Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

PENATALAKSANAAN PASIEN KETERGANTUNGAN OPIOID

Dokter Pembimbing :

dr. MM Rudi Prihatno, Mkes, Msi.Med, Sp. An

Disusun oleh :

Arista Sri Nuraini G1A210025

Edi Wibowo G1A210026

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
SMF ILMU ANESTESIOLOGI
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO

2010
HALAMAN PENGESAHAN

REFERAT

PENATALAKSANAAN PASIEN KETERGANTUNGAN OPIOID

Telah dipresentasikan dan disetujui :

Pada tanggal Agustus 2010

Disusun oleh :

Arista Sri Nuraini G1A210025


Edi Wibowo G1A210026

Menyetujui

Dokter Pembimbing :

dr. MM Rudi Prihatno, Mkes, Msi.Med, Sp. An


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan YME atas segala limpahan rahmat-
Nya, sehingga kami selaku penyusun dapat menyelesaikan referat dengan judul
“Penatalaksanaan Pasien Ketergantungan Opioid” yang merupakan salah satu syarat
dalam melaksanakan kepaniteraan klinik pendidikan profesi dokter di bagian anestesi
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo, Purwokerto.
Penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. MM Rudi Prihatno,
Mkes, Msi.Med, Sp. An selaku dosen pembimbing di bagian Anestesi RSUD Prof. dr.
Margono Soekarjo Purwokerto, atas semua bantuan dan kesabarannya membimbing
penyusun sehingga dapat menjalani kepaniteraan klinik di bagian Anestesi RSUD
Prof. dr. Margono Soekarjo Purwokerto.
Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan referat ini banyak terdapat
kekurangan dan juga masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penyusun
mengharapkan kritik dan saran guna penyempurnaannya. penyusun berharap semoga
referat ini dapat memberikan manfaat untuk kita semua.

Purwokerto, Agustus 2010

Penyusun
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
B. Bentuk Narkotika
C. Jenis Narkotika Dan Efek Yang Ditimbulkan
D. Memahami Efek Ketergantungan Narkotika
BAB III PEMBAHASAN
A. Detoksifikasi dengan metadhon
B. Detoksifikasi dengan buprenorfin\
C. Detoksifikasi Opiat Ultra Cepat dan Terapi Rumatan Naltrekson untuk Terapi
Ketergantungan Opiat.
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kasus penyalahgunaan narkotika dan zat adiktif lainnya pada tahun-
tahun terakhir semakin meningkat tajam. Sepintas, pemakaian narkotika dan
penyalahgunaan obat-obatan ini terjadi secara merata di semua kalangan
masyarakat. Dari kalangan atas hingga anak jalanan, terutama terajdi di
kalangan remaja, pelajar, dan mahasiswa.
Masalah penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif
lainya (Napza) atau istilah yang populer dikenal masyarakat sebagai Narkoba
(Narkotika dan Bahan/ Obat berbahaya) merupakan masalah yang sangat
kompleks, yang memerlukan upaya penanggulangan secara komprehensif
dengan melibatkan kerja sama multidisipliner, multisektor, dan peran serta
masyarakat secara aktif yang dilaksanakan secara berkesinambungan,
konsekuen, dan konsisten.
Meskipun dalam dunia kedokteran sebagian besar golongan Narkotika,
Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya masih bermanfaat bagi pengobatan,
namun bila disalahgunakan atau digunakan tidak menurut indikasi medis atau
standar pengobatan terlebih lagi bila disertai peredaran dijalur ilegal, akan
berakibat sangat merugikan bagi individu maupun masyarakat luas khususnya
generasi muda. Oleh karena itu kita semua perlu mewaspadai bahaya dan
pengaruhnya terhadap ancaman kelangsungan pembinaan generasi muda.
Sektor kesehatan memegang peranan penting dalam upaya penanggulangan
penyalahgunaan nar, melkotika melalui upaya Promotif, Preventif, Terapi, dan
Rehabilitasi.
Penyalahgunaan Napza pada umumnya disebabkan karena zat-zat
tersebut menjanjikan sesuatu yang dapat memberikan rasa kenikmatan,
kenyamanan, kesenangan dan ketenangan, walaupun hal itu sebenarnya hanya
dirasakan secara semu. Perasaan tersebutlah yang membuat para pemakainya
menjadi ketagihan untuk memakainya kembali hingga akhirnya menjadi
kecanduan atau ketergantungan. Akibat-akibat yang dapat ditimbulkan dari
penyalahgunaan Napza khususnya narkotika antara lain :
1. Merusak susunan saraf pusat atau merusak organ-organ tubuh lainnya
seperti hati dan ginjal, serta penyakit dalam tubuh seperti bintik-bintik
merah pada kulit seperti kudis. Hal ini berakibat melemahnya fisik, daya
fikir, dan merosotnya moral yang cenderung melakukan perbuatan
penyimpangan sosial dalam masyarakat.
2. Untuk memenuhi kebutuhan penggunaan narkotika, para pengguna dapat
menghalalkan segala cara untuk memperoleh narkotika yang mereka
butuhkan. Awalnya dari menjual barang-barang hingga melakukan
tindakan pidana.
Karena berbagai akibat buruk yang ditimbulkan oleh Napza tersebut,
maka menjadi sangat penting untuk tahu bagaimana penatalaksanaan bagi
pasien yang mengalami ketergantungan narkotika.

