Anda di halaman 1dari 12

  Faktor-faktor Produksi

Faktor-fakor produksi seperti yang dipelajari dalam ilmu ekonomi adalah berkisar pada
faktor alam, faktor tenaga kerja, faktor modal, dan faktor manajemen atau organisasi. Produksi
yang baik dan berhasl ialah produksi yang dengan menggunakan empat faktor tersebut bisa
menghasilkan barang sebanyak-banyaknya dengan kualitas semanfaat mungkin. Sistem ekonomi
yang ada didunia ini (sistem kapitalisme atau sosialisme), telah memandang secara berbeda atas
empat faktor tersebut.
1.      Faktor tanah atau alam
Dalam pandangan ekonomi klasik, tanah dianggap sebagai suatu faktor produksi penting
mencakup semua sumber daya alam yang digunakan dalam proses produksi. Islam mengakui
tanah sebagai faktor produksi, namun tidak setepat dalam arti sama yang digunakan di zaman
modern.Al-Quran dan As-Sunah banyak memberikan tekanan pada pembudidayaan tanah secara
baik. Bukti nyata yang diatur dalam sunnah, bahwa Rasulullah memberikan dorongan untuk
membudidayakan tanah kosong. Islam mengakui pemilikan tanah bukan penggarap, maka
diperkenankan memberikannya pada orang lain untuk menggarapnya dengan menerima sebagian
hasilnya atau uang, akan tetapi bersamaan dengan itu dianjurkan agar seorang yang mampu
sebaiknya meminjamkan tanahnya tanpa sewa kepada saudara-saudaranya yang miskin.
Islam juga membolehkan pemilikan tanah dan sumber-sumber alam yang lain dan
membolehkan penggunaannya untuk beraktivitas produksi, dengan syarat hak miliknya
merupakan tugas sosial dan khilafat dari Allah atas milik-Nya, dengan mengikuti perintah-
perintah tuhan dalam usaha memperoleh milik.
Perlu dipahami oleh setiap manusia dalam memanfaatkan alam (tanah). Tanah memiliki
dua karakteristik, yaitu :
a.       Tanah sebagai sumber daya alam,
b.      Tanah sebagai sumber daya yang dapat habis.
Tanah sebagai sumber daya alam yang penggunaannya akan memberikan kontribusi pada
dua komponen penghasilan yaitu:
a.       Penghasilan dari sumber-sumber daya alam sendiri (sewa ekonomis murni)
b.      Penghasilan dari perbaikan dalam penggunaan sumber-sumber daya alam melalui kerja manusia
dan modal.
Sementara karakteristik kedua bahwa islam memandang, sumber daya yang dapat habis
adalah milik generasi kini maupun generasi masa yang akan datang. Generasi kini tidak berhak
menyalahgunakan sumber-sumber daya yang dapat habis hingga menimbulkan bahaya bagi
generasi yang akan datang.
2.      Faktor tenaga kerja
Adam Smith mengatakan “bahwasanya tenaga kerja itulah satu-satunya faktor produksi.
Karena dengan tenaga kerjanya manusia dapat merubah apa yang terdapat dalam alam, dari suatu
kemampuan produksi menjadi hasil-hasil pertanian serta menambah produksi barang-barang dan
jasa-jasa dalam industri yang merupakan sumber kekayaan bangsa.”Secara umum para ahli
ekonomi sependapat bahwa tenaga kerja itulah produsen satu-satunya dan tenaga kerjalah
pangkal produktivitas dari semua faktor-faktor produksi yang lain. Alam maupun tanah  tak akan
bisa menghasilkan apa-apa tanpa tenaga kerja.
Dalam kaitannya dengan masalah tenaga kerja, islam mengangkat nilai tenaga kerja dan
menyuruh orang bekerja, baik bekerja untuk mencapai penghidupan yang layak dan
menghasilkan barang-barang serta jasa yang menjadi keperluan manusia, maupun amal yang
bersifat ibadah semata-mata kepada Allah.Pernah Rasulullah melihat seorang laki-laki yang
benar-benar telat memutuskan diri dari segalanya untuk beribadat di masjid. Rasul lalu
menanyakan siapa yang menanggungnya. Ada yang menjawab, “Saudaranya” maka Rasulullah
saw. bersabda yang artinya: saudaranya itulah yang sebenarnya telah tekun beribadah dari
pada dia.
1. Arti penting tanah sebagai faktor produksi

Istilah tanah diberi arti khusus di dalam ilmu ekonomi. Ia tidak hanya bermakna tanah saja seperti
yang terpakai dalam pembicaraan sehari-hari, melaikan bermakna segala sumber daya alam,
seperti air dan udara, pohon dan binatang, dan segala sesuatu yang di atas dan di bawah
permukaan tanah, yang menghasilkan pendapatan atau menghasilkan produk.

