Anda di halaman 1dari 41

Journal Reading

“The severity of temporomandibular joint disorder by teeth loss in the


elderly and Factors involved in the etiology of temporomandibular
disorders - a literature review”

Di susun oleh:
Sandiana Indrajat
013.06.0053

Pembimbing :
drg. Anak Agung Istri Putri, Sp. Pros

SMF ILMU GIGI DAN MULUT RSUD DR. RADEN SOEDJONO SELONG
FAKULTAS KEDOKTERAN
Universitas Islam Al-Azhar Mataram
2020

i
1

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah Subhanahuwata’ala yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah Journal
Reading pada stase Gidi dan Mulut. Dimana dalam penyusunan makalah ini bertujuan agar
Dokter Muda FK Unizar dapat memahami isi dari makalah ini sehingga dapat bermanfaat.

Tidak lupa juga kami mengucapakan terima kasih kepada dokter yang menjadi
pembimbing, juga teman-teman dan semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini sehingga saya dapat menyelesaikannya dengan hasil yang memuaskan.

Dalam penyusunan makalah ini saya menyadari bahwa masih banyak kekurangannya
sehingga saya menginginkan saran dan kritik yang membangun dalam menyempurnakan
makalah ini.

Cipanas, 4 Juni 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................. i

DAFTAR ISI ................................................................................................................ ii

BAB I ISI JURNAL ...................................................................................................... 1

1.1. Tingkat keparahan gangguan sendi temporomandibular karena kehilangan gigi


pada orang tua ...................................................................................................... 1

1.2. Faktor-faktor yang terlibat dalam etiologi gangguan temporomandibular -


tinjauan pustaka .................................................................................................. 7

BAB II JURNAL RUJUKAN

2.1. JURNAL A ................................................................................................. 19

2.2. JUUNAL B ................................................................................................. 23

BAB III PENUTUP .................................................................................................... 29

SIMPULAN ....................................................................................................... 29

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 30

ii
BAB I
ISI JURNAL

1.1. Judul Jurnal

Tingkat keparahan gangguan sendi temporomandibular karena kehilangan


gigi pada orang tua

1.1.1. Abstrak
Gangguan sendi temporomandibula adalah istilah yang
mencakup sejumlah masalah klinis yang melibatkan otot-otot
pengunyahan, sendi temporomandibula dan struktur yang terkait atau
keduanya. Salah satu penyebab gangguan sendi temporomandibula
adalah kehilangan gigi. Tujuan penelitian ini untuk melihat gambaran
tingkat keparahan gangguan sendi temporomandibula berdasarkan
kehilangan gigi pada lansia di tiga Panti Sosial Tresna Wredha Kota
Bandung. Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan
metode survei terhadap lansia di tiga Panti Sosial Tresna Wredha kota
Bandung. Jumlah sampel adalah 34 orang yang terdiri dari 6 orang
laki-laki dan 28 orang perempuan. Data diperoleh melalui
pemeriksaan klinis gejala-gejala gangguan sendi temporomandibula
dan tingkat keparahan gangguan sendi temporomandibula dinilai
dengan menggunakan indeks disfungsi klinis Helkimo. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa tingkat keparahan gangguan sendi
temporomandibula ringan terjadi pada 7 orang (14,71%), gangguan
sedang pada 22 orang (64,71%) dan gangguan berat pada 5 orang
(20,58%). Dapat disimpulkan bahwa pada lansia dengan kehilangan
gigi akan mengalami gangguan sendi temporomandibula, dan derajat
keparahan berdasarkan kehilanganan gigi menggunakan Helkimo
Disfunction Index didapat hasil gangguan sedang.

1
Kata kunci: Gangguan sendi temporomandibula, kehilangan
gigi, lansia
1.1.2. Pendahuluan

Secara umum, setiap orang dewasa memiliki 32 gigi tetapi


banyak dari mereka mengalami kehilangan gigi. Kehilangan gigi
dapat disebabkan oleh berbagai alasan seperti karies, penyakit
periodontal, kecelakaan, dan juga untuk beberapa tujuan estetika yang
disengaja, untuk meningkatkan penampilan atau fungsi. 1

Usia dapat memengaruhi prevalensi kehilangan gigi. Semakin


bertambah usia seseorang, mengakibatkan prevalensi dari kehilangan
gigi semakin tinggi.2 Secara umum, orang tua akan mengalami
pengurangan jumlah gigi. Meskipun ada kecenderungan seseorang
untuk mempertahankan giginya sampai ia mencapai usia tuanya,
tetapi sekitar 10% dari populasi akan mengalami edontulous. 3