B. Tujuan
1. Mengetahui berbagai jenis obat narkotika khususnya opioid
2. Mengetahui penatalaksanaan pasien ketergantungan opioid
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Narkotika adalah senyawa atau obat yang berasal dari tanaman atau
bukan tanaman, baik sintetis maupun semi-sintetis yang dapat menimbulkan
pengaruh-pengaruh tertentu bagi mereka yang menggunakannya dengan
memasukkannya ke dalam tubuh. Istilah narkotika berasal dari kata
narkotikos (bahasa Yunani) yang berarti menggigil. Istilah narkotika ada
hubungannya dengan kata narkan (bahasa Yunani) yang berarti menjadi kaku.
Dalam dunia kedokteran dikenal juga istilah narkose atau narkosis yang
berarti dibiuskan. Obat narkose yaitu obat yang dipakai untuk pembiusan
dalam pembedahan.
Narkotika menurut Undang-Undang RI Nomor 22 tahun 1997 tentang
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman
baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa
nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

B. Bentuk Narkotika
Narkotika dapat dibuat dalam berbagai bentuk, rasa, dan penampilan.
Ada yang berupa pil, cairan, bubuk, dan sebagainya. Namun sekarang ada
juga Napza yang dibentuk menjadi permen berwarna-warni dan mempunyai
bermacam-macam rasa. Salah satu permen Napza disebut yaba, warnanya
menarik dan rasanya manis. Permen berisi Napza yang termakan akan
menimbulkan rasa pusing dan sempoyongan. Dan seperti jenis Napza lainnya,
permen ini bisa membuat orang kecanduan.
C. Jenis Narkotika Dan Efek Yang Ditimbulkan
Menurut penggolongannya, narkotika dibedakan dalam 3 golongan :
1. Narkotika Golongan I :
Narkotika golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk
tujuan ilmu pengetahuan dan tidak ditujukan untuk terapi serta
mempunyai potensi sangat tinggi menimbulkan ketergantungan (contoh :
heroin/putauw, kokain, ganja).
2. Narkotika Golongan II :
Narkotika golongan II adalah narkotika yang berkhasiat untuk pengobatan,
digunakan sebagai pilihan terakhir, dan dapat digunakan dalam terapi atau
tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi
mengakibatkan ketergantungan (contoh : morfin, petidin).
3. Narkotika Golongan III :
Narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam
terapi atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai
potensi ringan mengakibatkan ketergantungan (contoh : kodein).
Narkotika yang sering disalahgunakan adalah narkotika golongan I, yaitu:
a. Opioid : morfin, herion (putauw), petidin, candu, dan lain-lain.
b. Ganja atau kanabis, marihuana, hashis.
c. Kokain, yaitu serbuk kokain, pasta kokain, daun koka.

Berdasarkan efeknya terhadap perilaku yang ditimbulkan narkotika


dapat digolongkan menjadi tiga golongan :
1. Golongan Depresan (Downer)
Golongan depresan adalah jenis narkotika yang berfungsi mengurangi
aktifitas fungsional tubuh. Jenis ini membuat pemakainya merasa tenang,
pendiam, dan bahkan membuatnya tertidur dan tidak sadarkan diri.
Golongan ini termasuk opioid (morfin, heroin/putauw, kodein).
2. Golongan Stimulan (Upper)
Golongan stimulan adalah jenis narkotika yang dapat merangsang fungsi
tubuh dan meningkatkan kegairahan kerja. Jenis ini membuat pemakainya
menjadi aktif, segar dan bersemangat. Zat yang termasuk golongan ini
adalah kokain
3. Golongan Halusinogen
Golongan halusinogen adalah jenis narkotika yang dapat menimbulkan efek
halusinasi yang bersifat merubah perasaan dan pikiran dan seringkali
menciptakan daya pandang yang berbeda sehingga seluruh perasaan dapat
terganggu. Golongan ini tidak digunakan dalam terapi medis. Golongan ini
termasuk kanabis (ganja)

