Anda di halaman 1dari 32

Makalah Hak Atas Kekayaan Intelektual

“Penyelesaian Sengketa HAKI dan Kasusnya”

Dosen Penguji : M. Rizki Azmi, S.H., M.H

Disusun Oleh :
Hoppy Okta Diandra
(181010620)
Hak Atas Kekayaan Intelektual (4/M)

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
PEKANBARU
2020
Kata Pengantar
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan penulis kemudahan
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah
ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di
akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur sebanyak-banyaknya kepada Allah SWT
atas limpahan nikmat dan rahmat sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun
akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah
sebagai tugas dari mata kuliah Hak Atas Kekayaan Intelektual dengan judul
“Penyelesaian Sengketa HAKI dan Kasusnya”.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian
apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang
sebesar-besarnya.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Pekanbaru, 10 Juni 2020

Penulis

223 | H a k A t a s K e k a y a a n I n t e l e k t u a l
Daftar Isi
Kata Pengantar...............................................................................................1
Daftar Isi..........................................................................................................2
BAB I : Pendahuluan......................................................................................3
A. Latar Belakang......................................................................................3
B. Rumusan Masalah.................................................................................7
C. Tujuan Penulisan..................................................................................7
BAB II :Pembahasan......................................................................................8
A. Pengertian Penyelesaian Sengketa........................................................8
B. Pembagian Penyelesaian Sengketa.......................................................8
C. Penyelesaian Sengketa Secara Legitimasi............................................8
D. Alternatif Penyelesaian Sengketa Haki.................................................9
E. Macam-macam Penyelesaian Sengketa Haki.......................................11
F. Tata Cara Gugatan Pelanggaran Hak Cipta Melalui Pengadilan..........12
G. Tata Cara Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase............................13
H. Penyelesaian Sengketa Dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa......14
I. Contoh Kasus Penyelesaian Sengketa Haki..........................................16
BAB III : Penutup...........................................................................................31
A. Kesimpulan...........................................................................................31
Daftar Pustaka................................................................................................32

323 | H a k A t a s K e k a y a a n I n t e l e k t u a l
BAB I
PENDAHULUAN
B. Latar Belakang
Hak Atas Kekayaan Intelektual (selanjutnya disebut HKI) merupakan hak
kekayaan yang timbul atau lahir dari kemampuan intelektual manusia. HKI
memang menjadikan karya-karya yang timbul atau lahir karena adanya
kemampuan intelektual manusia yang harus dilindungi. Kemampuan intelektual
manusia dihasilkan oleh manusia melalui daya, cipta, rasa, dan karsanya yang
diwujudkan dengan karya-karya intelektual. Karya-karya intelektual juga
dilahirkan menjadi bernilai, apalagi dengan manfaat ekonomi yang melekat
sehingga akan menumbuhkan konsep kekayaan terhadap karya-karya intelektual.
Dalam perkembangannya, disepakati berbagai macam HKI yang sebelumnya
masih belum diakui atau diakui sebagai bagian daripada HKI. Dalam
perlindungan Persetujuan Umum tentang Tarif dan Perdagangan (General
Agreement on Tariff and trade – GATT) sebagai bagian daripada pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) telah disepakati pula norma-norma dan
standar perlindungan HAKI yaitu :
1. Hak Cipta dan hak-hak lain yang terkait (Copyright and Related Rights).
2. Merek (Trademark, Service Marks and Trade Names
3. Indikasi Geografis (Geographical Indications).
4. Desain Produk Industri (Industrial Design).
5. Paten (Patents) termasuk perlindungan varitas tanaman.
6. Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (Lay Out Designs Topographics
Integrated Circuits).
7. Perlindungan terhadap Informasi yang dirahasiakan (Protection of
Undisclosed Information).
“Hak Kekayaan Intelektual adalah hak untuk menikmati hasil kreatifitas
manusia secara ekonomis, oleh karena itu objek yang diatur dalam hak kekayaan
intelektual adalah karya yang timbul atau lahir dari kemampuan intelektual
manusia.”
Indonesia memiliki keanekaragaman etnik, suku bangsa, dan agamayang
secara keseluruhan harus dilindungi oleh negara. Kekayaan seni dan budaya itu

423 | H a k A t a s K e k a y a a n I n t e l e k t u a l
merupakan salah satu sumber dari karya intelektual yang perlu dilindungi oleh
Undang-Undang. Kekayaan tersebut di lindungi dalam Pasal 570 KUHPerdata
yang berbunyi :
“Hak milik adalah hak untuk menikmati suatu barang secara lebih leluasa
dan untuk berbuat terhadap barang itu secara bebas sepenuhnya, asalkan tidak
bertentangan dengan undang undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh
kuasa yang berwenang dan asal tidak mengganggu hak-hak orang lain;
kesemuanya itu tidak mengurangi kemungkinan pencabutan hak demi
kepentingan umum dan penggantian kerugian yang pantas, berdasarkan
ketentuan ketentuan perundangundangan.”
Dilihat bahwa pernyataan umum Hak-Hak Asasi Manusia ini justru meletakan
dasar keseimbangan antara Pencipta dengan hak setiap orang terhadap karya
ciptaan. Para pencipta yang menghasilkan karya cipta akan mendapatkan dua hak,
yaitu hak ekonomi dan hak moral.
Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas
ciptaannya, sedangkan “Hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta
(termasuk pelaku) yang tidak dapat di hilangkan atau di hapus dengan alasan
apapun. Antara Pencipta dan Ciptaannya ada sifat kemanunggalan atau dengan
kata lain ada hubungan integral diantara keduanya.”
Pasca Indonesia meratifikasi Persetujuan Organisasi Perdagangan Dunia
(Agreement the Establishing World Trade Organization) melalui UU No.7 Tahun
1994, maka Indonesia terikat dan diwajibkan untuk menharmonisasi hukumnya
yang terkait dengan persetujuan ini. Salah satu hukum yang terkena dampak
harmonisasi ini adalah hukum yang terkait dalam bdang HKI. “hak Cipta sebagai
dalam bidang HKI juga terkena imbas dari harmonisasi hukum ini. Dalam
peraktiknya, mengharmonisasi UU No. 12 Tahun 1997 dengan UU No. 19 Tahun
2002.”
Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta telah diganti
dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, menurut
penjelasan UU No. 28 Tahun 2014 bahwa: “Penggantian Undang-Undang
Nomor 19 tahun 2002 Hak Cipta dengan mengutamakan kepentingan nasional
dan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan Pencipta, Pemegang Hak

