Anda di halaman 1dari 7

LAPORAN PANCASILA

“ PERADILAN BEBAS“

DOSEN PEMBIMBING :
Drs. Warman, M.Si

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 7
1. DINNI INDRAWATI (P07224219011)
2. NURHARDIANI H.S (P07224219027)
3. RIA ANDAYANI (P07224219032)
4. YUSPITA SARI MANGESA (P07224219041)

PRODI D-III KEBIDANAN SAMARINDA TINGKAT 1


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR
TAHUN 2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan YME karena berkat rahmat dan karunia-
Nya lah kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang disusun untuk memenuhi tugas
pancasila sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Terima kasih kami sampaikan kepada dosen bidang studi yang telah memberikan kesempatan
bagi kami untuk mengerjakan tugas makalah ini,sehingga kami menjadi lebih mengerti dan
memahami tentang materi “Peradila Bebas”. Tak lupa kami mengucapkan terima kasih yang
sebesar besarnya kepada seluruh pihak yang baik secara langsung maupun tidak langsung telah
membantu dalam upaya penyelesaian makalah ini baik mendukung secara moril dan materil.
Kami menyadari bahwa masih banyak kesalahan,kekurangan dan kehilafan dalam makalah
ini. Untuk itu saran dan kritik tetap kami harapkan demi perbaikan makalah ini kedepan.akhir
kata kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kami semua.
Terima kasih

Penyusun
DAFTAR ISI

Kata pengantar…………..…………………………………………….……………… i
Daftar isi…………..…...……………………………….……………………………..ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang…….……......…………………….……………...…………….……1
B. Rumusan masalah..………………...……………...………….….…..……….……2
C. Tujuan…………………………………………….………………………….…….2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Daftar pustaka ........................................................................................................
BAB III PEMBAHASAN
A. Pengertian asam dan basa ……….………..……..…..……………………………..3
B. Teori asam dan basa………………………………………………………………...4
C. Kekuatan asam dan basa……………………………………………………………6
D. Asam dan basa dapat dibedakan dengan rasa dan sentuhan…………………………9
E. Asam dan basa dalam kehidupan……………………………………………………10
F. Keseimbangan asam dan basa...................................................................................11
G. Ganguuan keseimbangan asam dan basa..................................................................11
BAB IVKESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan………………………………………………….....…………..….…19
B. Saran………………………………………....……..…………..…..………….....19
Perradilan  Yang Bebas Tidak memihak Adalah bebas tanpa ada campur tangan dari badan kedaulatan negara
yang lain, atau tidak ada tekanan dari pihak lain, orang-orang bekerja didalam badan peradilan, tidak mudah
untuk dipengaruhi untuk membolak -balik fakta yang ada untuk pihak tertentu, bukan badan peradilan yang
dituntut untuk bebas tetapi yang dimaksud adalah para hakim dan jaksa yang bekerja dalam badan peradilan.

"PERADILAN BEBAS DAN TIDAK MEMIHAK"


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa
Indonesia adalah negara hukum. Dengan ketentuan tersebut maka prinsip penting negara hukum
adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari
pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan. Pasal 24 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hokum dan keadilan.

Di sisi lain juga, negara hukum yang demokratis tercermin dengan terselenggaranya
peradilan yang bebas dan tidak memihak. Diketahui masih adanya intervensi atau pengaruh
campur tangan dari kekuasaan pemerintah begitu sangat jelas terlihat dan terasa. Bahkan,
lembaga peradilan tersubordonasi oleh kekuasaan eksekutif dan dikooptasi oleh pihak yang
menguasai sumber daya ekonomi dan politik. Sehingga hal ini, menimbulkan persoalan dalam
lingkup penegakan hukum, misalnya, lemahnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi
peradilan. Hal itu pun, dipengaruhi oleh catatan perjalanan penegakan hukum yang dipandang
masyarakat bersikap diskriminatif dan kurang memenuhi rasa keadilan. Ditambah dengan tidak
jelasnya lagi penegakan terhadap hakim-hakim yang menyalahgunakan wewenang untuk meraih
keuntungan pribadi. Padahal tujuan utama kekuasaan kehakimam menurut konstitusi adalah
mewujudkan cita-cita kemerdekaan RI yaitu terwujudnya masyarakat Indonesia yang adil dan
makmur melalui jalur hukum.

