Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN KELOMPOK PJBL 1

“CEDERA KEPALA”

Disusun oleh:
Vitara Daru Rahmi (155070200111022)
Tim Murni (155070201111002)
Venny Gracelia Soplanit (155070201111004)
Wirda Maria Pangaribuan (155070207111004)
Fadiyatun Naja (155070207111006)
Rochima Wachidatus Sholicha (155070207111008)
Kelompok 2 - Reguler 2

Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran


Universitas Brawijaya Malang
November 2016
BAB I
Pendahuluan

1.1 Latar belakang


Trauma kepala merupakan suatu kegawatan yang paling sering dijumpai di unit gawat
darurat suatu rumah sakit. Setiap tahun di Amerika Serikat mencatat 1,7 juta kasus trauma
kepala, 52.000 pasien meninggal dan selebihnya dirawat inap. Trauma kepala juga
merupakan penyebab kematian ketiga dari semua jenis trauma yang dikaitkan dengan
kematian (CDC, 2010). Menurut penelitian yang dilakukan oleh National Trauma Project di
Islamic Republic of Iran bahwa diantara semua jenis trauma tertinggi yang dilaporkan yaitu
sebanyak 78,7% trauma kepala dan kematian paling banyak juga disebabkan oleh trauma
kepala (Karbakhsh, Zandi, Rouzrokh, Zarei, 2009).
Penyebab utama trauma kepala adalah kecelakaan lalu lintas, kekerasan dan terjatuh
(Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006). Pejalan kaki yang mengalami tabrakan kendaraan
bermotor merupakan penyebab trauma kepala terhadap pasien anak-anak bila dibandingkan
dengan pasien dewasa (Adeolu, Malomo, Shokunbi, Komolafe dan Abio, 2005). Estimasi
sebanyak 1,9 juta hingga 2,3 juta orang menerima perawatan kecederaan yang tidak fatal
akibat kekerasan (Rosenberg, Fenley, 1991).
Menurut Akbar (2000), insiden trauma kepala pada tahun 1995 sampai 1998 terdiri dari
tiga tingkat keparahan trauma kepala yaitu trauma kepala ringan sebanyak 60,3% (2463
kasus), trauma kepala sedang sebanyak 27,3% (1114 kasus) dan trauma kepala berat
sebanyak 12,4% (505 kasus). Kematian akibat trauma kepala mencatatkan sebanyak 11%
berjumlah 448 kasus. Angka kejadian trauma kepala pada tahun 2004 dan 2005 di Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), FKUI mencatat sebanyak 1426 kasus (Akbar, 2000).
Banyaknya kasus cedera kepala yang terjadi inilah yang menelatarbelakangi kami sebahai
peulis untuk dapat menyampaikan penjelasan mengenai trauma atau cedera kepala lebih
mendalam.

1.2 Batasan topik


a. Definisi cedera kepala
b. Epidemiologi cedera kepala
c. Etiologi cedera kepala
d. Patofisiologi cedera kepala
e. Faktor resiko cedera kepala
f. Klasifikasi cedera kepala
g. Manifestasi klinis cedera kepala
h. Penatalaksanaan cedera kepala
i. Komplikasi cedera kepala
BAB II
Pembahasan

2.1 Definisi cedera kepala


Menurut Brunner dan Suddarth (2001), cedera kepala adalah cedera yang terjadi pada
kulit kepala, tengkorak dan otak, sedangkan Doenges (1999) cedera kepala adalah cedera
kepala terbuka dan tertutup yang terjadi karena, fraktur tengkorak, kombusio gegar serebri,
kontusio memar, leserasi dan perdarahan serebral subarakhnoid, subdural,
epidural,intraserebral, batang otak.
Cedera kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa
struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan
fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009)
Menurut Brain Injury Assosiation of America (2009), cederakepala adalah suatu kerusakan
pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan
atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.