523 | H a k A t a s K e k a y a a n I n t e l e k t u a l
Cipta, atau pemilik Hak Terkait dengan masyarakat serta memperhatikan
ketentuan dalam perjanjian internasional di bidang Hak Cipta dan Hak terkait”.
Undang-Undang Hak Cipta yaitu Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2014
yang selanjutnya di sebut UUHC membawa kemajuan baru dalam perlindungan
hak tersebut, yang meliputi perlindungan terhadap buku, program komputer,
pamflet, sampul karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain,
ceramah, kuliah, pidato, lagu atau music dengan atau tanpa teks drama, tari,
koreografi, pewayangan dan pantomime, seni rupa dalam segala bentuk,
arsitektur, peta, seni batik, fotografi, sinematografi, terjemahan, tafsir, saduran,
bunga rampai, data base dan karya lain dari transformasi. Hal tersebut diatas
diatur dalam Pasal 40 butir 1 Undang - Undang no. 28 tahun 2014 tentang Hak
Cipta yang ditulis sebagai berikut: (1) Ciptaan yang dilindungi Ciptaan dalam
bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, terdiri atas:
a. Buku, pamplet, perwajahan (layout) karya tulis yang diterbitkan, dan semua
hasil karya tulis lainnya;
b. Ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan sejenis lainnya;
c. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu
Pengetahuan;
d. Lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks;
e. Drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomime
f. Karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran,
kaligrafi, seni pahat, patung, atau kolase;
g. Karya seni terapan;
h. Karya Arsitektur;
i. Peta;
j. Karya seni batik atau seni motif lain;
k. Karya fotografi;
l. Potret;
m. Karya sinematografi;
n. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, basis data, adaptasi aransemen,
modifikasi, dan karya lain dari hasil transformasi;

623 | H a k A t a s K e k a y a a n I n t e l e k t u a l
o. Terjemahan, adaptasi, aransemen, transformasi, atau modifikasi ekspresi
budaya tradisional;
p. Kompilasi Ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca dengan
Program Komputer maupun media lainnya;
q. Kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut
merupakan karya yang asli;
r. Permainan video; dan
s. Program Komputer. Secara spesifik,

Undang-Undang ini memuat beberapa ketentuan baru, antara lain :


1. Database merupakan salah satu ciptaan yang dilindungi;
2. Penggunaan alat apapun baik melalui kabel maupun tanpa kabel, termasuk
media internet untuk pemutaran produk-produk cakram optik (optical disc)
melalui media radio, media audio visual dan/ atau sarana telekomunikasi;
3. Penyelesaian sengketa oleh pengadilan niaga, arbitrase atau Mediasi;
4. Penetapan sementara pengadilan untuk mencegah kerugian lebih besar
bagi pemegang hak ;
5. Batas waktu proses perkara perdata di bidang hak cipta dan hak terkait
baik dipengadilan niaga maupun di Mahkamah Agung ;
6. Pencantuman hak informasi manejemen elektronik dan sarana control
teknologi;
7. Pencantuman mekanisme pengawasan dan perlindungan terhadap produk
yang menggunakan sarana berteknologi tinggi;
8. Ancaman pidana atas pelanggaran Hak Terkait;
9. Ancaman pidana dan denda minimal;
10. Ancaman pidana tetap terhadap perbanyakan penggunaan program
komputer.
Untuk kepentingan komersial secara tidak sah dan melawan hukum. Maka
dalam makalah ini akan di jelaskan mengenai penyelesaian sengketa HAKI
dengan berbagai cara yang ada.

723 | H a k A t a s K e k a y a a n I n t e l e k t u a l
C. Rumusan Masalah
A. Apakah yang dimaksud dengan Penyelesaian Sengketa ?
B. Apa saja pembagian penyelesaian sengketa ?
C. Jelaskan yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa secara legitimasi ?
D. Jelaskan apa yang dimaksud dengan alternatif penyelesaian sengketa
HAKI?
E. Jelaskan Jenis-Jenis HAKI Yang Penyelesaiannya Di Atur Dalam Peraturan
Perundangan-Undangan ?
F. Apa yang dimaksud Tata Cara Gugatan Pelanggaran Hak Cipta Melalui
Pengadilan ?
G. Apa yang dimaksud Tata Cara Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase ?
H. Apa yang dimaksud dengan Penyelesaian Sengketa Dengan Alternatif
Penyelesaian Sengketa ?
I. Berikan contoh kasus penyelesaian sengketa haki ?

D. Tujuan Penulisan

Adapun maksud dan tujuan penulisan dalam menyusun makalah ini adalah
sebagai sarana informasi dan bahan belajar bagi pembaca dan penulis untuk dapat
mengetahui bagaimana cara penyelesaian sengketa HAKI dan bagaimana yang di
maksud dengan Penyelesaian sengketa serta contoh kasus dari penyelesaian
sengketa tersebut.

BAB II

823 | H a k A t a s K e k a y a a n I n t e l e k t u a l
PEMBAHASAN

A. Pengertian Penyelesaian Sengketa


Penyelesaian sengketa adalah suatu penyelesaian perkara yang dilakukan
antara salah satu pihak dengan pihak yang lainnya. Penyelesaian sengketa terdiri
dari dua cara yaitu melalui litigasi (pengadilan) dan non litigasi (luar pengadilan).
Dalam proses penyelesaian sengketa melalui litigasi merupakan sarana terakhir
(ultimum remidium) bagi para pihak yang bersengketa setelah proses penyelesaian
melalui non litigasi tidak membuahkan hasil.
Hak Kekayaan Intelektual (“HKI”) merupakan salah satu aspek penting dalam
era perdagangan bebas. Seiring perkembangan ekonomi dan perdagangan, sering
kali muncul sengketa (dispute) ataupun pelanggaran HKI yang menimbulkan
kerugian ekonomi bagi pemegang hak. Penyelesaian sengketa tersebut dapat
dilakukan melalui dua jalur, yakni jalur pengadilan dan jalur non-pengadilan atau
yang dikenal juga sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa (“APS”). Beberapa
bentuk APS yang selama ini telah dikenal yaitu negosiasi, mediasi, konsiliasi dan
arbitrase

B. Pembagian Penyelesaian Sengketa HAKI


Adapun Penyelesaian sengketa HAKI terbagi 2 yakni :
1. Penyelesaian Sengketa Secara Legitimasi
2. Alternatif Penyelesaian Sengketa
Berikut adalah penjelasan secara detal mengenai Pembagian Penyelesaian
sengketa HAKI .

C. Penyelesaian Sengketa Secara Legitimasi


Untuk jalur pengadilan (litigasi), setiap orang yang merasa haknya telah
dilanggar dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Niaga atas pelanggaran
yang dilakukan oleh pihak lain terhadap kekayaan intelektual-nya. Khusus untuk
pelanggaran Rahasia Dagang, gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri.

Setelah di cari tidak ditemukan definisi litigasi secara eksplisit di peraturan


perundang-undangan. Namun, Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun

923 | H a k A t a s K e k a y a a n I n t e l e k t u a l
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU Arbitrase dan
APS”) berbunyi:
“Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak
melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik
dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.”
Dr. Frans Hendra Winarta, S.H., M.H. dalam bukunya Hukum
Penyelesaian Sengketa  (hal. 1-2) mengatakan bahwa secara konvensional,
penyelesaian sengketa dalam dunia bisnis, seperti dalam perdagangan, perbankan,
proyek pertambangan, minyak dan gas, energi, infrastruktur, dan sebagainya
dilakukan melalui proses litigasi. Dalam proses litigasi menempatkan para pihak
saling berlawanan satu sama lain, selain itu penyelesaian sengketa secara litigasi
merupakan sarana akhir (ultimum remidium) setelah alternatif penyelesaian
sengketa lain tidak membuahkan hasil.
Hal serupa juga dikatakan oleh Rachmadi Usman, S.H., M.H. dalam
bukunya Mediasi di Pengadilan (hal. 8), bahwa selain melalui pengadilan
(litigasi), penyelesaian sengketa juga dapat diselesaikan di luar pengadilan (non
litigasi), yang lazim dinamakan dengan Alternative Dispute Resolution  (ADR)
atau Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Dari hal-hal di atas dapat kita ketahui bahwa litigasi itu adalah penyelesaian
sengketa antara para pihak yang dilakukan di muka pengadilan.

