Anda di halaman 1dari 36

DAFTAR ISI

1
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Permukiman kumuh merupakan salah satu masalah yang dapat timbul dalam suatu kota.
Kota-kota di Indonesia tidak terkecuali, juga menghadapi masalah pertumbuhan permukiman kumuh
dalam wilayah perkotaan. Laju pertambahan penduduk di wilayah kota, tingginya jumlah warga
miskin dan berpenghasilan rendah, serta laju urbanisasi dapat menjadi pemicu menjamurnya
permukiman kumuh (slum). Permukiman kumuh merupakan suatu masalah pada lingkungan
penduduk di perkotaan.karena permukiman kumuh merupakan akses dari pembangunan suatu daerah
yang diakibatkan dari tidak terealisasinya penduduk di permukiman kumuh.adapun permukiman
kumuh adalah tempat yang tidak layak huni karena kondisinya tidak memadai. Kondisi kehidupan
masyarakat di daerah pinggiran kota pada umumnya memiliki ciri khas masing-masing dan
karakteristik lingkungan sosialnya heterogen.

Kawasan kumuh yang identik dengan kemiskinan tidak hanya memperburuk citra dan wajah
kota namun juga menimbulkan masalah kemanusiaan, sosial dan lingkungan. Permasalahan ini bukan
saja menjadi perhatian Pemerintah Indonesia, namun juga dunia sejalan dengan tumbuh masifnya
berbagai kawasan perkotaan untuk menunjang gaya hidup modern. Dunia tak henti-hentinya
menghimbau dan mengirimkan pesan agar semua negara peduli terhadap penghapusan kemiskinan
dan kawasan kumuh perkotaan melalui perencanaan kota yang baik dan tetap berpihak kepada
masyarakat yang berpenghasilan rendah. Salah satu upayanya adalah penyediaan hunian sehat yang
berkaitan dengan peningkatan kualitas permukiman kumuh perkotaan.

Dalam hal seperti ini dapat terjadi slums, biasanya slums ini merupakan daerah yang tidak
teratur dan bangunan-bangunan yang ada tidak memenuhi persyaratan (Bintarto, 1983 : 42). Kota
merupakan tempat tinggal, tempat bekerja, tempat memperoleh pendidikan yang tinggi dan di diami
oleh penduduk yang sangat padat, dan di kelilingi oleh gedung-gedung yang sangat tinggi. Kota juga
di pandang sebagai tempat yang materialistis. Menurut Svend Riemer (dalam buku Daldjoeni 1992 :
24), kota baginya terdiri atas tiga hal : konstruksi materi, relasi sosial, dan transportasi. Dijelaskan
bahwa tanpa yang pertama, kita tidak akan memasalahakan bagaimana dan dimana sesuatu harus
bangun. Tanpa yang kedua, konstruksi kota itu tidak akan menarik bagi para sosiolog. Kota itu selain
mewujudkan konstruksi materi, juga suatu jaringan relasi antar penghuninya.

2
1.2 Maksud dan Tujuan Penelitian
1.2.1 Maksud
Berkaitan dengan kajian permukiman kumuh di Kelurahan Mekarsari Lingkungan
Tembulum, Sumur Pring, dan Ciporong, kami memiliki tugas langsung yang berkaitan
dengan dengan kawasan permukiman kumuh di Lingkungan Tembulum, Sumur Pring, dan
Ciporong di Wilayah Kecamatan Pulomerak, Kelurahan Mekarsari, Kota Cilegon, yang akan
kami analisa baik dalam segi fisik, sosial dan beberapa indikator permukiman kumuh. Selain
itu, kita dapat mengetahui keadaan sebenarnya di kawasan permukiman di Lingkungan
Tembulum, Sumur Pring, dan Ciporong ini dan dapat menganalisa permasalahan -
permasalahan yang ada di Lingkungan Tembulum, Sumur Pring, dan Ciporong tersebut.
Sehingga harus mampu mencari solusi terbaik untuk mengatasi permasalahan yang akan
menciptakan keserasian antara manusia dengan lingkungan yang didukung oleh infrastruktur
yang baik. Sehingga dapat tercipta suasana ideal di masa yang akan datang.

1.2.2 Tujuan Penelitian


Tujuan dari kompilasi data ini adalah untuk mengidentifikasi karakteristik yang ada
di Lingkungan Tembulum, Sumur Pring, dan Ciporong yang berupa :

 Mengidentifikasi penyebab adanya permukiman kumuh?


 Masalah – masalah apa saja yang timbul akibat adanya permukiman kumuh?

1.3 Sasaran
Sasaran yang ingin di capai dalam kajian ini yaitu :
1. Keadaan fisik, meliputi karakteristik kawasan serta sarana dan prasarana yang ada di
Lingkungan Tembulum, Sumur Pring, dan Ciporong.
2. Keadaan non-fisik, meliputi kependudukan yang ada di Lingkungan Tembulum, Sumur Pring,
dan Ciporong.
1.4 Ruang Lingkup
Ruang lingkup Kajian Penanganan Permukiman Kumuh di Kelurahan Mekarsari Kecamatan
Pulomerak, yang terdiri dari lingkungan; Lingkungan Tembulum, Lingkungan Sumur Pring, dan
Lingkungan Ciporong. Lingkup wilayah yang dimaksud adalah wilayah kajian perencanaan yang
dijadikan sebagai obyek kajian.

1.5 Sistematika Penulisan


BAB I Pendahuluan

3
Pada Bab ini berisikan latar belakang tentang kajian pembangunan permukiman
kumuh di Kelurahan Mekarsari, Kota Cilegon, maksud dan tujuan, ruang lingkup, sasaran dan
sistematika penulisan.

BAB II Tinjauan Pustaka

Pada Bab ini berisikan Teori – teori pengertian permukiman, pengertian permukiman
kumuh serta tipologi permukiman kumuh. Serta berisikan tentang timbulnya permukiman
kumuh dan pola persebaran permukiman kumuh.

BAB III Gambaran Umum

Pada Bab ini menggambarkan mengenai kondisi fisik, sosial yang ada di Kelurahan
Mekarsari, Lingkungan Tembulum, Sumur Pring, dan Ciporong, berdasarkan data yang di
dapat.

BAB IV Hasil Pembahasan

Pada Bab ini berisikan tentang pembahasan analisis indikator permukiman kumuh,
yang terdiri dari : Bangunan gedung, Jalan lingkungan, Penyediaan air minum, Drainase
lingkungan, Pengelolaan air limbah, Pengelolaan persampahan, dan Proteksi kebakaran.

BAB V Rencana Kawasan

Pada Bab ini berisi tentang rencana dari kajian perencanaan tentang permukiman
kumuh. Berisikan tentang rencana – rencana yang akan dibangun yang akan di tata kelola
dengan baik sesuai arahan peraturan perundang – undangan.

BAB VI Kesimpulan dan Saran

Bab ini berisi kesimpulan dari kawasan perencanaan permukiman kumuh, di bab ini
berisikan tentang kesimpulan dan saran saran.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori - Teori
2.1.1 Pengertian Permukiman
Menurut Penelitian Ilmiah (Sandy, 2010) Permukiman berasal dari kata housing
dalam bahasa Inggris yang artinya adalah perumahan dan kata human settlement yang artinya
permukiman. Permukiman memberi pengertian mengenai pemukim atau kumpulan pemukim
beserta sikap dan perilakunya di dalam lingkungan, sehingga permukiman menitik beratkan
pada sesuatu yang bukan bersifat fisik atau benda mati yaitu manusia (human).

Permukiman adalah suatu bagian dari lingkup wilayah perkotaan yang tidak dapat
dipisahkan. Perbedaan jenis permukiman di daerah perkotaan dengan permukiman yang
terdapat di daerah pedesaan pertama terlihat pada ukuran dimana sebelum permukiman
tersebut belum mencapai ukuran tertentu, maka permukiman itu belum dikatakan kota
(Sandy, 2010).

Definisi Permukiman berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1


tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman, permukiman adalah bagian dari lingkungan
hidup diluar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang
berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan
yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.

