Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Tetanus merupakan suatu infeksi pada system saraf pusat yang disebabkan
oleh toksin yang dikeluarkan oleh bakteri Clostridium Tetani. Saat bakteri
Clostridium Tetani menyerang tubuh, bakteri tersebut mengeluarkan toksin yang
menyebabkan spasme pada otot. Nama lain dari tetanus adalah “lock jaw atau
trismus” karena sering menyebabkan spasme pada otot leher dan rahang yang
menyebabkan penutupan rahang. Kasus tetanus biasanya terjadi pada orang yang
tidak mendapatkan vaksin tetanus tetapi, tidak menutup kemungkinan tetanus juga
dapat terjadi pada orang yang telah mendapatkan vaksin tetanus. Manifestasi klinis
tetanus dibagi menjadi empat yaitu tetanus generalisata (mengenai otot-otot cranial,
anggota gerak dan batang tubuh), tetanus neonatorum (pada bayi yang baruu lahir),
tetanus lokal (sekitar infeksi), dan tetanus cephalic (mengenai otot-otot cranial).
Tetanus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara
berkembang. Tetanus apabila tidak ditangani dengan cepat maka dapat mengancam
nyawa. Dibutuhkan kerjasama antara dokter, pasien dan pemerintah untuk
memberantas tetanus. Diagnosis sejak dini serta penanganan yang tepat dapat
menurunkan angka kematian yang disebabkan tetanus.

1.2. TUJUAN
1.2.1. Tujuan Umum
Dapat membuat diagnosis tetnasu dan merencanakan tata laksana perawatan
pada tetanus dengan benar dan sesuai dengan pedoman diagnosis dan terapi.

1.2.2. Tujuan Khusus


Dapat menjelaskan definisi tetanus, epidemiologi tetanus, menguraikan
klasifikasi tetanus, menerangkan patofisiologi terjadinya tetanus, menerangkan
gejala klinik tetanus, merencakan diagnosis, diagnosis banding, dan terapi
tetanus.

1
BAB II

TNJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Tetanus


Tetanus merupakan penyakit system saraf yang perlangsungannya akut dengan
karakteristik spasme tonik persisten dan eksaserbasi akut, yang disebabkan oleh
tetanospasmin, yaitu sejenis neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium
tetani yang menginfeksi sistem saraf pusat dan otot sehingga saraf dan otot menjadi
kaku (rigid). Kata tetanus diambil dari bahasa Yunani yaitu tetanos dari teinein yang
berarti menegang. Nama lain dari tetanus adalah “lock jaw atau trismus”
menyebabkan spasme pada otot leher dan rahang yang menyebabkan penutupan
rahang, sehingga sulit untuk membuka mulut dan menelan.

2.2. Etiologi Tetanus


Tetanus disebabkan oleh toksin yang dikeluarkan oleh bakteri Clostridium
Tetani. Clostridium tetani termasuk dalam bakteri Gram positif, anaerob obligat,
dapat membentuk spora, dan berbentuk drumstick. Spora yang dibentuk
oleh Costridium tetani dapat bertahan hidup di beberapa lingkungan dan
sangat resisten terhadap panas dan antiseptic selama 20 menit. Ia dapat dan juga
resisten terhadap fenol dan agen kimia lainnya. Bakteri Clostridium tetani dapat
ditemukan di dalam ruangan maupun di luar ruangan. banyak ditemukan
di tanah, kotoran manusia, pupuk hewan dan hewan peliharaan dan di daerah
pertanian. Umumnya, spora bakteri ini terdistribusi pada tanah dan saluran
penceranaan serta feses dari kuda, domba, anjing, kucing, tikus, babi, dan ayam.
Bakteri tetanus dapat menyebabkan tetanus karena luka yang terkontaminasi
dengan tinja, air liur, luka tusuk seperti paku dan jarum, luka bakar, tato dengan
peralatan yang tidak steril, sirkumsisi, menyuntikkan obat dengan jarum kotor.
Ketika bakteri tersebut berada di dalam tubuh, ia akan
menghasilkan neurotoksin (sejenis protein yang bertindak sebagai racun yang
menyerang bagian sistem saraf). Clostridium tetani menghasilkan dua buah
eksotoksin, yaitu tetanolysin dan tetanospasmin. Fungsi dari tetanoysin tidak

2
diketahui dengan pasti, namun juga dapat memengaruhi tetanus. Tetanospasmin
merupakan toksin yang menghambat neurotransmitter GABA dan Glisin, sehingga
tidak terjadi hambatan aktivitas reflek otot.

