Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Ijtihad merupakan dinamika ajaran islam yang keberadaannya harus di
pertahankan untuk menciptakan kehidupan yang kreatif. Hal ini disebabkan
karena Al-Qur’an hanya memuat permasalahan-permasalahan secara global dan
manusia harus mampu menerjemahkannya di zaman modern ini, seiring dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan perubahan-perubahan dalam
masyarakat.
Ijtihad sangat diperlukan karena permasalahan-permasalahan semakin
kompleks dan semakin mendesak untuk diketahui segera apa hukumnya, dan
seringkali problem-problem yang muncul itu belum ada nash-nash yang secara
eksplisit dalam syara’.
Dalam makalah ini akan dikemukakan tentang definisi ijtihad,
pembagiannya serta macam-macam ijtihad.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan ijtihad?
2. Apa saja pembagian ijtihad?
3. Sebutkan macam-macam ijtihad!

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian ijtihad.
2. Untuk mengetahui pembagian ijtihad.
3. Untuk mengetahui macam-macam ijtihad.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN IJTIHAD
Kata ijtihad berasal dari kata masdar dari fiil madhi yaitu “ijtihada”,
penambahan hamzah dan ta’ pada kata “jahada” menjadi “ijtihada” pada
wazan ifta’ala, berarti usaha untuk lebih sungguh-sungguh. Seperti halnya
“kasaba” menjadi “iktasaba” berati usaha lebih kuat dan sungguh-sungguh.
Dengan demikian “ijtihada” berarti usaha keras atau pengerahan daya upaya.
Ijtihad dalam pengertian lain yaitu berusaha memaksimalkan daya dan upaya
yang dimilikinya.1 Dengan demikian, ijtihad bisa digunakan sebagai upaya
untuk menyelesaikan masalah-masalah yang menyangkut tentang hukum Islam.
Tetapi pengertian ijtihad dapat dilihat dari dua segi baik etimologi
maupun terminologi. Dalam hal ini memiliki konteks yang berbeda. Ijtihad
secara etimologi berarti: “pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan
sesuatu yang sulit”. Sedangkan secara terminologi adalah “penelitian dan
pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat pada kitabullah (syara)
dan sunnah rasul atau yang lainnya untuk memperoleh nash yang ma’qu; agar
maksud dan tujuan umum dari hikmah syariah yang terkenal dengan maslahat.2
Ijtihad mempuyai arti umum, yaitu sebagai kekuatan atau kemampuan
dalam mencentuskan ide-ide yang bagus demi kemaslahatan umat. Ada
beberapa pendapat bahwa ijtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan dari
seorang ahli fikih atau mujtahid untuk memeroleh pengertian terhadap hukum
syara’ (hukum Islam).

1
Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh (Jakarta: Pustaka Setia, 1999), hlm. 98.
2
Abu Waf Has, Ijtihad Sebagai Alat Pemecahan Masalah Umat Isla, (Sekolah Tinggi
Keislaman Al-Hidayah (STIKA) Arjasa), Jurnal Epistemé, Vol. 8, No. 1, Juni 2013, hlm. 91.

2
B. PEMBAGIAN IJTIHAD
Bila kita telusuri ushul fiqh, maka pembahasan tentang pembagian dan
macam-macam ijtihad terdapat bentuk pembahasan yang berbeda. Ijtihad dilihat
dari segi objek kajianya dan relevansinya dengan masalah-masalah
kontemporer.
Menurut al-Syathibi3 (w 770 H/1388 M), Tokoh Ulama Ushul Malikiyah
membagi menjadi dua:
1. Ijtihad Istinbathi
Ijtihad istinbathi adalah ijtihad yang dilakukan mendasarkan pada
nash-nash Syara` dalam meneliti dan menyimpulkan ide hukum yang
terkandung di dalamnya. Hasil ijtihad yang diperoleh tersebut selanjutnya
menjadi tolak ukur dan diterapkan dalam suatu permasalahan hukum yang
dihadapi . Oleh karena ijtihad ini berhadapan langsung dengan nash-nash
Syara` maka seorang mujtahid harus memenuhi persyaratan-persyaratan
untuk berijtihad dengan sempurna, karena sulitnya untuk mencapai
persyaratan-persyaratan itu menurut al-Sathibi mujtahid dalam ijtihad
istinbath di zaman modern ini kemungkinan terputus.4
2. Ijtihad Tathbiqi
Jika ijtihad isthinbati mendasarkan pada nash-nash, maka ijtihad
tathbiqi mendasarkan pada suatu permasalahan yang terjadi dilapangan.
Dalam hal ini seorang mujtahid berhadapan langsung dengan objek hukum
dimana ide atau subtansi hukum dari produk ijtihad istinbathi akan
diterapkan.
Bagi seorang mujtahid ijtihad ini dituntut untuk memahami Maqashid
as-Syar`i secara mendalam, hal ini dimaaksudkan apakah ide hukum yang
dihasilkan jika diterapkan pada kaus yang dihadapi dapan mencapai
Maqashid as-Syar`i atau tidak.