Koestoer, 2001 mengkategorikan permukiman yaitu sebagai berikut:

1. Permukiman teratur, yaitu permukiman yang dibangun secara berencana, dengan


bangunan dan jaringan jalan yang baik dan berkualitas.
2. Permukiman tidak teratur yaitu, permukiman yang dibangun secara tidak berencana,
bangunan dan jaringan jalannya pun bervariasi, ada yang berkualitas baik, sedang,
ataupun kurang baik.

2.1.2 Pengertian Permukiman Kumuh


Permukiman Kumuh sering dilihat sebagai suatu kawasan identik dengan kawasan
yang apatis, kelebihan penduduk, tidak mencukupi, tidak memadai, miskin, bobrok,
berbahaya, tidak aman, kotor, dibawah standar, tidak sehat dan masih banyak stigma negatif
lainnya (Rahardjo Adisasmita, 2010). Dari beberapa kesan yang timbul dari permukiman

5
kumuh dapat disimpulkan definisi dari permukiman kumuh itu sendiri, terdapat beberapa
definisi yang diungkapkan oleh para ahli, berikut penjelasannya :

Permukiman kumuh yaitu permukiman yang padat, kualitas konstruksi rendah,


prasarana, dan pelayanan minim adalah pengentasan kemiskinan (Tjuk Kuswartojo, 2009).
Sedangkan menurut Prasudi Suparlan, permukiman kumuh adalah permukiman atau
perumahan orang – orang miskin kota yang berpenduduk padat, terdapat di lorong - lorong
yang kotor dan merupakan bagian dari kota secara keseluruhan, juga biasa disebut dengan
wilayah semerawut. Pengertian lain dari permukiman kumuh juga diungkapkan oleh Johan
Silas yaitu permukiman kumh dapat diartikan menjadi dua bagian, yang pertama yaitu
kawasan yang proses pembentukannya karena keterbatasan kota dalam menampung
perkembangan kota sehingga timbul kompetisi dalam menggunakan lahan perkotaan.

Sedangkan kawasan permukiman berkepadatan tinggi merupakan embrio


permukiman kumuh. Dan yang kedua yaitu kawasan yang lokasi penyebarannya secara
geografis terdesak perkembangan kota yang semula baik, lambat laun menjadi kumuh, yang
menjadi penyebabbnya adalah mobilitas sosial ekonomi yang stagnan.

Untuk menentukan kekumuhan suatu kawasan, dapat ditinjau dari tujuh aspek, yaitu :

1. Bangunan rumah.
2. Jalan lingkungan.
3. Penyediaan air minum.
4. Drainase lingkungan.
5. Pengelolaan air limbah.
6. Pengelolaan persampahan.
7. Proteksi kebakaran.

Akibatnya, muncul permukiman kumuh di beberapa wilayah kota yang merupakan


hal yang tidak dapat dihindari, yaitu tidak direncanakan oleh pemerintah tetapi tumbuh
sebagai proses alamiah. Dalam berbagai literatur dapat dilihat berbagai kriteria dalam
menentukan kekumuhan atau tidaknya suatu kawasan permukiman.

2.1.3 Tipologi Permukiman Kumuh


Tipologi permukiman kumuh dapat dibedakan dalam dua tipe, yaitu squater dan
slumarea. Pembedaan kedua tipe permukiman kumuh tersebut berdasarkan pada kondisi fisik
dan kondisi geografis yang tidak memadai, serta status kepemilikan yang tidak jelas
( Anonim, 1993).

6
2.1.3.1 Squater Area
Squater Area merupakan permukiman yang dibangun di suatu kawasan atau daerah
permukiman atau tempat-tempat terlarang dan bersifat ilegal atau liar. Permukimah kumuh
yang termasuk tipe squater area mempunyai kondisi fisik, geografis dan status berikut:

a) Permukiman tidak layak.


b) Permukiman yang padat dengan penduduknya.
c) Permukiman dengan prasarana sanitasi yang tidak berfungsi dengan baik.
d) Permukiman dengan tata letak tidak teratur.
e) Permukiman yang kondisi fisik bangunannya buruk.

2.1.3.2 Slum Area


Slum Area merupakan permukima kumuh dalam kaitannya dengan masalah
permukiman perkotaan. Apabila dilihat dari kondisi fisik lingkungan tidak memadai,
sedangkan kondisi geografisnya layak untuk dihuni. Slum area bersifat legal atau secara
hukum diakui kepemilikannya. Karakteristik/ciri permukiman kumuh yang termasuk slum
area menurut (Sarasvati, 2010) dalam penelitian ilmiah yang berjudul tipologi permukiman
kumuh adalah sebagai berikut:

a) Daerah permukiman dengan lingkungan yang tidak sehat.


b) Daerah permukiman yang dihuni oleh warga kota yang gagal dalam bidang ekonomi.
c) Daerah permukiman yang masyarakatnya mempunyai kebiasaan negatif.

2.1.4 Timbulnya Permukiman Kumuh


Secara umum timbulnya permukiman kumuh dalam perkembangan suatu kota, sangat
erat kaitannya dengan mobilitas penduduknya. Masyarakat yang mampu cenderung memilih
tempat hunian keluar dari pusat kota. Sedangkan bagi masyrakat yang kurang mampu akan
cenderung memilih tempat di dalam kota. Kelompok masyarakat ini terjadi akibat kurangnya
fasilitas perumahan yang terjangkau oleh pendapatan mereka serta kebutuhan akan akses ke
tempat usaha menjadi penyebab timbulnya lingkungan permukiman kumuh diperkotaan
sampai terjadi didaerah penyangga seperti diwilayah Kelurahan Mekarsari Kecamatan
Pulomerak, Lingkungan Tembulum, Sumur Pring, dan Ciporong.

Proses terbentuknya permukiman kumuh dimulai dengan dibangunnya perumahan


oleh sektor non formal baik secara perorangan maupun dibangun oleh orang lain. Pada proses
pembangunan oleh sektor nonformal tersebut mengakibatkan munculnya lingkungan
perumahan kumuh, yang padat, tidak teratur dan tidak meiliki sarana dan prasana lingkungan
yang memenuhi standar teknis dan kesehatan.
7
Kampung kumuh dapat diartikan sebagai kelompok rumah yang menempati wilayah
tertentu di mana rumah dan kondisi hunian masyarakatnya sangat buruk. Rumah maupun
sarana dan prasarana yang ada tidak sesuai dengan standar yang berlaku, baik standar
kebutuhan, kepadatan bangunan, persyaratan rumah layak huni, kebutuhan sarana air bersih,
sanitasi maupun persyaratan kelengkapan prasarana jalan, ruang terbuka, serta kelengkapan
fasilitas sosial lainnya. Kampung kumuh dapat juga diartikan sebagai suatu kawasan
pemukiman ataupun bukan kawasan pemukiman yang dijadikan sebagai tempat tinggal yang
bangunan-bangunannya berkondisi substandar atau tidak layak yang dihuni oleh penduduk
miskin yang padat. Kampung kumuh dapat berupa kawasan yang sesungguhnya tidak
diperuntukkan sebagai kawasan pemukiman yang oleh penduduk miskin berpenghasilan
rendah dan tidak tetap diambil alih untuk dijadikan tempat tinggal, seperti bantaran sungai, di
pinggir rel kereta api, tanah-tanah kosong di sekitar pabrik atau pusat kota, dan di bawah
jembatan.

Prof. Dr. Djoko Sujarto mengemukakan pengertian kampung kumuh sebagai suatu
kawasan permukiman dengan ciri-ciri sebagai berikut:

a) Kondisi fisik: kondisi bangunan di bawah standar minimum, jenis bangunan sebagian
besar temporer/semi permanen, kepadatan bangunan tinggi, jarak antar bangunan
relatif rendah, kondisi kelengkapan sarana dan prasarana terbatas/buruk, rawan banjir
dan kebakaran, dan tata guna lahan tidak teratur;
b) Kondisi sosial: kehidupan sosial rendah (degradasi sosial, moral menurun), status
sosial ekonomi rendah, tingkat pendidikan rendah, natalitas, mortalitas, dan
pengangguran tinggi, dan kepadatan penduduk tinggi;
c) Kondisi ekonomi: pendapatan perkapita. penduduk rendah, produktivitas rendah,
potensi ekonomi belum dimanfaatkan, dan akses ekonomi terbatas.

