Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

PREEKLAMSI BERAT

Pembimbing :

dr. Rizky Rahmadhany, Sp.OG

Disusun oleh:

Mayang Febrina Putri 1820221109

KEPANITERAAN KLINIK
DEPARTEMEN KEBIDANAN DAN KANDUNGAN
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PASAR MINGGU
FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA
PERIODE 9 DESEMBER 2019 – 15 FEBRUARI 2020
LEMBAR PENGESAHAN

Preeklamsi Berat

Disusun Oleh :
Mayang Febrina Putri 1820221109

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan


Klinik di departemen Kebidanan dan Kandungan RSUD Pasar Minggu

Telah disetujui dan dipresentasikan


Januari 2020

Dokter Pembimbing:

dr. Rizky Rahmadhany, Sp.OG

i
BAB I

PENDAHULUAN

Preeklampsia adalah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema, dan


proteinuria yang timbul karena kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau
segera setelah persalinan. Eklampsia adalah timbulnya kejang pada penderita
preeklampsia yang disusul dengan koma. Kejang terjadi bukan karena kelainan
neurologis. Superimposed preeklampsia adalah timbulnya preeklampsia atau
eklampsia pada pasien yang menderita hipertensi kronik.1
Preeklampsia dan eklampsia merupakan suatu penyakit yang langsung
disebabkan oleh kehamilan. Keadaan ini sangat mempengaruhi kesejahteraan ibu
dan janin. Di Indonesia, preeklampsia dan ekslampsia disamping perdarahan dan
infeksi masih merupakan penyebab utama kematian ibu dan sebab kematian
perinatal yang tinggi. Oleh karena itu diagnosis dini preeklampsia yang
merupakan tingkat pendahuluan eklampsia serta penanganannya perlu segera
dilaksanakan untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak.1
Berdasarkan penelitian Alberman, disimpulkan bahwa penyakit ini lebih
sering terjadi pada kehamilan pertama, kehamilan kembar dan kehamilan anggur.
Makin tua umur kehamilan makin tinggi frekuensi penyakit. 2 Frekuensi
preeklampsia untuk tiap negara berbeda-beda karena banyak factor yang
mempengaruhinya, diantaranya jumlah primigravida, keadaan sosial ekonomi,
perbedaan kriteria dalam penentuan diagnosis dan lain-lain.3

Penatalaksanaan preeklampsia berat dapat ditangani secara aktif dan


konservatif. Aktif berarti kehamilan diakhiri/ terminasi bersama dengan
pengobatan medikamentosa sedangkan konservatif berarti kehamilan
dipertahankan bersama pengobatan medikamentosa dengan prinsip tetap
melakukan pemantauan janin dengan USG atau kardiotokografi.3

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi
Hipertensi didefinisikan sebagai keadaan dengan tekanan darah diastolik
minimal 90 mmHg atau tekanan sistolik minimal 140 mmHg, atau kenaikan
tekanan diastolik minimal 15 mmHg atau kenaikan tekanan sistolik minimal 30
mmHg, tekanan darah harus diukur minimal 2 kali dengan jarak waktu minimal 6
jam.4 Jika terjadi kurang dari 20 minggu atau terjadi setelah 48 jam postpartum
dikatakan atipikal eklampsia.1

Preeklampsia adalah keadaan dimana hipertensi disertai proteinuria atau


edema atau keduanya yang terjadi akibat kehamilan pada minggu ke-20 atau
kadang terjadi lebih awal bila terdapat perubahan hidatidiformis yang luas pada
villi korialis (pada kasus molahidatidosa) 4 Dominan terjadi pada primigravida dan
meningkat 7-10 kali pada kehamilan berikutnya. Preeklampsia berat (PEB)
mempunyai kemungkinan diturunkan, sehingga dikatakan ada faktor genetik, oleh
karena itu wanita yang saat dilahirkan ibunya eklampsia akan lebih mungkin
eklamspia dibandingkan yang tidak.2

Eklampsia didiagnosis bila pada wanita dengan diagnosis preeklamsia,


mengalami kejang yang bukan disebabkan oleh kelainan neurologis lain seperti
epilepsi.4,28 Ada ahli yang berpendapat perlu stabilisasi tekanan darah dan keadaan
umum terlebih dahulu selama 4-6 jam sebelum dilakukan terminasi, namun
menurut Prof. Gulardi dapat langsung dilakukan terminasi.3

Superimposed preeklampsia atau eklampsia adalah keadaan preeklamsia


atau eklampsia yang terjadi pada wanita yang menderita hipertensi vaskular kronis
atau penyakit ginjal4. Hipertensi kronis adalah penyakit hipertensi yang menetap
dengan penyebab apapun dan sudah diderita sebelum kehamilan atau pada usia
28
kehamilan kurang dari 20 minggu tanpa adanya mola hidatidosa atau hipertensi
yang menetap setelah 6 minggu post partum. 4