2.2 Epidemiologi cedera kepala


Cedera adalah salah satu masalah kesehatan yang paling serius. Cedera kepala
merupakan salah satu penyebab utama kematian dan kecacatan. Cedera kepala berperan
pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma. Distribusi cedera kepala terutama
melibatkan kelompok usia produktif antara 15-44 tahun dan lebih didominasi oleh kaum laki-
laki dibandingkan dengan perempuan.
Trauma kepala merupakan kedaruratan neurologik yang memiliki akibat yang kompleks,
karena kepala merupakan pusat kehidupan seseorang. Di dalam kepala terdapat otak yang
mempengaruhi segala aktivitas manusia, bila terjadi kerusakan akan mengganggu semua
sistem tubuh. Penyebab trauma kepala yang terbanyak adalah kecelakaan bermotor (50%),
jatuh (21%) dan cedera olahraga (10%). Angka kejadian trauma kepala yang dirawat di rumah
sakit di Indonesia merupakan penyebab kematian urutan kedua (4,37%) setelah stroke, dan
merupakan urutan kelima (2,18%) pada 10 pola penyakit terbanyak yang dirawat di rumah
sakit di Indonesia. (Depkes RI, 2007)
Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat setiap tahun hampir 2juta penduduk
mengalami cidera kepala (Packard, 1999). Menurut penelitian Evans (1996), distribusi kasus
cidera kepala pada laki-laki dua kali lebih sering dibandingkan perempuan dan separuh
pasien berusia 15-34 tahun. Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan oleh Woro
Riyadina (2005) di Instalasi Gawat Darurat (IGD) di 5 rumah sakit di wilayah DKIJakarta
didapatkan jumlah kasus sebanyak 425 orang . Korban yang mengalami cidera parah 41,9%
dan meninggal 7,04%. Cidera utama adalah cidera kepala 53,4% dengan comosio cerebri
10,59%. Jenis luka meliputi lecet 86,8%, luka terbuka 58,35% dan patah tulang 31.29%.
Menurut catatan Sistim Administrasi Satu Atap (SAMSAT) Polda Metro Jaya (2006), pada
tahun 2002 tercatat 1.220 kejadian kecelakaan, pada tahun 2005 angka kecelakaan mencapai
4.156 kejadian (Insiden Rate Kecelakaan Lalu lintas = 1,89 per 100.000 penduduk), dan tahun
2006 tercatat 4.407 kecelakaan, sedangkan menurut catatan Direktorat Lalu Lintas Polda
Metro Jaya, pada bulan November 2007 terdapat sebanyak 111 kejadian kecelakaan yang
mengakibatkan 13 orang meninggal dunia dengan Case Fatality Rate 11,7%. (Depkes RI,
2007).

2.3 Etiologi cedera kepala


Rosjidi (2007), penyebab cedera kepala antara lain:
1. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.
2. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
3. Cedera akibat kekerasan.
4. Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat merobek
otak.
5. Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih beratsifatnya.
6. Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapatmerobek otak,
misalnya tertembak peluru atau benda tajam.

2.4 Faktor resiko cedera kepala


1. Jenis Kelamin
Pada populasi secara keseluruhan, laki-laki dua kali ganda lebih banyak
mengalami trauma kepala dari perempuan. Namun, pada usia lebih tua perbandingan
hampir sama. Hal ini dapat terjadi pada usia yang lebih tua disebabkan karena terjatuh.
Mortalitas laki-laki dan perempuan terhadap trauma kepala adalah 3,4:1 (Jagger, Levine,
Jane et al., 1984).
2. Umur
Resiko trauma kepala adalah dari umur 15-30 tahun, hal ini disebabkan karena
pada kelompok umur ini banyak terpengaruh dengan alkohol, narkoba dan kehidupan
sosial yang tidak bertanggungjawab (Jagger, Levine, Jane et al., 1984).
Menurut Brain Injury Association of America, dua kelompok umur mengalami
risiko yang tertinggi adalah dari umur 0 sampai 4 tahun dan 15 sampai 19 tahun (CDC,
2006).
Pada usia diatas 60 tahun yang mengalami cedera kepala memiliki risiko
terjadinya kelainan pada otak lebih besar dibandingkan usia muda (Munro, 2002).
3. Hipotensi
Hipotensi yang bisa muncul kapan saja akibat trauma, telah dijadikan prediktor
utama terhadap outcome pada pasien cedera kepala. Hipotensi merupakan faktor yang
sering ditemukan diantara kelima faktor terkuat yang mempengaruhi outcome pasien
cedera kepala. Riwayat penderita dengan kondisi hipotensi berhubungan dengan
peningkatan angka morbiditas dan mortalitas pasien cedera kepala (Chessnut, 2000;
Demetriades, 2004).
Terdapatnya cedera sistemik ganda terutama yang berhubungan dengan hipoksia
sistemik dan hipotensi (tekanan sistolik < 90 mmHg), memperburuk prognosis
penyembuhan (Bowers, 1980).
4. Hypoxia
Penelitian yang dilakukan Van Putten (2005) pada sekolompok tikus menjelaskan
bahwa hipoksia disertai benturan menyebabkan peningkatan kejadian edema otak bila
dibandingkan dengan benturan saja, hal ini mungkin disebabkan oleh karena gangguan
pada sel yang cedera untuk mempertahankan hemostasis ion.