Kehilangan gigi biasanya menentukan perubahan penting


dalam sistem pengunyahan yang mempengaruhi struktur tulang,
mukosa mulut, dan otot masticator.4 Ini juga merupakan salah satu
faktor terpenting yang terkait dengan peningkatan kelainan sendi
temporomandibular, terutama hilangnya maxilla premolar yang
pertama.5

Menurut Tortopidis et al.4 gejala klinis dan tanda-tanda


gangguan sendi temporomandibular lebih sering terjadi pada pasien
usia lanjut. Ini terkait dengan kesehatan umum pasien, posisi kepala,
efisiensi pengunyahan dan kondisi oklusi.4

Penyebab gangguan sendi temporomandibular sangat


kompleks dan masih dalam perdebatan.6 Peneliti sebelumnya
berpendapat bahwa gangguan sendi temporomandibular dapat
disebabkan oleh hilangnya dukungan gigi dan peningkatan beban
yang menghasilkan beberapa perubahan seperti penggeseran diskus

2
dan gangguan sendi degeneratif.7 Pullinger8 menunjukkan bahwa
kehilangan gigi posterior adalah salah satu faktor predisposisi dari
gejala gangguan sendi temporomandibular. Menurut DeBoever dan
Carlsson8, kurangnya dukungan molar adalah faktor yang mendukung
gangguan sendi temporomandibular.8

Tingkat keparahan gangguan sendi temporomandibular dapat


diukur dengan menggunakan Helkimo Disfunction Index (Di) yang
diklasifikasikan menjadi empat skala indeks, yaitu tanpa gangguan
(Di 0), gangguan rendah (Di I), gangguan sedang (Di II), dan tinggi
gangguan (Di III) .9

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan


penelitian terhadap lansia yang mengalami kehilangan gigi di Rumah
Perawatan Tresna Wredha yang berlokasi di Bandung untuk
mengetahui tingkat keparahan gangguan sendi temporomandibular
yang terjadi.

1.1.3. Metode
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Populasi adalah
lansia di tiga panti jompo Tresna Wredha di Bandung. Sampel diambil
berdasarkan purposive sampling sesuai dengan kriteria populasi yang
ditentukan oleh penulis. Kriteria adalah, bersedia untuk berpartisipasi
dalam penelitian, kooperatif, berusia lebih dari 60 tahun, kehilangan
gigi di rongga mulut, dan tidak memakai prostesis yang dapat dilepas
atau diperbaiki.
Data dikumpulkan dengan pemeriksaan klinis beberapa gejala
gangguan sendi temporomandibular dan dinilai menggunakan Indeks
Disfungsi Klinis Helkimo, kemudian diproses untuk menggambarkan
tingkat keparahan gangguan sendi temporomandibular berdasarkan
kehilangan gigi pada lansia.

1.1.4. Hasil

3
Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap 34 lansia yang
terdiri dari 6 pria dan 28 wanita, ditemukan bahwa kelompok usia
lansia terbanyak adalah kelompok usia 75-90 tahun, yaitu sebanyak
18 orang (52,94%).
Distribusi jumlah gigi yang hilang pada lansia dapat dilihat
pada Tabel 1, sebagian besar lansia telah kehilangan lebih dari 26 gigi,
sebanyak 44,12%. Tabel 2 menunjukkan gangguan sendi
temporomandibular yang paling banyak terjadi pada setiap kelompok
usia lansia adalah gangguan sedang (Di II). Tabel 3 menunjukkan
gangguan sendi temporomandibular sebagian besar terjadi pada
wanita lansia daripada pria lansia. Tabel 4. Menunjukkan gangguan
sedang (Di II). Ini adalah kelainan yang paling banyak terjadi pada
setiap jumlah kelompok kehilangan gigi.

4
Berdasarkan penelitian secara keseluruhan, Diagram 1
menunjukkan tingkat keparahan gangguan sendi temporomandibular
oleh kehilangan gigi pada lansia di tiga Rumah Perawatan Tresna
Wredha yang berlokasi di Bandung yaitu gangguan ringan (20,58%),
gangguan sedang (64,71%), dan gangguan berat (14,71 %).
1.1.5. Diskusi

Penuaan merupakan proses alami yang tidak bisa dihindari. Ini


berjalan terus menerus. Proses ini menyebabkan perubahan anatomis,
fisiologis, dan biokimiawi dalam tubuh sehingga akan memengaruhi
fungsi dan kemampuan tubuh secara keseluruhan.7