2
Hipertensi gestasional adalah kenaikan tekanan darah yang timbul pada
paruh kedua masa kehamilan atau dalam waktu 24 jam post partum, tanpa disertai
tanda-tanda lain preeklamsia atau hipertensi kronis yang mendasarinya dan
sembuh dalam waktu 10 hari setelah persalinan. 4

II.2 Epidemiologi Preeklampsia


Kondisi ini sangat umum dan terjadi pada 5 % dari seluruh kehamilan di
Amerika dan Eropa. Bentuk yang lebih berat (parah) dari preeklampsia adalah
terdapatnya gambaran hemolisis, elevasi enzim-enzim hati, dan rendahnya
trombosit (sindrom HELLP). Kondisi ini terjadi pada 1 dari 1000 kehamilan.
Beberapa faktor predisposisi yang dapat menyebabkan preeklampsia diantaranya
riwayat keluarga, hipertensi, diabetes, penyakit ginjal sebelumnya, kehamilan
ganda, dan riwayat obstetrik yang buruk. Para ahli nefrologi seringkali dimintai
pendapat untuk menangani wanita preeklampsia dengan peningkatan tekanan
darah yang berat dan penyakit ginjal. 2,3,5
Preeklamsia terjadi dalam 1 diantara 10 kehamilan dan eklamsia terjadi
dalam 1 diantara 50 kehamilan.4 Frekuensi preeklamsia untuk tiap negara berbeda-
beda karena banyak faktor yang mempengaruhinya; jumlah primigravida, keadaan
sosial ekonomi, perbedaan kriteria dalam diagnosis dan lain-lain.3
II.3 Patofisiologi Preeklampsia
Patofisioliogi yang paling diyakini sebagai awal mula dari preeklampsia
adalah terpaparnya villi khorialis untuk pertama kalinya (primigravida), atau
terpapar villi khorialis dalam jumlah yang berlimpah, misalnya pada gemelli atau
mola.4 Pada kehamilan normal, invasi trofoblas ke dalam jaringan desidua
menghasilkan suatu “perubahan fisiologis” pada arteri spiralis, karena suplai
darah yang dibutuhkan pada kehamilan meningkat, maka diameter arteri spiralis
harus membesar, yang menurut hukum Poiseuille’s meningkat 4 sampai 6 kali.
Kemampuan untuk melebarkan diameter arteri spiralis merupakan kebutuhan
utama untuk keberhasilan suatu kehamilan. Hasil akhir dari perubahan fisiologis
tadi adalah arteri spiralis yang sebelumnya tebal berubah menjadi kantung elastis
yang lebar, bertahanan rendah, sehingga memungkinkan suplai darah yang
adekuat untuk oksigenasi dan nutrisi bagi janin.1

3
Gambar 2.1. Perbedaan endothel pada vaskular normal dan preeklampsia

Pada ibu yang mengalami defisiensi plasentasi akan menyebabkan tidak


terjadinya secara sempurna perubahan fisiologis arteri spiralis tersebut, sehingga
hanya sebagian arteri spiralis segmen desidua yang berubah, sedang arteri apiralis
segmen miometrium masih diselubungi oleh sel-sel otot polos. Selain itu juga
ditemukan adanya hiperplasia tunika media dan trombosis, sehingga diameter
arteri spiralis 40% lebih kecil dibandingkan kehamilan normal sehingga timbul
penyumbatan yang dapat bersifat parsial ataupun total. Hal inilah yang
menimbulkan insufisiensi, hipoksia dan iskemia dan timbul preeklamsia.1,6,27

Gambar 2.2. Spatium intervilli normal dan preeklampsia

4
Hipotesis yang penting pada patogenesis dari preeklamsia adalah
terdapatnya senyawa yang dihasilkan jaringan uteroplasenta yang masuk ke
sirkulasi ibu dan menyebabkan kerusakan endotel. Perubahan fungsi endotel yang
terjadi dianggap sebagai penyebab utama timbulnya gejala preeklamsia:
hipertensi, proteinuria dan aktivasi sistem hemostasis.1,3

Senyawa yang dihasilkan jaringan uteroplasenta yang dapat merusak


endotel itu adalah hasil metabolisme lipid terutama yaitu peroksidase lipid.
Peroksidase lipid ini diproduksi pada saat radikal bebas menyerang asam lemak
tidak jenuh dan kolesterol pada membran sel dan lipoprotein. Peroksidase lipid
merupakan zat toksik yang bisa menyebabkan kerusakan sel baik secara langsung
maupun tidak langsung.1

