Anda di halaman 1dari 39

Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Pada Sistem Persyarafan

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARARURAT PADA SISTEM PERSYARAFAN


A.    ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA STROKE
1.      Pengertian
Stroke adalah gangguan neurologik fokal yang dapat timbul sekunder dari suatu
proses patologi pada pembuluh darah (Pricedan Wilson).
Stroke adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan berhentinya suplai darah
kebagian otak (bruner dan suddarth, 2000 : 2123).
Stroke adalah gangguan yang mempengaruhi aliran darah keotak dan mengakibatkan
deficit neurologik (lewis, etc, 2000 : 1645).
Stroke non hemorogik adalah bila gangguan peredaran darah otak ini berlangsung
sementara, beberapa detik hingga beberapa jam (kebanyakan 10 - 20 menit) tapi
kurang dari 24jam.(AriefInansjoer, 2000 : 17).
Stroke non hemorogik adalah penyakit atau kelainan dan penyakit pembuluh darah
otak, yang mendasari terjadinya stoke misalnya arteriosclerosis otak, aneurisma,
angioma pembuluh darah otak. (dr. Harsono, 1996: 25).
Stroke non hemorogik adalah penyakit yang mendominasi kelompok usia menengah
dan dewasa tua yang kebanyakan berkaitan erat dengan kejadian arterosklerosis
(trombosis) dan penyakit jantung (emboli) yang dicetus oleh adanya faktor
predisposisi hipertensi (Satyanegara, 1998 : 179).
2.      Etiologi
Menurut Smeltzer & Bare (2002) stroke biasanya diakibatkan dari salah satu empat
kejadian yaitu:
a.       Thrombosis yaitu bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher.
b.      Embolisme serebral yaitu bekuan darah atau material lain yang di bawa ke otak
dari bagian tubuh yang lain.
c.       Iskemia yaitu penurunan aliran darah ke area otak
d.      Hemoragi serebral yaitu pecahnya pembuluh darah serebral dengan perdarahan ke
dalam jaringan otak atau ruang sekitar otak.
Akibat dari keempat kejadian diatas maka terjadi penghentian suplai darah ke
otak, yang menyebabkan kehilangan sementara atau permanen gerakan, berpikir,
memori, bicara, atau sensasi.
Faktor resiko terjadinya stroke menurut Mansjoer (2000) adalah:
a.       Yang tidak dapat diubah: usia, jenis kelamin, ras, riwayat keluarga, riwayat
stroke, penyakit jantung koroner, dan fibrilasi atrium.
b.      Yang dapat diubah: hipertensi, diabetes mellitus, merokok, penyalahgunaan
alkohol dan obat, kontrasepsi oral, dan hematokrit meningkat.

3.      Patofisiologi
Otak sangat tergantung kepada oksigen, bila terjadi anoksia seperti yang terjadi
pada stroke di otak mengalami perubahan metabolik, kematian sel dan kerusakan
permanen yang terjadi dalam 3 sampai dengan 10 menit (non aktif total). Pembuluh
darah yang paling sering terkena ialah arteri serebral dan arteri karotis Interna.
Adanya gangguan peredaran darah otak dapat menimbulkan jejas atau cedera pada
otak melalui empat mekanisme, yaitu :
a.       Penebalan dinding arteri serebral yang menimbulkan penyempitan sehingga
aliran darah dan suplainya ke sebagian otak tidak adekuat, selanjutnya akan
mengakibatkan perubahan-perubahan iskemik otak.
b.      Pecahnya dinding arteri serebral akan menyebabkan bocornya darah ke
kejaringan (hemorrhage).
c.       Pembesaran sebuah atau sekelompok pembuluh darah yang menekan jaringan
otak.
d.      Edema serebri yang merupakan pengumpulan cairan di ruang interstitial jaringan
otak.
Konstriksi lokal sebuah arteri mula-mula menyebabkan sedikit perubahan pada
aliran darah dan baru setelah stenosis cukup hebat dan melampaui batas kritis terjadi
pengurangan darah secara drastis dan cepat. Oklusi suatu arteri otak akan
menimbulkan reduksi suatu area dimana jaringan otak normal sekitarnya yang masih
mempunyai pendarahan yang baik berusaha membantu suplai darah melalui jalur-
jalur anastomosis yang ada. Perubahan awal yang terjadi pada korteks akibat oklusi
pembuluh darah adalah gelapnya warna darah vena, penurunan kecepatan aliran darah
dan sedikit dilatasi arteri serta arteriole. Selanjutnya akan terjadi edema pada daerah
ini. Selama berlangsungnya perisriwa ini, otoregulasi sudah tidak berfungsi sehingga
aliran darah mengikuti secara pasif segala perubahan tekanan darah arteri..
Berkurangnya aliran darah serebral sampai ambang tertentu akan memulai
serangkaian gangguan fungsi neural dan terjadi kerusakan jaringan secara permanen.

4.      Manifestasi Klinik


Menurut Smeltzer & Bare (2002) dan Price & Wilson (2006) tanda dan gejala
penyakit stroke adalah kelemahan atau kelumpuhan lengan atau tungkai atau salah
satu sisi tubuh, hilangnya sebagian penglihatan atau pendengaran, penglihatan ganda
atau kesulitan melihat pada satu atau kedua mata, pusing dan pingsan, nyeri kepala
mendadak tanpa kausa yang jelas, bicara tidak jelas (pelo), sulit memikirkan atau
mengucapkan kata-kata yang tepat, tidak mampu mengenali bagian dari tubuh,
ketidakseimbangan dan terjatuh dan hilangnya pengendalian terhadap kandung
kemih.
5.      Penatalaksaan Medis
Penatalaksaan medis menurut menurut Smeltzer & Bare (2002) meliputi:
a.       Diuretik untuk menurunkan edema serebral yang mencapai tingkat maksimum 3
sampai 5 hari setelah infark serebral.
b.      Antikoagulan untuk mencegah terjadinya thrombosis atau embolisasi dari tempat
lain dalam sistem kardiovaskuler.
c.       Antitrombosit karena trombosit memainkan peran sangat penting dalam
pembentukan thrombus dan embolisasi.