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, rata-rata gigi yang


hilang pada usia lanjut adalah 20 gigi per orang. Dengan kata lain,
masih ada 12 gigi per orang. Situasi ini masih terlalu jauh dari target
nasional yang diharapkan, yaitu rata-rata jumlah gigi yang tersisa di
rongga mulut adalah 20 gigi per orang.10

Gejala-gejala gangguan sendi temporomandibular sebagian


besar terjadi pada kasus kehilangan lebih banyak gigi daripada dalam
kasus kehilangan satu gigi karena otot pengunyahan menerima beban
yang lebih berat selama berfungsi, sehingga mempengaruhi struktur
sendi temporomandibular.11 Penelitian, juga terlihat bahwa semakin
banyak kehilangan gigi, semakin tinggi tingkat keparahan gangguan
sendi temporomandibular. Ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Pullinger et al.2 dan Tallents, et al.12 yang
mengasumsikan kehilangan gigi berhubungan dengan gangguan sendi

5
temporomandibular dan keparahannya. Studi lain yang dilakukan oleh
Pullinger dan Seligman12 menunjukkan hasil yang berbeda. Mereka
menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara kehilangan gigi dan
gangguan sendi temporomandibular.12

Hasil penelitian menunjukkan bahwa keparahan gangguan


sendi temporomandibular yang paling banyak terjadi pada lansia
adalah gangguan sedang (Di II). Ini disebabkan oleh gejala yang
menyertai gangguan sendi temporomandibular dalam fase ringan,
tetapi berisiko menjadi gangguan sendi temporomandibular berat (Di
III).

Dalam penelitian ini, keparahan gangguan sendi


temporomandibular sebagian besar terjadi pada wanita lanjut usia. Hal
ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sarna-Boś et al.13
dan LeResche et al.14 yang menunjukkan gangguan sendi
temporomandibular terjadi 2 hingga 5 kali lebih besar pada wanita
dibandingkan pada pria. Hal ini disebabkan oleh frekuensi pria lanjut
usia yang masih memiliki gigi lebih besar daripada wanita lansia.
Akibatnya, mengurangi risiko lebih buruk dari keparahan gangguan
sendi temporomandibular15, dan juga dipengaruhi oleh jumlah subjek
perempuan yang lebih banyak berpartisipasi dalam penelitian.

Goldstein dan Kapila16 menyatakan bahwa gangguan sendi


temporomandibular pada wanita umumnya terjadi antara usia puber

6
dan usia pertengahan. Studi yang dilakukan oleh Wang et al.
menunjukkan bahwa usia muda memiliki risiko lebih besar untuk
gangguan sendi temporomandibular.13 Tetapi dalam penelitian ini,
orang tua juga berisiko untuk itu.

Tingkat keparahan gangguan sendi temporomandibular


sebanding dengan usia pasien. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
gangguan sendi temporomandibular berhubungan erat dengan
kehilangan gigi pada usia kelompok dan juga faktor jenis kelamin. Ini
juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Wang et al.12 yang
menunjukkan jenis kelamin mempengaruhi risiko gangguan sendi
temporomandibular.

1.1.6. Simpulan
Kehilangan gigi merupakan salah satu penyebab kelainan
sendi temporomandibular. Berdasarkan penelitian yang dilakukan,
dapat disimpulkan bahwa semua lansia dengan kehilangan gigi akan
mengalami gangguan sendi temporomandibular dan yang paling parah
terjadi berdasarkan kehilangan gigi dengan menggunakan skor Indeks
Disfungsi Klinis Helkimo adalah gangguan sedang.
1.2. Judul Jurnal

Factors involved in the etiology of temporomandibular disorders - a


literature review
1.2.1. Abstrak
Latar belakang dan tujuan : Ulasan ini bertujuan untuk
menyajikan pandangan terkini tentang faktor yang paling sering
terlibat dalam mekanisme yang menyebabkan gangguan
temporomandibular (TMD).
Metode : Kami melakukan tinjauan kritis literatur untuk
periode Januari 2000 hingga Desember 2014 untuk mengidentifikasi
faktor-faktor yang berkaitan dengan persistensi dan perkembangan
TMD.

