Anda di halaman 1dari 3

Damai Rahmat Raharjo

173122244032
Pendidikan IPA C 2017

Kritikan Terhadap IPA


Saintisme
Sains berasasal dari kata latin “scientia”, yang berarti “pengetahuan”. Pengetahuan
adalah suatu hal yang sistematis yang membangun dan mengatur pengetahua dalam bentuk
penjelasan dan prediksi yang dapat diuji tentang alam semesta. kar sains paling awal dapat
ditelusuri ke Mesir Kuno dan Mesopotamia pada sekitar 3500 hingga 3000 SM. Yang mana IPA
berkontribusi untuk matematika , astronomi , dan kedokteran.
Ilmu pengetahuan dan teknologi seperti layaknya dua mata pisau, yaitu bisa berdampak
baik jika dimanfaatkan, namun juga bisa berdampak buruk jika disalahgunakan. Kedua hal
tersebut akan muncul secara sengaja maupun tidak disengaja, tergantung para ilmuwan yang
menemukan suatu penelitian.
Sebagian ilmuwan tentu tidak bermaksud buruk dalam menciptakans sesuatu. Hanya saja,
terkadang disalah gunakan oleh pihak lain untuk mengambil keuntungan. Sebagai contohnya,
ilmuwan asal Amerika Serikat bernama Julius Robert Oppenheimer. Dia adalah salah satu tokoh
Proyek Manhattan yang bertugas memproduksi bom atom dan berhasil membuat bom atom
pertama dengan tujuan untuk tak ingin nazi jadi lebih dulu menemukan bom nuklir. Namun,
penemuannya ini dimanfaatkan oleh Amerika Serikat untuk menghancurkan kota Hiroshima dan
Nagasaki di Jepang.
Banyak contoh kasus lagi. Seperti tindakan dari ilmuwan yang tidak disengaja berdampak
besar bagi lingkungan bahkan bumi. Seperti penemuan gas CFC, yang ditemukan oleh seseorang
ilmuwan untuk menggantikan pendingin yang dipakai untuk menunjang penelitiannya justru
mengakibatkan efek yang sensitif bagi bumi. Kasus-kasus tersebut sulit untuk dijelaskan, dalam
hal ini tidak ada yang bisa disalahkan. Apakah kita akan menyalahkan ilmuwan? Atau
menyalahkan ilmu pengetahuan yang ada?
Kedua subjek ini saling berkaitan, maka pandangan yang tepat bagi kita adalah bijaklah
dalam mempelajari ilmu pengetahuan, etika dalam sains harus diperhatikan, pendidikan bagian
dari etika yang merupakan bagian yang tidak bisa terpisahkan dari pelatihan ilmiah. Penerrapan
metode ilmiah untuk mempelajari sains harus selalu diterapkan agar ilmu pengetahuan yang kita
pelajari sesuai tujuannya, dengan didasari sikap ilmiah.
Sains dan Agama
Sains dan agama, merupakan dua “entities” yang sama-sama telah berperan penting
dalam membangun peradaban. Lahirnya agama,tidak saja telah menjadikan umat manusia
memiliki iman, akan tetapi hal lain yang tidak bisa dipandang denngan remeh adalah
terbangunnya manusia yang beretika, bermoral dan beradab yang menjadi pandangan hidup bagi
semua manusia dalam menjalani hidup di dunia ini. Sementara sains dengan puncak
perkembangannya yang telah dicapai, juga telah menjadikan kemajuan di dunia dengan berbagai
penemuan-penemuan yang gemilang. Tetapi, sepanjang sejarah dlama kehidupan umat manusia
itu pula, hubungan antara sains dan agama tak bisa dikata selalu harmonis.
Akan tetapi Agama dan Sains tidak selamanya berada di dalam pertentangan dan
ketidaksesuaian. Banyak kalangan yang berusaha mencari hubungan di antara keduanya.
Sekelompok orang berpendapat Agama tidak mengarahkan kepada jalan yang dikehendaki dan
agama juga tidak memaksakan Sains untuk tunduk kepada kehendak. Kelompok lain juga
berpandapat bahwa Sains dan Agama tidak akan pernah dapat digabungkan, keduanya adalah
“entities” yang berbeda dan berdiri sendiri, memiliki cakupan yang terpisah baik dari segi objek
formal-material, metode penelitian, kriteria kebenaran, serta peran yang dimainkan.
Salah satunya adalah Agama Islam yang berpengaruh besar dalam dunia ilmu
pengetahuan. Banyak ilmuwan dari Islam yang membawa perubahan bagi ilmu pengetahuan
dunia, mulai dari aljabar, trigonometri serta kimia. Belum lagi dunia kedokteran, astronomi,
teknik serta pertanian. Teks bahasa Arab lebih digunakan daipada teks bahasa Yunani, dan
revolusi ilmiah terhadap Renaisans terjadi.
Apakah Sains Bebas Nilai ?
Dalam hubungannya dengan agama, ilmuwan berpendapat bahwa “sains harus bebas
nilai”. Artinya adalah, jangan membawa nilai-nilai yang dianut oleh Ilmuwan untuk membangun
teori sains, termasuk nilai agama. Alasannya agar sains objektif, tidak subjektif.
Menurut teori evolusi, makhluk hidup yang ada sekarang ini adalah hasil dari evolusi
makhluk hidup sebelumnya, termasuk pula manusia yang dikatakan evolusi dari kera.
Pertanyaannya, kera itu hasil evolusi dari apa? Kalau kita tarik ke ujungnya, maka siapa makhluk
hidup pertama? Sains tak bisa menjawabnya !
Akan tetapi, menurut saya Sains sendiri tidak bisa bebsa dari nilai. Dalam hal evolusi
diatas, sains adalah produk dari nilai atau paham materialisme. Inilah yang kemudian membuat
sebagian ilmuwan cenderung akan menjadi ateis. Sains bergantung nilai juga bisa dilihat dari Al-
Baqillani dan Abdus Salam. Al-Baqillani dengan nilai Islam, menolak atomisme Yunani.
Menurutnya, atom-atom tersebut terbatas dan atom-atom tersebut bisa musnah, yang mana lebih
sesuai dengan fisika kuantum yang menunjukkan bahwa materi bila bertemu dengan anti-
materinya maka dapat musnah. Abdus Salam, ahli fisika teoritis mempunyai keyakinan adanya
unifikasi gaya-gaya fundamental pada energi tinggi tertentu. Hal itu didasari oleh ketauhid’an
yang dipercayai oleh Abdus Salam, bahwa segala sesuatu berasal dari Allah SWT. Jadi gaya di
alam mulanya adalah satu gaya terpadu sebelum akhirnya terpisah pada energi rendah seperti
saat ini.
Untuk melihat sains apakah termasuk nilai atau bebas nilai, maka kita lihat dari
ontology, epistimologi, dan aksiologi sains itu sendiri. Masih banyak berbagai perbedaan
pendapat tentang sains bergantung nilai atau bebas nilai. Tidak perlu risau, teori sains akan tetap
diuji dengan eksperimen dan pengamatan. Keduanya akan dikoreksi jika diketahui kesalahannya.

Terima kasih

Anda mungkin juga menyukai