2.3. Epidemiologi Tetanus


C. tetani ditemukan di seluruh dunia di tanah, pada benda mati, di kotoran
hewan, dan, kadang-kadang, dalam kotoran manusia. C. Tetani dapat menyerang
semua usia dan semua ras. Tetanus merupakan penyakit dominan negara-negara
terbelakang. Hal ini umum di daerah di mana tanah dibudidayakan, di daerah
pedesaan, di iklim hangat, selama bulan-bulan musim panas,. Di negara-negara tanpa
program imunisasi yang komprehensif, tetanus terutama berkembang pada neonatus
dan anak-anak. Tetanus tidak ditularkan setiap manusia ke manusia lainnya.

2.4. Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis tetanus bervariasi, mulai dari spasme otot local, trismus, sampai
kejang hebat. Manifestasi tetanus dibagi menjadi 4 yaitu :
1. Tetanus Generalisata
Tetanus generalisata adalah tetanus yang sering dijumpai. Gejalanya dapat berupa
trismus, kekakuan leher, sulit menelan, kekakuan dada dan perut (opistotonus),
rasa sakit dan kecemasan yang hebat serta kejang umum yang dapat terjadi
dengan rangsangan ringan seperti sinar, suara, dan sentuhan dengan kesadaran
baik.
2. Tetanus Neonatorum
Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan karena adanya infeksi tali
pusat, gejala yang sering timbul adalah ketidakmampuan untuk menyusu ,
irritable, diikuti dengan kekakuan dan spasme.
3. Tetanus Lokal
Gejalanya meliputi kekakuan dan spasme yang menetap disertai rasa sakit pada
otot sekitar atau proksimal luka. Tetanus local dapat berkembang menjadi tetanus
generalisata
4. Tetanus Cephalic
Tetanus cephalic merupakan bentuk tetanus local yang menyerang wajah dengan
masa inkubasi 1-2 hari yang disebabkan luka di daerah kepala atau ototitis media

3
kronis. Gejalanya berupa trismus, disfagia, rhinus sardonikus, disfungsi nervus
kranial. Tetanus cephalic jarang terjadi dapat berkembang menjadi tetanus
generalisata dan prognosis biasanya jelek.

2.5. Patofisiologi Tetanus


Bakteri Clostridium Tetani membentuk spora yang tahan terhadap panas,
pengeringan dan desinfektan. Spora tersebut dapat bertahan dalam jaringan normal
selama berbulan-bulan sampai bertahun-tahun. Bakteri Clostridium Tetani masuk ke
dalam tubuh melalui luka yang terkontaminasi dengan tinja, air liur, luka tusuk seperti
paku dan jarum, luka bakar, tato dengan peralatan yang tidak steril, sirkumsisi,
menyuntikkan obat dengan jarum kotor. Spora Clastridium Tetani yang telah berada
dalam tubuh manusia bereplikasi dan pada saat suasana anaerob akan mengeluarkan
toksin yaitu tetanolysin dan tetanospasmin. Tetanolysin berfungsi sebagi hemolysis
sedangkan tetanospasmin berfungsi untuk memunculkan manifestasi klinis tetanus.
plasmid membawa gen toksin lalu melepaskan toksin dan sel bakteri vegetative.
Toksin tetanospasmin lisis ikut ke dalam peredaran darah. Tetanospasmi mencapai
motor neuron sumsum tulang belakang, memasuki dan melakat di neuron inhibisi
sentral. Akibatnya, asam gamma-aminobutyric (GABA) dan vesikula glisin tidak
dirilis. Dengan hilangnya inhibisi sentral, ada hiperaktif otonom serta kontraksi otot
yang tidak terkontrol (kejang) dalam menanggapi rangsangan yang normal seperti
suara atau lampu.