6.      Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penyakit stroke menurut Smeltzer & Bare
(2002) adalah:
a.       Hipoksia serebral, diminimalkan dengan memberi oksigenasi darah adekuat ke
otak. Fungsi otak bergantung pada ketersediaan oksigen yang dikirimkan ke
jaringan. Pemberian oksigen suplemen dan mempertahankan hemoglobin serta
hematokrit pada tingkat dapat diterima akan membantu dalam mempertahankan
oksigenasi jaringan.
b.      Penurunan aliran darah serebral, bergantung pada tekanan darah, curah jantung,
dan integritas pembuluh darah serebral. Hidrasi adekuat (cairan intrvena) harus
menjamin penurunan viskositas darah dan memperbaiki aliran darah serebral.
Hipertensi dan hipotensi ekstrim perlu dihindari untuk mencegah perubahan pada
aliran darah serebral dan potensi meluasnya area cedera.
c.       Embolisme serebral, dapat terjadi setelah infark miokard atau fibrilasi atrium atau
dapat berasal dari katup jantung prostetik. Embolisme akan menurunkan aliran
darah ke otak dan selanjutnya akan menurunkan aliran darah serebral. Disritmia
dapat mengakibatkan curah jantung tidak konsisten dan penghentian trombus
lokal. Selain itu, disritmia dapat menyebabkan embolus serebral dan harus
diperbaiki.
7.      Pemeriksaan Diagnostik
Menurut (Doenges dkk, 1999) pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan pada
penyakit stroke adalah:
a.       Angiografi serebral: membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik
seperti perdarahan, obstruksi arteri atau adanya titik oklusi/ ruptur.
b.      CT-scan: memperhatikan adanya edema, hematoma, iskemia, dan adanya infark.
c.       Pungsi lumbal: menunjukkan adanya tekanan normal dan biasanya ada
thrombosis, emboli serebral, dan TIA (Transient Ischaemia Attack) atau serangan
iskemia otak sepintas. Tekanan meningkat dan cairan yang mengandung darah
menunjukkan adanya hemoragik subarakhnoid atau perdarahan intra kranial.
Kadar protein total meningkat pada kasus thrombosis sehubungan dengan adanya
proses inflamasi.
d.      MRI (Magnetic Resonance Imaging): menunjukkan daerah yang mengalami
infark, hemoragik, dan malformasi arteriovena.
e.       Ultrasonografi Doppler: mengidentifikasi penyakit arteriovena.
f.       EEG (Electroencephalography): mengidentifikasi penyakit didasarkan pada
gelombang otak dan mungkin memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.
g.      Sinar X: menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah yang
berlawanan dari massa yang meluas, kalsifikasi karotis interna terdapat pada
thrombosis serebral.
8.      Asuhan Keperawatan
a.      Pengkajian
1)      Pengkajian primer
         Airway: pengkajian mengenai kepatenan jalan. Kaji adanya obstruksi
pada jalan napas karena dahak, lendir pada hidung, atau yang lain.
         Breathing: kaji adanya dispneu, kaji pola pernapasan yang tidak
teratur, kedalaman napas, frekuensi pernapasan, ekspansi paru,
pengembangan dada.
         Circulation: meliputi pengkajian volume darah dan kardiac output
serta perdarahan. Pengkajian ini meliputi tingkat kesadaran, warna
kulit, nadi, dan adanya perdarahan.
       Disability: yang dinilai adalah tingkat kesadran serta ukutan dan reaksi
pupil.
       Exposure/ kontrol lingkungan: penderita harus dibuka seluruh
pakaiannya.
2)      Pengkajian sekunder
Pengkajian sekunder adalah pemeriksaan kepala sampai kaki (head to toe)
termasuk reevaluasi pemeriksaan TTV.

       Anamnesis
Setiap pemeriksaan yang lengkap memerlukan anamnesis mengenai
riwayat perlukaan. Riwayat “AMPLE” (alergi, medikasi, past illness,
last meal, event/environment) perlu diingat.
       Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dimulai dengan evaluasi kepala akan adanya luka,
kontusio atau fraktuf. Pemeriksaan maksilofasialis, vertebra sevikalis,
thoraks, abdomen, perineum, muskuloskeletal dan pemeriksaan
neurologis juga harus dilakukan dalam secondary survey.
       Reevaluasi
Monitoring tanda vital dan haluaran urin penting dilakukan.
       Tambahan pada secondary survev
Selama secondary survey, mungkin akan dilakukan pemeriksaan
diagnostik yang lebih spesifik seperti foto tambahan dari tulang
belakang serta ekstremitas, CT-Scan kepala, dada, abdomen dan
prosedur diagnostik lain.

b.      Diagnosa Keperawatan dan Intervensi


1)      Diagnosa keperawatan pertama: perubahan perfusi jaringan serebral
berhubungan dengan oedema serebral.
Tujuan; kesadaran penuh, tidak gelisah
Kriteria hasil tingkat kesadaran membaik, tanda-tanda vital stabil tidak ada
tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial.
Intervensi;
       Pantau/catat status neurologis secara teratur dengan skala koma
glascow
Rasional: Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran.
      Pantau tanda-tanda vital terutama tekanan darah
Rasional: autoregulasi mempertahankan aliran darah otak yang
konstan.
      Pertahankan keadaan tirah baring.
Rasional: aktivitas/ stimulasi yang kontinu dapat meningkatkan
Tekanan Intra Kranial (TIK).
       Letakkan kepala dengan posisi agak ditinggikkan dan dalam posisi
anatomis (netral).
Rasional: menurunkan tekanan arteri dengan meningkatkan drainase
dan meningkatkan sirkulasi/ perfusi serebral.
       Berikan obat sesuai indikasi: contohnya antikoagulan (heparin)
Rasional: meningkatkan/ memperbaiki aliran darah serebral dan
selanjutnya dapat mencegah pembekuan..
2)      Diagnosa keperawatan kedua: kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan
kelemahan.
Tujuan; dapat melakukan aktivitas secara minimum
Kriteria hasil mempertahankan posisi yang optimal, meningkatkan kekuatan
dan fungsi bagian tubuh yang terkena, mendemonstrasikan perilaku yang
memungkinkan aktivitas.
Intervensi;
 Kaji kemampuan klien dalam melakukan aktifitas
Rasional: mengidentifikasi kelemahan/ kekuatan dan dapat
memberikan informasi bagi pemulihan
 Ubah posisi minimal setiap 2 jam (telentang, miring)
Rasional: menurunkan resiko terjadinya trauma/ iskemia
jaringan.
 Mulailah melakukan latihan rentang gerak aktif dan pasif pada
semua ekstremitas
Rasional: meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi,
membantu mencegah kontraktur.
 Anjurkan pasien untuk membantu pergerakan dan latihan dengan
menggunakan ekstremitas yang tidak sakit.
Rasional: dapat berespons dengan baik jika daerah yang sakit
tidak menjadi lebih terganggu.
 Konsultasikan dengan ahli fisioterapi secara aktif, latihan resistif,
dan ambulasi pasien.
Rasional: program khusus dapat dikembangkan untuk
menemukan kebutuhan yang berarti/ menjaga kekurangan tersebut
dalam keseimbangan, koordinasi, dan kekuatan.

3)      Diagnosa keperawatan ketiga: kerusakan komunikasi verbal berhubungan


dengan kerusakan neuromuskuler.
Tujuan; dapat berkomunikasi sesuai dengan keadaannya.
Kriteria hasil; Klien dapat mengemukakan bahasa isyarat dengan tepat, terjadi
kesapahaman bahasa antara klien, perawat dan keluarga
Intervensi;
 Kaji tingkat kemampuan klien dalam berkomunikasi
Rasional: Perubahan dalam isi kognitif dan bicara merupakan
indikator dari derajat gangguan serebral
 Minta klien untuk mengikuti perintah sederhana
Rasional: melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan
sensorik
 Tunjukkan objek dan minta pasien menyebutkan nama benda
tersebut
Rasional: Melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan
motorik
 Ajarkan klien tekhnik berkomunikasi non verbal (bahasa isyarat)
Rasional: bahasa isyarat dapat membantu untuk
menyampaikan isi pesan yang dimaksud
 Konsultasikan dengan/ rujuk kepada ahli terapi wicara.
Rasional: untuk mengidentifikasi kekurangan/ kebutuhan
terapi.

4)      Diagnosa keperawatan keempat: perubahan sensori persepsi berhubungan


dengan stress psikologis.
Tujuan; tidak ada perubahan perubahan persepsi.
Kriteria hasil mempertahankan tingkat kesadarann dan fungsi perseptual,
mengakui perubahan dalam kemampuan.
Intervensi;
 Kaji kesadaran sensorik seperti membedakan panas/ dingin, tajam/
tumpul, rasa persendian.
Rasional: penurunan kesadaran terhadap sensorik dan
kerusakan perasaan kinetic berpengaruh buruk terhadap
keseimbangan.
 Catat terhadap tidak adanya perhatian pada bagian tubuh
Rasional: adanya agnosia (kehilangan pemahaman terhadap
pendengaran, penglihatan, atau sensasi yang lain)
 Berikan stimulasi terhadap rasa sentuhan seperti berikan pasien
suatu benda untuk menyentuh dan meraba.
Rasional: membantu melatih kembali jaras sensorik untuk
mengintegrasikan persepsi dan interprestasi stimulasi.
 Anjurkan pasien untuk mengamati kakinya bila perlu dan
menyadari posisi bagian tubuh tertentu.\
Rasional: penggunaan stimulasi penglihatan dan sentuhan
membantu dalam mengintergrasikan kembali sisi yang sakit.
 Bicara dengan tenang dan perlahan dengan menggunakan kalimat
yang pendek.
Rasional: pasien mungkin mengalami keterbatasan dalam rentang
perhatian atau masalah pemahaman.