2.5 Klasifikasi cedera kepala


Klasifikasi cedera kepala dapat dibagi menjadi 3, yaitu berdasarkan penyebab,
berdasarkan mekanisme, dan berdasarkan pemeriksaan GCS. Berdasarkan penyebabnya:
1. Cedera kepala tumpul, dapat disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh,
atau pukulan benda tumpul.
2. Cedera kepala tembus (penetrasi), disebabkan luka tembak atau pukulan benda tumpul
Klasifikasi cedera kepala berdasarkan mekanismenya, antara lain:
 Cedera Kepala Tertutup
a. Komosio Serebri
Apabila cedera kepala mengakibatkan gangguan fungsi serebral sementara
berupa kesadaran turun (pingsan/koma, amnesia retrograd) tanpa adanya lesi parenkhim
berdarah pada otak, digolongkan sebagai komosio serebri (KS). Penemuan-penemuan
mutakhir menyebutkan koma kurang dari 20 menit, amnesia retrograd singkat, cacat otak
tak ada, dan perawatan rumah sakit kurang dari 48 jam termasuk golongan ini. Kontusio
Serebri.
b. Edema Serebri Traumatik
Apabila dalam pengamatan lanjut terdapat tanda-tanda penurunan keadaan, misalnya
kesadaran yang turun lambat atau tidak membaik dalam waktu antara hari 3-7, disertai
tanda-tanda yang mungkin ada, yaitu tanda-tanda tekanan intrakranial (TIK) meninggi berupa
edema papil, nyeri kepala berat, muntah, paresi N.abdusens.
c. Hematoma Epidural (Ekstradural)
Ditandai oleh adanya penurunana kesadaran yang mulai bukan pada detik trauma tetapi
lebih lambat, anisokoria (penekanan batang otak dari jarak jauh oleh masa hemisferik sesisi),
bradikardia, tensi naik, maka kecurigaan akan hematoma epidural (HED) makin jelas, dan
deteksi dini harus segera dimulai dengan CT, arteriografi cito atau ekhoensefalografi (yang
berakhir tak dilakukan lagi). Begitu ditegakkan HED terapi (bedah, burrhole, trepanasi) harus
segera dilaksanakan.
d. Hematoma Subdural
Lebih lambat dari HED, dan bedanya adalah timbulnya edema papil yang pada HED tak
setempat timbul walau TIK meninggi. Nyeri kepala juga menonjol, sedang interval lusid lebih
sulit ditemukan. Perdarahan yang disebabkan pecahnya berpuluh-puluh vena jembatan yang
berjalan radial di tepi dura sampai pia, atau pecahnya sinus sagitalis superior yang lebih
hebat dan menyebabakan hematoma subdural (HSD) akut, yang penanganannya lebih segera
daripada HSD biasa yang kronik atau subakut. Operasi kraniotomi perlu dilakukan, mungkin
disertai diuraplasty yang lebih sulit, kadang-kadang HSD tipis tak memerlukan operasi.
e. Hematoma Intraserebral
Pasti terjadi bersama kontusio, sehingga secara umum lebih beruk, baik dipoperasi
maupun tidak. Dorongan yang mengancam terjadinya herniasi oleh bekuan darah di tengah
otak disertai edema lokal yang hebat biasanya berprognosis buruk daripada HED yang
dioperasi.
f. Higroma
Apabila hematoma diserbu oleh cairan serebrospinal, sehingga mengencer, atau oleh
karena penderita anemis, atau oleh sebab lain. Dapat terjadi pengumpulan cairan yang
berprotein sangat tinggi (hingga 2000 mg%) yang kadang-kadang memerlukan terapi bedah
atau aspirasi. Memang jarang yang berakibat herniasi tetapi eksistensinya cukup penting.

 Cedera Kepala Terbuka


Biasanya tak masuk wewenang dokter spesialis saraf,tetapi bagian bedah saraf.Namun
didaerah terpencil,seprang dkter umum harus menanganinya dengan semaksimal
mingkin,dengan atau tanpa bantuan dokter bedah umum,ahli THT,mata (Harsono, 2005).
Cedera kepala dikategorikan menjadi 3 berdasarkan nilai Glaslow Coma Scale (GCS), yaitu:
Kategori SKG Gambaran Klinik Skening Otak

CK Ringan 13-15 Pingsan <10 menit, defisit neurologik (-) Normal

CK Sedang 9-12 Pingsan >10 menit s/d <6 jam, defisit neurologik (+) Abnormal

CK Berat 3-8 Pingsan >6 jam, defisit neurologik (+) Abnormal

Catatan: Pada pasien cedera kranioserebral dengan SKG 13-15, pingsan <10 menit, tanpa defisit
neurologik, tetapi pada hasil skening otaknya terlihat perdarahan, diagnosisnya bukan cedera
kranioserebral ringan (CKR)/komosio, tetapi menjadi cedera kranioserebral sedang
(CKS)/kontusio. (Tjen, 2007)

