Anda di halaman 1dari 74

PROPOSAL

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN PENERAPAN MOBILISASI UNTUK


MENCEGAH GANGGUAN INTEGRITAS KULIT (DEKUBITUS)
PADA PASIEN BEDREST TOTAL YANG DIRAWAT
DIWILAYAH KERJA PUSKESMAS AMAHAI

HARIMA PEIRISSA
P07120317010

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKES KES KEMENKES KESEHATAN MALUKU
PROGRAM STUDI KEPERAWATAN MASOHI
2019/2020

1
PROPOSAL

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN PENERAPAN MOBILISASI UNTUK


MENCEGAH GANGGUAN INTEGRITAS KULIT (DEKUBITUS)
PADA PASIEN BEDREST TOTAL YANG DI RAWAT
DI WILAYAH PUSKESMAS AMAHAI

Proposal Karya Tulis Ilmiah Ini Di Susun Sebagai Salah Satu Persyaratan
Untuk Menyelesaikan Pendidikan Diploma III keperawatan Pada
Program Studi Keperawatan Masohi Jurusan Keperawatan
Politeknik Kesehatan Kemenkes Maluku

HARIMA PEIRISSA
P07120317010

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKES KES KEMENKES KESEHATAN MALUKU
PROGRAM STUDI KEPERAWATAN MASOHI
2019/2020
LEMBAR PERSETUJUAN

Proposal Karya Tulis Ilmiah oleh Harima Peirissa NIM P07120317010

dengan Judul “Asuhan Keperawatan Dengan Penerapan Mobilisasi Untuk

Mencegah Gangguan Integritas Kulit Pada Pasien Bedrest Total Di

Puskesmas Amahai” telah diperiksa dan disetujui untuk diujikan.

Masohi, ..........Februari 2020

Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

Ns.IrhamdiAchmad S.Kep.,M.Kep Ns.A.Miftahul Khair,S.Kep.,M.Kep


NIP.197408041999031002 NIP. 198512222010122006
PERYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Harima peirissa

NIM : PO7120317010

Program Studi : Keperawatan Masohi

Institusi : Politeknik Kesehatan Kemenkes Maluku

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Proposal Karya Tulis Ilmiah yang


saya tulis ini adalah benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri dan
bukan merupakan pengambil alihan tulisan atau pikiran oang lain yang
saya akui sebagai hasil tulisan atau pikiran saya sendiri

Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan Proposal Karya


Tulis Ilmiah ini hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas
perbuatan tersebut

Masohi, .......... Februari 2020

Pembuat Pernyataan

Harima Peirissa
NIM. P07120317010

Mengetahui,
Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

Ns.IrhamdiAchmad S.Kep.,M.Kep Ns.A.Miftahul Khair,S.Kep.,M.Kep


NIP.197408041999031002 NIP. 198512222010122006
LEMBAR PENGESAHAN

Proposal Karya Tulis Ilmiah oleh Harima Peirissa P07120317010 dengan


judul “Asuhan Keperawatan Dengan Penerapan Mobilisasi Untuk
Mencegah Gangguan Integritas Kulit Pada Pasien Bedrest Total Di
Puskesmas Amahai” telah dipertahankan di depan dewan penguji pada
tanggal 04 Januari 2020.

Dewan Penguji

Ketua Dewan Penguji

Ns.Irhamdi Achmad.,S.Kep.,M.Kep
NIP. 197408041999031002

Penguji Anggota I Penguji Anggota II

Ns.U.B.Ohorella.,M.Kep.,Sp.KMB Ns.A.Miftahul Khair,S.Kep.,M.Kep


NIP.198001262003121002 NIP. 198512222010122006

Mengetahui
Ketua Program Studi

Rigoan Malawat, S.Kep.,M.Kep


NIP.197007291995032001
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kerusakan integritas kulit merupakan keadaan dimana seorang

individu mengalami atau beresiko terhadap kerusakan jaringan

epidermis dan dermis (Carpenito,2009). Bedrest total merupakan

perawatan yang melibatkan berbaringnya pasien ditempat tidur dalam

jangka waktu yang lama. (Elizabeth D Agabegi; & Steven S, 2008).

Menurut World Health Organization (WHO) Prevalensi

terjadinya luka dekubitus di Amerika Serikat juga cukup tinggi, hasil

penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa pasien yang

dirawat di rumah sakit menderita dekubitus sebanyak 37 orang

mengalami gangguan integritas kulit(dekubitus) dari 78 pasien yang

dirawat di Rumah Sakit sehingga mendapatkan perhatian dari

kalangan tenaga kesehatan yang ada dunia, (WHO 2010).

Sehingga World Health Organization (WHO) menetapkan

target dan sasaran mutu pasien tidak mengalami luka tekan atau ulkus

dekubitus selama perawatan haruslah 0%, ( WHO 2014). Hasil dari

penelitian yang dilakukan diRumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi

Medan insiden terjadinya luka tekan cukup tinggi yaitu sekitar 33,3%,

atau 39 orang mengalami dekubitus dari 117 pasien.

Penelitian lainnya di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makasar,

insiden terjadinya luka tekan cukup tinggi yaitu sekitar 72 orang


pasien bedrest total yang yang dirawat, sebanyak 12 orang (15,8%)

mengalami dekubitus (Umi Farid & Sri Murini 2019).

Pengaruhnya gangguan integritas kulit dari RSUP Dr. Wahidin

Sudirohusodo Makasar dengan tenaga kesehatan yang banyak, tetapi

masih ada pasien yang mengalami decubitus. Dari data tersebut

maka menjadi prihatin bagi tenaga-tenaga kesehatan di daerah-

daerah agar tidak terjadi gangguan integritas kulit terutama

diPuskesmas Amahai

Gangguan integritas kulit menurut Henny, S., et al (2017).

Menunjukan nilai dekubitus pada kelompok intervensi, rata-rata

derajat resiko dekubitus pada kelompok intervensi sebelum diberikan

mobilisasi sebesar 10,86 dengan nilai terendah 10 dan nilai tertinggi

14 kemudian setelah diberikan intervensi rata-rata derajat resiko

dekubitus adalah 7,73 dengan nilai terendah 5 dan nilai tertinggi 14.

Hal ini membuktikan bahwa dengan dilakukan mobilisasi dapat

menurunkan angka resiko dekubitus. Penyebab Gangguan integritas

kulit (dekubitus) yang terjadi merupakan akibat utama dari tekanan,

tetapi ada faktor-faktor tambahan yang dapat meningkatkan resiko

terjadi dekubitus yang lebih lanjut pada pasien. Termasuk diantaranya

gaya gesek dan friksi, kelembaban, nutrisi buruk, anemia, infeksi,

demam, gangguan sirkulasi perifer, obesitas, kakeksia dan usia,

(Maria Hygeia F.M 2017).


Tindakan pencegahan harus dilakukan sedini mungkin dan

terus menerus, sebab pada pasien bedrest total dengan gangguan

mobilisasi yang mengalami tekanan terlalu lama ditempat tidur dalam

waktu yang cukup lama tanpa mampu untuk merubah posisi akan

berisiko tinggi mengalami kerusakan integritas kulit. Berdasarkan

keterbatasan tersebut, maka tindakan pencegahan dekubitus harus

dilakukan dengan mobilisasi.

Mobilisasi merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak

secara bebas, mudah, dan teratur yang bertujuan untuk memenuhi

kebutuhan hidup sehat. (Mubarak dan Nurul C, 2007). Menurut

Hidayat (2006) dalam Sari dan Sitorus (2013), Mobilisasi dibutuhkan

untuk meningkatkan kemandirian diri, meningkatkan kesehatan,

memperlambat proses penyakit khususnya penyakit degeneratif, dan

untuk aktualisasi diri (harga diri dan citra tubuh). (Wahit, 2008).

Latihan mobilisasi biasanya dilakukan pada pasien semikoma,

tidak sadar, dan pasien dengan keterbatasan mobilisasi tidak mampu

melakukan beberapa atau semua latihan rentang gerak dengan

mandiri, pada pasien bedrest total.

Menurut data awal RSUD Masohi (2018-2019) prevalensi

pasien bedrest total di ruang ICU hitung melalui penyakit, rata-rata

pasien bedrest total yang di hitung pada tahun 2018 berjumlah 31

orang dan 2019 dari bulan januari-oktober berjumlah 27 orang. Setiap


pasien yang bedrest total jarang dilakukan mobilisasi, sehingga

meningkatkan resiko terjadinya gangguan integritas kulit (dekubitus).

Pengalaman peneliti selama praktik klinik diruang ICU RSUD

Masohi, jarang sekali untuk melakukan mobilisasi pada pasien yang

bedrest total. Sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

tentang penerapan mobilisasi untuk mencegah kerusakan integritas

kulit pada pasien bedrest total, dan memperlancar sirkulasi darah.

B. Rumusan Masalah

Bagaimanakah asuhan keperawatan dengan pemberian Mobilisasi

untuk mencegah kerusakan integritas kulit (dekubitus) di

Puskesmas Amahai

C. Tujuan Studi Kasus

Menggambarkan asuhan keperawatan dengan pemberian

Mobilisasi untuk mencegah kerusakan integritas kulit (dekubitus) di

Puskesmas Amahai

D. Manfaat Kasus

Studi kasus ini, diharapkan memberikan manfaat bagi :

1. Bagi Pasien dan Keluarga:

Menambahkan wawasan tentang penerapan mobilisasi pada

pasien bedrest total

2. Bagi Perawat
Menambah ilmu dan memperoleh pengalaman dalam

mengimplementasikan pemberian Mobilisasi untuk mencegah

kerusakan integritas kulit (dekubitus).

3. Bagi Institusi

a. Puskesmas Amahai

Memberi data bagi lembaga pelayanan kesehatan mengenai

bagaimana upaya peningkatan pencegahan kerusakan

integritas kulit (dekubitus)

b. Pendidikan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan

masukan dalam memperkarya bahan pustaka yang berguna

bagi pembaca secara keseluruhan dan penelitian selanjutnya

4. Bagi Penulis

Penulis dapat mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh dari

perkuliahan dan dapat menambah wawasan, pengalaman serta

pengetahuan peneliti dalam suatu penelitian terutama tentang

penerapan mobilisasi.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Asuhan keperawatan Pasien Bedrest Total

1. Pengkajian Keperawatan

Pengkajian adalah proses pengumpulan data secara

sistematis yang bertujuan untuk menentukan status kesehatan

yang fungsional klien pada saat ini dan waktu sebelumnya, serta

untuk menentukan pola respons klien saat ini dan waktu

sebelumnya (Potter & Perry, 2010).