Keadaan hipoksia yang terjadi dapat meningkatkan jumlah xantin


dehidrogenase yang terkonversi menjadi xantin oksigenase yang akan
mendegradasi purin, xantin dan hipoxantin menjadi asam urat. Dalam proses
degradasi tersebut terbentuk juga superoksida yang merupakan suatu radikal bebas
yang poten.7 Terjadinya reaksi radikal bebas ini ditandai dengan meningkatnya
lipid peroksida pada pasien preeklamsia dibandingkan dengan dengan kehamilan
normal.5

5
Gambar 2.3. Patofisiologi preeklampsia

Reaksi radikal bebas inilah yang akan menimbulkan disfungi endotel, yaitu
terjadi endoteolisis dan perubahan ultrastrukturnya pada alas plasenta dan
pembuluh darah uterus,1 karena radikal bebas ini bereaksi dengan membran sel
sehingga terbentuk lipid peroksidase dan aldehida yang toksik sehingga dapat
mematikan sel.8

Hipotesis yang lain adalah adanya prekusor neurokinin B (NKB) dari


bovine, yang bekerja melalui reseptor NK3, yang menstimulasi timbulnya
vasokonstriksi dan kontraksi vena mesenterika serta vena portal hati, yang
menyebabkan rusaknya janin dan hati. Dengan demikian menyebabkan
terakumulasinya zat toksik seperti lipid peroksidase, yang makin memperberat
rusaknya endotel.1 Mutasi faktor Leiden V yang disebut-sebut sebagai penyebab
genetik timbulnya preeklamsia, hanya ada pada orang Eropa bukan orang
Indonesia. Pada preeklamsia homocystein meningkat karena tak bisa jadi
methionin, proses ini membutuhkan vitamin B12. 5

6
Ringannya hipertensi tidak selalu mencerminkan ringannya penyakit.
Karena hipertensi yang timbul sebenarnya merupakan kompensasi tubuh untuk
memenuhi suplai darah ke organ-organ. Terdapat teori yang mendukung bahwa
beratnya preeklamsia sebanding dengan beratnya hipertensi, yaitu teori
peningkatan produksi tromboxan A2 dan menurunnya produksi prostasiklin oleh
plasenta dan trombosit sehingga timbul vasokonstriksi yang berbanding lurus
dengan beratnya hipertensi. Menurunnya produksi prostasiklin juga disebabkan
karena meningkatnya konsentrasi progesteron dalam kehamilan. 4 Namun perlu
diingat bahwa 20% eklamsia timbul pada kondisi tekanan darah yang tidak terlalu
tinggi, karena ternyata ada etiologi lain (oksidan-antioksidan) yang telah
dijelaskan sebelumnya.5

Hal inilah yang terjadi pada ibu dengan preeklamsia dimana terjadi
ketidakseimbangan produksi tromboxan A2–prostasiklin sehingga terjadi
vasokonstriksi pembuluh darah yang menimbulkan hipertensi dan juga mungkin
terjadi reaksi radikal bebas yang menyebabkan rusaknya endotel-endotel
pembuluh darah. Kerusakan endotel pembuluh darah di ginjal ditandai dengan
lolosnya protein pada filtrasi glomerulus sehingga tekanan onkotik intravaskular
menurun dan adanya hipertensi yangmenyebabkan tekanan hidrostatik
intravaskuler meningkat sehingga terjadi ekstravasasi cairan ke ekstravaskuler ke
interstisial, timbullah edema tungkai, dan edema pulmonum. Tidak semua endotel
mengalami kerusakan karena terdapat heterogenitas endotel sehingga tidak semua
endotel mengalami disfungsi.1

Pada preeklampsia yang berat dan eklampsia dapat terjadi perburukan


patologis pada sejumlah organ dan sistem yang kemungkinan diakibatkan
oleh vasospasme dan iskemia. Wanita dengan hipertensi pada kehamilan dapat
mengalami peningkatan respon terhadap berbagai substansi endogen (seperti
prostaglandin, tromboxan) yang dapat menyebabkan vasospasme dan agregasi
platelet. Penumpukan trombus dan pendarahan dapat mempengaruhi sistem saraf
pusat yang ditandai dengan sakit kepala dan defisit saraf lokal dan kejang.7,8

Nekrosis ginjal dapat menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus


dan proteinuria. Kerusakan hepar dari nekrosis hepatoseluler menyebabkan

7
nyeri epigastrium dan peningkatan tes fungsi hati. Manifestasi terhadap
kardiovaskuler meliputi penurunan volume intravaskular, meningkatnya
cardiac output dan peningkatan tahanan pembuluh perifer. Peningkatan
hemolisis mikroangiopati menyebabkan anemia dan trombositopeni. Infark
plasenta dan obstruksi plasenta menyebabkan pertumbuhan janin terhambat
bahkan kematian janin dalam rahim.7