1. Kanabis (Ganja)
Kanabis adalah nama singkat untuk tanaman Cannabis sativa.
Semua bagian dari tanaman tersebut mengandung kanabioid psikoaktif.
Ganja terbuat dari daun tanaman kanabis. THC (Delta 9
tetrahydrocannibinol) adalah salah satu dari 400 bahan kimia yang
ditemukan di dalam ganja. THC-lah yang menyebabkan pengaruh yang
mengubah suasana hati. Ganja (kanabis) mempunyai beberapa bentuk.
Ganja biasanya berbentuk dedaunan seperti tembakau berwarna hijau.
Hashish atau minyak hashish merupakan bentuk ganja yang lebih kuat.
Hashish adalah getah pohon ganja dan dijual dalam bentuk minyak atau
kubus padat kecil.
Tanaman kanabis biasanya dipotong, dikeringkan, kemudian
dipotong kecil-kecil dan digulung menjadi rokok yang dalam bahasa gaul
disebut joints. Bentuk yang paling poten berasal dari tanaman yang
berbunga atau dari eksudat resin yang dikeringkan dan berwarna coklat-
hitam yang berasal dari daun yang disebut hashish atau hash. Ganja dapat
dikategorikan sebagai depresan (obat yang mengurangi kegiatan sistem
saraf) dan halusinogen (menimbulkan halusinasi). Nama yang umum
untuk kanabis adalah: Marijuana, Grass, Pot, Weed, Tea, atau Mary Jane.
Nama lain untuk menggambarkan tipe kanabis dalam berbagai kekuatan
adalah: hemp, chasra, bhang, dagga, dinsemilla, ganja, cimenk.
Efek yang ditimbulkan
Kanabis atau ganja menimbulkan efek euphoria. Efek medis
yang potensial adalah sebagai analgesik, antikonvulsan, dan hipnotik.
Belakangan ini juga telah berhasil digunakan untuk mengobati mual
sekunder yang disebabkan terapi kanker dan untuk menstimulasi nafsu
makan pada pasien dengan sindroma imunodefisiensi sindrom (AIDS).
Kanabis juga digunakan untuk pengobatan glaukoma. Kanabis
mempunyai efek adiktif dengan efek alkohol, yang seringkali digunakan
dalam kombinasi dengan Kanabis.
Pengaruh langsung pemakaian ganja dapat menimbulkan efek
yang berbeda-beda. Beberapa orang mengalami reaksi yang lebih kuat
dari yang lain. Reaksi yang paling umum adalah perasaan "teler" atau
"melayang". Pengaruh-pengaruh lain termasuk paranoia (ketakutan yang
berlebihan dan tidak rasional), muntah-muntah, kehilangan koordinasi,
kebingungan, nafsu makan meningkat, mata merah, dan halusinasi.
Penelitian menunjukkan bahwa pemakaian ganja dalam jangka
panjang secara teratur dapat menimbulkan pengaruh yang lebih berat,
beberapa diantaranya adalah :
a. Risiko tinggi bronkhitis, kanker paru-paru dan penyakit-penyakit
pernafasan (ganja mengandung tar dua kali lebih banyak dari rokok).
b. Kehilangan minat dan semangat untuk melakukan kegiatan,
kehilangan tenaga dan kebosanan.
c. Kerusakan memori jangka pendek, daya pikir logikal dan koordinasi
gerakan badan.
d. Dorongan seks menurun.
e. Jumlah sperma berkurang (pada pria), siklus menstruasi tidak teratur
(pada wanita).
f. Gejala gangguan kejiwaan yang berat.
g. Kerusakan sistem kekebalan tubuh.
h. Addiction, ganja menimbulkan ketergantungan mental dan
mengakibatkan kecanduan secara mental.
i. Ganja mempengaruhi keterampilan motorik dan koordinasi,
penglihatan dan kemampuan untuk mengukur jarak dan kecepatan.
Bagi orang yang mengendarai mobil atau motor adalah sangat
berbahaya.
j. Ganja mempengaruhi kemampuan mengingat. THC akan mengganggu
proses berpikir terutama yang membutuhkan logika. Ganja juga dapat
mengakibatkan kesulitan belajar, walaupun pelajaran/tugas yang
sederhana, sehingga seseorang dapat berprestasi buruk dalam
pekerjaan atau belajar.
k. Sebagai ‘gerbang narkoba’, karena seseorang yang memakai ganja
memiliki risiko yang lebih besar untuk memakai zat-zat adiktif yang
lebih keras. Berdasarkan hasil survey, sekitar 98% pemakai heroin
bermula dari memakai ganja.
2. Opium
Opium berasal dari jus bunga opium, Papaver somniferum, yang
mengandung kira-kira 20 alkaloid opium, termasuk morfin. Nama opioid
juga digunakan untuk opiat, yaitu suatu preparat atau derivat dari opium
dan narkotik sintetik yang kerjanya menyerupai opiat tetapi tidak
didapatkan dari opium. Opiat alami lain atau opiat yang disintesis dari
opiat alami adalah heroin, codein, dan hydromorphone.
3. Candu