Idealnya Putusan Hakim


Adanya pendapat yang mengatakan bahwa idealnya putusan hakim harus menampung
secara proporsional nilai keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan, adalah pandangan yang
pasti akan disetujui oleh semua orang.
Oleh karena itu, mengingat institusi kehakiman telah dibekali jaminan untuk dapat
bekerja secara independen dan imparsial, maka segala gagasan ke arah intervensi terhadap
kemandirian hakim dan/atau peradilan tentu bukan suatu ide yang baik. Biarkan hakim membuat
putusan yang diyakininya secara intuitif adil, secara rasional benar, dan secara antisipatif
(menurut takaran pengalaman empirisnya) akan mampu melahirkan kemanfaatan. Berbeda
dengan nilai keadilan dan kepastian hukum, nilai kemanfaatan memang pada hakikatnya baru
dicapai melalui pengalaman, yakni harus menunggu beberapa waktu setelah putusan dibacakan.
Selain itu, mengingat putusan hakim dalam peradilan kontensius adalah putusan yang
terkait kasus-kasus konkret, maka dengan sendirinya putusan hakim adalah putusan yang
berangkat dari problem (problem based thinking). Pada saat bersamaan, hakim juga akan
mengaitkan problem tersebut dengan pengetahuannya tentang keseluruhan sistem hukum yang
berlaku. Hanya dengan pengaitan inilah, maka hakim dapat memastikan bahwa kasus hukum,
bukan sekadar peristiwa konkret biasa tanpa akibat hukum.
Dalam sistem peradilan, acara pertama yang didengarkan dalam rangkaian persidangan
adalah pembacaan surat dakwaan. Dalam surat dakwaan ini, jaksa penuntut umum tidak saja
menginformasikan fakta, malainkan juga dasar hukum yang digunakan. Dari dasar hukum ini
merupakan substansi hukum yang telah dipilihkan oleh jaksa dan diserahkan kepada hakim untuk
dipertimbangkan. Pada putusan hakim kemudian, akan membenarkan atau menyalahkan unsur
demi unsur tindak pidana yang terkait dengan dasar hukum pilihian jaksa tersebut.
Apabila pengertian sistem dalam konteks “berpikir problematik tersistematik” diatas
ternyata hanya sekadar mendeduksikan dasar hukum yang telah diserahkan di hadapannya, maka
hakim sesungguhnya telah memulai penalarannya dari ruang yang sempit. Hakim dianggap tahu
hukum (ius curia novit), namun apabila ia ternyata tidak dapat menggunakan pengetahuannya,
untuk keluar dari dasar hukum tersebut, sekalipun misalnya, ia tahu ada dasar hukum lain yang
sebenarnya lebih layak digunakan untuk mengadili kasus tersebut.
Ruang penalaran yang sempit diatas, semestinya dapat disiasati oleh hakim dengan cara
melakukan penafsiran-penafsiran terhadap suatu unsur yang didakwakan. Kata “kerugian
negara” dalam kasus korupsi, misalnya, dapat diberi makna baru menurut penafsiran hakim.
Apabila hakim berkesimpulan satu unsur itu tidak terpenuhi, maka akibatnya akan
menggugurkan keseluruhan dakwaan atas tindak pidana dalam ketentuan hukum tadi.
Putusan hakim dapat dipandang berwibawa, dengan demikian, apabila pertama-tama
hakim memfokuskan perhatiannya pada pencarian makna objektif atas ketentuan norma positif
itu dengan cara menariknya ke posisi asas yang paling fundamental, yakni ke asas pemisahan
baik-buruk dan
Kedua, dengan menyelami asas persekutuan dari dasar hukum tersebut, yakni kehendak kolektif
yang menjadi kesepakatan bersama tatkala suatu norma diundangkan. Menurut J.A. Pontier,
langkah kedua ini, kurang lebih berguna untuk mencari “samensprel-situatie” yakni situasi
permainan bersama yang diridhoi oleh masyarakat luas (J.A. Pontier, Penemuan Hukum,
terjemahan B. Arief Sidharta : 2008).
Langkah pertama dan kedua ini, sudah dapat dilakukan oleh hakim sebelum ia
mendalami sruktur kasus tersebut. Lain halnya dengan langkah ketiga yaitu berupa pertimbangan
terhadap asas kepribadian. Penilaian atas asas ini hanya mungkin dilakukan jika hakim
mendalami fakta hukum yang terungkap di persidangan.
Pada langkah ketiga, hakim akan menimbang-nimbang seberapa mungkin kepentigan
personal dari terdakwa dapat mengeyampingkan asas pemisahan baik-buruk, asas kesamaan
perlakuan, dan asas persekutuan. Dalam perkara pidana asas kepribadian hanya mungkin diberi
posisi lebih tinggi, apabila akibat atau dampak dari “tindak pidana” itu bermanfaat. Namun
kejadian hal ini, tentu saja dan hampir mustahil.
Langkah selanjutnya adalah memindahkan semua perdebatan asas-asas tadi ke dalam
putusan. Kewibawan putusan hakim terletak pada kejernihan sikap dan keruntutan logikanya
tatkala menuangkan argumentasinya di dalam putusan.
Tugas sebagai hakim menjadi profesi yang beresiko karena kekuasaan yang dimiliki oleh
hakim dapat demikian besar mempengaruhi sendi-sendi kehidupan pribadi perorangan maupun
kehidupan masyarakat. Linn Hammergren berpendapat bahwa kebutuhan yang semakin besar
atas akuntabilitas kekuasaan kehakiman didasari oleh semakin penting dan besarnya kekuasaan
yang dimiliki oleh kekuasaan kehakiman untuk memutuskan apakah hukum itu sendiri dan
dalam menyelesaikan konflik, tidak hanya konflik antar individu, tetapi juga antara pemerintah
dan warganegaranya. Oleh sebab itu, seorang hakim dalam memutuskan suatu perkara, harus
juga dituntut tanggung jawab dan akuntabilitasnya yang sangat besar.
Dengan selalu memegang prinsip-prinsip independensi, imparsialitas, dan transparansi
sebuah lembaga peradilan, penyataan yang oleh Alexander Hamilton dalam Federalist Papers
No. 79, mengemukakan bahwa ” Eksekutif bukan hanya memperoleh pengharagaan, tetapi
memegang pedang dalam masyarakat. Legislatif bukan hanya berkuasa atas keuangan, tetapi
menetapkan peraturan yang harus menjadi kewajiban dan hak-hak setiap
warganegara. Kekuasaan Kehakiman sebaliknya, tidak mempunyai pengaruh kepada pedang atau
keuangan, tidak mempunyai…”, dapat terbantahkan. Persepsi yang mengatakan bahwa
“sesungguhnya, lembaga kekuasaan kehakiman merupakan institusi politik ketatanegaraan yang
paling lemah dan paling mudah terkooptasi secara politis dibandingkan dengan lembaga negara
lainnya, itu pun dapat diubah. Jika hal tersebut, setiap lembaga peradilan menjalankan tugas,
fungsi dan wewenang berdasarkan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan, misalnya, independensi
(personal judicial independence; substantial judicial independence; dan institutional judicial
independence).

Anda mungkin juga menyukai