7
Hasil : Etiologi TMD bersifat multidimensi yaitu faktor
biomekanik, neuromuskuler, bio-psikososial, dan biologis dapat
berkontribusi terhadap gangguan ini. Overloading oklusal dan
parafungsi (bruxism) sering terlibat sebagai faktor biomekanik;
peningkatan kadar hormon estrogen dianggap sebagai faktor biologis
yang mempengaruhi sendi temporo-mandibular. Di antara faktor bio-
psikososial, stres, kecemasan atau depresi, sering dijumpai.
Kesimpulan : Etiopatogenesis dari kondisi ini kurang
dipahami, oleh karena itu TMD sulit untuk didiagnosis dan dikelola.
Identifikasi dini dan benar dari faktor-faktor etiologi yang
memungkinkan akan memungkinkan penerapan skema pengobatan
yang tepat untuk mengurangi atau menghilangkan bias tanda-tanda
dan gejala-gejala TMD.
Kata kunci: gangguan sendi temporomandibular, etiologi,
faktor, patogenesis
1.2.2. Latar belakang dan tujuan
Gangguan temporomandibular termasuk perubahan sendi
temporomandibular (TMJ) dan struktur terkait, termasuk otot wajah
dan leher [1].
Sekitar 60-70% dari populasi umum memiliki setidaknya satu
tanda disfungsi sendi temporomandibular (TMD), tetapi hanya satu
dari empat orang yang menyadari gejala-gejala ini dan melaporkannya
ke spesialis [2].
Gejala yang paling penting adalah rasa sakit, diikuti oleh
gerakan mandibula terbatas, yang dapat menyebabkan kesulitan
dalam makan atau berbicara; suara dari sendi temporomandibular
selama pergerakan rahang juga perlu diperhatikan. Etiologi dan
patogenesis kondisi ini kurang dipahami, oleh karena itu pengobatan
penyakit sendi temporomandibular kadang-kadang sulit. Memahami
etiologi gangguan sendi temporomandibular sangat penting dalam
mengidentifikasi dan menghindari faktor patologis potensial.

8
Tinjauan ini bertujuan untuk menyajikan pandangan terkini
tentang faktor yang paling sering terlibat dalam mekanisme yang
terkait dengan perkembangan TMD.
1.2.3. Bahan dan Metode
Pencarian literatur dilakukan dalam database Cochrane,
PubMed, Scopus dan Web of Science yang mencakup periode Januari
1980 hingga Desember 2014. Berbagai kombinasi kata kunci terkait
dengan disfungsi TMJ dan aspek etiologi digunakan (faktor etiologi,
etiologi, disfungsi sendi temporomandibular, kelainan perpindahan
diskus, oklusi gigi, hormon estrogen, stres emosional, kecemasan,
depresi). Database dicari makalah yang diterbitkan dalam bahasa
Inggris. Dari 1215 awal abstrak ditemukan 1025 dieksklusi. Abstrak
yang dikecualikan adalah studi berulang dan studi dengan cakupan
yang tidak terkait. 136 studi lain juga dieksklusi karena mereka tidak
jelas terkait dengan topik ulasan.
1.2.4. Hasil
Sebanyak 54 artikel yang dianggap paling relevan dipilih
untuk ulasan ini.

Etiologi TMD sangatlah kompleks dan multifaktorial. Ada


banyak faktor yang dapat berkontribusi terhadap gangguan ini, yang
dikelompokkan menjadi tiga kategori. Faktor predisposisi
meningkatkan risiko pengembangan TMD, faktor inisiasi
menyebabkan timbulnya penyakit dan faktor yang terus-menerus
mengganggu proses penyembuhan atau meningkatkan perkembangan
TMD. Dalam beberapa kasus, satu faktor dapat melayani satu atau
semua peran ini. Manajemen TMD yang sukses tergantung pada
pengidentifikasian dan pengendalian faktor-faktor yang berkontribusi.

Faktor etiologi meliputi kelainan oklusal, perawatan


ortodontik, bruxisme dan ketidakstabilan ortopedi, macrotrauma dan
mikrotrauma, kelemahan sendi dan estrogen eksogen [3]. Faktor-

9
faktor psikologis seperti stres, ketegangan mental, kecemasan atau
depresi dapat menyebabkan TMD.

Faktor awal yang menyebabkan timbulnya gejala dan utamanya


terkait dengan trauma atau pembebanan yang merugikan dari sistem
pengunyahan. Faktor-faktor yang mendukung meliputi:

• Faktor perilaku (grinding, menggertakan gigi, dan postur


kepala abnormal)
• Faktor sosial (memengaruhi persepsi dan pengaruh belajar
merespon nyeri)
• Faktor emosional (depresi dan kecemasan)
• Faktor kognitif

Faktor predisposisi merupakan proses patofisiologis,


psikologis atau struktural yang mengubah sistem pengunyahan dan
mengarah pada peningkatan risiko pengembangan TMD.