2.6. Gejala Klinis Tetanus


Saat tubuh manusia terkontaminasi bakteri Clostroidium Tetani masa inkubasi
bakteri tersebut biasanya antara 3 dan 21 hari (rata-rata 10 hari), meskipun mungkin
berkisar dari satu hari sampai beberapa bulan, tergantung pada jenis luka.
Kebanyakan kasus terjadi dalam waktu 14 hari Secara umum, masa inkubasi yang
lebih pendek terlihat dengan luka yang lebih berat terkontaminasi, penyakit yang
lebih serius, dan hasil yang lebih buruk (prognosis).
Gejala utama meliputi :
1. Hipertoni dan spasme otot
- Trismus, rhesus sardonikus, otot leher kaku dan nyeri, opistotonus, dinding
perut tegang, anggota gerak spastik
2. Kejang Tonik dengan kesadaran tidak terganggu

4
3. Umumya ada luka/riwayat luka
4. Retensi urine dan hiperpireksia
5. detak jantung yang cepat (takikardia)

2.7. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang


Pemeriksaan fisik dapat ditemukan hanya trismus hingga kejang yang hebat
1. Tetanus lokal ditemukan spasme yang menetap
2. Tetanus cephalic ditemukan trismus, rhesus sardonikus dan disfungsi nervus
cranial
3. Tetanus generalisata ditemukan ada trismus, kekauan leher, kekakuan dada dan
perut (opisthotonus), fleksi –abduksi lengan serta ekstensi tungkai, kejang umum
yang dapat terjadi dengan rangsangan ringan seperti cahaya, suara dengan
kesadaran yang tetap baik
4. Tetanus neonatorum ditemukan kekakuan dan spasme dari posisi klasik : tismus,
kekakuan pada otot punggung menyebabkan opisthotonus yang berat dengan
lordosis lumbal. Bayi mempertahankan ekstremitas atas fleksi pada siku dengan
tangan mendekap dada, pergelangan tangan fleksi, jari mengepal, ekstremitas
bawah hiperekstensi dengan dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi pada jari-jari
kaki.

Pemeriksaan penunjang

- Bila memungkinkan periksa bakteriologik untuk menemukan Clostridium


Tetani
- EKG bila ada tanda-tanda gangguan jantung.
- Foto thorax bila ada tanda-tanda komplikasi paru

2.8. Penegakkan Diagnosis


Tingkat keparahan tetanus
Kriteria Pattel Joag
1. Kriteria 1 :rahang kaku, spasme terbatas, disfagia, dan kekuan pada otot tulang
belakang
2. Kriteria 2 : spaseme tanpa mempertimbangkan frekuensi maupun derajat
keparahan
3. Kriteria 3 : masa inkubasi lebih dari sama dengan 7 hari

5
4. Kriteria 4 : waktu onset kurang dari 48 jam
5. Kriteria 5 : peningkatan temperature , rektal 100 F ( >40 C) atau aksila 99 F (37,6
C)

Grading

1. Derajat 1 (kasus ringan) terdapat satu kriteria, biasanya kriteria 1 atau 2 (tidak
ada kematian)
2. Derajat 2 (kasus sedang) terdapat 2 kriteria, biasanya kriteria 1 dan kriteria 2,
masa inkubasi lebih dari 7 hari dan onset lebih dari 48 jam (kematian 10%)
3. Derajat 3 (kasus berat) terdapat 3 kriteria, biasanya masa inkubasinya kurang dari
7 hari atau onset kurang dari 48 jam (kematian 32%)
4. Derajat 4 (kasus sangat berat), terdapat minimal 4 kriteria (kematian 60%)
5. Derajat 5 bila terdapat 5 kriteria termasuk peurpurium dan tetanus neonatorum
(kematian 84%)

Derajat tetanus menurut modifikasi dari klasifikasiAlbleet’s :


1. Grade 1 (ringan)
Trismus ringan sampai sedang, spamisitas umum, tidak adanya penyulit
pernafasan, tidak adanya spasme, sedikit atau tidak adanya disfagia.
2. Grade 2 (sedang)
Trismus sedang, rigiditas lebih jelas, spasme ringan atau sedang namun singkat,
penyulit pernafasan sedang dengan takipneu.
3. Grade 3 (berat)
Trismus berat, spasmisitas umum, spasme spontan yang lama dan sering,
serangan apneu,disfagia berat,spasme memanjang spontan yang sering dan terjadi
reflex, penyulit pernafasan disertai dengan takipneu, takikardi, aktivitas system
saraf otonom sedang yang terus meningkat.
4. Grade 4 (sangat berat)
Gejala pada grade 3 ditambah dengan gangguan otonomyang berat, serigkali
menyebabkan “autonomic storm”