2.6 Manifestasi cedera kepala


 Nyeri yang menetap atau setempat, biasanya menunjukkan adanya fraktur. Fraktur kubah
kranial menyebabkan bengkak pada sekitar fraktur, dan karena alasan ini diagnosis yang
akurat tidak dapat ditetapkan tanpa pemeriksaan dengan sinar-x.
 Fraktur dasar tengkorak cenderung melintas sinus paranasal pada tulang frontal atau
lokasi tengah telinga di tulang temporal, juga sering menimbulkan hemoragi dari hidung,
faring, atau telinga dan darah terlihat di bawah konjungtiva. Suatu area ekimosis, atau
memar, mungkin terlihat di atas mastoid (tanda Battle). Fraktur dasar tengkorak dicurigai
ketika CSS keluar dari telinga (otorea cairan serebrospinal) dan hidung (rinorea
serebrospinal). Keluarnya cairan serebrospinal merupakan masalah serius karena dapat
menyebabkan infeksi seperti meningitis, jika organisme masuk ke dalam isi kranial melalui
hidung, telinga atau sinus melalui robekan pada dura.Laserasi atau kontusio otak
ditujukan oleh cairan spinal berdarah (Smeltzer, 2003).
 Trauma otak mempengaruhi setiap sistem tubuh. Manifestasi klinis cedera otak meliputi
gangguan kesadaran, konfusi, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba defisit neurologik dan
perubahan tanda vital. Mungkin ada gangguan penglihatan dan pendengaran, disfungsi
sensori, kejang otot, sakit kepala, vertigo, gangguan pergerakan, kejang, dan banyaknya
efek lainnya. Karena cedera SSP sendiri tidak menyebabkan syok, adanya syok
hipovolomik menunjukkan kemungkinan cedera multisystem (Smeltzer, 2003).
Menurut Grace dan Borley (2007), manifestasi klinis cedera kepala meliputi :
 Riwayat trauma langsung pada kepala atau deselerasi
 Pasien harus dinilai penuh untuk trauma lainnya
 Tingkat kesadaran ditentukan dengan GCS
 Ketidaksimetrisan pupil atau refleks cahay yang abnormal menunjukkan perdarahan
intrakranial
 Sakit kepala, mual, muntah, frekuensi nadi yang menurun, dan peningkatan tekanan
darah menunjukkan edema serebral
Menurut Muscari (2005), manifestasi klinis nya yaitu:
a. Tanda dan gejala spesifik Fraktur basal, yaitu “raccoon eyes” (kebocoran darah ke dalam
sirkulasi sinus frontal) dan “battle sign” (memar di belakang telingan akibat perdarahan
sinus matoid). Fraktur basal dapt disertai kebocoran CSS dalam telingan atau hidung dan
dapat menyebabkan kerusakan saraf kranial
b. Sindrom pasca-traumatik (misalnya: kejang, hdrosefalus, atau defisit neurologis fokal)
dan komplikasi metabolik (misalnya: diabetes insipidus, hiponatremia atau
hipernatremia, atau kondisi hiperosis molar hiperglikemik) cedra otak dapat terjadi
sampai 2 tahun setealh cedera.
c. Hematoma epidural dimanisfestasikan dengan awitan yang cepat. Hematima ini
mengancam hidup dan diklarifikasikan dengan deteriosasi yang cepat, sakit kepala,
kejang, koma, dan herniasi otakdengan kompresi pada batang otak.
d. Hematom subdural terjadi dalam 48 jam cedera dan dikarakteristikkan dengan sakit
kepala, agitasi, konfusi, mengantuk berat, penurunan tingkat kesadaran, dan
peningkatan TIK. Hematom subdural kronis juga dapat terjadi.
e. Karakteristik minor umum trauma kepala:
1. Hilang kesadaran (kemungkinan)
2. Konfusi transien
3. Lesu dan iritabilitas
4. Pucat dan muntah
f. Tanda – tanda perkembangan cedera
a. Perubahan status mental
b. Peningkatan agitasi
c. Pekembangan tanda-tanda fokal
d. Perubahan TTV yang berarti
e. Hiporesponsif, hiperesponsif, atau tidak ada refleks