II.4 Manifestasi Klinis pada Penderita Preeklampsia


a. Kardiovaskuler : vasospasme menyeluruh, resistensi pembuluh darah
perifer meningkat, stroke work index ventrikel kiri meningkat, central venous
pressure menurun, pulmonary wedge pressure menurun.
b. Hematologi : volume plasma menurun, viskositas darah meningkat,
hemokonsentrasi, koagulopati.
c. Ginjal : glomerular filtration rate menurun, renal plasma flow menurun, uric
acid clearence menurun
d. Hepar : necrosis periportal, kerusakan hepatoselluler, subcapsular hematome.
e. SSP : edema serebri dan perdarahan cerebri.
f. Otak : Tekanan darah meningkat, cerebral perfusion pressure meningkat dari
60-120 mmHg pada kondisis normal menjadi 130-150 mmHg, akan terjadi
kegagalan autoregulasi sehingga pembuluh darah vasodilatasi yang akhirnya
menimbulkan iskemia, terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah otak,
eksudasi plasma, edema otak, kompresi pembuluh darah otak sehingga aliran
darah otak menurun. Pada CT scan otak didapatkan: edema cerebral,
perdarahan otak (diintraventrikular, bisa diparenkim), infark otak.
II.5 Diagnosis

Preeklamsia jarang timbul sebelum minggu ke-20 kehamilan, dan jika


terjadi biasanya keadaan ini terdapat pada kasus mola hidatidosa atau degenerasi
mola yang jelas .4

Diagnosis preeklamsia ditegakkan berdasarkan peningkatan tekanan darah


mencapai lebih besar atau sama dengan 140/90 mmHg; atau adanya peningkatan
darah sistolik > 30 mmHg atau diastolik > 15 mmHg. 28 Bila tekanan darah
mencapai atau lebih dari 160/110 mmHg, maka preeklamsia disebut berat. 28

8
Preeklamsia termasuk kriteria berat, walaupun tekanan darah belum mencapai
160/110 mmHg, jika ditemukan gejala lain seperti berikut ini : proteinuria 3 (+)
pada test celup, oliguria (< 400 cc/24 jam), sakit kepala hebat dan gangguan
penglihatan, nyeri epigastrium atau nyeri kuadran kanan atas abdomen atau ada
ikterus, edema paru atau sianosis, trobositopenia, PJT.28

Proteinuria digunakan sebagai indikator prognosis. Sehingga diperlukan


pemeriksaan serial.27 Bahkan Chesley (1985) secara tepat menyimpulkan bahwa
tanpa adanya proteinuria diagnosis preeklamsia meragukan, namun pada tahun
yang sama Chesley juga mengemukakan bahwa 10 % dari kejang eklamsia timbul
sebelum timbulnya proteinuria nyata, sehingga perlu segera diambil tindakan
meskipun naiknya tekanan belum disertai oleh proteinuria. 4 Proteinuria
didefinisikan sebagai terdapatnya 300 mg atau lebih protein dalam urin 24 jam
atau 100 mg atau lebih per dL pada sekurang-kurangnya dua sampel urin yang
diambil dengan selang waktu 6 jam .4

Vasospasme, dengan pemeriksaan optalmologi, dapat dipakai untuk


mengevaluasi perkembangan penyakit. Pada preeklamsia berat terjadi peningkatan
ratio vena arteri (normal 4:3) dan vasospasme segmental.27

Pertambahan berat badan dan edema.27 Banyak ahli yang sepakat bahwa
edema pada tangan dan muka, sangat sering ditemukan pada wanita hamil,
sehingga diagnosis preeklamsia tidak dapat dipastikan dengan adanya edema dan
tidak dapat disingkirkan dengan tidak adanya edema.4

Nyeri epigastrium atau nyeri abdomen pada kwadran kanan atas dianggap
terjadi akibat nekrosis dan edema sel-sel hati yang meregangkan kapsula
Glissoni.4 Nyeri yang khas sering disertai dengan naiknya kadar enzim-enzim hati
di dalam serum dan biasanya memerlukan segera terapi definitif. Kadang rasa
nyeri mendahului ruptura hematoma supkapsuler hepar.4

Trombositopeni merupakan tanda khas preeklamsia yang memburuk, yang


mungkin disebabkan oleh hemolisis mikroangiopati yang timbul karena
vasospasme hebat.4