5)      Diagnosa keperawatan kelima: kurang perawatan diri berhubungan dengan


kerusakan neuromuskuler, penurunan kekuatan dan ketahanan, kehilangan
kontrol/ koordinasi otot
Tujuan; kebutuhan perawatan diri klien terpenuhi
Kriteria hasil klien bersih dan klien dapat melakukan kegiatan personal
hygiene secara minimal
Intervensi;
 Kaji kemampuan klien dan keluarga dalam perawatan diri.
Rasional: Jika klien tidak mampu perawatan diri perawat dan
keluarga membantu dalam perawatan diri
 Bantu klien dalam personal hygiene.
Rasional: Klien terlihat bersih dan rapi dan memberi rasa nyaman
pada klien
 Rapikan klien jika klien terlihat berantakan dan ganti pakaian klien
setiap hari
Rasional: Memberi kesan yang indah dan klien tetap terlihat rapi
 Libatkan keluarga dalam melakukan personal hygiene
Rasional: ukungan keluarga sangat dibutuhkan dalam program
peningkatan aktivitas klien
 Konsultasikan dengan ahli fisioterapi/ ahli terapi okupasi
Rasional: memberikan bantuan yang mantap untuk
mengembangkan rencana terapi dan

6)      Diagnosa keperawatan keenam: gangguan harga diri berhubungan dengan


perubahan biofisik, psikososial, perseptual kognitif.
Tujuan; tidak terjadi gangguan harga diri
Kriteria hasil mau berkomunikasi dengan orang terdekat tentang situasi dan
perubahan yang terjadi, mengungkapkan penerimaan pada diri sendiri dalam
situasi.
Intervensi;
 Kaji luasnya gangguan persepsi dan hubungkan dengan derajat
ketidakmampuannya.
Rasional: penentuan faktor-faktor secara individu membantu
dalam mengembankan perencanaan asuhan/ pilihan intervensi.
 Bantu dan dorong kebiasaan berpakaian dan berdandan yang baik.
Rasional: membantu peningkatan rasa harga diri dan kontrol
atas salah satu bagian kehidupan.
 Berikan dukungan terhadap perilaku/ usaha seperti peningkatan
minat/ partisipasi dalam kegiatan rehabilitasi.
Rasional: mengisyaratkan kemampuan adaptasi untuk
mengubah dan memahami tentang peran diri sendiri dalam
kehidupan selanjutnya.
 Dorong orang terdekat agar member kesempatan pada melakukan
sebanyak mungkin untuk dirinya sendiri.
Rasional: membangun kembali rasa kemandirian dan menerima
kebanggan diri dan meningkatkan proses rehabilitasi.
 Rujuk pada evaluasi neuropsikologis dan/ atau konseling sesuai
kebutuhan.
Rasional: dapat memudahkan adaptasi terhadap perubahan
peran yang perlu untuk perasaan/ merasa menjadi orang yang
produktif.

7)      Diagnosa keperawatan ketujuh: resiko tinggi kerusakan menelan


berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler/ perseptual.
Tujuan; kerusakan dalam menelan tidak terjadi.
Kriteria hasil mendemonstrasikan metode makan tepat untuk situasi individual
dengan aspirasi tercegah, mempertahankan berat badan yang diinginkan.
Intervensi;
 Tinjau ulang patologi/ kemampuan menelan pasien secara
individual.
Rasional: intervensi nutrisi/ pilihan rute makan ditentukan
oleh faktor-faktor ini.
 Letakkan pasien pada posisi duduk/ tegak selama dan setelah
makan
Rasional: menggunakan gravitasi untuk memudahkan proses
menelan dan menurunkan resiko terjadinya aspirasi.
 Anjurkan pasien menggunakan sedotan untuk meminum cairan.
Rasional: menguatkan otot fasiel dan otot menelan dan
menurunkan resiko terjadinya aspirasi.
 Anjurkan untuk berpartisipasi dalam program latihan/ kegiatan.
Rasional: meningkatkan pelepasan endorphin dalam otak
yang meningkatkan perasaan senang dan meningkatkan nafsu
makan.
 Berikan cairan melalui intra vena dan/ atau makanan melalui
selang.
Rasional: memberikan cairan pengganti dan juga makanan
jika pasien tidak mampu untuk memasukkan segala sesuatu
melalui mulut.

8)      Diagnosa keperawatan ketujuh: kurang pengetahuan tentang kondisi dan


pengobatan berhubungan dengan Keterbatasan kognitif, kesalahan
interprestasi informasi, kurang mengingat
Tujuan; klien mengerti dan paham tentang penyakitnya
Kriteria hasil berpartisipasi dalam proses belajar
Intervensi;
 Kaji tingkat pengetahuan keluarga klien
Rasional: untuk mengetahui tingkat pengetahuan klien
 Berikan informasi terhadap pencegahan, faktor penyebab, serta
perawatan.
Rasional: untuk mendorong kepatuhan terhadap program
teraupetik dan meningkatkan pengetahuan keluarga klien
 Beri kesempatan kepada klien dan keluarga untuk menanyakan
hal- hal yang belum jelas.
Rasional: memberi kesempatan kepada orang tua dalam perawatan
anaknya
 Beri feed back/ umpan balik terhadap pertanyaan yang diajukan
oleh keluarga atau klien.\
Rasional: mengetahui tingkat pengetahuan dan pemahaman
klien atau keluarga
 Sarankan pasien menurunkan/ membatasi stimulasi lingkungan
terutama selama kegiatan berfikir
Rasional: stimulasi yang beragam dapat memperbesar
gangguan proses berfikir.