3
Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa al-Gharnati al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, Jilid
4, (Dar al-Fikr, t.th).
4
Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa al-Gharnati al-Syathibi, al-Muwafaqat...., hlm. 89.

3
Ijtihad dari segi relevansinya menurut Yusuf Qordlowi (ahli fiqih
kontemporer dari Mesir) bahwa ijtihad yang perlu kita lakukan untuk masa kini
ada dua macam:
1. Ijtihad Intiqa`i
Ijtihad Intiqa`i ialah memilih dari satu pendapat dari beberapa
pendapat terkuat yang terdapat dalam warisan fiqih islam yang penuh
dengan fatwa dan putusan hukum. Seorang mujtahid dengan upaya yang
cermat bisa memilih pendapat yang lebih kuat dan relevan untuk diterapkan
dewasa ini.5 Dalam hal ini seorang mujtahid tidak terikat oleh salah satu
pendapat ulama tertentu, akan tetapi ia melihat semua pendapat yang ada,
membandingkan dan meneliti dalil-dalil yang mereka ketengahkan,
kemudian secara obyektif memilih salah satu pendapat yang paling kuat dan
lebih cocok untuk diterapkan.
2. Ijtihad Insya’i
Ijtihad Insya’i ialah pengambilan kesimpulan hukum baru dari suatu
persoalan, yang pernah dikemukakan oleh ulama-ulama terdahulu, baik
persoalan baru atau lama. Jika masalah yang sedang dikaji itu baru yang
sama sekali belum pernah ditemukan kasus ataupun hukumnya dalam
khazanah fiqih islam, maka mujtahid Munsyi berupaya untuk menentukan
hukumnya dengan meneliti dan memahami secara menyeluruh kasus yang
dihadapi, sehingga dengan tepat ia akan menentukan hukumnya sesuai yang
dikehendaki tujuan Syari`at yang ada.
Jika masalah yang sedang dikaji oleh mujtahid Munsyi itu kasus dan
hukumnya pernah diketengahkan oleh para ulama sebelumnya, maka
seorang mujtahid Munsyi dapat melakukan ijtihad dengan mengeluarkan
pendapat baru diluar pendapat yang sudah ada.

5
Yusuf Qordlowi, Ijtihad Kontemporer: Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan, (t.t: Risalah
Gusti, t.th).

4
Pembagian ijtihad, sebagaimana yang dijelaskan al-Syāthibi,6 terbagi
kepada tiga bagian dilihat dari segi dalil yang dijadikan pedoman, yaitu:

a. Ijtihad bayānī, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ dari


nash-nash syāri’ (Al-Qur’an dan al-Sunnah). Ijtihad ini untuk menemukan
hukum yang terkandung dalam nash, namun sifatnya zhannī, baik dari segi
ketetapannya maupun dari segi penunjukannya. Lapangan ijtihād bayāni ini
hanya dalam batas pemahaman terhadap nash dan menguatkan salah satu
diantara beberapa pemahaman yang berbeda.
b. Ijtihad qiyāsī, yang artinya ijtihad yang dilakukan untuk menggali dan
menemukan hukum terhadap permasalahan atau suatu kejadian yang tidak
ditemukan dalilnya secara tersurat dalam nash –baik qat'i ataupun zhanni-
juga tidak ada ijma' yang telah menetapkan hukumnya. Ijtihad dalam hal ini
untuk menetapkan hukum suatu kejadian dengan merujuk pada kejadian
yang telah ada hukumnya, karena antara dua peristiwa itu ada kesamaan
dalam 'illat hukumnya, atau biasa disebut qiyās.
c. Ijtihad Istishlāhī, yaitu ijtihad yang dilakukan untuk menggali, menemukan,
dan merumuskan hukum syar'i dengan cara menetapkan kaidah kulli untuk
kejadian yang ketentuan hukumnya tidak terdapat dalam nash –baik qath'i
maupun zhanni-, dan tidak memungkinkan mencari kaitannya dengan nash
yang ada, juga belum diputuskan dalam ijma'. Dasar pegangan dalam ijtihad
macam ketiga ini hanyalah jiwa hukum syara' yang bertujuan untuk
mewujudkan kemaslahatan umat, baik dalam bentuk mendatangkan
manfaat.