Pengkajian keperawatan meliputi dua tahap sebagai berikut :

a. Mengumpulkan dan verifikasi data dari sumber primer (klien)

dan sumbersekunder (keluarga, tenaga kesehatan, rekam

medis)

b. Seluruh data sebagai dasar untuk menegakkan diagnosis

keperawatan, mengidentifikasi berbagai masalah yang saling

berhubungan, dan mengembangkan rencana keperawatan

yang sifatnya individual.

Hal yang perlu dikaji berdasarkan prioritas masalah

keperawatan yaitu “Integritas Kulit”, meliputi :

1) Biodata Umur/usia perlu ditanyakan karena adanya

hubungan dengan proses penyembuhan luka atau

regenerasi sel.
2) Keluhan Utama Merupakan keluhan yang paling dirasakan

oleh klien sehingga ia mencari pertolongan. Keluhan yang

diungkapkan klien pada umumnya yaitu adanya rasa

nyeri. Lokasi luka biasanya terdapat pada daerah- daerah

yang menonjol, misalnya pada daerah belakang kepala,

daerah bokong, tumit, bahu, dan daerah pangkal paha

yang mengalami ischemia sehingga terjadi ulkus

dekubitus.

3) Riwayat Penyakit Sekaran

Hal- hal yang perlu dikaji adalah mulai kapan keluhan

dirasakan, lokasi keluhan, intensitas, lamanya atau

frekuensi, faktor yang memperberat atau memperingan

serangan, serta keluhan- keluhan lain yang menyertai dan

upaya- upaya yang telah dilakukan perawat disini harus

menghubungkan masalah kulit dengan gejalanya seperti:

gatal, panas, mati rasa, immobilisasi, nyeri, demam,

edema, dan neuropati.

4) Riwayat Personal dan Keluarga

a) Riwayat penyakit keluarga perlu ditanyakan karena

penyembuhan luka dapat dipengaruhi oleh penyakit –

penyakit yang diturunkan seperti : DM, alergi,

Hipertensi ( CVA ).
b) Riwayat penyakit kulit dan prosedur medis yang pernah

dialami klien. Hal ini untuk memberikan informasi

apakah perubahan pada kulit merupakan manifestasi

dari penyakit sistemik seperti : infeksi kronis, kanker,

DM.

5) Riwayat Pengobatan Apakah klien pernah

menggunakan obat- obatan. Yang perlu dikaji

perawat yaitu:

a) Kapan pengobatan dimulai.

b) Dosis dan frekuensi.

c) Waktu berakhirnya minum obat

6) Riwayat Diet

Yang dikaji yaitu berat badan, tinggi badan, pertumbuhan

badan dan makanan yang dikonsumsi sehari- hari. Nutrisi

yang kurang adekuat menyebabkan kulit mudah terkena

lesi dan proses penyembuhan luka yang lama.

7) Status Sosial Ekonomi

Untuk mengidentifikasi faktor lingkungan dan tingkat

perekonomian yang dapat mempengaruhi pola hidup

sehari- hari, karena hal ini memungkinkan dapat

menyebabkan penyakit kulit.

8) Riwayat Kesehatan, seperti :

a) Bed-rest yang lama


b) Immobilisasi

c) Inkontinensia

d) Nutrisi atau hidrasi yang inadekuat

9) Pengkajian Psikososial

Kemungkinan hasil pemeriksaan psikososial yang tampak

pada klien yaitu:

a) Perasaan depresi

b) Frustasi

c) Ansietas/kecemasan

d) Keputusasaan

e) Gangguan Konsep Diri

f) Nyeri

10) Aktivitas Sehari- Hari

Pasien yang immobilisasi dalam waktu yang lama maka

bukan terjadi ulkus pada daerah yang menonjol karena

berat badan bertumpu pada daerah kecilyang tidak

banyak jaringan dibawah kulit untuk menahan kerusakan

kulit. Sehingga diperlukan peningkatan latihan rentang

gerak dan mengangkat berat badan.

11) Pemeriksaan Fisik

a) Keadaan Umum Umumnya penderita datang dengan

keadaan sakit dan gelisah atau cemas akibat adanya

kerusakan integritas kulit yang dialami.


b) Tanda-Tanda Vital

Tekanan darah normal, nadi cepat, suhu meningkat

dan respirasi rate meningkat.

c) Pemeriksaan Kepala Dan Leher

1) Kepala Dan Rambut Pemeriksaan meliputi bentuk

kepala, penyebaran dan perubahan warna rambut

serta pemeriksaan tentang luka. Jika ada luka

pada daerah tersebut, menyebabkan timbulnya

rasa nyeri dan kerusakan kulit.

2) Mata Meliputi kesimetrisan, konjungtiva, reflek

pupil terhadap cahaya dan gangguan penglihatan.

3) Hidung Meliputi pemeriksaan mukosa hidung,

kebersihan, tidak timbul pernafasan cuping

hidung, tidak ada sekret.

4) Mulut Catat keadaan adanya sianosis atau bibir

kering.

5) Telinga Catat bentuk gangguan pendengaran

karena benda asing, perdarahan dan serumen.

Pada penderita yang bet rest dengan posisi miring

maka, kemungkinan akan terjadi ulkus didaerah

daun telinga.
6) Leher Mengetahui posisi trakea, denyut nadi

karotis, ada tidaknya pembesaran vena jugularis

dan kelenjar limfe.

d) Pemeriksaan Dada Dan Thorax Inspeksi bentuk

thorax dan ekspansi paru, auskultasi irama

pernafasan, vokal premitus, adanya suara

tambahan, bunyi jantung, dan bunyi jantung

tambahan, perkusi thorax untuk mencari ketidak

normalan pada daerah thorax.

e) Abdomen Bentuk perut datar atau flat, bising usus

mengalami penurunan karena imobilisasi, ada masa

karena konstipasi, dan perkusi abdomen hypersonor

jika dispensi abdomen atau tegang.

f) Urogenital Inspeksi adanya kelainan pada perinium.

Biasanya klien dengan ulkus dan paraplegi

terpasang kateter untuk buang air kecil.

g) Muskuloskeletal Adanya fraktur pada tulang akan

menyebabkan klien bed rest dalam waktu lama,

sehingga terjadi penurunan kekuatan otot.

h) Pemeriksaan Neurologi Tingkat kesadaran dikaji

dengan sistem GCS. Nilainya bisa menurun bila

terjadi nyeri hebat (syok neurogenik) dan panas atau

demam tinggi, mual muntah, dan kaku duduk.


12) Pengkajian Fisik Kulit

a) Inspeksi Kulit

Pengkajian kulit melibatkan seluruh area kulit

termasuk membrane mukosa, kulit kepala, rambut

dan kuku. Tampilan kulit yang perlu dikaji yaitu

warna, suhu, kelembaban,kekeringan, tekstur kulit

(kasar atau halus), lesi, vaskularitas. Yang harus

diperhatikan oleh perawat yaitu :

(1) Warna, dipengaruhi oleh aliran darah, oksigenasi,

suhu badan dan produksi pigmen. Lesi yang

dibagi dua yaitu :

(a) Lesi primer, yang terjadi karena adanya

perubahan pada salah satu komponen kulit

(b) Lesi sekunder adalah lesi yang muncul

setelah adanya lesi primer. Gambaran lesi

yang harus diperhatikan oleh perawat yaitu

warna, bentuk, lokasi dan kofigurasinya.

(2) Edema Selama inspeksi kulit, perawat mencatat

lokasi, distribusi dan warna dari daerah edema

Edema Selama inspeksi kulit, perawat mencatat

lokasi, distribusi dan warna dari daerah edema

(3) Kelembaban Normalnya, kelembaban meningkat

karena peningkatan aktivitas atau suhu


lingkunganyang tinggi kulit kering dapat

disebabkan oleh beberapa faktor, seperti

lingkungan kering atau lembab yang tidak cocok,

intake cairan yang inadekuat, proses menua.

(4) Integritas

Yang harus diperhatikan yaitu lokasi, bentuk,

warna, distribusi, apakah ada drainase atau

infeksi.

(5) Kebersihan kulit

(6) Vaskularisasi

Perdarahan dari pembuluh darah menghasilkan

petechie dan echimosis.

(7) Palpasi kulit Yang perlu diperhatikan yaitu lesi

pada kulit, kelembaban, suhu, tekstur atau

elastisitas, turgor kulit.

2. Diagnosa keperawatan

Berdasarkan pengkajian dan analisa data, ditemukan alternatif

diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada masalah

kerusakan integritas kulit menurut (SDKI , 2016) yaitu :

a. Gangguan integritas kulit /jaringan berhubungan faktor

mekanis penekanan pada tonjolan tulang, gesekan.


1) Definisi

Kerusakan integritas kulit (dermis dan/atau epidermis)

atau jaringan (membran mukosa, kornea, fasia, otot,

tendon, tulang, kartilago, kapsul sendi dan/atau ligamen).

2) Batasan karakteristik

a) Gejala dan tanda mayor

Subjektif (tidak tersedia)

Objektif : kerusakan jaringan dan/atau lapisan kulit

b) Gejala dan tanda minor

Subjektif (tidak tersedia)

Objektif :

(1) Nyeri

(2) Perdarahan

(3) Kemerahan

(4) Hematoma

b. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik

1) Definisi

Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan

dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional,

dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas

ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari 3

bulan.
2) Batasan karakteristik

a) Gejala dan tanda mayor

Subjektif : mengeluh nyeri

Objektif :

(1) Tampak meringis

(2) Bersikap protektif (mis. Waspada, posisi

menghindari nyeri)

(3) Gelisa

(4) Frekuensi nadi meningkat

(5) Sulit tidur

b) Gejala dan tanda minor

subjektif : (tidak tersedia)

objektif

(1) Tekanan darah meningkat

(2) Pola napas berubah

(3) Nafsu makan berubah

(4) Proses berfikir terganggu

(5) Menarik diri

(6) Berfokus pada diri sendiri

(7) Diaforesis
c. Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan integritas

kulit

1) Definisi

Berisiko mengalami peningkatan terserang organisme

patogenik.