2.7 Patofisiologi cedera kepala


2.8 Penatalaksanaan cedera kepala
Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala adalah sebagai
berikut:
1. Observasi 24 jam
2. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
Makanan atau cairan, pada trauma ringan bila muntah-muntah, hanya cairan infus
dextrosa 5 %, amnifusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2 - 3 hari
kemudian diberikan makanan lunak.
3. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
4. Pada anak diistirahatkan atau tirah baring.
5. Terapi obat-obatan.
a. Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis
sesuai dengan berat ringanya trauma.
b. Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi vasodilatasi.
c. Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20 % atau
glukosa 40 % atau gliserol 10 %.
d. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin) atau untuk infeksi
anaerob diberikan metronidasol.
e. Pada trauma berat. karena hari-hari pertama didapat penderita mengalami
penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka hari-
hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextosa 5 % 8 jam pertama, ringer
dextrosa 8 jam kedua dan dextrosa 5 % 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila
kesadaran rendah makanan diberikan melalui nasogastric tube.
6. Pembedahan bila ada indikasi.
(Smelzer, 2001)
Penatalaksanaan penderita cedera kepala ditentukan atas dasar beratnya cedera dan
dilakukan menurut urutan prioritas. Yang ideal dilaksanakan oleh suatu tim yang terdiri dari
paramedis terlatih, dokter ahli saraf, bedah asraf, radiologi, anestesi dan rehabilitasi medik.
Pasien dengan cedera kepala harus ditangani dan dipantau terus sejak tempat kecelakaan,
selama perjalanan dari tempat kejadian sampai rumah sakit, diruang gawat darurat, kamar
radiologi, sampai ke ruang operasi, ruang perawatan atau ICU, sebab sewaktu-waktu bisa
memburuk akibat aspirasi, hipotensi, kejang dan sebagainya.
Macam dan urutan prioritas tindakan cedera kepala ditentukan atas dalamnya penurunan
kesadaran pada saat diperiksa:
a. Pasien dalam keadaan sadar (GCS=15)
Pasien yang sadar pada saat diperiksa bisa dibagi dalam 2 jenis:
1. Simple head injury (SHI)
Pasien mengalami cedera kepala tanpa diikuti gangguan kesadaran, dari anamnesa
maupun gejala serebral lain. Pasien ini hanya dilakukan perawatan luka.Pemeriksaan
radiologik hanya atas indikasi.Keluarga dilibatkan untuk mengobservasi kesadaran.
2. Kesadaran terganggu sesaat
Pasien mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah cedera kepala dan pada saat
diperiksa sudah sadar kembali.Pemeriksaan radiologik dibuat dan penatalaksanaan
selanjutnya seperti SHI.
B.       Pasien dengan kesadaran menurun
1. Cedera kepala ringan / minor head injury (GCS=13-15)
Kesadaran disoriented atau not obey command, tanpa disertai defisit fokal serebral.
Setelah pemeriksaan fisik dilakukan perawatan luka, dibuat foto kepala. CT Scan kepala,
jika curiga adanya hematom intrakranial, misalnya ada riwayat lucid interval, pada
follow up kesadaran semakin menurun atau timbul lateralisasi. Observasi kesadaran,
pupil, gejala fokal serebral disamping tanda-tanda vital.
2. Cedera kepala sedang (GCS=9-12)
Pasien dalam kategori ini bisa mengalami gangguan kardiopulmoner, oleh karena itu
urutan tindakannya sebagai berikut:
· Periksa dan atasi gangguan jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi
· Periksa singkat atas kesadaran, pupil, tanda fokal serebral dan cedera organ lain.
Fiksasi leher dan patah tulang ekstrimitas
· Foto kepala dan bila perlu bagiann tubuh lain
· CT Scan kepala bila curiga adanya hematom intracranial
· Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, defisit fokal serebral
3. Cedera kepala berat (CGS=3-8)
Penderita ini biasanya disertai oleh cedera yang multiple, oleh karena itu disamping
kelainan serebral juga disertai kelainan sistemik. Urutan tindakan menurut prioritas
adalah sebagai berikut:
a. Resusitasi jantung paru (airway, breathing, circulation=ABC) Pasien dengan cedera
kepala berat ini sering terjadi hipoksia, hipotensi dan hiperkapnia akibat gangguan
kardiopulmoner. Oleh karena itu tindakan pertama adalah:
 Jalan nafas (Air way)
Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala
ekstensi,kalau perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal, bersihkan
sisa muntahan, darah, lendir atau gigi palsu. Isi lambung dikosongkan melalui pipa
nasograstrik untuk menghindarkan aspirasi muntahan
 Pernafasan (Breathing)
Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer.
Kelainan sentral adalah depresi pernafasan pada lesi medulla oblongata,
pernafasan cheyne stokes, ataksik dan central neurogenik hyperventilation.
Penyebab perifer adalah aspirasi, trauma dada, edema paru, DIC, emboli paru,
infeksi.Akibat dari gangguan pernafasan dapat terjadi hipoksia dan
hiperkapnia.Tindakan dengan pemberian oksigen kemudian cari danatasi faktor
penyebab dan kalau perlu memakai ventilator.
 Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat mengakibatkan kerusakan
sekunder.Jarang hipotensi disebabkan oleh kelainan intrakranial, kebanyakan oleh
faktor ekstrakranial yakni berupa hipovolemi akibat perdarahan luar atau ruptur
alat dalam, trauma dada disertai tamponade jantung atau peumotoraks dan syok
septik.Tindakannya adalah menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi
jantung dan mengganti darah yang hilang dengan plasma, hydroxyethyl starch
atau darah
b. Pemeriksaan fisik
Setalah ABC, dilakukan pemeriksaan fisik singkat meliputi kesadaran, pupil, defisit
fokal serebral dan cedera ekstra kranial. Hasil pemeriksaan fisik pertama ini dicatat
sebagai data dasar dan ditindaklanjuti, setiap perburukan dari salah satu komponen
diatas bis adiartikan sebagai adanya kerusakan sekunder dan harus segera dicari dan
menanggulangi penyebabnya.
c. Pemeriksaan radiologi
Dibuat foto kepala dan leher, sedangkan foto anggota gerak, dada Dan abdomen
dibuat atas indikasi. CT scan kepala dilakukan bila ada fraktur tulang tengkorak atau
bila secara klinis diduga ada hematom intrakranial
d. Tekanan tinggi intrakranial (TTIK)
Peninggian TIK terjadi akibat edema serebri, vasodilatasi, hematom intrakranial
atau hidrosefalus. Untuk mengukur turun naiknya TIK sebaiknya dipasang monitor TIK.
TIK yang normal adalah berkisar 0-15 mmHg, diatas 20 mmHg sudah harus diturunkan
dengan urutan sebagai berikut:
 Hiperventilasi
Setelah resusitas ABC, dilakukan hiperventilasi dengan ventilasi yang
terkontrol, dengan sasaran tekanan CO2 (pCO2) 27-30 mmHg dimana terjadi
vasokontriksi yang diikuti berkurangnya aliran darah serebral.Hiperventilasi
dengan pCO2 sekitar 30 mmHg dipertahankan selama 48-72 jam, lalu dicoba