B.     ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA TRAUMA KEPALA


1.      Pengertian
Trauma kepala adalah suatu gangguan traumatic dari fungsi otak yang disertai
atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak.
Trauma kepala merupakan salah satu penyebab utama kecatatan dan kematian.
Lebih dari 50% trauma kepala disebabkan karena kecelakaan lalu lintas, selebihnya
disebabkan karena factor lain seperti terjatuh, terpukul, kecelakaan industry dan lain-
lain. (Daniel Tjen, 1999).
Trauma kepala meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan otak. Secara anatomis
otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit kepala, serta tulang dan tentorium
(helm) yang membungkusnya.
Berdasarkan GCS, trauma kepala atau cedera otak dapat dibagi menjadi 3 gradasi,
yaitu :
         Cedera kepala ringan/cedera otak ringan, bila GCS : 13-15
         Cedera kepala sedang/cedera otak sedang, bila GCS : 9-12
         Cedera kepala berat/cedera otak berat, bila GCS : kurang atau sama dengan 8.
2.      Etiologi
Trauma kepala dapat disebabkan karena kecelakaan lalu lintas, terjatuh,
kecelakaan industri, kecelakaan olahraga, luka pada persalinan.
3.      Mekanisme Cedera
Trauma kepala disebabkan karena adanya daya/kekuatan yang mendadak
dikepala. Ada 3 mekanisme yang berpengaruh dalam trauma kepala yaitu akselerasi,
deselerasi, dan deformitas.
         Akselerasi yaitu jika benda bergerak membentur kepala yang diam, misalnya
pada orang yang diam kemudian dipukul atau terlempar batu.
         Deselerasi yaitu jika kepala bergerak membentur benda yang diam misalnya
pada saat kepala terbentur.
         Deformitas yaitu perubahan atau kerusakan pada bagian tubuh yang terjadi
akibat trauma, misalnya adanya fraktur kepala, kompresi, ketegangan atau
pemotongan pada jaringan otak.
Pada saat terjadinya deselerasi ada kemungkinan terjadi rotasi kepala sehingga dapat
menambah kerusakan. Mekanisme cedera kepala dapat mengakibatkan kerusakan
pada daerah dekat benturan (kup) dan kerusakan pada daerah yang berlawanan
dengan benturan (kontra kup).
4.      Patofisiologi
Adanya trauma kepala dapat mengakibatkan gangguan atau kerusakan struktur
misalnya kerusakan pada parenkim otak, kerusakan pembuluh darah, perdarahan,
edema dan gangguan biokimia otak seperti penurunan adenosine tripospat dalam
mitokondria, perubahan permeabilitas vaskuler.
Patofisiologi trauma kepala dapat digolongkan menjadi 2 proses yaitu cedera
kepala otak primer dan cedera kepala otak sekunder. Cedera kepala otak primer
merupakan suatu proses biomekanik yang dapat terjadi secara langsung saat kepala
terbentur dan berdampak cedera jaringan otak. Cedera kepala sekunder terjadi akibat
cedera primer misalnya adanya hipoksia, iskemia, dan perdarahan.
Perdarah serebral menimbulkan hematoma, misalnya pada epidural hematoma,
yaitu berkumpulnya darah antara lapisan periosteum tengkorak dengan dura meter,
subdural hematoma diakibatkan berkumpulnya darah pada ruang antara dura meter
dengan subarahnoid dan intracerebral hematoma adalah berkumpunya darahpada
jaringan serebral.
Kematian pada trauma kepala banyak disebabkan karena hipotensi karena
gangguan pada autoregulasi. Ketika terjadi gangguan autoregulasi akan menimbulkan
hipoperfusi jaringan serebral dan berakhir pada iskemia jaringan otak. Karena otak
sangat sensitive terhadap oksigen dan glukosa.

5.      Klasifikasi Trauma Kepala


a)      Berdasarkan kerusakan jaringan otak
         Komosio serebri (gegar otak) : gangguan fungsi neurologi ringan tanpa
adanya kerusakan struktur otak, terjadi hilangnya kesadaran kurang dari
10 menit atau tanpa disertai amnesia, retrograde, mual, muntah, nyeri
kepala.
         Kontusio serebri (memar) :gangguan fungsi neurologi disertai kerusakan
jaringan otak tetapi kontinuitas otak masih utuh, hilangnya kesdaran lebih
dari 10 menit.
         Laserasio serebri : gangguan fungsi neurologi disertai kerusakan otak
yang berat dengan fraktur tengkorak terbuka. Massa otak terkelupas,
keluar dari rongga intracranial.

b)      Berdasarkan berat ringannya cedera kepala


         Cedera kepala ringan : jika GCS antara 15-13, dapat terjadi kehilangan
kesadaran kurang dari 30 menit, tidak terdapat fraktur tengkorak, kontusio
atau hematoma.
         Cedera kepala sedang : jika nilai GCS antara 9-12, hilang kesadaran
antara 30 menit sampai 24 jam, dapat disertai fraktur tengkorak,
disorientasi ringan.
         Cedera kepal berat : jika nilai GCS antara 3-8, hilang kesdaran lebih dari
24 jam, biasanya disertai kontusio, laserasi atau adanya hematoma, edema
serebral.
6.      Tanda dan Gejala
Secara umum tanda dan gejala pada trauma kepala meliputi ada atau tidaknya
fraktur tengkorak, tingkat kesadaran dan kerusakan jaringan otak.
a.       Fraktur tengkorak
Fraktur tengkorak dapat melukai pembuluh darah dan saraf-saraf otak, merobek
duramater yang mengakibatkan perembesan cairan serebrospinalis. Jika terjadi
fraktur tengkorak kemungkina yang terjadi adalah :
         Keluarnya cairan serebrospinalis atau cairan lain dari hidung (rhinorrhoe)
dan telinga (otorrhoe).
         Kerusakan saraf cranial
         Perdarah dibelakang membrane timpani
         Ekimosis pada periorbital.
Jika terjadi fraktur basiler, kemungkinan adanya gangguan pada saraf cranial
dan kerusakan bagian dalam telinga. Sehingga kemungkinan tanda dan gejalanya
adalah :
         Perubahan tajam penglihatan karena kerusakan nervus optikus.
         Kehilangan pendengaran karena kerusakan pada nervus auditorius.
         Dilatasi pupil dan hilangnya kemampuan pergerakan beberapa otot mata
karena kerusakan nervus okulomotorius.
         Paresis wajah karena kerusakan nervus fasialis
         Vertigo karena kerusakan otolith dalam telinga bagian dalam.
         Nistagmus karena kerusakan pada system vestibular
         Warna kebiruan dibelakang telinga diatas mastoid (Battle Sign).

b.      Kesadaran
Tingkat kesadaran pasien tergantung dari berat ringannya cedera kepala, ada atau
tidaknya amnesia retrograt, mual dan muntah.
c.       Kerusakan jaringan otak
Manifestasi klinik kerusakan jaringan otak bervariasi tergantung dariu cedera
kepala. Untuk melihat adanya kerusakan cedera kepala perlu dilakukan
pemeriksaan CT scan atau MRI.

7.      Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi pada cedera kepala diantaranya :
         Defisitnya neurologi fokal
         Kejang
         Pneumonia
         Perdarahan gastrointestinal
         Disritmia jantung
         Hidrosefalus
         Kerusakan kontrol respirasi
         Inkontinensia bladder atau bowel

8.      Test Diagnostik


 Foto tengkorak : mengetahui adanya fraktur tengkorak (simpel,
depresi, kommunit), fragmen tulang
 Foto servikal : mengetahui adanya fraktur servikal
 CT Scan : kemungkinan adanya subdural hematoma, intraserebral
hematoma, keadaan ventrikel.
 MRI : sama dengan CT Scan
 Serum alkohol :mendeteksi penggunaan alkohol sebelum cedera
kepala, dilakukan terutama pada cedera kepala akibat kecelakaan
lalu lintas.
 Serum obat : mengetahui penyalahgunaan obat sebelum cedera
kepala.
 Pemeriksaan obat dalam urine : mengetahui pemakaian obat
sebelum kejadian
 Serum human chorionic gonadotropin : mendeteksi kehamilan

9.      Penatalaksanaan Medik


a)      Penatalaksanaan Umum
 Monitor respirasi : bebaskan jalan napas, monitor keadaan ventilasi, periksa AGD,
berikan oksigen jika perlu.
 Monitor tekanan intrakranial (TIK)
 Atasi syok bila ada
 Kontrol tanda vital
 Keseimbangan cairan dan elektrolit

b)      Operasi
Dilakukan untuk mengeluarkan darah pada intraserebral, debridemen luka,
kranioplasti, prosedur shunting pada hidrocepalus, kraniotomi.