2) Batasan karakteristik

Subjektif (tidak tersedia)

Objektif

(1) kemerahan

(2) Pembekakan

(3) Panas

(4) Rasa nyeri

(5) Fungsio laesa

3. Perencanaan keperawatan

Perencanaan, yang merupakan langkah ketiga dalam proses

keperawatan, adalah salah satu kategori perilaku keperawatan.

Pada langkah ini, perawat menetapkan tujuan dan hasil yang

diharapkan bagi klien dan merencanakan intervensi keperawatan

(Potter & Perry, 2010).

Berdasarkan hasil rumusan masalah, ditemukan

perencanaan keperawatan pada klien dengan masalah kebutuhan

dasar kerusakan integritas kulit yang meliputi tujuan, kriteria hasil,


dan intervensi yang diambil dari buku “Standar Intervensi

Keperawatan Indonesia” (SIKI, 2018 Hal. 350).

a. Gangguan integritas kulit /jaringan berhubungan faktor

mekanis penekanan pada tonjolan tulang, gesekan.

1) Perawatan tirah baring adalah meningkatkan kenyamanan

dan keamanan serta mencegah komplikasii pasien yang

menjalani tirah baring.

a) Monitor kondisi kulit

b) Monitor komplikasi tirah baring (mis. Kehilangan massa

otot, sakit punggung, konstipasi, stres, depresi,

kebingungan, berubahan irama tidur, infeksi saluran

kemih, sulit buang air kecil, pnemonia).

c) Pertahankan seprei tetap kering, bersih dan tidak kusut

d) Berikan latihan gerak aktif atau pasif

e) Ubah posisi setiap 2 jam

f) Anjurkan minum air yang cukup

g) Anjurkan meningkatan asupan nutrisiss

h) Anjurkan meningkatan asupan buah dan sayur

b. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik

1) Manajemen nyeri adalah mengidentifikasi dan mengolah

pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan

dengan kerusakan jaringan atau fungsional dengan


onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan

hingga berat dan konstan.

a) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,

kualitas, intensitas nyeri.

b) Monitor kebersihan terapi komplementer yang

sudah diberikan

c) Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi

rasa nyeri (mis, massase)

d) Jelaskan penyebab, dan pemicu nyeri

e) Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

c. Resiko infeksi berhubungab dengan kerusakan integritas

kulit

1) Perawatan luka tekan adalah mengidentifikasi dan

merawat luka akibat penekanan pada tonjolan tulan.

a) Monitor kondisi luka (meliputi ukuran luka, derajat

luka, perdarahan, warna dasar luka, infeksi,

eksudat, bau luka, kondisi tepi luka).

b) Bersikan luka bagian dalam dengan

menggunakan NaCL 0,9%

c) Laporkan tanda-tanda kerusakan kulit

d) Kolaborasi pemberian antibiotik, jika perlu

Pengaturan posisi menempatkan bagian tubuh untuk

meningkatkan kesehatan fisiologis dan/atau psikologi.


4. Implementasi

Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana

keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan (Setiadi,

2012).

a. Perawatan tirah baring adalah meningkatkan kenyamanan dan

keamanan serta mencegah komplikasii pasien yang menjalani

tirah baring.

1) Memonitor kondisi kulit

2) Memonitor komplikasi tirah baring (mis. Kehilangan massa

otot, sakit punggung, konstipasi, stres, depresi,

kebingungan, berubahan irama tidur, infeksi saluran kemih,

sulit buang air kecil, pnemonia).

3) Mempertahankan seprei tetap kering, bersih dan tidak

kusut

4) Memberikan latihan gerak aktif atau pasif

5) Mengubah posisi setiap 2 jam

6) Menganjurkan minum air yang cukup

7) Menganjurkan meningkatan asupan nutrisiss

8) Menganjurkan meningkatan asupan buah dan sayur

b. Manajemen nyeri adalah mengidentifikasi dan mengolah

pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan

kerusakan jaringan atau fungsional dengan onset mendadak

atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat dan konstan.


1) Mengidentifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,

kualitas, intensitas nyeri.

2) Memonitor kebersihan terapi komplementer yang sudah

diberikan

3) Memberikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa

nyeri (mis, massase)

4) Menjelaskan penyebab, dan pemicu nyeri

5) Mengkolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

c. Perawatan luka tekan adalah mengidentifikasi dan merawat

luka akibat penekanan pada tonjolan tulan.

1) Memonitor kondisi luka (meliputi ukuran luka, derajat luka,

perdarahan, warna dasar luka, infeksi, eksudat, bau luka,

kondisi tepi luka).

2) Membersikan luka bagian dalam dengan menggunakan

NaCL 0,9%

3) Melaporkan tanda-tanda kerusakan kulit

4) Mengkolaborasi pemberian antibiotik, jika perlu

5. Evaluasi

Evalusi merupakan langkah proses keperawatan yang

memungkinkan perawat untuk menentukan apakah intervensi

keperawatan telah berhasil meningkatkan kondisi klien. (Potter &

Perry, 2009).

a. Mengevaluasi mengubah posisi setiap 2 jam


b. Mengevaluasi memberikan teknik nonfarmakologis untuk

mengurangi rasa nyeri (mis, massase)

c. Mengevaluasi membersikan luka bagian dalam dengan

menggunakan NaCL 0,9%

B. Bedrest Total

1. Pengertian

Immobilisasi atau bedrest adalah intervensi untuk menahan

klien di tempat tidur untuk alasan terapeutik. Klien yang memiliki

keadaan yang bervariasi diletakkan dalam keadaan bedrest.

Durasinya bergantung pada penyakit atau cedera dan keadaan

kesehatan klien sebelumnya.41, 42 NANDA international

mendefinisikan gangguan mobilitas fisik sebagai keterbatasan pada

kemandirian, gerakan fisik pada tubuh, satu atau lebih ekstremitas

Gangguan tingkat mobilisasi fisik klien sering disebabkan oleh

gerakan dalam bentuk tirah baring, retriksi fisik karena peralatan

eksternal (misalnya gips atau traksi rangka), retraksi gerakan

volunter, atau gangguan fungsi motorik dan rangka.

Pada pasien kritis diperlukan istirahat total untuk mengurangi

pengguanaan oksigen, pengukuran oksigen, penguragan trauma,

agar energi digunakan untuk penyembuhan. Akan tetapi keadaan ini

menyebabkan perubahan psikologis, fisiologis dan psikososial. Hal


ini terutama terjadi bila imobilisasi mutlak dengan posisi terlentang,

trendelenburg, lateral, atau posisi fowler.

2. Dampak

Individu dengan berat dan tinggi badan rata- rata dan tanpa

penyakit kronis yang dalam keadaan tirah baring, akan kehilangan

kekuatan otot sebanyak 3% setiap hari. Immobilisasi juga

dihubungkan dengan perubahan kardiovaskuler, rangka dan organ

lainnya. Keparahan perubahan sistem bergantung pada kesehatan

keseluruhan, derajat lama mobilisasi, dan usia. Misalnya lansia

dengan penyakit kronis mengembangkan dampak mobilisasi yang

lebih cepat dari pada klien yang lebih muda dengan masalah

imobilisasi yang sama.Diantara dampak yang terjadi terhadap

imobilisasi adalah: 43,44,45,46

a. Perubahan Metabolisme

Perubahan mobilisasi akan mempengaruhi metabolisme

endokrin, resorpsi kalsium dan fungsi gastrointestinal. Sistem

endokrin menghasilkan hormon, mempertahankan dan

meregulasi fungsi vital seperti:

1) berespon pada stress dan cedera

2) pertumbuhan dan perkembangan

3) reproduksi

4) mempertahankan lingkungan internal

5) produksi pembentukan dan penyimpanan energi.


Imobilisasi mengganggu fungsi metabolisme normal seperti:

menurunkan laju metabolisme, mengganggu metabolisme

karbohidrat, lemak dan protein, dan menyebabkan gangguan

gastrointestinal seperti nafsu makan dan peristaltik berkurang.

Namun demikian pada proses infeksi klien yang imobilisasi

mengalami peningkatan BMR karena demam dan penyembuhan

luka membutuhkan oksigen.

b. Perubahan Pernafasan

Kurangnya pergerakan dan latihan akan menyebabkan klien

memiliki komplikasi pernafasan. Komplikasi pernafasan yang

paling umum adalah atelektasis (kolapsnya alveoli) dan

pneumonia hipostatik (inflamasi pada paru akibat statis atau

bertumpuknya sekret). Menurunnya oksigenasi dan

penyembuhan yang alam dapat meningkatkan ketidaknyamanan

klien. Pada atelektasis, sekresi yang terhambat pada bronkiolus

atau bronkus dan jaringan paru distal (alveoli) kolaps karena

udara yang masuk diabsorpsi dapat menyebabkan hipoventilasi.

Sisi yang tersumbat mengurangi keparahan atelektasis. Pada

beberapa keadaan berkembangnya komplikasi ini. kemampuan

batuk klien secara produktif menurun. Selanjutnya distribusi

mukus pada bronkus meningkat, terutama saat klien dalam

posisi supine, telungkup atau lateral. Mukus berkumpul pada

bagian jalan nafas yang bergantung. Pneumonia hipostatik


sering menyebabkan mukus sebagai tempat yang baik untuk

bertumbuhnya bakteri.

c. Perubahan Kardiovaskuler

Imobilisasi juga mempengaruhi sistem kardiovaskuler. Tiga

perubahan utama adalah hipotensi ortostatik, meningkatnya

beban kerja jantung dan pembentukan trombus. Hipotensi

ortostatik adalah peningkatan denyut jantung lebih dari 15% atau

tekanan darah sistolik menurun 15 mmHg atau lebih saaat klien

berubah posisi dari posisi terlentang ke posisi berdiri.43 Pada

kilen yang imobilisasi, menurunnya volume cairan yang

bersirkulasi, berkumpulnya darah pada ekstremitas bawah,

menurunnya respon otonomik akan terjadi. Faktor ini akan

menurunkan aliran balik vena, disertai meningkatnya curah

jantung, yang direfleksikan dengan menurunnya tekanan darah.