2.1.5 Pola Persebaran Permukiman


Pola (pattern) dapat diartikan sebagai susunan struktural, gambar, corak, kombinasi
sifat kecendrungan membentuk suatu yang taat asas dan bersifat khas (Depkibud, 2010), dan
dapat pula diartikan sebagai benda yang tersusun menurut sistem tertentu mengijkuti
kecendrungan bentuk tertentu.

Persebaran permukiman membicarakan mengenai hal dimana terdapat atau tidak


terdapat permukiman dalam suatu wilayah (Ritohardoyo, 2009). Martono (2010) menyatakan
bahwa pola persebaan permukiman dan pola permukiman pada prinsipnya berbeda-beda.

8
BAB III

GAMBARAN UMUM
3.1 Gambaran Umum Kelurahan Mekarsari
3.1 Kondisi Fisik
Dalam kondisi fisik suatu kawasan akan dibahas mengenai Orientai, Letak geografis,
topografi dan semua hal yang mengenai Lingkungan di Kelurahan Mekarsari.

3.1.1.1 Orientasi
Pemerintah Kelurahan Mekarsari merupakan ujung tombak Pemerintah
Pusat, maupun Pemerintah Daerah yang langsung berhadapan dengan masyarakat
dalam rangka pemberian Pelayan serta melaksanakan tugas-tugas kepemerintahan,
Pemberdayaan masyarakat dan dalam rangka upaya terciptanya administrasi dalam
pelayanan informasi yang lengkap, tepat, dan akurat guna menunjang kelancaran
pengambilan keputusan memudahkan perencanaan dan sarana penyampaian data /
informasi kegiatan kinerja Pemerintah Kelurahan.

3.1.1.2 Letak Geografis dan Batas Administratif


Kelurahan Mekarsari terletak disebelah Selatan Kecamatan Pulomerak, Kota
Cilegon dengan luas Wilayah ± 472.99 Ha. Dengan ketinggian 5 meter dari
permukaan laut, dengan Koordinat Bujur : 106.01595 dan koordinat Lintang :
-5.95226, curah hujan 115 mm/tahun serta rata-rata 30-32° celcius.

Kelurahan Mekarsari dengan batas wilayahnya sebagai berikut :

 Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Tamansari.


 Sebelah Selatan Berbatasan dengan Kelurahan Gerem.
 Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Serang.
 Sebelah Barat berbatasan dengan Selat Sunda.

3.1.1.3 Topografi
Kelurahan Mekarsari berada di Kota Administratif Cilegon yang
membentang dari Barat ke Timur sepanjang kurang lebih 35 km, menjorok ke darat
antara 5 sd 10 km dan mempunyai luas 15,00 Ha. Kelurahan Mekarsari mempunyai
ketinggian dari permukaan laut antara 5 meter, dari tempat tertentu ada yang dibawah
permukaan laut yang sebagian besar terdiri dari rawa-rawa, empang, air laut yang
payau.

9
3.1.1.4 Hidrologi
Sebagian besar masyarakat yang tinggal di Lingkungan Tembulum, Sumur
Pring, dan Ciporong belum menggunakan pasokan air dari PDAM, karena dari
beberapa lingkungan tersebut dengan kontur yang tinggi sehingga belum dapat
terlayani, karena saluran PDAM tidak dapat terjangkau ke daerah tersebut
dikarenakan dengan kontur yang sangat tinggi. Namun masih terdapat sebagian kecil
dari masyarakat Lingkungan Tembulum, Sumur Pring, Ciporong yang masing
menggunakan air tanah sebagai sumber air kebutuhan sehari-hari seperti; mencuci
pakaian, mandi dan tidak untuk di konsumsi. Jika masyarakat ingin mengkonsumsi
air, masyarakat harus membeli air di daerah lain dengan kisaran harga 10 sampai 20rb
per derigen untuk mengkonsumsi air bersih.

3.1.1.5 Klimatologi
Kota Cilegon merupakan Pantai beriklim Panas dengan suhu rata-rata 30-32 0
C, curah hujan setiap tahun rata-rata 115 mm dengan maksimal curah hujan pada
Januari 362,70 mm dan kelembaban udara rata-rata 27° yang disapu angin dengan
kecepatan sekitar 11 km/h sepanjanjang hari. Kondisi wilayah yang merupakan
daerah pesisir pantai.

3.2 Sosial Kependudukan


3.2.1 Jumlah Penduduk
Jumlah Penduduk yang ada di wilayah akan dibahas berdasarkan Umur, jenis
kelamin dan populasi penduduk per tahun di wilayah tersebut.

3.1 Jumlah Penduduk Sesuai Umur di Kelurahan Mekarsari

Usia Laki – Laki Perempuan Total


0-4 Tahun 190 153 343
05-09 Tahun 640 587 1.227
10-14 Tahun 689 615 1.304
15-19 Tahun 620 605 1.225
20-24 Tahun 645 609 1.254
25-29 Tahun 662 655 1.317
30-34 Tahun 648 748 1.396
35-39 Tahun 791 659 1.450
40-44 Tahun 770 572 1.342
45-49 Tahun 643 428 1.071
50-54 Tahun 492 261 753
55-59 Tahun 398 259 657
60-64 Tahun 317 190 507

10
65-69 Tahun 196 128 324
70-74 Tahun 141 65 206
Lebih Dari 75 Tahun 101 46 147
Total 7.913 6.580 14.493
Sumber : Kelurahan Mekarsari, Tahun 2018.

3.2.2 Struktur Kependudukan


Struktur di Kelurahan Mekarsari yang disajikan berdasarkan data
pada tahun 2015-2017. Struktur penduduk ini dibedakan berdasarkan jenis
kelamin dan kewarganegaraan.

3.2 Jumlah Penduduk Tiga Tahun Terakhir Menurut Jenis


Kelamin

Tahun Jumlah Laki – Laki Jumlah Perempuan Total


2016 6.014 5.780 11.794
2017 6.065 5.832 11.897
2018 6.113 5.880 11.993
Total 18.192 17.492 35.684
Sumber : Badan Pusat Statistik Kelurahan Mekarsari, Tahun 2016 Sampai 2018.

Menurut dari hasil Badan Pusat Statistik Kelurahan Mekarsari dari Tahun
2016 sampai dengan Tahun 2018, jumlah populasi penduduk di Kelurahan Mekarsari
ini yang paling banyak populasi penduduknya berada pada Tahun 2018 dengan total
populasi 11.993 penduduk. Tidak adanya penurunan jumlah penduduk per setiap
tahunnya, di setiap tahunnya selalu ada peningkatan jumlah penduduk.

3.3 Gambaran Umum Lingkungan Tembulum RT 01


Gambaran umum Lingkungan Tembulum akan menggambarkan tentang profil Lingkungan
tempat wilayah peneliti melakukan survey lapangan dan mendapatkan data dibutuhkan untuk
memenuhi tugas. Dalam gambaran umum ini akan dibahas mengenai Kondisi fisik, sosial
kependudukan.

3.3.1 Gambaran Umum Lingkungan Sumur Pring RT 02


Gambaran umum Lingkungan Sumur Pring akan menggambarkan tentang profil
Lingkungan tempat wilayah peneliti melakukan survey lapangan dan mendapatkan data
dibutuhkan untuk memenuhi tugas. Dalam gambaran umum ini akan dibahas mengenai
Kondisi fisik, sosial kependudukan.

3.3.2 Gambaran Umum Lingkungan Ciporong RT 03


Gambaran umum Lingkungan Ciporong akan menggambarkan tentang profil
Lingkungan tempat wilayah peneliti melakukan survey lapangan dan mendapatkan data
11
dibutuhkan untuk memenuhi tugas. Dalam gambaran umum ini akan dibahas mengenai
Kondisi fisik, sosial kependudukan.

