan alasan tertutup dan indeks CRI yang kemudian hasil jawaban
siswa tiap butir soal dianalisis (Nurhujaimah et all, 2016).
2.8 KELARUTAN DAN HASIL KALI KELARUTAN

1. Konsep kelarutan dan hasil kelarutan

Pada soal penelitian Viyadari dkk soal penentuan ksp perak pospat, siswa
membawa konsep penulisan kesetimbangan reaksi yang hasil kal produk dibagi
dengan hasil reaktan dalam penulisan rumus. Siswa yang mengalami miskonsepsi
yaitu siswa yang benar dalam menentukan ksp tetapi salah menjawab alasanya
mengatakan mereka menggira kesetimbangan yang terjadi adalah kesetimbangan
homogen sehingga konsentrasi padatan konstan. Hal ini berbeda dengan konsep,
karena kesetimbangan yang terjadi merupakan keseimbangan heterogen dimana
konsentrasi padatan konstan
pada hasil kali kelarutan yaitu perhitungan kelarutan berdasarkan Ksp atau
sebaliknya. penulisan rumus Ksp. Siswa Menganggap Penulisan Rumus Dengan
Menuliskan Koefisien Dalam Ionisasi. Penulisan Rumus Yang Salah Menyebabkan
Salah Dalam Perhitungan Harga Ksp, Siswa Terkecoh dengan jumlah kelarutan
sehingga penulisan rumus disertakan koefisienya.
2. Pengaruh ion senama
Pengaruh ion senama terhadap kelarutan, siswa mengetahui bahwa penambahan
ion senama dalam larutan jenuh akan menyebabkan endapan, namun masih ada
siswa yang banyak mengalami miskonsepsi, siswa mengatakan bahwa semakin besar
konsentrasi pelarut maka akan semakin besar kecepatan zat utuk bereaksi, siswa
menyamakan atara kecepatan zat yang mudah melarut akibat penambahan
konsentrasi dengan pengaruh ion senama dalam kelarutan dan ion senama akan
terionisasi sempurnaa dalam larutan jenuh dan sukar megendap. Pada kelarutan
Ag2CrO4 dalam kelarutan AgNO3 0,2 m siswa menganggap kelarutan Ag + yang
digunakan dalam perhitungan merupakan konsentrai Ag= dari agno3 saja bukan
total,