c)      Pengobatan
 Diuretik : untuk mengurangi edema serebral misalnya manitol 20%, furosemid (lasic).
 Antikonvulsan : untuk menghentikan kejang misalnya dengan dilantin, tegretol, valium
 Kortokosteroid : untuk menghambat pembentukan edema misalnya dengan dexametason.
 Antagonis histamin : mencegah terjadinya iritasi lambung karena hipersekresi akibat efek
trauma kepala misalnya dengan cemetidin, ranitidin.
 Antibiotik jika terjadi luka yang besar.
10.  Asuhan Keperawatan
a.      Pengkajian
1)      Pengkajian Primer
Adapun data pengkajian primer menurut Rab, Tabrani. 2007 :
         Airway
Ada tidaknya sumbatan jalan nafas
         Breathing
Ada tidaknya dispnea, takipnea, bradipnea, sesak, kedalaman nafas.
         Circulation
Ada tidaknya peningkatan tekanan darah, takikardi, bradikardi,
sianosis, capilarrefil.
         Disability
Ada tidaknya penurunan kesadaran, kehilangan sensasi dan refleks,
pupil anisokor dan nilai GCS. Menurut Arif Mansjoer. Et all.
2000 penilaian GCS beerdasarkan pada tingkat keparahan cidera :
-          Cidera kepala ringan/minor (kelompok resiko rendah)
  Skor skala koma Glasglow 15 (sadar penuh,atentif,dan
orientatif)
  Tidak ada kehilangan kesadaran(misalnya konkusi)
  Tidak ada intoksikasi alkohaolatau obat terlarang
  Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
  Pasien dapat menderita abrasi,laserasi,atau hematoma kulit
kepala
  Tidak adanya kriteria cedera sedang-berat.
-          Cidera kepala sedang (kelompok resiko sedang)
  Skor skala koma glasgow 9-14 (konfusi, letargi atau stupor)
  Konkusi
  Amnesia pasca trauma
  Muntah
  Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle,mata
rabun,hemotimpanum,otorhea atau rinorhea cairan
serebrospinal).
-          Cidera kepala berat (kelompok resiko berat)
  Skor skala koma glasglow 3-8 (koma)
  Penurunan derajat kesadaran secara progresif
  Tanda neurologis fokal
  Cidera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresikranium.
         Exposure of extermitas
Ada tidaknya peningkatan suhu, ruangan yang cukup hangat.

2)      Pengkajian Sekunder


Data pengkajian secara umum tergantung pada tipe, lokasi dan keparahan
cedera dan mungkin diperlukan oleh cedera tambahan pada organ-organ vital
(Marilyn, E Doengoes. 2000)
         Aktivitas/ Istirahat
Gejala    :   Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.
Tanda    :  
  Perubahan kesehatan, letargi
  Hemiparase, quadrepelgia
  Ataksia cara berjalan tak tegap
  Masalah dalam keseimbangan
  Cedera (trauma) ortopedi
  Kehilangan tonus otot, otot spastik
         Sirkulasi
Gejala    : 
  Perubahan darah atau normal (hipertensi)
  Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang
diselingi bradikardia disritmia).
         Integritas Ego
Gejala    :   Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau
dramatis)
Tanda    :   Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung
depresi dan impulsif.
         Eliminasi
Gejala    :   Inkontenensia kandung kemih/ usus atau mengalami
gngguan fungsi.
         Makanan/ cairan
Gejala    :   Mual, muntah dan mengalami perubahan selera.
Tanda    :   Muntah (mungkin proyektil), Gangguan menelan (batuk,
air liur keluar, disfagia).
         Neurosensoris
Gejala    :   Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar
kejadian, vertigo, sinkope, tinitus kehilangan pendengaran, fingking,
baal pada ekstremitas.
Tanda    :  
  Perubahan kesadaran bisa sampai koma
  Perubahan status mental
  Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri)
  Wajah tidak simetri
  Genggaman lemah, tidak seimbang
  Refleks tendon dalam tidak ada atau lemah
  Apraksia, hemiparese, Quadreplegia
         Nyeri/ Kenyamanan
Gejala    :   Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda
biasanya koma.
Tanda      :   Wajah menyeringai, respon menarik pada rangangan nyeri
yang hebat, gelisah tidak bisa beristirahat, merintih.
         Pernapasan
Tanda    :  
  Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi).
Nafas berbunyi stridor, terdesak
  Ronki, mengi positif
         Keamanan
Gejala    :   Trauma baru/ trauma karena kecelakaan
Tanda    :   Fraktur/ dislokasi
  Gangguan penglihatan
  Gangguan kognitif
  Gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekutan secara
umum mengalami paralisis
  Demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh
         Interaksi Sosial
Tanda    :   Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara
berulang-ulang.
b.      Diagnosa Keperawatan dan Intervensi
1)      Ketidakefektifan perfusi jaringan berhubungan dengan edema serebral,
hipoksia cerebral
Tujuan dan kriteria Intervensi Rasional
hasil
Setelah dilakukan
1.      Tentukan factor yang
1.      Menentukan pilihan intervensi
tindakan keperawatan berhubungan dengan keadaan
2.      Mengkaji adanya kecenderungan pada
selama 3x24 jam penurunan perfusi jaringan otak tingkat kesadaran dan potencial dengan
diharapkan pasien
2.      Pantau status neurologis peningkatan TIK dan bermanfaat dalam
dapat mempertahankan secara teratur menentukan lokasi, perluasan dan
tingkat kesadaran
3.      Pantau tekanan darah perkembangan kerusakan SSP
dengan kriteria hasil : 4.      Catat adanya bradikardi,
3.      Normalnya autoreguláis
-          Tanda vital takikardi atau disritmia mempertahankan aliran darah otak yang
stabil : Tekanan darah
5.      Pantau irama nafas, adanya constan pada saat ada fluktuasi tekanan
120/80 mmHg, nadi dispnea darah sistemik
60-100x/menit 6.      Evaluasi keadaan pupil 4.      Disritmia dapat timbal dan
-          Tidak ada tanda
7.      Kaji adanya peningkatan mencerminkan adanya depresi pada batang
peningkatan TIK rigiditas, remangan, otak pada pasien yang tidak mempunyai
meningkatnya kegelisahan, penyakit jantung
peka rangsang, serangan kejang5.      Nafas yang tidak teratur dapat
8.      Tinggikan kepala pasien 15- menunjukkan lokasi adanya peningkatan
45 derajat sesuai indikasi TIK
9.      Batasi pemberian cairan
6.      Reaksi pupil diatur oleh saraf kranial
sesuai indikasi okulomotorik dan berguna untuk
10.  Berikan oksigen tambahan menentukan apakah batang otak masih
sesuai indikasi baik
11.  Berikan obat sesuai indikasi 7.      Merupakan indikasi dari iritasi
meningeal
8.      Meningkatkan aliran darah balik vena
dari kepala sehingga akan mengurangi
kongesti
9.      Untuk menurunkan edema
10.  Menurunkan hipoksemia yang dapat
meningkatkan vasodilatasi dan
meningkatkan TIK
11.  Untuk mengatasi komplikasi lebih buruk

2)      Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan,


penggunaan otot aksesori
Tujuan dan kriteria hasil Intervensi Rasional
Setelah dilakukan tindakan 1.Pantau frekuensi, irama 1.Perubahan dapat menandakan awitan
keperawatan selama 3x24 kedalaman pernafasan komplikasi pulmonal (umumnya mengikuti
jam diharapkan pasien 2.Tinggikan kepala tempat tidur, cedera otak), menandakan lokasi/luasnya
dapat menunjukkan nafas posisi miring sesuai indikasi keterlibatan otak, pernafasan lambat,
lebih efektif dengan kriteria 3.Anjurkan pasien untuk periode apnea dapat menandakan ventilasi
hasil : melakukan nafas dalam yang mekanisme.
          tidak ada sesak nafas, efektif jika pasien sadar 2. Untuk memudahkan ekspansi paru
sianosis 4.Catat kompetensi gangguan 3.Memobilisasi sekret untuk membersihkan
          pola nafas normal menelan dan kemampuan jalan nafas dan membantu mencegah
pasien untuk melindungi jalan komplikasi pernafasan
nafasnya 4.Kemampuan membersihkan jalan nafas
5.Berikan oksigen sesuai indikasi penting untuk pemeliharaan jalan nafas,
kehilangan reflek menelan/ batuk
menandakan perlunya jalan nafas bantuan.
5.Memaksimalkan oksigen pada darah arteri
dan membantu mencegah hipoksia.

