3. Patofisiologi
Otak sangat tergantung kepada oksigen, bila terjadi anoksia seperti yang terjadi
pada stroke di otak mengalami perubahan metabolik, kematian sel dan kerusakan
permanen yang terjadi dalam 3 sampai dengan 10 menit (non aktif total). Pembuluh
darah yang paling sering terkena ialah arteri serebral dan arteri karotis Interna.
Adanya gangguan peredaran darah otak dapat menimbulkan jejas atau cedera pada
otak melalui empat mekanisme, yaitu :
a. Penebalan dinding arteri serebral yang menimbulkan penyempitan sehingga
aliran darah dan suplainya ke sebagian otak tidak adekuat, selanjutnya akan
mengakibatkan perubahan-perubahan iskemik otak.
b. Pecahnya dinding arteri serebral akan menyebabkan bocornya darah ke
kejaringan (hemorrhage).
c. Pembesaran sebuah atau sekelompok pembuluh darah yang menekan jaringan
otak.
d. Edema serebri yang merupakan pengumpulan cairan di ruang interstitial jaringan
otak.
Konstriksi lokal sebuah arteri mula-mula menyebabkan sedikit perubahan pada
aliran darah dan baru setelah stenosis cukup hebat dan melampaui batas kritis terjadi
pengurangan darah secara drastis dan cepat. Oklusi suatu arteri otak akan
menimbulkan reduksi suatu area dimana jaringan otak normal sekitarnya yang masih
mempunyai pendarahan yang baik berusaha membantu suplai darah melalui jalur-
jalur anastomosis yang ada. Perubahan awal yang terjadi pada korteks akibat oklusi
pembuluh darah adalah gelapnya warna darah vena, penurunan kecepatan aliran darah
dan sedikit dilatasi arteri serta arteriole. Selanjutnya akan terjadi edema pada daerah
ini. Selama berlangsungnya perisriwa ini, otoregulasi sudah tidak berfungsi sehingga
aliran darah mengikuti secara pasif segala perubahan tekanan darah arteri..
Berkurangnya aliran darah serebral sampai ambang tertentu akan memulai
serangkaian gangguan fungsi neural dan terjadi kerusakan jaringan secara permanen.
6. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penyakit stroke menurut Smeltzer & Bare
(2002) adalah:
a. Hipoksia serebral, diminimalkan dengan memberi oksigenasi darah adekuat ke
otak. Fungsi otak bergantung pada ketersediaan oksigen yang dikirimkan ke
jaringan. Pemberian oksigen suplemen dan mempertahankan hemoglobin serta
hematokrit pada tingkat dapat diterima akan membantu dalam mempertahankan
oksigenasi jaringan.
b. Penurunan aliran darah serebral, bergantung pada tekanan darah, curah jantung,
dan integritas pembuluh darah serebral. Hidrasi adekuat (cairan intrvena) harus
menjamin penurunan viskositas darah dan memperbaiki aliran darah serebral.
Hipertensi dan hipotensi ekstrim perlu dihindari untuk mencegah perubahan pada
aliran darah serebral dan potensi meluasnya area cedera.
c. Embolisme serebral, dapat terjadi setelah infark miokard atau fibrilasi atrium atau
dapat berasal dari katup jantung prostetik. Embolisme akan menurunkan aliran
darah ke otak dan selanjutnya akan menurunkan aliran darah serebral. Disritmia
dapat mengakibatkan curah jantung tidak konsisten dan penghentian trombus
lokal. Selain itu, disritmia dapat menyebabkan embolus serebral dan harus
diperbaiki.
7. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut (Doenges dkk, 1999) pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan pada
penyakit stroke adalah:
a. Angiografi serebral: membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik
seperti perdarahan, obstruksi arteri atau adanya titik oklusi/ ruptur.
b. CT-scan: memperhatikan adanya edema, hematoma, iskemia, dan adanya infark.
c. Pungsi lumbal: menunjukkan adanya tekanan normal dan biasanya ada
thrombosis, emboli serebral, dan TIA (Transient Ischaemia Attack) atau serangan
iskemia otak sepintas. Tekanan meningkat dan cairan yang mengandung darah
menunjukkan adanya hemoragik subarakhnoid atau perdarahan intra kranial.
Kadar protein total meningkat pada kasus thrombosis sehubungan dengan adanya
proses inflamasi.
d. MRI (Magnetic Resonance Imaging): menunjukkan daerah yang mengalami
infark, hemoragik, dan malformasi arteriovena.
e. Ultrasonografi Doppler: mengidentifikasi penyakit arteriovena.
f. EEG (Electroencephalography): mengidentifikasi penyakit didasarkan pada
gelombang otak dan mungkin memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.
g. Sinar X: menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah yang
berlawanan dari massa yang meluas, kalsifikasi karotis interna terdapat pada
thrombosis serebral.
8. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1) Pengkajian primer
Airway: pengkajian mengenai kepatenan jalan. Kaji adanya obstruksi
pada jalan napas karena dahak, lendir pada hidung, atau yang lain.
Breathing: kaji adanya dispneu, kaji pola pernapasan yang tidak
teratur, kedalaman napas, frekuensi pernapasan, ekspansi paru,
pengembangan dada.
Circulation: meliputi pengkajian volume darah dan kardiac output
serta perdarahan. Pengkajian ini meliputi tingkat kesadaran, warna
kulit, nadi, dan adanya perdarahan.
Disability: yang dinilai adalah tingkat kesadran serta ukutan dan reaksi
pupil.
Exposure/ kontrol lingkungan: penderita harus dibuka seluruh
pakaiannya.
2) Pengkajian sekunder
Pengkajian sekunder adalah pemeriksaan kepala sampai kaki (head to toe)
termasuk reevaluasi pemeriksaan TTV.
Anamnesis
Setiap pemeriksaan yang lengkap memerlukan anamnesis mengenai
riwayat perlukaan. Riwayat “AMPLE” (alergi, medikasi, past illness,
last meal, event/environment) perlu diingat.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dimulai dengan evaluasi kepala akan adanya luka,
kontusio atau fraktuf. Pemeriksaan maksilofasialis, vertebra sevikalis,
thoraks, abdomen, perineum, muskuloskeletal dan pemeriksaan
neurologis juga harus dilakukan dalam secondary survey.
Reevaluasi
Monitoring tanda vital dan haluaran urin penting dilakukan.
Tambahan pada secondary survev
Selama secondary survey, mungkin akan dilakukan pemeriksaan
diagnostik yang lebih spesifik seperti foto tambahan dari tulang
belakang serta ekstremitas, CT-Scan kepala, dada, abdomen dan
prosedur diagnostik lain.
b. Kesadaran
Tingkat kesadaran pasien tergantung dari berat ringannya cedera kepala, ada atau
tidaknya amnesia retrograt, mual dan muntah.
c. Kerusakan jaringan otak
Manifestasi klinik kerusakan jaringan otak bervariasi tergantung dariu cedera
kepala. Untuk melihat adanya kerusakan cedera kepala perlu dilakukan
pemeriksaan CT scan atau MRI.
7. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi pada cedera kepala diantaranya :
Defisitnya neurologi fokal
Kejang
Pneumonia
Perdarahan gastrointestinal
Disritmia jantung
Hidrosefalus
Kerusakan kontrol respirasi
Inkontinensia bladder atau bowel
b) Operasi
Dilakukan untuk mengeluarkan darah pada intraserebral, debridemen luka,
kranioplasti, prosedur shunting pada hidrocepalus, kraniotomi.
c) Pengobatan
Diuretik : untuk mengurangi edema serebral misalnya manitol 20%, furosemid (lasic).
Antikonvulsan : untuk menghentikan kejang misalnya dengan dilantin, tegretol, valium
Kortokosteroid : untuk menghambat pembentukan edema misalnya dengan dexametason.
Antagonis histamin : mencegah terjadinya iritasi lambung karena hipersekresi akibat efek
trauma kepala misalnya dengan cemetidin, ranitidin.
Antibiotik jika terjadi luka yang besar.
10. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1) Pengkajian Primer
Adapun data pengkajian primer menurut Rab, Tabrani. 2007 :
Airway
Ada tidaknya sumbatan jalan nafas
Breathing
Ada tidaknya dispnea, takipnea, bradipnea, sesak, kedalaman nafas.
Circulation
Ada tidaknya peningkatan tekanan darah, takikardi, bradikardi,
sianosis, capilarrefil.
Disability
Ada tidaknya penurunan kesadaran, kehilangan sensasi dan refleks,
pupil anisokor dan nilai GCS. Menurut Arif Mansjoer. Et all.
2000 penilaian GCS beerdasarkan pada tingkat keparahan cidera :
- Cidera kepala ringan/minor (kelompok resiko rendah)
Skor skala koma Glasglow 15 (sadar penuh,atentif,dan
orientatif)
Tidak ada kehilangan kesadaran(misalnya konkusi)
Tidak ada intoksikasi alkohaolatau obat terlarang
Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
Pasien dapat menderita abrasi,laserasi,atau hematoma kulit
kepala
Tidak adanya kriteria cedera sedang-berat.