1.2.4.1. Faktor Oklusi


Oklusi adalah yang pertama dan mungkin merupakan
faktor etiologi TMD yang paling kontroversial. Costen
merupakan orang yang pertama kali membuktikan keterlibatan
oklusi dalam pengembangan TMD. Saat ini, sebagian besar
peneliti memasukkan oklusi di antara semua faktor yang
terkait dengan TMD, memiliki peran yang mungkin dalam
kerentanan dan onset atau kelanjutan TMD (Tabel I) [4,5,6].

10
Pullinger dan Seligman menerapkan analisis beberapa
faktor, yang menunjukkan korelasi oklusi yang rendah
terhadap gangguan temporomandibular. Dalam penelitian ini,
mereka membandingkan karakteristik oklusal pada pasien
dengan gejala TMD dengan sekelompok pasien tanpa gejala
TMD. Para penulis menyimpulkan bahwa maloklusi dapat
bertindak sebagai co-faktor dalam etiologi TMD dan beberapa
karakteristik oklusal mungkin merupakan konsekuensi dari
penyakit daripada faktor pemicu. Mereka memperkirakan
bahwa faktor oklusal berkontribusi sekitar 10-20% terhadap
spektrum total faktor etiologi pada TMD [7]. Di sisi lain,
Rammelsberg menawarkan ulasan tentang model
etiopatogenik dari pengembangan TMD di mana abrasi yang
tinggi dan prosedur restorasi yang tidak memadai pada gigi
posterior adalah faktor risiko yang menyebabkan
ketidakstabilan oklusal [8].
Menurut literatur, data yang ada tidak dapat
menentukan peran pasti faktor oklusal dalam gangguan sendi
temporomandibular. Sebaliknya, dalam meta-analisis yang
dilakukan oleh Koh et al. [9], penulis menyimpulkan bahwa
tidak ada data yang cukup tentang pengobatan atau profilaksis
TMD dengan penyeimbangan kembali oklusal.
Berkenaan dengan distribusi kontak oklusi, simetrisitas
intensitas mereka daripada simetrisitas jumlah mereka dalam
oklusi posterior lebih penting untuk fungsi temporomandibular
[10].
Oklusi yang tidak tepat karena malposisi gigi,
edentulisme yang tidak diobati atau tidak dirawat dengan baik
adalah keadaan patologis kompleks temporomandibular, tetapi
mereka tidak dianggap sebagai faktor etiologi utama TMD
[11]. Badel et al. [12] telah mengidentifikasi insiden rendah

11
variabel maloklusi tertentu (gigitan terbuka unilateral, overjet
negatif, gigitan silang unilateral pada pria, dan gigitan ujung-
ke-ujung pada wanita) dengan tanda atau gejala TMD. Dalam
studi yang sama, mereka menemukan prevalensi hiperbalance
dan kontak interferensi yang secara signifikan lebih tinggi
pada pasien tanpa gejala dibandingkan dengan pasien TMD.
Tidak ada perbedaan yang ditemukan antara kelas Angle pada
pasien dengan TMD dan individu tanpa gejala.
Pentingnya gangguan oklusal dirasakan berbeda
berdasarkan pada etiopatogenesis TMD. Le Bell et al. [13]
menemukan bahwa gangguan buatan tidak merangsang
perkembangan gejala disfungsional pada subyek sehat, yang
berhasil beradaptasi dengan mereka. Pada pasien dengan
riwayat medis TMD, gangguan buatan meningkatkan gejala
klinis.
Gigitan silang posterior merupakan penyebab fungsi
otot asimetris, tetapi belum ada korelasi tertentu dengan TMD
yang telah ditentukan [14,15].
Kehadiran gangguan mediotrusif dianggap oleh
beberapa penulis sebagai faktor predisposisi untuk
perpindahan disk [16,17], sedangkan yang lain menunjukkan
bahwa mereka dapat mengerahkan tindakan pelindung [18].
Kehadiran open-bite anterior dapat dianggap sebagai
konsekuensi dari renovasi artikular [19] daripada penyebabnya
[20].
Posisi condylar juga dapat memainkan peran penting
dalam etiopatogenesis gangguan TMJ [21,22]. Sebuah
penelitian terbaru yang dilakukan oleh Padala et al. [23]
mengevaluasi hubungan antara posisi condylar dan perbedaan
hubungan oklusi-sentris sentris dan adanya tanda dan gejala
TMD. Temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa

12
pencatatan dan evaluasi perbedaan oklusi relentris sentris pada
individu dengan TMD dapat mengungkapkan perbedaan gigi
yang signifikan antar lengkung dan perpindahan kondilus dari
besarnya yang signifikan. Weffort et al. [24] memperoleh hasil
yang sama yang menunjukkan bahwa perbedaan yang
signifikan secara statistik antara hubungan sentris dan
interkusi maksimum dapat diukur pada tingkat kondilus pada
individu yang simtomatik dan asimptomatik.
Perdebatan mengenai karakteristik oklusal telah
mempengaruhi dan membatasi pilihan terapeutik untuk TMD,
tetapi karya penelitian terbaru telah menyoroti etiologi
multifaktorial penyakit dan mengurangi pentingnya oklusi
sebagai faktor etiologi utama TMD [25].
1.2.4.2. Faktor Psikologi
Peran stres dan kepribadian dalam etiologi sindrom
disfungsi nyeri temporomandibular telah mengalami
pemeriksaan yang luas. Studi psikologis telah menunjukkan
bahwa pasien dengan TMD memiliki profil psikologis dan
disfungsi psikologis yang sama seperti gangguan nyeri
muskuloskeletal kronis lainnya, seperti sakit kepala tipe
tegang dan punggung atau nyeri rematik [26,27]. Ada banyak
bukti bahwa faktor psikologis dan psikososial sangat penting
dalam memahami TMD, tetapi ada sedikit bukti bahwa faktor-
faktor ini bersifat etiologis. [28].
Saat ini hubungan antara depresi dan stres dan berbagai
gejala fisik TMD secara luas diakui [29,30,31]. Gejala TMD,
terutama nyeri, juga dibahas sebagai faktor penyebab atau
mengintensifkan dalam pengembangan depresi dan penyakit
psikis.
Stres, kecemasan dan faktor psikologis lainnya
menyebabkan hiperaktifitas otot dan kelelahan otot dengan

13
munculnya kejang otot dan konsekuensi berikut: kontraktur,
ketidakharmonisan oklusal, gangguan internal dan artritis
degeneratif. Faktor-faktor ini dapat mengubah skema oklusal
dari siklus pengunyahan, sehingga perubahan ini lebih
merupakan akibat TMD dan bukan faktor pemicu. Berbagai
penelitian telah mengkonfirmasi bahwa pasien dengan nyeri
myofascial atau nyeri myofascial yang berhubungan dengan
arthralgia, arthritis atau osteoarthritis menghadirkan tahap
depresi dan somatisasi daripada yang didiagnosis dengan
perpindahan diskus [32].
1.2.4.3. Faktor Hormonal
Tanda dan gejala TMD empat kali lebih umum di
kalangan wanita, yang mencari perawatan khusus untuk
penyakit ini tiga kali lebih sering daripada pria. Terlepas dari
kenyataan bahwa prevalensi TMD yang rendah pada pria
belum sepenuhnya dijelaskan, kehadiran kadar testosteron
yang lebih tinggi mungkin menjadi penjelasan yang masuk
akal [33].
Ada hipotesis bahwa kehadiran reseptor estrogen
dalam TMJ wanita mengubah fungsi metabolisme
meningkatkan kelemahan ligamen. Estrogen juga
meningkatkan kerentanan terhadap rangsangan yang
menyakitkan dengan memodulasi sistem limbik. Meskipun
peneliti tidak memiliki pendapat yang sama, penelitian pada
manusia telah menunjukkan bahwa gejala nyeri meningkat
30% di antara pasien yang menggunakan pengobatan
menopause dengan terapi penggantian estrogen dan 20% pada
wanita yang menggunakan kontrasepsi oral [34].
Polimorfisme dalam reseptor estrogen telah terbukti
berkorelasi dengan intensitas nyeri, sudut sumbu wajah dan
panjang tubuh mandibula pada pasien yang menderita

14
osteoartritis TMJ. Namun, terlepas dari penelitian ini, sampai
saat ini tidak ada bukti langsung yang ditemukan yang
menghubungkan hormon reproduksi wanita dengan penyakit
TMJ atau yang mendefinisikan mekanisme di mana hormon-
hormon ini dapat menyebabkan penyakit TMJ. Sebuah studi
baru-baru ini menunjukkan bahwa estrogen dan relaxin dapat
berkontribusi pada degenerasi homeostasis tulang rawan
dengan mengganggu TMJ dan menginduksi aktivasi
metalloproteinases (MMP) yang menurunkan makromolekul
matriks tulang rawan (kolagen dan proteoglikan) [35].
1.2.4.4. Makrotrauma
Macrotrauma adalah faktor predisposisi dan pemicu
TMD. Cidera tipe whiplash pada kepala atau leher umumnya
dianggap sebagai faktor risiko signifikan dalam perkembangan
patologi ini [36,37]. Sale [38] mengemukakan bahwa satu dari
tiga orang yang terpapar trauma whiplash berisiko mengalami
gejala TMJ yang tertunda.
Sebuah studi termasuk 400 pasien dengan TMD
mengungkapkan bahwa pada 24,5% dari mereka, kehadiran
nyeri TMJ secara langsung berkorelasi dengan riwayat trauma
[39].
Probert et al. [40] melakukan penelitian ekstensif di
Australia, termasuk 20.673 pasien yang menjadi korban
kecelakaan mobil. TMD didiagnosis hanya pada 28 pasien,
dan hanya satu dari 237 pasien yang menderita fraktur rahang
memerlukan perawatan lebih lanjut untuk TMD. Dengan
demikian disimpulkan bahwa kejadian TMD setelah cedera
whiplash sangat rendah dan trauma individu tidak dapat
dianggap sebagai faktor pemicu untuk timbulnya TMD.
Intubasi endotrakeal juga telah diusulkan sebagai
faktor risiko untuk disfungsi TMJ dalam laporan kasus dan