Tanah merupakan sumber daya material dan sumber terpenting, tanah merupakan lapisan teratas
dan dalam lapisan inilah hidup beraneka ragam makhluk termasuk manusia, menjelaskan bahwa
tanah dianggap sebagai satusatunya sumber untuk mendapatkan pendapatan dan kekayaan, dan
sektor pertanian merupakan kegiatan produktif, tanah juga diyakini mengandung kemampuan untuk
menghasilkan produksi dalam jumlah dan mutu yang melebihi (menciptakan surplus) bahan mentah
dan peralatan yang digunakan dalam menghasilkan produk bersih. Faktor tanah Secara teoritis
dibahas berkenaan dengan nilai sewa atas tanah, apakah dimasukkan dalam harga perolehan atau
bagian yang harus dinikmati oleh pemilik tanah (residu) penjelasan terhadap tanah dalam
perekonomian Imbalan jasa untuk penggunaan tanah tidak dianggap sebagai faktor menentukan
harga, melainkan sewa tanah (land rent) merupakan residu, suatu unsur sisa hasil (residual) dari
harga barang, bagian residu itu jatuh pada dan dinikmati oleh pemilik/penguasa tanah. Sewa tanah
bukan merupakan komponen dalam biaya produksi yang menentukan harga barang, melainkan
tinggi-rendahnya upah beserta bunga dan laba yang menjadi faktor yang menentukan tinggi dan
rendah harga barang.

Islam memandang tanah sebagai salah satu faktor produksi yang terpenting. Sebuah Hadis yang
diriwayatkan di dalam Shahih Bukhari dari Abu Umamah menyatakan bahwa ketika Nabi SAW
melihat bajak dan beberapa jenis alat pertanian lainnya, lalu beliau bersabda : “ini semua tidak
masuk kerumah seseorang dengan membawa kemuliaan.” Dari Hadis ini, sebagian kritikusmencoba
menyimpulkan bahwa Nabi kaum Muslimin menghalangi atau mengutuk pertanian. Tetapi jelas itu
adalah kesan yang keliru. Sebernarnya, Hadis tersebut menyiratkan pengertian bahwa seseorang
yang memusatkan seluruh perhatiannya melulu kepada pertanian saja dan mengabaian sektor-
sektor lain seperti perdagangan dan industri, tidak dapat meningkatkan keposisi kemuliaan di antara
kehormatan bangsanya. Perjalanan sejarah telah membuktikan kebenaran tersebut, yakni bangsa
yang berkonsentrasi pada pertanian saja tertinggal jauh dalam lomba pembangunan ekonomi
dibandingkan dengan bangsa-bangsa yang menaruh perhatian pada perdagangan dan industri dan
mengambil kebijakan pertumbuhan sektor berimbang.

2. Kepemilikan tanah oleh swasta

Sebagian orang, terutama mereka yang memiliki kecenderungan terhadap sosialisme, menganggap
bahwa konsep pemilikan tanah itu asing bagi islam. Namun pandangan ini sama sekali tidak benar
jika kita melihat ajaran-ajaran islam. Kepemilikan tanah yang telah dikenal oleh manusia sejak
dahulu kala, tidak dihalangkan baik oleh Al-Qur’an maupun Sunah Nabi Muhammad SAW. Tidak
diragukan bahwa, menurut Al-Qur’an mengenai kepemilikan mutlak, segala sesuatu di langit
maupun di bumi adalah milik Allah, tetapi manusia diberi hak memiliki tanah sebagai kepercayaan
atau khalifah Allah. Dengan demikian kepemilikan swasta atau individual pun dikenal pula oleh
islam.