3)      Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi jalan


nafas, peningkatan jumlah sekret.
Tujuan dan kriteria hasil Intervensi Rasional
Setelah dilakukan tindakan1.      Auskultasi bunyi nafas. Catat
1.      Beberapa derajat spasme bronkus terjadi
keperawatan selama 3x24 adanya bunyi nafas tambahan dengan obstruksi jalan nafas dan dapat/tak
jam diharapkan pasien mis. Mengi, ronchi, krekels dimanifestasikan adanya bunyi nafas
dapat mempertahankan 2.      Pantau frekuensi pernafasan adventisius, mis, penyebaran, krekels
jalan nafas paten dengan 3.      Catat adanya dispnea, basah, bunyi nafas redup dengan ekspirasi
bunyi nafas bersih/jelas gelisah, ansietas, distres mengi ataau tidak ada bunyi nafas
dengan kriteria hasil : pernafasan, penggunaan otot
2.      Takipnea biasanya ada pada beberapa
          Tidak ada bunyi nafas bantu derajat. Pernafasan dapat melambat dan
tambahan 4.      Berikan posisi yang nyaman frekuensi ekspirasi memanjang
          Tidak ada penumpukkn5.      Pertahankan polusi dibandingkan inspirasi
sekret lingkungan minimum 3.      Disfungsi pernafasan adalah variable
          Tidak ada sesak nafas 6.      Dorong atau bantu latihan yang tergantung pada tahap proses kronis
nafas abdomen atau bibir selain proses akut yang menimbulkan
7.      Observasi karakteristik batuk, perawatan di RS
mis menetap, batuk pendek,
4.      Peninggian kepala tempat tidur
basah bantu tindakan untuk mempermudah proses pernafasan
memperbaiki keefektifan upaya
5.      Pencetus tipe reaksi alergi pernafasan
batuk yang dapat mentriger episode akut
8.      Tingkatkan masukan cairan
6.      Memberikan pasien beberapa cara untuk
3000 ml/hari sesuai toleransi mengatasi dan mengontrol dispnea dan
jantung menurunkan jebakan udara
9.      Berikan obat sesuai indikasi 7.      Batuk paling efektif pada posisi duduk
10.  Berikan hudifiksi tambahan, tinggi atau kepala dibawah setelah perkusi
mis, nebulizar ultranik, dada
humidifier aerosol ruangan 8.      Hidrasi membantu menurunkan
kekentalan sekret, mepermudah
pengeluaran.
9.      Membantu mempercepat proses
penyembuhan
10.  Kelembaban menurunkan kekentalan
sekret dan mencegah pembentukan mucosa
tebal pada bronkus.

C.    ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT TRAUMA MEDULA SPINALIS


1.      Pengertian
Cedera medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan
oleh benturan pada daerah medulla spinalis (Brunner & Suddarth, 2001)
Cedera medulla spinalis adalah buatan kerusakan tulang dan sumsum yang
mengakibatkan gangguan sistem persyarafan didalam tubuh manusia yang
diklasifikasikan sebagai :
- komplet (kehilangan sensasi dan fungsi motorik total)
- tidak komplet (campuran kehilagan sensori dan fungsi motorik)
Cedera medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan
sering kali oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila cedera itu mengenai daerah servikal
pada lengan, badan dan tungkai mata penderita itu tidak tertolong. Dan apabila saraf
frenitus itu terserang maka dibutuhkan pernafasan buatan, sebelum alat pernafasan
mekanik dapat digunakan.
2.      Etiologi
Penyebab dari cidera medulla spinalis yaitu :
a. kecelakaan otomobil, industri
b. terjatuh, olah-raga, menyelam
c. luka tusuk, tembak
d. tumor.
3.      Patofisiologi
Kerusakan medulla spinalis berkisar dari kamosio sementara (pasien sembuh
sempurna) sampai kontusio, laserasi dan kompresi substansi medulla, (lebih salah
satu atau dalam kombinasi) sampai transaksi lengkap medulla (membuat pasien
paralisis).
Bila hemoragi terjadi pada daerah medulla spinalis, darah dapat merembes ke
ekstradul subdural atau daerah suaranoid pada kanal spinal, segera sebelum terjadi
kontusio atau robekan pada cedera, serabut-serabut saraf mulai membengkak dan
hancur. Sirkulasi darah ke medulla spinalis menjadi terganggu, tidak hanya ini saja
tetapi proses patogenik menyebabkan kerusakan yang terjadi pada cidera medulla
spinalis akut.
Suatu rantai sekunder kejadian-kejadian yang menimbulakn iskemia, hipoksia,
edema, lesi, hemorargi.
Kerusakan medula spinalis
Hemoragi
Serabut- serabut membengkak/hancur
Sirkulasi darah terganggu
Cidera medulla spinalis dapat terjadi pada lumbal 1-5
- Lesi L1 : kehilangan sensorik yaitu sama menyebar sampai lipat paha dan bagian
dari bokong.
- Lesi L2 : ekstremitas bagian bawah kecuali 1/3 atas dari anterior paha.
- Lesi L3 : Ekstremitas bagian bawah.
- Lesi L4 : Ekstremitas bagian bawah kecuali anterior paha.
- Lesi L5 : Bagian luar kaki dan pergelangan kaki.

4.      Manifestasi Klinis


a.         nyeri akut pada belakang leher, yang menyebar sepanjang saraf yang terkena
b.         paraplegia
c.          tingkat neurologic
d.         paralisis sensorik motorik total
e.          kehilangan kontrol kandung kemih (refensi urine, distensi kandung kemih)
f.          penurunan keringat dan tonus vasomotor
g.         penurunan fungsi pernafasan
h.         gagal nafas

5.      Pemeriksaan Diagnostik


a.      Sinar X spinal
Menentukan lokasi dan jenis cedera tulan (fraktur, dislokasi), unutk kesejajaran,
reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi
b.      Skan ct
Menentukan tempat luka / jejas, mengevaluasi ganggaun structural
c.       MRI
Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi
d.      Mielografi.
Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor putologisnya
tidak jelas atau dicurigai adannya dilusi pada ruang sub anakhnoid medulla
spinalis (biasanya tidak akan dilakukan setelah mengalami luka penetrasi).
e.       Foto ronsen torak, memperlihatkan keadan paru (contoh : perubahan pada
diafragma, atelektasis)
f.       Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vita, volume tidal) : mengukur volume
inspirasi maksimal khususnya pada pasien dengan trauma servikat bagian bawah
atau pada trauma torakal dengan gangguan pada saraf frenikus /otot interkostal).
g.      GDA : Menunjukan kefektifan penukaran gas atau upaya ventilasi