D. Alternatif Penyelesaian Sengketa


Penyelesaian di jalur non-pengadilan (non-litigasi) atau APS, Indonesia
memiliki undang-undang yang mengatur mengenai APS yaitu Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa (“UU 30/1999”). UU ini mengatur penyelesaian sengketa atau beda
pendapat antar para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah
mengadakan perjanjian arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa semua
sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari
hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui
alternatif penyelesaian sengketa.
Arbitrase menurut Pasal 1 angka 1 UU 30/1999 adalah:

1023 | H a k A t a s K e k a y a a n I n t e l e k t u a l
“Cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak
yang bersengketa.”
Sedangkan berdasarkan Pasal 1 angka 10 UU 30/1999, Alternatif Penyelesaian
Sengketa didefinisikan sebagai berikut:
“Alternatif Penyelesaian Sengketa  adalah lembaga penyelesaian sengketa
atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni
penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi,
konsiliasi, atau penilaian ahli.”
Adapun Frans Winarta dalam bukunya (hal. 7-8) menguraikan pengertian
masing-masing lembaga penyelesaian sengketa di atas sebagai berikut:

a. Konsultasi: suatu tindakan yang bersifat “personal” antara suatu pihak


tertentu (klien) dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, dimana
pihak konsultan memberikan pendapatnya kepada klien sesuai dengan
keperluan dan kebutuhan kliennya.

b. Negosiasi: suatu upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa melalui


proses pengadilan dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama atas dasar
kerja sama yang lebih harmonis dan kreatif.

c. Mediasi: cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk


memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.

d. Konsiliasi: penengah akan bertindak menjadi konsiliator dengan


kesepakatan para pihak dengan mengusahakan solusi yang dapat diterima.

e. Penilaian Ahli: pendapat para ahli untuk suatu hal yang bersifat teknis dan
sesuai dengan bidang keahliannya.
Akan tetapi dalam perkembangannya, ada juga bentuk penyelesaian di luar
pengadilan yang ternyata menjadi salah satu proses dalam penyelesaian yang
dilakukan di dalam pengadilan (litigasi). Contoh mediasi. kita ketahui bahwa
mediasi itu adalah penyelesaian di luar pengadilan, akan tetapi dalam
perkembangannya, mediasi ada yang dilakukan di dalam pengadilan.
Rachmadi Usman, (Ibid, hal. vii-viii) mengatakan dengan diberlakukannya
Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di

1123 | H a k A t a s K e k a y a a n I n t e l e k t u a l
Pengadilan, sebagai pengganti Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003
tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, maka setiap perkara perdata tertentu
yang akan diadili oleh hakim pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan
peradilan agama diwajibkan terlebih dahulu untuk menempuh prosedur mediasi di
pengadilan.
Lebih lanjut, Rachmadi Usman, sebagaimana ia kutip dari naskah akademis
yang dibuat oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan
Mahkamah Agung Republik Indonesia, mengatakan bahwa sebenarnya lembaga
mediasi bukanlah merupakan bagian dari lembaga litigasi, dimana pada mulanya
lembaga mediasi berada di luar pengadilan. Namun sekarang ini lembaga mediasi
sudah menyeberang memasuki wilayah pengadilan. Negara-negara maju pada
umumnya antara lain Amerika, Jepang, Australia, Singapore mempunyai lembaga
mediasi, baik yang berada di luar maupun di dalam pengadilan dengan berbagai
istilah antara lain: Court Integrated Mediation, Court Annexed Mediation, Court
Dispute Resolution, Court Connected ADR, Court Based ADR, dan lain-lain.

E. Macam-macam Penyelesaian Sengketa HAKI


Penyelesaian sengketa beberapa jenis KI diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan sebagai berikut :
1. Penyelesaian Sengketa Hak Cipta
Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak
Cipta (“UU HC”), mengatur bahwa penyelesaian sengketa Hak Cipta dapat
dilakukan melalui alternatif penyelesaian sengketa, arbitrase, atau pengadilan.
Dalam Penjelasan Pasal 95 ayat (1) UU HC diterangkan bahwa bentuk
sengketa terkait dengan Hak Cipta antara lain, sengketa berupa perbuatan
melawan hukum, perjanjian Lisensi, sengketa mengenai tarif dalam penarikan
imbalan atau Royalti. Sedangkan yang dimaksud dengan "Alternatif Penyelesaian
Sengketa" adalah proses penyelesaian sengketa melalui mediasi, negosiasi, atau
konsiliasi.
2. Penyelesaian Sengketa Paten
Penyelesaian sengketa Paten selain melalui Pengadilan Niaga juga dapat
diselesaikan melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa. Hal ini diatur

1223 | H a k A t a s K e k a y a a n I n t e l e k t u a l
dalam Pasal 153 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang
Paten (“UU Paten”).
3. Penyelesaian Sengketa Merek dan Indikasi Geografis
Pasal 93 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan
Indikasi Geografis (“UU MIG”) mengatur bahwa selain penyelesaian sengketa
melalui Pengadilan Niaga para pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui
arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa.
4. Penyelesaian Sengketa Desain Industri
Pasal 47 Undang-Undang Nomor 31 tahun 2000 tentang Desain
Industri (“UU 31/2000”) mengatur bahwa selain penyelesaian gugatan melalui
Pengadilan Niaga para pihak dapat menyelesaikan perselisihan tersebut melalui
arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa.
5. Penyelesaian Sengketa Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
Pasal 39 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata
Letak Sirkuit Terpadu (“UU 32/2000”) mengatur bahwa selain penyelesaian
gugatan melalui Pengadilan Niaga, para pihak dapat menyelesaikan perselisihan
tersebut melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa.
6. Penyelesaian Sengketa Rahasia Dagang
Perlu dipahami, Pasal 12 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang
Rahasia Dagang (“UU 30/2000”) mengatur bahwa selain penyelesaian gugatan
melalui Pengadilan Negeri, para pihak dapat menyelesaikan perselisihan tersebut
melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa.

F. Tata Cara Gugatan Pelanggaran Hak Cipta Melalui Pengadilan


Untuk penyelesaian sengketa melalui Pengadilan, tata cara gugatan telah
diatur dalam masing-masing peraturan terkait KI yang dituju. diambil contoh
salah satunya adalah tata cara gugatan pelanggaran hak cipta yang diatur
pada Pasal 100-101 UU HC sebagai berikut.
 
Pasal 100 UU HC
1. Gugatan atas pelanggaran Hak Cipta diajukan kepada ketua Pengadilan
Niaga.