Hal ini terutama terjadi pada klien lansia. Karena beban kerja

jantung meningkat, konsumsi oksigen juga meningkat. Oleh

karena itu, jantung akan bekerja lebih keras dan kurang efisiensi

jantung selanjutnya akan menurun sehingga beban kerja jantung

meningkat.

d. Perubahan Muskuloskeletal

Dampak imobilisasi pada sistem musluloskeletal adalah

gangguan permanen atau temporer atau ketidakmampuan yang

permanen. Pembatasan mobilisasi terkadang menyebabkan


kehilangan daya tahan, kekuatan dan massa otot, serta

menurunnya stabilitas dan keseimbangan. Dampak pembatasan

mobilisasi adalah gangguan metabolisme kalsium dan gangguan

sendi. Karena pemecahan protein, klien kehilangan massa tubuh

yang tidak berlemak. Massa otot berkurang tidak stabil untuk

mempertahankan aktivitas tanpa meningkatnya kelemahan. Jika

mobilisasi terus terjadi dan klien tidak melakukan latihan,

kehilangan massa otot akan terus terjadi. Kelemahan otot juga

terjadi karena imobilisasi, dan imobilisasi lama sering

menyebabkan atrofi angguran, dimana atrofi angguran (disuse

atrophy) adalah respon yang dapat diobservasi terhadap

penyakit dan menurunnya aktifitas kehidupan sehari-hari. Dan

imobilisasi kehilangan daya tahan, menurunnya massa dan

kekuatan otot, dan instabilitas sendi menyebabkan klien beresiko

mengalami cedera. Hal ini dapat terjadi dalam beberapa hari

bedrest, menunjukkan bahwa pasien kritis terpasang ventilator

dapat kehilangan hingga kelemahan otot perifer 25 % dalam

waktu 4 hari dan kehilangan 18 % berat badannya. Hilangnya

massa otot-otot rangka sangat tinggi dalam 2-3 minggu pertama

imobilisasi selama perawatan intensif.2

e. Perubahan Eliminasi Urine

Imobillisasi dapat mengubah eliminasi urine. Pada posisi tegak,

klien dapat mengeluarkan urine dari pelvis renal dan menuju


ureter dan kandung kemih karena gaya gravitasi. Saat klien

dalam posisi berbaring terlentang dan datar, ginjal dan ureter

bergerak maju ke sisi yang lebih datar. Urine yang dibentuk oleh

ginjal harus memasuki kandung kemih yang tidak dibantu oleh

gaya gravitasi. Karena kontraksi peristaltik ureter tidak mampu

menimbulkan gaya garvitasi, pelvis ginjal terisis sebelum urine

memasuki ureter. Kejadian ini disebut stastis urine dan

meningkatkan resiko infeksi saluran kemih dan batu ginjal. Batu

ginjal adalah batu kalsium yang terjebak dalam pelvis ginjal atau

melewati ureter. Klien imobilisasai beresiko tinggi terkena batu

ginjal, karena mereka sering mengalami hiperklasemia. Apabila

periode imobilisasi berlanjut, asupan cairan sering berkurang.

Ketika digabungkan dengan masalah lain seperti demam, resiko

dehidrasi meningkat. Akibatnya, keseluruhan urine berkurang

pada atau antara hari ke 5 atau ke 6 setelah imobilisasi, dan

urine menjadi pekat. Urine yang pekat ini meningkatkan resiko

kontaminasi traktus urinarius oleh bakteria escherchia coli.

Penyebab infeksi salurankemih lainnya pada klien yang

imobilsasi adalah penggunaan kateter urine indwelling.

f. Perubahan Integumen

Perubahan metabolisme yang menyertai imobilisasi dapat

meningkatkan efek tekanan yang berbahaya pada kulit klien

yang imobilisasi. Hal ini membuat imobilisasi menjadi masalah


resiko yang besar terhadap luka tekan. Metabolisme jaringan

bergantung pada suplai oksigen dan nutrisi serta eliminasi

sampah metabolisme dari darah. Tekanan mempengaruhi

metabolisme seluler dengan menurunkan atau mengeliminasi

sirkulasi jaringan secara keseluruhan.

g. Perubahan Perkembangan

Perubahan perkembangan merupakan dampak fisiologis yang

muncul akibat dari imobilisasi. Perubahan perkembangan

cenderung dihubungkan dengan imobilisasi pada anak yang

sangat muda dan pada lansia. Anak yang sangat muda atau

lansia yang sehat namun diimobilisasi memiliki sedikit perubahan

perkembangan. Namun, terdapatnya beberapa pengecualian.

Misalnya ibu yang mengalami komplikasi saat kelahiran harus

tirah baring dan mengakibatkan tidak mampu berinteraksi

dengan bayi baru lahir seperti yang dia harapkan.

C. Kerusakan Integritas Kulit

1. Definisi

Dekubitus merupakan masalah serius yang sering terjadi

pada pasien yang mengalami gangguan neurologis, penyakit

kronis, penurunan status mental, pasien yang dirawat di ruang

Intensive (ICU), onkologi, dan pasien dengan ortopedik (Potter &

Perry, 2010). Dekubitus merupakan lesi atau kerusakan struktur


anatomis dan fungsi kulit normal yang disebabkan oleh tekanan

eksternal yang terjadi secara terus-menerus pada daerah yang ada

penonjolan tulang sehingga merusak jaringan yang ada

dibawahnya dan tidak sembuh dengan urutan dan waktu yang

biasa (Kozier, Erb, Berman, & Snyder, 2010).

Pasien yang berada di tempat tidur untuk waktu yang lama,

pasien dengan disfungsi motorik dan sensorik, dan pasien yang

mengalami atrofi muskular dan reduksi bantalan antara kulit di

atasnya dengan tulang di bawahnya cenderung untuk mengalami

dekubitus. Dekubitus adalah area setempat dari jaringan lunak

yang mengalami infrak yang terjadi ketika tekanan diberikan pada

kulit melebih tekanan penutupan kapiler normal, sekitar 32 mm Hg.

Pasien yang sakit kritis mempunyai tekanan penutupan kapiler

yang lebih rendah dan berisiko tinggi terhadap dekubitus

(Smeltzer, 2011).

2. Etiologi

Menurut (Smeltzer, 2011 ) etiologi dibagi menjadi beberapa

diantaranya :

a. Tekanan yang berlebihan atau lama, dapat menekan pembuluh

darah, menyebabkan iskemia, inflamasi dan nekrosis jaringan.

b. Pergeseran terjadi karena adanya gesekan dengan permukaan

kulit atau jaringan epitel.


3. Klasifikasi

Menyatakan saat mengkaji kulit pasien berwarna gelap,

memerlukan pencahayaan sesuai untuk mengkaji kulit secara

akurat. Dianjurkan berupa cahaya alam atau halogen. Hal ini

mencegah munculnya warna biru yang dihasilkan dari sumber

lampu pijar pada kulit berpigmen gelap, yang dapat mengganggu

pengkajian yang akurat (NPUAP,2014). Ada perbandingan luka

dekubitus derajat I sampai derajat IV yaitu:

a. Derajat I : iskemik, hyperemia yang kembali walaupun tahanan

dilepas, indurasi tidak ada. Area eritema yang tidak memucat,

pembengkakan jaringan, dan kongesti, dan pasien mengeluh

tidak nyaman. Suhu kulit meningkat karena peningkatan

vasodilatasi. Kemerahan berubah menjadi lebih gelap, tampak

sianotik biru keabuan, yang diakibatkan oleh oklusi pada kapiler

kulit dan melemahnya subkutan.

b. Derajat II : kemerahan menetap, ada oedema, terdapat

indurasi, lepuh (blister), terjadi erosi. Menunjukan luka pada

kulit epidermis dan / atau dermis. Abrasi, lepuh atau lubang

yang dalam. Terjadi nekrosis, terjadi penebalan vena dan

thrombosis serta edema dengan ekstravasasi selular dan

infiltrasi.

c. Derajat III : ada lesi terbuka dan lubang sampai jaringan

subkutan, fasia terlihat di dasar ulkus. Meluas sampai jaringan


subkutan. Secara klinis terdapat lubang yang dalam dengan

atau tanpa erosi jaringan yang berdekatan.

d. Derajat IV : nekrosis meluas melewati fasiadan dapat mencapai

tulang. Bisa terjadi periostitis, osteotitis, osteomielitis. Meluas

ke dalam struktur di bawahnya, termasuk otot dan

kemungkinan tulang. Lesi kulit hanya menggambarkan “puncak

dari gunung es” karena permukaan ulkus yang kecil mungkin

timbul di atas area erosi yang luas.

Berdasarkan waktu yang diperlukan untuk penyembuhan

dari suatu ulkus dekubitus dan perbedaan temperatur dari ulkus

dengan kulit sekitarnya, dekubitus dapat dibagi menjadi tiga:

1) Tipe normal

Mempunyai beda temperatur sampai dibawah lebih kurang

2,5°C dibandingkan kulit sekitarnya dan akan sembuh

dalam perawatan sekitar 6 minggu. Ulkus ini terjadi karena

iskemia jaringan setempat akibat tekanan, tetapi aliran

darah dan pembuluh-pembuluh darah sebenarnya baik.

2) Tipe arterioskelerosis

Mempunyai beda temperatur kurang dari 1°C antara daerah

ulkus dengan kulit sekitarnya. Keadaan ini menunjukkan

gangguan aliran darah akibat penyakit pada pembuluh

darah (arterisklerotik) ikut berperan untuk terjadinya


dekubitus disamping faktor tekanan. Dengan perawatan,

ulkus ini diharapkan sembuh dalam 16 minggu.

3) Tipe terminal

Terjadi pada penderita yang akan meninggal dunia dan

tidak akan sembuh.