Getah tanaman Papaver somniferum didapat dengan menyadap
(menggores) buah yang hendak masak. Getah yang keluar berwarna putih
dinamai "Lates". Getah ini dibiarkan mongering pada permukaan buah
sehingga berwarna coklat kehitaman dan sesudah diolah akan menjadi
suatu adonan yang menyerupai aspal lunak. Inilah yang dinamakan candu
mentah atau candu kasar. Candu kasar mengandung bermacam-macam
zat-zat aktif yang sering disalahgunakan. Candu masak warnanya coklat
tua atau coklat kehitaman. Candu dipakai dengan cara dihisap. Candu
biasanya diperjual belikan dalam bentuk kemasan kotak atau kaleng.
4. Kokain
Kokain adalah zat adiktif yang sering disalahgunakan dan
merupakan zat yang sangat berbahaya. Kokain merupakan alkaloid yang
didapatkan dari tanaman belukar Erythroxylon coca, yang berasal dari
Amerika Selatan. Daun dari tanaman belukar ini biasanya dikunyah-
kunyah oleh penduduk setempat untuk mendapatkan efek stimulan. Saat
ini kokain masih digunakan sebagai anestesi lokal, khususnya untuk
pembedahan mata, hidung dan tenggorokan, karena efek
vasokonstriksinya. Kokain diklasifikasikan sebagai suatu narkotik,
bersama dengan morfin. Serbuk kokain digunakan dengan cara dihirup
langsung. Nama lain untuk Kokain: Snow, Coke, Girl, Lady, dan Crack
merupakan bentuk kokain yang paling murni dan bebas basa untuk
mendapatkan efek yang lebih kuat.
Efek yang ditimbulkan
Kokain digunakan karena secara karakteristik dapat
menyebabkan elasi, euphoria, peningkatan harga diri dan perasan
perbaikan pada tugas mental dan fisik, kokain dalam dosis rendah dapat
disertai dengan perbaikan kinerja pada beberapa tugas kognitif, selain itu
konsumsi kokain juga memicu pengecilan volume otak.
Penggunaan kokain dosis tinggi dapat menyebabkan gejala
intoksikasi, seperti agitasi (iritabilitas gangguan dalam pertimbangan
perilaku seksual yang impulsif dan kemungkinan berbahaya agresi),
peningkatan aktivitas psikomotor, takikardia, hipertensi, midriasis.
Penghentian pemakaian kokain atau setelah intoksikasi akut
dapat terjadi depresi pasca intoksikasi (crash) yang ditandai dengan
disforia, anhedonia, kecemasan, iritabilitas, kelelahan, hipersomnolensi,
dan kadang-kadang agitasi. Pada pemakaian kokain ringan sampai
sedang, gejala putus kokain menghilang dalam 18 jam. Pada pemakaian
berat, gejala putus kokain bisa berlangsung sampai satu minggu, dan
mencapai puncaknya pada dua sampai empat hari. Gejala putus kokain
juga dapat disertai dengan kecenderungan untuk bunuh diri. Orang yang
mengalami putus kokain seringkali berusaha mengobati sendiri gejalanya
dengan alkohol, sedatif, hipnotik, atau obat antiensietas seperti diazepam
(Valium).
5. Morfin
Morfin adalah hasil olahan dari opium/candu mentah. Morfin
merupakan alkaloid utama dari opium (C17H19NO3). Morfin rasanya
pahit, berbentuk serbuk atau tepung halus berwarna putih atau dalam
bentuk cairan berwarna. Pemakaiannya dengan cara dihisap dan atau
disuntikkan melalui pembuluh darah bali (vena).
6. Heroin (putau)
Heroin mempunyai kekuatan dua kali lebih kuat daripada morfin.
Heroin secara farmakologis mirip dengan morfin, efeknya menyebabkan
orang menjadi mengantuk dan perubahan mood yang tidak menentu.
Walaupun pembuatan, penjualan dan pemilikan heroin adalah melanggar
hukum (ilegal), tetapi heroin diusahakan tetap tersedia bagi pasien
penderita penyakit kanker yang parah karena efek analgesik dan
euforiknya yang baik. Heroin atau diamorfin (INN) adalah sejenis opioid
alkaloid. Heroin adalah derivatif 3.6-diasetil dari morfin (karena itulah
namanya adalah diasetilmorfin) dan disintesiskan melalui asetilasi.
Bentuk kristal putihnya umumnya adalah garam hidroklorida, diamorfin
hidroklorida. Heroin dapat menyebabkan kecanduan.
7. Codein
Codein termasuk garam atau turunan dari opium (candu). Efek
codein lebih lemah daripada heroin, dan potensinya untuk menimbulkan
ketergantungaan rendah. Biasanya dijual dalam bentuk pil atau cairan
jernih. Cara pemakaiannya ditelan dan disuntikkan.
8. Demerol
Nama lain dari Demerol adalah pethidina. Pemakaiannya dapat
ditelan atau dengan suntikan. Demerol dijual dalam bentuk pil dan cairan