9
Wanita hamil biasanya tidak mengemukakan keluhan dan jarang
memperhatikan tanda-tanda preeklamsia, atau karena memang minimnya
pengetahuan tentang hal tersebut, maka untuk deteksi dini diperlukan pengamatan
yang cermat dengan masa interval pemeriksaan yang tepat selama ANC, terutama
bagi wanita yang diketahui mempunyai faktor predisposisi preeklamsia, seperti:
nulliparitas, adanya riwayat preeklamsia pada keluarga, janin multiple, diabetes,
penyakit vaskuler kronik, penyakit ginjal, mola hidatidosa dan hidrops fetalis.2,3,4

Edema paru merupakan kondisi yang dapat mengancam jiwa pasien, yaitu
suatu keadaan di mana terjadi peningkatan jumlah cairan interstisial paru dan
alveoli paru yang melebihi kemampuan drainase sistem limfatik, yang disebabkan
karena:

a. Peningkatan tekanan hidrostatik intravaskuler


b. Rendahnya tekanan onkotik intravaskuler akibat hipoalbuminemia,10
c. Meningkatnya permiabilitas vaskuler karena rusaknya endotel pembuluh
darah paru, yang semuanya terjadi karena proses preeklamsia.1,11

Timbulnya edema pulmonal mengganggu proses oksigenasi di paru


sehingga timbul hipoksemia berat yang ditandai dengan turunnya PO2, sehingga
menimbulkan hipoksia berat.9 Keadaan ini dapat menimbulkan pertumbuhan janin
terhambat hingga kematian janin intra uterin.

Kadar hemoglobin dapat menurun, diperkirakan karena proses hemolisis


masif akibat dari meningkatnya tekanan osmotik dan kerapuhan dinding sel, yang
seharusnya dibuktikan dengan adanya hiperbilirubinemia, atau dari pemeriksaan
apus darah tepi didapatkan adanya morfologi sel darah merah berupa schistocytes
dan burr cells, ditemukannya helmet cells karena eritrosit yang rusak. Sedangkan
trombositopenia merupakan tanda khas preeklamsia yang memburuk, dan
mungkin disebabkan hemolisis mikroangiopati yang timbul karena vasospasme
berat, ada juga yang memperkirakan karena adanya proses imunologi.
Ketidakseimbangan oksidan dan antioksidan yang merusak struktur endotel
pembuluh darah juga dapat menerangkan timbulnya sindroma HELLP ini, yaitu
karena terjadi “penimbunan” trombosit pada endotel yang rusak tersebut dan

10
terjadinya nekrosis sel-sel hepar, khususnya bagian periportal pada bagian perifer
lobulus hepar.4sindroma HELLP meningkatkan resiko timbulnya infeksi,
koagulopati konsumtif, gagal ginjal, sindroma distress pernafasan, infark hepatic
hingga ruptur hepar serta cardiopulmonary failure.17

Dikatakan bahwa manifestasi sindroma HELLP bervariasi dari beberapa


jam sampai 7 hari post partum, terbanyak berkembang dalam 48 jam post partum.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa turunnya trombosit dan hemoglobin saja
belum dapat dikategorikan sebagai sindroma HELLP, karena tidak ada istilah
sindroma HELLP parsial.21 Ada lagi pendapat yang menyatakan bahwa kalau kita
menunggu sampai semua manifestasi, artinya kita menunggu sampai keadaan
berat.24 Memang ada beberapa klasifikasi sindroma HELLP, antara lain klasifikasi
Missisipi dimana klasifikasi berdasarkan pada jumlah trombosit maternal, yaitu :

a. Kelas I jika jumlah trombosit £ 50.000/ ul, > 50.000


b. Kelas II jika jumlah trombosit £ 100.000/ul, >100.000
c. Kelas III jika jumlah trombosit 600 IU/L dan AST > 70 IU/L
d. Inkomplit apabila hanya terdapat satu atau 2 gejala seperti di atas. 16,25
Karena diagnosis dini dan penatalaksanaan yang cepat dan tepat akan
mempengaruhi prognosis.

II.5 Penatalaksanaan
a. Preeklampsia Ringan
1. Rawat jalan
Ibu hamil dengan PER dapat dirawat jalan. Dianjurkan untuk banyak
istirahat ( berbaring/ tidur miring), tetapi tidak mutlak untuk tirah baring.
Tidak diberikan obat-obatan diuretic, antihipertensi dan sedative. Dilakukan
pemeriksaan laboratorium rutin untuk memantau perjalanan penyakit.
Pengaturan diet yang mengandung 2 gr natrium dianggap cukup.