3.4 Kondisi Fisik


3.4.1 Orientasi
Lingungan Tembulum, Sumur Pring, Ciporong merupakan sebuah
lingkungan yang berada di Kelurahan Mekarsari, Kecamatan Pulomerak Kota Cilegon
dengan luas ±2 hektar. Lingkungan Tembulum hanya memiliki 1 RT, Lingkungan Sumur
Pring juga memiliki 1 RT, dan Ciporong juga hanya memiliki 1 RT. Lingkungan
Tembulum, Sumur Pring, Ciporong merupakan salah lingkungan kumuh yang berada di
Kota Cilegon.

3.4.2 Letak Geografis dan Batas Administratif Lingkungan Tembulum


Lingkungan Tembulum secara geografis merupakan dataran yang tinggi
karena berada jauh dengan daerah pesisir pantai dan Pelabuhan Merak. Karena berada
pada dataran yang tinggi, maka apabila hujan turun tidak ada daerah yang tergenang
ataupun rawan banjir. Lingkungan Tembulum berada pada wilayah yang dataran tinggi.
Adapun batas-batas Administritif Lingkungan Tembulum adalah :

 Sebelah Utara Berbatasan Dengan : Lingkungan Sumur Pring.


 Sebelah Selatan Berbatasan Dengan : Wisata Alam Batu Kupel.
 Sebelah Timur Berbatasan Dengan : Lingkungan Ciporong.
 Sebelah Barat Berbatasan Dengan : Jalan Gunung Batur.

3.4.2.1 Letak Geografis dan Batas Administratif Lingkungan Sumur Pring


Lingkungan Sumur Pring secara geografis merupakan dataran yang tinggi
karena berada jauh dengan daerah pesisir pantai dan Pelabuhan Merak. Karena berada
pada dataran yang tinggi, maka apabila hujan turun tidak ada daerah yang tergenang
ataupun rawan banjir. Lingkungan Sumur Pring berada pada wilayah yang dataran tinggi.
Adapun batas-batas Administritif Lingkungan Sumur Pring adalah :

 Sebelah Utara Berbatasan Dengan : Bukit Batu Gambir.


 Sebelah Selatan Berbatasan Dengan : Lingkungan Tembulum.
 Sebelah Timur Berbatasan Dengan : Lingkungan Ciporong.
 Sebelah Barat Berbatasan Dengan : Jalan Gunung Batur.

12
3.4.2.2 Letak Geografis dan Batas Administratif Lingkungan Ciporong
Lingkungan Ciporong secara geografis merupakan dataran yang tinggi karena
berada jauh dengan daerah pesisir pantai dan Pelabuhan Merak. Karena berada pada
dataran yang tinggi, maka apabila hujan turun tidak ada daerah yang tergenang ataupun
rawan banjir. Lingkungan Ciporong berada pada wilayah yang dataran tinggi. Adapun
batas-batas Administritif Lingkungan Ciporong adalah :

 Sebelah Utara Berbatasan Dengan : Bukit Batu Gambir.


 Sebelah Selatan Berbatasan Dengan : Lingkungan Tembulum.
 Sebelah Timur Berbatasan Dengan : Masjid Al-Ikhlas Kedung Ingas.
 Sebelah Barat Berbatasan Dengan : Lingkungan Sumur Pring.

3.4.3 Topografi
Lingkungan Tembulum, Lingkungan Sumur Pring, Lingkungan Ciporong
mempunyai ketinggian lebih dari 100 mdpl, dari tempat tertentu ada yang dibawah
permukaan laut yang sebagian besar terdiri dari rawa-rawa, empang, air laut payau.
Lingkungan tersebut termasuk lingkungan yang datarannya tinggi dan tidak akan rawan
banjir maupun tergenang air.

3.4.4 Hidrologi
Sebagian besar masyarakat yang tinggal di Lingkungan Tembulum, Sumur
Pring, dan Ciporong belum menggunakan pasokan air dari PDAM, di lingkungan
Tembulum, Sumur Pring, dan Ciporong hanya menggunakan air sumur. Karena dari
beberapa lingkungan tersebut dengan kontur yang tinggi belum dapat terlayani, karena
saluran PDAM tidak dapat terjangkau ke daerah tersebut dikarenakan dengan kontur
yang sangat tinggi. Namun masih terdapat sebagian kecil dari masyarakat Lingkungan
Tembulum, Sumur Pring, Ciporong yang masing menggunakan air tanah sebagai sumber
air kebutuhan sehari-hari seperti; mencuci pakaian, mandi.

3.4.5 Klimatologi
Lingkungan Tembulum, Sumur Pring, Ciporong merupakan wilayah yang
jauh dari pesisir pantai dan berada di wilayah dataran tinggi sehingga memiliki iklim
cenderung sejuk dengan suhu rata-rata 20-27 0 C, curah hujan yang terjadi juga tidak
terlalu sering dikarenakan iklimnya yang sejuk dan tidak terlalu panas. Kondisi
lingkungan tersebut termasuk lingkungan yang datarannya tinggi dan tidak akan rawan
banjir maupun tergenang air.

13
3.5 Sosial Kependudukan
3.5.1 Jumlah Penduduk
Penduduk di Lingkungan Tembulum, Sumur Pring, Ciporong masing –
masing hanya memiliki 1 RT di setiap lingkungan tersebut. Dengan masing – masing
jumlah KK sebagai berikut :

3.3 Tabel Jumlah Penduduk di Lingkungan Tembulum, Sumur Pring,


Ciporong

Lingkungan RT Jumlah KK Jumlah Bangunan Rumah


Tembulum 01 131 ±90
Sumur Pring 02 16 14
Ciporong 03 86 59
Sumber : Hasil Observasi dan Wawancara, Tahun 2019.

Dari hasil jumlah penduduk di Kelurahan Mekarsari Lingkungan


Tembulum, Sumur Pring, dan Ciporong ini menunjukkan bahwa, di Lingkungan yang
jumlah penduduknya paling besar yaitu berada pada Lingkungan Tembulum dengan
jumlah sebanyak 131 KK, dan untuk jumlah penduduknya yang paling sedikit yaitu
berada pada Lingkungan Sumur Pring dengan jumlah sebanyak 16 KK.

14
BAB IV

HASIL PEMBAHASAN
4.1 Fisik Bangunan
4.1.1 Bangunan Lingkungan Tembulum
Kondisi bangunan di Lingkungan Tembulum RT 01 RW 04 rata – rata memiliki
kondisi bangunan yang permanen dan semi permanen. Di Lingkungan Tembulum juga tidak
memiliki bangunan yang rapih, karena dengan banyaknya jumlah bangunan di lingkungan
tersebut maka terjadinya tidak keteraturan bangunan yang sesuai, sehingga membuat
lingkungan tersebut menjadi tidak rapih dan tidak tertata dengan baik. Hampir 85% kondisi
rumah di Lingkungan Tembulum ini memiliki kondisi permanen, dan 15% memiliki kondisi
semi permanen. Di Lingkungan Tembulum ini memiliki banyaknya bangunan sekitar ± 90
bangunan rumah.

Gambar 4. 1 Kondisi Bangunan Permanen Lingkungan Tembulum

Sumber : Hasil Survey Lapangan, Tahun 2019.

15
Gambar 4. 2 Kondisi Bangunan Semi Permanen Lingkungan Tembulum

Sumber : Hasil Survey Lapangan, Tahun 2019.

4.1.2 Bangunan Lingkungan Sumur Pring


Kondisi bangunan di Lingkungan Sumur Pring RT 02 RW 04 rata – rata memiliki
kondisi bangunan yang permanen dan semi permanen. Di Lingkungan Sumur Pring juga tidak
memiliki bangunan yang rapih, karena dengan jumlah luas lahan yang kecil sehingga
membuat masyarakat membangun rumah dengan tidak rapih dan tidak beraturan yang sesuai,
sehingga membuat lingkungan tersebut menjadi tidak rapih dan tidak tertata dengan baik.
Hampir 90% kondisi Lingkungan di Sumur Pring sudah permanen, dan di permukiman Sumur
Pring ini hanya memiliki banyaknya bangunan sekitar 16 bangunan rumah.