tidak berwarna.
9. Methadon
Saat ini methadone banyak digunakan orang dalam pengobatan
ketergantungan opioid. Sejumlah besar narkotik sintetik (opioid) telah
dibuat, termasuk meperidine (Demerol), methadone (Dolphine),
pentazocine (Talwin), dan propocyphene (Darvon).
Efek yang ditimbulkan
1. Perlambatan dan kekacauan pada saat berbicara.
2. Kerusakan penglihatan pada malam hari.
3. Kerusakan pada liver dan ginjal
4. Peningkatan risiko terkena virus HIV dan hepatitis dan penyakit infeksi
lainnya melalui jarum suntik.
5. Penurunan hasrat dalam hubungan sex.
6. Kebingungan dalam identitas seksual.
7. Kematian karena overdosis.
Satu atau lebih tanda berikut yang berkembang selama atau
segera setelah pemakaian opioid, yaitu konstraksi pupil (atau dilatasi
pupil karena anoksia akibat overdosis berat), mengantuk, bicara cadel,
gangguan atensi atau daya ingat, koma, perilaku maladaptif atau
perubahan psikologis yang bermakna secara klinis misalnya : euforia
awal diikuti oleh apatis, disforia, agitasi atau retardasi psikomotor,
gangguan pertimbangan, atau gangguan fungsi sosial atau pekerjaan yang
berkembang selama, atau segera setelah pemakaian opioid.
D. Memahami Efek Ketergantungan Narkotika
Ketergantungan Narkotika merupakan suatu penyakit kompleks yang
ditandai oleh adanya keinginan kuat untuk selalu memakai obat (craving)
meskipun disadari akan berbahaya dan dapat mengancam kehidupannya.
Penyakit ini bersifat menahun dan sering kambuh walaupun ada periode
abstinensia untuk waktu yang cukup lama. Namun demikian, disamping efek-
efek jangka lama yang mungkin timbul perlahan-lahan, pengguna narkoba
juga sangat mungkin mengalami keadaan darurat yang membutuhkan
pertolongan segera, antara lain overdosis dan sakaw.
a. Overdosis
Obat-obatan yang sering dipakai tersebut mempunyai efek pada
kerja otak. Otak mengendalikan fungsi dari tubuh, seperti paru-paru yang
membuat oksigen beredar ke darah, ginjal dan hati yang menetralkan
racun dari tubuh, dan jantung yang memompa darah ke seluruh tubuh.
Penggunaan drugs dapat mempengaruhi satu atau lebih dari aktivitas
fungsi tubuh yang penting ini. Tubuh seseorang sebenarnya dapat
menyesuaikan dengan perubahan ini, tetapi jika jumlah/kadar obat yang
dipakai terlalu banyak, perubahannya dapat melebihi kemampuan tubuh
dalam menyesuaikan diri dan menimbulkan efek samping yang seringkali
berbahaya.
Efek samping dari obat-obat ini mungkin tidak dirasakan secara
langsung. Hati dan ginjal dapat rusak karena obat-obat ini membuat organ-
organ bekerja lebih keras. Jika otak terlalu banyak terpapar obat-obatan ini
dalam waktu yang relative singkat, efek yang muncul sangat berbahaya
antara lain hilangnya kesadaran, berhentinya pernafasan, gagal jantung,
dan kematian. Inilah yang disebut overdosis dari obat-obatan. Overdosis
sangat berbahaya tetapi tidak akan fatal akibatnya jika ditangani dengan
cepat dan tepat. Siapa saja yang memakai drugs dapat mengalami
overdosis, orang yang baru pertama kali menggunakan sampai orang yang
telah bertahun-tahun menggunakan obat.
b. Sakaw
Ketergantungan fisik merupakan suatu fenomena alami bila
seseorang menggunakan suatu obat (biasanya golongan opioid seperti
morfin dll) dalam dosis yang cukup besar dan berjangka lama. Sel-sel
tubuh yang terpajan obat akan beradaptasi sehingga terdapat suatu
keseimbangan biologis yang baru. Penghentian penggunaan opioid secara
tiba-tiba pada seseorang yang sudah bergantung pada opioid dalam jangka
lama akan menimbulkan reaksi putus obat dengan gejala-gejala:
Tingkat 0 : Craving (kerinduan dan keinginan kuat untuk
mengkonsumsi opiat), ansietas
Tingkat I : Menguap, lakrimasi, rinorea, berkeringat
Tingkat II : Midriasis, piloereksi, anoreksia, tremor, panas dingin
Tingkat III : Peningkatan keluhan dan gejala, suhu meningkat, tekanan
darah dan nadi meningkat, napas cepat dan dalam,
ejakulasi/orgasme spontan.
Gejala putus obat ini merupakan perasaan yang sangat tidak
menyenangkan walaupun tidak mematikan. Reaksi gejala putus obat
berlangsung sekitar 5-10 hari.
BAB III
PEMBAHASAN