1323 | H a k A t a s K e k a y a a n I n t e l e k t u a l
2. Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat oleh panitera
Pengadilan Niaga dalam register perkara pengadilan pada tanggal gugatan
tersebut didaftarkan.
3. Panitera Pengadilan Niaga memberikan tanda terima yang telah
ditandatangani pada tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran.
4. Panitera Pengadilan Niaga menyampaikan permohonan gugatan kepada
ketua Pengadilan Niaga dalam waktu paling lama 2 (dua) Hari terhitung
sejak tanggal gugatan didaftarkan.
5. Dalam waktu paling lama 3 (tiga) Hari terhitung sejak gugatan didaftarkan,
Pengadilan Niaga menetapkan Hari sidang.
6. Pemberitahuan dan pemanggilan para pihak dilakukan oleh juru sita dalam
waktu paling lama 7 (tujuh) Hari terhitung sejak gugatan didaftarkan.
Pasal 101 UU HC
1. Putusan atas gugatan harus diucapkan paling lama 90 (sembilan puluh) Hari
sejak gugatan didaftarkan.
2. Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat
dipenuhi, atas persetujuan Ketua Mahkamah Agung jangka waktu tersebut
dapat diperpanjang selama 30 (tiga puluh) Hari.
3. Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diucapkan dalam sidang
terbuka untuk umum.
4. Putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus
disampaikan oleh juru sita kepada para pihak paling lama 14 (empat belas)
Hari terhitung sejak putusan diucapkan.
 
G. Tata Cara Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase
Sedangkan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase atau alternatif
penyelesaian, persyaratan dan prosedurnya telah diatur dalam yaitu UU 30/1999,
sebagai berikut:

Pasal 4 UU 30/1999


1. Dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa di antara mereka
akan diselesaikan melalui arbitrase dan para pihak telah memberikan

1423 | H a k A t a s K e k a y a a n I n t e l e k t u a l
wewenang, maka arbiter berwenang menentukan dalam putusannya
mengenai hak dan kewajiban para pihak jika hal ini tidak diatur dalam
perjanjian mereka.
2. Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dimuat dalam suatu dokumen yang
ditandatangani oleh para pihak.
3. Dalam hal disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase terjadi
dalam bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram,
faksimili, e-mail atau dalam bentuk sarana komunikasi lainnya, wajib
disertai dengan suatu catatan penerimaan oleh para pihak.
Pasal 5 UU 30/1999
1. Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di
bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan
peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang
bersengketa.
2. Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa
yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan
perdamaian.
Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan
mengikat para pihak.
 
H. Penyelesaian Sengketa Dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Mengenai alternatif penyelesaian sengketa diatur pada Pasal 6 UU 30/1999
sebagai berikut:
Pasal 6 UU 30/1999
1. Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak
melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik
dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan
Negeri.
2. Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian
sengketa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselesaikan dalam

1523 | H a k A t a s K e k a y a a n I n t e l e k t u a l
pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat
belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis.
3. Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para
pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang
atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator.
4. Apabila para pihak tsb dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari
dengan bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui
seorang mediator tidak berhasil mencapai kata sepakat, atau mediator
tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak dapat
menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga alternatif
penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator.
5. Setelah penunjukan mediator oleh lembaga arbitrase atau lembaga
alternatif penyelesaian sengketa, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari
usaha mediasi harus sudah dapat dimulai.
6. Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui media for
sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dengan memegang teguh
kerahasiaan, dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari harus tercapai
kesepakatan dalam bentuk tertulis di tandatangani semua pihak terkait.
7. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis
adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad
baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan.
8. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (7) wajib selesai dilaksanakan dalam waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran.
9. Apabila usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sampai
dengan ayat (6) tidak dapat dicapai, maka para pihak berdasarkan
kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan usaha penyelesaiannya
melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc.

1623 | H a k A t a s K e k a y a a n I n t e l e k t u a l
I. Contoh Penyelesaian Sengketa HAKI
Kasus Pelanggaran Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) di Indonesia
Sengketa Merek Dagang antara Avitex dan Envitex

Sengketa merek antara PT. Avia Avian selaku pemegang merek Avitex
dengan PT.Indaco Coating Industry sebagai pemegang merek Envitex tidak
terlepas dari semakin menggiurkannya bisnis cat di Indonesia. Menurut lembaga
riset Frost dan Sullivan besarnyanilai industri cat di Indonesia pada tahun 2009
diperkirakan mencapai US$992 juta dengan volume 637.750 metrik ton.
Kemudian, di tahun 2010 mencapai US$1.1 Milyar dengan volume mencapai
688.770 metrik ton. Pada tahun 2011 nilai industri cat telah mencapaiUS$1.197
Milyar dengan volume 748.004 metrik ton. Dari data tersebut. Dapat diketahui
bisnis cat di Indonesia diperkirakan selalu tumbuh sebesar 8-10% per tahun
bersamaan dengan semakin tumbuh-suburnya bisnis properti di Indonesia.
Besarnya nilai industri cat tersebut membuat para produsen cat bersaing
untuk menikmati irisan kue industri cat sebesar-besarnya. Salah satu akibat
adanya persaingandalam industry cat tersebut dapat tergambar dengan adanya
sengketa merek antara merekAvitex dengan Envitex yang terjadi pada Januari
2012 di Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. PT. Avia Avian
sebagai pemilik merek Avitex menggugat IwanAndranacus, Direktur Utama PT
Indaco Coating Industry sebagai pemegang merek Envitex.Dibawah ini akan
dijelaskan mengenai gambaran singkat produsen cat yang bersengketatersebut
sebagai berikut:
1. PT. AVIA AVIAN
PT. Avia Avian didirikan oleh Tan Tek Swie alias Soetikno Tanoko pada
November 1978 yang merupakan satu-satunya produsen cat yang menerapkan
sistem terintegrasi dalam setiap tahap produksinya dan salah satu produsen cat
terkemuka di Indonesia. PT. Avia Avian memproduksi sejumlah merek cat yang
dikenal luas, seperti Cat Kayu & Besi Avian (cat berkualitas dari masa ke masa),
Cat Tembok Avitex, Cat Tembok Aries (cat palingekonomis di Indonesia), serta
Cat No Drop (cat pelapis anti bocor) serta produk cat tembok premium Sunguard,
Supersilk, dan No Odor yang menggunakan teknologi dari Lenkote Paint
Australia.

1723 | H a k A t a s K e k a y a a n I n t e l e k t u a l
Visi PT. Avia Avian adalah menjadi pemimpin pasar di industri cat yang
dicintai semua orang. Visi ini didukung dengan misi PT. Avia Avian, yaitu
dengan selalu meningkatkan kualitas layanan dan inovasi yang berbasis kepada
kepuasan pelanggan. Komitmen PT. Avia Avian telah dibuktikan dengan
beraneka ragam penghargaan yang telah kami raih selama ini, diantaranya:
Superbrands (periode 2010 - 2012) dan Top Brands (periode 2005 - 2012).
Saat ini PT. Avia Avian memiliki tiga pabrik cat di Sidoarjo, Serang, dan
Medan dengan kapasitas total produksi sebesar 150.000.000 kg per tahun. PT.
Avia Avian memiliki berbagai merk kuat yang didukung oleh pengembangan
jaringan distribusi melalui lebih 55 kantor cabang dan distributor yang tersebar di
seluruh Indonesia. Dengan strategi marketing yang cerdas dan jitu setiap tahun
PT. Avia Avian selalu mendapatkan pertumbuhan marketshare di industri cat di
Indonesia.
 