Gambar 4. 3 Kondisi Bangunan Permanen Lingkungan Sumur Pring

16
Sumber : Hasil Survey Lapangan, Tahun 2019.

Gambar 4. 4 Kondisi Bangunan Semi Permanen Lingkungan Sumur Pring

Sumber : Hasil Survey Lapangan, Tahun 2019.

4.1.3 Bangunan Lingkungan Ciporong


Kondisi bangunan di Lingkungan Ciporong RT 03 RW 04 rata – rata memiliki
kondisi bangunan yang permanen dan semi permanen. Di Lingkungan Ciporong juga tidak
memiliki bangunan yang rapih, karena dengan banyaknya jumlah bangunan di lingkungan
tersebut maka terjadinya tidak keteraturan bangunan yang sesuai, sehingga membuat
lingkungan tersebut menjadi tidak rapih dan tidak lebih tertata. Hampir 80% kondisi rumah di
Lingkungan Ciporong ini memiliki kondisi permanen, dan 20% memiliki kondisi semi
17
permanen. Di Lingkungan Ciporong ini memiliki banyaknya bangunan sekitar ± 59 bangunan
rumah.

Gambar 4. 5 Kondisi Bangunan Permanen Lingkungan Ciporong

Sumber : Hasil Survey Lapangan, Tahun 2019.

Gambar 4. 6 Kondisi Bangunan Semi Permanen Lingkungan Ciporong

Sumber : Hasil Survey Lapangan, Tahun 2019.

4.2 Jalan Lingkungan


4.2.1 Jalan Lingkungan Tembulum
Jalan Lingkungan Tembulum sudah memiliki paving block. Kondisi jalan yang ada di
lingkungan tersebut juga dengan kondisi baik, tidak adanya lubang – lubang di sekitar jalan
lingkungan. Dengan kondisi jalan yang baik dapat memudahkan kegiatan aktifitas masyarakat

18
sehari – hari, dan dapat membuat masyarakat nyaman dengan keadaan kondisi jalan
lingkungan yang baik.

Gambar 4. 7 Jalan Lingkungan Tembulum

Sumber : Hasil Survey Lapangan, Tahun 2019.

4.2.2 Jalan Lingkungan Sumur Pring


Jalan Lingkungan Sumur Pring belum semua memiliki paving block, dan ada
beberapa kondisi jalan yang juga masih tanah maupun semen plester. Kondisi jalan yang ada
di lingkungan tersebut juga tidak dengan kondisi baik, dan adanya lubang – lubang di sekitar
jalan lingkungan. Dengan kondisi jalan yang kurang baik tidak dapat memudahkan kegiatan
aktifitas masyarakat sehari – hari, dan tidak dapat membuat masyarakat nyaman dengan
keadaan kondisi jalan lingkungan yang baik.

Gambar 4. 8 Jalan Lingkungan Sumur Pring

19
Sumber : Hasil Survey Lapangan, Tahun 2019.

4.2.3 Jalan Lingkungan Ciporong


Jalan Lingkungan Ciporong belum semua memiliki paving block, dan ada beberapa
kondisi jalan yang juga masih tanah maupun semen plester. Kondisi jalan yang ada di
lingkungan tersebut juga tidak dengan kondisi baik, dan adanya lubang – lubang di sekitar
jalan lingkungan. Dengan kondisi jalan yang kurang baik tidak dapat memudahkan kegiatan
aktifitas masyarakat sehari – hari, dan tidak dapat membuat masyarakat nyaman dengan
keadaan kondisi jalan lingkungan yang baik.

Gambar 4. 9 Jalan Lingkungan Ciporong

Sumber : Hasil Survey Lapangan, Tahun 2019.

20
4.3 Penyediaan Air Minum
4.3.1 Penyediaan Air Minum Di Lingkungan Tembulum
Di Lingkungan Tembulum ini menggunakan air sumur, akan tetapi dikarenakan akhir
– akhir ini memasuki fase musim kemarau, di Lingkungan Tembulum ini kesulitan untuk
mendapatkan air bersih. Karena dengan adanya air sumur yang kering, masyarakat tidak dapat
menggunakan air untuk kegiatan sehari – hari, seperti mencuci, memasak, dan mandi.

Pada saat musim kemarau seperti saat ini, masyarakat hanya dapat menunggu air
kiriman dari pemerintah untuk mendapatkan air bersih seperi untuk, memasak, mencuci, dan
mandi. Untuk pengiriman air tersebut dari pemerintah di kirim menggunakan truck tangki
setiap hari Selasa dan Kamis. Pembagian air hanya dapat 1 drigen/galon untuk 1 rumah.
Sampai musim kemarau seperti ini masyarakat hanya dapat meminta bantuan air bersih dari
pemerintah, yang dikarenakannya air sumur masyarakat yang kering akibat kemarau panjang.

Gambar 4. 10 Penyediaan Air Bersih Lingkungan Tembulum

Sumber : Hasil Survey Lapangan, Tahun 2019.

21
4.3.2 Penyediaan Air Minum Di Lingkungan Sumur Pring
Di Lingkungan Sumur Pring ini menggunakan air sumur, akan tetapi dikarenakan
akhir – akhir ini memasuki fase musim kemarau, di Lingkungan Sumur Pring ini kesulitan
untuk mendapatkan air bersih. Karena dengan adanya air sumur yang kering, masyarakat
tidak dapat menggunakan air untuk kegiatan sehari – hari, seperti mencuci, memasak, dan
mandi.

Pada saat musim kemarau seperti saat ini, masyarakat hanya dapat menunggu air
kiriman dari pemerintah untuk mendapatkan air bersih seperi untuk, memasak, mencuci, dan
mandi. Untuk pengiriman air tersebut dari pemerintah di kirim menggunakan truck tangki
setiap hari Selasa dan Kamis. Pembagian air hanya dapat 1 drigen/galon untuk 1 rumah.
Sampai musim kemarau seperti ini masyarakat hanya dapat meminta bantuan air bersih dari
pemerintah, yang dikarenakannya air sumur masyarakat yang kering akibat kemarau panjang.

Gambar 4. 11 Penyediaan Air Bersih Lingkungan Sumur Pring

Sumber : Hasil Survey Lapangan, Tahun 2019.

22
4.3.3 Penyediaan Air Minum Di Lingkungan Ciporong
Di Lingkungan Ciporong ini menggunakan air sumur sama seperti di Lingkungan
Tembulum dan Sumur Pring, akan tetapi dikarenakan akhir – akhir ini memasuki fase musim
kemarau, di Lingkungan Tembulum ini kesulitan untuk mendapatkan air bersih. Karena
dengan adanya air sumur yang kering, masyarakat tidak dapat menggunakan air untuk
kegiatan sehari – hari, seperti mencuci, memasak, dan mandi.

Pada saat musim kemarau seperti saat ini, masyarakat hanya dapat menunggu air
kiriman dari pemerintah untuk mendapatkan air bersih seperi untuk, memasak, mencuci, dan
mandi. Karena lokasi di Lingkungan Ciporong ini yang memiliki dataran lebih tinggi dari
Lingkungan Tembulum dan Sumur Pring, maka pemerintah tidak dapat mengirim pasokan air
ke Lingkungan Ciporong, dikarenakan aksesibilitas yang cukup tinggi dan menanjak yang
dapat menyulitkan truck tangki menjangkau Lingkungan Ciporong. Dengan kondisi seperti
ini, masyarakat di Lingkungan Ciporong ini harus mencari mata air untuk dapat mencuci
pakaian, dan mandi. Untuk air yang di konsumsi, masyarakat di Lingkungan Ciporong ini
harus membeli air di bawah dengan kisaran harga 10rb sampai 20rb per derigen/galon.