4. Patofisiologi

Tekanan daerah pada kapiler berkisar antara 16 mmHg-33

mmHg. Kulit akan tetap utuh karena sirkulasi darah terjaga, bila

tekanan padanya masih berkisar pada batas-batas tersebut. Tetapi

sebagai contoh bila seorang penderita immobil/terpancang pada

tempat tidurnya secara pasif dan berbaring diatas kasur busa maka

tekanan daerah sakrum akan mencapai 60-70 mmHg dan daerah

tumit mencapai 30-45 mmHg.

Tekanan akan menimbulkan daerah iskemik dan bila

berlanjut terjadi nokrosis jaringan kulit. Percobaan pada binatang

didapatkan bahwa sumbatan total pada kapiler masih bersifat

reversibel bila kurang dari 2 jam. Seorang yang terpaksa berbaring

berminggu-minggu tidak akan mengalami dakubitus selama dapat

mengganti posisi beberapa kali perjammnya.

Selain faktor tekanan, ada beberapa faktor mekanik tambahan

yang dapat memudahkan terjadinya dekubitus;

a. Faktor teregangnya kulit misalnya gerakan meluncur ke bawah

pada penderita dengan posisi dengan setengah berbaring


b. Faktor terlipatnya kulit akiab gesekan badan yang sangat kurus

dengan alas tempat tidur, sehingga seakan-akan kulit

“tertinggal” dari area tubuh lainnya.

c. Faktor teragannya kulit akibat daya luncur antara tubuh dengan

alas tempatnya berbaring akan menyebabkan terjadinya

iskemia jaringan setempat.

Keadaan ini terjadi bila penderita immobilisasi, tidak

dibaringkan terlentang mendatar, tetapi pada posisi setengah

duduk. Ada kecenderungan dari tubuh untuk meluncur kebawah,

apalagi keadaannya basah. Sering kali hal ini dicegah dengan

memberikan penhalang, misalnya bantal kecil/balok kayu pada

kedua telapak kaki. Upaya ini hanya akian mencegah pergerakan

dari kulit, yang sekarang terfiksasi dari alas, tetapi rangka tulang

tetap cederung maju kedepan. Akibatnya terjadi garis-garis

penekanan/peregangan pada jaringan subkutan yang sekan-akan

tergunting pada tempat-tempat tertentu, dan akan terjadi

penutupan arteriole dan arteri-arteri kecil akibat terlalu teregang

bahkan sampai robek. Tenaga menggunting ini disebut Shering

Forces.

Sebagai tambahan dari shering forces ini, pergerakan dari

tubuh diatas alas tempatnya berbaring, dengan fiksasi kulit pada

permukaan alas akan menyebabkan terjadinya lipatan-lipatan kulit

(skin folding). Terutama terjadi pada penderita yang kurus dengan


kulit yang kendur. Lipatan-lipatan kulit yang terjadi ini dapat

menarik/mengacaukan (distorsi) dan menutup pembuluh-pembuluh

darah.

Sebagai tambahan dari efek iskemia langsung dari faktor-

faktor diatas, masih harus diperhatikan terjadinya kerusakan edotil,

penumpukan trombosit dan edema. Semua inidapat menyebabkan

nekrosis jarigan akibat lebih terganggunya aliran darah kapiler.

Kerusakan endotil juga menyebabkn pembuluh darah mudah rusak

bila terkena trauma.Faktor tubuh sendiri (faktor intrinsik) juga

berperan untuk terjadinya dekubitus (Smeltzer, 2011).


5. Pathway
Faktor Primer Faktor sekunder

Tirah baring terlalu lama


Gangguan saraf ,
malnutrisi, anemia,
Intolenransi aktifitas infeksi, hygiene
buruk

Tekanan dari luar

Iskemik setempat

Pelepasan substansi H, akumulasi


metabolik, kalium, ADP, dan asam
laktat

Dilatasi pembuluh darah

Hiperemi

Kemerahan

Kerusakan jaringan kulit

Kerusakan Nyeri akut


Kerusakan Nyeri akut Resiko
Resiko
intregitas kulit infeksi
intregitas kulit infeksi

(Jein Sulastri 2012)


6. Tanda dan gejala

Tanda awal dekubitus adalah eritema (kemerahan pada

kulit) akibat hiperemia reaktif. Normalnya hiperemia reaktif

menghilang dalam kurang dari satu jam. Tekanan yang tidak

mereda mengakibatkan iskemia atau anoreksia jaringan. Jaringan

kutan menjadi rusak atau hancur, mengarah pada pengerusakan

progresif dan nekrosis dari jaringan lunak di bawahnya. Dekubitus

yang terbentuk sangat nyeri dan sembuh dengan lambat (Smeltzer,

2001).

7. Komplikasi

Komplikasi sering terjadi pada luka dekubitus derajat III dan IV,

walaupun dapat terjadi pada luka yang superfisial. Menurut

Subandar (2008) komplikasi yang dapat terjadi antara lain:

a. Infeksi, umumnya bersifat multibakterial baik aerobik maupun

anaerobik.

b. Keterlibatan jaringan tulang dan sendi seperti periostitis,

osteotitis, osteomielitis, dan arthritis septik.

c. Septikimia

d. Anemia

e. Hipoalbuminea

f. Kematian.

8. Tempat Terjadinya Luka Dekubitus


Beberapa tempat yang paling sering terjdinya dekubitus

adalah sakrum, tumit, siku, maleolus lateral, trokonter besar, dan

tuberostis iskial (Meehan, 1994). Menurut Bouwhuizen (1986) dan

menyebutkan daerah tubuh yang sering terkena luka dekubitus

adalah:

a. Pada penderita pada posisi terlentang: pada daerah belakang

kepala, daerah tulang belikat, daerah bokong dan tumit.

b. Pada penderita dengan posisi miring: daerah pinggir kepala

(terutama daun telinga), bahu, siku, daerah pangkal paha, kulit

pergelangan kaki dan bagian atas jari-jari kaki.

c. Pada penderita dengan posisi tengkurap: dahi, lengan atas,

tulang iga, dan lutut.

9. Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Luka Dekubitus

Gangguan integritas kulit yang terjadi pada dekubitus

merupakan akibat tekanan. Tetapi, ada faktor-faktor tambahan

yang dapat meningkatkan resiko Menurut Potter & Perry (2006)

ada 10 faktor yang mempengaruhi pembentukan luka dekubitus, di

antaranya gaya gesek, friksi, kelembaban, nutrisi buruk, anemia,

infeksi, demam, gangguan sirkulasi perifer, obesitas, kakesia, dan

usia.

a. Gaya Gesek Gaya

Gesek adalah tekanan yang dberikan pada kulit dengan

arah pararel terhadap permukaan tubuh (AHPCR, 1994)yang


dikutip oleh(Potter & Perry 2005). Gaya ini terjadi saat klien

bergerak atau memperbaiki posisi tubuhnya diatas saat tempat

tidur dengan cara didorong atau di geser ke bawah saat berada

pada posisi fowler yang tinggi. Jika terdapat gaya gesek maka

kulit dan lapisan subkutan menempel pada permukaan tempat

tidur, dan lapisan otot serta tulang bergeser sesuai dengan

arah gerakan tubuh. Tulang klien bergeser ke arah kulit dan

memberi gaya pada kulit (Maklebust & Sieggren, 1991)yang

dikutip oleh (Potter & Perry, 2006).

b. Friksi

Friksi merupakan gaya mekanika yang diberikan pada

kulit saat digeser pada permukaan kasar seperti alat tenun

tempat tidur (AHPCR, 1994)yang dikutip oleh (Potter & Perry,

2006) . Tidak seperti cedera akibat gaya gesek, cedera akibat

friksi mempengaruhi epedermis atau lapisan kulit bagian atas,

yang terkelupas ketika pasien mengubah posisinya.

Seringkali terlihat cedera abrasi pada siku atau tumit

(Wysocki & Bryant, 1992)yang dikutip oleh(Potter & Perry,

2006).

c. Kelembaban

Adanya kelembaban pada kulit dan durasinya

meningkatkan terjadinya kerusakan integritas kulit. Akibat

kelembaban terjadi peningkatan resiko pembentukan dekubitus


sebanyak 5 kali lipat (Reuler & Cooney, 1981 yang dikutip oleh

(Potter & Perry, 2006). Kelembaban menurunkan resistensi

kulit terhadap faktor fisik lain seperti tekanan atau gaya gesek

(Potter & Perry, 2005).

Klien imobilisasi yang tidak mampu memenuhi

kebutuhan higienisnya sendiri, tergantung untuk menjaga kulit

pasien tetap kering dan utuh. Untuk itu perawat harus

memasukkan higienis dalam rencana perawatan. Kelembaban

kulit dapat berasal dari drainase luka, keringat, kondensasi dari

sistem yang mengalirkan oksigen yang dilembabkan, muntah,

dan inkontensia. Beberapa cairan tubuh seperti urine, feses,

dan inkontensia menyebabkan erosi kulit dan meningkatkan

resiko terjadi luka akibat tekanan pada klien (Potter & Perry,

2006).

d. Nutrisi Buruk

Albumin adalah ukuran variabel yang biasa digunakan

untuk mengevaluasi status protein klien. Klien yang albumin

serumnya dibawah 3g/100 ml beresiko tinggi. Selain itu, level

albumin rendah dihubungkan dengan lambatnya

penyembuhan luka (Vashist et al, 1989) yang dikutip oleh

(Hanan & Scheele, 1991). Walaupun kadar albumin serum

kurang tepat memperlihatkan perubahan protein viseral, tapi

albumin merupakan prediktor malnutrisi yang terbaik untuk


semua kelompok manusia (Hanan & Scheele, 1991) yang

dikutip (Potter & Perry, 2010).