2. PT. INDACO COATING INDUSTRY
PT Indaco berdiri pada awalnya di Jakarta kemudian berpindah ke Solo pada
tahun2005 dan mampu memproduksi lebih dari 1000 metrik ton cat per bulan. PT
Indaco berawal pada bisnis di bidang otomotif dan cat sintetik alkid serta cat anti-
karat untuk industry logam berat. Dalam perkembangan selanjutnya, PT Indaco
sedang mencoba berproduksi cat dekoratif berbahan dasar air yang saat ini sedang
popular di Indonesia. Saat  ini PT Indaco hanya berfokus pada usaha untuk
mengembangkan cat dekoratif berbahan dasar air dan pelarut organik.
Produk yang dipasarkan oleh PT Indaco adalah cat dekoratif dengan merek
Belazo dan Envitex dan Cat Sintetik dengan merek Envilux. Sedangkan
keunggulan yang ditawarkan oleh PT Indaco atas produknya adalah penggunaan
bahan-bahan yang ramah lingkungan dan tidak menggunakan bahan yang
mengandung logam berat serta menjaga mutu sesuai standar internasional dengan
sistem manajemen mutu yang konsisten, terarah, terpadu dan berkesinambungan.

3. SENGKETA MEREK
Sengketa merek Avitex dan Envitex berawal karena kedua merek tersebut
memiliki persamaan suara yang membingungkan dan menyesatkan pembeli

1823 | H a k A t a s K e k a y a a n I n t e l e k t u a l
sehingga produsen cat Avitex melayangkan gugatan terhadap cat merek Envitex.
Avitex menilai Envitex mendompleng reputasi Avitex yang telah terdaftar di
Direktorat Hak dan Kekayaan Intelektual (HKI) sejak 23 Februari 1984 dengan
Sertifikat Merek No. Pendaftaran 1802777 atas nama Soetikno Tanoko untuk
kelas barang 02 dengan uraian barang: cat-cat emulsi (emulsion paint) yang
diperpanjang beberapa kali dengan nomor pendaftaran terakhir bernomor IDM
000257349 pada tanggal 5 Januari 2011. Avitex menganggap merek Envitex
memiliki itikad tidak baik dalam memasarkan produk cat mereka. Yaitu dengan
caramemasarkan merek Envitex yang mempunyai persamaan pada pokoknya
dengan Avitex tanpa mengeluarkan biaya, tenaga dan pikiran untuk membangun
mereknya sendiri.
Di sisi lain, PT. Indaco selaku tergugat I mendaftarkan cat bermerek Envitex
pada 4 Oktober 2007 dengan Sertifikat merek No. pendaftaran IDM 000120630
yang memiliki persamaan merek dengan Avitex. Avitex selaku Penggugat
meminta majelis hakim untuk membatalkan merek Envitex yang terdaftar sejak
tahun 1984 di Ditjen HKI. Avitex juga menggugat Kementerian Hukum dan
HAM cq Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual cq Direktorat Merek.
Menurut penggugat, dengan adanya itikad tidak baik, tergugat telah melanggar
UU No15 Tahun 2001 tentang Merek terutama pasal 4 jo Pasal 68 ayat (1). Itikad
tidak baik inididukung dengan beredarnya brosur di masyarakat yang
membandingkan merek Envitex dengan Avitex serta memberikan data
perhitungan penggunaan cat tembok yang menyesatkan masyarakat dan tidak
dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, penggugat juga menyebutkan bahwa
merek Envitex memiliki kesamaan suara dengan merek Avitex. Pengucapan kata
“Envitex memiliki persamaan dengan pengucapan kata Avitex. Terutama tentang
penyebutan “vitex” sebagai unsur menonjol antara merek Avitex dan Envitex
sehingga telah menyebabkan mengaburkan, membingungkan, serta menyesatkan
masyarakat pemakai.
Pihak tergugat I Envitex beranggapan tidak pernah mendompleng merek milik
penggugat yang diklaim sebagai merek terkenal. Envitex yakin inovasi teknologi
cat ramah lingkungan yang menggunakan teknologi pengelolaan air dan tidak ada
unsur kandungan zat besi di dalamnya serta kemasan plastik yang secara

1923 | H a k A t a s K e k a y a a n I n t e l e k t u a l
konsisten dari awal tidak pernah meniru produk cat lainnya. Envitex tidak
terinspirasi oleh produk cat milik penggugat baik dari segi bentuk kemasan cat
yang diproduksi maupun persamaan warna kemasan. Berikut data perbandingan
antara dua merek yang bersengketa tersebut:

Kemasan saat
ini

Keunggulan  Daya tutup yang terbaik  Daya sebar luas (lebih luas dibanding dg Cat
 Tidak mudah pudar Tembok dg harga selevel)
 Mudah diaplikasikan  Dapat dicuci
 Cepat kering  Dilengkapi anti jamur

 Tanpa merkuri dan timbal  Dengan aroma segar (Tanpa bahan kimia yg
 Anti jamur dan lumut berbahaya - tidak menganggu janin)

 Tahan lama  ENVITEX Cat Tembok RAMAH


LINGKUNGAN, tanpa bahan kimia yg
berbahaya sama sekali, sehingga aman bagi
manusia dan lingkungan.
Kemasan 1 kg, 5 kg dan 25 kg 1 kg, 5 kg dan 25 kg
Pendaftaran Didaftarkan pertama kali apda tahun 1984 dan Setfikat Merek No. Pendaftaran IDM 000120630
Merek diperpanjang beberapa kali untuk yang terakhir kali tanggal 4 oktober 2007 untuk merek ENVITEX
dengan nomor pendaftaran merek dengan nomor uraian warna: hitam putih kelas barang 02 cat air
IDM 000257349 tanggal 5 Januari 2011 dengan dan cat minyak, dempul, plamur, thiner.
uaraian warna hijau, hijau muda, putih kelas barang
02 dengan uraian barang segala macam jenis cat
dan hasil-hasil cat.
Perbandingan
Kemasan dan
Katalog

2023 | H a k A t a s K e k a y a a n I n t e l e k t u a l
4. LEGITIMASI UU TENTANG MEREK DALAM KASUS AVITEX DAN
ENVITEX
Produsen cat Avitex melayangkan gugatan terhadap cat merek Envitex. Avitex
menilai Envitex mendompleng reputasi Avitex yang telah terdaftar di Direktorat
Hak dan Kekayaan Intelektual (HKI) sejak 23 Februari 1984.
Avitex menyebut Envitex memiliki itikad tidak baik dalam memasarkan
produk cat mereka, karena memasarkan cat mereka yang memiliki persamaan
pada pokoknya dengan Avitex tanpa mengeluarkan biaya, tenaga dan pikiran
untuk membangun mereknya sendiri.
Avitex meminta majelis hakim untuk membatalkan merek Envitex yang
terdaftar sejak tahun 2005 di Ditjen HKI. Selain itu, Avitex juga menggugat
Kementerian Hukum dan HAM cq Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual cq
Direktorat Merek.
Avitex menyebutkan bahwa merek Envitek telah melanggar UU No 15 Tahun
2001. Itikad tidak baik ini didukung dengan beredarnya brosur di masyarakat yang
membandingkan merek Envitex dengan Avitex serta memberikan data
perhitungan penggunaan cat tembok yang bisa menyesatkan masyarakat dan tidak
dapat dipertanggungjawabkan.
Selain itu Avitex juga menyebutkan bahwa Envitex memiliki kesamaan suara
dengan Avitex. Pengucapan kata Envitex memiliki persamaan dengan pengucapan
kata Avitex. Terutama dengan penyebutan “vitex; sebagai unsur yang menonjol
antara merek Avitex dan Envitex sehingga mengaburkan, membingungkan serta
menyesatkan masyarakat pemakai.
Menanggapi gugatan dari pihak Avitex, dari pihak Envitex mengatakan bahwa
merek mereka bukanlah mendompleng merek Avitex. Envitex merupakan
singkatan dari ‘Enviromentaly Friendly Latex Paint’ yaitu pro pada kesehatan
masyarakat karena ramah lingkungan dan mempunyai segment harga yang lebih
mahal. Merek envi dari Envitex  dan avi dari Avitex sangat jauh berbeda dan tex
adalah domain umum berasal dari ahkiran latex yang menjadi bahan dari cat.
Atas gugatan tersebut Pihak Envitex pun menjelaskan bahwa tuduhan atas
Avitex yang mengatasnamakan itikad tidak baik sehingga melanggar Pasal 4 UU
No 15 Tahun 2001 tentang merek tidak tepat. Pasalnya, Envitex sebagai tergugat I

