KELOMPOK 1
Diusulkan oleh:
M. Reynaldy S. 1706044710 2017
Auzan Luthfi 1906302062 2019
Cynthia Katherine Putri 1906357490 2019
Khalafi Xenon A. 1906357553 2019
Raissa Rahma 1906381981 2019
Regina Putri Pratama 1906357540 2019
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas izin dan karunia-
Nya, kami dapat menyusun dan menyelesaikan makalah ini. Makalah berjudul
“Elektroencephalogram : Metode Biosignalling Deteksi Kelainan Otak (Meninges) Penderita
COVID-19” ini kami buat sebagai bagian dari tugas akhir Mata Kuliah Biologi Sel Fakultas
Teknik Universitas Indoneisa.
Selama proses penyusunan makalah, kami mendapat bimbingan dari beberapa pihak.
Kami sangat berterima kasih kepada:
1. Ibu Eny Kusrini S.Si., Ph.D selaku dosen biologi sel
2. Anggota kelompok 1 yang telah membantu menyelesaikan makalah gagasan ini Akhir
kata, kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Kami
memohona maaf jika terdapat kesalahan dalam penulisan makalah ini. Kami juga berharap agar
pembaca berkenan memberikan kritik dan saran agar kami dapat dapat kami terapkan untuk
penulisan selanjutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak.
Kelompok 1
Daftar Isi
Halaman Sampul i
Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii
Bab 1. Pendahuluan 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan 1
1.3 Manfaat 1
Bab 2. Gagasan 2
2.1 Kondisi Terkini 2
2.2 Solusi yang Pernah Diterapkan 2
2.3 Gagasan 3
2.4 Pihak-pihak Terkait 4
2.5 Langkah-langkah Strategis 5
Bab 3. Kesimpulan 6
3.1 Gagasan yang Diajukan 6
3.2 Teknik Implementasi 6
3.3 Prediksi Hasil 6
Daftar Pustaka 7
1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
1. Mendeteksi kelainan otak (Meningitis) penderita COVID-19.
2. Memanfaatkan metode Biosignaling untuk mendeteksi Meningitis.
1.3 Manfaat
1. Mengetahui pengaruh COVID-19 pada sistem saraf pusat.
2. Mengetahui gejala Meningitis pada pasien COVID-19.
2
BAB 2 GAGASAN
sudah ada beberapa cara atau teknik untuk melakukan pemeriksaan dan diagnosis tersebut. Salah
satunya adalah swab test. Prosedur tersebut dilakukan dengan pertama-tama mengambil sampel
apus dari saluran pernapasan pasien, yaitu dengan memasukkan swab ke dalam rongga antara
hidung dan mulut (nasopharyngeal swab). Swab tersebut kemudian dimasukkan ke suatu wadah
untuk dites di lab. Swab test ini disebut juga tes PCR (polymerase chain reaction). Tes PCR
digunakan untuk secara langsung mendeteksi keberadaan antigen dalam sampel, bukan untuk
mendeteksi keberadaan antibodi. Antigen berupa materi genetik virus tersebut akan ada terlebih
dahulu dibandingkan antibodi yang merupakan respons imun dari tubuh, sehingga tes ini dapat
menentukan secara cepat apakah orang tersebut terjangkit virus atau tidak.
Tes lain yang merupakan jenis PCR yang lebih spesifik adalah RT-PCR (reverse
transcriptase-PCR). RT-PCR juga memiliki tingkat sensitivitas yang lebih tinggi
dibandingkan PCR biasa. Namun sayangnya, tes ini pun masih dapat membuahkan hasil yang
salah, sehingga menunjukkan false-negative pada pasien yang sebenarnya positif corona. Hal
tersebut terjadi kepada seorang warga negara Cina berumur 28 tahun yang melakukan
perjalanan dari Jinzhou, Cina ke Chiang Mai, Thailand pada 15 Januari 2020. Dalam
perjalanan itu, ia melakukan transit sebentar di Wuhan. Karena itu, ia pun diisolasi dan
menjalani swab test (RT-PCR), namun mendapatkan hasil negatif. Pada hari ke-5, tes itu
diulang kembali dan hasilnya masih tetap negatif. Namun, pria ini menunjukkan gejala-gejala
corona seperti demam, batuk, dan radiografi dadanya menunjukkan ciri pneumonia akibat
virus. Akhirnya di hari ke-8, ia menjalani tes RT-PCR kembali, menggunakan cairan dari
bronchoalveolar lavage (BAL), dan hasilnya positif.