Pengobatan ketergantungan narkotika/opioid adalah dengan menggunakan


pengobatan adiksi atau detoksifikasi. Detoksifikasi adalah proses menghilangkan
racun (narkotika dan/atau zat adiktif lain) dari tubuh dengan cara menghentikan total
pemakaian semua zat adiktif atau dengan penurunan dosis obat pengganti.
Detoksifikasi bisa dilakukan dengan berobat jalan atau dirawat di rumah sakit.
Biasanya proses detoksifikasi dilakukan terus menerus selama satu sampai tiga
minggu, sampai hasil tes urin menjadi negatif dari zat adiktif. Terapi detoksifikasi
ketergantungan opioid antara lain :
1. Detoksifikasi dengan Metadon
Metadon merupakan drug of choice dalam terapi detoksifikasi
ketergantungani narkotika. Metadon adalah opioid (narkotika) sintetis yang kuat
seperti heroin (putaw) atau morfin, tetapi tidak menimbulkan efek sedatif yang
kuat. Metadon biasanya disediakan pada program pengalihan narkoba, yaitu
program yang mengganti heroin yang dipakai oleh pecandu dengan obat lain yang
lebih aman. Metadon bukan penyembuh untuk ketergantungan opioid, selama
memakai metadon, penggunanya tetap tergantung pada opioid secara fisik. Tetapi
metadon menawarkan kesempatan pada penggunanya untuk mengubah hidupnya
menjadi lebih stabil dan mengurangi risiko terkait dengan penggunaan Napza
suntikan, dan juga mengurangi kejahatan yang sering terkait dengan kecanduan.
Program metadon mempunyai dua tujuan. Tujuan pertama adalah untuk
membantu pengguna berhenti memakai heroin atau opioid lain (detoksifikasi),
diganti dengan takaran metadon yang dikurangi tahap-demi-tahap selama jangka
waktu tertentu. Tujuan kedua adalah untuk menyediakan terapi rumatan
(pemeliharaan), yang memberikan metadon pada pengguna secara terus-menerus
dengan dosis yang disesuaikan agar pengguna tidak mengalami gejala putus zat
(sakaw).
Dosis awal yang dianjurkan adalah 15-30 mg untuk tiga hari pertama.
Kematian sering terjadi bila menggunakan dosis awal yang melebihi 40 mg.
Pasien harus diobservasi 45 menit setelah pemberian dosis awal untuk memantau
tanda-tanda toksisitas atau gejala putus obat. Metadon harus diberikan dalam
bentuk cair dan diencerkan sampai menjadi 100 cc. Pasien harus hadir setiap hari
di klinik. Metadon akan diberikan oleh asisten apoteker atau perawat yang diberi
wewenang oleh dokter. Pasien harus segera menelan metadon tersebut di hadapan
petugas PTRM. Petugas PTRM akan memberikan segelas air minum. Setelah
diminum, petugas akan meminta pasien menyebutkan namanya atau mengatakan
sesuatu yang lain untuk memastikan bahwa metadon telah ditelan. Pasien harus
menandatangani buku yang tersedia, sebagai bukti bahwa ia telah menerima dosis
metadon hari itu.
Stabilisasi
Fase stabilisasi bertujuan untuk menaikkan perlahanlahan dosis dari dosis
awal sehingga memasuki fase rumatan. Pada fase ini risiko intoksikasi dan
overdosis cukup tinggi pada 10-14 hari pertama. Dosis yang direkomendasikan
digunakan dalam fase stabilisasi adalah dosis awal dinaikkan 5-10 mg tiap 3-5
hari. Hal ini bertujuan untuk melihat efek dari dosis yang sedang diberikan. Total
kenaikan dosis tiap minggu tidak boleh lebih 30 mg. Apabila pasien masih
menggunakan heroin maka dosis metadon perlu ditingkatkan.
Kadar metadon dalam darah akan terus meningkat selama 5 hari setelah
dosis awal atau penambahan dosis dan waktu paruh metadon cukup panjang yaitu
24 jam, sehingga bila dilakukan penambahan dosis setiap hari akan berbahaya
akibat akumulasi dosis, maka dari itu penambahan dosis dilakukan setiap 3-5 hari.
Pasien yang mengikuti program terapi metadon yang secara konsisten
menggunakan benzodiazepin, kokain, atau amfetamin mempunyai risiko yang
signifikan terhadap komplikasi dan mempunyai prognosis yang lebih buruk.
Sebagai tambahan, dapat disebutkan bahwa kombinasi alkohol, sedativa dan opiat
berjangka kerja pendek (misalnya oksikodon dan hidromorfon) secara nyata
meningkatkan risiko kematian akibat overdosis.
Beberapa kriteria penambahan dosis adalah sebagai berikut:
1. Adanya tanda dan gejala putus opiat (obyektif dan subyektif).
2. Jumlah dan/atau frekuensi penggunaan opiat tidak berkurang.
3. Craving tetap masih ada.
Prinsip terapi pada PTRM adalah start low go slow aim high, artinya
memulai dosis yang rendah adalah aman, peningkatan dosis perlahan adalah
aman, dan dosis rumatan yang tinggi adalah lebih efektif.
Fase Rumatan
Dosis rumatan rata-rata adalah 60-120 mg per hari. Dosis rumatan harus
dipantau dan disesuaikan setiap hari secara teratur tergantung dari keadaan pasien.
Selain itu banyak pengaruh sosial lainnya yang menjadi pertimbangan
penyesuaian dosis. Fase ini dapat berjalan selama bertahun-tahun sampai perilaku
stabil, baik dalam bidang pekerjaan, emosi dan kehidupan sosial.
Fase Penghentian
Metadon dapat dihentikan secara bertahap perlahan (tappering off).
Penghentian metadon dapat dilakukan pada keadaan berikut:
1. Pasien sudah dalam keadaan stabil.
2. Minimal 6 bulan pasien dalam keadaan bebas heroin.
3. Pasien dalam kondisi yang stabil untuk bekerja dan dalam lingkungan rumah
(stable working dan housing).
Penurunan dosis maksimal sebanyak 10 %. Penurunan dosis yang
direkomendasikan adalah setiap 2 minggu. Pemantauan perkembangan psikologis
pasien harus diperhatikan. Jika ada emosi tidak stabil, dosis dapat dinaikkan
kembali.
Pemantauan Pasien
Pasien diobservasi setiap hari setelah minum dosis pertama terutama untuk
tanda-tanda intoksikasi dalam tiga hari pertama. Jika terjadi gejala intoksikasi,
harus dinilai lebih dulu dosis berikut yang akan digunakan. Dalam bulan pertama
terapi, dilakukan evaluasi ulang pada pasien minimal satu kali seminggu.
Selanjutnya, dilakukan evaluasi ulang pada pasien minimal setiap bulan.
Penambahan dosis, selalu harus didahului dengan evaluasi ulang pada pasien.
Penilaian yang dilakukan terhadap pasien meliputi:
1. Derajat keparahan gejala putus obat.
2. Intoksikasi.
3. Penggunaan obat lain.
4. Efek samping.
5. Persepsi pasien terhadap kecukupan dosis.
6. Kepatuhan terhadap regimen obat yang diberikan.
7. Kualitas tidur, nafsu makan,dll.