dilepas dgnmengurangi hiperventilasi, bila TIK naik lagi hiperventilasi
diteruskan lagi selama 24-48 jam. Bila TIK tidak menurun dengan hiperventilasi
periksa gas darah dan lakukan CT-scan ulang untuk menyingkirkan hematom
 Drainase
Tindakan ini dilakukan bil ahiperventilasi tidak berhasil. Untuk jangka pendek
dilakukan drainase ventrikular, sedangkan untuk jangka panjang dipasang
ventrikulo peritoneal shunt, misalnya bila terjadi hidrosefalus
 Terapi diuretic
o Diuretik osmotik (manitol 20%)
Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari jaringan otak normal
melalui sawar otak yang masih utuh kedalam ruang intravaskuler.Bila
tidak terjadi diuresis pemberiannya harus dihentikan.
Cara pemberiannya : Bolus 0,5-1 gram/kgBB dalam 20 menit dilanjutkan
0,25-0,5 gram/kgBB, setiap 6 jam selama 24-48 jam. Monitor osmolalitas
tidak melebihi 310 mOSm
o Loop diuretik (Furosemid)
Frosemid dapat menurunkan TIK melalui efek menghambat pembentukan
cairan cerebrospinal dan menarik cairan interstitial pada edema
sebri.Pemberiannya bersamaan manitol mempunyai efek sinergik dan
memperpanjang efek osmotic serum oleh manitol. Dosis 40 mg/hari/iv
 Terapi barbiturat (Fenobarbital)
Terapi ini diberikan pada kasus-ksus yang tidak responsif terhadap semua jenis
terapi yang tersebut diatas.
Cara pemberiannya: Bolus 10 mg/kgBB/iv selama 0,5 jam dilanjutkan 2-3
mg/kgBB/jam selama 3 jam, lalu pertahankan pada kadar serum 3-4 mg%,
dengan dosis sekitar 1 mg/KgBB/jam. Setelah TIK terkontrol, 20 mmHg selama
24-48 jam, dosis diturunkan bertahap selama 3 hari.
 Streroid
Berguna untuk mengurangi edema serebri pada tumor otak. Akan tetapi
menfaatnya pada cedera kepala tidak terbukti, oleh karena itu sekarang tidak
digunakan lagi pada kasus cedera kepala
 Posisi Tidur
Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi tidurnya ditinggikan
bagian kepala sekitar 20-30, dengan kepala dan dada pada satu bidang, jangan
posisi fleksi atau leterofleksi, supaya pembuluh vena daerah leher tidak
terjepit sehingga drainase vena otak menjadi lancar.
e. Keseimbangan cairan elektrolit
Pada saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah bertambahnya edema
serebri dengan jumlah cairan 1500-2000 ml/hari diberikan perenteral, sebaiknya
dengan cairan koloid seperti hydroxyethyl starch, pada awalnya dapat dipakai cairan
kristaloid seperti NaCl 0,9% atau ringer laktat, jangan diberikan cairan yang
mengandung glukosa oleh karena terjadi keadaan hiperglikemia menambah edema
serebri. Keseimbangan cairan tercapai bila tekanan darah stabil normal, yang akan
takikardia kembali normal dan volume urin normal >30 ml/jam. Setelah 3-4 hari dapat
dimulai makanan peroral melalui pipa nasogastrik.Pada keadaan tertentu dimana
terjadi gangguan keseimbangan cairan eletrolit, pemasukan cairan harus disesuaikan,
misalnya pada pemberian obat diuretik, diabetes insipidus, syndrome of inappropriate
anti diuretic hormon (SIADH). Dalam keadaan ini perlu dipantau kadar eletrolit, gula
darah, ureum, kreatinin dan osmolalitas darah.
f. Nutrisi
Pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5 kali normal dan
akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadi antara lain oleh karena
meningkatnya kadar epinefrin dan norepinefrin dalam darah danakan bertambah bila
ada demam. Setelah 3-4 hari dengan cairan perenterai pemberian cairan nutrisi
peroral melalui pipa nasograstrik bisa dimulai, sebanyak 2000-3000 kalori/hari
g. Epilepsi/kejang
Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early epilepsi dan
yang terjadi setelah minggu pertama disebut late epilepsy.Early epilelpsi lebih sering
timbul pada anak-anak dari pada orang dewasa, kecuali jika ada fraktur impresi,
hematom atau pasien dengan amnesia post traumatik yang panjang.
Pengobatan:
 Kejang pertama: Fenitoin 200 mg, dilanjutkan 3-4 x 100 mg/hari
 Status epilepsi: diazepam 10 mg/iv dapat diulang dalam 15 menit. Bila cendrung
berulang 50-100 mg/ 500 ml NaCl 0,9% dengan tetesan <40 mg/jam. Setiap 6 jam
dibuat larutan baru oleh karena tidak stabil. Bila setelah 400 mg tidak berhasil,
ganti obat lain misalnya Fenitoin. Cara pemberian Fenitoin, bolus 18 mg/KgB/iv
pelan-pelan paling cepat 50 mg/menit. Dilanjutkan dengan 200-500 mg/hari/iv
atau oral Profilaksis: diberikan pada pasien cedera kepala berat dengan resiko
kejang tinggi, seperti pada fraktur impresi, hematom intrakranial dan penderita
dengan amnesia post traumatik panjang.
 Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang biasa dilakukan klien dengan trauma kranial sebagai
penunjang dan bukti fisik dalam menentukan diagnosis sebagai berikut :
1. CT Scan (tanpa / dengan kontras) mengidentifikasi adanya sol, hemoragik,
menentukan ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
2. MRI (Magnetic Resonance Imaging): sama dengan CT Scan dengan / tanpa kontras.
Memanfaatkan medan magnet kuat dan frekuensi radio dan bila bercampur
frelmensi radio radio yang dilepaskan oleh jaringan tubuh akan menghasilkan citra
MRI yang berguna. dalam mendiagnosis tumor, infark dan kelainan pada. pembuhih
darah.
3. Angiografi serebral: Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran
jaringan otak akibat edema., pendarahan trauma. Diberdayakan untuk
mengidentifikasi dan menentukan kela.inan serebral vaskuler.
4. Angiografi Substraksi Digital Suatu tipe angiografi yang menggabungkan radiografi
dengan teknik komputerisasi untuk mempelihatkan pembuluh darah tanpa.
gangguan dari tulang dan jaringan lunak di sekitamya.
5. EEG: Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis.
EEG (elektroensefalogram) mengukur aktifitas listrik lapisansuperfisial korteks serebri
melalui elekroda yang dipasang di luar tengkorak pasien.
6. ENG (Elektronistagmogram) merupakan pemeriksaan elekro fisiologis vestibularis
yang dapat diberdayakan untuk mendiagnosis gangguan sistem saraf pusat.
7. Sinar X: Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur). Pergeseran struktur
dari garis tengah (karena perdarahan, edema) adanya fragmen tulang.
8. BAEK (Brain Auditon Euoked Tomografi) : Menentukan fungsi korteks dan batang
otak.
9. PET (Positron Emmision Tomografi): Menunjukkan perubahan aktifitas metabolisme
batang otak. 10. Fungsi lumba1,
10. CSS: Dapat menduga kemungkinan adanya perubahan subaraknoid.
11. GDA (Gas Darah Arteri): Mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang
akan meningkatkan TIK.
12. Kimia / elekrolit darah: Mengetahui ketidakseimbangan yang belperan dalam
peningkatan TIK / perubahan mental.
13. Pemeriksaan toksilogi: Mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap
pentuunan kesadaran.
14. Kadar anti konvulsan darah: Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang
cukup efektif untuk mengatasi kejang.
(Doenges 2000; Price & Wilson 2006)