Selain kasus tersebut, kasus Takeshi Moriguchi juga menunjukkan bahwa swab test
dengan sampel dari saluran pernapasan (hidung dan mulut) sebenarnya bisa membuahkan
hasil yang salah, sehingga tidak bisa dikatakan 100% reliable. Melihat perkembangan ini,
maka penting adanya adaptasi dari pihak medis untuk memediasi kasus-kasus serupa yang
bisa saja sudah terjadi atau akan terjadi nantinya. Diperlukan tes untuk mendiagnosa SARS-
CoV-2 yang menyerang sistem saraf pusat.
2.3 Gagasan
Electroencephalogram (EEG) dapat menjadi jawaban untuk prosedur diagnosis SARS-
CoV-2 yang menyerang sistem saraf pusat. EEG adalah tes non-invasif yang membaca dan
mengukur aktivitas kelistrikan dari otak untuk mendeteksi adanya kelainan dari otak. Pada tes
EEG, elektroda-elektroda kecil dengan kabel akan dipasangkan pada kepala pasien. Elektroda
itulah yang akan membaca gelombang otak dan kemudian mesin EEG akan mengamplifikasi
4
sinyal tersebut dan merekamnya. Tes EEG ini tidak membahayakan pasien, juga tidak
memiliki efek samping yang berarti.
Untuk melakukan diagnosa suatu penyakit menggunakan teknik EEG, maka perlu
diketahui terlebih dahulu pola gelombang otak yang dihasilkan dengan keberadaan penyakit
tersebut.
Pada sebuah percobaan yang melibatkan 82 pasien pengidap penyakit aseptic
meningitis, tes EEG dilakukan untuk menganalisa aktivitas abnormal otak yang terjadi dan
dapat diasosiasikan dengan penyakit itu. Hasil dari tes EEG tersebut mampu menunjukkan 3
jenis abnormalitas. Pertama, aktivitas di latar belakang (background activity) mengalami
perlambatan yang terjadi secara berselang; hal ini terjadi pada 13 pasien. Kedua, perlambatan
yang terjadi secara terus menerus; hal ini terjadi pada 7 pasien. Ketiga, perlambatan di area
frontotemporal yang terjadi pada 3 pasien. Walaupun abnormalitas yang terjadi hanya
digeneralisasi menjadi tiga jenis, sebenarnya semua pasien pengidap encephalitis memiliki
hasil EEG yang abnormal. Perlambatan yang terjadi menunjukkan keterlibatan bagian korteks
otak yang mengalami proses inflamasi. Derajat perlambatan tersebut memiliki variasi tingkat
keparahan.
Dari percobaan tersebut dapat disimpulkan bahwa penyakit yang menyerang sistem
saraf pusat (contohnya otak) akan berpengaruh terhadap aktivitas otak sehingga
mengakibatkan abnormalitas yang dapat ditangkap dan dianalisis oleh EEG. Dengan
mempertimbangkan hal tersebut, maka memungkinkan untuk melakukan diagnosis SARS-
CoV-2 menggunakan teknik EEG ini.
4. Masyarakat
Masyarakat diharapkan dapat lebih sadar dan waspada terhadap adanya
penyakit meningitis COVID-19.
BAB 3 KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Pollak, L., Klein, C., Schiffer, J., Flechter, S. and Rabey, J., 2001. Electroencephalographic
Abnormalities in Aseptic Meningitis and Noninfectious Headache. A Comparative
Study. Headache: The Journal of Head and Face Pain, 41(1), pp.79-83.
Tahamtan, A. and Ardebili, A., 2020. Real-time RT-PCR in COVID-19 detection: issues
affecting the results. Expert Review of Molecular Diagnostics, 20(5), pp.453-454.
Winichakoon, P., Chaiwarith, R., Liwsrisakun, C., Salee, P., Goonna, A., Limsukon, A. and
Kaewpoowat, Q., 2020. Negative Nasopharyngeal and Oropharyngeal Swabs Do Not
Rule Out COVID-19. Journal of Clinical Microbiology, 58(5).