Tanah diperlukan manusia baik sebagai tempat tinggal maupun untuk mencari nafkah dengan cara
menggarapnya. Untuk kedua tujuan itulah Al-Qur’an memberikan hak pemilikan tanah kepada
individu. Untuk tujuan tempat tinggal, Al-Qur’an menyatakan: “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam
pada penghuninya… (QS.an-Nuur [24]:27).
Pemilikan tanah untuk tujuan pembangunan rumah dikenal oleh kitab suci di dalam ayat tersebut. Di
ayat yang lain Al-Qur’an menegaskan hak pemilikan tanah untuk digarap dan dipeti hasilnya. Ayat
tersebut menyatakan: “Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berubah, dan
tunaikanlah haknya dihari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan
janganlah kamu berlebih-lebihan” (QS. Al-An’aan [6]: 141).

Dari ayat di atas, jelaslah bahwa orang harus membayar zakat buah-buahan serta produk pertanian
jika ia memiliki dan menggarap  tanah. Demikianlah ayat tersebut memberi hak pemilikan tanah
kepada individu untuk tujuan pertanian.

 3. Perolehan hak pemilikan

Kolonisasi: ketika manusia mendiami Bumi, aturan pemilikan tanah yang muncul secara urutan
waktu adalah: tanah yang didiami seseorang untuk digarap adalah pemiliknya dan dia memiliki hak
atasnya. Aturan kuno ini dipakai oleh Nabi kaum Muslimin dengan beberapa syarat tertentu.
Diantaranya Hadis yang berhubungan dengan hal itu adalah :

1. ‘Aisyah (semoga Allah ridha kepadanya) mengatakan bahwa Nabi suci


bersabda: “Barang siapa menempati tanah yang tidak dimiliki oleh siapapun, maka ia
memilikinya.” ‘Urwah bin Zubair menyatakan bahwa ‘Umar menerapkan aturan tersebut
sepanjang masa pemerintahannya. (Bukhari, Ahmad, dan Nisai)
2. Jabir bin ‘Abdullah menyebut sebuah Hadis, bahwa barang siapa menghidupkan tanah mati,
ia berhak memilikinya. (Ahmad Tirmidzi, nisai, dan Ibnu Hibban)

Dari dua Hadis Nabi diatas, ada dua prinsip yang dapat kita tarik sehubungan dengan hak pemilikan
tanah dari kolonisasi, yakni: pertama, barangsiapa menempati tanah yang bukan milik siapapun
juga, mendapat hak memiliki tanah itu. Tetapi yang menempati tanah orang lain secara ilegal tidak
memiliki hak tersebut.

Kedua, orang yang menghidupkan tanah mati dapat memilikinya, dan orang yang menguasai tanah
tetapi tidak menggunakannya selama tiga tahun kehilangan hak milik.

4. Persewaan atau muzara’ah

1. Pengertian Muzara’ah

Menurut bahasa, al-muzara’ah memiliki dua arti, pertama adalah tharh al-zur’ah (melemparkan


tanaman), maksudnya adalah al-hadzar (modal). Makna yang pertama adalah makna majas dan
makna yang kedua ialah makna hakiki “Al-Muzara’ah menurut bahasa adalah muamalah terhadap
tanah dengan (imbalan) sebagian apa yang dihasilkan darinya”. Sedangkan yang dimaksud di sini
adalah memberikan tanah kepada orang yang akan menggarapnya dengan imbalan ia memperoleh
setengah dari hasilnya atau yang sejenisnya.

Menurut istilah muzara’ah didefiniskan oleh para ulama seperti yang dikemukakan oleh Abd al-
Rahman al-Jaziri, yang dikutif oleh Hendi Suhendi adalah sebagai berikut:

1. “Menurut Hanafiah muzara’ah ialah akad untuk bercocok tanam dengan sebagian yang


keluar dari bumi. Menurut Hambaliah muzara’ah adalah pemilik tanah yang sebenarnya
menyerahkan tanahnya untuk ditanami dan yang bekerja diberi bibit. Menurut al-Syafi’i
berpendapat bahwa muzara’ah adalah seorang pekerja menyewa tanah dengan apa yang
dihasilkan dari tanah tersebut. Dan menurut Syaikh Ibrahim al-Bajuri
bahwa muzara’ah adalah pekerja mengelola tanah dengan sebagian apa yang dihasilkan
darinya dan modal dari pemilik tanah”.
2. Menurut Sulaiman Rasyid, muzara’ah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah
atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat).
Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik tanah.
Sementara mukhabarah adalah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang
dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga, atau seperempat). Sedangkan
biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakannya.