15
studi sistematis. Setiap hubungan antara intubasi endotrakeal
dan pengembangan gejala TMD jangka pendek kemungkinan
akan ditemukan pada pasien dengan riwayat gejala
disfungsional tersebut [41].

1.2.4.5. Parafungsi
Parafungsi didefinisikan sebagai fungsi TMJ yang
terganggu atau diubah. Dari jumlah tersebut, mengunyah
permen karet yang berlebihan, mengertakan gigi dan bruxisme
telah dipelajari secara ekstensif sebagai faktor risiko yang
mungkin untuk TMD.
Dalam sebuah studi termasuk 3.557 siswa, Miyake et
al. [42] mengidentifikasi bruxism dan mengunyah permen
karet di satu sisi sebagai faktor risiko untuk TMD. Pada
individu yang sering mengunyah permen karet, lebih dari
empat jam sehari, nyeri auricular lebih sering terjadi saat
istirahat dan selama gerakan dan ada frekuensi yang lebih
tinggi dari kebisingan sendi [43]. Pergerakan lateral rahang
atau tonjolan tanpa kontak gigi sering dikaitkan secara
signifikan dengan nyeri sendi, bising sendi, dan oklusi sendi.
Studi menemukan bruxism pada 87,5% pasien dengan
perpindahan diskus dan nyeri sendi. Hubungan antara bruxism
dan gejala TMD didasarkan pada teori yang digunakan
berulang-ulang pada TMJ menentukan kelainan fungsional
[44]. Bruxisme lebih sering dikaitkan dengan disfungsi otot
dan kurang terkait dengan disfungsi sendi, seperti perpindahan
diskus. Parafungsi ini dapat menyebabkan remodeling tulang
condylar dan degradasi kartilago artikular dan dapat
berkontribusi pada pengembangan osteoartritis TMJ [45,46].
Prevalensi bruxism dilaporkan 20% di antara populasi
orang dewasa, mirip dengan frekuensi penyakit pada anak-

16
anak. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan di Boston dan
berdasarkan laporan orang tua, Cheifetz et al. [47] melaporkan
frekuensi 38% bruxisme pada anak-anak. Hanya 5% dari
mereka yang menunjukkan tanda-tanda TMD. Insiden
bruxisme tertinggi adalah pada rentang usia 20-50 tahun dan
kemudian secara bertahap menurun. Magnusson et al. [48]
melakukan studi longitudinal pada sekelompok 420 orang
selama 20 tahun, melaporkan korelasi yang signifikan antara
bruxisme dan TMD.
Huang et al. [49] menilai sekelompok pasien yang
didiagnosis dengan nyeri myofascial (n = 97), arthralgia (n =
20) dan menggabungkan nyeri myofascial dan arthralgia (n =
157), mengidentifikasi korelasi yang kuat antara pengertakan
gigi dan adanya nyeri myofascial (OR = 4,8).
1.2.4.6. Hyperlaxity dan Hipermobilitas Sendi
Hubungan antara hipermobilitas dan TMD juga telah
dipelajari. Beberapa penulis telah melaporkan tidak ada
hubungan antara TMD dan hyperlaxity sistemik atau antara
mobilitas TMJ dan hypermobility sistemik, sementara yang
lain menemukan hubungan positif antara hipermobilitas sendi
umum dan TMD [50]. Kavuncu et al. menilai risiko TMD pada
pasien dengan hipermobilitas sistemik dan hipermobilitas
TMJ. Mereka menemukan bahwa baik hipermobilitas lokal
dan umum lebih sering terdeteksi pada pasien dengan TMD
daripada di kontrol, dan bahwa risiko disfungsi TMJ lebih
besar jika pasien menunjukkan kedua perubahan secara
bersamaan [51].
Data ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Coster et al. [52], yang meneliti 31 subjek dengan
sindrom Ehler-Danlos, semuanya menunjukkan tanda dan
gejala TMD dengan subluksasi kondilus berulang. Hasil ini