Nutrisi buruk juga mengganggu keseimbangan cairan dan

elektrolit. Edema dapat meningkatkan resiko terjadi dekubitus

di jaringan. Suplai darah pada suplai jaringan edema

menurun dan produk sisa tetap tinggal karena terdapatnya

perubahan tekanan pada sirkulasi dan dasar kapiler (Shkleton

& litwalk, 1991) yang dikutip oleh (Potter & Perry, 2006).

e. Anemia

Klien anemia beresiko terjadi dekubitus. Penurunan level

hemoglobin mengurangi kapasitas darah membawa nutrisi

dan oksigen serta mengurangi jumlah oksigen yang tersedia

untuk jaringan. Anemia juga mengganggu metabolisme sel

dan mengganggu penyembuhan luka (Potter & Perry, 2005).

f. Kakeksia

Kakeksia merupakan penyakit kesehatan dan malnutrisi

umum, ditandai kelemahan dan kurus. Kakeksia biasa

berhubungan dengan penyakit berat seperti kanker dan

penyakit kardiopulmonal tahap akhir. Kondisi ini

meningkatkan resiko luka dekubitus pada klien. Pada

dasarnya pasien kakesia mengalami kehilangan jaringan

adipose yang berguna untuk melindungi tonjolan tulang dari

tekanan ( Potter & Perry, 2006).


g. Obesitas

Obesitas dapat mempercepat terjadi dekubitus. Jaringan

adipose pada jumlah kecil berguna sebagai bantalan tonjolan

tulang sehingga melindungi kulit dari tekanan. Pada obesitas

sedang ke berat, jaringan adipose memperoleh vaskularisasi

yang buruk, sehingga jaringan adipose dan jaringan lain yang

berada dibawahnya semakin rentan mengalami kerusakan

akibat iskemi (Potter & Perry, 2006).

h. Gangguan Sirkulasi Perifer

Penurunan sirkulasi menyebabkan jaringan hipoksia dan

lebih rentan mengalami kerusakan iskemia. Gangguan

sirkulasi yang terjadi pada klien yang menderita penyakit

vaskuler, pasien syok atau yang mendapatkan pengobatan

sejenis vasopresor (Potter & Perry, 2006).

i. Usia

Luka dekubitus yang terbasar pada penduduk berusia

lebih dari 75 tahun. Lansia mempunyai potensi besar untuk

mengalami dekubitus oleh karena berkaitan dengan

perubahan kulit akibat bertambahnya usia, kecenderungan

lansia yang lebih sering berbaring pada satu posisi oleh

karena itu imobilisasi akan memperlancar risiko terjadinya

dekubitus pada lansia. Imobilisasi berlangsung lama hampir

pasti dapat menyebabkan dekubitus (Roah, 2010).


10. Pencegahan Dekubitus

Tahap pertama pencegahan adalah mengkaji faktor-faktor

risiko klien. Kemudian perawat mengurangi faktor-faktor lingkungan

yang mempercepat terjadinya dekubitus, seperti suhu ruangan

panas (penyebab diaporesis), kelembaban, atau linen tempat tidur

yang berkerut (Potter & Perry, 2008).

Identifikasi awal pada klien berisiko dan faktor-faktor

risikonya membantu perawat mencegah terjadinya dekubitus.

Pencegahan meminimalkan akibat dari faktor-faktor risiko atau

faktor yang memberi kontribusi terjadinya dekubitus. Tiga area

intervensi keperawatan utama mencegah terjadinya dekubitus

adalah perawatan kulit, yang meliputi higienis dan perawatan kulit

topikal, pencegahan mekanik dan pendukung untuk permukaan,

yang meliputi pemberian posisi, penggunaan tempat tidur dan

kasur terapeutik, dan pendidikan kesehatan.

11. Penatalaksanaan

a. Perawatan luka decubitus

b. Terapi fisik, dengan menggunakan pusaran air untuk

menghilangkan jaringan yang mati.

c. Terapi obat :

1) Obat antibacterial topical untuk mengontrol pertumbuhan

bakteri

2) Antibiotik prupilaksis agar luka tidak terinfeksi


d. Terapi diet Agar terjadi proses penyembuhan luka yang cepat,

maka nutrisi harus adekuat yang terdiri dari kalori, protein,

vitamin, mineral dan air.

D. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Gangguan Integritas Kulit

1. Pengkajian

a. Biodata

Identitas Pasien nama, jenis kelamin, umur, status perkawinan,

agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, tanggal masuk rumah

sakit, tanggal pengkajian, diagnosa medis.

b. Keluhan utama

Klien mengeluh mengalami kerusakan kulit pada bagian bokong

ataujuga mengeluh nyeri pada luka di tumit.

c. Riwayat kesehatan sekarang

1) Provocative/palliative

a) Apa penyebabnya

b) Hal-hal yang memperbaiki keadaan

2) Quantity/quality

a) Bagaimana dirasakan

b) Bagaimana dilihat

Pengkajian luka panjang, lebar, kedalaman, jaringan

merah, jaringan mati, terdapat eksudat atau tidak, terdapat

eritemia atau tidak, kemerahan, panas dan pembekakan.


3) Region

a) Dimana lokasinya

b) Apakah menyebar

4) Severity/skala

Ulkus disertai nyeri dan skala nyeri 6 (pada skala 0-10).

Nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk, tidak menyebar, nyeri

bertambah apabila klien banyak beraktivitas seperti miring ke

kanan dan miring ke kiri, serta berkurang apabila klien tirah

baring (tidak beraktivitas).

5) Time

Nyeri dirasakan hanya ketika klien banyak beraktivitas

seperti miring ke kanan dan miring ke kiri, serta berkurang

apabila klien tirah baring (tidak beraktivitas).

d. Riwayat kesehatan masa lalu

1) Penyakit yang pernah dialami

2) Pengobatan/tindakan yang dilakukan

3) Lama dirawat

4) Penyakit keturunan yang ada

e. Pemeriksaan Fisik

1) Keadaan Umum

2) Tanda-tanda vital

f. Pemeriksaan Head to toe


1) Kepala dan rambut : bentuk kulit kepala, penyebaran dan

keadaan rambut,

2) Wajah : warna kulit, bentuk wajah

3) Mata : kelengkapan dan kesimetrisan, konjungtiva dan

sklera, pupil,tekanan bola mata

4) Hidung : tulang hidung dan posisi septum nasi, lubang

hidung, cuping hidung

5) Telinga : bentuk telinga, ukuran telinga, lubang telinga,

ketajaman pendengaran.

6) Mulut dan faring : keadaan bibir, keadaan gusi dan gigi,

keadaan lidah

7) Leher : posisi trachea, thyroid, suara, kelenjar limfe, vena

jugularis, denyut nadi karotis

8) Pemeriksaan integumen : kebersihan, kehangatan, warna,

turgor, kelembapan, kelainan pada kulit

9) Pemeriksaan thoraks/dada : Inspeksi thoraks, pernafasan,

tanda kesulitan bernafas

10) Pemeriksaan jantung : insfeksi, palpasi, perkusi auskultasi

11) Pemeriksaan abdomen : Inspeksi (bentuk, benjolan), Palpasi

(tanda nyeri tekan, benjolan, ascites, hepar), Perkusi (suara

abdomen, Auskultasi
12) Pemeriksaan kelamin dan daerah sekitarnya : Genitalia

(rambut pubis, lubang uretra), Anus dan perineum (lubang

anus, kelainan pada anus, perineum

13) Pemeriksaan muskuloskeletal/ekstremitas (kesimetrisan,

kekuatan otot, edema) : Ekstremitas atas, Ekstremitas

bawah

14) Pemeriksaan neorologi (nervus cranialis) : Nervus

Olfaktorius / N I, Nervus Optikus / N II, Nervus Okulomotorius

/ N III, Troklearis/ N IV, Abdusen N VI, Nervus Trigeminus / N

V, N Fasialis / N VII, Nervus Vestibulokoklearis / N VIII,

Nervus Glosofaringeus/ N IX, Vagus / N, Nervus

Aksesorius / N XI, Nervus Hipoglosus / N XII.

15) Fungsi motorik : cara berjalan, fungsi sensorik (identifikasi

sentuhan, tes tajam tumpul, panas dingin, getaran),

identifikasi sentuhan ringan, tes tajam tumpul, tes panas

dingin.

g. Pola kebiasaan sehari-hari

1) Pola makan dan minum

a) Frekuensi makan/hari

b) Nafsu/selera makan

c) Nyeri ulu hati

d) Alergi

e) Mual dan muntah


f) Waktu pemberian makanan

g) Jumlah dan jenis makanan

h) Waktu pemberian cairan/minum

i) Masalah makan dan minum (kesulitan menelan)

2) Perawatan diri/personal hygiene

a) Kebersihan tubuh

b) Kebersihan gigi dan mulut

c) Kebersihan kuku dan kaki

3) Pola Kegiatan/aktivitas

a) Uraian aktivitas pasien untuk mandi, makan, eliminasi,

ganti pakaian dilakukan secara mandiri, sebahagian, atau

total.

b) Uraikan aktivitas ibadah pasien selama dirawat/sakit.

h. Pola eliminasi

BAB

1) Pola BAB

2) Karakter feses

3) Riwayat pendaharan

4) BAB terakhirPenggunaan laktasif

BAK

1) Pola BAK

2) Karakteristik urine

3) Nyeri/rasa terbakar/kesulitan BAK


4) Riwayat penyakit ginjal/kandung kemih

5) Penggunaan diuretik

6) Upaya mengatasi masalah

i. Upaya mengatasi masalah

1) Waktu tidur

2) Waktu bangun

3) Masalah tidur

4) Hal-hal yang mempermudah tidur

5) Hal-hal yang mempermudah bangun

2. Diagnosa keperawatan

Berdasarkan pengkajian dan analisa data, ditemukan alternatif

diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada masalah

kerusakan integritas kulit menurut (SDKI , 2016) yaitu :

a. Gangguan integritas kulit /jaringan berhubungan faktor

mekanis penekanan pada tonjolan tulang, gesekan.

1) Definisi

Kerusakan integritas kulit (dermis dan/atau epidermis)

atau jaringan (membran mukosa, kornea, fasia, otot,

tendon, tulang, kartilago, kapsul sendi dan/atau ligamen).

2) Batasan karakteristik

c) Gejala dan tanda mayor

Subjektif (tidak tersedia)


Objektif : kerusakan jaringan dan/atau lapisan kulit

d) Gejala dan tanda minor

Subjektif (tidak tersedia)

Objektif :

(1) Nyeri

(2) Perdarahan

(3) Kemerahan

(4) Hematoma

b. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik

1) Definisi

Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan

dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional,

dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas

ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari 3

bulan.