2.9. Diagnosis Banding Tetanus


1. kejang karena hipokalsemia
2. Reaksi dystonia

6
3. Rabies
4. Meningitis
5. Abses Retrofaringeal
6. Sindrom Hiperventilasi
7. Epilepsy/ kejang tonik klonik umum

2.10. Komplikasi
1. Saluran Pernafasan
Asfiksia,aspirasi pneumonia, atelectasis akibat obstruksi oleh secret,
pneumothorak dan mediastinal emfisema biasanya terjadi akibat dilakukan
trakeostomi
2. Kardiovaskular
Komplikasi berupa aktivitas simpatis yang meningkat antara lain berupa
takikardi, hipertensi, vasokontriksi perifer dan rangsangan miokardium.
3. Tulang dan otot
Pada otot yang mengalami spasme berkepanjangan bisa terjadi perdarahan
pada otot pada tulang dapat terjadi fraktura kolumna vertebralis akibat
kejang yang terus-menerus terutama pada anak dan orang dewasa beberapa
peneliti melaporkan juga dapat terjadi miositisis ossifikans sirkumskripta
4. Komplikasi lain
Laserasi lidah akibat kejang, decubitus karena karena penderita berbaring
pada satu posisi saja, panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin
yang menyebar luar dan mengganggu pusat pengaturan suhu tubuh.

2.11. Tatalaksana Tetanus


 IVFD dextrose 5% : RL = 1 : 1 / 6 jam
 Kausal :
Antitoksin tetanus :
a. Serum antetanus (ATS) diberikan dengan dosis 20.000 IU/hari/i.m. selama
3-hari. Tes kulit sebelumnya atau
b. Human Tetanus Immunoglobulin (HTIG). Dosis 500-3.000 IU/I.M.
tergantung beratnya penyakit. Diberikan single dose.

7
Antibiotik

a. Metronidazole 500 mg/8 jam drips i.v


b. Ampisilin dengan dosis 1 gr/8 jam iv bila alergi dengan penilisin dapat
diberikan
- Eritromisin 500 mg/6 jam/oral atau
- Tetrasiklin 500 mg/6 jam/oral.

Penanganan luka: dilakukan cross incision dan irigasi menggunakan H2O2.

 Simptotamis dan supportif


a. Diazepam
- Seetelah masuk rumah sakit, berikan diazepam denngan dosis 10 mg i.v.
perlahan selama 2-3 menit. Dapat diulangi bila diperlukan
Dosis maintenance : 10 ampul = 100 mg/500 ml cairan infus (10-12
mg/KgBB/Hari) diberikan secara drips (syringe pump)
Untuk mencegah terbentuknya kristalisasi, cairan dikocok selama 30 menit.
- Setiap kejang diberikan bolus diazepam 1 ampul/IV perlahan selama 3-5
menit, dpaat diulangi setiap 15 menit sampai maksimal 3 kali. Bila tidak
teratasi segera rawat di ICU
- Bila penderita telah bebas kejang +/- 48 jam maka dosis diazepam
diturunkan secara bertahap +/- 10% setiap 1-3 hari (tergantung keadaan).
Segera setelah intake peroral memungkinkan maka diazepam diberikan
peroral dengan frekuensi pemberian setiap 3 jam
b. Oksigen, diberikan bila terdapat tanda-tanda hipoksia, distress pernafasan,
sianosis
c. Nutrisi diberikan TKTP dalam bentuk lunak, saring, atau cair. Bila perlu
diberikan melalui pipa NGT
d. Menghindari tindakan/perbuatan yang bersifat merangsang. Termasuk
rangsangan suara dan cahaya yang intensitasnya bersifat intermittens
e. Mempertahankan/membebaskan jalan nafas : pengisapan lender
oro/nasofaring secara berkala
f. Posisi/letak penderita diubah-ubah secara periodik
g. Pemasangan kateter bila terjadi retensi urin

8
h. Riwayat imunisasi tetanus pasien perlu didapatkan. TT harus diberikan jika
riwayat booster terakhir lebih dari 10 tahun, jika riwayat imunisasi tidak
diketahui, TT dapat diberikan. Jika riwayat imunisasi terakhir lebih dari 10
tahun yang lalu, maka tetanus immunoglobulin (TIg) harus diberikan tanpa
memperhatikan derajat keparahan luka.
i. Manajemen luka pada pasien tetanus yang diduga menjadi port de entry
masuknya bakteri C.tetani. luka dapat menjadi luka yang rentan mengalami
tetanus atau luka yang tidak rentan tetanus. Semua luka rentan maupun
tidak rentan tetanus harus dibersihkan dan jika perlu dilakukan debridemen.