Jadi muzara’ah menurut bahasa berarti muamalah atas tanah dengan sebagian yang keluar
sebagian darinya. Dan secara istilah muzara’ah berarti kerjasama antara pemilik lahan dengan
petani penggarap dimana pemilik lahan memberikan tanah kepada petani untuk digarap agar dia
mendapatkan bagian dari hasil tanamannya. Misalnya seperdua, sepertiga, lebih banyak atau lebiih
sedikit daripada itu.

2. Dasar hukum muzara’ah :

Rasulullah s.a.w. bersabda sebagai berikut:

1. “Dari Abu Hurairah ra. Berkata: Bersabda Rasulullah Saw (barangsiapa yang memiliki tanah
maka hendaklah ditanami atau diberikan faedahnya kepada saudaranya jika ia tidak mau
maka boleh ditahan saja tanah itu.” (Hadits Riwayat Muslim)
2. Barang siapa yang mempunyai tanah, hendaklah ia menanaminya atau hendaklah ia
menyuruh saudaranya untuk menanaminya.” (Hadits Riwayat Bukhari)

Dari beberapa hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim di atas, bahwa bagi hasil dengan
sistem muzara’ah itu dibolehkan.

3. Rukun dan syarat muzara’ah

Menurut jamhur ulama ada empat rukun dalam muzara’ah:

1. Pemilik tanah
2. Petani penggarap
3. Objek al-muzaraah
4. Ijab dan qabul secara lisan maupun tulisan

Sementara syarat-syaratnya sebagai berikut:

1. Syarat bertalian dengan ‘aqidain, yaitu harus berakal.


2. Syarat yang berkaitan dengan tanaman, yaitu disyaratkan adanya penentuan macam apa
saja yang ditanam.
3. Hal yang berkaitan dengan perolehan hasil tanaman, yaitu bagian masing-masing harus
disebutkan jumlahnya (persentasenya), hasil adalah milik bersama.
4. Hal yang berhubungan dengan tanah yang akan ditanami seperti lokasi tanah dan batas
tanah.
5. Hal yang berkaitan dengan waktu dan syarat-syaratnya.
6. Hal yang berkaitan dengan alat-alat yang digunakan dalam bercocok tanam muzara’ah.

Menurut jumhur ulama (yang membolehkan akad muzara’ah) apabila akad telah memenuhi rukun
dan syarat, maka akibat hukumnya adalah:
1. Petani bertanggung jawab mengeluarkan biaya benih dan pemeliharaan pertanian tersebut
2. Biaya pertanian seperti pupuk, biaya perairan, serta biaya pembersihan tanaman,
ditanggung oleh petani dan pemilik lahan sesuai dengan persentase bagian masing-masing.
3. Hasil panen dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama
4. Pengairan dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan bersama dan apabila tidak ada
kesepakatan, berlaku kebiasaan ditempat masing-masing.
5. Apabila salah seorang meninggal dunia sebelum panen, maka akad tetap berlaku sampai
panen dan yang meninggal diwakili oleh ahli warisnya. Lebih lanjut, akad itu dapat
dipertimbangkan oleh ahli waris, apakah akan diteruskan atau tidak.

 5. Irigasi

Dalam kamus bahasa indonesia, irigasi adalah pengaturan pembagian atau pengaliran air menurut
sistem tertentu untuk sawah dsb. Irigasi adalah kegiatan-kegiatan yang bertalian dengan usaha
mendapatkan air untuk sawah, ladang, perkebunan dan lain-lain usaha pertanian, rawa – rawa,
perikanan. Usaha tersebut terutama menyangkut pembuatan sarana dan prasarana untuk membagi-
bagikan air ke sawah-sawah secara teratur dan membuang air kelebihan yang tidak diperlukan lagi
untuk memenuhi tujuan pertanian. Masih sering kita jumpai istilah irigasi ini diganti dengan
istilah “Pengairan”. Untuk sementara istilah irigasi kita anggap punya pengertian yang sama dengan
istilah pengairan.

Tujuan irigasi adalah membasahi tanah, agar dicapai suatu kondisi tanah yang baik untuk
pertmbuhan tanaman dalam hubungannya dengan prosentase kandungan air dan udara diantara
butir-butir tanah. Pemberian air dapat juga mempunyai tujuan sebagai pengangkut bahan-bahan
pupuk untuk perbaikan tanah.