6.      Penatalaksanaan Medis


a.      Penatalaksanaan Kedaruratan
Penatalaksanaan pasien segera ditempat kejadian adalah sangat penting, karena
penatalaksanaan yang tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan kehilangan
fungsi neurologik.Korban kecelakaan kendaraan bermotor atau kecelakaan
berkendara , cedera olahraga kontak, jatuh,atau trauma langsung pada kepala dan
leher dan leher harus dipertimbangkan mengalami cedera medula spinalis sampai
bukti cedera ini disingkirkan.
1)      Ditempat kecelakaan, korban harus dimobilisasi pada papan
spinal( punggung) ,dengan kepala dan leher dalam posisi netral, untuk
mencegah cedera komplit.
2)      Salah satu anggota tim harus menggontrol kepala pasien untuk mencegah
fleksi, rotasi atau ekstensi kepala.
3)      Tangan ditempatkan pada kedua sisi dekat telinga untuk mempertahankan
traksi dan kesejajaran sementara papan spinalatau alat imobilisasi servikal
dipasang.
4)      Paling sedikit empat orangharus mengangkat korban dengan hati- hati keatas
papan untuk memindahkan memindahkan kerumah sakit. Adanya gerakan
memuntir dapat merusak medula spinais ireversibel yang menyebabkan
fragmen tulang vertebra terputus, patah, atau memotong medula komplit.
Sebaiknya pasien dirujuk kecedera spinal regional atau pusat trauma karena
personel multidisiplin dan pelayanan pendukung dituntut untuk menghadapi
perubahan dekstruktif yang tejadi beberapa jam pertama setelah cedera.
Memindahkan pasien, selama pengobatan didepartemen kedaruratan dan
radiologi,pasien dipertahankan diatas papan pemindahan . Pemindahan pasien
ketempat tidur menunjukkan masalah perawat yang pasti. Pasien harus
dipertahankan dalam posisi eksternal . Tidak ada bagian tubuh yang terpuntir
atau tertekuk, juga tidak boleh pasien dibiarkan mengambil posisi duduk.
Pasien harus ditempatkan diatas sebuah stryker atau kerangka pembalik lain
ketika merencanakan pemindahan ketempat tidur. Selanjutnya jika sudah
terbukti bahwa ini bukan cedera medula, pasien dapat dipindahkan ketempat
tidur biasa tanpa bahaya.Sebaliknya kadang- kadang tindakan ini tidak benar.
Jika stryker atau kerangka pembalik lain tidak tersedia pasien harus
ditempatkan diatas matras padat dengan papan tempat tidur dibawahnya.
b.      Penatalaksanaan Cedera Medula Spinalis ( Fase Akut)
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mencegah cedera medula spinalis lebih
lanjut dan untuk mengobservasi gejala perkembangan defisit neurologis. Lakukan
resusitasi sesuai kebutuhan dan pertahankan oksigenasi dan kestabilan
kardiovaskuler.
c.       Farmakoterapi
Berikan steroid dosis tinggi (metilpredisolon) untuk melawan edema medulla.

d.      Tindakan Respiratori


1)      Berikan oksigen untuk mempertahankan PO2 arterial yang tinggi.
2)      Terapkan perawatan yang sangat berhati-hati untuk menghindari fleksi atau
eksistensi leher bila diperlukan inkubasi endrotakeal.
3)      Pertimbangan alat pacu diafragma (stimulasi listrik saraf frenikus) untuk
pasien dengan lesi servikal yang tinggi.

e.       Reduksi dan Fraksi skeletal


1)      Cedera medulla spinalis membutuhkan immobilisasi, reduksi, dislokasi, dan
stabilisasi koluma vertebrata.
2)      Kurangi fraktur servikal dan luruskan spinal servikal dengan suatu bentuk
traksi skeletal, yaitu teknik tong /capiller skeletal atau halo vest.
3)      Gantung pemberat dengan batas sehinga tidak menggangu traksi

f.       Intervensi bedah = Laminektomi


Dilakukan bila :
1)      Deformitas tidak dapat dikurangi dengan fraksi
2)      Terdapat ketidakstabilan signifikan dari spinal servikal
3)      Cedera terjadi pada region lumbar atau torakal
4)      Status Neurologis mengalami penyimpanan untuk mengurangi fraktur spinal
atau dislokasi atau dekompres medulla.

7.      Asuhan Keperawatan


a.      Pengkajian
1)      Pengkajian Primer
         Airway
Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam
keadaan adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita yang
tidak sadar, yang dapat disebabkan oleh benda asing, muntahan, jatuhnya
pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah. Usaha untuk
membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra servikalis (cervical
spine control), yaitu tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi
yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini, kita dapat melakukan chin lift
atau jaw thrust sambil merasakan hembusan napas yang keluar melalui
hidung. Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara
membersihkan dengan jari atau suction jika tersedia. Untuk menjaga
patensi jalan napas selanjutnya dilakukan pemasangan pipa orofaring. Bila
hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan napas.

         Breathing
Bantuan napas dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat. Apabila
tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah yang memadai. Jika
penguasaan jalan napas belum dapat memberikan oksigenasi yang
adekuat, bila memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi
endotrakheal1,3,5,6,7,8.

         Circulation
Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat
kesadaran dan denyut nadi Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah
mencari ada tidaknya perdarahan eksternal, menilai warna serta
temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah. Denyut nadi perifer yang
teratur, penuh, dan lambat biasanya menunjukkan status sirkulasi yang
relatif normovolemik.

         Dissability
Melihat secara keseluruhan kemampuan pasien diantaranya kesadaran
pasien.

         Exposure
Melihat secara keseluruhan keadaan pasien. Pasien dalam keadaan sadar
(GCS 15) dengan :Simple head injury bila tanpa deficit neurology
o   Dilakukan rawat luka
o   Pemeriksaan radiology
o   Pasien dipulangkan dan keluarga diminta untuk observasi bila
terjadi penurunan kesadaran segera bawa ke rumah sakit

2)      Pengkajian Sekunder


         Aktivitas/Istirahat
Kelumpuhan otot (terjadi kelemahan selama syok pada bawah lesi.
Kelemahan umum /kelemahan otot (trauma dan adanya kompresi saraf).
         Sirkulasi
Hipotensi, Hipotensi posturak, bradikardi, ekstremitas dingin dan pucat.
         Eliminasi
Retensi urine, distensi abdomen, peristaltik usus hilang, melena, emisis
berwarna seperti kopi tanah /hematemesis.
         Integritas Ego
Takut, cemas, gelisah, menarik diri.
         Makanan/cairan
Mengalami distensi abdomen, peristaltik usus hilang (ileus paralitik)
         Higiene
Sangat ketergantungan dalam melakukan aktifitas sehari-hari (bervariasi)
         Neurosensori
Kelumpuhan, kelemahan (kejang dapat berkembang saat terjadi perubahan
pada syok spinal).
Kehilangan sensasi (derajat bervariasi dapat kembaki normak setelah syok
spinal sembuh).
Kehilangan tonus otot /vasomotor, kehilangan refleks /refleks asimetris
termasuk tendon dalam. Perubahan reaksi pupil, ptosis, hilangnya keringat
bagian tubuh yang terkena karena pengaruh trauma spinal.
         Nyeri/kenyamanan
Mengalami deformitas, postur, nyeri tekan vertebral.
         Pernapasan
Pernapasan dangkal /labored, periode apnea, penurunan bunyi napas,
ronki, pucat, sianosis.
         Keamanan
Suhu yang berfluktasi *(suhu tubuh ini diambil dalam suhu kamar).
         Seksualitas
Ereksi tidak terkendali (priapisme), menstruasi tidak teratur.

b.      Diagnosa Keperawatan dan Intervensi


1)      Ketidak efektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan kelemahan
/paralisis otot-otot abdomen dan intertiostal dan ketidakmampuan untuk
membersihkan sekresi.
Tujuan : Meningkatkan pernapasan yang adekuat
Kriteria hasil : Batuk efektif, pasien mampu mengeluarkan sekret, bunyi napas
normal, jalan napas bersih, respirasi normal, irama dan jumlah pernapasan,
pasien, mampu melakukan reposisi, nilai AGD : PaO2 > 80 mmHg, PaCO2 =
35-45 mmHg, PH = 7,35 – 7,45
Rencana Tindakan
         Kaji kemampuan batuk dan reproduksi sekret
Rasional :Hilangnya kemampuan motorik otot intercosta dan abdomen
berpengaruh terhadap kemampuan batuk.
         Pertahankan jalan nafas (hindari fleksi leher, brsihkan sekret)
Rasional : Menutup jalan nafas.
         Monitor warna, jumlah dan konsistensi sekret, lakukan kultur
Rasional : Hilangnya refleks batuk beresiko menimbulkan pnemonia.
         Lakukan suction bila perlu
Rasional : Pengambilan secret dan menghindari aspirasi.
         Auskultasi bunyi napas
Rasional : Mendeteksi adanya sekret dalam paru-paru.
         Lakukan latihan nafas
Rasional : mengembangkan alveolu dan menurunkan prosuksi sekret.
         Berikan minum hangat jika tidak kontraindikasi
Rasional : Mengencerkan secret
         Berikan oksigen dan monitor analisa gas darah
Rasional : Meningkatkan suplai oksigen dan mengetahui kadar olsogen
dalam darah.
         Monitor tanda vital setiap 2 jam dan status neurologi
Rasional : Mendeteksi adanya infeksi dan status respirasi.