Sedangkan melihat bentuk ijtihad dari sisi mungkin atau tidak mungkin
terhenti kegiatannya, al-Syatibi membaginya menjadi dua macam:
a. Pertama, ijtihad yang tidak mungkin terhenti kegiatannya. Ijtihad dalam
bentuk ini adalah yang disebut dengan tahqīq al-manāth atau ijtihad dalam
menjelaskan hukum.

6
Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa al-Gharnati al-Syathibi, al-Muwafaqat..., hlm. 96.

5
b. Kedua, ijtihad yang mungkin terhenti kegiatannya. Pada bentuk kedua ini
terbagi menjadi dua bagian, yaitu (1) tanqīh al-manāth yang artinya upaya
mujtahid untuk memilih berbagai ‘illat yang ditemukan untuk ditetapkan
sebagai ide hukum suatu ayat, dan (2) takhrīj al-manāth yang artinya upaya
mujtahid untuk menggali berbagai ‘illat dari suatu hukum.7

Kemudian ijtihad dilihat dari sisi hasil yang dicapai terbagi kepada dua
bentuk, yaitu:
a. Ijtihad mu’tabar, yaitu ijtihad yang secara hukum dapat dipandang sebagai
penemuan hukum, yakni ijtihad yang dihasilkan oleh pakar yang
mempunyai kemampuan untuk berijtihad berdasarkan syarat-syarat yang
ditetapkan.
b. Ijtihad ghairu mu’tabar, yaitu ijtihad yang secara hukum tidak dapat
dipandang sebagai cara dalam menemukan hukum. Ijtihad dalam bentuk ini
adalah ijtihad yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak mempunyai
kemampuan untuk berijtihad berdasarkan syarat-syarat yang telah
ditentukan.8

C. MACAM-MACAM IJTIHAD
1. Ijma
Ijma adalah dari arti kesepakatan yakni para kesepakatan para ulama
dan untuk menetapkan pada suatu hukum dalam agama yang berdasarkan di
dalam AL Qur’an dan Hadist, dalam suatu perkara yang akan terjadi. Ini
merupakan keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara
ijtihad untuk dirundingkan dengan disepakati.
Hasil dari ijma adalah salah satu fatwa yaitu dengan keputusan
bersama oleh para ulama dan ahli agam yang cocok untuk berwenang untuk
diikuti kepada seluruh umat.

7
Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa al-Gharnati al-Syathibi, al-Muwafaqat..., hlm. 47.
8
Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa al-Gharnati al-Syathibi, al-Muwafaqat..., hlm. 93.

6
2. Qiyas
Qiyas adalah salah satu yang menggabungkan atau menyamnkan arti
dari menetapkan suatu hukum atau suatu perkara yang baru dan belum ada
belum ada pada masa yang sebelumnya, akan tetapi mempunyai kesamaan
dalam sebab, dan manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara yang
terdahulu sehingga di hukumi sama dalam islam.
3. Istihsan
Berikut ini definisi dari istihsan:
 Fatwa yang dikeluarkan seorang fiqih, dia hanya merasa hal yang seperti
itu di anggap sudah benar.
 Argumentasi merupakan dalam pikiran seorang fiqih tanpa bisa
diekspresikan dengan secara lisan.
 Untuk mengganti argumen melalui fakta yang dapat untuk di terima.
Karena ini digunakan dengan orang banyak.
 Tindakan ini memutuskan suatu perkara yang mencegah kemudharatan.
 Tindakan ini menganalogikan pada suatu perkara di masyarakat
terhadap perkara yang ada sebelumnya.
4. Maslahah Murshalah
Maslahah Murshalah adalah salah satu tindakan yang memutuskan
padamasalah yang tidak ada naskahnya dengan pertimbangan kepentingan
terhadap hidup manusia berdasarkan prinsip atau manfaat dan menghindari
dari kemudharatan.
Penggunaan kata Maslahah Murshalah adalah ijtihad yang paling
subur hanya untuk menetapkan hukum yang tidak ada nasnya dan jumhur
ulama menganggap Maslahah Murshalah sebagai hujjah syariat:
 Karena semakin tumbuh dan bertambah hajat manusia terhadap
kemaslahatan, jika hukum tidak tidak manampung untuk kemaslahatan
terhadap manusia yang dapat diterima dan kurang sempurna dari syariat
masih kurang beku.