2) Batasan karakteristik

a) Gejala dan tanda mayor

Subjektif : mengeluh nyeri

Objektif :

(1) Tampak meringis

(2) Bersikap protektif (mis. Waspada, posisi

menghindari nyeri)

(3) Gelisa
(4) Frekuensi nadi meningkat

(5) Sulit tidur

b) Gejala dan tanda minor

subjektif : (tidak tersedia)

objektif

(1) Tekanan darah meningkat

(2) Pola napas berubah

(3) Nafsu makan berubah

(4) Proses berfikir terganggu

(5) Menarik diri

(6) Berfokus pada diri sendiri

(7) Diaforesis

c. Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan integritas

kulit

1) Definisi

Berisiko mengalami peningkatan terserang organisme

patogenik.

2) Batasan karakteristik

Subjektif (tidak tersedia)

Objektif

(1) kemerahan

(2) Pembekakan

(3) Panas
(4) Rasa nyeri

(5) Fungsio laesa

3. Perencanaan

Berdasarkan hasil rumusan masalah, ditemukan

perencanaan keperawatan pada klien dengan masalah kebutuhan

dasar kerusakan integritas kulit yang meliputi tujuan, kriteria hasil,

dan intervensi yang diambil dari buku “Standar Intervensi

Keperawatan Indonesia” (SIKI, 2018 Hal. 350).

a. Gangguan integritas kulit /jaringan berhubungan faktor mekanis

penekanan pada tonjolan tulang, gesekan.

1) Perawatan tirah baring adalah meningkatkan kenyamanan

dan keamanan serta mencegah komplikasii pasien yang

menjalani tirah baring.

a) Monitor kondisi kulit

b) Monitor komplikasi tirah baring (mis. Kehilangan massa

otot, sakit punggung, konstipasi, stres, depresi,

kebingungan, berubahan irama tidur, infeksi saluran

kemih, sulit buang air kecil, pnemonia).

c) Pertahankan seprei tetap kering, bersih dan tidak kusut

d) Berikan latihan gerak aktif atau pasif

e) Ubah posisi setiap 2 jam

f) Anjurkan minum air yang cukup

g) Anjurkan meningkatan asupan nutrisiss


h) Anjurkan meningkatan asupan buah dan sayur

b. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik

1) Manajemen nyeri adalah mengidentifikasi dan mengolah

pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan

dengan kerusakan jaringan atau fungsional dengan

onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan

hingga berat dan konstan.

a) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,

kualitas, intensitas nyeri.

b) Monitor kebersihan terapi komplementer yang

sudah diberikan

c) Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi

rasa nyeri (mis, massase)

d) Jelaskan penyebab, dan pemicu nyeri

e) Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

c. Resiko infeksi berhubungab dengan kerusakan integritas

kulit

1) Perawatan luka tekan adalah mengidentifikasi dan

merawat luka akibat penekanan pada tonjolan tulan.

a) Monitor kondisi luka (meliputi ukuran luka, derajat

luka, perdarahan, warna dasar luka, infeksi,

eksudat, bau luka, kondisi tepi luka).


b) Bersikan luka bagian dalam dengan

menggunakan NaCL 0,9%

c) Laporkan tanda-tanda kerusakan kulit

d) Kolaborasi pemberian antibiotik, jika perlu

Pengaturan posisi menempatkan bagian tubuh untuk

meningkatkan kesehatan fisiologis dan/atau psikologi

4. Implementasi

Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana

keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan (Setiadi,

2012).

a. Perawatan tirah baring adalah meningkatkan kenyamanan dan

keamanan serta mencegah komplikasii pasien yang menjalani

tirah baring.

1) Memonitor kondisi kulit

2) Memonitor komplikasi tirah baring (mis. Kehilangan massa

otot, sakit punggung, konstipasi, stres, depresi, kebingungan,

berubahan irama tidur, infeksi saluran kemih, sulit buang air

kecil, pnemonia).

3) Mempertahankan seprei tetap kering, bersih dan tidak kusut

4) Memberikan latihan gerak aktif atau pasif

5) Mengubah posisi setiap 2 jam

6) Menganjurkan minum air yang cukup

7) Menganjurkan meningkatan asupan nutrisiss


8) Menganjurkan meningkatan asupan buah dan sayur

b. Manajemen nyeri adalah mengidentifikasi dan mengolah

pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan

kerusakan jaringan atau fungsional dengan onset mendadak

atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat dan konstan.

1) Mengidentifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,

kualitas, intensitas nyeri.

2) Memonitor kebersihan terapi komplementer yang sudah

diberikan

3) Memberikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa

nyeri (mis, massase)

4) Menjelaskan penyebab, dan pemicu nyeri

5) Mengkolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

c. Perawatan luka tekan adalah mengidentifikasi dan merawat

luka akibat penekanan pada tonjolan tulan.

1) Memonitor kondisi luka (meliputi ukuran luka, derajat luka,

perdarahan, warna dasar luka, infeksi, eksudat, bau luka,

kondisi tepi luka).

2) Membersikan luka bagian dalam dengan menggunakan

NaCL 0,9%

3) Melaporkan tanda-tanda kerusakan kulit

4) Mengkolaborasi pemberian antibiotik, jika perlu


5. Evaluasi

Evalusi merupakan langkah proses keperawatan yang

memungkinkan perawat untuk menentukan apakah intervensi

keperawatan telah berhasil meningkatkan kondisi klien. (Potter &

Perry, 2009).

a. Mengevaluasi mengubah posisi setiap 2 jam

b. Mengevaluasi memberikan teknik nonfarmakologis untuk

mengurangi rasa nyeri (mis, massase)

c. Mengevaluasi membersikan luka bagian dalam dengan

menggunakan NaCL 0,9%

E. Mobilisasi

1. Defenisi

Mobilisasi adalah kemampuan seseorang untuk bergerak

secara bebas, mudah, dan teratur yang bertujuan untuk memenuhi

kebutuhan hidup sehat. (Mubarak dan Nurul C, 2007: 220).

Menurut Hidayat (2006) dalam Sari dan Sitorus (2013 : 68),

Mobilisasi dibutuhkan untuk meningkatkan kemandirian diri,

meningkatkan kesehatan, memperlambat proses penyakit-

khususnya penyakit degeneratif, dan untuk aktualisasi diri (harga

diri dan citra tubuh). (Wahit, 2008).


2. Jenis Mobilisasi

Menurut Priharjo (1997) dalam Sari dan Sitorus 2013 : 68),

jenis mobilisasi ada 2 yaitu mobilisasi pasif dan mobilisasi aktif.

Mobilisasi pasif adalah mobilisasi dimana pasien dalam

menggerakan tubuhnya dengan cara dibantu dengan ornag lain

secara total atau keseluruhan, sedangkan mobilitas aktif adalah

dimana pasien dalam menggerakan tubuh dilakukan secara mandiri

tanpa bantuan dari orang lain.

3.Tujuan Mobilisasi

Menurut Susan (2004) dalam Sari dan Sitorus (2013 : 69),

ada beberapa tujuan dari mobilisasi pasien bedrest tolantara lain:

mempertahankan fungsi tubuh dan memperlancar peredaran darah

sehingga mempercepat penyembuhan luka, mencegah terjadinya

eritmia/ luka, membantu pernapasan menjadi lebih baik,

meningkatkan dan mempertahankan kekuatan otot, memperlancar

eliminasi alvi dan urin, memberikan kesempatan perawat dan

pasien untuk berinteraksi atau berkomunikasi.

4. Posisi Mobilisasi Pasif

Menurut WHO (2005) dalam Sari dan Sitorus (2013: 69-70),

mobilisasi pasif untuk pasien bedrest adalah pemberian posisi

terlentang dan posisi setengah duduk (semi fowler), pemberian

posisi miring/sim kiri, pemberian posisi miring/sim kanan, gerakan

menekuk dan meluruskan sendi bahu, gerakan menekuk dan


meluruskan siku, gerakan memutar pergelangan tangan, gerakan

memutar ibu jari, gerakan menekuk dan meluruskan pangkal paha,

gerakan menekuk dan meluruskan lutut dan gerakan memutar

pergelangan kaki.

Pada kondisi tirah baring (bedrest) total, klien tidak boleh

bergerak dari tempat tidur dan tidak boleh berjalan ke kamar mandi

atau duduk dikursi. Akan tetapi, pada tirah baring bukan total, klien

masih diperbolehkan untuk turun dari tempat tidur dan berjalan

kekamar mandi atau duduk dikursi. Keuntungan dari tirah baring

antara lain mengurangi kebutuhan oksigen sel-sel tubuh,

menyalurkan sumber energi untuk proses penyembuhan, dan dapat

mengurangi respon nyeri.


BAB III

METODE PENULISAN

A. Rencana Studi Kasus

Rancangan yang digunakan dalam studi kasus ini adalah desain

studi kasus deskriptif yang menjelaskan tentang penerapan

Mobilisasi untuk mencegah gangguan integritas kulit pada pasien

dengan bedrest total di Puskesmas Amahai.

B. Subjek Studi Kasus

Subjek dalam penelitian ini adalah menggunakan orang

coba/probandus

C. Fokus Studi

Penerapan prosedur mobilisasi untuk mencegah gangguan

integritas kulit (decubitus)

D. Definisi oprasional studi kasus

a. Studi kasus penerapan prosedur keperawatan :

1) Mobilisasi adalah kemampuan pasien untuk bergerak secara

bebas, mudah, dan teratur yang bertujuan untuk memenuhi

kebutuhan hidup selama menjalani perawatan di RS.

0
F. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi

Tempat penelitian puskesmas amahai

2. Waktu penelitian

Direncanakan pada bulan Juni 2020

G. Penyajian Data

Tahapan penelitian

1. Informed consent

2. Prosedur mobilisasi

3. Masker

4. hanscoend

H. Etika Penelitian

Pertimbangan etik dalam penelitian ini dilaksanakan dengan

memenuhi prinsip-prinsip the five of human subjects in Research

lima hak tersebut meliputi hak untuk self determination hak terhadap

privacy dan dignity. Hak terhadap anonymity dan confidentially, hal

untuk mendapatkan penanganan yang adil dan hak terhadap

perlindungan dan ketidaknyamanan atau kerugian.