2. Rawat inap
Kriteria:
a) Bila tidak ada perbaikan perawatan selama 2 minggu di rumah
b) Adanya satu atau lebih gejala PEB

11
3. Perawatan Obstetrik
Jika tekanan darah normotensif, persalinan ditunggu hingga aterm.
b. Preeklampsia Berat
Penatalaksanaan untuk preeklampsia berat dapat dibagi atas 2 hal yaitu :6
a. Perawatan konservatif
Indikasi perawatan konservatif
1. Kehamilan <37 minggu
2. Keadaan janin baik
3. Tidak ada impending eklampsia

Pengobatan medikamentosa:

1. Pemberian obat antikejang MgSO4


i. Loading dose diberikan 4 gram MgSO4 secara IVselama 15 menit.
ii. Maintenance dose diberikan infuse 6 gram dalam larutan RL/ 6
jama atau 4-5 gram secara IM.
2. Diuretik
Diuretik tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru,
gagal jantung kongestif ataupun edem anasarka.
3. Pemberian antihipertensi.
i. Lini pertama diberikan nifedipin dengan dosis 10-20 mg per oral,
diulangi setelah 30 menit, maksimum 120 mg dalam 24 jam.
ii. Lini kedua diberikan sodium nitropusside dengan dosis 0,25
mikrogram IV/kgBB/menit
b. Perawatan aktif (Sectio caseria)

Indikasi bila terdapat satu atau lebih keadaan ini :

i. Ibu
- Kehamilan > 37 minggu
- Adanya impending eklampsia
- Perawatan konservatif gagal
- 6 jam setelah pengobatan medikamentosa terjadi kenaikan tekanan
darah

12
- 24 jam setelah pengobatan medikamentosa gejala tidak berubah
- Adanya sindrom HELLP
ii. Janin
- Adanya tanda-tanda gawat janin
- Adanya pertumbuhan janin terhambat dalam rahim
c. Penatalaksanaan Eklampsia

Perawatan dasar eklampsia yang utama adalah terapi suportif untuk


stabilisasi fungsi vital, yang harus selalu diingat Airway, Breathing, Circulation
(ABC), mengatasi dan mencegah kejang, mengatasi dan mengobati hipoksemia
dan asidemia, mencegah trauma akibat kejang pada pasien, mengendalikan
tekanan darah dan melahirkan janin dengan cara yang tepat dan waktu yang tepat.

a. Pengobatan medikamentosa
1. Pemberian obat antikejang MgSO4
i. Loading dose diberikan 4 gram MgSO4 secara IVselama 15 menit.
ii. Maintenance dose diberikan infuse 6 gram dalam larutan RL/ 6 jama
atau 4-5 gram secara IM.
b. Perawatan waktu kejang
1. Perawatan di kamar isolasi yang terang
2. Fiksasi badan di tempat tidur harus longgar
3. Selesai kejang, segeralah berikan oksigen.
c. Perawatan koma
1. Menjaga jalan nafas tetap terbuka
2. Drainase lendir
3. Monitoring kesadaran
d. Perawatan edema paru
Saran rawat di ICU dengan monitor dan ventilator
d. Penatalaksanaan Sindroma HELLP
Penatalaksanaan sindroma HELLP post partum meliputi pengendalian
tekanan darah yang lebih agresif, antikonvulsan, pemberian kortikosteroid
(dexametason 10-10-5-5/12jam) akan mempercepat penyembuhan sindroma
HELLP serta mengurangi resiko terjadinya komplikasi maternal yang ditandai

13
dengan meningkatnya produksi urin dan jumlah trombosit, dan menurunnya
kadar LDH dan AST.17

Diuresis dapat menurun pada pasien PEB, kemungkinan adanya proses


mikroangiopati yang menyebabkan oklusi pembuluh darah glomerulus
sehingga filtrasi menurun. Maka untuk menegakkan diagnosis dilakukan
pemeriksaan keadaan hemostasis pasien, dan dapat diperoleh data PT dan
APTT serta fibrinogen dalam batas normal, dengan kadar D-Dimer ≥ 500, yang
memberikan kesan adanya pemecahan produk fibrinogen (FDP) yang berarti
ada proses mikroangiopati.21 Dapat diberikan heparin 3x2500 U. Biasanya
diuresis akan membaik dalam beberapa hari, yang berarti terbukanya oklusi
pembuluh darah.