“Apakah kamu tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit, maka
diaturnya menjadi sumber-sumber air di bumi kemudian ditumbuhkan-Nya dengan air itu tanam-
tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu ia menjadi kering lalu kamu melihatnya kekuning-
kuningan, kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. (QS,Az-zumar : 21)

Pada ayat ini Allah SWT memerintahkan manusia memikirkan salah satu dari suatu proses kejadian
di alam ini. yaitu proses turunnya hujan dan tumbuhnya tanam-tanaman di permukaan bumi ini.
Kalau diperhatikan seakan-akan kejadian itu merupakan suatu siklus yang dimulai pada suatu titik-
titik dalam suatu lingkaran, dimulai dari adanya sesuatu, kemudian berkembang menjadi besar,
kemudian tua, kemudian meninggal atau tiada. kemudian mulai pula suatu kejadian yang baru lagi
dan begitulah seterusnya sampai kepada suatu masa yang ditentukan Allah, yaitu masa berakhirnya
kejadian alam ini.

Contohnya ialah air hujan yang turun dari langit menyirami permukaan bumi, sehingga bumi yang
semulanya tandus dan kering, menjadi basah dan berair. Air hujan itu sebagian disimpan di dalam
bumi dengan adanya akar pohon-pohonan yang ada di hutan-hutan kemudian meresap ke dalam
bumi, merupakan persediaan air bagi manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan makhluk Tuhan
yang lain di masa musim kemarau nanti. Pada bumi yang gundul dan tandus, sebahagian besar dari
air hujan itu tidak dapat ditahan oleh bumi. Air itu langsung mengalir ke laut yang kadang-kadang
berupa banjir besar yang menjadi malapetaka bagi manusia. Adakalanya air itu langsung
dimanfaatkan oleh manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan. Maka tumbuhlah tumbuh-tumbuhan,
sejak dari benih kemudian menjadi besar, berbunga yang beraneka warna, berbuah, kemudian mati,
untuk tumbuh lagi. Buahnya bermanfaat bagi manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan. Ada yang
dimakan, ada pula yang diolah untuk keperluan-keperluan lain. Daun tumbuh-tumbuhan yang gugur
kemudian menjadi hancur bersama tanah dapat menjadi pupuk bagi bagi tanam-tanaman yang lain.
Demikianlah, dari turunnya hujan, tumbuhlah tumbuh-tumbuhan dan berkembang-biaknya binatang
ternak dan sebagainya, manusia memperoleh nikmat yang tiada taranya, sejak dari nikmat berupa
makanan dan minuman, juga nikmat yang berupa perasaan, seperti perasaan senang dan gembira
melihat pemandangan yang indah di pegunungan yang diliputi oleh pohon-pohonan, perasaan
senang melihat bunga yang sedang mekar, air yang mengalir di sungai, bunyi burung yang merdu
diselingi dengan bunyi tetesan air yang jatuh dari atas tebing batu, binatang ternak yang makan di
padang rumput yang sedang menghijau.

Jika dilihat proses air yang mengalir ke laut, maka air itu menguap oleh terik panas matahari,
kemudian menjadi awan yang bergumpal, dihalau kembali oleh angin ke suatu tempat sehingga
menurunkan hujan.

Proses kejadian yang demikian itu menjadi bahan renungan bagi orang yang mau menggunakan
pikirannya. Tentu ada Zat Yang Maha Kuasa Yang mengatur semuanya itu, sehingga segala
sesuatu terjadi dengan teratur dan rapi. Tidak mungkin manusia yang melakukannya. Yang
melakukan semua itu tentulah zat Yang berhak disembah dan ditaati segala perintah-Nya.

 6. Pemilikan negara atau publik atas tanah

Gagasan mengenai pemilikan tanah oleh negara atau publik mulai memasuki pikiran kaum muslimin
di masa kekhalifahan ‘Umar ketika tanah yang amat luas di Irak, Syria, Mesir, dan Iran jatuh ke
tangan islam. Lembaga kepemilikan negara diperkenalkan oleh khalifah ‘Umar, dan terus berlanjut
hingga para khalifah berikutnya. Tujuan penegakan lembaga ini oleh khalifah besar itu adalah:

1. ‘Umar ingin mendapatkan penerimaan negara yang reguler untuk membiayai tentara dan
para pejabat negara serta untuk membeli persenjataan.
2. Dia ingin menahan tanah itu tidak saja untuk generasi yang bersangkutan melainkan juga
sebagai fai’ yang menjadi milik umat islam selamanya demi keuntungan generasi
mendatang.
3. Dia juga takut bahwa jika bangsa Arab tenggelam dalam pertanian, mereka akan kehilangan
semangat jihad.
4. Dia tahu bahwa stabilitas negara tergantung pada kemakmuran kelas petani dan merampas
tanah dari petani tidak saja akan menyebabkan kesulitan besar bagi mereka melainkan juga
akan menggerogoti stabilitas pemerintah.
5. Dia melihat jahatnya sistem feodal yang menyebabkan runtuhnya kekaisaran Persia dan
Romawi, oleh karena itu dia ingin menyelamatkan negara islam dari buruknya sistem yang
menindas itu.