2.9 Komplikasi cedera kepala


Rosjidi (2007), kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari perluasan hematoma
intrakranial edema serebral progresif dan herniasi otak, komplikasi dari cedera kepala adalah:
1. Edema pulmonal
Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi mungkin berasal
dari gangguan neurologis atau akibat sindrom distress pernafasan dewasa. Edema paru
terjadi akibat refleks cushing/perlindungan yang berusaha mempertahankan tekanan
perfusi dalam keadaan konstan. Saat tekanan intrakranial meningkat tekanan darah
sistematik meningkat untuk memcoba mempertahankan aliran darah keotak, bila
keadaan semakin kritis, denyut nadi menurun bradikardi dan bahkan frekuensi respirasi
berkurang, tekanan darah semakin meningkat. Hipotensi akan memburuk keadan, harus
dipertahankan tekanan perfusi paling sedikit 70 mmHg, yang membutuhkan tekanan
sistol 100-110 mmHg, pada penderita kepala. Peningkatan vasokonstriksi tubuh secara
umum menyebabkan lebih banyak darah dialirkan ke paru, perubahan permiabilitas
pembulu darah paru berperan pada proses berpindahnya cairan ke alveolus. Kerusakan
difusi oksigen akan karbondioksida dari darah akan menimbulkan peningkatan TIK lebih
lanjut
2. Peningkatan TIK
Tekanan intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15 mmHg, dan
herniasi dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg. Tekanan darah yang mengalir dalam
otak disebut sebagai tekan perfusi rerebral. yang merupakan komplikasi serius dengan
akibat herniasi dengan gagal pernafasan dan gagal jantung serta kematian.
3. Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut selama fase akut. Perawat
harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang dengan menyediakan spatel
lidah yang diberi bantalan atau jalan nafas oral disamping tempat tidur klien, juga
peralatan penghisap. Selama kejang, perawat harus memfokuskan pada upaya
mempertahankan, jalan nafas paten dan mencegah cedera lanjut. Salah satunya tindakan
medis untuk mengatasi kejang adalah pemberian obat, diazepam merupakan obat yang
paling banyak digunakan dan diberikan secara perlahan secara intavena. Hati-hati
terhadap efek pada system pernafasan, pantau selama pemberian diazepam, frekuensi
dan irama pernafasan.
4. Kebocoran cairan serebrospinalis
Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari fraktur
tengkorak basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan merobek meninges,
sehingga CSS akan keluar. Area drainase tidak boleh dibersihkan, diirigasi atau dihisap,
cukup diberi bantalan steril di bawah hidung atau telinga. Instruksikan klien untuk tidak
memanipulasi hidung atau telinga.
5. Infeksi
Bab III
Ringkasan