2)      Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan fungsi


motorik dan sensorik.
Tujuan : Memperbaiki mobilitas
Kriteria Hasil : Mempertahankan posisi fungsi dibuktikan oleh tak adanya
kontraktur, footdrop, meningkatkan kekuatan bagian tubuh yang sakit
/kompensasi, mendemonstrasikan teknik /perilaku yang memungkinkan
melakukan kembali aktifitas.
Rencana Tindakan
         Kaji fungsi-fungsi sensori dan motorik pasien setiap 4 jam.
Rasional : Menetapkan kemampuan dan keterbatasan pasien setiap 4
jam.
         Ganti posisi pasien setiap 2 jam dengan memperhatikan kestabilan
tubuh dan kenyamanan pasien.
Rasional : Mencegah terjadinya dekubitus.\
         Beri papan penahan pada kaki
Rasional : Mencegah terjadinya foodrop
         Gunakan otot orthopedhi, edar, handsplits
Rasional : Mencegah terjadinya kontraktur.
         Lakukan ROM Pasif setelah 48-72 setelah cedera 4-5 kali /hari
Rasional : Meningkatkan stimulasi dan mencehag kontraktur.
         Monitor adanya nyeri dan kelelahan pada pasien.
Rasional : Menunjukan adanya aktifitas yang berlebihan.
         Konsultasikan kepada fisiotrepi untuk latihan dan penggunaan otot
seperti splints
Rasional : Memberikan pancingan yang sesuai.
3)      Resiko terhadap kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan
penurunan immobilitas, penurunan sensorik.
Tujuan : Mempertahankan Intergritas kulit
Kriteria Hasil : Keadaan kulit pasien utuh, bebas dari kemerahan, bebas dari
infeksi pada lokasi yang tertekan.
Rencana Tindakan
         Kaji faktor resiko terjadinya gangguan integritas kulit
Rasional : Salah satunya yaitu immobilisasi, hilangnya sensasi,
Inkontinensia bladder /bowel.
         Kaji keadaan pasien setiap 8 jam
Rasional : Mencegah lebih dini terjadinya dekubitus.
         Gunakan tempat tidur khusus (dengan busa)
Rasional : Mengurangi tekanan 1 tekanan sehingga mengurangi resiko
dekubitas
         Ganti posisi setiap 2 jam dengan sikap anatomis
Rasional : Daerah yang tertekan akan menimbulkan hipoksia,
perubahan posisi meningkatkan sirkulasi darah.
         Pertahankan kebersihan dan kekeringan tempat tidur dan tubuh
pasien.
Rasional : Lingkungan yang lembab dan kotor mempermudah
terjadinya kerusakan kulit
         Lakukan pemijatan khusus / lembut diatas daerah tulang yang
menonjol setiap 2 jam dengan gerakan memutar.
Rasional : Meningkatkan sirkulasi darah
         Kaji status nutrisi pasien dan berikan makanan dengan tinggi protein
Rasional : Mempertahankan integritas kulit dan proses penyembuhan
         Lakukan perawatan kulit pada daerah yang lecet / rusak setiap hari
Rasional : Mempercepat proses penyembuhan
4)      Retensi urine yang berhubungan dengan ketidakmampuan untuk berkemih
secara spontan.
Tujuan : Peningkatan eliminasi urine
Kriteria Hasil : Pasien dpat mempertahankan pengosongan blodder tanpa
residu dan distensi, keadaan urine jernih, kultur urine negatif, intake dan
output cairan seimbang
Rencana tindakan
         Kaji tanda-tanda infeksi saluran kemih
Rasional : Efek dari tidak efektifnya bladder adalah adanya infeksi
saluran kemih
         Kaji intake dan output cairan
Rasional : Mengetahui adekuatnya gunsi gnjal dan efektifnya blodder.
         Lakukan pemasangan kateter sesuai program
Rasional : Efek trauma medulla spinalis adlah adanya gangguan
refleks berkemih sehingga perlu bantuan dalam pengeluaran urine
         Anjurkan pasien untuk minum 2-3 liter setiap hari
Rasional : Mencegah urine lebih pekat yang berakibat timbulnya
……..
         Cek bladder pasien setiap 2 jam
Rasional : Mengetahui adanya residu sebagai akibat autonomic
hyperrefleksia
         Lakukan pemeriksaan urinalisa, kultur dan sensitibilitas
Rasional : Mengetahui adanya infeksi
         Monitor temperatur tubuh setiap 8 jam
Rasional : Temperatur yang meningkat indikasi adanya infeksi.

5)      Konstipasi berhubungan dengan adanya atoni usus sebagai akibat gangguan
autonomik.
Tujuan : Memperbaiki fungsi usus
Kriteria hasil : Pasien bebas konstipasi, keadaan feses yang lembek,
berbentuk.
Rencana tindakan
 kaji pola eliminasi bowel
Rasional : Menentukan adanya perubahan eliminasi
 Berikan diet tinggi serat
Rasional : Serat meningkatkan konsistensi feses
 Berikan minum 1800 – 2000 ml/hari jika tidak ada kontraindikasi
Rasional : Mencegah konstipasi
 Auskultasi bising usus, kaji adanya distensi abdomen
Rasional : Bising usus menentukan pergerakan perstaltik
 Hindari penggunaan laktasif oral
Rasional : Kebiasaan menggunakan laktasif akan tejadi ketergantungan
 Lakukan mobilisasi jika memungkinkan
Rasional : Meningkatkan pergerakan peritaltik
 Berikan suppositoria sesuai program
Rasional : Pelunak feses sehingga memudahkan eliminasi
 Evaluasi dan catat adanya perdarah pada saat eliminasi
Rasional : Kemungkinan perdarahan akibat iritasi penggunaan suppositoria

6)      Nyeri yang berhubungan dengan pengobatan immobilitas lama, cedera psikis
dan alat traksi
Tujuan : Memberikan rasa nyaman
Kriteria hasil : Melaporkan penurunan rasa nyeri /ketidak nyaman,
mengidentifikasikan cara-cara untuk mengatasi nyeri, mendemonstrasikan
penggunaan keterampilan relaksasi dan aktifitas hiburan sesuai kebutuhan
individu.
Rencana tindakan
         Kaji terhadap adanya nyeri, bantu pasien mengidentifikasi dan
menghitung nyeri, misalnya lokasi, tipe nyeri, intensitas pada skala 0 –
1-
Rasional : Pasien biasanya melaporkan nyeri diatas tingkat cedera
misalnya dada / punggung atau kemungkinan sakit kepala dari alat
stabilizer
         Berikan tindakan kenyamanan, misalnya, perubahan posisi, masase,
kompres hangat / dingin sesuai indikasi.
Rasional : Tindakan alternatif mengontrol nyeri digunakan untuk
keuntungan emosionlan, selain menurunkan kebutuhan otot nyeri /
efek tak diinginkan pada fungsi pernafasan.
         Dorong penggunaan teknik relaksasi, misalnya, pedoman imajinasi
visualisasi, latihan nafas dalam.
Rasioanl : Memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa
kontrol, dan dapat meningkatkan kemampuan koping
         Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi, relaksasi otot, misalnya
dontren (dantrium); analgetik; antiansietis.misalnya diazepam (valium)
Rasional : Dibutuhkan untuk menghilangkan spasme /nyeri otot atau
untuk menghilangkan-ansietas dan meningkatkan istrirahat.

Anda mungkin juga menyukai