2123 | H a k A t a s K e k a y a a n I n t e l e k t u a l
memiliki itikad baik karena tidak meniru nama merek Avitex dan tidak
mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek Avitex serta lukisan atas
nama penggugat. Bahkan, Envitex menilai keberhasilan yang dicapai merek
Envitex kini karena pihaknya gencar melakukan promosi dengan mengeluarkan
biaya besar sebagai produk cat dengan kualitas dan ciri tersendiri

5. PEMBAHASAN KASUS
Dalam kasus gugatan merek cat AVITEX dan ENVITEX, dapat dilihat bahwa
AVITEX menklaim bahwa ENVITEX dengan dilandasi itikad tidak baik (bad
faith) membonceng reputasi merek AVITEX guna memperoleh keuntungan yang
lebih besar secara pribadi dengan cara memasarkan merek ENVITEX yang nota
bene mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek AVITEX seperti:
 Pengucapan kata Envitex memiliki persamaan dengan pengucapan kata
Avitex. Terutama tentang penyebutan ‘vitex; sebagai unsur menonjol
antara merek Avitex dan Envitex sehingga telah mengaburkan,
membingungkan, serta menyesatkan masyarakat pemakai.
 Persamaan lukisan kemasan merek ENVITEX dengan AVITEX
Namun hal ini, disanggah oleh pihak Envitex yang menilai bahwa :
 Pendaftaran pada 2005 merek Envitex tidak untuk meniru merek Avitex.
 Envitex merupakan singkatan dari ‘Enviromentaly Friendly Latex
Paint’ yaitu pro pada kesehatan masyarakat karena ramah lingkungan dan
mempunyai segment harga yang lebih mahal
 Akhiran “tex” merupakan hal yang sangat umum digunakan pada nama
produk cat di Indonesia. Sehingga, adalah hal yang tidak relevan jika
alasan ini dijadikan poin gugatan
A. Dasar Hukum
Gugatan yang diajukan oleh AVITEX (Penggugat) kepada ENVITEX
(Tergugat I) dan Direktorat Jenderal Merek (Tergugat II) merujuk pada UU No.15
Tahun 2001 tentang merek yang berhubungan dengan pasal-pasal diantaranya:
1. Pasal 3
“Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara
kepada pemilik Merek yang lain untuk menggunakanya”

2223 | H a k A t a s K e k a y a a n I n t e l e k t u a l
Dalam hal ini pihak AVITEX merasa bahwa hak-hak eksklusif yang
dimiliki telah ditunggangi oleh pihak ENVITEX dengan membuat produk cat
yang menyerupai.
2. Pasal 4
“Merek tidak dapat didaftar atas dasar Permohonan yang diajukan oleh
Pemohon yang beritikad tidak baik.”
AVITEX menganggap ENVITEX mempunyai iktikad tidak baik ketika
mengajukan permohonan pendaftaran mereknya dikarenakan adanya unsur ingin
merebut pasar secara tidak fair.
3. Pasal 5
“Merek tidak dapat didaftar apabila Merek tersebut mengandung salah
satu unsur di bawah ini:
a. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
moralitas,agama, kesusilaan, atau ketertiban umum;
b. Tidak memiliki daya pembeda;
c. Telah menjadi milik umum; atau
d. Merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang
dimohonkan pendaftarannya”.
Keterkaitan pihak gugatan AVITEX pada pasal ini adalah bertentangan
dengan peraturan perundang-udangan yang berlaku seperti yang digugatkan pada
pasal-pasal lain dan minimnya unsur pembeda antara produk ENVITEX dan
AVITEX.
4. Pasal 6 ayat (1) Huruf a:
“Yang dimaksud dengan persamaan pada pokoknya adalah kemiripan
yang disebabkan oleh adanya unsur-unsur yang menonjol antara merek yang satu
dengan merek yang lain yang dapat menimbulkan kesan adanya persamaan baik
mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur-
unsur atau pun persamaan bunyi ucapan yang terdapat dalam merek-merek
tersebut”
Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa produk cat ENVITEX dengan
berbagai kemiripanya dengan AVITEX akan menimbulkan kesan adanya
persamaan baik bentuk maupun persamaan bunyi.

2323 | H a k A t a s K e k a y a a n I n t e l e k t u a l
5. Pasal 69 ayat (2)
“Gugatan pembatalan dapat diajukantan batas waktu, apabila merek
yang bersangkutan bertentangan dengan moralitas agama, kesusilaan, atau
ketertiban umum”
Pihak AVITEX menuntut adanya pembatalan merek ENVITEX kepada
Direktorat Merek karena dianggap telah memberikan banyak kerugian secara
materiil maupun immaterial bagi AVITEX.
Sebagai perwujudanya, maka pihak AVITEX mengajukan gugatan-gugatan
sesuai dengan pasal-pasal diatas yaitu antara lain
1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya.
2. Menyatakan bahwa Penggugat adalah pemilik satu-satunya.
3. Pendaftar dan pemakai pertama di Indonesia dari merek AVITEX,
karenanya mempunyai hak eksklusif, hak tunggal dan khusus untuk
memakai merek AVITEX tersebut di Indonesia.
4. Menyatakan bahwa merek ENVITEX Tergugat I Sertifikat Merek No.
Pendaftaran IDM 000120630 memiliki Persamaan Pada Pokoknya
dengan merek Penggugat, AVITEX Menyatakan Tergugat I adalah
pihak yang beritikad tidak baik dalam pendaftaran merek ENVITEX.
5. Menyatakan batal atau setidak-tidaknya membatalkan pendaftaran
merek ENVITEX Sertifikat Merek No. Pendaftaran IDM 000120630
dalam Daftar Umum Merek atas nama Tergugat I dengan segala akibat
hukumnya dan tidak mempunyai kekuatan perlindungan hukum.
6. Memerintahkan Tergugat II untuk mentaati keputusan ini dengan
membatalkan Sertifikat Merek No. Pendaftaran IDM 000120630 dari
Daftar Umum Merek dan mencabut sertifikat merek tersebut.
7. Menyatakan putusan ini dapat dijalankan lebih dahulu, meskipun
terhadap putusan ini dimohonkan atau diajukan suatu upaya hukum.
8. MenghukumTergugat I untuk membayar seluruh biaya yang timbul
dalam perkara ini.
Menaggapi gugatan yang diajukan oleh AVITEX maka, pihak ENVITEX
pun mengajukan eksepsi antara lain:
Gugatan Penggugat Kabur (obscuur libel)