Cedera kepala adalah cedera yang terjadi pada kulit kepala, tengkorak dan otak akibat
benturan atau serangan dari luar sehingga dapat terjadi kelainan struktural dan fungsional
dimana dapat menyebabkan cedera kepala secara terbuka dan atau tertutup. Cedera kepala
merupakan salah satu penyebab utama kematian dan kecacatan. Cedera kepala berperan
pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma. Distribusi cedera kepala terutama
melibatkan kelompok usia produktif antara 15-44 tahun dan lebih didominasi oleh kaum laki-
laki dibandingkan dengan perempuan. Cedera kepala dapat disebabkan oleh adanya
benturan dari luar atau adanya kecelakaan, terjatuh, dan adanya kekerasan yang diterima.
Laki-laki lebih beresiko terkena cedera kepala dibandingkan wanita hal itu disebabkan karna
aktifitas fisik yang dilakukan laki-laki cenderung lebih beresiko. Tak hanya jenis kelamin,
faktor resiko cedera kepala juga dipengaruhi oleh faktor usia dimana resiko cedera kepala
terbesar terdapat pada usia 15-30 tahun. Selain itu penderita hipotensi dan hipoksia juga
beresiko untuk terkena cedera kepala.
Cedera kepala dapat diklasifikasikan menjadi 3 yaitu berdasarkan penyebabnya (cedera
kepala tumpul dan cedera kepala tembus), berdasarkan mekanismenya (cedera kepala
terbuka dan cedera kepala tertutup), dan berdasarkan GCS (cedera kepala ringan, sedang,
dan berat). Pada penderita cedera kepala, manifestasi klinis yang mungkin saja terjadi yaitu
timbulnya rasa nyeri, fraktur dasar otak, mual, muntah, dan masih banyak lagi.
Pada pasien dengan cedera kepala dapat dilakukan dilakukan terlebih dahulu observasi
selama 24 jam, dipuasakan terlebih dahulu, diistirahatkan, apabila terdapat indikasi dapat
dilakukan terapi obat-obatan melalui intravena, apabila terdapat indikasi khusu juga dapat
dilakukan pembedahan. Pemeriksaan penunjang yang mungkin dilakukan adalah
dilakukannya CT Scan, MRI, EEG, x-ray, dan lain-lain.
Penanganan cedera kepala yang kurang tepat dapat pula menyebabkan komplikasi,
beberapa diantaranya antara lain adalah edema pulmonal, peningkatan TIK, kejang,
kebocoran cairan serebrospinalis, dan infeksi.
Referensi Pustaka
Doengoes, M.E.,2000. Penerapan Proses Kperawatan dan Diagnosa Keperawatan,  Jakarta : EGC.
Jagger J, Levine JI, Jane JA, Rimel RW. Epidemiologic features of head injury in a predominantly
rural population. Journal of Trauma 1984;24:40-44.
Demetriades D., Murray J., Charalambides K., et al. (2004). Trauma fatalities: time and location of
hospital death. J Am Coll Surg 198:20-6.
De Deyn B. G. and Van der Putten W. H., 2005, Lingking Above Ground and Belowground
Diversity, Review, TREND in Ecological and Evoluation Vol., 20. (11): 625-633.
Rosjidi, C. H. 2007. Asuhan Keperawatan Klien dengan Cedera Kepala. Yogyakarta. Ardana Media.
Brain Injury Association of America. Types of Brain Injury. Http://www.biausa.org Fakultas
Kedokteran Universitas Pelita Harapan. Cedera Kepala. Jakarta : Deltacitra Grafindo, 2005.
PERDOSSI cabang Pekanbaru. Simposium trauma kranio-serebral. tanggal 3 November 2007.
Pekanbaru
Smeltzer, S. C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8, volume
3. Jakarta. EGC.
Mansjoer, Arief, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aescalapius FKUI.

Anda mungkin juga menyukai