Dalam perawatan dapat terjadi penurunan albumin yang makin


memberat. Harusnya segera dilakukan penggantian albumin yang hilang,
namun untuk pasien yang sedang mengalami fase poliuri, akan sia-sia, karena
albumin yang masuk akan terbuang percuma lewat urin, 21 karena itu sambil
menunggu fase poliuri lewat dapat diberikan diet tinggi protein dan ekstra
telur. Untuk menghilangkan kekhawatiran terbuangnya protein lewat urin
tersebut, dilakukan pengecekan proteinuria, jika tidak didapatkan proteinuria
maka disimpulkan bahwa endotel pembuluh darah ginjal telah membaik, dan
diasumsikan bahwa endotel pembuluh di paru juga membaik.2

II.6 Diagnosis Banding

Diagnosis banding antara preeklampsia dengan hipertensi menahun atau


penyakit ginjal tidak jarang menemui kesukaran. Pada hipertensi menahun adanya
tekanan darah yang meninggi sebelum hamil, pada kehamilan muda atau 6 bulan
post partum akan sangat berguna untuk membuat diagosis. Pemeriksaan
finduskopi juga berguna karena perdarahandan eksudat jarang ditemukan pada
preeklampsia. Kelainan tersebut biasanya menunjukan hipertensi menahun.
Proteinuria pada preeklampsia jarang timbul sebelum triwulan ke-3 sedangkan
pada penyakit ginjal timbul lebih dulu.1

14
II.7 Komplikasi

Kompilkasi terberat pada preeklampsia adalah kematian ibu dan janin.


Komplikasi yang dapat terjadi pada ibu berupa kemunduran fungsi sejmlah organ
dan sisitem yang kemungkinan sebagian besar terjadi akibat vasospasme, yaitu
gagal ginjal, sindrom HELLP, eklampsia dan perdarahan otak.8

Sedangkan komplikasi yang dapat terjadi pada janin berhubungan dengan


terjadinya perubahan dalam perfusi darah uteroplasenta akut ataupun kronis yang
bisa menyebabkan pertumbuhan janin intrauterine terhambat dan prematuritas.

II.8 Pencegahan

Pencegahan preeklampsia sepertinya tidak mungkin karena faktor


penyebabnya belum diketahui sampai sekarang. Meskipun demikian janin dari ibu
preeklampsia sebaiknya dikeluarkan saat hipertensi ibu terkontrol dengan baik,
pengaturan aktifitas dan penambahan berat badan dan antenatal care dan post natal
care yang optimal merupakan tindakan yang dapat mencegah terjadinya
preeklampsia.9

Pemeriksaaan antenatal care yang teratur dan teliti dapat menemukan tanda-
tanda preeklampsia dan dalam hal ini harus dilakukan penanganan yang
semestinya. Pemberian aspirin dosis rendah (75 mg) telah dievaluasi secara luas
sebagai obat mencegah preeklampsia. Baru-baru ini antioksidan dosis tinggi,
vitamin C 1000 mg dan vitamin E 400 IU, juga telah sukses digunakan dalam
mengurangi preeklampsia lebih dari 50%. Diet tinggi protein dan rendah lemak,
karbohidrat dan garam serta penambahan berat badan yang tidak berlebihan perlu
dianjurkan.1

II.9 Prognosis

Pada umumnya baik dengan penatalaksanaan yang tepat. Wanita yang


mengalami preeklampsia selama kehamilannya mempunyai resiko yang tinggi
untuk serangan ulangan pada kehamilan berikutnya. Resiko meninkat 50% pada
wanita yang mengalami preeklampsia pada usia kehamilan muda (sebelum
minggu ke-27).

15
BAB III

KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diperoleh melalui penulisan referat ini antara


lain :

1. Preeklampsia merupakan salah satu penyebab kematian ibu dan janin.


2. Perlu deteksi dini dalam diagnosis preeklampsia.
3. Saat ini sedang banyak digalakkan penelitian-penelitian mengenai
preeklampsia yang diharapkan akan menjadi titik acuan dalam
pengembangan penatalaksanaan pengobatan preeklampsia sehingaa angka
kejadiannya dapat ditekan.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Abalovich M, Gutierrez S, Alcaraz G, Maccallini G, Garcia A, Levalle O.