 7. Sistem feodalisme atau jagirda

Seorang pangeran feodal atau jagirdar adalah seorang yang memiliki tanah sangat luas, yang si
atas tanah itu ratusan petani atau penggara bekerja, baik dengan upah rendah maupun bagi hasil
sekadarnya dn bukan sering kali tanpa kompensasi. Dalam sistem ini, keseluruhan produk diambil
oleh jagirdar yang tidak bekerja dan hidup nyaman dan mewah dari menghisap darah kaum miskin,
seperti parasit. Pemilik tanah yang amat luas itu disebut pangeran feodal atau tuan tanah atau
jagirdar, sedang tanahnya disebut estate atau jagir dan para petaninya disebut budak tanah atau
penyewa.

Feodalisme merupakan sistem social ciri khas dari abad pertengahan dari sistem itu melahirkan
masyarakat yang penuh dengan kekerasan, kebrutalan, dan kesewenang-wenangan oleh sang
penguasa. Istilah feodalisme pertama kali dimunculkan di Perancis pada abad ke-16. Periode
tersebut sebagai pembeda periode tersebut dari modernitas.
Feodalisme adalah sebuah sistem pemerintahan yang dipegang oleh tuan feudal untuk menaungi 
para vassal yang telah menyerahkan fief. Pemerintahan semacam itu disebut feudal sistem.

Feodalisme merupakan suatu sistem yang telah berperan penting dan menggoreskan warma
tersendiri dalam peradaban. Dalam konteks eropa Istilah “feudal” berasal dari kata Latin “feudum”
yang sama artinya dengan fief, ialah harta milik yang dapat berupa sebidang tanah yang diserahka
untuk sementara oleh seorang vassal kepada tuan feodal. Dalam hal ini  foedalisme berarti
penguasaan hal–hal yang berkaitan dengan masalah kepemilikan tanah, khususnya yang terjadi di
Eropa Abad Pertengahan.

Foedalisme sebagai suatu sistem yang ada di Eropa dan terjadi pada sekitar abad IX-XII merupakan
sistem yang jauh dari demokrasi. Dari sistem tersebut dapat terbentuk dasar pemerintahan lokal,
pembuatan undang-undang, menyusun dan mengatur angkatan perang, dan berbagai
permasalahan yang berhubungan dengan kekuasaan eksekutif. Pemerintahan ini otoriter dan itu
dibuktikan dengan doktrin foedal yang dikatakan bahwa seluruh tanah kerajaan beserta isinya itu
berasal dari raja. Raja sebagai pemilik tanah-tanah luas terbentang di wilayah kerajaannya.

Feodalisme juga dapat diartikan sebagai sistem pemerintahan yang dipegang oleh seorang
pemimpin dan mayoritas bangsawan, kekuasaan muthlak berada dibawah kuasa mereka dan 
memiliki bawahan yang juga masih dari kalangan bangsawan juga tetapi lebih rendah dan biasa
disebut vasal dan jumlah bawahan tersebut banyak. Para vasal ini wajib membayar upeti kepada
tuan mereka. Sedangkan para vasal pada gilirannya ini juga mempunyai anak buah dan abdi-abdi
mereka sendiri yang memberi mereka upeti.

Masyarakat feodal menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian, dari hal tersebut membuat para
pemilik tanah sebagai pihak yang berkuasa dan menempati lapisan atas struktur masyarakat atas
dukungan petani lapisan terbawah. Di lapisan tengah terdapat pegawai kaum feodal dan pedagang.
Karena itulah tanah menjadi faktor produksi utama dan dapat disimpulkan bahwa yang menjadi inti
pembahasan dari feodalisme adalah Tanah menjadi sumber kekuasaan bagi para tuan feudal yang
memegang peranan penting pada zamannya. Seseorang dikatakan memiliki kekuasaan bila orang
tersebut memiliki modal utama berupa tanah yang kemudian berkembang menjadi wilayah. Sejarah
feodalisme adalah sejarah peradaban manusia itu sendiri, dimana manusia dari awalnya sudah
haus akan kekuasaan dan kedudukan.