2423 | H a k A t a s K e k a y a a n I n t e l e k t u a l
1. Bahwa gugatan Penggugat yang mendalilkan tentang pendaftaran hak
cipta untuk seni lukis kemasan kaleng cat AVITEX Pendaftaran
Ciptaan No. 015391 sebagaimana terdapat pada Petitum butir 7 gugatan
adalah tidak relevan dalam perkara a quo. Walaupun Penggugat
memiliki pendaftaran hak cipta atas kemasan kaleng cat AVITEX
namun dalil hak cipta tersebut sangat mengada-ada dan jelas tidak dapat
digabungkan ataupun digunakan dalam perkara merek yang tunduk
pada Undang-undang yang berbeda.
2. Bahwa dengan dimasukkannya Bukti P-27 pada gugatan, yaitu
Pendaftaran Ciptaan No. 015391 untuk seni lukis kemasan kaleng cat
AVITEX sebagai salah satu dasar dalam suatu perkara merek bukan
hanya tidak relevan, namun jelas menunjukkan bahwa Penggugat
kebingungan dan tidak jelas dalam mengajukan gugatannya.
3. Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Tergugat I memohon
kiranya Majelis Hakim dalam perkara a quo berkenan untuk menolak
seluruh dalil-dalil gugatan Penggugat atau setidak- tidaknya
menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima karena gugatan
Penggugat yang kabur.
Kemudian, Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
akhirnya telah menjatuhkan putusan, yaitu putusan No. 103/Merek/2011/PN.
Niaga. Jkt. Pst., tanggal 24 April 2012 yaitu menolak eksepsi pihak ENVITEX,
dalam pokok perkara :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian
2. Menyatakan Penggugat adalah pemilik satu-satunya, pendaftar dan
pemakai pertama di Indonesia dari merek AVITEX, karenanya
mempunyai hak eksklusif, hak tunggal dan khusus untuk memakai
merek AVITEX tersebut di Indonesia
3. Menyatakan Tergugat I adalah pihak yang beritikad tidak baik dalam
pengajuan pendaftaran merek ENVITEX
4. Membatalkan pendaftaran merek ENVITEX, Sertifikat Merek No.
Pendaftaran IDM 000120630 dalam Daftar Umum Merek atas nama
Tergugat I dengan segala akibat hukumnya

2523 | H a k A t a s K e k a y a a n I n t e l e k t u a l
5. Memerintahkan Tergugat II untuk menaati putusan ini dengan
membatalkan pendaftaran merek ENVITEX, Sertifikat Merek No.
Pendaftaran IDM 000120630 dalam Daftar Umum Merek dan
melakukan pencoretan dari Daftar Umum Merek
6. Membebankan biaya perkara kepada Tergugat I yang hingga kini
ditetapkan sebesar Rp 866.000,00 (delapanratusenampuluhenamribu
Rupiah)
7. Menolak gugatan yang lain dan selebihnya

Kasus yang terjadi antara PT Avia Avian yang mempunyai merk Avitex
dengan PT Indaco Coating Industry yang mempunyai merk Envitex sebenarnya
telah disidangkan di Pengadilan Niaga dan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hasil
putusan yang akhirnya memenangkan gugatan dari Avitex,. Kasus ini
menganggap bahwa Envitex selaku pihak tergugat melakukan pendomplengan
nama, dan dianggap mempunyai itikad tidak baik, dan telah melanggar Pasal 68
ayat (1) Undang-Undang Merek Nomor 15 Tahun 2001. Tuduhan atas Envitex ini
juga dituangkan dalam Vice Yurisprudensi Putusan Pengadilan Niaga Jakarta
Pusat Nomer 45 /Merek/2003/PN.Niaga.Jkt.Pst. tanggal 25 Agustus 2003 dimana
tedapat persamaan ejaan dalam merk Envitex dan Avitex. Ejaan kata dalam
Envitex dianggap menonjolkan bunyi yang sama seperti Avitex sehingga terkesan
akan mengaburkan dan membingungkan masyarakat. Namun, masalah juga
timbul karena sebenarnya Envitex merknya juga sudah didaftarkan di Direktorat
Merk, Departemen Kehakiman dan HAM, dalam Sertifikat Merek No.Pendaftaran
IDM 000120630, sehingga dengan sertifikat itu sebanarnya Envitex juga
merupakan produk yang resmi. Oleh karena itu, hasil yang dikeluarkan oleh
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu membuat Enviatex tidak menerima, dan
melakukan kasasi di Mahkamah Agung. Melalui Surat Nomer 815 K/
PDT.SUS/2012 Mahkamah Agung menyampaikan putusannya terhadap sengketa
merek ini.

2623 | H a k A t a s K e k a y a a n I n t e l e k t u a l
B. Proses Pengadilan Tingkat Kasasi
Pada pengadilan tingkat kasasi, pihak penggugat yaitu Avitex tetap pada
pendiriannya bahwa Envitex memang telah melakukan pelanggaran hak cipta
merek, sesuai yang diatur dalam UU Merek Nomer 15 tahun 2001. Berbagai bukti
yang ditunjukkan oleh Avitex antara lain berupa :
1. Keterangan bahwa penggugat, memiliki merek tesebut dan memiliki
kualitas yang cukup baik dan nama Avitex diambil dari nama
perusahaannya yaitu PT.Avia Avian, ( Bukti P1)
2. Penggugat telah banyak menerima penghargaan atas merek tesebut
3. Penggugat telah membuat merek yang dimilikinya dipercaya dan dikenal
luas oleh masyarakat ( Bukti P2 )
dan atas dasar itulah Penggugat yakin bahwa Envitex telah melakukan
pelanggaran tersebut dan bertujuan untuk itikad tidak baik. Menurut Pasal 6 ayat 3
Konvensi Paris yang menyatakan bahwa “No time limit shall be fixed for seeking
the cancellation of the mark registered in bad faith” bisa disimpulkan bahwa
walaupun Envitex mereknya sudah didaftarkan makan jika terindikasi untuk itikad
tidak baik maka harus dibatalkan status merek tersebut, dan inipun sesuai dengan
keinginan Penggugat. Menurut UU Nomer 15 tahun 2001 yang menganut azas
“pirate non mutat dominium” maka Mahkamah Agung mengabulkan semua
tuntutan yang dilakukan oleh Penggugat.
Masalah kembali timbul, ketika pihak tergugat melakukan eksepsi atas
putusan Mahkamah Agung tersebut. Eksepsi ini dibuktikan dengan beberapa
keterangan bahwa semua gugatan yang dibuat oleh penggugat mengandung unsur
obscuur libel atau gugatan kabur. Dalam hal ini tergugat menganggap sangkaan
yang dituduhkan tidak ada dasar hukumnya, terutama tentang Avitex yang
menganggap mereknya telah terkenal. Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung
Republik Indonesia. No 426.PK/Pdt/1994 yang tertanggal 3 November 1995
disebutkan ciri-ciri merek itu telah terkenal yaitu merek tersebut telah menembus
batas-batas regional dan nasional, sehingga merek tersebut telah berwawasan
globalisasi. Atas dasar ini menurut Envitex, pihak penggugat tidak masuk kriteria
terkenal. Hal ini juga diperkuat dalam Pertemuan The Comitte of Expert on Well-
Known Mark pada tahun 1997 bahwa salah satu syarat merek terkenal adalah

2723 | H a k A t a s K e k a y a a n I n t e l e k t u a l
pemasaran dan peredearan produk telah menjangkau luas ke seluruh dunia. Hal ini
yang menjadi salah satu bukti bahwa tuduhan Avitex terhadap Envitex tidak
berasalan.
Dalam akhir kasasi ini, akhirnya Mahkamah Agung memenangkan pihak
Penggugat (Avitex) dengan pertimbangan bahwa merek ini telah didaftarkan
terlebih dahulu yaitu pada tahun 1984, sedangkan Envitex baru didafarkan pada
tahun 2005. Dengan ini berarti memang terdapat unsur tidak baik, dengan
melakukan passing off atau pemboncengan pada merek terkenal sehingga
mempunyai unsur persaingan yang tidak sehat. Putusan ini dikeluarkan pada
tanggal 21 Janari 2013 dalam rapat Mahkamah Agung dan pihak tergugat yaitu
Envitex harus membayar administrasi di tingkat kasasi sebanyak 5 juta.