1. Hak untuk self determination klien memiliki otonomi dan hak untuk

membuat keputusan secara sadar dan dipahami dengan baik


bebas dan paksaan untuk berpartisipasi atau tidak dalam

penelitian ini atau untuk mengundurkan diri dan penilitian ini.

2. Hak untuk privacy dan dignity berarti bahwa klien memiliki hak

untuk dihargai tentang apa yang mereka lakukan dan apa yang

dilakukan untuk mengontrol kapan dan bagaimana informasi

tentang mereka dibagi dengan orang lain proses pengumpulan

data juga beresiko mengungkapkan pengalaman klien yang

bersifat sangat rahasia bagi pribadinya, peniliti menginformasikan

bahwa klien juga berhak untuk tidak menjawab pertanyaan

wawancara yang mungkin menimbulkan rasa malu atau tidak ingin

diketahui oleh orang lain jika klien merasa tidak nyaman untuk

berpartisipasi lebih lanjut klien diperkenankan untuk

mengundurkan diri dari proses penelitian kapanpun ia ingin semua

ini dilakukan penelitian untuk mengormati prinsip

privacydandignity.

3. Hak anonymity dan confidentiality, maka semua informasi yang

didapat dan klien harus dijaga dengan sedemikian rupa sehingga

informasi individual tidak bisa langsung dikaitkan dengan klien dan

klien juga harus dijaga kerahasiaan (confidentiality), maka peneliti

menyimpan seluruh dokumen hasil pengumpulan data berupa

lembar persetujuan mengikuti penilitian biodata kaset rekaman

dan transkip wawancara dalam tempat khusus yang hanya bisa

diakses oleh penelilti dalam menyusun laporan penilitian. Peneliti


menggunakan data tanpa mengungkap identitas klien

(anonymous).

4. Hak terhadap penangan yang adil memberikan individu hak yang

sama untuk dipilih atau terlihat dalam peneliltian tanpa

diskriminasi dan diberikan penanganan yang sama dengan

menghormati seluruh persetujuan yang disepakati dan untuk

memberikan penanganan terhadap masalah yang muncul selama

partisipasi dalam penelitian semua klien mempunyai kesempatan

yang sama untuk berpartisipasi dalam penelitian ini dan

mendapatkan perlakuan yang sama dan peneliti.

5. Hak untuk mendapatkan perlindungan dan ketidaknyamanan dan

kerugian mengharuskan agar klien dilindungi dan ekploritasi dan

peneliti harus menjamin bahwa semua usaha dilakukan untuk

meminimalkan bahwa atau kerugian dari suatu penelitian serta

memaksimalkan manfaat dan penelitian.

Pada penelitian ini, untuk memenuhi hak-hak tersebut peniliti

memberikan informed consent yang memungkinkan peneliti untuk

mengevaluasi kesediaan klien berpartisipasi dalam penilitian pada

setiap tahap dalam proses penelitian maksud dan informend

consent adalah agar klien dapat membuat keputusan yang

dipahami dengan benar berdasarkan informasi yang tersedia

dalam dokumen informed consent klien diberikan penjelasan

singkat tentang penilitian yang meliputi tujuan penilitian prosedur


penelitian durasi keterlibatan klien hak-hak klien dan diharapkan

dapat berpartisipasi dalam penelitian ini klien yang menyatakan

untuk berpartisipasi dalam penelitian ini kemudian

menandatangani lembar persetujuan.


DAFTAR PUSTAKA

AHCPR, (1994). Treaiment Of Pressureulcers Clinical Practice Guideline.


No. 15. AHCPR. Publication Number 95-0652. Rockville, MD:
Agency For Healthy Care Policy And Research.
Castro E, Turcinovic M, Platz J, Law I. Early mobilization: changing the
mindset. Crit Care Nurse. 2015;35[4]:e1-e7.
Carpenito, L, (2009). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Alih Bahasa
Yasmi Asih, Edisi Ke-10. Jakarta : ECG.
Elizabeth D Agabegi; & Steven S, (2008). Step-Up to Medicine (Step-Up
Series).
Fitri A. (2014) Pemberian Mobilisasi Pasif Terhadap Mencegahan
Dekubitus Pada Pasien Stroke Hemoragik Di Ruang HCU
ANGREK II RUMAH SAKIT Dr. MOEWARDI SURAKARTA, 20-22.
Fadhillah H., Purjanto A. K., Krishnajaya., Sutoto dr., & Aprisunadi (2016)
Standar Diagnosis Keperawatan indonesia. Jakarta Selatan.
Jagakarsa. 172, 300 -304.
Hygeia F.M Maria . (2017) Asuhan Keperawatan pada dengan Prioritas
Masalah Kerusakan Integritas Kulit pada Kasus Diabetes Melitus.
RSUD. Dr. Pirngadi Medan. 11-38.
Henny, S., Laura M, Siregar, & Daniel G. (2017) Metode Pencegahn Luka
Decubitus Pada Pasien Bedrest Total Melalui Perawatan Kulit di
RSU sari Mutiara Medan. Idea Nursing Journal . 2 (8),16.
National Pressure Ulcer Advisory Panel (NPUAP) Klasifikasi decubitus.
2014.
Rosita, T & Maria, R. (2014) Mobilisasi dan timbulnya luka tekan pada
pasien tirah baring. Jurnal keperawatan bedikal beda. 1-2
World Health Organization (WHO) 2010 Pasien bedrest total, diakses
pada 28 September 2018.
Potter & Perry. (2010). Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Edisi
Keempat, Volume 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG
Potter, P. A & Perry, A. G. (2010). Buku Ajar Fundamental Ke[erawatan,
Edisi ketuju, buku ketiga. Jakarta:EGC.
PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Defenisi dan
Tindakan Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI (2016). Standar Diagnostik Keperawatan Indonesia : Defenisi dan
Indikator Diagnostik, Edisi 1. DPP PPNI.
Setiadi, (2012). Konsep & Penulisan Dokumentasi Asuhan Keperawatan
Teori dan Praktik. Yogyakarta :Graha Ilmu.
Smeltzer, Suzzane C. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah
Brunner dan Suddarth. Jakarta : ECG.
Sari & Sitorus, (2013). Pengaruh mobilisasi pasif terhadap pencegahan
decubitus pada pasien di zaal e RS HKBP BALIGE Tahun 2012,
jurnal keperawatan HKBP Balige, vol.1 no.1, Juni 2013.
INFORMED CONSENT
(persetujuan menjadi partisipan)
Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa saya telah
mendapat penjelasan secara rinci dan telah mengerti mengenai penelitian
yang akan dilakukan oleh Harima Peirissa NIM P07120317010 dengan
judul “Asuhan Keperawatan Dengan Penerapan Mobilisasi Untuk
Mencegah Gangguan Integritas Kulit (Dekubitus) Pada Pasien Bedrest
Total Yang Di Puskesmas Amahai”.

Masohi,……………………2020
Yang Memberikan
Persetujuan

Saksi

…………………………..

Masohi,…………………………..2020

Peneliti

Harima Peirissa
P07120317010
POLTEKES MALUKU DOKUMEN LEVEL : Kode:
JURUSAN PROSEDUR
KEPERAWATAN PRODI OPERASINAL TINDAKAN
KEPERWATAN MASOHI KEPERAWATAN
Mobilisasi TGL DITETAPKAN
AREA LABORATRIUM KEPERAWATAN NO REVISI
Latihan mobilisasi adalah proses aktivitas yang dilakukan
Pengertian untuk bergerak secara bebas, mudah, dan teratur yang
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehat

Tujuan Mempertahankan fungsi tubuh dan memperlancar peredaran


darah sehingga mempercepat penyembuhan luka, mencegah
terjadinya eritmia/ luka, membantu pernapasan menjadi lebih
baik, meningkatkan dan mempertahankan kekuatan otot,
memperlancar eliminasi alvi dan urin, memberikan kesempatan
perawat dan pasien untuk berinteraksi atau berkomunikasi

Indikasi Pasien tirah baring yang memerlukan mobilisasi

Kontraindikasi Pada pasien dengan kondisi

1) Tekanan arteri rata-rata <65 atau >110


2) Penurunan tekanan darah sistolik >20 mmHg peningkatan
tekanan darah sistolik >200 mmHg atau sistolik >110
mmHg
3) Gangguan jantung akut atau tidak stabil yang belum
mendapatkan penanganan
4) Laju pernapasan <5 atau >40 x/menit

Kebijakan Pasien dengan gangguan paru obstruktif dan restriktif


Persiapan alat 1) Handscoon satu pasang
2) Masker jika perlu

Prosedur Tahap PraInteraksi


Pelaksanaan 1. Mengecek program terapi
2. Mencuci tangan
Tahap Orientasi
1. Memberikan salam dan menyapa nama pasien
2. Menjelaskan tujuan  dan prosedur pelaksanaan
3. Menanyakan persetujuan/kesiapan pasien
Tahap Kerja
1. Menjaga privasi pasien
2. Mempersiapkan pasien
3. Pemberian posisi terlentang dan posisi setengah duduk
(semi fowler)
4. Pemberian posisi miring kiri, pemberian posisi miring
kanan
5. Klien dimiringkan, bila tidak bisa menahan tubuhnya
sendiri tubuh klien ditahan dengan bantal/guling pada
bagian punggung dan bokong
6. Ganjal kaki dengan bantal diantara kedua lutut
7. Lakukan miring kiri-kanan maksimal 2 jam sekali
8. Berikan motivasi pada klien untuk melakukannya sendiri
secara bertahap untuk miring kiri
9. Bantu klien berbaring di sisi kanan tempat tidur dengan
posisi terlentang
10. Letakan tangan kiri klien di area insisi bila perlu alasi
dengan bantal kecil
11. Tekuk kaki kanan dan kaki kiri diluruskan
12. Anjurkan klien untuk meraih pegangan tempat tidur
bagian kanan sambil membalikkan badan ke kiri
13. Merapikan pasien
Tahap Terminasi
1. Melakukan evaluasi tindakan
2. Berpamitan dengan klien
3. Mencuci tangan
4. Mencatat kegiatan dalam lembar catatan keperawatan

Anda mungkin juga menyukai