Gambar 4. 12 Kegiatan Masyarakat Menunggu Pengambilan air dari Mata Air

23
Sumber : Hasil Survey Lapangan, Tahun 2019.

4.4 Drainase Lingkungan


4.4.1 Drainase Lingkungan Tembulum
Jika di lihat dari hasil survey di Lingkungan Tembulum, di lingkungan ini hanya
sedikit adanya drainase atau saluran pembuangan air, dikarenakan kontur yang cukup tinggi
masyarakat tidak memiliki drainase untuk saluran air. Di Lingkungan Tembulum ini juga
tidak akan terjadi banjir dan genangan di sekitar lingkungan tersebut. Jika terjadinya hujan, air
akan langsung turun mengalir ke arah bawah, ataupun mengarah langsung ke perkebunan
masyarakat sekitar. Meskipun tidak adanya sistem drainase yang baik di Lingkungan
Tembulum, masyarakat tetap merasa aman jika hujan turun, dikarenakan tidak akan terjadinya
banjir meskipun hujan cukup deras.

Gambar 4. 13 Drainase Lingkungan Tembulum

Sumber : Hasil Survey Lapangan, Tahun 2019.

4.4.2 Drainase Lingkungan Sumur Pring


Jika di lihat dari hasil survey di Lingkungan Sumur Pring, di lingkungan ini hanya
sedikit adanya drainase atau saluran pembuangan air, dikarenakan kontur yang cukup tinggi
masyarakat tidak memiliki drainase untuk saluran air. Di Lingkungan Sumur Pring ini juga
tidak akan terjadi banjir dan genangan di sekitar lingkungan tersebut. Jika terjadinya hujan, air
akan langsung mengalir ke arah bawah, ataupun mengarah langsung ke perkebunan
masyarakat sekitar. Meskipun tidak adanya sistem drainase yang baik di Lingkungan Sumur
Pring, masyarakat tetap merasa aman jika hujan turun, dikarenakan tidak akan terjadinya
banjir meskipun hujan cukup deras.

Gambar 4. 14 Drainase Lingkungan Sumur Pring


24
Sumber : Hasil Survey Lapangan, Tahun 2019.

4.4.3 Drainase Lingkungan Ciporong


Jika di lihat dari hasil survey di Lingkungan Ciporong, di lingkungan ini hanya
sedikit adanya drainase atau saluran pembuangan air, dikarenakan kontur yang cukup tinggi
masyarakat tidak memiliki drainase untuk saluran air. Di Lingkungan Ciporong ini juga tidak
akan terjadi banjir dan genangan di sekitar lingkungan tersebut. Jika terjadinya hujan, air akan
langsung mengalir ke arah bawah, ataupun mengarah langsung ke perkebunan masyarakat
sekitar. Meskipun tidak adanya sistem drainase yang baik di Lingkungan Ciporong,
masyarakat tetap merasa aman jika hujan turun, dikarenakan tidak akan terjadinya banjir
meskipun hujan cukup deras.

Gambar 4. 15 Drainase Lingkungan Ciporong

25
Sumber : Hasil Survey Lapangan, Tahun 2019.

4.5 Pengelolaan Air Limbah


4.5.1 Pengelolaan Air Limbah Lingkungan Tembulum
Pengelolaan air limbah di Lingkungan Tembulum yaitu berupa pembuangan limbah
hasil mencuci piring, mencuci pakaian, memasak, dan mandi. Untuk aliran pembuangan
limbah rumah tangga tersebut yaitu semuanya mengalir ke arah perkebunan dan pekarangan
rumah. Karena masyarakat tidak memiliki saluran pembuangan yang langsung mengarah ke
saluran drainase, karena di lingkungan tersebut tidak memiliki sistem saluran drainase. Untuk
saluran pembuangan limbah tinja langsung mengarah ke septic tank. Menurut hasil
wawancara di Lingkungan Tembulum ini hampir 90% masyarakatnya sudah memiliki wc
pribadi, sebagian masyarakat yang belum memiliki wc pribadi harus menumpang dengan
tetangga yang memiliki wc pribadi.

4.5.2 Pengelolaan Air Limbah Lingkunan Sumur Pring


Pengelolaan air limbah di Lingkungan Sumur Pring yaitu berupa pembuangan limbah
hasil mencuci piring, mencuci pakaian, memasak, dan mandi. Untuk aliran pembuangan
limbah rumah tangga tersebut yaitu semuanya mengalir ke arah perkebunan dan pekarangan
rumah. Karena masyarakat tidak memiliki saluran pembuangan yang langsung mengarah ke
saluran drainase, karena di lingkungan tersebut tidak memiliki sistem saluran drainase.
Menurut hasil wawancara dengan masyarakat, untuk saluran pembuangan limbah tinja
masyarakat di Lingkungan Sumur Pring ini tidak memiliki wc pribadi, dan di lokasi tersebut
tidak ada wc umum. Menurut masyarakat jika ingin ada yang membuang air besar hanya bisa
membuang air besar di perkebunan.

26
4.5.3 Pengelolaan Air Limbah Lingkungan Ciporong
Pengelolaan air limbah di Lingkungan Ciporong yaitu berupa pembuangan limbah
hasil mencuci piring, mencuci pakaian, memasak, dan mandi. Untuk aliran pembuangan
limbah rumah tangga tersebut yaitu semuanya mengalir ke arah perkebunan dan pekarangan
rumah. Karena masyarakat tidak memiliki saluran pembuangan yang langsung mengarah ke
saluran drainase, karena di lingkungan tersebut tidak memiliki sistem saluran drainase. Untuk
saluran pembuangan limbah tinja langsung mengarah ke septic tank. Menurut hasil
wawancara di Lingkungan Ciporong ini hampir 90% masyarakatnya sudah memiliki wc
pribadi, sebagian masyarakat yang belum memiliki wc pribadi harus menumpang dengan
tetangga yang memiliki wc pribadi.

4.6 Pengelolaan Sampah


4.6.1 Pengelolaan Sampah Lingkungan Tembulum
Di Lingkungan Tembulum ini, tidak memiliki Tempat Penampungan Sementara
(TPS). Dan masyarakatnya pun tidak memiliki tong sampah di setiap rumah. Dari hasil
wawancara, menurut masyarakat di lingkungan tersebut, masyarakat tidak yang membuang
sampah ke tempat pembuangan sampah yang seharusnya. Menurut hasil wawancara dengan
masyarakat sekitar, masyarkat di Lingkungan Tembulum ini masih banyaknya yang
membuang sampah ke perkebunan, dan masih sembarangan. Sebagian masyarakat juga ada
yang di bakar sampahnya di pekarangan belakang rumah mereka maupun di halaman rumah
mereka, dan ada juga yang di biarkan begitu saja.

Gambar 4. 16 Pembuangan Sampah Lingkungan Tembulum

Sumber : Hasil Survey Lapangan, Tahun 2019.

27
4.6.2 Pengelolaan Sampah Lingkungan Sumur Pring
Di Lingkungan Sumur Pring ini, tidak memiliki Tempat Penampungan Sementara
(TPS). Dan masyarakatnya pun tidak memiliki tong sampah di setiap rumah. Dari hasil
wawancara, menurut masyarakat di lingkungan tersebut, masyarakat tidak adanya membuang
sampah ke tempat pembuangan sampah yang seharusnya. Menurut hasil wawancara dengan
masyarakat sekitar, masyarkat di Lingkungan Sumur Pring ini masih banyaknya yang
membuang sampah ke perkebunan, dan masih sembarangan. Sebagian masyarakat juga ada
yang di bakar sampahnya di pekarangan belakang rumah mereka maupun di halaman rumah
mereka, dan ada juga yang di biarkan begitu saja.

Gambar 4. 17 Pembuangan Sampah Lingkungan Sumur Pring

Sumber : Hasil Survey Lapangan, Tahun 2019.

4.6.3 Pengelolaan Sampah Lingkungan Ciporong


Di Lingkungan Ciporong ini, tidak memiliki Tempat Penampungan Sementara (TPS).
Dan masyarakatnya pun tidak memiliki tong sampah di setiap rumah. Dari hasil wawancara,
menurut masyarakat di lingkungan tersebut, masyarakat tidak adanya membuang sampah ke
tempat pembuangan sampah yang seharusnya. Menurut hasil wawancara dengan masyarakat
sekitar, masyarkat di Lingkungan Ciporong ini masih banyaknya yang membuang sampah ke
perkebunan, dan masih sembarangan. Sebagian masyarakat juga ada yang di bakar sampahnya
di pekarangan belakang rumah mereka maupun di halaman rumah mereka, dan ada juga yang
di biarkan begitu saja.