C. Positioning
Melihat permasalahan antara kedua belah pihak mengenai adanya sengketa
merek ini sebenarnya terdapat beberapa pernyataan yang diajukan pihak
penggugat terhadap pihak tergugat. Pihak penggugat menjelaskan bahwa pihak
tergugat terindikasi melakukan passing off dengan mendonpleng merek milik
penggugat. Namun jika dianalisis lebih lanjut sebenarnya terdapat beberapa hal
yang sebenanrnya bisa menguatkan bahwa pihak tergugat tidak melakukan
indikasi itu. Pertama, pihak Envitex dianggap mendompleng merek Avitex yang
terindikasi pada penyebutan nama merek yaitu “ENVI-TEX dan AVI-TEX
sehingga terkesan sama. Dari sisi penyebutan nama, menurut kami tidak bisa
dijadikan bahan untuk mengindikasi bahwa ENVITEX melakukan passing off,
merek Envitex sebenarnya merupakan singkatan dari “Eviromental Friendly Latex
Paint ‘ dan dari sini bisa diambil kesimpulan tidak ada maksud untuk
menyamakan dengan Avitex, sedangkankata “TEX” karena memang bahan
pembuatan cat yaitu “Latex” .
Kedua tentang eksepsi yang dilayangkan oleh Envitex bahwa terjadi gugatan
kabur dari pihak penggugat, harus dipertimbangkan. Berikut ini pertimbangan
kami :

2823 | H a k A t a s K e k a y a a n I n t e l e k t u a l
Pihak Penggugat ( Avitex ) Pihak Tergugat ( Envitex )
Mereknya memang didaftarkan terlebih Merek didaftarkan pada tahun
dahulu yaitu tahun 1984, namun 2005, dan ENVITEX yang
penciptaan warna keemasan baru mendaftarkan desain warna
didaftarkan pada tahun 2009 keemasan terlebih dahulu yaitu
tahun 2006
Tidak memenuhi kriteria sebagai produk Eksepsi didukung oleh testimoni
dengan merek terkenal, seperti yang yang dikeluarkan Sdr.Bambang
penggugat sampaikan, hal ini didukung Joko Purwanto sebagai pedagang
dalam kriteria yang dikeluarkan oleh besi dan Sdr Ahmad Nur Zaini
WIPO, Yurisprudensi Mahkamah Agung sebagai pemborong, bahwa tidak
RI No 426.PK/Pdt/1994, dan pertemuan ada kebingungan dalam
“Exepert of Well Known-Mark” tahun membedakan kedua merek
1997 tersebut.
Kesalahan dalam Judex Facti yang
menyebutkan adanya itikad tidak
baik, dan melanggar Pasal 4, UU
Nomer 15 Tahun 2001 ( didukung
testimoni )

Berdasar atas berbagai pertimbangan dalam tabel diatas, memang sebenarnya


Envitex tidak mempunyai indikasi yang dituduhkan oleh pihak penggugat.
Persamaan itu semata-mata merupakan bentuk ketidaksengajaan. Selain itu
indikasi passing off juga tidak bisa dibuktikan dengan kuat, karena dari Judic
Facti yang diajukan oleh pihak penggugat, ternyata tidak melanggar UU Nomer
15 tahun 2001 tentang Merek, Jadi gugatan kabur yang dikeluarkan oleh piha
tergugat kepada pihak penggugat, bisa dipertimbangkan oleh pihak Mahkamah
agung.

2923 | H a k A t a s K e k a y a a n I n t e l e k t u a l
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan
Penyelesaian sengketa HAKI adalah suatu penyelesaian perkara yang
dilakukan antara salah satu pihak dengan pihak yang lainnya. Penyelesaian
sengketa terdiri dari dua cara yaitu melalui litigasi (pengadilan) dan non litigasi
(luar pengadilan). Dalam proses penyelesaian sengketa melalui litigasi
merupakan sarana terakhir (ultimum remidium) bagi para pihak yang bersengketa
setelah proses penyelesaian melalui non litigasi tidak membuahkan hasil.
Oleh karena itu penyelesaian sengketa dapat dilakukan tidak ada sengketa
yang tidak bisa di selesaikan jika kedua belah pihak mau melakukan penyelesaian
mengenai sengketa yang terkait dengan kedua belah pihak.

3023 | H a k A t a s K e k a y a a n I n t e l e k t u a l
Daftar Pustaka
 https://id.wikipedia.org/wiki/Penyelesaian_sengketa
 https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt52897351a003f/litiga
si-dan-alternatif-penyelesaian-sengketa-di-luar-pengadilan/
 http://repository.unpas.ac.id/15679/3/F.%20BAB%20I.pdf
 Permanent Mission of Indonesia to the United Nations, Penandatanganan
Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) mengenai
Alternative Dispute Resolution (ADR) antara Direktorat Jenderal Hak
Kekayaan Intelektual dengan World Intellectual Property Organization
(WIPO), diakses pada tanggal 15 Juli 2019, pukul 13.20 WIB;
 William A Finkelstein. ADR in Trademark and Unfair Competition
Disputes: A Praticioner’s Guide. Center for Public Resources, New York,
1994.
 https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5cd500ea71f99/meka
nisme-penyelesaian-sengketa-kekayaan-intelektual/
 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa;
 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang;
 Undang-Undang Nomor 31 tahun 2000 tentang Desain Industri;
 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit
Terpadu;
 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta;
 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten;
 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi
Geografis.
 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa
 Frans Hendra Winarta. 2012. Hukum Penyelesaian Sengketa. Jakarta:
Sinar Grafika.
 Rachmadi Usman. 2012. Mediasi di Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika.
 Company Profile di akse dari  http://avianbrands.onigi.com /page / 63984 /
company-profile

3123 | H a k A t a s K e k a y a a n I n t e l e k t u a l
 Inilah nama-nama enguasa bisnis cat di Indonesia di akses dari http://
www.berita-bisnis.com/data-bisnis/759--inilah-nama-nama-penguasa-
bisnis-cat-di-indonesia. html 
 Envitex Nilai Avitex Bingung Menggugat diakses dari http:// www.hukum
online.com /berita/baca/lt4f18de55d40d0/envitex-nilai-avitex-bingung-
menggugat  
 https://www.academia.edu/37899402/Kasus_Pelanggaran_Hak_Atas_Kek
ayaan_Intelektual_HAKI_di_Indonesia_Sengketa_Merek_Dagang_antara
_Avitex_dan_Envitex

3223 | H a k A t a s K e k a y a a n I n t e l e k t u a l

Anda mungkin juga menyukai