17
berbeda dengan yang disajikan oleh Conti et al. [53]
membandingkan kelompok 60 pasien dengan gejala TMD
dengan kelompok 60 pasien tanpa gejala. Tidak ada hubungan
antara TMD dan hyperlaxity sistemik dan antara TMD
hyperlaxity dan hyperlaxity sistemik.
1.2.4.7. Faktor Herediter
Michalowicz et al. [54] mengevaluasi hipotesis bahwa
tanda dan gejala TMD mungkin turun temurun. Mereka
mengumpulkan informasi melalui kuesioner dari 494 kembar
monozigot dan dizigotik. Kembar monozigot tidak
menunjukkan kesamaan yang signifikan dengan kembar
dizigotik, dan kembar monozigot yang tumbuh bersama
menunjukkan karakteristik yang sama jika dibandingkan satu
sama lain. Para penulis menyimpulkan bahwa faktor genetik
dan lingkungan keluarga tidak memberikan efek yang relevan
terhadap adanya gejala dan tanda-tanda TMJ.
1.2.5. Simpulan
Etiologi TMD adalah multifaktorial, sebagaimana dibuktikan
oleh kombinasi faktor psikologis, fisiologis, struktural, postural dan
genetik, mengubah keseimbangan fungsional antara elemen mendasar
dari sistem stomatognatik: oklusi gigi, otot rahang dan TMJ.
Dalam waktu gejala TMD (nyeri, ketidaknyamanan
psikologis, cacat fisik dan keterbatasan gerakan mandibula) dapat
menjadi kronis dan mempengaruhi kualitas hidup. Pilihan pengobatan
terbatas dan terkadang gagal memenuhi permintaan jangka panjang
dari populasi pasien yang relatif muda. Itulah mengapa sangat penting
untuk dengan cepat mengidentifikasi faktor-faktor etiologi yang
mungkin dan tingkat keterlibatan mereka, memungkinkan penerapan
skema pengobatan yang tepat untuk mengurangi atau menghilangkan
bias tanda-tanda dan gejala-gejala TMD.

18
BAB II

JURNAL RUJUKAN

2.1. Jurnal A

19
20
21
22
2.2. Jurnal B

23
24
25
26
27
28
BAB III
PENUTUP

3.1. Simpulan

3.1.1. Jurnal A : Kehilangan gigi merupakan salah satu penyebab kelainan


sendi temporomandibular. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapat
disimpulkan bahwa semua lansia dengan kehilangan gigi akan mengalami
gangguan sendi temporomandibular dan yang paling parah terjadi berdasarkan
kehilangan gigi dengan menggunakan skor Indeks Disfungsi Klinis Helkimo
adalah gangguan sedang.

3.1.2. Jurnal B : Etiologi TMD adalah multifaktorial, sebagaimana dibuktikan


oleh kombinasi faktor psikologis, fisiologis, struktural, postural dan genetik,
mengubah keseimbangan fungsional antara elemen mendasar dari sistem
stomatognatik: oklusi gigi, otot rahang dan TMJ.
Dalam waktu gejala TMD (nyeri, ketidaknyamanan psikologis, cacat
fisik dan keterbatasan gerakan mandibula) dapat menjadi kronis dan
mempengaruhi kualitas hidup. Pilihan pengobatan terbatas dan terkadang gagal
memenuhi permintaan jangka panjang dari populasi pasien yang relatif muda.
Itulah mengapa sangat penting untuk dengan cepat mengidentifikasi faktor-
faktor etiologi yang mungkin dan tingkat keterlibatan mereka, memungkinkan
penerapan skema pengobatan yang tepat untuk mengurangi atau
menghilangkan bias tanda-tanda dan gejala-gejala TMD.

29
Referensi

Herdiyani I., Kuerniasari E., Damayanti L., 2011, The severity of


temporomandibular joint disorder by teeth loss in the elderly, Bandung,
Padjadjaran Journal of Dentistry 2011;23(2):85-88.
Maria A. Chisnoiu at al., 2015, factors involved in the etiology of temporomandibular
disorders - a literature review, Clujul Medical 2015 Vol. 88 no. 4: 473-
478.

30
31
32
33
34
35
36
37
38

Anda mungkin juga menyukai