28
Gambar 4. 18 Pembuangan Sampah Lingkungan Ciporong

Sumber : Hasil Survey Lapangan, Tahun 2019.

4.7 Proteksi Kebakaran


4.7.1 Proteksi Kebakaran Lingkungan Tembulum
Dari hasil survey dan hasil wawancana dengan masyarakat setempat, Lingkungan
Tembulum ini memiliki banyak bangunan yang menumpuk, dan dan tidak adanya keteraturan
bangunan. Dengan adanya penumpukan bangunan di lingkungan tersebut, dapat terjadinya
proteksi kebakaran yang dapat merambat ke perumahan sekitar. Menurut hasil wawancara
dengan masyarakat, pernah sekali terjadinya kebakaran pada tahun 2003, dan menghabiskan 4
rumah, namun tidak ada korban jiwa hanya saja ada kerugian baik materil dll. Hingga saat ini
sudah tidak pernah terjadi proteksi kebakaran. Dengan adanya kebakaran pada tahun 2003
masyarakat semakin sadar dengan yang namanya membakar sampah agar tetap menunggu
padam, dan tetap waspada menunggu api padam di dapur.

4.7.2 Proteksi Kebakaran Lingkungan Sumur Pring


Dari hasil survey dan hasil wawancana dengan masyarakat setempat, Lingkungan
Sumur Pring ini memiliki sedikt bangunan namun tidak adanya keteraturan bangunan.
Dengan tidak adanya keteraturan bangunan di lingkungan tersebut, dapat terjadinya proteksi
kebakaran yang dapat merambat ke perumahan sekitar. Menurut hasil wawancara dengan
masyarakat, di Lingkungan Sumur Pring ini tidak pernah terjadi yang namanya proteksi
kebarakan. Jika ada kebakaran masyarakat langsung siap tanggap. Meskipun rumah tidak

29
memiliki keteraturan bangunan, namun masyarakat tetap waspada mengenai permasalahan
kebarakan. Baik dalam mambakar sampah, dan memasak.

4.7.3 Proteksi Kebakaran Lingkungan Ciporong


Dari hasil survey dan hasil wawancana dengan masyarakat setempat, Lingkungan
Ciporong ini memiliki banyak bangunan yang menumpuk, dan dan tidak adanya keteraturan
bangunan. Dengan adanya penumpukan bangunan di lingkungan tersebut, dapat terjadinya
proteksi kebakaran yang dapat merambat ke perumahan sekitar. Menurut hasil wawancara
dengan masyarakat, tidak pernah terjadinya kebakaran di lokasi tersebut. Jika ada kebakaran
masyarakat langsung siap tanggap. Meskipun rumah tidak memiliki keteraturan bangunan,
namun masyarakat tetap waspada mengenai permasalahan kebarakan. Baik dalam hal
mambakar sampah, dan memasak.

30
BAB V

RENCANA KAJIAN KAWASAN


5.1Bangunan Gedung
Kawasan permukiman di lokasi perencanaan berkembang secara organisir sehingga
menimbulkan ketidakteraturan pola bangunan. Ketidakteraturan pola bangunan mengakibatkan
ketidakseimbangan antara lahan terbangunan dan lahan non terbangun. Lahan terbanguan di
Lingkungan Kedurung yang dibangun tanpa memperhatikan Koefisisen Dasar Bangunannya (KDB)
sehingga membuat minimnya lahan non terbanguan yang dapat dijadikan Jalan ataupun RTH.

Pada lokasi perencanaan di Lingkungan Kedurung, Kelurahan Pabean bangunan permukiman


warga di seluruh lingkungan tidak memiliki Koefisien Dasar Bangunan (KDB) yang sesuai, dari
kondisi eksisting yang ada bangunan permukiman di lokasi perencanaan seluruhnya atau 100%
dibanguan untuk rumah tanpa menyisahkan 40% tanah mereka untuk jalan, halaman rumah maupun
untuk dijadikan RTH. Akibat dari ketidaksesuain itulah yang membuat ketidak seimbangan Lahan
terbangun dan Lahan non terbangun di lokasi perencanaan yang membuat kurangnya Ruang terbuka
publik maupun RTH untuk masyarakatnya dan ada 2 rumah yg masih temporer

Proses perencanaan yang diambil untuk menanggulangi masalah ini adalah membuat
Lingkungan Kedurung menjadi Kampung Deret. Pemerintah di harapkan bisa menggandeng lintas
dinas seperti Dinas PU, Bappeda dan Ikatan Arsitek Indonesia dalam penanganan Bangunan dan
melakukan bedah rumah pada rumah yg temporer

5.2 Jalan Lingkungan

Jalan lingkungan yang ada di kawasan perencanaan tidak memilki lebar jalan yang konsisten
sehingga perlu adanya penataan lebar jalan lingkungan yang sesuai dengan ketentuan teknis
pembangunan prasarana perumahan, jaringan jalan dan geometri jalan yang berlaku, terutama
mengenai tata cara perencanaan umum jaringan jalan pergerakan kendaraan dan manusia, dan akses
penyelamatan dalam keadaan darurat pada lingkungan perumahan di pekotaan.

Jalan utama yang menuju ke Lingkungan Kedurung sangat terjal, curam, sempit dan tidak
mempunyai batas jalan. Di lokasi perencanaan menyebabkan sulitnya akses penyelamatan jika terjadi
kebakaran, akses air bersih, tidak adanya orang pengangkut sampah sehingga masyarakat di
lingkungan cendurung membuang sampah sembarangan pada lokasi sekitar rumah jalan utama yg
terjal menyebabkan banyak kejadian warga yg mengalami kecelakaan, jatuh . Jalan perumahan yang

31
baik harus memeberikan rasa aman dan nyaman bagi pergerakan pejalan kaki, pengendara sepeda ,
motor dan mobil didukung oleh kualitas jalan yang baik.

Adapun rencana penataan jalan di lingkungan Kedurung yaitu Pembuatan jalan baru dengan
menggunakan konsep jalan yg berkelok-kelok agar akses air bersih bisa masuk, gampangnya akses
evakuasi warga bila terjadi bencana dan gaya gravitasinya tidak terlalu besar

5.3 Penyediaan Air Minum

Berdasarkan Peraturan Menteri Tentang Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan dan
persyaratan kesehatan air untuk keperluan higine sanitasi dan pemanduan umum yang berbentuk
parameter fisik. Berdasarkan data yang di dapat dari hasil wawancara dengan masyarakat di
Lingkungan Kedurung, rumah tangga di lokasi tersebut di dapatkan bahwa 90% masyarakat di
Lingkungan Kedurung mengatakan bahwa di Lingkungan Kedurung Kekurangan air minum dan air
bersih yg di sebabkan oleh kekeringan dan jalur utama yang menuju desa tersebut yang curam
sehingga pasokan air dari pemerintah tidak dapat terdistribusikan. Untuk air bersih yang di konsumsi
masyarakat harus membeli air bersih turun ke bawah permukiman dengan harga kisaran 10 sampai
20rb perdrigen/galon.

Untuk penyediaan air minum ini masyarakat sangat membutuhkan penyediaan air bersih
untuk kegiatan aktifitas sehari-hari. Maka dari itu, untuk penyediaan air minum di kawasan
perencanaan Lingkungan Kedurung harus mendapatkan penyediaan air bersih. Untuk penyediaan air
bersih dari pemerintah, untuk perencanaan air minum yakni dengan rencana pemerintah dapat dapat
kerja sama dengan pihak swasta dan untuk pengadaan air minum apabila tidak bisa seminimal
mungkin mengirim pasokan air minum untuk masyarakat di kawasan perencanaan Lingkungan
Kedurung untuk mengirim pasokan air 2x seminggu dengan 2 truck tanki untuk lingkungan
Kedurung. Rencana tersebut sesuai dengan kebutuhan masyarakat di kawasan perencanaan,
mengingat masyarakat di lingkungan tersebut sangat me,butuhkan pasokan air minum.