- Cidera kepala sedang (kelompok resiko sedang)
Skor skala koma glasgow 9-14 (konfusi, letargi atau stupor)
Konkusi
Amnesia pasca trauma
Muntah
Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle,mata
rabun,hemotimpanum,otorhea atau rinorhea cairan
serebrospinal).
- Cidera kepala berat (kelompok resiko berat)
Skor skala koma glasglow 3-8 (koma)
Penurunan derajat kesadaran secara progresif
Tanda neurologis fokal
Cidera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresikranium.
Exposure of extermitas
Ada tidaknya peningkatan suhu, ruangan yang cukup hangat.
Breathing
Bantuan napas dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat. Apabila
tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah yang memadai. Jika
penguasaan jalan napas belum dapat memberikan oksigenasi yang
adekuat, bila memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi
endotrakheal1,3,5,6,7,8.
Circulation
Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat
kesadaran dan denyut nadi Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah
mencari ada tidaknya perdarahan eksternal, menilai warna serta
temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah. Denyut nadi perifer yang
teratur, penuh, dan lambat biasanya menunjukkan status sirkulasi yang
relatif normovolemik.
Dissability
Melihat secara keseluruhan kemampuan pasien diantaranya kesadaran
pasien.
Exposure
Melihat secara keseluruhan keadaan pasien. Pasien dalam keadaan sadar
(GCS 15) dengan :Simple head injury bila tanpa deficit neurology
o Dilakukan rawat luka
o Pemeriksaan radiology
o Pasien dipulangkan dan keluarga diminta untuk observasi bila
terjadi penurunan kesadaran segera bawa ke rumah sakit
5) Konstipasi berhubungan dengan adanya atoni usus sebagai akibat gangguan
autonomik.
Tujuan : Memperbaiki fungsi usus
Kriteria hasil : Pasien bebas konstipasi, keadaan feses yang lembek,
berbentuk.
Rencana tindakan
kaji pola eliminasi bowel
Rasional : Menentukan adanya perubahan eliminasi
Berikan diet tinggi serat
Rasional : Serat meningkatkan konsistensi feses
Berikan minum 1800 – 2000 ml/hari jika tidak ada kontraindikasi
Rasional : Mencegah konstipasi
Auskultasi bising usus, kaji adanya distensi abdomen
Rasional : Bising usus menentukan pergerakan perstaltik
Hindari penggunaan laktasif oral
Rasional : Kebiasaan menggunakan laktasif akan tejadi ketergantungan
Lakukan mobilisasi jika memungkinkan
Rasional : Meningkatkan pergerakan peritaltik
Berikan suppositoria sesuai program
Rasional : Pelunak feses sehingga memudahkan eliminasi
Evaluasi dan catat adanya perdarah pada saat eliminasi
Rasional : Kemungkinan perdarahan akibat iritasi penggunaan suppositoria
6) Nyeri yang berhubungan dengan pengobatan immobilitas lama, cedera psikis
dan alat traksi
Tujuan : Memberikan rasa nyaman
Kriteria hasil : Melaporkan penurunan rasa nyeri /ketidak nyaman,
mengidentifikasikan cara-cara untuk mengatasi nyeri, mendemonstrasikan
penggunaan keterampilan relaksasi dan aktifitas hiburan sesuai kebutuhan
individu.
Rencana tindakan
Kaji terhadap adanya nyeri, bantu pasien mengidentifikasi dan
menghitung nyeri, misalnya lokasi, tipe nyeri, intensitas pada skala 0 –
1-
Rasional : Pasien biasanya melaporkan nyeri diatas tingkat cedera
misalnya dada / punggung atau kemungkinan sakit kepala dari alat
stabilizer
Berikan tindakan kenyamanan, misalnya, perubahan posisi, masase,
kompres hangat / dingin sesuai indikasi.
Rasional : Tindakan alternatif mengontrol nyeri digunakan untuk
keuntungan emosionlan, selain menurunkan kebutuhan otot nyeri /
efek tak diinginkan pada fungsi pernafasan.
Dorong penggunaan teknik relaksasi, misalnya, pedoman imajinasi
visualisasi, latihan nafas dalam.
Rasioanl : Memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa
kontrol, dan dapat meningkatkan kemampuan koping
Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi, relaksasi otot, misalnya
dontren (dantrium); analgetik; antiansietis.misalnya diazepam (valium)
Rasional : Dibutuhkan untuk menghilangkan spasme /nyeri otot atau
untuk menghilangkan-ansietas dan meningkatkan istrirahat.