2. Detoksifikasi dengan Buprenorfin


Buprenorfin adalah opioid (narkotik) sintetis yang kuat seperti heroin
(putaw), tetapi tidak menimbulkan efek sedatif yang kuat. Seperti metadon,
buprenorfin biasanya dipakai dalam program pengalihan narkoba, yaitu program
yang mengganti heroin yang dipakai oleh pecandu dengan obat lain yang lebih
aman. Buprenorfin bukan penyembuh untuk ketergantungan opiat: selama
memakai buprenorfin, penggunanya tetap tergantung pada opiat secara fisik.
Tetapi buprenorfin menawarkan kesempatan pada penggunanya untuk mengubah
hidupnya menjadi lebih stabil dan mengurangi risiko terkait dengan penggunaan
narkoba suntikan, dan juga mengurangi kejahatan yang sering terkait dengan
kecanduan. Program buprenorfin sering mempunyai dua tujuan pilihan. Tujuan
pertama adalah untuk membantu pengguna berhenti memakai heroin
(detoksifikasi), diganti dengan takaran buprenorfin yang dikurangi tahap demi
tahap selama jangka waktu tertentu. Tujuan kedua adalah untuk menyediakan
terapi rumatan (pemeliharaan), yang memberikan buprenorfin pada pengguna
secara terus-menerus dengan dosis yang disesuaikan agar pengguna tidak
mengalami gejala putus zat (sakaw).
Buprenorfin biasanya diberikan pada klien program dalam bentuk pil yang
tidak ditelan, tetapi ditaruh dibawah lidah sampai larut (sublingual). Proses ini
membutuhkan 2-10 menit. Buprenorfin tidak bekerja bila dikunyah atau ditelan.
Jangan menyuntik tablet buprenorfin yang dibuat jadi puyer dan dilarutkan
dengan air. Buprenorfin seharusnya dipakai di bawah pengawasan di klinik setiap
hari. Setiap klien membutuhkan takaran yang berbeda, karena adanya perbedaan
metabolisme, berat badan dan toleransi terhadap opiat. Beberapa waktu
dibutuhkan untuk menentukan takaran buprenorfin yang tepat untuk setiap klien.
Awalnya, klien harus diamati setiap hari dan reaksi terhadap dosisnya dinilai. Jika
klien menunjukkan tanda atau gejala putus zat, takaran harus ditingkatkan.
Umumnya program mulai dengan takaran 2-4mg buprenorfin dan kemudian
ditingkatkan 2-4mg per hari. Biasanya klien bertahan dalam terapi dan mampu
menghentikan penggunaan heroin dengan takaran buprenorfin 12-24mg/hari,
dengan maksimum pemberian 32mg/hari.
Buprenorfin dapat menyebabkan gejala putus zat bila dipakai segera
setelah opioid lain (heroin, morfin atau metadon). Buprenofin mempunyai yang
disebut sebagai “efek plafon”. Setelah takaran buprenorfin tertentu dipakai,
takaran yang lebih tidak menimbulkan efek yang lebih tinggi. Oleh karena ini,
overdosis buprenorfin jarang terjadi, jadi dianggap lebih aman daripada metadon.
Karena buprenorfin bertahan lebih lama dalam darah dibandingkan metadon,
untuk klien tertentu dosis buprenorfin dapat diberikan setiap tiga hari.
Buprenorfin sebaiknya tidak dipakai oleh perempuan hamil atau yang
mungkin menjadi hamil. Buprenorfin juga dapat mengarah pada air susu ibu
(ASI), dan memberi dampak buruk pada bayi yang disusui. Oleh karena itu, ibu
yang menyusui sebaiknya tidak memakai buprenorfin.
Efek samping buprenorfin pada awalnya serupa dengan opiat lain,
termasuk sakit kepala, mual, muntah dan sembelit. Namun klien yang dialihkan
dari heroin ke buprenorfin jarang mengalami efek samping. Sebelum mulai
memakai buprenorfin, berhenti memakai heroin atau metadon untuk beberapa
waktu sehingga gejala putus zat timbul, sedikitnya 8 jam untuk heroin dan 24 jam
untuk metadon. Bila mulai lebih cepat, dosis pertama buprenorfin akan membuat
langsung sakaw.