5.4 Drainase Lingkungan


Berdasarkan PERMEN PU tentang penyelenggaraan sistem drainase lingkungan tentang
pemeliharaan sistem drainase dapat diketahui bahwa;
(1) Pemeliharaan dilakukan untuk mencegah kerusakan dan/atau penurunan fungsi prasarana
drainase dan perbaikan terhadap keruskan prasarana drainase
(2) Pelaksanaan pemeliharaan wajib mengikuti metode pelaksanaan bersih dan aman
(3) Kegiatan pemeliharaan meliputi :
a. Pemeliharaan rutin;
b. Pemeliharaan berkala;

32
c. Rehabilitasi; dan
d. Pemeliharaan khusus

Berdasarkan kebijakan ini diketahui bahwa, setiap drainase perlu dilakukannya peningkatan
atau pemeliharaan yang bertujuan untuk mencegah kerusakan atau penurunan fungsi seperti
tersumbatnya saluran drainase. Perlu adanya dan pembuatan drainase yg mengikuti jalan dan
perbaikan saluran drainase di Lingkungan Kedurung untuk saluran pembuangan air agar tidak ada
genangan di lingkungan, supaya tidak terjadi banjir dikarenakan adanya sistem drainase yang
tersumbat akibat banyaknya sampah di sekitaran sistem drainase. Dari rencana sistem drainase ini,
dapat di rencanakan yaitu, akan dibuat rencana sistem drainase lingkungan di lokasi.
5.5 Pengelolaan Air Limbah
Berdasrakan PERMENKES tentang sanitasi total berbasis masyarakat dan lampirannya
dengan pembahasan tentang pengamanan limbah cair rumah tangga dalam. Prinsip pengamanan
limbah cair rumah tangga, yaitu :

a. Air limbah kamar mandi dan dapur tidak boleh tercampur dengan air dari jamban
b. Tidak boleh menjadi tempat perindukan vektor
c. Tidak boleh menimbulkan bau
d. Tidak boleh ada genangan yang menyebabkan lantai licin dan rawan kecelakaan
e. Terhubung dengan saluran limbah umum/got atau sumur resapan

Berdasarkan data yang kami dapat dalam hasil wawancara dengan masyarakat bahwa
masyarakat di Lingkungan Kedurung ini masyarakatnya masih membuang limbah cair rumah tangga
ke perkebunan. Masyarakat di Lingkungan Kedurung ini memiliki kamar mandi pribadi akan tetapi
langkahnya air bersih membuat warga membuang air besar di perkebunan sekitar rumah, dan ada
beberapa warga yang menggunakan kamar mandi umum yang temporer dan tidak memliki kloset .
Dengan analisis terkait kebijakan ini, dapat disimpulkan bahwa, kebijakan ini belum diterapkan di
Lingkungan Tembulum, Sumur Pring, dan Ciporong. Berdasarkan SNI tentang persyaratan tangki
septik dalam pembahasan jarak minimum tangki septik terhadap suatu unit tertentu.
5.6 Pengelolaan Persampahan
Ketersediaan jaringan persampahan di Lingkungan Tembulum, Sumur Pring, dan Ciporong
yang kurang memadai, sehingga diperlukan adanya rencana penyediaan fasilitas persampahan yang
sesuai dengan standar yang telah di tentukan. Kebutuhan prasarana persampahan di Lingkungan
Tembulum, Sumur Pring, dan Ciporong harus dibuat sesuai dengan acuan SNI 3242-2008 Tentang
Pengelolaan Sampah Di Permukiman yaitu, Penyediaan 1 Tempat Penampungan Sementara (TPS)

33
pada setiap lingkungan perencanaan. Perencanaan yang di lakukan di Lingkungan Kedurung adalah
dengan penyediaan Tempat Penampungan Sementara (TPS) sehingga dapat menampung sampah
sementara sebelum diangkut ke TPA Bagendung. TPS yang direncanakan dengan ukuran Panjang 17
meter dan Lebar 4 meter.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.3/PRT/M/2013 tentang


penyelenggaraan prasarana dan sarana persampahan dalam penanganan sampah rumah tangga pada
pasal 5 ayat (3), dapat diketahui bahwa proses penanganan sampah harus meliputi 5 kegiatan yaitu;
pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan; dan pemrosesan akhir sampah. Proses
pemilahan berupa pemilihan antara sampah organik yang berupa sampah sisa sayuran, sisa makanan,
kulit buah-buahan dan daun-daunan, sedangkan di Kelurahan Pabean Lingkungan Kedurung sendiri
tidak terdapat wadah untuk Tempat Penampungan Sementara (TPS), dengan adanya data observasi ini
dapat menunjukan bahwa kebijakan ini belum diterapkan di Lingkungan Kedurung.

Dalam proses penanganan sampah selanjutnya yaitu pengumpulan yang berarti tidak boleh
adanya pencampuran kembali antara sampah organik dan sampah anorganik setelah melalui proses
pemilahan dan pewadahan, juga masih belum diterapkan sepenuhnya di Lingkungan Kedurung
karena tidak adanya wadah untuk memilah sampah yang membuat sampah tercampur antara sampah
organik dan sampah anorganik. Proses selanjutnya yaitu pengangkutan, artinya pengangkutan sampah
dari TPS dan/atau TPS3R ke TPA atau TPST. Di Lingkungan Kedurung sendiri kebijakan ini masih
belum diterapkan sepenuhnya.

5.7 Proteksi Kebakaran

34
BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN


6.1 Kesimpulan

6.2 Saran
Pembuatan Kampunng KB Wisata

Kampung KB merupakan Satuan wilayah setingkat RW, dusun atau setara yang
memiliki kriteria tertentu dimana terdapat keterpaduan program KKBPK yang
dilakukan secara sistemik dan sistematis.Kampung KB dicanangkan pertama kali oleh
Presiden Joko Widodo pada tahun 2016. kampung KB bukan hanya melibatkan Dinas
KB saja, namun juga melibatkan seluruh Dinas intansi terkait untuk bersama-sama
meningkatkan kualitas hidup masyarkat terutama masyarakat yang berada di daerah-
daerah pinggiran, perbatasan, terpencil dan wilayah nelayan.

Ruang lingkup pelaksanaan kampung KB, antara lain Kependudukan, Keluarga


Berencana, Ketahanan Keluarga dan Pemberdayaan Keluarga, serta kegiatan lintas
sektor ( bidang pemukiman, sosial ekonomi, kesehatan, pendidikan, pemberdayaan
perempuan dan perlindungan anak). Kampung KB bertujuan untuk : mengentaskan
kemiskinan, terbinanya peserta KB aktif, mengaplikasikan 8 fungsi keluarga, dan
koordinasi lintas sektor.

Adapaun Kriteria Wilayah yang bisa di jadikan kampung KB

1. Daerah pesisir pantai

2. Pemukiman kumuh

3. Pemukiman dekat dengan DAS

4. Kawasan Miskin

5. Bantaran kereta Api

6. Daerah Terpencil

7. Kawasan padat penduduk


35
8. Kawasan yang berdekatan dengan kawasan industri

Pada kawasan perencanaan memliki potensi bentang alamnya karena posisi lingkungan
perencanaan di wilayah dataran tinggi yang bisa di manfaatkan untuk memunculkan
daerah wisata buatan, sebagai daerah yg memliki bentang alam yang indah kami
berharap bahwa Dinas Pariwisata dapat mengembakan dan mengedukasi masyarakat
agar bisa memanfaatkan keindahan alam yang ada dengan membuat wisata buatan.
Selain itu lokasi perencanaan juga memliki potensi yg bisa di kembangkan dari segi
pertanian, masyarakat di daerah perencanaan rata-rata bermata pencaharian sebagai
petani lada dan cengkeh yang dapat di kembangkan lagi dan berharap dari dinas
pertanian kota cilegon dapat membantu , mengedukasi masyarakat untuk
meningkatkan dan menginovasi dari hasil panen tersebut

36

Anda mungkin juga menyukai