Feodalisme merupakan sistem social ciri khas dari abad pertengahan dari sistem itu melahirkan
masyarakat yang penuh dengan kekerasan, kebrutalan, dan kesewenang-wenangan oleh sang
penguasa. Istilah feodalisme pertama kali dimunculkan di Perancis pada abad ke-16. Periode
tersebut sebagai pembeda periode tersebut dari modernitas.

Feodalisme adalah sebuah sistem pemerintahan yang dipegang oleh tuan feudal untuk menaungi 
para vassal yang telah menyerahkan fief. Pemerintahan semacam itu disebut feudal sistem.

Feodalisme merupakan suatu sistem yang telah berperan penting dan menggoreskan warma
tersendiri dalam peradaban. Dalam konteks eropa Istilah “feudal” berasal dari kata Latin “feudum”
yang sama artinya dengan fief, ialah harta milik yang dapat berupa sebidang tanah yang diserahka
untuk sementara oleh seorang vassal kepada tuan feodal. Dalam hal ini  foedalisme berarti
penguasaan hal–hal yang berkaitan dengan masalah kepemilikan tanah, khususnya yang terjadi di
Eropa Abad Pertengahan.

Foedalisme sebagai suatu sistem yang ada di Eropa dan terjadi pada sekitar abad IX-XII merupakan
sistem yang jauh dari demokrasi. Dari sistem tersebut dapat terbentuk dasar pemerintahan lokal,
pembuatan undang-undang, menyusun dan mengatur angkatan perang, dan berbagai
permasalahan yang berhubungan dengan kekuasaan eksekutif. Pemerintahan ini otoriter dan itu
dibuktikan dengan doktrin foedal yang dikatakan bahwa seluruh tanah kerajaan beserta isinya itu
berasal dari raja. Raja sebagai pemilik tanah-tanah luas terbentang di wilayah kerajaannya .

Feodalisme juga dapat diartikan sebagai sistem pemerintahan yang dipegang oleh seorang
pemimpin dan mayoritas bangsawan, kekuasaan muthlak berada dibawah kuasa mereka dan 
memiliki bawahan yang juga masih dari kalangan bangsawan juga tetapi lebih rendah dan biasa
disebut vasal dan jumlah bawahan tersebut banyak. Para vasal ini wajib membayar upeti kepada
tuan mereka. Sedangkan para vasal pada gilirannya ini juga mempunyai anak buah dan abdi-abdi
mereka sendiri yang memberi mereka upeti.

Masyarakat feodal menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian, dari hal tersebut membuat para
pemilik tanah sebagai pihak yang berkuasa dan menempati lapisan atas struktur masyarakat atas
dukungan petani lapisan terbawah. Di lapisan tengah terdapat pegawai kaum feodal dan pedagang.
Karena itulah tanah menjadi faktor produksi utama dan dapat disimpulkan bahwa yang menjadi inti
pembahasan dari feodalisme adalah Tanah menjadi sumber kekuasaan bagi para tuan feudal yang
memegang peranan penting pada zamannya. Seseorang dikatakan memiliki kekuasaan bila orang
tersebut memiliki modal utama berupa tanah yang kemudian berkembang menjadi wilayah. Sejarah
feodalisme adalah sejarah peradaban manusia itu sendiri, dimana manusia dari awalnya sudah
haus akan kekuasaan dan kedudukan.
Tenaga Kerja
Yang dimaksud dengan faktor produksi tenaga kerja ialah sesuatu yang
mengelola sumber daya alam tersebut dengan menggunakan tenaga dari
manusia atau biasa disebut dengan sumber daya manusia. Dalam faktor ini
ada pengelompokkan tersendiri bagi tenaga kerja yaitu berdasarkan sifatnya
dan kemampuan atau kualitasnya.