Luka rentan tetanus Luka tidak rentan tetanus


> 6-8 jam < 6 jam
Kedalaman > 1 cm Superfisial < 1 cm
terkontaminasi Bersih
Bentuk stelat, avulsi atau irreguler Bentuk linear, tepi tajam
Denervasi, iskemik Neurovaskular intak
Terinfeksi (purulen, nekrotik) Tidak infeksi

2.12. Kriteria rujukan


a. Bila tidak terjadi perbaikan setelah penanganan pertama
b. Terjadi komplikasi, seperi distres system pernapasan
c. Rujukan ditujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan sekunder yang
memiliki dokter spesialis neurologi
2.13. Prognosis
Angka kematian tinggi bila :
- Usia
- Masa inkubasi singkat
- Onset periode singkat
- Demam tinggi
- Spasme tidak cepat diatasi
Sebelum KRS : tetanus toksoid (TT1) 0,5 ml IM
TT2 dan TT3 : diberikan masing-masing dengan interval 4-6 minggu

9
RINGKASAN

Tetanus merupakan penyakit sistem saraf yang perlangsungannya akut dengan


karakteristik spasme tonik persisten dan eksaserbasi akut, yang disebabkan oleh Clostridium
tetani yang menginfeksi sistem saraf pusat dan otot sehingga saraf dan otot menjadi kaku
(rigid). Ketika menghadapi pasien dengan keluhan spasme otot, trismus, atau sampai terjadi
kejang hebat, tentukan manifestasi klinis gejala tersebut merupakan tetanus lokal, tetanus
sefalik, tetanus umum/generalisata, atau tetanus neonatorum. Pemeriksaan penunjang seperti
pemeriksaan bakteriologik, EKG, dan foto thorax disarankan untuk menunjang diagnosis
maupun menentukan tanda-tanda komplikasi seperti komplikasi saluran pernafasan,
kardiovaskular, tulang dan otot. Penatalaksanaan tetanus terdiri dari penatalaksanaan kausal
seperti pemberian antitoksin tetanus dan antibiotik dan penatalaksanaan simptomatis
supportif seperti pemberian diazepam untuk mengatasi kejang. Anamnesis yang lengkap dan
terarah akan mempermudah dalam mendiagnosis tetanus dan penatalaksanaan yang tepat dan
cepat dapat menurunkan angka mortalitas akibat tetanus.

10
DAFTAR PUSTAKA

Patrick B Hinfey. Tetanus. Medscape. 2016 (dikutip tanggal 18 Februari)


http://emedicine.medscape.com/article/229594-overview#a3

Jurnal pediatric. Penyakit Tetanus dan Pencegahan Imunisasi. 2016 (dikutip tanggal 18
Februari 2017) https://jurnalpediatri.com/2016/03/06/penyakit-tetanus-dan-
pencegahan-imunisasi/
Diphtheria, Tetanus, and Pertussis: Recommendations for Vaccine Use and Other Preventive
Measures Recommendations of the Immunization Practices Advisory Committee
(ACIP). MMWR. 1991;40(RR10):1–28.

Preventing Tetanus, Diphtheria, and Pertussis Among Adolescents: Use of Tetanus Toxoid,
Reduced Diphtheria Toxoid and Acellular Pertussis Vaccines. MMWR.
2006;55(RR03):1–34.

Tetanus. 2016 (dikutip tanggal 18 Februari 2017)


http://www.nhs.uk/conditions/tetanus/pages/introduction.aspx#causes

U.S. Department of Health & Human Services.2017. Tetanus. (dikutip tanggal 18 Februari
2017) https://www.cdc.gov/tetanus/about/causes-transmission.html
Preventing Tetanus, Diphtheria, and Pertussis Among Adults: Use of Tetanus Toxoid,
Reduced Diphtheria Toxoid and Acellular Pertussis Vaccines. MMWR.
2006;55(RR17):1–33.

American Academy of Pediatrics. Tetanus. In: Kimberlin DW, Brady MT, Jackson MA,
Long SS, eds. Red Book®: 2015 Report of the Committee on Infectious Diseases.
American Academy of Pediatrics; 2015; 773–8.

11

Anda mungkin juga menyukai