3. Detoksifikasi Opiat Ultra Cepat dan Terapi Rumatan Naltrekson untuk


Terapi Ketergantungan Opiat.
Terapi ini terdiri dari detoksifikasi yang membersihkan tubuh dari opiat
dan dilanjutkan dengan terapi rumatan naltrekson yang menjamin pasien dapat
mempertahankan tidak memakai opiat untuk penatalaksanaan craving. Sesudah
pemeriksaan psikologis dan medis komprehensif, pasien ketergantungan heroin
dirawat di ICU selama 24-36 jam, yang mencakup 6 jam medikasi pratindakan
(salbutamol, klonidin, diazepam, ranitidin, omeperazol, vit C, oktreotid dan
ondansetron).
Anestesi dimulai dengan midazolam dan propofol iv dan dirumat dengan
infus propofol. Naltrekson, klonidin, oktreotid diberikan selama anestesi yang
berlangsung selama 3,5-5 jam, bergantung pada berat ringannya gejala-gejala
putus obat yang timbul akibat pemberian naltrekson. Bila perlu, obat analgetik
dan sedatif diberikan sesudah anestesi dihentikan.
Keesokan harinya pasien dipulangkan dan dimulai terapi rumatan
naltrekson oral selama 10-12 bulan. Efek samping yang dijumpai meliputi lemas
badan, mengantuk, menggigil, merinding, mual, muntah, diare, nyeri perut,
mialgia, insomnia dan perasaan tidak enak. Pada kebanyakan pasien gejala-gejala
ini menghilang tanpa pengobatan dalam beberapa hari.
Metode
Setelah menjalani pemeriksaan fisis dan psikologis secara komprehensif
pasien menjalani puasa 12 jam, kemudian pasien dirawat di ICU pada pagi hari.
Premedikasi dilakukan dari jam0 sampai jam5 (salbutamol 2,5mg per inhalasi,
vitC 1000mg po, klonidin 0,375mg po, diazepam 10mg po, ranitidin 150mg po,
omeprazol 20mg po, oktreotid 0,05mg sk). Anestesi/detoks dilakukan dari jam 5
sampai ± jam 9. Selama anestesi, pasien diberi infus D5R 1000mL dan RS
1500mL. Anestesi dimulai dengan pemberian midazolam 2-3mg iv dan propofol
100-120mg iv dan seterusnya dipelihara dengan infus propofol 4-12mg/kg/jam.
Selama anestesi pasien juga mendapat pengobatan ondansetron 4mg iv,
oktreotid 0,15mg sk, ranitidin 50mg iv. Setelah induksi anestesi, pasien diberi
NTX dengan dosis total 50-87,5mg, klonidin 0,375-0,525mg dan diazepam 10mg
lewat pipa lambung. Malam hari pasca detoks pasien diberi diazepam 10mg po,
klonidin 0,075mg po. Keesokan harinya, pagi hari pasien diberi infus D5W 1L +
15mEq KCl dan ranitidin 150mg; klonidin 0,075mg; NTX 25mg; parasetamol
500mg; vitC 500mg po, kemudian pasien mendapat sarapan dan boleh pulang.
Mulai hari ke-2 pasca detoks NTX diberikan dalam dosis 25-50mg po
selama 7-10 hari, selanjutnya diberikan dalam dosis 25mg selama 10-12 bulan
bergantung pada beratnya adiksi. Setelah itu, selama 2 bulan pasca detoks pasien
dihubungi per telepon atau tatap muka langsung untuk menanyakan efek samping
yang timbul dan kalau perlu diberi terapi simptomatik. Setiap bulan selama 10 –
12 bulan pasien juga ditanya tentang derajat craving dengan menggunakan visual
analog scale. Setiap 3 bulan, SGOT dan SGPT pasien diperiksa.
KESIMPULAN

1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman
baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa
nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.
2. Narkotika terbagi dalam 3 golongan, namun yang paling sering
disalahgunakan adalah narkotika golongan I :
a. Opioid : morfin, herion (putauw), petidin, candu, dan lain-lain.
b. Ganja atau kanabis, marihuana, hashis.
c. Kokain, yaitu serbuk kokain, pasta kokain, daun koka.
3. Berdasarkan efeknya, narkotika terbagi menjadi 3 golongan :
a. Golongan depresan (Downer)
b. Golongan stimulant (Upper)
c. Golongan halusinogen
4. Ketergantungan (dependence use) yaitu telah terjadi toleransi dan gejala putus
zat, bila pemakaian narkotika dihentikan atau dikurangi dosisnya.
5. Terapi detoksifikasi ketergantungan opioid antara lain :
a. Detoksifikasi dengan metadhon.
b. Detoksifikasi dengan buprenorfin.
c. Detoksifikasi Opiat Ultra Cepat dan terapi rumatan naltrekson.
DAFTAR PUSTAKA

BNN. Jenis-jenis Narkotika. Jakarta : 2008.


Depkes RI. Buku Pedoman Praktis Mengenai Penyalahgunaan NAPZA bagi Petugas
Puskesmas. Jakarta.
Dinkes. Jenis-jenis Narkotika. Jakarta : 2008.
Japardi, Iskandar. Efek Neurologis Pada Penggunaan Heroin (Putaw). Bagian Bedah :
USU. 2002. Hal : 1-10.
Sunatrio, Rahmat, Darmansyah, dan Thedja. Detoksifikasi Opiat Ultra Cepat dan
Terapi Rumatan Naltrekson untuk Terapi Ketergantungan Opiat. Jakarta : 2000.
Spiritia. Buprenorfin. Jakarta : 2006.
Obat, Narkotika, dan Penyalahgunaan Obat. Bab 17. Jakarta. Hal 401-440.
BNN. Mengenali Jenis Narkotika : Narkotika (menurut UU RI Nomor 22 Tahun
1997, tentang Narkotika). Jakarta : 2010.
Suparman, Eman. Bahaya Menyalahgunakan Narkotika dan Obat Terlarang Lainnya
Bagi Generasi Penerus Bangsa. Bandung : UNPAD. 2001.
Penyalahgunaan Obat, Narkotika, dan Alkohol. Makalah, Jakarta : 2010.
Latief, S; Suryadi, Kartini; dan Dachlan, Ruswan. Terapi Ketergantungan Opiod.
Anestesiologi Edisi II. 2001. Jakarta : FKUI.

Anda mungkin juga menyukai