3. Pengaruh ph
Pengaruh ph menentukan kelarutan daam ph tertentu. Kelarutan yang dimaksud
adalah kelarutan larutan standar yang telah ditambahkan larutan yang memiliki ph
12. siswa mengatakan bahwa nlai oh- yang diggunakan adalaah nilai dari larutan
yang memiliki ph 12.
4. Kesulitan materi ksp
a. Menganggap kelarutan terjadi pada larutan lewat jenuh
b. Tidak dapat membedakan larutan jenuh dan lewat jenuh
c. Perhitungan harga ksp tidak memangkatkan konsentrasi dengan koefisien
d. Ion senama tdk berpengaruh terhadap harga kelarutan
e. Tidak memahami pengaruh suhu terhadap kelarutan.
f. Siswa kesulitan dalam memahami materi kelarutan dan hasil kali kelarutan
5. Faktor penyebab miskonsepsi
a. Pembelajaran yang kurang memperhatikan konsep awal yang diiii siswa yaitu
para guru mengajar berdasarkan asumsi tersembunyi bahwa pegetahuan dapat
dipindahkan secara utuh dari pikiran guru kepikiran siswa
b. Kompetensi generiknya lemah
c. Strategi pembelajarannya yang berorientasi pada ketrampilan generik sains cara
untuk meminimallisir bahkan menghilangkan miskonsepsi.
d. Kurngnya minat dan perhatian siswa
e. Kesiapan siswa dalam menerima materi dan konsep baru
f. Perbedaan daya tangkap dan daya pikir
g. Pengetahuan awal siswa
h. Strategi pembelajaran yang kurang tepat
2.9 KOLOID
Materi koloid sebenarnya bersifat kontekstual. Sistem koloid menjelaskan tentang
jenis-jenis koloid yang terlibat langsung dalam kehidupan siswa seperti koloid
hidrofil, koloid hidrofob, contoh-contoh koloid seperti mayonais, susu, santan, gem
stone, dan lain sebagainya. Namun, pada pembelajaran kimia, materi koloid
cenderung dihafalkan oleh siswa, sehingga menimbulkan beberapa miskonsepsi
diantaranya siswa menganggap bahwa larutan merupakan campuran suatu zat dengan
air, larutan selalu encer, dan koloid selalu kental, koloid mengendap, koloid berwujud
padat, larutan selalu berbentuk cair, dan larutan merupakan campuran suatu materi
dengan air (Purtadi & Sari, 2011). Alternatif yang dapat digunakan untuk
mengatasi ketidaktuntasan siswa dalam materi koloid dengan menggunakan metode
atau model pembelajaran berbasis induktif. Inkuiri terbimbing merupakan salah satu
model pembelajaran induktif yang dimulai dengan penerapan untuk mengkonstruk
teori. Inkuiri terbimbing merupakan proses mendefinisikan dan menginvestigasi
permasalahan, merumuskan hipotesis, merancang eksperimen, mengumpulkan data
dan menarik kesimpulan terkait permasalahan. Beberapa kelebihan pembelajaran
berbasis inkuiri terbimbing diantaranya inkuiri terbimbing dapat meningkatkan
potensi intelektual siswa, memperoleh pengetahuan yang bersifat penyelidikan, dan
memperpanjang proses ingatan, inkuiri terbimbing juga dapat meningkatkan
pemahaman konsep-konsep sains, meningkatkan hasil belajar siswa, menghindarkan
siswa belajar dengan hafalan, dan dapat meningkatkan keterampilan proses sains
siswa. Salah satu kelebihan pembelajaran berbasis inkuiri terbimbing adalah
meningkatkan keterampilan proses sains. Keterampilan proses sains merupakan
keterampilan yang terdiri dari beberapa macam interaksi diantaranya observasi,
interpretasi, inferensi, merumuskan hipotesis, merencanakan, dan lain sebagainya
yang terdiri dari aspek-aspek diantaranya mengbservasi, menginferensi, mengukur,
mengkomunikasikan, mengklarifikasi, dan memprediksi (Novilia et al., 2016).
BAB III
PENUTUP
3.1 SIMPULAN
Berdasarkan analisis yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa miskonsepsi
kimia sering terjadi di SMA. Konsep kimia mempunyai tiga aspek yang sangat
berkaitan yaitu aspek yang bersifat makroskopis, mikroskopis dan simbolik.
Pemahaman kimia bermakna memerlukan kemampuan mengaitkan tiga pilar kajian
kimia, yaitu makroskopik, submikroskopik dan simbol. Adapun penyebab
miskonsepsi yang terjadi pada siswa adalah pemikiran asosiatif siswa, prakonsepsi
awal siswa yang salah, intuisi yang salah dan kemampuan siswa. Untuk mengatasi
miskonsepsi dapat dilakukan pembaruan pada penggunaan model pembelajaran,
pengembangan modul pembelajaran dan menggunakan uji tes.

3.2 SARAN
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dapat
menyempurnakan makalah ini diwaktu mendatang. Semoga makalah ini berguna
bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA

Amry, U.W., Sri, R., & Yahmin. 2017. Analisis Miskonsepsi Asam Basa pada Pembelajaran
Konvensional dan Dual Situated Learning Model (DSLM). Jurnal Pendidikan:Teori,
Penelitian, dan Pengembangan. 2(3):385-391.

Apriadi, N. N. S., Rendhana, I. W., & Suardana, I. N. (2018). Identifikasi Miskonsepsi Siswa
Kelas X Pada Topik Reaksi Redoks. Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia Indonesia,
2(2), 70–77.

Auliyani, Aida dkk. 2017. Analisis Kesulitan Pemahaman Siswa pada Materi Sifat Koligatif
Larutan dengan Menggunakan Three-Tier Multiple Choice Diagnostic test di Kelas
XII IPA 2 SMA Negeri 5 Banda Aceh. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Kimia
(JIMPK)-Vol 2. No.1 (55-64). Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala.
Azizah Agustin, Nur. 2017. Analisis Miskonsepsi Siswa Dengan Tes Diagnostik Two Tier
Multiple Choice Pada Materi Hidrokarbon. Jurnal Pendidikan. Fakultas Matematika
dan IPA Universitas Negeri Gorontalo.
Barke, H. D., Hazari, A., & Yitbarek, S. 2009. Misconceptions in Chemistry. Heidelberg:
Springer-Verlag.

Chandra, A., Suhartono., & Ella, F. 2019. Penggunaan Peta Konsep sebagai Instrumen
Penilaian terhadap Pemahaman Konseptual Peserta Didik Melalui Model
Pembelajaran PDEODE pada Materi Asam Basa. Jurnal Riset Pendidikan Kimia.
9(1):66-78.