Overt and subclinical hypothyroidism complicating pregnancy. Thyroid.
2002;12:63–8.
2. Alberman E. The epidemiology of repeated abortion. In: Beard RW, Sharp
F, editors. Early Pregnancy Loss: Mechanisms and Treatment. London:
RCOG Press;1988. p. 9–17.
3. Brenner B, Hoffman R, Blumenfeld Z, Weiner Z, Younis JS. Gestational
outcome in thrombophilic women with recurrent pregnancy loss treated by
enoxaparin. Thromb Haemost 2000;83:693–7.
4. Brigham SA, Conlon C, Farquharson RG. A longitudinal study of
pregnancy outcome following idiopathic recurrent miscarriage. Hum
Reprod 1999;14:2868–71.
5. Brocklehurst P, Hannah M, McDonald H. Interventions for treating bacterial
vaginosis in pregnancy. Cochrane Database Syst Rev 2000;CD000262.
6. Bussen S, Sutterlin M, Steck T. Endocrine abnormalities during the
follicular phase in women with recurrent spontaneous abortion. Hum
Reprod 1999;14:18–20.
7. Carp H, Dolitzky M, Tur-Kaspa I, Inbal A. Hereditary thrombophilias are
not associated with a decreased live birth rate in women with recurrent
miscarriage. Fertil Steril 2002;78:58–62.
8. Carp H, Toder V, Aviram A, Daniely M, Mashiach S, Barkai G. Karyotype
of the abortus in recurrent miscarriage. Fertil Steril 2001;75:678–82.
9. Christiansen OB. A fresh look at the causes and treatments of recurrent
miscarriage, especially its immunological aspects. Hum Reprod Update
1996;2:271–93.
10. Clifford K, Rai R, Regan L. Future pregnancy outcome in unexplained
recurrent first trimester miscarriage. Hum Reprod 1997;12:3 87–9.
11. Clifford K, Rai R, Watson H, Franks S, Regan L. Does suppressing
luteinising hormone secretion reduce the miscarriage rate? Results of a
randomised controlled trial. BMJ 1996;312:1508–11.
12. Clifford K, Rai R, Watson H, Regan L. An informative protocol for the
investigation of recurrent miscarriage: preliminary experience of 500
consecutive cases. Hum Reprod 1994;9:1328–32.
13. Curtis, Michele G.; Overholt, Shelley; Hopkins, Michael P.  Glass' Office
Gynecology, 6th Edition. 2006. Lippincott: Williams & Wilkins
14. de Braekeleer M, Dao TN. Cytogenetic studies in couples experiencing
repeated pregnancy losses. Hum Reprod 1990;5:519–28.
15. de Wolf F, Carreras LO, Moerman P, Vermylen J, Van Assche A, Renaer
M. Decidual vasculopathy and extensive placental infarction in a patient
with repeated thromboembolic accidents, recurrent fetal loss, and a lupus
anticoagulant. Am J Obstet Gynecol 1982;142:829–34.
16. Dlugi AM. Hyperprolactinemic recurrent spontaneous pregnancy loss: a true
clinical entity or a spurious finding? Fertil Steril 1998;70:253–5.

17
17. Empson M, Lassere M, Craig JC, Scott JR. Recurrent pregnancy loss with
antiphospholipid antibody: a systematic review of therapeutic trials. Obstet
Gynecol 2002;99: 135–44.
18. Esplin MS, Branch DW, Silver R, Stagnaro-Green A. Thyroid
autoantibodies are not associated with recurrent pregnancy loss. Am J
Obstet Gynecol 1998;179:1583–6.
19. Farquharson RG, Quenby S, Greaves M. Antiphospholipid syndrome in
pregnancy: a randomized, controlled trial of treatment. Obstet Gynecol.
2002;100:408–13.
20. Grimbizis GF, Camus M, Tarlatzis BC, Bontis JN, Devroey P. Clinical
implications of uterine malformations and hysteroscopic treatment results.
Hum Reprod Update 2001;7:161–74.
21. Hirahara F, Andoh N, Sawai K, Hirabuki T, Uemura T, Minaguchi H.
Hyperprolactinemic recurrent miscarriage and results of randomized
bromocriptine treatment trials. Fertil Steril 1998;70:246–52.
22. Homer HA, Li TC, Cooke ID. The septate uterus: a review of management
and reproductive outcome. Fertil Steril 2000;73 :1–14.
23. JayapranaY. SC anak mahal karena primipara tua dan abortus berulang.
2007. http://www.ksuheimi.blogspot.com
24. Jacobsen LJ, DeCherney A. Results of conventional and hysteroscopic
surgery. Hum Reprod 1997;12:1376–81.
25. Jurkovic D, Geipel A, Gruboeck K, Jauniaux E, Natucci M, Campbell S.
Three-dimensional ultrasound for the assessment of uterine anatomy and
detection of congenital anomalies: a comparison with
hysterosalpingography and two-dimensional sonography. Ultrasound Obstet
Gynecol 1995;5:233–7.
26. Katsuragawa H, Kanzaki H, Inoue T, Hirano T, Mori T, Rote NS.
Monoclonal antibody against phosphatidylserine inhibits in vitro human
trophoblastic hormone production and invasion. Biol Reprod 1997;56:50–8.
27. Li TC, Spuijbroek MD, Tuckerman E, Anstie B, Loxley M, Laird S.
Endocrinological and endometrial factors in recurrent miscarriage. BJOG
2000;107: 1471–9.

18

Anda mungkin juga menyukai