 Berdasarkan sifatnya, tenaga kerja terbagi menjadi dua, (1) tenaga


kerja jasmani, dimana seluruh kegiatan atau aktivitas pekerjaan yang
dilakukan lebih banyak menggunakan kekuatan fisik seperti: kuli
bangunan, tukang kuli cangkul sawah, tukang becak, buruh pengangkut
barang, dls. Dan (2) tenaga kerja rohani dimana kegiatan yang
dilakukan lebih banyak menggunakan otak atau pikiran seperti: direktur,
guru, penulis, pengacara, dls.
 Berdasarkan kualitas atau kemampuannya, tenaga kerja terbagi
menjadi tiga, yaitu (1) tenaga kerja terdidik, dimana tenaga kerjanya
membutuhkan pendidikan yang sesuai seperti profesi dokter, guru,
bidan, dosen,dls. (2) terampil dimana tenaga kerja yang dibutuhkan
mengharuskan pengalaman, skill, terlatih dan biasanya mengikuti
kursus sebelumnya seperti contoh: penjahit, tukang rias, tukang las,
tukang pembuat kue dls. Dan (3) tidak terdidik dan tidak terampil yang
biasa disebut tenaga kerja kasar dimana tidak membutuhkan
keterampilan atau pendidikan khusus seperti contoh tukang penjual
koran, pemulung, tukang cangkul dls.
Faktor modal
  

Modal adalah kekayaan yang memberikan penghasilan kepada pemiliknya. Ilmu ekonomi
sekuler yang di pelopori Adam Smith (Kapitalisme) memandang modal dalam dua aspek, yaitu:
a.       Modal yang menghasilkan barang-barang atau menambah manfaat barang barang sehingga
dapat langsung di konsumsi atau di pakai dalam produksi. Modal seperti ini di sebut modal
produktif
b.      Modal yang memberi penghasilan kepada pemiliknya setelah modal itu di pergubnakan oleh
orang lain dengan menarik keuntungan. Modal seperti ini bisa di sebut dengan modal individu
atau modal pemberi keuntungan.
Modal yang menambah kekayaan masyarakat adalah modal produktif. Modal ini masuk
dalam kategori modal jenis pertama atau dalam bahasa ekonomi disebut dengan modal
masyarakat.
Sistem ekonomi dunia memandang secara berbeda mengenai keberadaan modal ini dalam
aktivitas produksi. Dalam sistem kapitalis, modal bisa dimiliki oleh individu-individu dan bisa
juga menjadi milik umum, sedangkan pemerintah sebagai wakil masyarakat dalam menggunakan
dan memutar harta umum. Sementara itu dalam sistem sosialis dan komunis hak milik adalah
milik semua orang.
Di dalam sistem islam modal (sebagai hak milik) adalah amanah dari Allah yang wajib di
kelola secara baik. Manusia atau para pengusaha hanya di amanahi oleh Allah untuk mengelola
harta atau modal itu sehingga modal itu dapat berkembang. Terhadap perlakuan modal sebagai
salah satu faktor produksi, islam memiliki terapi sebagai berikut:
       Islam mengharamkan penimbunan dan menyuruh membelanjakanya, juga islam menyuruh harta
yang belum produktif segera di putar, jangan sampai termakan oleh zakat.
       Disamping islam mengizinkan hak milik atas modal, islam mengajarkan untuk berusaha dengan
cara-cara lain agar modal tersebut jangan sampai terpusat pada beberapa tangan saja.
       Islam mengharamkan peminjaman modal dengan cara menarik bunga.
       Islam mengharamkan penguasaan dan kepemilikan modal selain dengan cara-cara yang
diinginkan syariah, seperti: kerja, hasil akad jual beli, hasil pembelian, wasiat dan waris.
       Islam mewajibkan zakat atas harta simpanan atau harta produktif dalam bentuk dagang pada
setiap ulang tahun.
       Tidak boleh menggunakan modal dalam produksi secara boros.
Jadi sistem ekonomi islam harus bebas dari bunga dalam hal modal. Dalam sistem itu
bungan tidak diperkenalkan memainkan pengaruhnya yang merugikan pekerja, produksi dan
distribusi.dengan alasan inilah modal telah menduduki tempat yang khusus dalam ilmu ekonomi
islam. Dalam hal ini kita cenderung menganggap modal - sarana produksi yang menghasilkan -
tidak sebagai faktor produksi pokok melainkan sebagai suatu perwujudan tanah dan tenaga kerja
sesudahnya.
Islam menyetujui dua pembentukan modal yang berlawanan yaitu konsumsi sekarang yang
berkurang dan konsumsi mendatang yang bertambah. Dengan demikian memungkinkan modal
memainkan peranan yang sesungguhnya dalam proses produksi.

Anda mungkin juga menyukai