Ekawati, I. H. 2015. Identifikasi Pemahaman Konsep Siswa Terhadap Materi Kesetimbangan


Kimia Menggunakan Instrumen Tes Three-tier Multiple Choice Diagnostic. Skripsi.
Jurusan Pendidikan Kimia, Fakultas Matematika dan IPA Universitas Negeri
Gorontalo.

Erza. F., & Nasrudin. H. 2017. Capaian Keterlaksanaan Strategi Predict Discuss Explain
Observe Discuss Explain (PDEODE) untuk Mereduksi Miskonsepsi Siswa pada
Materi Kesetimbangan Kimia Kelas XI SMAN 1 Krembung Sidoarjo. Journal of
Chemical Education. 6(2) : 190-195.

Finley, F. N., Stewart, J. & Yarroch, W . L. 1982. Teachers’ Perceptions of Important and
Difficult Science Content. Science Education, 66, 531-538.
Friesta, A.M., & Suharto,B., 2016. Identiifikasi Dan Analisis Miskonsepsi Siswa
Menggunakan Three-Tier Multiple Choice Diagnostic Instrument Pada Konsep
Kesetimbangan Kimia. Jurnal Inovasi Pendidikan Sains. 7(1): 27-38.

Hadi, Sukma Anugrah, Effendy & Suharti. 2014. Analisis Kesalahan Konsep Sifat Koligatif
Larutan Pada Mahasiswa Kimia Universitas Negeri Malang Dan Eliminasinya
Menggunakan Media Visualisasi Statik. Malang: Universitas Negeri Malang.
Jannah, M., Ningsih, P., & Ratman. (2016). Analisis Miskonsepsi Siswa Kelas XI SMA
Negeri 1 Banawa Tengah Pada Pembelajaran Larutan Penyangga dengan CRI
(Certainty of Response Index). Jurnal Akademia Kimia, 5(2): 85-90.

Justiana. 2009. Chemistry 2 for Senior High School. Yudistira. Jakarta.

Kalsum. 2009. Kimia 2: Kelas XI SMA dan MA. Jakarta: Pusat Pembukuan Departemen
Pendidikan Nasional.

Maratusholihah, N. F., Rahayu, S., & Fajaroh, F. (2017). Analisis Miskonsepsi Siswa Pada
Materi Hidrolisis Garam Dan Larutan Penyangga. Jurnal Pendidikan, 2(7), 919–926.

Mulyo, S.A., dan Sukarmin. (2019). Pengenbangan Software Anti Mischem untuk Mereduksi
Miskonsepsi Siswa dengan StrategiI Conceptual Change Text Pada Materi Hidrolisis
Garam Kelas XI SMA (Development Of Software Anti Mischem For Reducing
Misconception Of Students With Strategies Conceptual Change Text In Hydrolysis Of
Salt Class XI SMA). Unesa Journal of Chemical Education, 8(1): 32-38.

Novilia, L, Iskandar, S.M., & Fajaroh, F. 2016. Pengembangan Modul Pembelajaran


dengan Pendekatan Inkuiri Terbimbing pada Materi Koloid di SMA. Jurnal
Pendidikan Sains. 4(3), 95-101.

Purtadi, S., & Sari R. L. P. 2011. Using Structured Clock Reaction Demonstration to Assess
Students Understanding of Solution and Colloid Concepts. Jurdik Kimia FMIPA
UNY.

Sari,L.P., dan Sukisman P. (2009). Penilaian Berkarakter Kimia Berbasis Demonstrasi


Untuk Mengungkap Pemahaman Konsep dan Miskonsepsi Kimia pada Siswa SMA.
Yogyakarta: FMIPA UNY.
Susana., Nina. K., & Lisa. T. 2018. Efektivitas Model POGIL untuk Meningkatkan
Keterampilan Berpikir Kritis pada Materi Kesetimbangan Kimia. Jurnal Pendidikan
dan Pembelajaran Kimia. 7(3) : 63-74.

Utami, D.B., Yuli, R., & Riskiono, S. 2018. Penggunaan Conceptual Change Text dengan
Model Pembelajaran 5E untuk Mengatasi Miskonsepsi Siswa pada Materi Asam Basa
di SMAN 4 Tambun Selatan. Jurnal Riset Pendidikan Kimia. 1(1):30-37.

Viyandari.A dkk. 2012. Analisis Miskonsepsi Siswa Terhadap Materi Kelarutan Dan Hasil
Kelarutan (Ksp) Dengan Menggunakan Two-Tier Diagnostic Instrument: Jurnal
Inovasi Pendidikan Kimia. Vol 6(1), hal 852-861.

Anda mungkin juga menyukai