7
 Untuk para sahabat dan para tabi’in untuk menetapkan hukum secara
berdasarkan kemaslahatan seperti abu bakar, untuk menyuruh dan
mengumpulkan mushaf Al Qur’an dan kemaslahatan umat.
5. Sududz Dzariah
Sududz Dzariah adalah salah satu tindakan yang memutuskan suatu
yang mubah menjadi yang makruh atau bisa juga masuk yang haram demi
kepentingan sesama umat.
Sududz Dzariah terdiri atas dua perkara yaitu saddu dan dzari’ah.
Saddu merupakan salah satu penghalang sumbatan sedangkan dzari’ah
adalah menghambat atau menyambut pada semua jalan untuk menuju
kepada kerusakan atau maksiat.
6. Istishab
Istishab adalah salah satu tindakan yang menetapkan pada suatu alasan
yang bisa mengubah. Misalkan jika ada pertanyaan seperti ini, bolehkah
seorang wanita yang menikah lagi apabila untuk bersangkutan dan ditinggal
suaminya bekerja di perantauan dan tidak jelas kabarnya?
Maka dalam hal tersebut yang berlaku merupakan keadaan semula
bahwa wanita tersebut statusnya adalah istri seorang sehingga tidak akan
boleh menikah lagi kecuali sudah jelas kematian suaminya atau sangat jelas
perceraian nya terhadap kedua.
7. ‘Urf
‘Urf adalah salah satu etimologi bahasa yang berasal dari kata arafa
ya’rufu bisanya sering diartikan seperti almaruf, dengan arti sesuatu yang
dikenal. Pengertian dikenal ini akan lebih dekat kepada pengertian yang
diakui oleh orang lain. Dan sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh
dengan akal sehat.
‘Urf merupakan salah satu istilah dari islam yang memakai sebagai
adat kebiasaan. ‘urf terbagi menjadi ucapan dan perbuatan yang kita lihat
dari segi objeknya, akan menjadi umum dan khusus dari segi cakupan nya.
Dan menjadi sah atau rusak dari segi keabsahan menurut syariat.

8
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Ijtihad merupakan khazanah keislaman harus terus kita lestarikan karena
jika tidak maka akan terjadi stagnasi. Ijtihad dilakukan oleh seorang faqih
dengan optimal untuk menyatakan hukum-hukum Syara` yang bersifat
amaliah/praktis pada masalah-masalah yang bersifat dzanni dan yang belum ada
nash-nashnya sama sekali. Ijtihad itu dibagi menjadi dua jika dilihat dari segi
objek yang dikaji dan segi relevansinya dengan masalah-masalah kontempor
yaitu: ijtihad istinbathi dan ijtihad tathbiqi, dan jika dilihat dari segi
relevansinya yaitu: ijtihad intiqa`i dan ijtihad Insya`i.
Macam-macam ijtihad yaitu: Ijma’, qiyas, istihsan, maslahah mursalah,
sududz zariah, istishab, dan ‘urf.

A. SARAN
Apabila dalam penulisan makalah atau tugas individu ushul fiqh ini
terdapat kesalahan, saya selaku penulis meminta maaf yang sebesar besarnya
dan saya sangat mengharapkan kritik beserta saran agar tercapai makalah yang
baik dan benar. Saya harap makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua serta
menambah pengetahuan kita.

9
DAFTAR PUSTAKA

Al-Syathibi, Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa al-Gharnati. al-Muwafaqat fi Ushul al-
Ahkam, Jilid 4. Dar al-Fikr.
Has, Abu Waf. 2013. Ijtihad Sebagai Alat Pemecahan Masalah Umat Isla, (Sekolah
Tinggi Keislaman Al-Hidayah (STIKA) Arjasa), Jurnal Epistemé, Vol. 8, No.
1, Juni.
Qordlowi, Yusuf. Ijtihad Kontemporer: Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan.
Risalah Gusti.
Syafe’i, Rahmat. 1999. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Setia.
Syarifuddin, Amir. 1999. Ushul Fiqh, Jilid II Cet. I. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu.

10

Anda mungkin juga menyukai